Anda di halaman 1dari 14

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

KAJIAN GEOLOGI TEKNIK DI KAWASAN PERTAMBANGAN EMAS POBOYA,


PALU, SULAWESI TENGAH

Nunik Rezkiarti Janat1*


Wahyu Wilopo2
I Gde Budi Indrawan2
1
Mahasiswa Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2
Dosen Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
*corresponding author: rezkijanat@gmail.com

ABSTRAK
Daerah pertambangan Poboya merupakan daerah tambang emas yang dikelola oleh rakyat dan berada
di Kota Palu, Kecamatan Palu Timur, Sulawesi tengah. Kondisi geologi regional di daerah penelitian
merupakan formasi batuan metamorf yang telah teralterasi. Litologinya terdiri dari sekis, kuarsit serta
metagamping. Batuan ini sudah teralterasi sehingga sebagian lereng penambangan menjadi tidak stabil
dan rawan terjadi longsor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi di daerah
penambangan emas Poboya melalui pengamatan di lapangan dan mengetahui kestabilan lereng
tambang dengan menggunakan metode Slope Stability Rating(SSR). Analisis XRD digunakan untuk
mengetahui tipe alterasi daerah penelitian dan penggunaan metode Slope Stability Rating (SSR) untuk
mengetahui stabil tidaknya lereng di lokasi penelitian dengan enam parameter peninjauan, yaitu tipe
batuan, Uniaxial Compressive Strength (UCS), Geological Strength Index (GSI), metode ekskavasi
lereng, airtanah, dan kekuatan gempa. Total ada 9 lereng yang identifikasi dengan nilai GSI dan tinggi
lereng yang bervariasi sehingga menghasilkan nilai SSR yang berbeda-beda. Dari 9 lereng tersebut,
tinggi lereng terendah adalah 25 meter dan sudut lereng 21 o.Terdapat airtanah di salah satu lereng
tersebut yang dinyatakan dalam persen sebesar 39,7 %. Berdasarkan hasil XRD tipe alterasi daerah
penelitian termasuk tipe alterasi argilik.
Kata kunci :slope stability rating (SSR), XRD, alterasi, Poboya

1. Pendahuluan
Longsoran merupakan peristiwa yang diakibatkan kegagalan dari suatu rekayasa atau
kontruksi teknik. Longsoran adalah peristiwa jatuhnya batuan atau adanya pergerakan pada
tanah yang diakibatkan oleh ketidakstabilan lereng serta tergantung pada jenis batuannya.
Dalam perihal longsor, geologi teknik sangat penting untuk membuat suatu zonasi kerentanan
daerah longsor berdasarkan aspek geologi teknik seperti kondisi morfologi, hidrogeologi, dan
struktur geologi di daerah penelitian.
Poboya merupakan daerah pertambangan rakyat yang berada di kota Palu, Sulawesi Tengah.
Beberapa tahun terakhir diketahui banyak terjadi longsor pada permukaan lokasi
penambangan di akibatkan karena penggalian di permukaan dan kondisi geologi daerah
penelitian. Maksud dan tujuan penelitian ini yaitu mengetahui kondisi geologi di daerah
penelitian melalui pengamatan di lapangan serta mengetahui kondisi kestabilan lereng
tambang emas dan mengetahui penyebab terjadinya longsor di lokasi penelitian.
2. Kondisi Geologi Regional Kota Palu

2.1. Geomorfologi Kota Palu


Kondisi Geomorfologi Kota Palu dapat dibagi menjadi 3 satuan geomorfolgi, yaitu:

252
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1. Satuan Geomorfologi Dataran, dengan kenampakan morfologi berupa topografi tidak


teratur, lemah, merupakan wilayah dengan banjir musiman, dasar sungai umumnya
meninggi akibat sedimentasi fluvial. Morfologi ini disusun oleh material utama berupa
alluvial sungaidan pantai. Wilayahtengah kota Palu disominasi oleh satuan
geomorfologi ini.
2. Satuan geoorfologi denudasi dan perbukitan, dengan kenampakan berupa morfologi
bergelombang lemah sampai bergelombang kuat. Wilayah kipas alluvial (alluvial fan)
termasuk dalam satuan morfologi ini. Di wilayah Palu morfologi ini meluas ke
wilayah Palu Timur, Palu utara, membatasi antara wilayah morfologi dataran dengan
morfologi pegunungan.
3. Satuan Geomorfologi Pegunungan Tebing Patahan, merupakan wilayah dengan
elevasi yang lebih tinggi. dengan elevasi yang lebih tinggi. Kenampakkan umum
berupa tebing-tebing terjal dan pelusuran morfologi akibat proses patahan. Arah
pegunungan ini hampir utara-selatan, baik di timur maupun di barat.

2.2. Stratigrafi Regional


Stratigrafi regional Kota Palu, menurut Sukamto, 1973 tersusun oleh granit, granitoid,
kompleks batuan metamorf, formasi Tinombo yang tersusun oleh serpih batupasir,
konglomerat, batuan vulkanik, batugamping dan rijang. Termasuk filit, sabak, dan kuarsit,
Molasa Sulawesi, alluvium dan endapan pantai.
Hasil penelitian pada satu dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa batuan malihan yang
tersebar di Sulawesi secara stratigrafi berumur Kapur bawah sampai Eosen. Dan batuan
sedimen berumur Jura (Sukamto dan Simandjuntak, 1983 dalam Surono, 2013).
a. Komplek batuan Metamorf
Batuan tertua yang dipetakan tersingkap hanya di pematang timur yang merupakan
intinya. Kompleks ini terdiri dari amfibolit, sekis, gneiss, dan pualam.umur batuan
metamorf tidak diketahui, namun mungkin berumur Pra-Tersier. Bower (1947) dalm
Sukamto (1973) berpendapat bahwa sekis yang tersingkap di Sulawesi berumur
Paleozoikum.
b. Formasi Tinombo
Formasi ini tersingkap luas di sepanjang pematang barat hingga timur. Formasi ini
terdiri dari serpih, konglomerat, batupasir, rijang, radiolarian, dan batuan gunung api
yang diendapkan di lingkungan laut.
c. Molasa Sulawesi
Endapan ini berada di sisi lebih rendah dari kedua pematang, menindih secara tidak
selaras Formasi Tinombo dan komplek batuan metamorf, mengandung rombakan dari
formasi-formasi yang lebih tua dan terdiri dari konglomerat, batupasir, batulempung,
batugamping koral,dan napal.
d. Alluvium dan endapan pantai
Diperkirakan berumur holosen yang terdiri dari pasir, lanau, kerikil dan kerakal
dengan ukuran material yang tidak seragam yang masing-masing terbentuk
dilingkungan sungai, delta, dan laut dangkal yangmerupakan sedimen termuda di
daerah ini. Material ini meripakan penyusun utama wilayah lembah Palu (Sukamto,
1973).

253
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

2.3. Struktur geologi regional


Daeerah Palu dan sekitarnya dikontrol oleh sesar utama yaitu sesar Palu-Koro. Sesar ini
berarah utara laut-selatan tenggara. Kota Paludiduga terletak diantara dua segment Sesar
Palu yang mengakibatkan terbentuknya Lembah Palu. Struktur lainnya adalah sesar
Pasangkayu dan pembentukan lembah-lembah (Surono, 2013). Sesar Palu-Koro
merupakan sistem sesar mengiri (Van Bemmelen, 1970) dan Katili (1978) yang
membentuk tinggian dan rendahan seperti lembah Palu, Danau Poso, dan Danau Matano.
Daerah prospek Poboya sendiri berada pada timur margin cekungan besar yang
berhubungan dengan sesar sinistral Palu-Koro yang sistemnya terbentuk pada pertengahan
Neogen Pulau Sulawesi (Kavalieris dkk, 1992).

3. Metode Penelitian
Tahapan penelitian dilakukan dalam 3 tahap yaitu, tahapan persiapan, tahapan pekerjaan
lapangan, dan tahapan analisis.

3.1. Tahapan persiapan


Tahapan ini dilakukan sebelum penelitian langsung dilapangan, diantaranya Studi Pustaka
yaitu mencari data-data sekunder yang dibutuhkan seperti data Peak Ground Acceleration
(PGA) daerah penelitian, persiapan alat dan bahan, menyususn rencana survey dan
pengambilan data dilapangan.

3.2. Tahapan pekerjaan lapangan


Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh data primer pada daerah penelitian yaitu melalui
deskripsi dan pengukuran langsung berbagai objek di lapangan, posisi geografis, survey
geologi, geomorfologi, hidrogeologi, dan geoteknik. Adapun bentuk pengamatan di lapangan
yaitu pengamatan singkapan batuan dan pendeskripsian kondisi geologi, melakukan analisa
GSI lapangan, pengamnilan foto dan pengambilan samwl batuan yang mewakili setiap lereng
yang diamati.

3.3. Tahapan analisis


Pada tahapan ini ada beberapa analisis yang dilakukan di laboratorium maupun secara mandiri
yaitu, melakukan uji sifat fisik batuan, melakukan uji kuat tekan pada sampel batuan dengan
satuan MPa, analisis kimia XRD yang dilakukan di laboratorium, serta analisis slope stability
ratingmerupakan metode yang digunakan untuk klasifikasi lereng longsor. Dalam metode ini
ada beberapa parameter yang menjadi pertimbangan, diantaranya, nilai GSI, nilai UCS, jenis
litologi, rembesan airtanah, nilai PGA daerah penelitian, serta merode ekskavasi yang cocok
pada daerah penelitian. nilai rating yang diberikan oleh SSR dapat dilihat pada Tabel 1.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Kondisi Geologi Daerah Penelitian


Kondisi geologi daerah peelitian terbagi menjadi kondisi geomorfologi, litologi dan struktur
geologi. Untuk kondisi geomorfologi daerah studi terbagi menjadi beberapa satuan morfologi
yaitu morfologi satuan perbukitan berlereng agak curam dengan penyebaran relatif ke arah
Baratlaut-Tenggara. Pelamparan satuan morfologi ini sekitar 15,5% dari seluruh daerah studi.
254
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Kelerangan satuan perbukitan ini berkisar antara 9o – 11o dan ketinggian absolut daerah ini
206 m – 486 m. Satuan perbukitan berlereng agak landai berada pada bagian timur
memanjang ke arah selatan daerah studi,dengan penyebaran relatif ke arah utara dan selatan.
Pelamparan satuan ini sekitar 23,16% dari seluruh daerah studi. Penamaan satuan didasarkan
pada geometri yang berupa perbukitan berlereng agak landai. Kelerengan satuan perbukitan
ini berkisar antara 2o-4o dan ketinggian absolut daerah ini 200 m-265 m sehingga berdasarkan
klasifikasi dari van Zuidam (1985) masuk dalam perbukitan berlereng agak landai dan Satuan
morfologi dataran berada pada bagian Timur memanjang kea rah selatan daerah penelitian,
dengan penyebaran relatif kearah Barat dan Selatan. Pelamparan satuan didasarkan 61,15%
dari seluruh daerah penelitan. Penamaan satuan didasarkan pada pengontrol litologi dominan
yaitu endapan pasir lempungan dan geometri yang berupa dataran.

Kondisi litologi daerah penelitian terdapat 4 satuan batuan di lokasi penelitian yaitu, sekis,
kuarsit, marmer dan batupasir serta terdapat beberapa struktur yang memotong daerah sungai.
Peta geologi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

4.2. Geologi Teknik Daerah Penelitian


Kondisi geologi teknik menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan wilayah
penambangan. Hal ini disebabkan adanya variasi umur batuan dan proses geologi
diperkirakan telah berlangsung dalam waktu geologi yang lama. Besar nilai
UniaxialCompressive Strength (UCS) diperoleh melalui pengukuran di Laboratorium. Ada
tiga kali pengukuran pada setiap stasiun pengamatan. Kemudian nilai dirata-ratakan. Selain
analisis UCS juga ada analisis stabilitas lereng dengan menggunakan Slope Stability Rating
(SSR).
Hasil Uji kuat tekan (Uniaxial Compressive Strength) UCS yang dilakukan di
Laboratorium menunjukan nilai yang bervariasi, diantaranya nilai paling besar adalah pada
litologi kuarsit yaitu sebesar 81,3 MPa (Tabel 2).
Berikutnya data Geological Strength Index yang diperoleh dilapangan. Berdasarkan
modifikasi klasifikasi GSI oleh Sonmez and Ulusay, 2002 dapat dilihat pada Gambar 2.
Hasil dari UCS dan GSI kemudian dikombinasikan dengan parameter lain seperti yang
tertera pada Tabel 1 yang memiliki rating yang berbeda kemudian dijumlahkan dan akan
menghasilkan nilai SSR. Nilai SSR tersebut dihubungkan dengan tinggi lereng dan besar
sudut lereng di lapangan.

4.3. Slope Stability Rating (SSR)


Berikut hasil pengolahan data untuk menentukan nilai SSR dari setiap lerengnya dan
menentukan stabil tidaknya lereng tersebut (Tabel 3). Hasil dari nilai SSR tersebut tampak
bahwa terdapatnya sumber rembesan air tanah (Gambar 3) yang dapat mempengaruhi
stabilitas lereng tersebut. SSR memberikan rating sebesar 39,7 % berdasarkan tinggi muka
airtanah/tinggi lereng x 100%.
SSR memberikan safety slope berdasarkan desain Kurva (Gambar 4) yang dibuat oleh
Taheri dan Tani, 2009. Desain kurva tersebut memuat nilai safety slope, nilai SSR, dan tinggi
lereng.
Selanjutnya dibuat suatu hubungan parameter antara nilai SSR dengan tinggi lereng
berdasarkan besarnya sudut lereng dilapangan, dengan total keseluruhan ada 9 lereng
(Gambar 5).

255
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Berdasarkan Gambar 5, terlihat ada 2 lereng yang dinyatakan failed disebabkan sudut
lereng yang diperoleh di lapangan lebih besar dibandingkan safety slope yang diberikan oleh
SSR, dengan kata lain lereng tersebut tidak stabil. Dengan ketentuan tinggi lereng minimum
25 m.

4.4. Tipe alterasi dan tingkat pelapukan

Tipe alterasi di daerah Poboya menurut Puspita, 2017 termasuk dalam alterasi argilik dan
propilitik. Dalam penelitian ini dilakukan analisis XRD dan Petrografi (Gambar 6) untuk
identifikasi mineral lempung tersebut.

Berdasarkan analisis XRD diperoleh beberapa mineral alterasi yang terdapat di 3 lereng
pada lokasi penelitian yang tertera pada Tabel 4. Dari beberapa macam mineral yang
diperoleh menurut Corbett dan Leach (1997) tipe alterasi di daerah penelitian termasuk dalam
tipe alterasi argilik.
Tipe alterasi argilik yang ditemukan tersebar hampir 50% dari luas keseluruhan daerah
penelitian yang berarah baratdaya-timurlaut. Batuan yang teralterasi yaitu sekis-gneiss dan
marmer. Dengan kenampakan dilapangan dicirikan berwarna cokelat keputih-putihan yang
menunjukkan kaya akan mineral lempung.
Tingkat pelapukan diketahui dengan cara menghitung luas pori dari sampel sayatan tipis
(Gambar 7). Dimana pada salah satu sampel yang dihitung porinya diperoleh 8,705 % (Tabel
5). Secara teori menyebutkan semakin banyak pori yang terdapat dalam suatua batuan maka
tingkat pelapukan batuan tersebut semakin tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa kategori
tingkat pelapukan pada daerah Poboya termasuk dalam tingkatan slightly weathered atau
sedikit lapuk.

5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang ada dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Kondisi geologi daerah penelitian terdiri dari litologi batuan sekis, kuarsit, marmer
dan batu pasir. Struktur yang tersebar di lokasi penelitan terdapat banyak struktur
seperti kekar dan sesar. Hal ini merupakan salah satu yang memicu terjadinya
ketidakstabilan lereng batuan di daerah Poboya.
2. Dari 9 lereng yang ditinjau berdasarkan analisis SSR terdapat 2 lereng yang
mengalami kegagalan yaitu lereng pada lokasi PBY 2 dan PBY 9. Dimana besar sudut
lereng dilapangan lebih kecil dibandingan besar sudut lereng yang ditetapkan oleh
kurva desain SSR yang menurut Taheri dan Tani (2009) lereng tersebut mengalami
kegagalan dan akan terjadi longsor.
Dari hasil XRD terdapat banyak mineral lempung mengindikasikan terjadinya
pelapukan dan tipe alterasi yang tergolong tipe alterasi argilik.

Acknowledgements

Penelitian ini merupakan hasil kerjasama dengan mahasiswa S3 Teknik Sipil Universitas
Gadjah Mada. Akses dan informasi lengkap mengenai paper akan diterbitkan pada Tesis atas
nama Nunik Rezkiarti dan Disertasi atas nama Sriyati Ramadhani. Tesis dan disertasi tersebut
dapat diakses di Perpustakaan UGM selambat-lambatnya pada bulan Desember 2017.

256
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Terima kasih kepada Pembimbing utama Bapak Dr. Wahyu Wilopo, ST., M.Eng dan
pembimbing pendamping Bapak I Gde Budi Indrawan, Ph.D., yang telah membimbing
sampai terselesaikannya makalah ini. Terima kasih juga kepada ibu Sriyati Ramadhani yang
telah memberikan peluang untuk kerjasama dalam hal analisis laboratorium dan lain-lain.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan
selanjutnya. Kritik dan saran bias langsung dikirimkan pada email corresponding author yang
tertera diatas.
Daftar Pustaka

Corbett, GJ., dan Leach, T.M. (1997). Southwest Pacific Rim Gold-Copper System:
Structure,Alteration, and Mineralization. Corbet Geological Services, Sidney.
Katili, J.A. (1978). Past And Present Geotechtonic Position Of Sulawesi, Indonesia,
Techtophysics
Kavalieris, I., Van Leeuwen, Th, M., Wilson, M. (1992). Geological setting and
styles of mineralization, north arm Sulawesi, Indonesia. Journal of Southeast Asian
Earth Sciences
Puspita, R. (2017). Kontrol Geologi dan Karakteristik Mineralisasi Bijih, Alterasi, dan Fluida
Hidrotemal Pada Endapan Emas Epitermal daerah Poboya, Kota Palu, Provinsi
Sulawesi Tengah. Tesis, Program Studi S2 Teknik Geologi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Sonmez, H, Ulusay R (1999) Modification to The Geological Strength Index (GSI) And Their
Application to Stability Of Slopes. Int J Rock Mech Min Sci 36:743-760
Sukamto, R. (1973). Reconnaissance Geologic Map of Palu Area, Sulawesi Geological
Survey of Indonesia. Directorate of Mineral Resources, Geol. Res. Dev. Cen. Bull.,
Bandung.
Surono. (2013). Geologi Sulawesi, LIPI Press. Jakarta.
Taheri, A., Tani, K. (2009). Assesment of the Stability of Rock Slopes by the Slope Stability
Rating Classification System. J.Rock Mech Rock Eng. Springer-Verlag.
Van Bemmelen, R.W. 1949. Tbe geology of Indonesia. General geology Indonesia and
acfjacentarcbipelagoes, lA, 732. Government Printing Office, Martinus Nijhoff, The
Hague.

257
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian

258
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Merupakan nilai pengamatan GSI pada lokasi 1 dengan nilai SCR = 10, SR = 80, dan GSI
=50.

259
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Foto rembesan air tanah pada stasiun pengamatan 1. Kamera menghadap ke barat.

Gambar 4. Desain Kurva Slope Stability Rating (SSR) (Taheri dan Tani, 2009)

260
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Hubungan antara tinggi lereng dan SSR dalam fungsi kemiringan sudut untuk 9 lereng
pada daerah penelitian

Gambar 6. Foto mikrograf sayatan tipis dengan pada stasiun pengamatan 9 dengan litologi kuarsit,
terlihat mineral muskovit, kuarsa, dan kumpulan mineral alterasi

261
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 7. Foto sayatan tipis pada stasiun pengamatan 7 dengan medan pandang 1 sampai 4, litologi
sekis.
Tabel 1. Slope Stability Rating (SSR) rock mass classification system for preliminary evaluation of
slope stability (Taheri and Tani, 2009)

No Parameter Kisaran Nilai


Modifikasi GSI Mengacu pada Gambar 1
1
Rating 0-100
Uniaxial compressive
2 strength (Mpa) 0-10 10-25 25-50 50-100 100-150 150-200
Rating 0 7 18 28 37 43
Group Group Group 3 Group Group 5 Group 6
Jenis Batuan
3 1 2 4
Rating 0 4 9 17 20 25
Waste Poor Normal Smooth Presplitting Natural
Metode ekskavasi lereng
4 damp blasting Blasting blasting Slope
Rating -11 -4 0 6 10 24
Air Tanah (Muka airtanah
80-
dari bawah lereng/tinggi Dry 0-20% 20-40% 40-60% 60-80%
5 100%
lereng x 100)
Rating 0 -1 -3 -6 -14 -18
Kekuatan Gempa 0 0.15 g 0.20 g 0.25 g 0.3 g 0.35 g
6 (Percepatan horizontal)

Rating 0 -11 -15 -19 -22 -26


262
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 2. Nilai uji kuat tekan (UCS)

NO Titik Pengambilan Nilai UCS


Sampel

1 PBY 1 26.3
2 PBY 2 31.3

3 PBY 3 25.3

4 PBY 4 31.5

5 PBY 5 41

6 PBY 6 66.3

7 PBY 7 81.3

8 PBY 8 33

9 PBY 9 73

Tabel 3. Ringkasan data kelerengan di Poboya

Tipe UCS Airtanah Metode Tinggi Sudut Tingkat


No Lereng GSI SSR
Batuan (Mpa) (%) ekskavasi lereng lereng (o) kestabilan
PBY 1a 50 39.7 48 26.3 68 stable
PBY 1b 50 48 35.3
Normal
1 PBY 1c Gneiss 51 26.3 49 24.8
Blasting
PBY 1d 51 49 31.8
PBY 1e 50 48 32
smooth
PBY 2a Sekis 55 31.3 dry 25.2 21 failed
2 blasting 57
PBY 2b 56 57 35.3
PBY 2c 55 56 26.2
PBY 2d 54 55 33.2
PBY 2e 55 56 40.2
Normal
PBY 3a Sekis 61 25.3 dry 39 64 stable
3 Blasting 57.0
PBY 3b 61 57 49
PBY 3c 63 59 40
PBY 3d 61 57 42
PBY 3e 60 56 42.4
Poor
PBY 4a Gneiss 65 31.5 dry 43.6 69 stable
4 blasting 62.0
PBY 4b 65 62 40
PBY 4c 64 61 26.2
PBY 4d 64 61 26
PBY 4e 65 62 25.4
263
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Good
PBY 5a Kuarsit 55 41.0 dry 30.9 63 stable
5 blasting 56.0
PBY 5b 56 57 29
PBY 5c 54 55 28.7
PBY 5d 56 57 29.2
PBY 5e 55 56 30.1
Good
PBY 6a Kuarsit 60 66.3 dry 28 60 stable
6 blasting 71.0
PBY 6b 61 72 28
PBY 6c 60 71 28.5
PBY 6d 60 71 29
PBY 6e 61 72 28.7
Poor
PBY 7a Kuarsit 61 81.3 dry 28.4 59 stable
7 blasting 68.0
PBY 7b 61 68 32.1
PBY 7c 59 66 33
PBY 7d 60 67 43
Poor
PBY 8a Sekis 65 33.0 dry 34 68 stable
8 blasting 62
PBY 8b 64 61 35.2
PBY 8c 65 62 37
Normal
PBY 9a Marmer 55 73.0 dry 31 72 failed
9 Blasting 66
PBY 9b 54 65 35
PBY 9c 54 65 36
PBY 9d 53 64 28

Tabel 4. Mineral hasil uji XRD

Kode sampel PBY 1 PBY 2 PBY3


Kuarsa Kuarsa Kuarsa
Plagioklas Calcite Plagioklas
Corrensite (Mix
Bulk
Muskovit chlorite/smectite) Calcite
Analisis XRD

Calcite Muskovit Corrensite


Kaolinite Plagioklas
Kalsit Corrensite Smektit
Kaolinite Biotit Kuarsa
Clay AD Biotit Kuarsa Halloysite
Kalsit

Kalsit Haloysite Haloysite


Clay EG
Smektit Smektit Biotit

264
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Biotit Halloysite Smektit


Kalsit
Biotit

Tabel 5. Perhitungan Porositas pada stasiun pengamatan 7.

Sayatan Medan Luas Total Luas Pori Persentase Rata-rata Litologi


Pandang sayatan (mm2) (%) (%)
(mm2)

PBY 2 1 7366,32 1105,43 15 8,705 sekis


2 7360,173 390,819 5,3
3 7356,085 629,166 8,55
4 7412,632 442,63 5,97

265

Anda mungkin juga menyukai