Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN SISTEMATIS

PENANGANAN HIPERTENSI PADA


STROKE HEMORAGIK

Oleh :
Angelina Sarah 1702612125
Diviya Batumalay 1702612130
Luh Nyoman Mas Amita 1702612143
I G A Ayu Diah Pradnya Paramita 1702612168

Pembimbing :
dr. I G N Ketut Budiarsa, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2019

1
PENANGANAN HIPERTENSI PADA
STROKE HEMORAGIK

Lembar Persetujuan Pembimbing

TINJAUAN SISTEMATIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL JUNI 2019

Pembimbing,

dr. I G N Ketut Budiarsa, Sp.S

Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K)

2
NIP. 195610101983121001

3
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya tinjauan kepustakaan dengan judul “Penanganan Hipertensi
pada Stroke Hemoragik” ini selesai pada waktunya. Tinjauan kepustakaan ini
disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tinjauan pustaka ini. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr.dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan
memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini;
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, M.Biomed, Sp.S selaku Penanggung Jawab
Pendidikan Dokter Muda Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP
Denpasar yang telah memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis
selama proses pembelajaran di bagian ini;
3. dr. I G N Ketut Budiarsa, Sp.S selaku pembimbing dalam pembuatan tinjauan
kepustakaan ini yang telah memberikan saran, dan masukkan dalam
penyempurnaan tinjauan kepustakaan ini;
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tinjauan kepustakaan ini.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
tinjauan kepustakaan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Om Santih, Santih, Santih Om

Denpasar, Juni 2019

Penulis

4
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3
2.1 Stroke........................................................................................................ 3
2.2 Hipertensi pada Stroke............................................................................. 5
2.3 Obat Antihipertensi................................................................................... 5
2.4 Penanganan Hipertensi pada Stroke Hemoragik...................................... 5

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius karena
angka kematian dan kesakitannya yang tinggi serta dampaknya yang dapat
menimbulkan kecatatan yang berlangsung kronis. Jumlah penderita stroke
cenderung terus meningkat setiap tahun, tidak hanya menyerang penduduk usia
tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif.
Menurut Kemenkes RI (2013) stroke adalah penyakit pada otak berupa
gangguan fungsi syaraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif
dan cepat yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.1
Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic yang seringkali
diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah arteri. Dari seluruh
kejadian stroke, dua pertiganya adalah ischemic dan sepertiganya adalah
hemorrhagic. Disebut stroke ischemic karena adanya sumbatan pembuluh darah
oleh thromboembolic yang mengakibatkan daerah di bawah sumbatan tersebut
mengalami ischemic. Sedangkan stroke hemorrhagic dapat terjadi akibat adanya
mycroaneurisme yang pecah.2
Insidensi stroke meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga dapat
diramalkan jumlah kasus stroke yang bertambah besar dengan meningkatnya usia
harapan hidup. Sekitar 72% serangan pertama dari stroke terjadi pada usia diatas
65 tahun. Hal ini dapat dimengerti dengan mengingat faktor-faktor risiko
(terutama hipertensi sebagai faktor risiko utama) yang lebih sering ditemukan
pada usia lanjut. Semakin banyak faktor risiko yang ditemukan, maka bertambah
tinggi pula kemungkinan seseorang menderita stroke.3
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian
hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5 -27,6% diantaranya
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg. Hubungan kausal
antara hipertensi dan gangguan peredaran darah otak terbukti dari beberapa
penyelidikan klinis eksprimental, dimana pengobatan hipertensi dapat

1
menurunkan insidensi stroke hemoragik maupun non-hemoragik atau infark
serebri.4
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan
rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk kondisi
neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan
sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai
Guideline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan
tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi.4 Penanganan tekanan darah tinggi (hipertensi)
yang tepat pada pasien stroke penting diketahui untuk mencegah terjadinya
pemburukan kondisi. Pada pembahasan kali ini, akan lebih dibahas mengenai
penanganan hipertensi pada stroke hemoragik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke menurut WHO merupakan suatu sindrom klinis yang terdiri atas
tanda-tanda gangguan fokal maupun global dari fungsi otak yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian tanpa sebab yang jelas selain akibat
dari vascular. ((UK), N. (2008).7
Sebelumnya stroke disebut juga dengan CVA (cerebral vascular accident)
dimana kata accident disini merujuk pada kejadian yang terjadi secara tiba-tiba,
Namun seiring dengan perkembangan, keadaan stroke merupakan sesuatu yang
dapat diperkirakan sebelumnya. Sehingga terdapat beberapa istilah yang harus
dipahami sebelumnya, seperti stroke prone person, pending stroke, completed
stroke, progressing stroke atau stroke in evolution dan stroke in resolution.
Terminologi stroke prone person merujuk pada keadaan seseorang yang memiliki
bakat untuk mendapat stroke. Pending stroke merupakan suatu stroke yang akan
dapat terjadi setiap saat. Berbeda dengan completed stroke, dimana pada
completed stroke gejala-gejala deficit neurologis sudah menetap. Pada
progressing stroke atau stroke in evolution menunjukkan adanya perburukan pada
gejala-gejala stroke dari sebelumnya. Sedangkan stroke in resolution merujuk
pada stroke yang sedang membaik, ataupun suatu stroke dengan gejala-gejala
yang sudah menghilang.2

2.1.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi stroke, diantaranya pembagian stroke
berdasarkan waktu kejadiannya, yaitu TIA (Transient Ischemic Attack), stroke in
evolution, dan completed stroke. Terdapat juga pembagian berdasarkan kelainan
patologisnya, yaitu ischemic stroke disebut juga infark atau nonhemoragik yang
disebabkan oleh gumpalan atau penyumbatan dalam arteri yang menuju otak dan
stroke hemoragik akibat dari pecahnya pembuluh darah di otak.8

2.2.1 Transient Ischemic Attack (TIA)

3
TIA merupakan suatu stroke dimana gejala-gejala deficit neurologis sudah
menghilang dalam 24 jam. Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
terjadinya TIA ini, yaitu teori vasospasmus, teori krisis hemodinamik, dan teori
mikroemboli.
TIA dapat diobati dengan pemberian obat anti agregasi platelet. Pada
penderita TIA juga dianjurkan untuk mandi dengan air hangat.2
2.2.2 Stroke in Evolution
Stroke in evolution merujuk pada kondisi dimana stroke bertambah gawat
keadaannya. Hal ini biasanya disebabkan oleh karena iskemia cerebri yang
berlanju pada infark serebri karena ketidakadekuatannya perfusi menuju otak,
thrombus yang menyumbat meluas, dan timbul edema di sekitar otak yang infark.
Keadaan ini diterapi dengan kontrol tekanan darah juga pemberian obat-
obatan yang mencegah timbulnya edema serebri.2
2.2.3 Completed Stroke
Completed stroke merupakan keadaan stroke yang menunjukkan tanda-
tanda deficit neurologis yang telah menetap. Completed stroke dibagi menjadi 2,
yaitu non hemoragik completed stroke dan haemorrhagic completed stroke. Stroke
iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli
serebri dan pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah
obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh
darah lokal. Emboli serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam
sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga
memblokade aliran darah. Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan
kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau
hipovolemik Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah baik di
dalam jaringan otak yang mengakibatkan perdarahan intraserebral, atau di ruang
subarakhnoid yang menyebabkan perdarahan subarachnoid.2

2.2 Hipertensi pada Stroke


Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke pada semua usia.
Pada hipertensi, otak merupakan salah satu target organ pada keadaan hipertensi
disamping jantung dan ginjal. Penelitian sebelumnya menunjukkan terjadinya
perubahan autoregulasi serebrovaskular atau arteri serebral pada aliran darah otak.

4
Autoregulasi arteri serebral sendiri merupakan kemampuan pembuluh darah untuk
menyesuaikan lumennya sehingga aliran darah otak tetap konstan meskipun
tekanan perfusi berubah. Apabila tekanan intraluminal turun maka akan terjadi
vasodilatasi pembuluh darah begitupun sebaliknya. Pada orang normal, tekanan
arteri rerata (mean arterial blood pressure) yang menurun yaitu sampai 60-70
mmHg dan meningkat sampai 150-160 mmHg masih dapat diatasi dengan
autoregulasi. Apabila MABP lebih rendah dari batas bawah maka akan
menyebabkan penurunan aliran darah otak, dan begitupun sebaliknya. Pada
penderita hipertensi menahun, batas bawah maupun atas akan bergeser ke kanan
pada MABP yang lebih tinggi, akibatnya penderita hipertensi lebih tahan terhadap
tekanan darah yang relative tinggi dan kurang tahan terhadap tekanan darah
rendah. Hipertensi menahun juga dapat menimbulkan perubahan patologi pada
pembuluh darah, baik pembuluh besar hingga pembuluh darah kecil intracranial.
Pada pembuluh darah besar, terjadi perubahan patologik berupa arterosklerosis.
Sedangkan pada pembuluh darah kecil dalam dapat terjadi perubahan seperti
degeerasi lipohialin/lipohialinosis atau disorgnaisasi fibroid dimana dapat
menyebabkan penyumbatan bahkan bisa pecah.3

2.3 Obat Antihipertensi


2.3.1 Diuretik tiazid
Diuretik tiazid merupakan diuretik potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal
tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada
pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid
terjadi dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12-24 jam,
sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada
dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan
darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus
ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang
bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. 5,6

5
Efek samping
Efek samping tiazid dalah hipokalemia, hipomagnesemia, hiperkalsemia,
hiperurisemia, hiperglikemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Peningkatan
eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia, hiponatremi,
dan hipomagnesemia. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi
kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan
hiperurisemia, sehingga penggunaan tiazid pada pasien gout harus hati-hati.
Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap
insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek
samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan
LDL dan trigliserida dan penurunan HDL.5,6

2.3.2 Beta-blocker
Beta blocker memblok beta-adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh
darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta-1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga
dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan
memacu pelepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas sistem saraf
simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miokardiak
meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada
ginjal akan menyebabkan pelepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output,
peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron
dan retensi air. Terapi menggunakan beta-blocker akan mengantagonis semua efek
tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta-blocker yang selektif
(dikenal juga sebagai cardioselective beta-blockers), misalnya bisoprolol, bekerja
pada reseptor beta-1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta-1 saja oleh karena
itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus
hati-hati. Beta-blocker yang non-selektif (misalnya propanolol) memblok
reseptor beta-1 dan beta-2. Beta-blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial

6
(dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja
sebagai stimulan-beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur)
tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat
(misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi
bradikardi pada siang hari. Beberapa beta-blocker, misalnya labetolol, dan
carvedilol, juga memblok efek adrenoseptor-alfa perifer. Obat lain, misalnya
celiprolol, mempunyai efek agonis beta-2 atau vasodilator. Beta-blocker
diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau
lipid. Beta-blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara
bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena
rebound. 5,6

Efek samping
Blokade reseptor beta-2 pada bronkhi dapat mengakibatkan
bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta-bloker kardioselektif. Efek samping
lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangan-kaki terasa
dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta-2 pada otot polos
pembuluh darah perifer. Beta-blokers non-selektif juga menyebabkan peningkatan
kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.5,6

2.3.3 ACE inhibitor


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif,
yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan
otak. Angitensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang memacu pelepasan
aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan
angiotensin II ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin-renin-
aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi
diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab
terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi.
Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih
kuat.5,6

7
2.3.4 Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target
lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1
memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan
pelepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat.
Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Antagonis reseptor angiotensin II
(AIIRA) mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak
mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA
dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri
yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu. 5,6

Efek samping ACEi dan AIIRA


Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal
dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan
selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal.
Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurunkan
produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik
hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapi ACEi atau AIIRA.
Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan efek
samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA
tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.5,6

2.3.5 Calcium channel blocker


Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke
dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot polos
pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan
pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas
vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal
di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB,
yaitu: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin
(verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat

8
vasodilator perifer, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak
dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina.5,6

Efek samping
Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki
sering dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomen dan
mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion
kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro-intestinal,
termasuk konstipasi.5,6

2.3.6 Alpha-blocker
Alpha-blocker (penghambat adreno-septor alfa-1) memblok adrenoseptor
alfa-1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.5,6

Efek samping
Alpha-blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi
pada pemberian dosis pertama kali. Alpha-blocker bermanfaat untuk pasien laki-
laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.5,6

2.3.7 Golongan lain


Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan
tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi
kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada
adrenoseptor alpha-2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran
simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya
menurunkan tekanan darah.5,6

Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi
hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui

9
hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemik lupus eritematosus. Minoksidil
diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang sesuai untuk
pasien wanita. Obat-obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif
untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering
dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang
mirip dengan konidin tetapi dapat menyebabkan efek samping pada sistem imun,
termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik.5,6

2.4 Penanganan Hipertensi pada Stroke Hemoragik


Pada orang sehat (normotensi), penurunan tekanan darah arteri rerata
(MABP) sampai 60-70 mmHg dan peningkatan sampai 150-160 mmHg masih
dapat diatasi dengan autoregulasi. Pada penderita usia tua atau lanjut dengan
hipertensi menahun, batas atas dan bawah MABP ini akan bergeser ke kanan, atau
dengan kata lain penderita lebih tahan terhadap tekanan darah yang relatif tinggi
dan kurang tahan terhadap tekanan darah yang rendah khususnya bila terjadi
penurunan secara cepat. Penurunan tekanan darah pada penderita usia tua
sebaiknya secara gradual, karena pengelolaan hipertensi yang efektif akan
sekaligus menghindari terjadinya gangguan serebrovaskular seperti misalnya
stroke atau stroke berulang yang merupakan penyumbang potensial untuk
timbulnya demensia vaskular. Untuk mempertahankan CBF karena terjadi
peninggian tekanan intrakranial pada penderita stroke akut, terutama perdarahan
intraserebral sering timbul hipertensi akut yang terjadi sekitar 90 menit – beberapa
jam setelah serangan stroke dan dapat berlangsung sampai 7-10 hari tanpa
mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya. Tekanan intrakranial meninggi
terdapat pada sekitar 80% penderita stroke hemoragik maupun non-hemoragik
yang dirawat, sekitar 30% mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya yang akan
menurun spontan dalam beberapa hari sampai 10 hari setelah stroke dan hanya
sepertiga yang tetap hipertensi. Peningkatan tekanan darah pada stroke iskemik
akut selain karena riwayat hipertensi sebelumnya, respon fisiologis terhadap
hipoksia atau tekanan intrakranial meninggi misalnya edema serebri, dapat juga
disebabkan oleh karena stres akibat menderita stroke, kandung kencing penuh,

10
atau nyeri yang akan menurun spontan bila nyeri diatasi, kandung kencing
dikosongkan dan dipindah ke ruang rawat yang tenang dan dapat istirahat.9
Pada stroke hemorrhagic oleh karena hipertensi, penyebabnya dapat
berupa penyebab primer yaitu oleh sekuele hipertensi kronis atau amiloid serebral,
dan penyebab sekuder akibat gangguan koagulasi, malvormasi vascular atau
neoplasma. Penurunan tekanan darah pada akut Intracerebral Hemorrhage sering
ditentang karenan secara teori penurunan tekanan darah akan menyebabkan
penurunan CPP (cereberal perfusion pressure) atau tekanan perfusi serebral dan
memicu terjadinya iskhemia pada jaringan yang hipoperfusi. Namun alasan yang
mendasari penurunan tekanan darah agresif pada intracerebal hemorrhage adalah
perluasan dari perdarahannya. Perluasan hematoma dalam 24 jam hingga 20-25 %
pada jam pertama setelah ICH.10
AHA dan EUSI merekomendasi terapi hipertensi ini berdasarkan individu
pasien yang bergantung pada fakator-faktor seperti baseline hipertensi kronis, ICP,
umur pasien, etiologi dan waktu perdarahan. Penurunan tekanan darah dengan
intravena antihipertensi dipertimbangkan pada tekanan diastolic >200 mmhg atau
MAP>150 mmHg. Jika tekanan sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan
ada klinis peningkatan TIK, antihipertensi dapat bolus intermiten atau kontinus
untuk mempertahankan CPP 60-80 mmHg, jika tidak ada klinis TIK BP
dipertahankan 160/90 dengan target MAP 110 mmHg.11

Tabel 1. Rekomendasi AHA/ASA manajemen tekanan darah pada stroke


hemorrhage
1 Jika tekanan darah sistolik >200 mmHg, atau MAP >150mmHG,
dianjurkan penurunan tekanan darah agresif
2 Jika tekanan darah sistolik >180mmHg, atau MAP >130, dan tekanan
intrakranial meningkat, dianjurkan monitor tekanan intrakranial dan
menurunkan tekanan darah untuk menjaga tekana perfusi serebral antara
60 dan 80 mmHg
3 Jika tekanan darah sistolik >180mmHg atau MAP >130 mmHg dan tidak
ada bukti ataupun kecurigaan peningkatan tekanan intrakranial,
dianjurkan penurunan tekanan yang ringan (contoh MAP 110mmHg atau
target tekanan darah 160/90 mmHg

Pada guideline oleh ESC yang mana berdasarkan penelitian uji klinis
berkelanjutan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <200 mmHg diturunkan

11
segera, didapatkan tidak ada benefit pada outcome primernya dan cenderung
berhubungan dengan gangguan ginjal. Sehingga ESC/ESH merekomendasikan
untuk tidak menurunkan segera tekanan darah pada pasien dengan pendarahan
intraserebral akut. Satu kemungkinan direkomendasiakn untuk
menurunakntekanan darah jika pasien dengan hiper tensi yang sangat parah
>220mmHg dikurangi menjadi <180 mmHg pada uji klinis didapatkan outome
primer yang lebih benefit.12

Tabel 2. Strategi terapi pasien stroke hemorrhage akut dengan hipertensi pada
Guideline ESC/ESH
1 Menurunkan tekanan darah segera tidak direkomendasikan pada pasien
dengan tekanan darah sistolik <220 mmHg
2 Jika tekanan darah sistolik >220mmHg, menurunkan tekanan darah akut
dengan terapi intravena sampai <180mmHG direkomendasikan
3 Pada pasien dengan riwayat hipertenis dan dengan penyakit peredaran
darah serebral akut, terapi antihipertensi direkoemndasikan untuk
diberikan segera pada TIA, atau beberapa hari setelah stroke iskemik

Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan tekanan darah 150-220


mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup
aman. Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg. Penanganan nyeri
termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada penderita stroke
perdarahan intraserebral. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan
penyekat beta (labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan
diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas. Hidralasin dan nitroprusid
sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan tekanan
intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak. Pada perdarahan subaraknoid
aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan
tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah
perdarahan subarachnoid serta perdarahan ulang. Untuk mencegah terjadinya
perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid
akut, tekanan darah diturunkan hingga tekanan darah 140-160 mmHg. Sedangkan
tekanan 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target tekanan darah dalam
mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual,
tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan

12
komorbiditas kardiovaskular. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui
dalam berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki
keluaran fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan
akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari
nimodipin. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi
dapat dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada perdarahan
subarchanoid aneurismal, tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.
Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ
lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut
dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam
pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.4

13
Tabel 3. Obat antihipertensi pada stroke akut pada Perdossi 2011
Golongan/oba Mekanisme Dosis Keuntungan Kerugian
t
Tiazid Aktivasi ATP IV bolus 50- Awitan Retensi cairan dan
Diazoksid sensitive K- 100 mg: IV <5menit garam hiperglikemia
channels infuse: 15-30 berat, durasi lama (1-12
mg/menit jam)
ACEI ACE inhibitor 0,625-1,25 mg Awitan <15 Durasi lama ( 6 jam),
Enalaprilat IV selama 15 menit disfungsi renal
menit
Calcium Penyekat kanal 5 mg/jam IV Awitan cepat Tarkikardi atau
Channel kasium 2,5 ng/ tiap 15 (1-5 menit), bradikardi, hipotensi,
Blocker menit tidak terjadi durasi lama(4-6 jam)
Nikardipin rebound
Clevidipin yang
Verapamil bermakna
Diltiazem jka
dihentiksn,
Eliminasi
tidak
dipengaruhi
oleh
disfungsi hati
atau renal,
potensi
interaksi
obat rendah.
Awitan cepat
<1 menit.
Tidak terjadi
rebound
atau
takiflaksis.
Beta Blocker Antagonis 10-80 mg IV Awitan cepat Hipoglikemia, durasi
Labetalol reseptor α1, β1, tiap 10 menit (5-10 menit) lama(2-12 jam), gagal
β2 sampai 300 jantung kongestif,
mg/hari; bronkospasme
infuse ; 0,5-2
mg/menit
Alfa Blocker Antagonis 5-20 mg IV Awitan Takikardia, aritmia
Fentolamin reseptor α1,α2 cepat(2
menit),,
duransi
singkat (10-
15 menit)

14
Vasodilator NO terkait 2,5-10 mg IV Awitan Serum-sickness like,
Lansung dengan bolus lambat (15- drug induced lupus,
Hidralasin metabolisasi ( samapai 40 30 menit) . durasi lama (3-4 jam).
kalsium dalam mg)
otot polos.

Tiopental Depresi
Aktivasi 30-60 mg IV Awitan cepat Miokardial
reseptor GABA. (2 menit),
durasi
singkat(5-10
Trimetafan menit). Bronkospasme,retansi
Blockade 1-5 mg/menit urin, siklopegia,
ganglionic IV midrasis.
Fenoldipam
Agonis DA-1 Awitan Hipokalemia,takikardia,
dan reseptor 0,001- segera,durasi bradikardia.
α2. 1,6µg/kg/meni singkat (5-10
Sodium t IV : tanpa menit)
nitropusid bolus . Keracunan slanid,
Nitrovasodilator Awitan <15 vasodilator serebral
0,25-10 menit, durasi (dapat menngakibatkan
µg/kg/menit 10-20 menit. peningkatan tekanan
IV. intracranial), reflex
takikardia.
Awitan
segera,durasi Produksi
Nitrogliserin singkat (2-3 methemoglobin, reflex
Nitrovasodilator menit). takikardia.

5-100
µg/kg/menit
IV

Awitan 1-2
menit, durasi
3-5 menit

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Pedoman Pengendalian Stroke, Direktorat Pengendalian


Penyakit Tidak Menular, Subdit Pengendalian Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah, Jakarta. 2013.
2. Ngoerah IGNG. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Denpasar: Universitas
Udayana. 2017. pp. 331-348.
3. Nuartha AABN. Manajemen Hipertensi pada Stroke Iskemik Akut Usia
Tua. Denpasar: Universitas Udayana. pp. 1-10
4. PERDOSSI. Guidline Stroke Tahun 2011. Jakarta. 2011.
5. Sukandar EY, dkk. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan. 2013.
pp. 114-121.
6. Gormer B. Farmakologi Hipertensi. Jakarta: Universitas Indonesia. 2007.
pp.3.
7. Stroke: National Clinical Guideline for Diagnosis and Initial Management
of Acute Stroke and Transient Ischaemic Attack (TIA). [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK53302/ [Accessed 7 Jun. 2019].
8. Arifianto, A., Sarosa, M. and Setyawati, O. (2014). Klasifikasi Stroke
Berdasarkan Kelainan Patologis dengan Learning Vector
Quantization. EECCIS, 8(2).
9. Yoon, Byung-Woo, KO, Sang-Bae;. Blood Pressure Management for
Acute Ischemic and Hemorrhagic Stroke: The Evidence. In: Seminars in
respiratory and critical care medicine. Thieme Medical Publishers, 2017.
p. 718-725.
10. Mullen, M. T.; Mckinney, J. S.; Kasner, S. E. Blood pressure management
in acute stroke. Journal of human hypertension, 2009, 23.9: 559.
11. Aiyagari, Venkates, Philip B. Management of blood pressure for acute and
recurrent stroke. American Stroke Association, 2009, 40.6: 2251-2256.
12. Williams, Bryan, et al. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of
arterial hypertension. European heart journal, 2018, 39.33: 3021-3104.

16

Anda mungkin juga menyukai