Anda di halaman 1dari 25

PENYAJIAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : An. WSH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 3 bulan
Agama : Islam
Alamat : Tanjung Batang, Pulau Tiga
No MR : 05-55-xx
Tanggal Lahir : 24 April 2017
Urutan Anak : Anak keempat dari empat bersaudara
Tanggal rawat inap : 11 Agustus 2017

Identitas Ayah Ibu


Nama Tn. WA Ny. J
Umur 39 Tahun 36 Tahun
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Nelayan Ibu Rumah Tangga

1.2 Anamnesis/ alloanamnesis dengan ibu dan tante pasien (Anamnesis


dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2017)
1.2.1 Keluhan Utama
Sesak napas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami batuk sejak kurang lebih 6 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS). Batuk muncul setiap hari disertai dahak berwarna
putih, batuk disertai darah disangkal. Batuk pada awalnya sering muncul
pada malam hari, namun semakin lama batuk semakin berat dan semakin
sering baik pada siang ataupun malam hari. Batuk tidak dipengaruhi cuaca.

1
2 hari setelah batuk (4 hari SMRS), pasien mengalami demam dan
pilek. Demam hilang timbul, munculnya demam tidak terkait waktu,
demam hingga menggigil atau kejang disangkal. Keringat malam hari
maupun penurunan berat badan disangkal. Keluhan suara mengorok
ataupun tertelan benda asing disangkal. Pasien dibawa ke Puskesmas Pulau
Tiga, diperiksa oleh bidan puskesmas dan diberi puyer untuk demam,
batuk, pilek. Setelah pengobatan keluhan dirasakan berkurang, namun
tidak hilang.
Sejak 3 hari SMRS pasien juga mengalami buang air besar (BAB)
cair dengan konsistensi cair dan masih disertai ampas. Tinja disertai lendir,
tidak berdarah, tidak berbau amis. BAB sebanyak 2-3 kali sehari, tidak
pernah lebih dari 4 kali. Saat masuk rumah sakit keluhan BAB cair sudah
tidak ada.
2 hari SMRS keluhan batuk makin parah, batuk makin lama dan
panjang.Suara menangis tidak terdengar, pasien merintih, terlihat sesak
dan tampak jika bernafas cuping hidung kembang kempis. Keluhan sesak
belum pernah pasien alami sebelumnya dan sesak muncul setelah batuk.
Sejak saat ini pasien mulai kurang menyusu. Menyusu hanya sedikit-
sedikit. 1 hari SMRS keluhan tidak berkurang lalu keluarga memutuskan
untuk dibawa ke RSUD Natuna.
Menurut ibu pasien, pasien sering kontak dengan kakek pasien yang
juga menderita batuk. Kakek pasien sudah berobat ke RS, sudah dicek
dahak dan negatif Tuberculosis, dirontgen paru-paru dan dokter
mengatakan kakek pasien batuk dikarenakan riwayat merokok. Pasien
tidur bersama ibu, bapak, dan kakaknya.

2
(6 hari
SMRS)
Batuk (3 hari SMRS)
berdahak BAB cair

( 4 hari (2 hari SMRS)


SMRS) batuk tambah parah,
mulai demam sesak, merintih, napas
cuping hidung

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan yang serupa. Alergi
makanan dan obat disangkal. Tidak ada riwayat kejang sebelumnya.
Kesimpulan : Tidak terdapat penyakit terdahulu yang berhubungan
dengan keluhan yang diderita oleh pasien sekarang.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat riwayat alergi, asma, TB paru, kejang ataupun
penyakit jantung bawaan dalam keluarga.
Kesimpulan: Tidak terdapat riwayat penyakit keluarga yang
berhubungan dengan keluhan yang diderita pasien sekarang.

1.2.5 Riwayat Kehamilan


Selama kehamilan, ibu pasien sering memeriksakan kandungan di
puskesmas. Antenatal care sebanyak 7 kali di puskesmas, 2 kali pada
trimester pertama, 2 kali pada trimester kedua dan 3 kali pada trimester
ketiga. Selama kehamilan baik trimester pertama sampai ketiga, ibu pasien
tidak pernah mengalami keluhan. Riwayat sakit berat dan konsumsi obat
atau jamu disangkal.
Kesimpulan : Riwayat kehamilan dalam batas normal

3
1.2.6 Riwayat Persalinan
Pasien lahir dengan persalinan spontan di rumah ibu pasien dan
dibantu bidan, pada usia kehamilan 41 minggu dengan BBL 3000 gram
dan panjang badan 42,8 cm. Bayi lahir langsung menangis. Setelah lahir
pasien mendapatkan vitamin K, pasien mendapatkan imunisasi hep B
sesaat setelah lahir.
Kesimpulan : Riwayat persalinan baik.

1.2.7 Riwayat Pemberian Makan


Pasien minum susu formula sejak lahir sampai sekarang, frekuensi
minum tiap 2 jam sekali, penuh satu botol ukuran kecil.
Kesimpulan : Pasien tidak ASI eksklusif.

1.2.8 Riwayat Imunisasi


Pasien mendapat imunisasi HB1 paska persalinan dan OPV0, BCG
pada umur 1 bulan. Imunisasi polio1, DPT1, dan Hib1, Hep B2 pada umur
2 bulan belum diberikan.
Kesimpulan: Imunisasi tidak lengkap.

1.2.9 Riwayat Tumbuh Kembang


Berat badan dan panjang badan pasien bertambah dengan baik sejak
lahir hingga sekarang. Pasien sudah bisa mengangkat kepala, bereaksi
terhadap suara atau bunyi, mengoceh spontan dan bereaksi dengan
menoleh.
Kesimpulan : Riwayat tumbuh kembang sesuai usia.

1.2.10 Riwayat Sosioekonomi, Tempat tinggal dan Lingkungan


Pasien berobat dengan dana pribadi tanpa menggunakan jaminan
kesehatan. Ayah pasien lulusan SMA bekerja sebagai nelayan dan Ibu
pasien lulusan SMP dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.

4
Dalam lingkungan keluarga, terdapat anggota keluarga yang
menderita batuk yaitu kakek pasien. Kakek pasien tinggal terpisah dengan
pasien, tapi pada siang hari pasien lebih sering dirumah kakek pasien dan
berkumpul bersama keluarga besar. Pasien tinggal di rumah satu tingkat,
beratap seng dan berlantai papan. Ventilasi rumah pasien maupun rumah
kakek pasien cukup baik. Lingkungan rumah tempat tinggal pasien
berdekatan antara satu rumah ke rumah lainnya. Ayah pasien merokok,
kakek pasien merokok.
Kesimpulan: Tingkat pendidikan orang tua pasien cukup baik,
tingkat sosial ekonomi cukup baik serta terdapat risiko infeksi di
lingkungan tempat tinggal.

1.3 Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2017)


1.3.1 Keadaan Umum : Tampak lemah, tampak sesak.
1.3.2 Kesadaran : Compos Mentis
1.3.3 Tanda Vital
a. Nadi : 178 x/menit, irama reguler, isi cukup
b. Respirasi : 62 x/menit, abdominotorakal
c. SpO2 : 91% dengan nasal kanul 1 lpm jadi 97
d. Suhu : 36,9o C
1.3.4 Antropometri
a. Berat Badan : 5,7 kg
b. Panjang Badan : 60 cm
c. Lingkar kepala : 40 cm
Status Gizi :
d. BB/U :-2< Z < 0
Interpretasi : normal
e. PB/U :-2< Z < 0
Interpretasi :normal
f. BB/PB :-2 < Z < -1
Interpretasi :Gizi baik

5
1.3.5 Status Generalis
a. Kulit : ikterik (-), sianosis (-), petekie (-)
b. Kepala :normocepha,wajah sembab(-),ubun-ubun cekung(-)
c. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi
konjungtiva (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya
konsensual (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
d. Telinga : AS : sekret (-),meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dinilai
AD : sekret (-), meatus tidak eritem, tidak edem, membran timpani
tidak dinilai
e. Hidung : rinorhea (-), edema mukosa (-/-), pernafasan
cuping hidung (+)
f. Mulut : stomatitis (-),typhoid tongue (-)
g. Tenggorokan : faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (T1/T1),
selaput (-)
h. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak
ditemukan.
i. Dada : simetris saat statis dan dinamis, retraksi subkostal
(+), retraksi interkostal (+), retraksi suprasternal (+)
j. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC 5 linea midclavicula
sinistra, thrill (-)
Auskultasi : S1 tunggal/ S2 split tak konstan, reguler, gallop
(-), murmur (-)
k. Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris statis dan dinamis
Palpasi : fremitus taktil tidak dapat dinilai
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi :suara nafas dasar: vesikuler (+/+), rhonki(+/+),
wheezing (-/-), krepitasi (-/-)

6
l. Abdomen
Inspeksi : simetris, tampak benjolan/massa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
liver span ± 3 cm
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
m. Urogenital : tidak diperiksa
n. Anus/Rektum : dalam batas normal
o. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), Capillary Refil Time < 2
detik
1.4 Pemeriksaan Penunjang
1.4.1 Darah rutin (11 Agustus di RSUD Natuna)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan umur 3 bulan
Hb 9,7 g/dl 10,1-12,9
Hct 28,4% 32-44
Leukosit 11.300/uL 6000-17.500
Trombosit 442.000/uL 229000-553000
Eritrosit 3,89x 106/uL 3,2-5,2
MCV 73,2 fl 92 fl
MCH 23,1 pq 27-31 pq
MCHC 31,6 g/dl 32-36 g/dl
Netrofil 50% 50-70%
Limfosit 34% 20-40%
Basofil, eosinofil, 16% 3-9%
monosit

7
1.4.2. Foto Radiologi

Kesan:

Timus : tidak tampak

Cor tidak membesar

Pulmo: gambaran berupa bercak-bercak infiltrat pada kedua paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial

1.5. Daftar Masalah

1. Anak laki-laki usia 3 bulan


2. Batuk 6 hari SMRS
3. Demam 4 hari SMRS
4. BAB cair 3 hari SMRS

8
5. Kesulitan bernafas 2 hari SMRS
6. Riwayat imunisasi tidak lengkap
7. ASI tidak eksklusif
8. Terdapat resiko infeksi di lingkungan tempat tinggal
9. Takipnea, takikardi
10. Retraksi subcostal, intercostal, dan suprasternal
11. Rhonki dan krepitasi di kedua lapang paru
12. Gambaran bronkopneumonia pada radiologi

1.6. Diagnosis

1. Diagnosis kerja :
Bronkopneumonia Berat
Imunisasi tidak lengkap
Anemia

2. Diagnosa banding :
Bronkiolitis

1.7. Tatalaksana

1. Non Medikamentosa
a. Rawat inap
b. Nutrisi
ASI ad libitum
c. O2 nasal kanul 2 lpm
d. Puasa selama masih sesak
e. Edukasi imunisasi untuk catch up imunisasi kepada ibu setelah
perbaikan penyakit

2. Medikamentosa
a. IVFD Kaen IB 500 cc/24 jam
b. Injeksi ceftriaxone 2 x 125 mg IV

9
c. Injeksi dexametason 3x2,5 mg IV
d. Inhalasi combivent 3 x per hari

1.8. Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Fuctionam : Bonam
Ad sanactionam : Dubia
Pneumonia merupakan kasus yang cukup sering terjadi di negara
berkembang. Penyakit ini diperkirakan terjadi sekitar 151 juta setiap tahunnya
pada anak < 5 tahun dan menyebabkan insidensi 0,29 kejadian per anak setiap
tahunnya dengan tingkat mortalitas 1,3-2,6% atau lebih dari 2 juta per tahun. 13-
15
Pneumonia berat dengan distress pernafasan menjadikan tingkat mortalitas
menjadi lebih tinggi lagi yaitu sekitar 57%.13
Agen infeksi, genetik dan status imunologi dan faktor-faktor lain seperti
malnutrisi, berat badan lahir rendah, dan durasi menyusui telah diidentifikasi
sebagai faktor risiko pneumonia. Beberapa faktor lain yang ikut berperan antar
lain kebiasaan merokok orang tua, tingkat pengetahuan orang tua, dan polusi
asap dalam ruangan.15 Pada kasus ini faktor yang menjadi faktor risiko
terjadinya pneumonia antara lain terdapat pajanan risiko infeksi di lingkungan,
tidak mendapatkan ASI eksklusif dan imunisasi yang tidak lengkap. Tidak
mendapatkan ASI eksklusif memiliki nilai relative risk (RR) sebesar 1,913 dan
Imunisasi yang tidak lengkap memiliki nilai RR 3,915. Hal ini menunjukkan
faktor risiko tersebut memperbesar peluang pasien ini terserang pneumonia.

1.9 Follow Up Harian

Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

12/08/17 Sesak (-) , badan KU : tampak tenang  Bronkopneumoni  O2 2 lpm nasal canul,
biru (-), batuk (+) Kesadaran : Compos Mentis  Imunisasi tidak weaning jika SPO2 >
dahak encer TTV : HR : 128 x/menit, lengkap 95%
kadang kental, RR: 60 x/menit reguler  IVFD Kaen 1B ↓ 1 ml/
jam
demam (-), BAK T : 37,0 oC
 Injeksi ceftriaxone 2 x
dan BAB biasa Saturasi 97% 125 mg IV (hari ke 2)
Dada: Retraksi subkostal (-  Injeksi dexametason 3x

10
),intercostal (-), suprasternal (-), 2,5 mg IV
simetris saat statis dan dinamis  Nebu combivent 3 x/ hari
Pulmo: SND vesikuler (+/+),  Boleh mulai minum
wheezing (-/-), rhonki (+/+), sufor/ASI 8x75 ml jika
tidak sesak
krepitasi (+/+) minimal
 DPT saat rawat jalan
Cor: S1-S2 split tak konstan
Abdomen: Bising usus (+), supel,
turgor kulit baik
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <
2detik

13/08/17 Sesak (-), badan KU : tampak baik  Bronkopneumoni  Rencana pulang


biru (-), batuk Kesadaran : Compos Mentis  Imunisasi tidak  Cefixime 2x50 mg PO
berkurang, dahak TTV : HR : 160 x/menit, lengkap  Pulveres : 3x1 PO
kental warna putih, RR: 46 x/menit reguler Salbutamol 0,5 mg
menyusu kuat, T : 36,7 oC Prednisone 1 mg
menangis kuat, Saturasi 97%
demam (-), BAK Dada: Retraksi subkostal (+) dan
dan BAB biasa intercostal (+), simetris saat statis
dan dinamis
Pulmo: SNP vesikuler (+/+),
wheezing (-/-), rhonki (+/+),
krepitasi (+/+)
Cor: S1-S2 split tak konstan
Abdomen :bising usus (+), supel,
turgor kulit baik
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <
2detik

ANALISIS KASUS
Berdasarkan data anamnesis pada pasien dengan keluhan kesulitan bernafas
disertai batuk berdahak memiliki banyak diagnosis banding. Menurut WHO,
pasien yang mengeluh batuk dan kesulitan bernafas bisa disebabkan karena
pneumonia, bronkiolitis, asma, viral croup, gagal jantung, penyakit jantung
bawaan, tuberkulosis, pertusis, dan aspirasi benda asing.1
Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan virus,
yang biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epidemik setiap tahun dan
ditandai dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing. Bronkiolitis ditandai
dengan wheezing, ekspirasi memanjang, hiperinflasi dinding dada, dengan
hipersonor pada perkusi, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, crackles
atau ronki pada auskultasi dada, sulit makan, menyusu atau minum.1 Terdapat
beberapa gejala bronkiolitis yang mirip pada pasien ini seperti tarikan dinding

11
dada bagian bawah ke dalam dan ronki pada auskultasi dada, namun gejala seperti
ini tidak khas pada bronkiolitis. Bronkiolitis disingkirkan sebagai diagnosis utama
karena pada pasien ini tidak ditemukan adanya wheezing, ekspirasi memanjang,
hiperinflasi dinding dada dan hipersonor pada perkusi, serta keluhan sulit makan,
menyusu atau minum.
Pada asma, terjadi inflamasi kronik dengan penyempitan saluran pernafasan
yang reversibel. Tanda karakteristik berupa episode wheezing berulang, sering
disertai batuk yang menunjukkan respons terhadap obat bronkodilator dan anti-
inflamasi.1Pada pasien ini tidak terdapat mengi yang berulang dan sehingga
diagnosis asma dapat disingkirkan.
Pada croup (laringotrakeobronkitis viral) dapat menyebabkan obstruksi
saluran repiratorik atas, jika berat dapat mengancam jiwa. Croup ringan ditandai
dengan demam, suara serak, batuk menggonggong, stridor yang hanya terdengar
jika anak gelisah. Croup berat ditandai dengan stridor terdengar walaupun anak
tenang dan nafas cepat serta tarikan dinding dada bagia bawah ke dalam.1 Viral
croup disingkirkan sebagai diagnosis karena tidak terdapat keluhan suara serak,
batuk menggonggong ataupun stridor.
Gagal jantung menyebabkan nafas cepat dan distres pernafasan. Penyebab
dari gagal jantung meliputi antara lain penyakit jantung bawaan, demam rematik
akut, anemia berat dan pneumonia sangat berat serta gizi buruk. Pada pemeriksaan
fisik, bisa didapatkan takikardi (HR >160 kali per menit untuk anak usia di bawah
12 bulan), ronki/crackles pada basal paru, hepatomegali, nafas cepat terutama saat
diberi makanan, telapak tangan sangat pucat.1 Pada pasien ini hanya ditemukan
adanya takikardi, namun ronki pada basal paru, hepatomegali ataupun telapak
tangan pucat tidak ditemukan, sehingga diagnosis gagal jantung dapat
disingkirkan.
Diagnosis banding lainnya adalah tuberkulosis (TB). Pada TB, biasanya
gejala yang muncul adalah berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas atau gagal tumbuh, demam tanpa sebab yang jelas terutama jika
berlanjut sampai 2 minggu, batuk kronik ≥ 3 minggu dengan atau tanpa wheezing,
dan terdapat riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa.1 Pada pasien ini

12
terdapat gejala batuk 6 hari dan demam hanya 4 hari, tidak didapatkan riwayat
kontak yang jelas dengan pasien TB paru dewasa. Dengan menggunakan skor TB
anak, pada pasien ini skor TB anak adalah < 6.

Gambar 1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB di


Fasyankes3
Diagnosis banding aspirasi benda asing dapat disingkirkan dari anamnesis
yang mengatakan bahwa pasien tidak pernah memiliki riwayat tertelan benda
asing. Dari hasil pemeriksaan fisik juga tidak didapatkan gejala wheezing
menetap dan stridor serta suara nafas dasar yang tidak melemah pada salah satu
bagian paru.1
Pertusis dapat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi.
Gejala yang muncul biasanya demam disertai batuk dan keluar cairan hidung yang
secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu kedua
timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Pertusis dapat
dicurigai jika dapat tanda tanda diagnosis seperti:1
- Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai
muntah
- Perdarahan subkonjungtiva

13
- Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
- Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti
oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk
Pada pasien ini belum diimunisasi DPT, tapi tipe batuk pada pasien bukan seperti
batuk pertusis. Sehingga pertusis disingkirkan sebagai diagnosis utama.
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman,
menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari pneumonia (virus atau bakteri).
Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian
mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis sulit membedakan pneumonia
bakterial dengan pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan
laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat
disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien
tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksan radiologis.4
Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi
umur pasien. Namun secara umum, bakteri yang berperan penting dalam
pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophillus influenzae,
Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik klamidia dan
mikoplasma. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan
oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophillus influenzae,dan Staphylococcus aureus. Pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri-bakteri ini umumnya responsif terhadap pengobatan
dengan antibiotik beta-laktam.4
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:4
-
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare,
kadang-kadang ditemukan gejala ekstrapulmoner
-
Gejala gangguan respiratori yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,
nafas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.

14
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, nafas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah,
tidak mau minum, takikardi atau bradikardia, retraksi subkostal dan demam.4
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara nafas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi
dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.4
Pada kasus ini ditemukan gejala klinis infeksi umum berupa demam dan
keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare, adapun terdapat gejala
gangguan respiratori berupa batuk dan sesak napas. Dari hasil pemeriksaan fisis
pada pasien tanggal 11 agustus 2017 didapatkan keadaan pasien yang tampak
lemah dan sesak, pemeriksaan tanda vital yaitu frekuensi nadi 178 x/menit,
frekuensi napas 62x/menit, saturasi O2 91%, dan suhu 36,9˚C, kemudian juga
terdapat napas cuing hidung, retraksi subkostal, interkostal, dan suprasternal,
suara nafas tambahan ronki basah dan krepitasi di kedua lapang paru. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisisk menunjukkan tanda-tanda pneumonia.
Suara nafas berupa ronki basah adalah suara nafas tambahan berupa vibrasi
terputus-putus (tidak kontinu) akibat getaran yang terjadi karena cairan dalam
jalan nafas dilalui oleh udara.5 Hal ini terjadi karena pada pneumonia, bagian paru
yang terserang akan mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN,
fibrin, eritrosit, cairan edema.4 Sedangkan krepitasi adalah suara membukanya
alveoli yang mengandung infiltrat. Krepitasi normal dapat terdengar di belakang
bawah dan samping pada waktu inspirasi yang dalam sesudah istirahat terlentang
beberapa waktu lamanya. Krepitasi patologis terdapat pada pneumonia lobaris.5
Akibat dari alveolus terisi oleh pus dan sel inflamasi, maka akan terjadi gangguan
pertukaran gas di alveolus. Gangguan pertukaran gas tersebut membuat tubuh
mengartikan bahwa terjadi kekurangan oksigen, sehingga sebagai kompensasinya,
tubuh akan merespon dengan meningkatkan frekuensi pernafasan dan penggunaan
otot bantu pernafasan seperti diafragma, otot sternocleidomastrideus, otot elevator
scapula, dan lain lain yang menyebabkan gerakan dada bertambah dan membantu

15
menarik iga-ga dan sternum sehingga timbul retraksi dinding dada bagian bawah
(subkostal), interkostal, dan suprasternal.6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis pneumonia adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, C-reactive
protein (CRP), uji serologis, pemeriksaan mikrobiologis, dan pemeriksaan
rontgen thoraks.4
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya
ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (< 5.000/mm3) menunjukkan
prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu
menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakterimia,
dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chlamydiapneumonia
kadang-kadang ditemukan esoinofilia.
Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah yang
meningkat.4 Pada kasus ini didapatkan hasil pemeriksaan darah lengkap berupa
leukositosis (11.300/uL) sehingga menunjukkan kemungkinan etiologi pada kasus
ini adalah bakteri. Adanya batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis,
dan perubahan nyata pada pemeriksan radiologis merupakan tanda pneumonia
bakterial.4
Pemeriksaan foto toraks tidak direkomendasikan secara rutin pada anak
dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi. Pemeriksaan
foto toraks direkomendasikan pada penderita pneumonia yang dirawat inap atau
bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan.7 Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-
kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul
gejala klinik. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih
lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa
komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen
toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk
tindak lanjut. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis

16
pneumonia di IGD hanyalah pemeriksaan rontgen thoraks posisi AP. Foto rontgen
toraks AP dan lateral hanya dilakukan dengan tanda dan gejala klinik distress
pernapasan seperti takipnea, batuk dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang
melemah.4
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:4
- Infiltrate interstisial dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut pneumonia lobaris, atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal
sebagai round pneumonia.
- Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningaktan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan
pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian
ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan,
terutama lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah,
maka hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan
risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.7 Pada pasien ini, gambaran rontgen
toraks menunjukkan adanya gambaran difus merata pada kedua paru berupa
bercak-bercak infiltrate disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Pneumonia dijadikan diagnosis kerja berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang mengarah pada peneumonia. WHO
mengklasifikasikan pneumonia menjadi pneumonia berat dan tidak berat untuk
bayi kurang dari 2 bulan, sedangkan untuk anak berumur 2 bulan hingga 5 tahun
pneumonia diklasifikasikan menjadi ringan, berat, dan sangat berat.7

17
Tabel 1. Klasifikasi pneumonia berdasarkan usia
Bayi kurang dari 2 bulan Anak umur 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat: nafas cepat atau Pneumonia ringan: nafas cepat
retraksi yang berat
Pneumonia sangat berat: tidak mau Pneumonia berat: retraksi
menetek/minum, kejang, letargis,
demam atau hipotermia, bradipnea
atau pernafasan ireguler
Pneumonia sangat berat: tidak dapat
minum/makan, kejang, letargis, malnutrisi

Pada pasien ini dikelompokkan dalam pneumonia berat karena gejala batuk
disertai kesulitan bernafas dengan ditandai adanya tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam, dan penggunaan otot bantu napas lainntya yaitu otot interkostal
dan otot suprasternal, nafas cepat, ditemukannya rhonki, krepitasi. Pada foto
thorax didapatkan gambaran bronkopneumonia.
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut
survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian
balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama
pneumonia.4
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang.

18
Tabel 2. faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia
pada anak balita di negara berkembang4
Faktor risiko meningkatnya Faktor risiko yang terdapat pada
mortalitas pada pneumonia pasien
Pneumonia yang terjadi pada masa bayi
Berat badan lahir rendah (BBLR)
Imunisasi tidak lengkap √
Tidak mendapat ASI yang adekuat √
Malnutrisi
Defisiensi vitamin A
Tingginya prevalensi kolonisasi bakteri
patogen di nasofaring
Tingginya pajanan terhadap polusi udara √
(polusi industri atau asap rokok)

Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran


respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang
terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut sebagai
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin
dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini
disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di
alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.4
Adapun kriteria rawat untuk pasien pneumonia pada anak dibagi menjadi 2
kelompok berdasarkan umur, yaitu kriteria rawat inap untuk bayi dan kriteria
rawat inap untuk anak.

19
Tabel 3. Kriteria rawat inap pasien pneumonia7
Kriteria Rawat
Bayi Anak
Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis Saturasi oksigen < 92%, sianosis
Frekuensi napas > 60x/menit Frekuensi napas > 50x/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, Distres pernapasan
atau grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat dirumah

Pada kasus ini pasien mengalami pneumonia berat dengan frekuensi napas >
60x/menit disertai dengan distres pernapasan sehingga harus di rawat inap.Dasar
tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian
cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-
basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit
penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang mungkin terjadi
harus dipantau dan diatasi.4
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Pada neonatus dan bayi kecil,
terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena
pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta
laktam/klavulanat dengan aminoglikosida, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila
keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10
hari. 4
Pemilihan antibiotik pada kasus pneumonia disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada pasien ini diberikan antibiotik intravena. Pilihan antibiotik intravena yang
dianjurkan adalah ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone,

20
cefuroxime dan cefotaxime.3 Pada pasien ini antibiotic yang diberikan adalah
ceftriaxone. Nebuisasi dengan B2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucociliary clearance.7
Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan paripurna untuk seorang
pasien, diperlukan tiga asuhan (care) yang biasanya dikenal sebagai pelayanan,
yaitu: Asuhan medik (medical care) dengan pemberian obat ataupun dengan
tindakan pembedahan, asuhan keperawatan, dan asuhan nutrisi (nutritional care)
dengan pemberian zat gizi agar dapat memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
Asuhan nutrisi bertujuan agar setiap pasien dapat dipenuhi kebutuhannya dengan
sebaik-baiknya.7 Anak harus dalam gizi yang baik untuk menunjang
kesehatannya. Masukan energi berupa karbohidrat, protein, lemak, dan cairan
harus disesuaikan dengan status gizi dan usia anak. Pada kasus ini, anak sudah
dalam kondisi gizi baik, sehingga angka kecukupan energi yang diberikan
disesuaikan dengan umur anak.
Tabel 4. Recommended Dietary Allowences untuk bayi dan anak

Kebutuhan energi pada pasien ini yang adalah 305 kkal/hari dan kebutuhan
protein adalah 11,44 g/hari. Kebutuhan cairan dihitung dengan rumus Holiday
Sugar dan didapatkan kebutuhan cairan sebesar 570 cc/hari. Pemenuhan
kebutuhan energi dan protein pada pasien ini dipenuhi melalui pemberian ASI
maupun susu formula.
Menurut riwayat imunisasi pasien, diketahui bahwa pasien belum
mendapatkan imunisasi HepB2, polio1, DPT1,dan Hib1 pada umur 2 bulan.
Imunisasi terakhir yaitu BCG saat usia 1 bulan. Imuisasi adalah suatu tindakan

21
untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh.
Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit
tertentu. Imunisasi juga bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar
terhindar dari penyakit, dapat mencegah dari kecacatan, dan mencegah kematian
pada anak.8
Terdapat penelitian yang menunjukkan hasil adanya hubungan yang signifikan
antara risiko pnumonia dan anak-anak yang tidak diimunisasi atau imunisasi yang
tidak lengkap dimana anak dengan status imunisasi tidak lengkap mempunyai
peluang mengalami pneumonia sebanyak 3,9 kali lebih tinggi terkena penyakit.9

Gambar 3 Jadwal imunisasi anak umur 0-18 tahun10

Kekurangan imunisasi polio1, DPT1, dan Hib1 yang seharusnya didapatkan


pada umur 2 bulan bisa dikejar pemberiannya (catch up immunization). Apabila
imunisasi polio terlambat diberikan, jangan mengulang pemberiannya dari awal,
tetapi lanjutkan dan lengkapi sesuai jadwal, tidak peduli berapa pun interval
keterlambatan dari pemberian sebelumnya. Begitu juga pada imunisasi DPT dan

22
Hib apabila terlambat diberikan, berapa pun interval keterlambatannya, jangan
mengulang dari awal, tetapi lanjutkan imunisasi sesuai jadwal.12

23
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di


Rumah Sakit. Jakarta: Bina Mulia; 2005.
2. Van Aalderen VM. Childhoos Asthma: Diagnosis and Treatment; Review
Scientifica. 2012.
3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen
TB Anak. 2013
4. Rahajoe, Nastiti N, Bambang Supriyatno, dan Darmawan Budi Santoso.
Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2008
5. Matondang, Corry S., Iskandar Wahidayat dan Sudigdo Sastroasmoro.
Diagnosis Fisis pada Anak. Sagung Seto. 2003
6. Snell RS. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006. 108,141
7. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandraputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010.
8. Wijaya IGK dan Bahar H. Hubungan Kebiasaan Merokok, Imunisasi
dengan Kejadian Penyakit Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Pabuaran
Tumpeng Kota Tangerang. Forum Ilmiah. 2014. 11(3):375-85
9. Hemagiri K, Sameena AR, Aravind K, et al. Risk Factor For Sever
Pneumonia In Under Five Children- A Hospital Based Study. International
Journal of Research in Health Science. 2014. 2: 47-57
10. http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2017
htlml diakses pada tanggal 22 September 2017
11. Deivanayagam N, K. Nedunchelian, N. Mala, T.P. Ashok, S.R. Rathnam, S.
Shaffi Ahmed. Missed Opportunities For Immunization In Children Under
2 Years Attending An Urban Teaching Hospital. Indian Pediatrics.1995.
(32): 51-2
12. http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/melengkapi-mengejar-
imunisasi-bagian-ii.html diakses pada tanggal 22 September 2017
13. Markowicz, Philippe et. al. Multicenter Prospective Study of Ventilator-
Associated Pneumonia During Acute Respiratory Distress Syndrome
Incidence, Prognosis, and Risk Factors. Am J Respir Crit Care Med Vol
161. pp 1942–1948, 2000
14. Principi, Nicola and Susanna Esposito. Management of severe community-
acquired pneumonia of children in developing and developed countries.
Thorax 2011;66:815e822. doi:10.1136/thx.2010

24
15. Meduri, G. Umberto, Raju C. Reddy, Timmye Stanley, And Faten El-Zeky.
Pneumonia in Acute Respiratory Distress Syndrome: A Prospective
Evaluation Of Bilateral Bronchoscopic Sampling. Am J Respir Crit Care
Med 1998;158:870–875

25

Anda mungkin juga menyukai