Anda di halaman 1dari 45

STANDAR PENATALAKSANAAN BOKS PARU

1. BRONKOPNEMONIA

Dasar diagnosis :
Demam, batuk, sesak nafas, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung, retraksi dinding toraks, suara nafas vesikuler meningkat sampai bronkial, dan
bising tambahan ronkhi basah halus nyaring.

Pengobatan :
 Antibiotika polifragmasi selama 10-15 hari
- Ampicillin 100 mg/kgbb/hari dalam 3-4 dosis
- Klorampenikol dengan dosis :
Umur < 6 bulan : 25-50 mg/kgbb/hari
Umur > 6 bulan : 50-75 mg/kgbb/hari
dosis dibagi dalam 3 dosis
atau Gentamisin dengan dosis 3 – 5 mg/kgb/hari diberikan dalam 2 dosis
 Suportif :
IVFD, oksigen, pembersih jalan nafas
 Bila terjadi impending decompensation cordis :
- Pengurangan cairan samapai ¾ kebutuhan
- Diberikan diuretika dan NaCI distop
- Bila tak teratasi baru diberikan digitalisasi
 Pada penderita bronkopnemonia post morbili :
- sementara mencari aktivitas TBC diberikan INH profilaksis paling sedikit 3
bulan
- bila disertai gejala PCM berat dan klinis defisiensi Vitamin A diberikan Vit A
terapeutik 200.000 IU peroral pada hari I,II kemudian pada minggu kedua dan
dilanjutkan setiap 6 bulan.

2. BRONKIOLITIS AKUT

Dasar diagnosis :
Umur kurang dari 2 tahun, demam subfebris, sesak nafas dengan tanda-tanda
obstruksi saluran nafas, sesak nafas, ekspirasi memanjang dan mungkin terdengar
wheezing ekspirasi.

Pengobatan :
 Antibiotika non alergik sebagai frofilaksis
- Pada saat sesak nafas dapat diberikan klorampenikol IV dan dilanjutkan
dengan pemberian peroral bila sesak berkurang

1
- Bila dapat diberikan peroral langsung diberikan eritromisin 30-50 mg/kgbb
/hari dalam 2-3 dosis
 Suportif :
- Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi edema saluran pernafasan.
Kortikosteroid 15-20 mg/kgbb/hari atau deksametason 0,5 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 3 dosis selama 2-3 hari.
- Cairan dan elektrolit dengan dextrose 5% dan NaCI disesuaikan dengan
kebutuhan berdasarkan umur dan berat badan.
- Oksigen dengan kelembaban yang cukup

3. EMPIEMA TORAKSIS

Dasar diagnosis :
- Panas, batuk sesak nafas, bagian yang terkena tertinggal waktu bernafas,
perkusi redup, bising nafas melemah atau menghilang.
- Toraks foto : adanya perselubungan homogen, sela iga melebar, sinus freniko
kostalis menghilang.
- Pungsi pleura terdapat cairan pus.

Pengobatan :
Prinsipnya adalah mengeluarkan pus sebanyak-banyaknya dengan pemasang WSD
atau multi puncture. Antibiotika diberikan sesuai dengan hasil kultur, sementara
menunggu hasil kultur dapat diberikan :
- Ampicillin-Cloxacillin 200 mg/kgbb/hari
- Gentamisin 3-5 mg/kgbb/hari
Bila dicurigai dan terbukti ada infeksi spesifik, maka pengobatan perlu ditambah
dengan pengobatan spesifik.

4. KERACUNAN MINYAK TANAH

Minyak tanah termasuk golongan senyawa hidrokarbon (HCO). Biasanya gejala akan
timbul bila terminum sebanyak 10 cc atau lebih.

Gejala-gejala :
1. Pada saluran cerna, berupa mual dan muntah
2. Pada saluran pernafasan, berupa batuk-batuk, sesak nafas, sianosis, batuk darah
3. Pada susunan saraf pusat: hipertermia, pusing, penurunan kesadaran sampai koma
4. Pada darah:dapat terjadi pembentukan meth-hemoglobin, sehingga timbul anogsia
5. Kardiomiopatia
6. Renal Toxicity
7. Hepatoxicity

2
Diagnosis :
- Mudah diketahui dengan terciumnya bau minyak tanah.
- Muntah-muntah biasanya telah terjadi sehingga tidak boleh dirangsang lagi
untuk muntah.

Pengelolaan :
- Tidak boleh merangsang muntah dan melakukan bilasan lambung
- Antidotum tidak ada
- Bila terdapat tanda-tanda anoksia oleh karena meth-hemoglobin, dilakukan
transfusi darah.
- Perhatikan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta keadaan
umum penderita.

5. HAMPIR TENGGELAM

Definisi :
Hampir tenggelam : Penderita masih hidup dalam waktu 24 jam pertama setelah
ke- jadian
Mati tenggelam : Penderita meninggal ditempat kejadian / dalam waktu 24 jam
pertama setelah kejadian.
Korban tenggelam di air laut, akan memperlihatkan gambaran klinis berupa :
- Gangguan pernafasan : sesak nafas progresif, sianosis dan edema kegagalan
pernafasan
- Renjatan (syok)
- Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
- Gangguan traktus urinarius : albuminuria samapai gagal ginjal akut.
- Gangguan SSP : kejang-kejang, penurunan kesadaran sampai koma

Penatalaksanaan :
Untuk memudahkan penanganan, korban tenggelam digolongkan kedalam 4
kelompok sebagai berikut
1. Penderita tanpa aspirasi air
2. Penderita dengan gambaran klinis aspirasi, ventilasi adekuat
3. Penderita dengan gambaran klinik aspirasi, ventilasi tidak adekuat
4. Penderita tanpa ventilasi dan henti jantung
Penanganan penderita/korbantenggelam, dapat dimulai dari tempat kejadian, selama
perjalanan/transportasi dan dirumah sakit.

3
A. Di tempat kejadian
Segara bersihkan jalan pernafasan  reosigensi secepatnya dengan memberikan
pernafasan buatan “mouth to mouth”. Bila ada gangguan sirkulasi henti jantung,
dilakukan kompresi jantung luar. Bila pernafasan spontan dan tidak ada gangguan
sirkulasi, dilakukan pengosongan lambung.

B. Di perjalanan
Penderita diselimuti dengan selimut/kain tebal untuk mencegah hipotermia
tindakan resusitasi dilanjutkan, sesuai dengan keadaan korban dan sarana/fasilitas
yang ada.

C. Di rumah sakit
a. Pengobatan emergensi/darurat
Pengobatan pertama dilakukan terhadap oksigensi darah dan perbaikan
sirkulasi.
- Bersihkan orofaring secara manual
- Lakukan pernafasan buatan dari mulut ke mulut “bag to mask”, berikan
oksigen 100%
- Bila pulse tidak ada, lakukan kompresi jantung luar.
- Lakukan intubasi endotrakeal untuk mencegah intermitten clearing airway dan
mencegah muntah.
b. Pengobatan selanjutnya
Bersama dengan tindakan/pengobatan ini, dilakukan pemeriksaan penunjang
laboratorium (darah tepi, analisa gas darah) dan radiologis.
Tindakan pengobatan selanjutnya adalah :
- Bila penderita bernafas spontan, lakukan penghisapan air/lendir
- Memakai intubasi endotrakeal dan diberikan oksigen 100% dengan sungkup
muka dengan IPPV/PEEP/ventilator.
- Bila terdapat henti jantung/tidak ada sirkulasi, dilakukan kompresi jantung
luar.
- Berikan infus dextrose 5% pada penderita tenggelam air laut dan NaCI
fisiologis untuk penderita tenggelam air tawar, bila perlu pemberian darah
segar/plasma
- Pada penderita tenggelam air laut, bila kadar natrium sangat tinggi dilakukan
transfusi tukar.
- Bila penderita tetap koma,10-20 menit setelah tindakan resusitasi, dilakukan
resusitasi otak, misalnya dengan pemberian barbiturat IV.
- Pemberian kortikosteroid setiap 6 jam, tetapi masih kontroversial.
- Koreksi “base-deficit” bila terdapat tanda-tanda gangguan keseimbangan
asam basa dengan bikarbonas natrikus 1-2 m Eq/L/KgBB.
- Berikan obat antibiotika parenteral, misalnya amplisillinsetiap 6-8 jam
- Berikan furosemid parental, sesuai indikasi dan monitor jumlah urin/24 jam.

4
- Fisiotrapi dilakukan setelah penderita kooperatif untuk membantu
pengeluaran cairan aspirasi dan skrat.
- Bila sarana dan fasilitas yang diperlukan kurang memadai, penderita dikirim
ke ICU

5. LARINGITIS AKUT

Dasar diagnosis :
Gejala sama dengan epiglotitis dan laringo-trakeobronkitis (sindroma Croup) tanda-
tanda obstruksi saluran nafas atas, seperti stidor inspirasi, suara serak,sesak nafas
ringan sampai berat, retraksi supra dan infra klavikula. Bila obstruksi hebat, bisa
timbul sianosis, kesadaran menurun, shock dan kejang akibat anoksi serebri. Bila
penyebabnya difteri, akan didapatkan bercak putih kelabu pada tenggorokan yang
sukar dilepas dan mudah berdarah.

Pengobatan :
a. Suportif/simptomatis :
Kortikosteroid untuk mengurangi edema saluran pernafasan.
Bila perlu dilakukan trakeotomi.
Berikan oksigen dengan kelembaban yang cukup dan kebersihan jalan nafas.
Berikan cairan dan elektolit yang sesuai dengan kebutuhan.
b. Kausal
Bila diduga penyebabnya bakteri, diberikan antibiotika sesuai hasil biakan dan tes
resistensi. Sementara menunggu hasil biakan, diberikan golongan penisillin atau
eritromisin.

7. ABSES PARU

Predisposisi :
Adanya aspirasi massa infeksius, misal post tonsilektomi, atau berasal dari pneumoni.
Keadaan ini terjadi bila daya tahan tubuh menurun.

Etiologi :
Sering disebabkan stafilokokus aureus, Klebsiella pneumonia, Bacteroides, Fusiform
bakteri, Streptokokus anaerob.

Klinis :
Demam tinggi, malaise,anareksia, berat badan menurun. Batuk sering disertai dengan
hemoptitis, sedangkan sputum berbau busuk.

5
Sakit dada, biasnya sisertai sesak nafas, retraksi, pergerakan dada bisa
berkurang,perkusi biasanya redup/timpani, suara nafas akan melemah bila abses
belum pecah atau mungkin amforik bila absesnya sudah pecah, ada ronkhi basah bila
abses sudah pecah.

Laboratorium :
Leukositosis biasanya sampai 30.000/mm3, dengan pergeseran kekiri pada hitung
jenis.

Diagnosis :
Ditegakan dengan foto thoraks yaitu adanya kavitas dengan atau tanpa fluid level,
yang sering dikelilingi oleh infiltrat.

Terapi :
- Antibiotika yang tahan terhadap penisilinase, kombinasi ampi-clox dan
gentamisin memberikan hasil yang memuaskan. Sefalosforin generasi ketiga
kadang-kadang sudah cukup. Penisilin/semisintetiknya dan sefalosforin
umumnya sensitif terhadap mikroorganisme anaerob.
- Lama terapi bisa sampai 3-6 minggu
- Postural drainase dengan perkusi dapat membantu mengeluarkan pus
- Fisioterapi

8. PNEUMOTORAKS

Definisi :
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara dalam rongga pleura

Pembagian :
I. Menurut terjadinya
1. Pneumotoraks spontan : bila terjadi dengan sendirinya
2. Pneumotoraks traumatika : bila terjadi karena trauma
II. Menurut derajat kolapsnya
1. Kolaps ringan (Kolap kurang dari 20%)
2. Kolaps berat (Kolap lebih dari 20%)
III. Menurut fistulanya
1. Pneumotoraks tertutup
2. Pneumotoraks terbuka
3. Pneumotoraks Ventil/tension/valvuler

Gejala Klinis :
Rasa nyeri dan tiba-tiba pada sisi toraks yang terkena, yang disusul dengan dispneu
dan dapat sianosis tergantung derajat kolapsnya dan jenis pneumotoraks.
Pada tension pneumotoraks sesak nafas makin hebat dari waktu ke waktu.

6
Pada pemeriksaan fisik, sisi yang terkena didapatkan :
- Tampak hemitoraks yang membesar, pergerakan kurang, sela iga melebar
- Palpasi : stemfremitus melemah
- Perkusi : hipersonor/timpani
- Auskultasi : vesikuler melemah samapai hilang.

Radiologis:
Pemeriksaan radiologis sangat penting, terutama jika pemeriksaan fisik dijumpai
gejala yang minimal. Pemeriksaan foto toraks di ambil pada posisi antero posterior
serta yang lateral, dan terbaik adalah pada saat ekspirasi dalam sehingga dapat
mengetahui sejauh mana bagian paru yang mengalami kolaps. Secara radiologis pada
pneumotoraks didapatkan adanya gambaran radioluscent tanpa disertai adanya
corakan paru.

Diagnosa :
Ditegaskan secara klinis dan dipastikan secara radiologis.

Penatalaksanaan :
Tergantung pada :
- Jenis pneumotoraks
- Pertama kali/residif
- Besarnya kolaps
- Ada komplikasi/tidak
Semua penderita harus dirawat karena setiap saat timbul komplikasi.

Pneumotoraks tertutup
- Jika paru yang kolaps <20% dan tanpa komplikasi, sebaiknya konservatif dan
observasi dengan ketat. Umumnya resorbsi udara, dan paru-paru akan
mengembang kembali setiap hari 1,25% dari total volume hemitoraks.
Diberikan sedatif untuk menenangkan penderita dan kodein untuk mencegah
batuk serta oksigen.
- Jika paru yang kolaps >20% ada komplikasi diperlukan pemasangan WSD

Pneumotoraks terbuka
- Diusahakan menutup lobangnya dan pemasangan WSD untuk mengusahakan
supaya paru-paru jangan kolaps dan diadakan penghisapan terus menerus.

Pneumotoraks ventil
Dilakukan kontra ventil, baik berupa tusukan jarum maupun WSD.
Aspirasi/WSD dapat dilakukan diruang interkosta 2/3 pada linea mid klavikularis.
Bila gelembung-gelembung udara tidak ada lagi dari WSD , maka 12-18 jam
kemudian dilakukan foto toraks untuk melihat pengembangan paru.

7
Bila lambat sebaiknya dilakukan pengisapan terus menerus. Jika 5-6 hari masih
keluar udara (berarti fistula masih terbuka) harus dilakukan torakostomi untuk
menutup fistulanya. Beberapa usaha untuk mempercepat pengembangan paru, dapat
dilakukan apa bila fistelnya telah tertutup, usaha-usaha tersebut dapat meliputi :
- Mobilisasi penderita secepat mungkin dengan cara berjalan-jalan dengan
menjinjing botol WSD.
- Meniup balon-balon karet dalam usaha mengembangkan paru seoptimal
mungkin.
- Latihan pernafasan oleh fisio terapis
- Memakai pompa pengisap terus menerus dengan tekanan negatif rendah yaitu
antara 10-25 cm H2O.
-

9. PERTUSIS

Dasar diagnosis:
Batuk-batuk panjang di akhiri dengan “Whoop” pada inspirasi.
Laboratorium : leukositosis dengan limfositosis absolut.
Diagnosa pasti ditemukannya Bordetella pertusis pada sputum atau swab
tenggorokan.

Pengobatan :
Antibiotika eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis diberikan selama 3
minggu. Kodein 1 mg/tahun, 3 kali sehari yang diberikan bila batuk-batuk yang hebat
tanda adanya komplikasi baru.
Obat-obatan simptomatik diberikan sampai gejala-gejala spasmodik menghilang.

10. KERACUNAN ALKOHOL


Golongan alkohol sering menyebabkan keracunan termasuk metil alkohol dan etil
alkohol.

a. Metil alkohol
Biasanya gejala akan timbul bila terminum sebanyak 300 ml atau lebih. Gejala
yang timbul berupa depresi susunan saraf pusat. Pada level 0,05-0,15%, terjadi
inkoordinasi otot yang ringan, gangguan penglihatan dan reaksi yang lambat.
Pada level 0,15-0,3%, bicara kacau, gangguan penglihatan, inkoordinasi otot dan
kehilangan sensori.

Penatalaksanaan :
- Rangsang muntah
- Bilas lambung
- Mencegah asidosis, dengan pemberian bikarbonas natrikus oral setiap 1-2 jam

8
- Untuk merangsang susunan saraf pusat diberikan caffein 8 mg/kgbb/kali
secara intravena, subkutan intramuskuler, bila perlu dapat diulang setiap 4
jam. Dapat juga diberikan kopi tubruk.

b. Etil alkohol
Gejala keracunan akan timbul bila terminum sebanyak 75 ml atau lebih.
Gejala : - Etil alkohol memberikan gejala yang sama dengan metil alkohol Karena
metabolisme dan ekskresinya lambat maka gejala toksisnya lebih hebat.
- Asidosis berat oleh kerana produk metabolisme asam folat.
- Kerusakan retina dan Noptikus dapat menyebabkan kebutaan permanen.

Penatalaksanaan :
- Sama dengan metil alkohol
- Pencegahan/koreksi asidosis, dapat diberikan bikarbonas natrikus 4 meq/kgbb
intravena, dapat diulang setiap 4 jam
- Etil alkohol 0,75 ml/kgbb initial, kemudian 0,5 ml/kgbb setiap 4 jam selama 4
hari, secara intravena atau oral.
- Pada kasus berat mungkin diperlukan dialisis.

11. EMFISEMA SUBCUTIS


Adalah suatu keadaan dimana udara bebas dapat masuk kejaringan subkutis. Biasanya
merupakan komplikasi dari suatu keadaan, seperti fraktur orbita, trauma pada leher
dan toraks,atau dapat juga terjadi secara spontan.

Etiologi :
Sebagai komplikasi dari :
1. Trakeostomi
2. Ulkus yang dalam didaerah faring
3. Perforasi trakea atau laring.
4. Luka pada esofagus
5. Torakosintesis
6. Luka yang terkontaminasi bakteri yang membentuk gas
7. Infeksi jaringan paru
8. Dapat terjadi secara spontan

Gejala Klinik :
Pada perabaan didapati krepitasi bawah kulit, teraba adanya nodul fluktuasi kecil
yang bergerak bebas bila jaringan ditekan.

Diagnosa: - Krepitasi dibawah kulit, baik dengan perabaan dan auskultasi.


- Adanya nodul dibawah kulit yang bergerak bebas bila ditekan

9
Penatalaksanaan :
- Dilakukan insisi multipel
- Istirahat total
- Menghilangkan faktor penyebab.

12. TUBERKULOSIS

Dasar diagnosis :
Diagnosis dapat ditegakkan bila didapatkan 2 tanda bintang.
Pada institusi dengan fasilitas lengkap, diagnosis harus ditelusuri lebih lenjut.
* Kontak erat dengan penderita TBC terbuka
 Sering demam + berkeringat malam hari + Anoreksia dan gangguan
gizi selama 3 bulan terakhir dan BB turun dengan cepat.
 BCG  > 3-7 hari (+) >5 mm
 Mantoux test  > 10 –15 mm
 Scrofuloderma
 Konjungtivitis pliktenularis
 Spondilitis/ Coxitis
- Pembesaran kelenjar lymphe superfisial terutama leher
- Irritable
- Adanya cairan dalam pleura atau pericard
- Diare peristen > 14 hari tidak sembuh sendiri dengan terapi konvensional
- Laboratorium rutin/ konvensional  LED 
- Rontgen :
- Infiltrat
- Pembesaran kel. lymphe  tidak khas
- Milier TBC paru
- Infiltrat endobronkial hebat
- Efusi pleura  serosa

Diagnosa TBC berat :


- Spndilitis/Coxitis
- Meningitis
- Pleuritis
- Peritonitis
- Perikarditis
- Milier TBC paru
- Endobronkial TBC

10
Pengobatan :
Dipakai cara DOTS (Direcly Observe Treatment Short Course)
H (INH)
R (Rifampisin)
Z (Pirazinamid)

Dosis
H : 5-10 mg/kgbb maximum 300 mg
R : 10 mg/kgbb diberikan 1 jam sebelum makan
Z : 20-30 mg/kgbb maximum 2 g/hari
Untuk TBC berat dapat diberikan obat 4 macam seperti berikut :
E : (Etambutol) dosis 10-15 mg/kgbb atau
S : (Streptomisin) dosis 20-50 mg/kgbb maximum 750 mg

Perhatian :
1. Perhatikan terhadap perbaikan gizi
2. Diberikan prednison untuk anak umur > 3 bulan dengan TBC milier atau TBC
serosa selama 1-3 bulan

Monitoring :
1. Teratur selama 2 bulan, klinis kurang maju  lanjutkan maintenance,
evaluasi.
2. Tidak teratur dalam 1 bulan ulang  ulang awal
Tidak teratur sertelah 1 bulan initial  tergantung klinis
3. Initial 2 bulan teratur  klinis baik, kemudian drop out  lanjutkan
maintenance dan evaluasi

Propilaksis terutama balita :


1. Kontak (-) dengan penderita TBC terbuka, lain-lain (-) : 5-10 mg/kgbb,
evaluasi selama 3 bulan
2. Kontak (-) evaluasi aktivitas TBC
3. Ibu Tbc, BTA (-), lain-lain (-) H:5-10 mg/kgbb selama 6 bulan
4. Pernah menderita TBC aktiv  sembuh :
- Menderita infeksi berat (morbili, pertutis) H selama 4 bulan.
- Dapat imunosupresif > 7 hari  sampai pengobatan selesai.
- Imunisasi penyakit asal virus : H 5-10 mg/kgbb selama 1 bulan
.

11
13. HEPATITIS KARENA OAT

Dasar diagnosis :
Anamnesis : adanya riwayat sedang mendapat terapi tuberkulostatika
Pemeriksaan Fisik : ikterus, hepatomegali dan nyeri tekan.
Laboratorium : Uji faal hati : SGOT, SGPT. Bilirubin I dan II, alkali fosfatase
pemeriksaan serologis virus hepatitis.

Penatalaksanaan :
1. Jika kadar SGOT atau SGPT meningkat kurang dari 5 (Lima) kali lipat, maka
dosis OAT diturunkan menjadi setengahnya. Setiap minggu dikontrol kadar
SGOT, dan SGPT. Bila nilainya normal, maka dosis dinaikan sampai mencapai
dosis yang dikehendaki.
2. Jika kadar SGOT atau SGPT meningkat naik dari 5 (Lima) kali, maka pemberian
OAT dihentikan. Tiap minggu kontrol SGOT dan SGPT. Bila nilainya normal,
maka OAT diberikan setengah dosis dan dinaikan perlahan sampai dosis yang
dikehendaki. Bila ternyata SGOT dan SGPT meningkat lagi lebih dari normal,
OAT diganti dengan yang tidak hepatotoksik.

14. MENINGITIS SEROSA

Dasar Diagnosis :
Gejala TBC pada umumnya dan gejala meningitis.

Pengobatan :
Sama seperti diatas, paling sedikit 3 obat dengan jangka waktu yang lama

Tindak lanjut :
- Pencegahan tehadap decubitus, pengulangan LP dan LED setiap bulan.
- Fisio terapi dilakukan secepat mungkin baik pasif maupun aktif.
Penderita dipulangkan setelah terapi steroid selesai, dan LCS normal dalam 2 kali
pemeriksaan dengan jarak 1 minggu. Diagnostik aseptic meningitis ditegakkan pada
penderita yang diduga semula meningitis serosa apabila keadaan cepat membaik dan
sembuh dalam waktu 2 minggu, pengobatan spesifik dihentikan dan penderita
dipulangkan.

12
15. SCHWARTE

Definisi :
Schwarte adalah suatu keadaan penebalan lapisan pleura, yang diakibatkan efusi
pleura yang sudah mengalami resorbsi.

Etiologi :
Biasanya disebabkan oleh infeksi pleura yang tidak sembuh sempurna (bisa pleuritis
tuberkulositas atau empiema).

Gejala klinis :
- Sesak nafas
- Thoraks asimetris, stem fremitus, suara nafas melemah, Fleura friction rub (+)

Diagnosis :
Ditegakkan secara klinis dan dipastikan secara radiologis serta pemeriksaan CT Scan.

Operasi thoraks :
1. Non reseksi
- Pulmonary detachment
- Dekortikasi
- Torakoplasti
- Plombage
- Kovernoplasti
2. Reseksi
- Segmentektomi
- Pleuro-lobektomi
- Pleuro- pneumektomi

Toleransi operasi :
Tergantung faal paru :
1. Absolut aman : VC >70%
FEVI > 70%
2. Relatif aman : VC > 40%
FEVI > 50%
3. Tidak aman : VC > 40%
FEVI > 50%
4. Indeksi respirasi : VC x FEVI = 2.000

Timing operasi
- Paru yang dioperasi tenang
- Bronkus tidak ada peradangan

13
- Obat-obat anti TBC ada yang sensitif

16. BRONKIEKTASIS
Adalah dilatasi dari bronkus yang disebabkan oleh karena destruksi bronkus dan
jaringan peribronkial karena radang.
Secara anatomi dibedakan 3 bentuk :
1. Bentuk silindrik
2. Bentuk fusiform
3. bentuk sakuler (kistik)

Etiologi :
1. Bronkiektasis bawaan : oleh karena maldevelopment dari cincin tulang rawan
bronkus
2. Bronkiektasis didapat : baisanya disebabkan adanya obstruksi dari lumen bronkus
yang disertai infeksi yang menyebabkan destruksi bronkus dan jaringan
peribronkial, sehingga menyebabkan dilatasi bronkus.

Dasar Diagnosis :
- Adanya gejala batuk-batuk dengan sputum mucopurulent yang banyak
(Sputum tiga lapis ) terutama pada pagi hari.
- Adanya riwayat infeksi saluran nafas bawah yang berulang, yang berlangsung
lama, sukar diobati dan dicegah.
- Kadang-kadang terdapat demam, anoreksia, iritabel berat badan anak turun,
pada keadaan lanjut terutama pada waktu eksaserbasi akut, dapat terjadi
hemoptoe.
- Pada bronkiektasis yang berlangsung lama, dpat ditemukan deformitas dari
dinding dada berupa adanya sulcus Harison setelah iga yang ketiga, adanya
bentuk dinding dada yang melengkung, adanya clubbing finger, pada pemeriksaan
fisik paru, pada perkusi dapat dijumpai daerah yang redup pada auskultasi
terdapat bermacam-macam rokhi basah dan kering.

Gambaran Radiologis :
Tidak spesifik, dapat dipikirkan bronkiektasis bila ditemukan gambaran :
1. Penekanan segmental dan hilangnya ketajaman dari corakan paru
2. Hilang atau berkurangnya volume paru yang dimanifestasikan oleh kacaunya
corakan paru.
3. Didapatkan kista lebih dari 2 cm, kadang-kadang dengan air fluid level.
4. Pada kasus berat didipatkan gambaran sarang tawon (honey comb
appearance).
5. Hiperinflasi kompensasi dari paru yang lain.
Penemuan lain didapatkan gambaran Tram-track sign, yaitu adanya corakan linear
paralel yang menunjukan penebalan dinding bronkus dipandang dari dimensi
longitudinal bila dilihat dari potongan melintang tampak sirkuler. Bronchoscopy,

14
penting dilakukan untuk memastikan diagnose dan menentukan luasnya
bronkiektasis.

Pengobatan :
Ada 2 cara :
- Konservatif :
 Menghilangkan fokus infeksi dengan pemberian antibiotika bila ada eksaserbasi
akut selama 7 hari paling lama 2 minggu.
 Postural drainage
- Operatif : bila terapi konservatif tidak berhasil
 Terutama pada bronkiektasis yang luas dengan hemoptoe berulang
 Bronkiektasis sakular yang tebatas pada lobus dan segment
 Adanya aspirasi benda asing
 Operasi sebaiknya diatas usia 6 tahun

17. ASMA BRONKIAL

Dasar Diagnosis :
Batuk, dan sesak nafas yang paroksimal, dengan atau tidak ada faktor pencetus dan
ada atau tidak ada gejala atopi dalam keluarga ekspirasi memanjang dan wheezing
ekspirasi.

Penatalaksanaan :
- Mencari dan menghindari faktor pencetus, untuk diperlukan kerjasama dengan
orang tua penderita.
- Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk mempertahankan sel-
sel mediator tidak pecah. Obat-obatan yang dipakai adalah sodium
kromoglikat dan ketotifen. Bila serangan diduga diakibatkan faktor alergi dan
serangan terjadi lebih dari 3 kali dalam sebulan diberikan ketotifen dosis
0,025 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis diberikan selama 6 bulan atau lebih.
- Pengelolahana serangan akut/status asmatikus :
Berikan ventolin nebulizer (0,5- 1 ampul)

Serangan ringan (1x nebulisasi)  pulang dengan obat oral (Pulvus asma)

Serangan sedang (2-3x neb)  rawat sehari  oksigen, steroid oral


Tiap 2 jam nebulisasi
Nilai 8-12 jam bila perbaikan pulang
Bila gagal  rawat bangsal  pasang IVFD

15
Serangan berat (3x nebulisasi)  gagal  status asmatikus  rawat bangsal
IVFD, steroid IV tiap 6-8 jam
Aminovilin IV 1/3 bolus
2/3 drip
Nebulisasi tiap 4-6 jam
Klinis stabil pulang diberi pulvus asma oral

Dosis Aminophillin 15-20 mg/kgbb/hari


5 mg iv pelan  10 mg drip sesuaikan kebutuhan cairan perhari.

16
17
18. LIMFADENOPATI

Batasan :
Kelenjar getah bening dikatakan membesar (limfadenopati ) bila garis tengah
terpanjangnya lebih besar dari pada 10 mm. Ada dua pengecualian yaitu kelenjar
epitrokleas lebih besar dari pada 15 mm dianggap abnormal, untuk kelenjar
selangkangan lebih besar dari pada 15 mm baru dianggap normal. Sedangkan
limfadenopati supraklavikula, iliaka dan poplitea , harus dianggap abnormal.

Epidemiologi
Angka kejadian limfadenopati tidak diketahui dengan pasti, tetapi limfadenopati
merupakan masalah klinik yang sangat umum dijumpai pada anak. Namun sebagian
besar merupakan penyakit yang sangat umum dijumpai pada anak. Namun sebagian
besar merupakan penyakit ringan dan dapat sembuh sendiri (self limited), karena
penyebabnya secara umum adalah infeksi virus atau bakteri yang juga dapat sembuh
sendiri.

Dibedakan menjadi dua:


1. Umum: bila terjadi pada dua atau lebih daerah kelenjar getah bening yang
tidak berhubungan, hampir selalu menunjukkan adanya proses atau proses
sistemik.
2. Setempat: bila hanya terjadi pada satu daerah kelenjar getah bening.

a. Limfadenopati servikal
- Penyebab tersering: infeksi virus seperti mononukleus infeksiosa, adenovirus,
herpes virus, coxackievirus dan CMV.
- Penyebab infeksi bakteri biasanya Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes dan Streptococcus hemolyticus grup A, Mycobacterium
tuberculosis.
- Penyakit akibat cakaran kucing (cat scratch) yang disebabkan Bortonella
henselae.

b. Limfadenopati submaksilar dan submental


- Biasanya disebabkan infeksi setempat: faringitis, ginggivostomatitis herpetika
dan abses gigi.
c. Limfadenopati oksipital
- Dapat teraba pada sekitar 5% anak sehat

- Dapat disebabkan oleh tinea kapitis, dermatitis seboroik, ginggitan serangga,


selulitis orbitalis, pedikulosis, rubeola dan roseola infantum.

18
d. Limfadenopati preaurikuler
- Biasanya oleh karena konjungtivitas berat, ulkus kornea, udem mata, infeksi
Chlamydia trachomatis
e. Limadenopati supraklavikular
- Kiri: perlu diwaspadai penyebabnya keganasan yang berasal dari daerah
abdomen karena jalur drainasenya.
- Kanan: adanya proses dalam rongga thoraks.
- Penyebab lain: tuberkulosis, histoplasmosis, dan koksidioidomikosis.
f. limfadenopati aksila
- Penyebab yang umum: penyakit cakaran kucing
- Penyebab yang lain : infeksi / iritasi kulit setempat, suntikan BCG pada
sisiyang sama , brucellosis, artritis rematoid juvenil, limfoma non-hodgin.
g. Limfadenopati iliaka dan selangkangan
- Penyebab: Infeksi, gigitan serangga da ruam popok

Etiologi :
1. Infeksi
-Sistemik: Mononukleosis infeksiosa, rosella infantum, CMV, varisella,
adenovirus, HIV
-Bakteri: Demam tifoid, sifilis , pes dan tuberkulosis, endokarditis.
2. Penyakit autoimun
3. Keganasan: Leukemia akut (70% pada LLA, 30% pada MLA ) limfoma
maligna
4. Histiositosis
5 Penyakit timbunan ( storage disease)
- Penyakit Nieman-Pick, Sfingomielin dan berbagai lemak lain bertimbun
di hati, kelenjar getah bening dan susunan saraf pusat
- Penyakit Gaucher: penimbunan glukosilseramid menyebabkan
pembengkakan limpa dan kelenjar getah bening ( sickle-cell)
6.. Reaksi obat: fenitoin, mefenitoin, pirimetamin, fenilbutason, alopurinol dan
isoniazid

19
Obat yang dapat menyebabkan limfadenopati
Allopurinol ( Zyloprim)
Atenolol ( Tenormin)
Captopril ( Capozide)
Carbamazepin ( Tegretol)
Cephalosporins
Gold
Hidralazin
Penicillin
Phenytoin( dilantin)
Primidone ( Mysoline)
Pyrimethamin( Daraprim)
Quinidine
Sulfonamide
Sulindac ( Clinoril)

20
Algoritme pasien dengan limfadenopati

History/physical examination

Diagnostic Suggestive Unexplained

(e.g. pharyngitis, (e.g. mononucleosis,


Conjungtivitis, upper syphilis, lymphoma,
respiratory tract HIV)
infection, tinea, focal
infection, cat
scratch disease)
Spesific testing (see table 4) Negative

Treat condition Positive Generalized (see Table 4) Localized

Review epidemiologic clues Review history,


regional examination
and epidemiology clues

Review medications

No risk for Risk for


Positif CBC with manual differential malignancy of
malignancy of
mononucleosis serology serious illness serious
illness

Diagnostic Negative Observe patient Biopsy


For 3 to 4 weeks

Positive PPD, RPR, chest radiograph, Resolves or No


ANA, HbsAg, HIV improves

Negative Yes

21
Biopsy of most Follow patient
abnormal node

19. FLU BURUNG

Definisi :
Flu burung adalah suatu penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh virus
dan dapat menular pada manusia.

Etiologi :
Virus influenza tipe A (avian influenza) subtype H5N1 atau sering disebut virus
A(H2N1) yang digolongkan ke dalam Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI).

Gejala klinis : (paduan WHO)


Demam tinggi (>38°C), batuk, pilek, dengan atau tanpa sesak nafas disertai
salah satu atau lebih keadaan berikut :
1. Dalam seminggu terakhir ada riwayat kontak dengan pasien avian influenza
yang terkontaminasi
2.Dalam seminggu terakhir kontak atau mengunjungi peternakan yang dilanda
wabah avian influenza unggas
3.Dalam seminggu terakhir mempunyai riwayat bekerja di laboratorium yang
memproses spesimen manusia atau hewan yang dicurigaimenderita avian
influenza

Klasifikasi Pasien :
1. Kasus observasi : Demam tinggi (>38°C), batuk, Madang tenggorokan atau
sesak nafas yang pemeriksaan klinis dan laboratoriumnya sedang
berlangsung.
2. Kasus tersangka (suspect case) : kasus observasi dan salah satu di bawah ini
:
- hasil tes laboratorium positif untuk virus influenza A tanpa mengetahui
subtipenya
- kontak 1 minggu sebelum timbal gejala dengan pasien flu burung yang
confirm
- kontak 1 minggu sebelum timbal gejala dengan unggas yang mati karena
sakit
- bekerja di laboratorium 1 minggu sebelum timbul gejala yang
memproses sampel dari orang atau binatang yang disangka terinfeksi
Hightly Pathogenic avian Influenza (HPAI)
3. Kasus kemungkinan (probable case) : kasus tersangka dan hasil
laboratorium

22
tertentu positif untuk virus influenza A (H5N1) seperti tes antibody
spesifik pada 1 spesimen serum

4. Kasus terbukti (confirmed case) : kasus tersangka yang menunjukkan


salah satu positif dari berikut :
- hasil biakan virus positif influenza A (H5N1) atau
- hasil dengan pemeriksan PCR positif untuk influenza H5 atau
- peningkatan titer anatibody spesifik H5 sebesar >4x
- hasil dengan IFA positif untuk antugen H5

Diagnosis :
- Ditegakkan secara klinis
- Kelainan laboratorium : lekopeni, limfopenia dan trombositopenia.
Beberapa kasus mengalami gangguan ginjal berupa peningkatannilai
ureum dan kreatinin.
- Kelainan radiologist toraks berlangsung sangat progresif sesuai dengan
manifestasi klinis tetapi tidak ada gambaran yang khas. Kelainan foto
toraks bisa berupa infiltrat bilateral luas, infiltrate difus, multifokal atau
tersebar (patchy), atau dapat berupa kolaps lobar.
- Dipastikan dengan biakan virus avian influenza. Pemeriksaan lain yang
definitive adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan lain berupa
imunofluoresen menggunaka H5N1 antibodi monoclonal, serta uji
serologi menggunakan cara ELISA dan IFAT untuk mendeteksi antibodi
spesifik.

Tatalaksana :
1. Beberapa obat antiviral : ribavirin, amantadine, rimantadine, zanamivir
dan oseltamivir
2. Untuk kasus yang berat berupa pneumonia perlu perawat rumah sakit dan
tatalaksana pneumonia pada umumnya.
3. Bila suatu kasus dicurigai sebagai avian influenza maka sejak awal
tindakan
Pencegahan penyebaran infeksi harus sesuai universal precautions
standard,
selama perawatan, saat pemulangan pasien yang selamat, penanganan
jenazah pasien yang meninggal karena avian influenza.
4. Amantadin diberikan pada awal infeksi,sedapat mungkin dalam waktu 48
jam
pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kgbb per hari dibagi dalam 2
dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari.

23
ALERGI MAKANAN

1. Batasan
Adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, berupa reaksi imunologik
yang menyimpang yang merupakan kombinasi keempat tipe hipersensitivitas
menurut Gell dan Comb’s.

2. Etiologi
Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu:
 Faktor genetik
Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan terjadinya alergi 17-29%.
Bila kedua orang tuanya atopi kemungkinan alergi 53-58%. Anak dengan HLA-
BB cenderung mendapat alergi.
 Faktor Imaturitas usus
-Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen kedalam tubuh
-Secara kimiawi:asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
alergen
-Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan limposit pada lamina
propia dapat menangkal alergen masuk kedalam tubuh.
 Pajanan alergen
-dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan
-pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi
-eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3 bulan pertama
mengurangi sensitivitas selam 3 bulan berikutnya dan menurunkan dermatitis
atopik 6 bulan berikutnya.
-pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma kehidupan setempat
-faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya
gejala alergi, dapat berupa faktor fisik, faktor psikis atau beban latihan

3. Patofisiologi
Makan→ pajanan alergen→gangguan integritas mukosa usus→absorpsi molekul
alergen (protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul >18.000 dalton,
tahan panas, tahan enzim proteolitik)→ pada orang yang sensitif→reaksi alergi yang
muncul dapat berupa saatu atau lebih reaksi.
Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat
Reaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu:

24
1. reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
2. reaksi hipersensitivitas tipe II
3. reaksi hipersensitivitas tipe III
4. reaksi hipersensitivitas tipe IV
4.Manifestasi klinik
Bervariasi berdasarkan target organ:
o Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring,
sembab tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung,
mencret, perdarahan usus, protein- losing enteropathy.
o Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk
kronik berulang
o Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atu dermatitis atopik
o Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, berupa:
-anafilaksis yang diinduksi makanan
-anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan (food
dependent exercise induced anaphylaxis gejala anafilaksis timbul
setelah makan suatu alergen dan kemudian diikuti latihan fisik.
5. Prognosis
o Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan
o Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80% organ sasaran
akan berpindah, manifestasi alergi berubah menjadi rinitis alergika dan asma
o Alergi makanan yang mulai timbul pada usia 3 tahun, prognosisnya lebih baik
40% mengalami grow-out
o Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun keatas cenderung untuk
menetap.

6. Komplikasi
o Failure to thrive
o Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

7. Diagnosis
Dasar diagnosis
o Diagnosis alergi makanan adalah diagnosis klinis yang dibuktikan
dengan eleminasi dan provokasi makanan
o Makanan tersangka dieleminasi selama 2-3 minggu→jika gejala hilang
atau berkurang, dilakukan provokasi makanan yang dicurigai:
-jika makanan berupa cairan/makanan lunak dapat diberikan bersama
dengan cairan juice (air jeruk) atau disembunyikan dalam bubur
-jika anak usia > 6 tahun, maka bahan makanan dihaluskan jadi
bubur→ masukkan dalam kapsul (dosis kecil 50 mg, dinaikkan tiap-
tiap 30 menit, jika tidak ada gejala setelah dosis 8 gram berarti

25
makanan tersebut bukan alergen penyebab. Provokasi tidak dilakukan
jika gejala yang timbul anafilaksis dan edema laring.

o Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:


-uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik intra dermal
(intra dermal test), dan uji tusuk (prick test)
-darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi. Jika leukosit <
5000/ml disertai neutropenia<30% sering ditemukan pada alergi makanan.
-hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada susu sapi
-pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas indikasi saja
Langkah diagnosis
 Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik
 Eliminasi dan provokasi makanan yang dicurigai

Indikasi rawat:
Gejala berat seperti edema laring, reaksi gastrointestinal yang berat dan
anafilaksis.

8. Penatalaksanaan
 Menghentikan makanan penyebab dan memberikan makanan pengganti. Pada
bayi/anak yang masih mendapat ASI, ibunya jangan mengkonsumsi makanan
yang alergenik.
 Pengobatan simptomatis  ditujukan pada manifestasi klinisnya (urtikaria,
diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)
- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin peroral, dipakai
hidroksizin dosis 1 mg/kgbb 2 kali sehari, atau dipenhidramin 1 mg/kgBB 4
kali sehari.
- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti angioedema , mula-
mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin) larutan 1:1000 dengan dosis 0,01
cc/kgBB subkutan (max. 0,3 cc). Jika perlu diulang sampai 2 kali selang 15
menit, kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.
- Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid, dosis 1-2
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Jika klinis telah membaik ditapering secara
sepat, biasanya 3 hari.
- Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti teofilin,
salbutamol)  SP asma bronkial.
- Anafilaksis :

26
 Penatalaksanaan penderita anafilaksis : Penderita dibaringkan terlentang,
kepala dalam posisi ekstensi , jika perlu oksigen. Beri adrenalin 1:1000,
dosis 0,01 cc/kgBB/kali IM
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan (Gudel) atau
trakeostomi. Tanda-tanda vital dimonitor terus (TD, Nadi, RR).
 Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah) pasang IVFD
dengan Ringer laktat atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%, dikocor
 Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4 mg/kgBB IV
(pelan-pelan, diencerkan dulu).
 Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat diberi
hodrokortison 7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5 mg/kgBB (tiap 6 jam I.V).
 Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang terjadi  jika perlu
dirawat di ICU.
9. Tindak lanjut
 Menghindari makanan penyebab
 Pada anak yang mendapat alergi makanan sebaiknya dicobakan lagi, karena
kemungkinan mengalami grow out dengan bertambahnya usia.

ARTRITIS REUMATOID JUVENIL

1. Batasan
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit reumatik
yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.

2. Etiologi
Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor etiologi berperan
dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi, autoimun, trauma, stres dan
faktor imunogenetik.

3. Patogenesis
Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis penyakit kompleks
imun dari penyakit autoimun: autoantigen (agregat IgG dan antigen sinovia) 
pengaruh beberapa rangsangan (faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel T
supresor, reaksi silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus)  akan
memproduksi autoantibodi

 Kelainan tahap awal


Belum jelas, telah diidentifikasi kerusakan mikrovaskuler dan proliferasi sel
sinovia  edema sinovium dan proliferasi sel sinovia  mengisi rongga sendi,
tahap awal predominan sel PMN  didominasi sel limfosit, makrofag dan sel
plasma  produksi IgG, sedikit IgM (IgM anti IgG = Faktor reumatoid).

27
Reaksi autoantigen-antibodi  kompleks imun  aktivitas sistem komplemen
 terjadi pelepasan biologik aktif  terjadi reaksi inflamasi. Aktivitas sistem
imun selular  aktivitas mediator limfokin  reaksi inflamasi. Reaksi
inflamasi  disertai proliferasi dan kerusakan jaringan sinovia.

 Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan respon
imun selular  karakteristik artritis rematoid kronik, adanya kerusakan tulang
rawan, ligamen, tendo dan kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh
produk enzim dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem imun
selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan berbagai macam
sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta plasminogen yang akan
mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-bradikinin. Produk-produk ini akan
menimbulkan reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan.

4. Bentuk Klinis
 Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada
sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki dan
siku.
 Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai
sendi besar) terutama didaerah tungkai.
 Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal atau
ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih  muncul artritis. Biasanya disertai
kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral
(hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).

5. Komplikasi
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis
 Komplikasi akibat pengobatan steroid
 Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis sekunder
 Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti angkilosis, luksasi atau fraktur.

6. Prognosis
 70-90% sembuh tanpa kecacatan. 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.
 Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.
 Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai
uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid
dan faktor reumatoid positif.
 Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal ginjal
akibat amilodosis serta infeksi.

28
7. Diagnosis
Dasar Diagnosis
Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat eritem. Secara
klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi gerakan
sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pada anak kecil
yang lebih menonjol adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.
Dipakai kriteria diagnosis menurut American Rheumatis Association (ARA),yaitu
 Usia penderita kurang dari 16 tahun
 Artritis pada satu sendi atau lebih
 Lama sakit lebih dari 6 minggu
 Tipe onset penyakit :
- Poliartritis (> 4 sendi)
- Oligoartritis (< 4 sendi)
- Sistemik
 Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.
Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada pagi hari, ruam
reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal,
nodul reumatoid, tenosinovitis. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
antibodi antinuklear(ANA), faktor reumatoid (RF), serta peningkatan titer
komplemen C3 dan C4.

Langkah Diagnosis :
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ semata-mata
berdasarkan klinis.
 Pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk mendukung/ menyingkirkan
diagnosis.
 Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis.

Indikasi rawat
Semua dirawat, untuk mengontrol gejala dan menelusuri manifestasi ekstra
artikuler.

8. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk
mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu konsultasi
pada ahli bedah dan psikiatri.
Medikamentosa :
 Obat anti inflamasi non steroid (AINS)

29
- Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4 dosis,
diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis
menghilang.
- AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak. Pemberiannya
hanya untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak tertentu
yang tidak responsif terhadap AAS atau sebagai pengobatan inisial, misalnya :
 Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid.
 Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.
 Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari  untuk mengontrol nyeri atau
demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan
pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat
menimbulkan kelainan ginjal.
 Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs (SAARDs)
 hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin, garam emas (gold salt),
Penisilamin dan sulfa salazin.
- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7
mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis,
jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perbaikan  obat dihentikan
- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan
AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain
diteruskan selama pemakaian garam emas. Preparat yang diapaki Gold
sodium thiomalate dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan
kemudian dosis ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika
remisi telah tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan dosis yang sama
dengan injeksi tiap-tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3 minggu
setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa tahun
remisi. Preparat oral garam emas dipakai Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2
mg/kgBB/hari (maksimal 9 mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 3 bulan sampai mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama pengobatan
dapat sampai beberapa tahun remisi.
- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3 bulan,
kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan,
sampai maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan.
Dosis rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.
- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama
makan, jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis
diturunkan perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan
beberapa tahun.

30
 Kortikosteroid : jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan untuk
pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit sistemik
yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika
keadaan lebih berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan
pelan-pelan, kemudian stop.
 Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai
metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah 8
minggu pemberian, dapat dinaikan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama
pengobatan adekuat 6 bulan.
 Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan
klorambusil.

9. Tindak lanjut
 Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe
oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi
klorokuin.
 Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi
dilakukan fisio terapi di bagian URM.
 Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas, memperbaiki
pergerakan sendi.
Indikasi pulang
Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi.

PURPURA HENOCH-SCHONLEIN

1. Batasan
Purpura Henoch-Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh
vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik
yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau artralgia, nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan nefritis.
Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.

2. Etiologi
Penyebab penyakit ini belum diketahui.
Faktor-faktor yang diduga berperanan: infeksi traktusrespiratorius bagian atas,
obat-obatan, makanan dan imunisasi.

3. Patofisiologi
Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi komplemen dan jalur
alternatif mengakibatkan inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit, ginjal,

31
sendi, dan abdomen sehingga terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan
perdarahan gastrointeatinalis. Secara histologis tampak vaskulitis leukositoklatik.

4. Bentuk Klinis
Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam makuloeritematosa,
berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya trombositopenia, terutama pada kulit
bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100% kasus)  purpura lambat laun
berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang,
tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :
 Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas
(punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,
 Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak
menimbulkan deformitas yang menetap.
 Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan
gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan
intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.
 Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

5. Komplikasi
 Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.
 Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.
SSP : defiusit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.

6. Prognosis
Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50%
kasus dapat rekuren.
Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.

7. Diagnosis
Diagnosis Dasar :
Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong
dan ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau
perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.

Langkah Diagnosis :
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau
menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak
spesifik, jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat,
kadar komplemen normal, kadar IgA dalam darah limfosit yang mengandung
IgA mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung darah. Biopsi lesi

32
kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding pembuluh
darah, pada deposit IgA dan komplemen.
3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri
komplikasi.

Indikasi Rawat
Semua penderita dirawat
Tujuan perawatan : mengatasi gejala klinis, mengevaluasi dan menanggulangi
keterlibatan organ/sistem.

8. Penatalaksanaan
Suportif dan simptomatis. Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti
asetaminofen. Kortikosteroid diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat,
perdarahan saluran cerna, purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal
progresif (sindroma nefrotik, kerukan glomerulus), edema jaringan lunak yang
hebat, gangguan SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :
- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7 hari +
siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)
- maintenance predinson 100-200 mg (oral) siklosfosfamid 100-200 mg selama
30-75 hari
- Tappering off predinon 25 mg/bulan  terapi selasai minimal dalam 6 bulan.
Untuk pencegahan terjadinya nefritis dapat diberikan kortikosteroid dengan dosis
1-2 mg/kgBB/hari selama 7 hari, kemudian diturunkan perlahan-lahan selama 2-3
minggu. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP. Jika akut abdomen  konsul
bedah.

9. Tindak Lanjut
 Jika manifestasi hanya berupa purpura dan artritis, dapat pulang setelah gejala
klinis teratasi dan dan evaluasi klinis selesai
 Keterlibatan organ lain yang biasanya akan menyususl 4-6 minggu. Ditindak
lanjuti sesuai temuan.
 Setelah pulang dievaluasi urinalisis secara berkala selama 2 tahun sejak onset
penyakit, selain untuk memantau rekurensi juga memantau keterlibatan organ.

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)

1. Batasan
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai
satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.

33
2. Etiologi
Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab yang saling
berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat dan faktor infeksi. Jika
salah satu faktor tidak ada, maka penyakit Lupus tidak akan muncul secara klinis.

3. Patogenesis
Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang
mengendap berupa depot dalam jaringan  terjadi antivasi komplemen, terjadi
reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.

4. Bentuk Klinis
LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim
adalah :
 Demam dan astenia merupakan gejala tersering.
 Kelainan kulit, berupa :
- Ruam berbentuk sayap kukpu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka
(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapel dengan
squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping
hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbaita,
frontal atau darah telinga luar.
- Lupus discoid
- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual,
makuloeritematosa kulit dan pulpa jari jemari).

- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak,


kulit fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.
 Kelainan selapaut mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.
 Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas tangan,
tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.
 Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik,
gagal ginjal. Kalsifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial,
glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus,
glomerulonefritis membranosa.
 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat
berhubungan dengan kelainan organik serebral.
 Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam
(mediatinum,intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia:
normokrom normositik dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat
disertai skizositosis dan trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.
 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi arterial.

34
 Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar
masif.
 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.
 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan
intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi
diare karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat
(anti inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.
 Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik. Pada
retina terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool Spots),
papilitis dan oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan
penglihatan unilateral dan keratitis.

5. Komplikasi
 Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat defisiensi imun,
juga berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan.
 Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,
perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.

6. Prognosis
 Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa 10
tahun sebesar 90%.
 Penyebab kematian  akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia auto imun
 infeksi.

7. Diagnosis
Dasar Diagnosis :
Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak
dianut adalah menurut American Rheumathism Association (ARA). Diagnosis
LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4
kriteria positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu
butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari :
 Eritema malar (Butterfly rash)
 Lupus discoid
 Fotosensitivitas
 Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
 Artritis nonerosif
 Nefritis:, proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
 Ensefalopati, konfulsi, psikosis
 Pleuritis atau perikarditis

35
 sitopenia
 Imunoserlogi positif : antibodi antidouble starnded DNA, antibodi
 Antinuklear Sm, sel LE, serologi sifilis (positif palsu)
 antibodi Antinuklear positif.

Langkah Diagnosis
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi
manifestasi klinis dan butir-butir kriteria ARA.
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain.
Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :
 Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)
 Sel LE
 antibodi Antinuklear (ANA)
 Anti ds DNA (anti DNA natif)
 Autoantibodi lain (anti SM, RF, anti fosfolid, antihiston, dll)
 Titer komplemen C3, C4 dan CH5O
 Titer IgM, IgG dan IgA
 Krioglobulin
 Masa pembekuan
 Uji coombs
 Elekroforesis protein
 Kreatin dan ureum darah
 Protein urine (total protein dalam 24 jam)
 Biakan kuman, terutama dalam urine
 Foto rontgen dada.
3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ARA dan identifikasi luasnya
manifestasi klinis.
4. Telusuri komplikasi.
Indikasi rawat
Semua dirawat untuk menelusuri keterlibatan organ dan komplikasi.

8. Penatalaksanaan
 Profilaksis mencegah keadaan yang dapat menginduksi gejala lupus seperti
menghindari pemakaian obat tertentu, sinar matahari, kelelahan dll. Mencegah
infeksi dan mempertahankan fungsi organ tubuh secara optimal.
 Penatalaksanaan infeksi
 Salisilat  untuk artralgia dan mialgia dosis 75-90 mg/kgBB/hari. (kontra
indikasi trombositopeina dan gangguan hemostasis).
 Antimalaria : untuk membantu penyapihan kortikosteroid untuk pengobatan
dermatitis lupus. Dipakai hidroksilorokuin dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari dalam

36
1-2 dosis selama 2 bulan kemudian diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari.
Karena efektoksis pada mata maka harus dikonsul oftalmologik tiap 4-6 bulan.
 Kortikosteroid : perapat yang dipakai adalah prednisolon atau prednison :
- Dosis rendah : Kortikosteroid < 0,5 mg/kgBB/hari (untuk mengatasi gejala
klinis seperti demam, dermatitis,enteritis, efusi pleura dll)
- Dosis tinggi : Kortikosteroid dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari : dosis inisial
dipertahankan 6-8 minggu berikan untuk mengatasi krisis lupus, gejala
neurologis susunan syaraf pusat, anemia hemolitik akut dan beberapa bentuk
nefritis tertentu
- Pada nefritis, dosis yang diberikan berdasarkan gambaran PA
 Nefritis mesangial : hanya diberi terapi simptomik
 Nefritis dengan kelainan glomerulus fokal : prednison dosis rendah 0,5
mg/kgBB/hari
 Untuk kelainan difus : dosis 1 mg/kgBB/hari
 Untuk membranosa : dosis tinggi disertai simptomatik dan siklofosfamid 1
mg/kgBB/hari.
- Penyapihan : jika klinis membaik dan laboratorium dalam batas normal,
dimulai penyapihan bertahap (C3, C4 dan titer anti ds DNA, atau konversi
negatif sel LE dan titer ANA). Patokan untuk penyapihan sebagai berikut :
 < 10 mg/hari : turunkan 0,5-1 mg tiap 2-4 minggu
 10-20 mg/hari : turunkan 1-2,5 mg setiap minggu
 20-60 mg/hari : turunkan 2,5-5 mg setiap minggu

Jika saat penyapihan gejala kambuh lagi, dosis dinaikan dengan 25-50% terapi
saat itu dalam dosis terbagi yang di pertahankan bebarapa lama sebelu
diputuskan untuk meneruskan penyapihan atau menaikan dosis kembali.
Umumnya dengan dosis > 30 mg/hari masih diberikan dosis terbagi 2-3 kali
sehari. Jika gejala telah terkontrol dengan dosis tunggal, dapat dicoba
pemberian obat selang sehari.
- Terapi bolus :
Terapi bolus (pulse therapy)diberikan pada keadaan darurat atau krisis lupus
dengan manifestasi akut, pada kasus tak terkontrol dan pada lupus nefritis
proliferatif difus. Preparat : metil prednisolon 10-30 mg/kgBB/kali i.v.1-3 hari
- Diet
Setiap pengobatan kortikosteroid selalu disertai diet rendah garam, rendah
gula, tidak mengandung gas, dengan restriksi cairan serta suplemen kalsium
dan kalium.
 Imunosupresan/sitostatika :
Diberikan jika terdapat ganguan neurologik susunan syaraf pusat, nefritis tipe
proliferasi difus dan membranosa, anemia hemolitik akut dan kasus yang
resisten terhadap pemberian kortikosteroid. Dipakai : azatioprin oral : 1-2

37
mg/kgBB/hari atau siklofosfamid oral 1-2 mg/kgBB/hari dan untuk terapi bolus
500-750 mg/m2 iv setiap bulan, sampai 3 tahun.

9. Tindak Lanjut
Ikuti perkembangan klinis secara cermat. Secara khusus ikuti keterlibatan ginjal.
Ikuti perkembangan marker imunoserologi.
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat
pemakaian imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.

Indikasi pulang :
Jika keterlibatan organ telah terkontrol, serta infeksi sekunder telah teratasi.
Follow up penderita dengan berobat jalan secara berkala selama bertahun-tahun
untuk mengikuti aktifitas penyakit.

Sindrom Stevens-Johnson

1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah suatu reaksi mukokutaneus akut yang
ditandai makula eritema yang cepat meluas. Biasanya berbentuk target lesion dan
kelainan pada lebih dari satu mukosa (mulut, konjungtiva, dan anogenital). Sering
ditandai gejala konstitusional dan dapat mengancam kehidupan.

2. Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun
terhadap obat. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema
multiforme yang berat dan disebut eritema multiforme mayor. Beberapa faktor yang
sering disebut sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor Penyebab timbulnya sindrom Stevens-Johnson


Infeksi
Virus : Herpes simplex, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
Jamur : Koksidioidomikosis, Histoplasma
Bakteri : Streptokokus, Staphylococcus, Haemolyticus,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonela
Parasit : Malaria
Obat Salisilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol, Tegretol, Tetrasiklin,
Digitalis, Kontraseptif

38
Makanan Coklat
Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

3. Patogenesis
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas wlaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada biopsi kulit beberapa kasus dapat
ditemukan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam
sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah
kulit dan mukosa serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat
aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik
akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

4. Manifestasi Klinis
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi
kulit, mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral .
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dpat berupa eritema, papul, vesikel atau bula secara simetris berupa
lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul
perdarahan pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau mata
sapi. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke
seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi, ulserasi, kulit
mengelupas dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh
tubuh disertai paronikia dan pelepasan kuku.

b. Kelainan mukosa
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel, bula,

39
erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di mukosa
dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Pada
faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang
menimbulkan kesukaran menelan.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis,
irdosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat
terjadi erosi dan perforasi kornea.
Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan
umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah, diare,
melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali sampai pada
penurunan kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat
berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi dapat terjadi
seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis,
poliartritis atau septikemia.

5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan terhadap kelainan yang
sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor
penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan
faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin
dilakukan

diantaranya adalah :
Pemeriksaan darah tepi (leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED). Leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian
eosinofil.
1. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.
2. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan gambaran
klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan histopatologik untuk
membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat ditemukan gambaran
nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah
epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh
darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan
endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan

40
imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru
yang berumur kurang dari 24 jam.

7. Diagnosis banding
1. Nekrolisis epidermal toksik (NET)
Pada NET kelainan kulit yang utama adalah epidermis terlepas dari dasarnya
(epidermolisis) yang menyeluruh. Tanda Nikolsky positif pada kulit yang
eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas.
Selain itu terbentuk eritema, vesikel, bula, erosi dan purpura seperti SSJ.
Kelainan pada mata dan sekitar orifisium tidak selalu menyertai. Perbedaan
lain ialah keadaan umumnya lebih buruk.
2. Staphylococcus scalded skin syndrome
Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula numular
di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis tetapi selaput lendir
jarang dikenai.

8. Penatalaksanaan
o Rawat di PICU
o Hentikan faktor penyebab
o Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada kontrainidkasi
seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari dalam dua dosis, netromisin 4-6
mg/kgBB/hari.
o Topikal : - kulit : kompres NaCl 0,9%
- mulut : kumur-kumur antiseptik
- mata : lubrikasi dengan air mata buatan
salep mata yang mengandung antibiotika
o Infus/transfusi. Bila terdapat vesikel dan bula yang luas → infus darrow glukosa.
Bila terdapat purpura → bila perlu transfusi darah
o Konsultasi dengan bagian lain sesuai kebutuhan /keadaan penderita (Mata, THT)

9. Prognosis
Pada kasus yang tidak berat prognosanya baik dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan
pengobatan terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-15%.
Prognosis lebih buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan
oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

41
INFEKSI HIV DAN AIDS PADA ANAK

1. Batasan
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem
imun tubuh. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).

2. Etiologi
HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok lenti virus.
Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun strukturnya berbeda tapi gejala klinis
yang ditimbulkannya sulit dibedakan. Antibodi yang terbentuk dari kedua virus ini
dapat bereaksi silang.

3. Patogenesis
HIV  masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel TCD4 dan sel
makrofag  terjadi penuruna jumlah dan gangguan fungsi sel TCD4 melalui efek
sitopatik langsung dan efek sitopatik tidak langsung.

Efek sitopatik langsung :


- Lisis dan kematian sel TCD4 yang terjadi karena proses replikasi virus dalam sel
TCD4
- Penimbunan DNA virus yang teridak terintegrasi ke genom host
- Interaksi antara molekul Gp 120 HIV dan molekul CD4 intra sel
- Hambatan maturasi sel precursor TCD4 di dalam timus sehingga sel tersebut
berkembang menjadi matur, sehingga sel TCD4 perifer menurun

Efek sitopatik tidak langsung :


- Pembentukan sel sinsitia
- Apoptosis sel T reaktif
- Destruksi autoimun yang diinduksi HIV
- Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi sel
prekursor TCD4 sehingga jumlah sel TCD4 perifer berkurang

Cara penularan
Pada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hanil yang mengidap HIV, dapat juga
terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah yang mengandung HIV atau

42
produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV, jarums suntik yang
tercemar HIV dan hubungan seksual dengan pengidap HIV.

Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual
- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti
- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena
- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah berulang-ulang
- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik atau tusuk bekas yang tidak steril

4. Bentuk klinis
Bervariasi sesuai tahapan penyakit :
- anak yang lahir dari ibu pengidap HIV
- kategori N : asimptomatik
- kategori A : simptomatik ringan
- kategori B : simptomatik sedang
- kategori C : simptomatik berat atau AIDS

5. Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak
diagnosis AIDS ditegakkan.

6. Komplikasi
- Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial pneumonitis
(LIP), gangguan susunan saraf pusat, gangguan pertumbuhan dan
endokrinologi, gangguan gastrointestinal dan nutrisi, manifestasi
hematologis dan keganasan.
- Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus protozoa,
jamur dan infeksi pneumonitis karnii.

7. Diagnosis

Dasar diagnosis
- anamnesa adanya faktor risiko tertular HIV
- gambaran klinis menunjukkan penuruan kekebalan
- adanya antibodi IgG spesifik HIV

Langkah diagnosis
- Skrining ibu hamil untuk HIV
- Memantau bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV positif
- Memantau bayi yang telah dikenal terinfeksi HIV

43
- Diagnosis ditegakkan jika ditemukan antibodi HIV dalam serum penderita
- Pada bayi baru lahir, jika antibodi HIV positif tanpa gejala, harus
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3 bulan sampai bayi berumur 15 bulan
karena mungkin antibodi HIV diperoleh adri ibu secara pasif selama
dalam kandungan.
- Diagnosis infeksi HIV pada bayi; adanya antibodi spesifik Ig A HIV,
menemukan DNA HIV (dengan PCR), antigen P24 HIV pada darah bayi
- Pemeriksaan darah tepi : anemia, lekositopenia, limfopenia dan
trombositopenia
- Limfosit CD4 menurun, CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun
- Fungsi sel T menurun  respon proliferatif sel T terhadap antigen atau
mikrogen menurun, adanya anergi
- Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun
terdapat hipergamaglobunemia, respon antibodi spesifik terhadap antigen
baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus dan hepatitis B
menurun.

Indikasi rawat
Penderita HIV atau AIDS dengan infeksi berat dan keganasan untuk
mengatasi infeksi atau gejala simtomatos difteri, tetanus, dan hepatitis B
menurun.

8. Penatalaksanaan
- memperbaiki kondisi penderita untuk mencegah infeksi opotunistik,
mengobati infeksi yang terjadi dan mencegah penularan infeksi HIV dari
penderita kepada tenaga kesehatan, lingkungan dan teman-temannya.
- Pada penderita asimtomatik, dijelaskan bahwa penyakitnya dapat menulari
orang sekitarnya, dapat berkembang menjadi berat dan juka penderita
wanita dijelaskan bahwa jika hamil kemungkinan besar anaknya akan
menderita HIV juga.
- Belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit AIDS. Vaksin untuk
pencegahan juga belum

- Upaya pengelolaan terhadap pasien AIDS :


- suportif : gizi cukup, hidup sehat, mencegah terjadi infeksi
- menanggulangi infeksi oportunistik, infeksi lain dan keganasan
- menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus sekarang dipakai
golongan dideoksinukleotid, yaitu azidotimidin (AZT) dapat
menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus sehingga
tidak terjadi transkripsi DNA HIV. Dosis AZT: anak 3 bulan-12 tahun:

44
o oral : 90-180 mg/m2/kali tiap-tiap 6 jam (max 200 mg)
o IV : kontinyu IVFD 0,5-1,8 mg/kg BB/jam
Intermiten 10 mg/kg BB/m2/kali tiap 6 jam
- mengatasi dampak psikososial
- penyuluhan pada keluarga tentang penularan HIV, perjalanan
penyakitnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan secara medis

9. Tindakan lanjut
- Observasi keaadaan umum penderita, klinis dan laboratorium
- Observasi munculnya komplikasi

Pencegahan :
- Menghindari tingkah lakuseksual yang menyimpang pada anak remaja
- Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV
- Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar
- Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi
tertular HIV tidak dijadikan donor.

45

Anda mungkin juga menyukai