Anda di halaman 1dari 15

Mencipta 1001 Ilmu Baru,

Mencetak 1001 Profesor Baru


Ferry Hidayat

Kehormatan bagi Penemu

Ada satu peribahasa Arab yang sangat inspiratif bunyinya


begini: al-fadhl li’l-mubtadi wa in ahsana’l-muqtadi. Parafrasenya:
setiap pelopor/penemu mendapat tribut kehormatan walaupun
generasi berikutnya menciptakan penemuan yang lebih baik.

Peribahasa ini rupanya bukan peribahasa bohong; bukti


kebenarannya amat banyak dalam kehidupan. Pembaca tahu apa
itu Aljabar? Itu salah satu cabang ilmu Matematika. Orang Inggris
menyebutnya Algebra, diambil langsung dari bahasa Arab Aljabr.
Bagaimana sejarahnya, kok orang seluruh dunia bisa mengenal
ilmu ini? Siapa sih pencipta ilmu ini? Rupanya kita temukan
datanya dari sejarah: ilmu itu terkenal karena dibukukan oleh
matematikawan Muslim bernama al-Khawarizmi (sekitar 780-850
M). Beliau menulis satu buku yang berjudul Kitâb al-jabr
wa’l-muqâbalah; dari buku inilah ilmu Aljabar menjadi terkenal.
Pertama-tama buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin, dari Latin
ke Perancis, Perancis ke Jerman, Jerman ke Inggris dan dari Inggris
ke seluruh dunia. Mereka memang tidak menyebut-nyebut nama
penemunya (penulisnya), tapi bukunya (ilmunya) terkenal di
seluruh dunia. Tapi, tunggu! Siapa bilang penemunya tidak
terkenal? Pembaca pasti pernah dengar kata Algoritma khan?
Orang yang berkutat dengan computer programming pasti tahu
Algoritma. Orang yang belajar Matematika dan Aritmetika apalagi!
Sejarah menyingkap bahwa Algoritma (dalam bahasa Inggris,
Algorithm) adalah sebutan Barat untuk al-Khawarizmi, sang
penemu Aljabar tadi! Begitulah cara orang Barat memberi tribut
kehormatan bagi penemu ilmu Aljabar yang seorang Muslim,
al-Khawarizmi. Bahwa ilmu Aljabar hingga detik ini dipelajari
semua orang di dunia merupakan bukti penghargaan tinggi akan
prestasi penemuan al-Khawarizmi. Begitulah kebenaran peribahasa
al-fadhl li’l-mubtadi wa in ahsana’l-muqtadi.


Dimuat dalam Akbar Zainudin (ed.), Big Motivation: Inspirasi Sukses Para Santri, Bekasi: MJW Book, 2016.
Contoh lainnya ialah Alfred Russel Wallace (1823-1913). Beliau
ahli biologi Inggris yang hidup sejaman dengan Charles Darwin,
penemu teori evolusi dan teori seleksi alam. Wallace sendiri
dikenal dunia sebagai penemu ilmu Zoogeografi atau Ilmu Geografi
Binatang. Banyak buku yang ia tulis, tapi yang amat dikenal luas
ialah bukunya yang berjudul The Malay Archipelago dan The
Geographical Distribution of Animals. Dari kedua buku ini, orang
seluruh dunia mengenal Garis Wallacea (The Wallace Line)—satu
garis virtual yang membagi daerah hunian binatang-binatang di
dua bagian dunia berbeda (di Asia dan di Australasia).
Penghormatan akan penemuan beliau ini terus dilakukan orang
seluruh dunia. Hanya orang Indonesia yang menghormati beliau
secara tanpa sadar! Lho, kok gitu? Anak SD, SMP, dan SMA, dari
Aceh hingga Papua pasti pernah belajar Peta Dunia, Peta Bumi atau
Peta Buta, khan?. Ada peta yang berbentuk buku hitam-putih. Ada
yang berwarna-warni. Ada juga yang berbentuk standing globe.
Begitu kita melihat peta Indonesia, kita akan menemukan garis
kecil merah putus-putus yang membelah kepulauan
Sumatera-Jawa-Bali-Nusa Tenggara-Kalimantan dengan kepulauan
Sulawesi-Papua. Trus, ada tulisan yang juga kecil berbunyi Garis
Wallacea. Sayangnya, kebanyakan anak SD, SMP, dan SMA kita tidak
sadar itu warisan penemuan Alfred Russel Wallace. Juga tidak
sadar akan arti pentingnya garis merah kecil yang ada di peta itu
(guru geografi mereka pada kemana, hayo!).

Kalau dua penemu tadi terkenal karena penemuan mereka yang


bersifat positif, ada satu penemu yang diberi kehormatan justru
karena penemuannya yang negatif: Marquis de Sade (1740-1814).
Pembaca tahu kata ‘Sadisme’ dan ‘Sadomasokisme’, khan? Dua
kata itu hingga detik ini dikenal semua orang di seluruh dunia
sebagai penghormatan (atau tepatnya peringatan?) untuk Marquis
de Sade, bangsawan Perancis begajulan yang dikenal karena semua
buku-bukunya (seperti Juliette dan 120 Days of Sodom)
menganjurkan tindakan kekerasan brutal untuk mencapai
kenikmatan seksual. Sayang sekali, penemuannya hanya dikenal
untuk dibenci dan dimaki-maki, diumpat-diumpat, dibuang,
ditakuti, dan disumpahi.

Tapi sekali lagi, mereka-mereka tadi adalah para pelopor dan


para penemu ilmu. Nama mereka ada yang harum, ada yang bau
busuk. Tapi mereka patut dihormati; mereka berani menentang
arus utama, menulis apa yang mereka yakini, membuat sesuatu
yang baru. Setelah upaya berani itu, sejarah kemanusiaanlah yang
akan menilai apakah penemuan itu baik atau buruk, positif atau
negatif, diwarisi atau dikritisi, dipakai atau dibuang. Mereka telah
mewariskan ilmu-ilmu baru kepada dunia.
Sekarang, bagaimana dengan Anda, pembaca? Apakah Anda
ingin turut pula mewariskan ilmu-ilmu baru kepada dunia? Sebagai
‘amal jariah (dharma abadi) bukan hanya untuk anak cucu kita
sendiri, tapi untuk anak cucu seluruh umat manusia sedunia?
Sebagai kehormatan yang bakal kita dapatkan di mata Tuhan?

Saya takut apa yang saya anjurkan kepada Anda, pembaca,


justru tidak saya lakukan. Maka, ijinkan saya untuk mengatakan
bahwa saya pun telah membuat ilmu baru. Ini bukan untuk
self-promotion, tapi untuk mencambuk kekerasan hati Anda agar
berani dan mau membuat ilmu-ilmu baru.

Kehendak kuat untuk mewariskan ilmu baru kepada dunia


memaksa saya untuk membuat ilmu baru. Apa saja ilmu baru yang
telah saya buat? Ada 3 ilmu baru: Pertama, ilmu Filsafat Indonesia.
Kedua, ilmu Sejarah Filsafat Indonesia. Ketiga, ilmu Antropologi
Adat. Masing-masing ilmu baru tersebut dibukukan dalam
beberapa karya tulis. Silahkan Anda unduh dan baca di situs ini:
https://independent.academia.edu/FerryHidayat.

Sekarang, saya tantang Anda, pembaca, untuk juga membuat


ilmu-ilmu baru. Karena apa? Setiap pelopor/penemu mendapat
tribut kehormatan walaupun generasi berikutnya menciptakan
penemuan yang lebih baik.

Tidak Banyak Pencipta Ilmu Baru

Indonesia punya banyak profesor, tapi anehnya tidak banyak


profesor yang mencipta ilmu-ilmu baru. Betul, khan? Kenapa? Ada
yang salah dalam pendidikan kita di sekolah. Sekolah-sekolah kita
dari jenjang rendah hingga jenjang tinggi tidak memotivasi
siswa-siswanya untuk membuat ilmu-ilmu baru. Sekolah-sekolah
kita secara implisit dan eksplisit malah mengukuhkan sikap
konservatif (konservasi = melestarikan/memelihara yang sudah
ada saja) dalam hal produksi ilmu. Alhasil, jarang ada (atau
tepatnya, tidak ada?) sekolah yang visi dan misinya menciptakan
ilmu-ilmu baru.

Yuk kita bedah buku-buku di sekolah kita. Terlihat buku-buku


itu olahan dari buku-buku Barat dan buku-buku negara lain dari
disiplin ilmu yang sudah dikenal di Barat atau di negara lain,
seperti Ilmu Kimia, Ilmu Matematika, Ilmu Sosiologi, Ilmu
Antropologi, Ilmu Ekonomi, Ilmu Manajemen, Ilmu Komputer, Ilmu
Akuntansi, dan seabreg ilmu-ilmu lainnya yang sudah amat
terkenal di dunia dan di Indonesia. Pernahkah guru-guru kita
mengajak kita mengritisi isi buku-buku itu, lalu menyuruh kita
membuat buku-buku tandingan yang isinya mengevaluasi dan
membuat penjelasan baru yang mengoreksi buku-buku yang sudah
ada? Guru-guru saya tidak pernah. Wallahi! Pernahkah guru-guru
Anda begitu? Kalau jawabannya tidak pernah, begitulah jamaknya
fenomena konservatifisme dalam pendidikan kita.

Konservatifisme keilmuan juga dibuktikan dari masih adanya


buku yang memuat teori evolusi Charles Darwin, padahal teori itu
sudah dikritik kebenarannya oleh ratusan ilmuwan Barat sendiri!
Lihat saja buku sejarah kita. Kita selalu diajar tentang Manusia
Sangiran atau Pithecanthropus Erectus (Manusia Kera yang Berjalan
Tegak). Padahal itu sisa-sisa ajaran Darwin bahwa di antara Homo
Sapien (Manusia yang Berjalan Tegak) dan Apes (Kera) ada
makhluk-antara yang merupakan missing link yang hendak
dibuktikan Darwin, ialah Pithecanthropus Erectus (Manusia Kera
yang Berjalan Tegak) di Trinil dan Sangiran itu! Tapi teks-teks itu
tak pernah dihapus oleh guru-guru kita, apalagi dibakar atau
dibredel. Anehnya, di pesantren atau seminari atau di kuil, kok
tetap saja buku sejarah Indonesia yang memuat ajaran konyol
Darwinisme dipelajari dan dicetak ulang, hatta di Gontor sekalipun,
tempat saya pernah nyantren dulu!

Bagaimana dengan produksi ilmu baru di negara-negara maju,


semisal Amerika Serikat dan Inggris? Sekolah-sekolah mereka
sudah dari dulu memotivasi siswa-siswanya membuat ilmu-ilmu
baru. Makanya, tak usah kita heran kalau Clifford Geertz bisa
mencipta ilmu baru: Antropologi Simbolik. Tak usah heran Alfred
Russel Wallace bisa mencipta ilmu baru Zoogeografi. Tak usah
heran kalau ilmu-ilmu baru dari tahun ke tahun diproduksi mereka,
seperti Women Studies, Global Studies, Peace Studies, Cultural
Studies, Science Studies, dan seabreg lainnya. Tak usah heran kalau
ada pakar-pakar kreatifitas seperti Ken Robinson, Tony Wagner,
dan John Holt yang selalu menganjurkan para siswa AS dan Inggris
untuk mencipta, dan mencipta, dan mencipta, dan mencipta lagi.
Tak usah heran kalau di sana ada banyak penemu, banyak pencipta
ilmu-ilmu baru. Sementara kita di Indonesia duduk-duduk saja;
jadi konsumen paling setia dari setiap produksi ilmu-ilmu AS dan
Inggris. Cukup kita beli buku-buku mereka, kita terjemahkan ke
bahasa Indonesia, kita ulas, kita populerkan, kita lestarikan
keabsahannya di perguruan tinggi kita dan keprofesoran kita, kita
kasih gelar profesor, dan stop sampai di situ. Tak perlu dikritisi,
tak perlu dievaluasi, tak perlu ditandingi, apalagi
diburuk-burukkan. Jadi, sebenarnya dalam hal produksi ilmu, kita
ini mandeg, jalan di tempat, stagnant, letoy, lesu, frigid, impoten.
Profesor sana membuat ilmu-ilmu baru; profesor Indonesia
menulis buku ulasannya saja. Stuart Hall di Inggris membuat ilmu
baru Cultural Studies; profesor sini menulis buku berjudul
Pengantar Cultural Studies. Michel Foucault di Perancis mencipta
ilmu History of Systems of Thought (Sejarah Sistem Pemikiran);
profesor di sini menulis Pengantar ke Pemikiran Foucault. Duh
Gusti! Semoga saja tidak sampai mati produksi ilmu kita ya hehehe.

Mencipta itu Tingkatan Tertinggi

Mari belajar dari pengalaman sehari-hari. Seseorang belajar


musik selama 10 tahun. Setelah belajar selama itu, ia pun
menguasai teknik permainan segala jenis musik, menguasai teknik
memainkan segala alat musik, dan menguasai segala hal mengenai
musik. Tapi belajar 10 tahun itu secara logis bisa disimpulkan
sia-sia apabila dia tidak bisa mencipta atau membuat satu-dua lagu
dengan aransemen musik yang sungguh mencerminkan dan
merefleksikan ‘sudah belajar 10 tahun’. Begitu pun dengan
seseorang yang belajar memasak. Seseorang yang belajar memasak
selama 10 tahun pasti diasumsikan telah menguasai segala teknik
memasak, menguasai aneka resep masakan dari ratusan negara,
menguasai teknik meracik bumbu-bumbu, menguasai segala hal
berkaitan dengan memasak. Logika kita mengatakan “alangkah
sia-sianya belajar memasak 10 tahun bila ia tidak mampu mencipta
atau membuat satu-dua resep masakan baru ciptaannya.”

Dua contoh pengalaman sehari-hari tadi memberi kita satu


kesimpulan logis berharga: mencipta adalah konsekuensi ultimat
dari belajar. Seseorang yang belajar akan mencipta sesuatu dari
yang ia pelajari. Seorang yang belajar musik akan mencipta lagu.
Seorang yang belajar masak akan mencipta resep. Seorang yang
belajar bela diri akan mencipta jurus. Seorang yang belajar menulis
novel akan mencipta novel. Seorang yang belajar melukis akan
mencipta lukisan. Seorang yang belajar menyulam akan mencipta
sulaman. Seorang yang belajar menenun songket akan mencipta
satu songket nan indah. Seorang yang belajar filsafat akan
mencipta filsafat baru.

Lalu, bagaimana dengan orang yang belajar bertahun-tahun tapi


tidak mencipta apapun dari yang ia pelajari? Apakah sia-sia
belajarnya? Apakah sia-sia umurnya? Apakah sia-sia waktunya?
Tak perlu cepat mengambil kesimpulan. Biarkan Lorin Anderson
dan David Krathwohl yang menjawabnya. Dalam karya mereka,
Bloom’s Revised Taxonomy (2001), Anderson & Krathwohl
mengatakan bahwa mencipta (creating) adalah tingkat tertinggi
dari keterampilan berpikir manusia (high order thinking skills). Jadi,
simpul mereka, tak semua orang yang belajar mampu mencipta.
Paling banter, orang yang belajar bisa mempergunakan apa yang
mereka tahu untuk mengerjakan sesuatu (applying), atau
menganalisa dari yang mereka tahu (analysing), atau mengevaluasi
sesuatu dari yang mereka tahu (evaluating). Dari situ, kita bisa
mengerti bahwa tidak semua orang yang belajar bertahun-tahun
bisa mencipta (creating).

Meski begitu, keterampilan mencipta rupanya bisa


ditumbuhkembangkan sejak dini. Pakar-pakar kreatifitas seperti
Ken Robinson, Tony Wagner, John Holt, dan Patrick Farenga
memberikan tip-tip berharga bagaimana cara mengembangkan
kreatifitas (daya cipta) anak sejak dini. Silahkan baca
buku-bukunya.

Penjajah yang Mencipta Ilmu

Edward W. Said dalam bukunya Orientalism (1978)


menceritakan bagaimana penjajah Barat mencipta ilmu-ilmu baru
demi tujuan suksesnya penjajahan. Mereka membuat ilmu
mengenai negeri-negeri Timur sembari mereka menjajah
negeri-negeri itu. Mereka pun mengirim ilmuwan-ilmuwan andalan
mereka ke negeri-negeri Timur. Antropolog disuruh mempelajari
budaya setempat; sosiolog disuruh mempelajari sistem sosialnya;
sejarawan mempelajari sejarahnya; filolog mempelajari
bahasa-bahasa yang digunakan di dalamnya. Setelah semua
penelitian selesai, maka mulailah para ilmuwan penjajah itu
memproduksi ilmu-ilmu baru tentang Timur. Lahirlah Sosiologi
Negeri Timur, Antropologi Negeri Timur, Sejarah Negeri Timur,
Etnografi Negeri Timur, Ilmu Bahasa Negeri Timur, dan lain-lain
(dalam buku Said, semua ilmu-ilmu baru itu disebut Orientalisme).

Ingat! Mereka memproduksi ilmu-ilmu baru tersebut untuk


melanggengkan penjajahan mereka atas negeri-negeri Timur.
Lewat ilmu-ilmu baru ciptaan mereka, mereka memanipulasi
budaya setempat, menyelewengkan sistem sosial negeri jajahan,
melacurkan sejarahnya, memperalat bahasanya; semua dibuat agar
penduduk jajahan merasa inferior, lemah, kolot, barbar, jijik, dan
akhirnya membenci budaya mereka sendiri. Jika penduduk negeri
jajahan sudah dilemahkan secara kultural, maka sungguh
mudahlah bagi penjajah itu untuk masuk ke dalam otak dan hati
sanubari si terjajah. Mereka masuk ke otak si terjajah lewat
sekolah-sekolah yang sengaja penjajah bangun di negeri jajahan;
mereka masuk ke hati si terjajah lewat gereja-gereja
Katolik-Protestan yang mereka bangun. Dan penjajahan pun
akhirnya dirasa si terjajah bukan sebagai tindakan paling jahat
bagi kemanusiaan, tapi sebagai program pendidikan, pencerdasan,
pembangunan, dan pemeradaban penduduk yang belum beradab
(civilizing the savage people), bahkan kedatangan penjajah pun
akhirnya dipahami si terjajah sebagai berkah dan kasih Tuhan. Gile
bener!
Apakah Indonesia pernah mengalami hal serupa? Tentu saja!
Kita pernah dijajah oleh Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris,
khan? Syed Hussein Alatas menceritakannya dalam buku berjudul
amat panjang, The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of
the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century
and its Function in the Ideology of Colonial Capitalism (1977).
Terjemahan judulnya: Mitos Pribumi Malas: Suatu Penelitian
tentang Citra Penduduk Malaysia, Penduduk Filipina dan Penduduk
Jawa dari Abad 16 hingga Abad 20 dan Fungsinya dalam Ideologi
Kapitalisme Negeri Jajahan. Hampir serupa dengan studi Edward
W. Said, studi Syed Hussein Alatas menjelaskan bagaimana
penjajah Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris menciptakan
ilmu-ilmu baru mengenai jajahan-jajahan mereka di Asia Tenggara.
Mereka mengirim sosiolog, antropolog, sejarawan, dan filolog
mereka untuk menguasai ilmu-ilmu setempat, kemudian
memanipulasinya, menyelewengkannya, mengubahnya, dan
akhirnya menciptakan ilmu-ilmu baru (di Indonesia, ilmu-ilmu
baru itu disebut Indologie—‘ilmu-ilmu tentang Hindia-Belanda’)
untuk tujuan melanggengkan penjajahan mereka di Indonesia.
Lewat Indologie tadi, para ilmuwan penjajah pun menyebarkan
paham bahwa orang Indonesia adalah orang barbar yang mesti
diperadabkan lewat sekolah dan gereja mereka. Lewat Indologie
pula mereka mengkerdilkan harga diri orang Indonesia,
memperendah martabat orang Indonesia, dan
memperbodoh-bodohi orang Indonesia, serta ‘mempermalas’ (=
membuat kesan bahwa orang Indonesia malas bekerja) mereka.

Apakah mereka berhasil mengelabui orang Indonesia dengan


Indologie tadi? Berhasil sekali! Karena mereka berhasil
menciptakan imaji buruk dan citra negatif atas orang Indonesia,
maka orang Indonesia pun mulai membenci budaya mereka sendiri,
lalu berbondong-bondong masuk Scoola (Sekolah Belanda), seperti
H.I.S, STOVIA, A.M.S, H.B.S, dan lain-lain. Di dalam sekolah-sekolah
itu diajarilah ilmu-ilmu yang sudah berkembang di negeri Belanda,
seperti Ilmu Botani (ingat Kebun Raya Bogor, khan?), Ilmu
Astronomi (ingat Boscha di Bandung, khan?), Ilmu Biologi
Evolusionis (ingat Museum Gajah, khan?), dan tentu saja Ilmu
Ekonomi Kapitalistik (ingat V.O.C., khan?), Ilmu Manajemen dan
Administrasi Perkantoran (ingat kantor Adviseur voor Inlandsche
zaken, khan?), Ilmu Kedokteran (ingat RS Cipto Mangunkusumo di
Jakarta, khan?), Ilmu Hukum, dan lain-lain. Mereka pun mendirikan
universitas (Universitas Indonesia [UI] adalah ciptaan mereka!),
mendirikan kantor-kantor, mendirikan pabrik-pabrik (Unilever,
tahu khan?), dan tentu saja terus memproduksi ilmu-ilmu baru di
tanah jajahan—semua untuk tujuan mengekalkan penjajahan.
Dari dua cerita di atas, kita bisa refleksi: para penjajah saja
menciptakan ilmu-ilmu baru sambil asyik menjajah kita, masakan
kita tidak mencipta ilmu-ilmu baru setelah para penjajah itu pergi?
Perlukah si penjajah itu kita panggil lagi untuk menjajah negeri
kita sekali lagi supaya produksi ilmu kita bangkit dan giat kembali?

Mumpung para penjajah sudah pergi, yuk mari kita ciptakan


ilmu-ilmu baru untuk kepentingan Indonesia sendiri, yang bisa
memajukan Indonesia, yang bisa meningkatkan martabat
Indonesia, sehingga negeri-negeri lain tidak lagi memandang negeri
kita dengan sebelah mata; semata-mata sebagai negeri konsumen
pemakai dan penikmat segala ilmu-ilmu negeri lain—kalau justru
bukan sebagai ‘jajahan keilmuan’ (scientific colony) negeri-negeri
lain!

Salah Asuhan

Dua budayawan kita, Darmanto Jatman dan Jakob Sumardjo,


pernah mengeluhkan hal yang sama: pendidikan kita sudah
bersalah dan anak-didik kita salah asuhan. Maksudnya gimana?
Dalam bukunya Sekitar Masalah Kebudayaan (1986), Darmanto
Jatman mengeluhkan kebiasaan buruk kita yang selalu meniru-niru
negara asing, terutama di bidang kependidikan. Belanda punya
Sekolah Teknik, kita lalu mendirikan Sekolah Teknik yang 100%
serupa dengan bikinan Belanda. John Dewey di AS punya
Experimental School, kita lalu mendirikan Lab School. Celakanya,
hobi meniru dan mengkopi bukan hanya dalam hal sekolah, tapi
juga jurusan-jurusannya dan ilmu-ilmunya. Di universitas Barat
ada Jurusan Ekonomi, kita lalu mendirikan juga Jurusan Ekonomi.
Buku-bukunya juga diimpor dari Barat. Ilmu-ilmunya juga pasti
diimpor dari Barat. Jadi, sekolah-sekolah kita itu imporan dari
Barat; Jurusan-Jurusan kita juga imporan dari Barat; ilmu-ilmu kita
pun imporan Barat. Apa akibat dari impor keilmuan itu? Ilmu-ilmu
itu tidak bisa diterapkan dalam kenyataan hidup di Indonesia.
Ilmu-ilmu itu jadi mubazir. Ilmu-ilmu itu jadi tidak applicable.
Yang paling parah, ilmu-ilmu imporan itu tabrakan keras dengan
kenyataan budaya kita. Masa iya? Coba perhatikan: Ilmu Ekonomi
Barat dan Ilmu Manajemen Barat menyuruh kita berkompetisi,
sementara kita punya budaya gotong-royong. Ilmu Ekonomi Barat
menyuruh kita mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya,
sementara kita punya konsep welas asih. Ilmu Manajemen Barat
menyuruh kita mengevaluasi dan berinovasi, sementara kita punya
budaya ewuh-pakewuh. Ilmu Manajemen Barat menyuruh kita
profesional dan dingin-kalkulasi, sedangkan kita punya budaya
kasihan. Ilmu Ekonomi Barat menyuruh kita terus mengejar profit
sebesar-besarnya dan mengakumulasi kekayaan, sementara kita
punya budaya untung (Untung kita masih begini… Untung kita
masih punya ini…). Kalau kita terapkan semua ajaran ilmu-ilmu
Barat itu, artinya kita harus mencopot budaya kita dan
mengubahnya jadi budaya Barat. Wah! Kalau itu terjadi, semua
budaya lokal asli kita hilang semua, seiring dengan penerapan
semua ajaran ilmu-ilmu Barat itu. Maka, kita tidak akan
menemukan lagi kekhasan budaya kita; budaya di sini akan sama
dengan budaya di sana di Barat. Maka, penjajahan kebudayaan pun
terjadi. Itulah kesalahan paling parah yang telah dilakukan
pendidikan kita!

Jakob Sumardjo, dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia


(2003), juga mengeluh bahwa anak-didik kita salah asuhan. Mereka
salah asuhan karena mereka masuk ke sekolah (TK, SD, SMP, SMA,
Perguruan Tinggi), sementara sekolah itu didirikan tanpa
mengindahkan budaya setempat. Jelasnya begini: manusia
Indonesia itu terbagi jadi 3 kategori habitatnya. Ada ‘manusia
ladang’, ‘manusia sawah’, dan ‘manusia laut’. Berdasarkan
habitatnya pula, budaya manusia Indonesia terbagi jadi 3 kategori
budaya. Ada ‘budaya laut’, ‘budaya sawah’, dan ‘budaya ladang’.
Idealnya, menurut Jakob, ‘manusia ladang’ yang lahir dalam
‘budaya ladang’ memasuki sekolah yang bisa memajukan
peradaban perladangan, sementara ‘manusia laut’ dalam ‘budaya
laut’ memasuki sekolah yang bisa memajukan peradaban kelautan.
Juga, ‘manusia sawah’ dalam ‘budaya sawah’ semestinya memasuki
sekolah yang bisa memajukan peradaban persawahan. Dengan
kata lain, semestinya sekolah-sekolah itu harus dibagi 3 kategori
berdasarkan habitat dan budaya. Ada ‘sekolah ladang’, ‘sekolah
sawah’ dan ‘sekolah laut’. ‘Manusia sawah’ dari ‘budaya sawah’
harusnya memasuki ‘sekolah sawah’. Tapi kenyataannya tidak
begitu. Anak-didik dari ‘budaya sawah’ malah belajar di ‘sekolah
ladang’; anak-didik dari ‘budaya laut’ malah masuk ‘sekolah sawah’.
Akibatnya, terjadilah salah asuhan. Salah asuhan yang paling parah
ialah ‘manusia sawah’ dari ‘budaya sawah’ malah belajar teknologi
pesawat ulang-alik dan rekayasa genetis (genetic engineering) di
sekolah Amerika!

Salah asuhan semacam ini sering terjadi di sekitar kita. Saya


punya teman dari Magelang. Kakeknya, bapaknya, pamannya
petani (jadi, dia ‘manusia sawah’ dari ‘budaya sawah’). Dia
merantau ke Jakarta, belajar di Jurusan Teknik Arsitektur. Selesai
kuliah, dia pulang kampung. Di kampung, ia luntang-lantung. Mau
menggarap sawah, dia gak bisa bertani; mau bisnis Real Estate, dia
bingung. Kemana-mana yang dia lihat cuma sawah dan sawah dan
sawah. Tak betah di kampung, ia balik lagi ke Jakarta. Ia bekerja
dengan gaji lumayan, punya 1 istri baik, punya 3 anak. Bekerja
sebagai apa? Sebagai agen asuransi!
Semestinya ia memilih Jurusan Teknik Pertanian atau Teknologi
Pertanian, belajar segala ilmu-ilmu pertanian, menguasainya,
membuat inovasi pertanian, membuat ilmu baru di bidang
pertanian. Jadi, begitu dia pulang kampung, dia bisa membuat satu
bisnis pertanian dengan menggunakan ilmu-ilmu pertanian yang
dipelajarinya. Dia bisa sukses sebagai petani modern;
menggunakan teknologi pertanian untuk menyulap pertanian
tradisional jadi pertanian modern di kampungnya. Kampungnya
pun bukan lagi kampung tradisional, tapi jadi kampung modern,
karena penerapan teknologi dan inovasi teknologi pertanian yang
dia lakukan.

Dari dua budayawan tadi, kita bisa refleksi: kita harus segera
menyetop kebiasaan buruk kita yang suka mengkopi ilmu-ilmu
negeri lain tanpa memperhatikan budaya lokal kita. Mari kita bikin
ilmu-ilmu baru yang sesuai dengan iklim tropis kita, yang sesuai
dengan latar budaya kita, yang sesuai dengan kebutuhan riel kita
saat ini, kebutuhan riel masyarakat kita sendiri; ilmu-ilmu yang
sungguh-sungguh menjawab kebutuhan kita yang riel sekarang ini;
ilmu-ilmu yang menjawab soal-soal riel nasional kita detik ini.

Saya ingat dengan kasus vaksin palsu yang tersebar di rumah


sakit-rumah sakit kita yang belakangan ini terjadi. Ratusan
anak-anak kecil innocent diberi vaksin palsu oleh oknum-oknum
rumah sakit yang tak berhati dan tak berotak, yang lebih
memikirkan keuntungan finansial sesaat daripada akibat jangka
panjang vaksin palsu tersebut terhadap kesehatan bayi-bayi
mungil-imut kita. Soal itu butuh pemecahan dari ilmu-ilmu baru;
bukannya ilmu-ilmu kuno. Ilmu apa yang diperlukan untuk
pemecahan soal nasional yang riel itu? Ilmu-ilmu baru itu bisa saja
disebut Ilmu Kriminologi Farmasi, Ilmu Sosiologi Farmasi, Ilmu
Kriminologi Medis, Ilmu Politik Medis, Ilmu Antropologi Medis,
Ilmu Psikologi Kedokteran, Ilmu Psikologi Farmasi, Ilmu Politik
Farmasi, Ilmu Verifikasi Vaksin, Ilmu Kritik Vaksin, Ilmu
Otentifikasi Vaksin, Ilmu Vaksinologi Kritis, dan ilmu-ilmu baru
lainnya (Silahkan pembaca tambah seribu lagi ).

Marc Chun, seorang pakar Deeper Learning, menegaskan bahwa


di abad 21, soal-soal abad 21 hanya bisa diselesaikan oleh
ilmu-ilmu baru khas abad 21; bukannya ilmu-ilmu kuno abad 20,
apalagi ilmu-ilmu abad 19! Apa saja ilmu-ilmu baru abad 21 yang
bisa kita buat? Marc Chun menulis satu daftar ilmu-ilmu baru yang
wajib dikembangkan untuk kesuksesan karir di abad 21: Blogging,
Content Management, Patient Advocacy, Social Media Strategy, User
Experience Analysis, Video Journalism, Online Advertising
Management, Search Engine Optimization, dan Ilmu Sustainability
Management. Keren yah!
Islamisasi yang Gagal

Di tahun 1982, Ismail Raji al-Faruqi, cendekiawan Muslim


Palestina-Amerika, menulis buku The Islamization of Knowledge;
isinya mengajak kaum Muslim mengkritisi semua ilmu-ilmu Barat
yang mulai masuk, dipelajari, dikuasai, dan dilestarikan dalam
lembaga-lembaga pendidikan di negeri-negeri berpenduduk
mayoritas Muslim. Kenapa harus dikritisi? Karena ilmu-ilmu Barat
itu tidak bebas-nilai, tidak value-free, 100% obyektif murni, tapi
malah mengandung nilai-nilai (value-laden), yakni nilai-nilai Barat
yang amat sekuler dan atheistik. Kalau ilmu-ilmu Barat yang
kadung dipelajari dan dikuasai kaum Muslim itu tidak segera
di-islam-kan (Islamization), maka muncullah generasi Muslim di
negeri Muslim tapi di bawah sadarnya malah menjunjung nilai-nilai
sekuler Barat.

Gagasan beliau ditanggapi amat serius oleh semua otoritas


Muslim. Ada yang pro; tak sedikit yang kontra. Tapi karena
gagasan beliau, muncullah ilmu-ilmu baru made-in dan made-by
umat Islam, semisal Ilmu Ekonomi Islam (Ilmu Ekonomi Syari’ah),
Ilmu Perbankan Islam (Ilmu Perbankan Syari’ah), Ilmu Manajemen
Syari’ah, Ilmu Psikologi Islam, Ilmu Antropologi Islam, Ilmu
Epistemologi Islam, de-el-el. Imbasnya malah memunculkan
fenomena yang tidak kalah serunya: Salon Islami, Kolam Renang
Islami, bahkan Ojek Islami (Diskotik Islami, jugakah??).

Sayangnya, proyek mega-raksasa Islamisasi Ilmu tersebut lebih


merupakan tren tahun 1990an daripada program mondial umat
Islam yang riel dan berkelanjutan. Di tahun 2016an ini sudah tidak
terdengar lagi produksi ilmu-ilmu baru hasil islamisasi ini.
Everything, then, turns normal as always. Segalanya pun berjalan
seperti biasa kembali. Ilmu-ilmu produksi Barat terus diimpor di
dunia Islam. Yang sudah diislamkan, tetap hidup (seperti Ilmu
Perbankan Syari’ah), tapi ilmu-ilmu Barat baru yang belum sempat
diislamkan (mungkin karena umat Islam sudah sibuk cari posisi di
partai politik lokalnya), terus diimpor, terus dipelajari, terus
dikuasai. Tak ada kritik. Tak ada keluhan. Sudah ‘lâ ba’tsa!’. Sudah
dianggap tak berbahaya!

Lagipula, semua buku-buku (baca, ilmu-ilmu) di kebanyakan


(tepatnya mungkin, semua) SDIT, SMPIT, SMAIT, di Universitas
Islam, yang sempat saya teliti dan survei, tetap saja buku-buku
Barat yang berisi ilmu-ilmu Barat. Kalau pun ada, paling banter di
kover depannya diberi kaligrafi indah bertulisan ‘Bismillah’ dan di
kover belakangnya ‘Alhamdulillah’, tapi isinya ya itu-itu juga:
ilmu-ilmu Barat yang sudah tidak sempat diislamkan. Wajar saja
kalau ada yang mencari nafkah sebagai ustadz atau kyai; Wong
yang dia baca buku Ekonomi Kapitalis dan yang dia kuasai Ilmu
Ekonomi Kapitalis! Kalau kyai dan ustadz itu sejenis profesi, maka
semua keturunan Muhammad SAW seharusnya dapat royalty
bulanan dari copyright hadits dan ayat yang mereka pakai dalam
semua ceramah mereka. Iyya dong! Coba baca lagi deh
Undang-Undang HAKI, yang memang terinspirasi dari Kapitalisme
Global!

Semestinya, yang dilakukan bukan hanya islamisasi ilmu, tapi


produksi ilmu-ilmu baru. Daripada sekedar mengislamkan Ilmu
Ekonomi Kapitalis Barat, mengapa kita tidak membuat saja seribu
satu ilmu baru yang riel menjawab seribu-satu tantangan dan soal
kontemporer kita detik ini? Soal-soal umat Islam kontemporer
membutuhkan ilmu-ilmu yang juga kontemporer. Banyak umat
Islam di Indonesia yang masih miskin, ayo coba buat ‘Fiqih
Mengentaskan Kemiskinan’. Banyak umat Islam Indonesia yang
korupsi, ayo coba buat ‘Tafsir Menghapus Korupsi’. Banyak anak
Muslim kita yang menjadi korban pelecehan seksual di
pesantren-pesantren (ironis, bukan?), ayo coba buat ‘Tasawuf
Membebaskan Pelecehan Seksual’. Terlalu banyak pedagang
Muslim tapi berkelakuan kafir (seperti pedagang Bakso Borax
Segunung, pedagang kue-kue basah beracun, de-el-el), ayo coba
bikin ‘Fiqih Menghapus Kelakuan Kafir dalam Perdagangan Muslim’.
Terlalu banyak pemimpin politik Muslim tapi berakhlak kafir
(seperti politisi partai Muslim yang ikutan korupsi, ikutan berzina
dengan PSK cantik, ikutan nonton pertunjukan belly dance,
menghabiskan uang rakyat untuk hedonisme, de-el-el), ayo coba
buat ‘Fiqih Menghapus Kelakuan Kafir dalam Politik Islam’. Itu
lebih berdayaguna nyata daripada sekadar menempelkan ayat-ayat
dan hadits-hadits dalam semua baris halamannya, tapi kandungan
inti bukunya tetap berisi ajaran-ajaran dari Ilmu Ekonomi Kapitalis!

Cara-Cara Membuat Ilmu Baru

Ada banyak cara mencipta ilmu-ilmu baru, tapi di ruang dan


waktu yang sesak-sempit ini, ijinkan saya menyebut beberapa cara
saja (selebihnya bisa pembaca dapatkan dalam ‘Training Motivasi
Mencipta 1001 Ilmu Baru, Mencetak 1001 Profesor Baru’,
pastinya!).

Cara pertama ialah unifikasi atau menyatukan dua ilmu yang


sudah ada sehingga menjadi satu ilmu baru. Contohnya banyak
sekali, semisal Ilmu Zoologi digabung dengan Ilmu Geografi,
sehingga jadi ilmu baru Zoogeografi. Ilmu Politik digabung dengan
Ilmu Ekonomi, sehingga jadi Ilmu Politik Ekonomi atau Ilmu
Ekonomi Politik. Ilmu Linguistik digabung dengan Ilmu Neurologi,
sehingga jadi Ilmu Neurolinguistik. Ilmu Neurologi digabung
dengan Ilmu Ekonomi, sehingga jadi Ilmu Neuroekonomi. Begitulah
seterusnya.

Cara kedua ialah adaptasi. Maksudnya, mengadaptasi ilmu yang


sudah ada sebelumnya dengan mengubah subyek-materia nya
dengan subyek-materia yang baru. Misalnya, Ilmu Sosiologi kan
sudah ada, tapi kita ganti subyek-materia nya dengan Agama,
sehingga melahirkan ilmu baru Sosiologi Agama. Ilmu Antropologi
kan sudah ada, maka kita ganti saja subyek-materia nya jadi
Agama, sehingga melahirkan ilmu baru Antropologi Agama. Ilmu
Ekonomi kan sudah ada, maka tinggal diganti subyek-materia nya
dengan Pembangunan, maka lahirlah Ekonomi Pembangunan. Ilmu
Matematika diubah subyek-materia nya dengan Kebahagiaan, maka
lahirlah ilmu baru Matematika Kebahagiaan. Begitu seterusnya.

Cara ketiga ialah dialektika. Maksudnya, satu ilmu baru lahir


dan tercipta karena perbenturan satu ilmu lama yang sudah mapan
(thesis) dengan satu lagi ilmu lama yang menentangnya (antithesis).
Misalnya, Ilmu Ekonomi Kapitalis yang mapan (thesis) dilawan dan
ditantang kebenarannya oleh Ilmu Ekonomi Sosialis (antithesis),
sehingga melahirkan ilmu baru Ekonomi Campuran (Mixed
Economics) atau di Indonesia, lahirlah Ilmu Ekonomi Pancasila (a
tribute to Mubyarto!) atau Ekonomi Sosialis Pancasila (thanks to
Abdul Haris Nasution!).

Cara keempat ialah dengan re-packaging. Membungkus dengan


bungkus baru, tapi isinya kurang lebih sama. Misalnya, Muslim
tradisional punya Fiqih Perdagangan (Fiqh al-Tijârah), tapi Muslim
modern membungkusnya dengan bungkus baru, jadi disebut ‘Ilmu
Ekonomi Islam’ atau ‘Ilmu Ekonomi Syari’ah’. Orang Muslim dulu
punya Fiqih Politik (Fiqh al-Siyâsah), tapi Muslim modern
membungkusnya dengan bungkus baru, jadi disebut “Ilmu Politik
Islam’ atau ‘Ilmu Politik Syari’ah’. Begitu seterusnya.

Cara kelima ialah dengan cara creatio ex nihilo. Apa tuh


maksudnya? Well, mengenai cara kelima, cara keenam, dan
seterusnya saya tidak akan menjelaskannya di sini. Saya sengaja
biarkan pembaca penasaran dan bertanya-tanya. Saya persilahkan
pembaca hubungi nomor kontak saya untuk booking dalam
‘Training Motivasi Mencipta 1001 Ilmu Baru’ (promosi nih ye…).

Internet yang Revolusioner

Sudah saatnya kita stop konservatifisme keilmuan. Ilmu-ilmu


lama yang sudah kadaluarsa dan sudah tidak relevan dengan
situasi abad 21 ini sudah semestinya dienyahkan dan dibuang dari
sekolah-sekolah kita, lalu diganti dengan ilmu-ilmu baru yang lebih
relevan dan lebih updated.

Jika sekolah adalah jalan utama untuk mencetak para profesor


ilmu baru, maka sudah saatnyalah kita bangun sekolah yang
memang bervisi-misi mencipta ilmu baru—suatu ‘Sekolah Cipta
Ilmu’—di mana siswa-siswanya sedini mungkin diajari berkreasi
dan berkreasi, diberitahu bagaimana meningkatkan kreatifitas,
termasuk kreatifitas mencipta ilmu baru. ‘Sekolah Cipta Ilmu’ ini,
jika berhasil, sungguh akan mampu mencetak 1001 profesor baru
yang mumpuni dalam masing-masing bidang kepakarannya.

Sudah saatnya kita berhenti jadi konsumen ilmu-ilmu negeri lain.


Sudah saatnya pula kita berhenti jadi ‘jajahan keilmuan’ negeri lain.
Sudah saatnya kita memproduksi ilmu-ilmu sendiri, yang kelak
kita impor ke negeri-negeri lainnya.

Sudah saatnya kita menghentikan kebiasaan meniru, mengekor,


dan menjiplak ilmu-ilmu Barat, dengan tanpa memperhatikan dan
mengindahkan budaya setempat dan kearifan lokal kita sendiri.

Sudah saatnya kita mencipta ilmu-ilmu baru demi menjawab


tantangan dan soal-soal kontemporer yang riel terjadi di depan
mata kita, karena kehidupan kian lama kian kompleks, sehingga
membutuhkan ilmuwan-ilmuwan baru, profesor-profesor baru,
pakar-pakar baru, untuk memberikan solusi atas segala
masalah-masalah baru yang timbul.

Sudah saatnya umat beragama di Indonesia (baik Muslim,


Kristiani, Buddhist, Hindu, dan Konghucu) menghentikan
konsumsi mereka akan ilmu-ilmu imporan Barat yang sudah
nyata-nyatanya bertolak belakang dengan ajaran-ajaran relijius
mereka, karena rupa-rupanya ilmu-ilmu dari Barat itu tidak
value-free tapi value-laden, mengandung ajaran atheistik dan
sekuler. Sudah saatnya mereka membuat ilmu-ilmu baru
berlandaskan ajaran-ajaran relijius yang menjawab soal-soal
keumatan yang kontemporer; bukannya islamisasi ilmu,
kristenisasi ilmu, budhisasi ilmu, hinduisasi ilmu, bahkan
konghucuisasi ilmu yang dilakukan setengah-hati dan
malas-malasan. Soal-soal keumatan kontemporer kian hari kian
kompleks, yang membutuhkan solusi dari ilmu-ilmu baru hasil
kreatifitas umat itu sendiri.

Kalau birokrasi keilmuan konvensional kita tidak bisa


mendukung program ‘mencipta ilmu-ilmu baru’ yang kita anjurkan
ini. Maka, kita pun mesti membuat satu birokrasi keilmuan
revolusioner baru yang memungkinkan proses penciptaan
ilmu-ilmu baru sukses dibuat. Dengan bantuan teknologi
informasi/komunikasi mutakhir, maka birokrasi baru tersebut
mungkin dibuat. Dulu, penulis artikel Encyclopaedia Britannica
mestilah seorang profesor tua kawakan dan berpengalaman dan
berjabatan akademis yang harus wow. Dia harus rajin ke
perpustakaan, berkutat dengan buku-buku tebal berdebu dan
ber-rayap, demi pengakuan akan ke-guru-besar-an artikel yang
ditulisnya, sehingga artikelnya memiliki otoritas absolut penuh
yang tak bisa lagi dipertanyakan. Tapi kini, zaman kuno—zaman
feodalisme ilmu—itu sudah berlalu. Di zaman Internet, di mana
fungsi perpustakaan fisikal digeser jauh-jauh dari perpustakaan
dijital (semisal Google Search); di mana artikel ensiklopedia bisa
ditulis secara kolaboratif oleh berpuluh-puluh profesor muda
kritis dari Generasi Y dan Generasi Z yang sedang online di waktu
real time (seperti Wikipedia); di mana mereka bebas berdebat dan
saling mengritisi satu sama lain; di mana kemutlakan otoritas satu
artikel bisa dipertanyakan oleh profesor sedunia yang lagi online;
di mana topik-topik tabu yang dianggap ‘sampah intelektual’
justru malah diterima jika sidang editor menerimanya; di mana
kebekuan dan kekakuan birokrasi keilmuan malah jadi cair dan
solvent; maka, proses penciptaan ilmu-ilmu baru benar-benar
mungkin dilakukan.

Intinya begini: di zaman Internet berkuasa, kita tidak perlu


memakan waktu belajar bertahun-tahun; kita tidak perlu memakan
biaya belajar bermilyar-milyar; kita tidak perlu pula menulis
skripsi, lalu tesis, lalu disertasi, hanya untuk mendapat titel
keprofesoran. Sekarang ada jalan pintas atau ada shortcut untuk
mendapatkan gelar keprofesoran dengan mudah dan murah.
Untuk menjadi profesor baru di zaman Internet, kita cukup
membuat ilmu baru, melakukan riset komplit, menulis satu karya
serius dan dalam mengenainya, mengunggahnya, lalu membiarkan
pembaca di seluruh dunia mengunduhnya. Jika seribu orang
mengunduh buku kita, itu pertanda buku kita sangat otoritatif, dan
gelar profesor pun layak kita dapat. Tidak perlu acara seremonial
konvensional yang mubazir. Cukup 1000 likes dengan tanda
jempol seperti ini: . Bisakah profesor-profesor
tua-botak-tumpul-beku-diabetes dalam sistem birokrasi keilmuan
konvensional menghalangi perkembangan keilmuan yang amat
revolusioner ini? Tentu saja tidak; Wong mereka digital dinosaurs!
Kirim SMS saja mereka masih minta diketikin sama cucu .
Selamat mencipta ilmu-ilmu baru dan menjadi profesor-profesor
baru di alam Internet detik ini juga!

Anda mungkin juga menyukai