Laporan Daerah Penangkapan Ikan
Laporan Daerah Penangkapan Ikan
I. PENDAHULUAN
limnologi pada suatu habitat akuatik tertentu. Fitoplankton dalam melakukan fotosintesis
membutuhkan sinar matahari, penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat sesuai
dengan makin tingginya kedalaman suatu perairan tersebut. Oleh sebab itu, fitoplankton sebagai
produsen primer hanya didapat pada daerah atau kedalaman dimana sinar matahari masih dapat
menembus badan perairan. Sinar matahari yang masuk ke laut akan semakin berkurang
energinya karena diserap (absorbsi) dan disebarkan (scattering) oleh molekul-molekul di laut.
Selain berkurang energinya, sinar matahari yang masuk akan mengalami pula perubahan kualitas
Perairan samudera yang jernih, sinar ultraviolet bisa menembus sampai 10 m. Di perairan
pantai yang agak keruh tidak dapat mencapai satu sampai dua meter, maka hanya cahaya tampak
yang berperan dalam penembusan perairan. Semakin dalam semakin sempit spektrum
cahayanya, di perairan jernih pada kedalaman 100 m spektrum menyempit dengan puncak
transmitan 475 mm. Adapun kekeruhan di perairan menyebabkan penetrasi akan berkurang,
akibatnya penyebaran tumbuhan hijau dibatasi pada kedalaman 15 – 40 m, dimana cahaya masih
dapat dijumpai (Hutabarat, 2000).
Menurut Sudirman dan A. Mallawa (2004), jaring trawl (trawl net) adalah suatu jaring
kantong yang ditarik di belakang kapal, dimana kapal dalam keadaan berjalan menelusuri
permukaan dasar perairan untuk menangkap ikan, udang, dan jenis ikan demersal lainnya. Jaring
ini biasanya disebut juga sebagai jaring tarik dasar. Semua jaring trawl yang dilengkapi dengan
papan trawl tergolong otter trawl.
Menurut Diniah (2001), mengemukakan bahwa kata Trawl berasal dari kata rawling yang
berarti “kerja melakukan operasi penangkapan ikan dengan trawl. Umumnya jaring terdiri dari
kantong (codend), yang berbentuk empat persegi ataupun kerucut, dua lembar sayap (wing),
dihubungkan dengan tali penarik (wrap). Jaring ini ditarik horizontal didalam air karena
menerima tahanan dari air sehingga mulut jaring terbuka; keadaan ini diusahakan agar tetap
terpelihara selama operasi dilakukan. Mulut jaring arad yang dibatasi oleh head rope dan ground
rope ini diharapkan agar ikan–ikan dan makhluk lain yang menjadi tujuan penangkapan dapat
masuk bersama air yang tersaring, dengan perkataan lain ikan–ikan dapat terperangkap. Dengan
demikian, jaring bergerak aktif dan mengusahakan (dengan ditarik) agar ikan–ikan masuk
kedalam mulutnya.
2.3.2. Konstruksi
Konstruksi jaring arad secara terperinci terdiri dari bagian-bagian kantong, badan sayap
serta papan otter. Bagian ini terdiri dari bagian-bagian yang lebi kecil lagi. Menurut Balai
Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang (1996), bagian konstruksi alat tangkap arad terdiri
dari:
1. Sayap (wing)
Sayap merupakan bagian ujung jaring depan yang terdiri dari sayap kanan dan sayap kiri yang
memanjang berfungsi untuk menggiring ikan masuk ke dalam jaring. Pada kedua ujung depan
sayap tempat dipasangnya papan otter;
2. Badan (belly)
Badan jaring merupakan bagian antara sayap dengan kantong yang berbentuk lorong (corong)
sebagi lintasan udang atau ikan agar masuk ke dalam kantong;
3. Kantong (cod end)
Kantong merupakan bagian ujung belakang dari jaring yang mengerut sebagai tempat
berkumpulnya udang atau ikan yang tertangkap;
4. Papan otter (otter board)
Papan otter merupakan pengganti peran dari leno dan beam sehingga kedua sayap jaring terbuka
secara horizontal;
5. Tali segitiga atau tali cabang
Tali segitiga atau tali cabang merupakan penghubung antara papan otter dengan tali penarik;
6. Head roupe
Sebagai mulut jaring yang bukaan mulutnya berperan penting dalam penentuan CPUE dan
pendugaan dinamika populasi di suatu perairan;
7. Ground roupe
Sebagai ground rope untuk menampung kelebihan tangkapan dan sampah yang tidak tertampung
pada cod end (kantong);
8. Pelampung
Terbuat dari plastik yang dipasang pada arad. Hal ini perlu diperhatikan adalah: Jumlah gesekan
ke samping, gaya ke samping horizontal yang disebabkan oleh arus air, warp, dan otter boat dan
gaya dan gaya apung dan gaya tekan ke atas dari kekendoran jaring, head line dan gaya tekan ke
atas pelampung;
9. Pemberat
Sebagai beban agar arad mampu beroperasi di dasar perairan. Pemberat terbuat dari bahan metal
metal (besi, timah);
10. Tali penarik (towing warp)
Tali penarik merupakan tali yang digunakan untuk menarik alat tangkap yang langsung
dihubungkan dengan perahu.
2.3.3. Cara pengoprasian
Metode pengoperasian pada arad yaitu dengan cara menyaring ikan-ikan yang ada di
perairan. Selain itu arad juga menyapu semua yang ada di dasar perairan tanpa memilih. Ikan-
ikan dalam semua ukuran dapat terjaring tanpa adanya seleksi ikan pada saat pengoprasian
berlangsung (BPPI, 1996).
Menurut Sudirman dan A. Mallawa (2004), jaring trawl yang ditarik dengan kecepatan
besar itu sangat ideal, tetapi hal ini sukar untuk dicapai, karena dihadapkan pada beberapa hal
antara lain keadaan terbukanya mulut jaring, kekuatan kapal untuk menarik (HP), ketahanan
jaring terhadap tahanan air, resistance yang semakin membesar sehubungan dengan catch yang
semakin bertambah. Pada umumnya jaring ditarik dengan kecepatan 3 - 4 knot. Kecepatan ini
berhubungan dengan swimming speed ikan, keadaan dasar laut, arus, angin, dan gelombang.
Pada umumnya waktu penarikan berkisar antara 3 - 4 jam, dan terkadang hanya membutuhkan
waktu 1 - 2 jam.
Gambar 1. Pengoperasian Arad
2.3.4. Daerah operasi
Menurut BPPI (1996), menyatakan bahwa daerah penangkapan arad adalah perairan
pantai berlumpur, pasir, atau lumpur campur pasir pada kedalaman yang relatif dangkal dengan
topografi dasar yang relatif datar.
Menurut Mukhtar (2008), terdapat dua jalur penangkapan dengan pukat hela, yaitu:
1. Jalur I, meliputi perairan di atas 1 (satu) mil sampai dengan 4 (empat) mil yang diukur dari
permukaan air pada surut terendah yang hanya diperbolehkan bagi pengoperasian kapal pukat
hela dengan ukuran sampai dengan 5 (lima) gross tonnage (GT).
2. Jalur II, meliputi perairan di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil yang diukur
dari permukaan air pada surut terendah yang hanya diperbolehkan bagi pengoperasian kapal
pukat hela dengan ukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT.
Setiap kapal pukat hela yang wilayah operasinya di jalur I dapat beroperasi di jalur II
dan/atau di atas 12 (dua belas) mil, dan kapal pukat hela yang wilayah operasinya di jalur II
dapat beroperasi di atas 12 (dua belas) mil dan sebaliknya. Setiap kapal pukat hela yang wilayah
operasinya di jalur II dilarang beroperasi di jalur I (Mukhtar, 2008).
2.3.4. Hasil tangkapan
Menurut Sudirman dan A. Mallawa (2004), hasil tangkapan utama dari jaring arad adalah
ikan demersal seperti Petek, Udang, Kurisi, dan hasil tangkapan sampingan pelagis seperti Layar,
Selar, Kembung, Lemuru, Tembang, Japuh dan lain-lain. Jaring arad kali ini tergolong jenis-jenis
ikan demersal, sesuai target pengoperasian jaring arad. Ikan hasil tangkapan dapat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan yang cukup mendukung, banyak ikan yang beraktivitas pada waktu
tersebut, dan faktor luas sapuan jaring yang besar sehingga banyak ikan yang terjaring. Ikan hasil
tangkapan tersebut dapat tertangkap oleh jaring arad karena termasuk jenis-jenis ikan yang
berhabitat di dasar perairan dan sesuai dengan tujuan utama hasil tangkapan oleh pengoperasian
jaring arad
Menurut Mukhtar (2008), hasil tangkapan ikan dengan pukat hela adalah hampir sama
dengan alat tangkap yang sejenis seperti pukat udang dan fish net. Hasil tangkapan pukat hela,
yaitu: berbagai jenis udang, gulamah, kakap, bawal hitam, bawal putih, layur, molusca, betek,
beloso, kurisi, kerong-kerong dan gerot-gerot, kuwe, selar, manyung, cucut, kembung, biji
nangkah, pisang-pisang, golok-golok, cumi-cumi, kacangan, senangin, beloso, sardin, serta ikan
lainnya.
Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum laboratorium Daerah Penangkapan Ikan
No Alat dan Bahan Ketelitian Kegunaan
1. Sampel sedimen - Sebagai bahan praktikum
2. Oven - Untuk mengeringkan
substrat
3. Sieve shaker - Untuk menyaring substrat
4. Alumunium foil - Sebagai wadah substrat
5. Gelas ukur 1L 50 ml Wadah substrat yang
diencerkan
6. Pipet hisap - Untuk pemipetan
7. Timbangan 0,001 gram Untuk menimbang substrat
elektrik
8. Mangkok porselen - Untuk menghaluskan
9. Mortar - substrat
Untuk menumbuk substrat
10. Saringan tepung - Untuk menyaring substrat
yang dihaluskan
11. Kuas - Untuk membersihkan
sieve shaker
b. Salinitas
1. Mempersiapkan alat untuk mengukur salinitas;
2. Mengambil sampel dengan pipet tetes kemudian diletakkan pada refraktometer; dan
3. Melihat salinitas yang sedang diukur dengan diterawang.
c. Kecepatan arus
1. Mempersiapkan alat untuk mengukur kecepatan arus;
2. Memasukkan currentmeter ke dalam perairan; dan
3. Melihat angka yang ditunjukkan currentmeter.
d. Substrat dasar
a. Teknik Lapangan
1. Mempersiapkan alat untuk mengambil sampel tanah;
2. Memasukkan Grab ke dalam perairan hingga dasar;
3. Mengambil sampel tanah dengan Grab, lalu menariknya; dan
4. Sampel tanah siap untuk dianalisa di laboratorium.
b. Teknik Laboratorium
1. Mengeringkan sampel tanah dengan oven sampai kering;
2. Setelah kering, menumbuk sampel tanah dengan mortar sampai halus;
3. Menyaring sampel tanah yang sudah halus dengan saringan tepung meshsize 1 mm;
4. Menimbang sampel yang telah disaring sebanyak 25 g dan dimasukkan ke dalam cawan;
5. Melakukan penyaringan basah (dengan air) dengan saringan meshsize 53 μm. Tanah yang
tersaring dimasukkan kedalam gelas ukur berisi 1 liter;
6. Memasukkan sisa tanah yang tidak tersaring ke dalam cawan dan di oven, kemudian disaring
dengan sieve shaker (penyaring bertingkat) yang lolos dimasukkan ke dalam gelas ukur 1 liter;
7. Menimbang tanah yang tidak tersaring pada masing-masing saringan menurut ukuran
saringannya. Berat total tiap saringan merupakan berat pasir (sand);
8. Melakukan pemipetan pada tanah yang telah dimasukkan dalam gelas ukur 1 liter, dengan
langkah-langkah:
a. Menggojok (membolak-balikkan) gelas ukur;
b. Melakukan pemipetan I setelah 58’’, pipet hisap dimasukkan sedalam 20 cm dan menghisap air
sebanyak 20 ml air, kemudian dimasukkan ke dalam cawan A;
c. Melakukan pemipetan II setelah 1’56’’, ke dalam pipet 10 cm dan isi pipet sebanyak 20 ml,
kemudian dimasukkan ke dalam cawan B;
d. Melakukan pemipetan III setelah 7’44’’, ke dalam pipet 10 cm dan isi pipet sebanyak 20 ml,
kemudian dimasukkan ke dalam cawan C;
e. Melakukan pemipetan IV setelah 31’, ke dalam pipet 10 cm dan isi pipet sebanyak 20 ml,
kemudian dimasukkan ke dalam cawan D;
f. Melakukan pemipetan V setelah 2 jam 3’, ke dalam pipet 10 cm dan isi pipet sebanyak 20 ml,
kemudian dimasukkan ke dalam cawan E; dan
g. Memasukkan cawan A,B,C,D, dan E ke dalam oven, dioven sampai kering, kemudian
ditimbang.
e. Suhu air
1. Memasukkan termometer ke dalam perairan; dan
2. Melihat skala yang ditunjukkan termometer setiap 5 menit.
4. Mensortir dan mengidentifikasi langsung di atas kapal hasil tangkapan yang diperoleh. Bila
tidak memungkinkan hasil tangkapan dipisahkan menurut jenisnya dan masing-masing
dimasukkan dalam plastik dan diidentifikasi di darat; dan
5. Ulangi langkah 2 – 4 pada setiap stasiun berikutnya.
D
Keterangan:
a = panjang tali cabang sampel (m)
b = bukaan tali sampel (m)
c = panjang tali selambar/warp (m)
d = bukaan Otter Board (m)
B. Perkiraan bukaan mulut jaring
S=
Keterangan:
SD : Stock Density (kg/km2)
CPUE : rata-rata hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg)
A : luas sapuan (km2)
Ef : Escapment factor (0,5)
3.3.2. Substrat
Perhitungan tekstur sedimen:
1. Fraksi Pasir
Didapatkan dari hasil penimbangan sampel sedimen yang tidak lolos pada masing-masing
tingkat saringan yang berbeda pada sieve shaker kemudian dijumlahkan (berat total).
Prosentase fraksi pasir: E = x 100 %
2. Fraksi Lempung
Didapatkan dari hasil pemipetan sebanyak 5 kali dengan waktu yang berbeda. Masing-
masing sampel yang telah dioven kemudian ditimbang beratnya lalu dikonversikan dengan
mengalikan 50.
Berat fraksi lempung: (A’- B’) + (B’ - C’) +(C’ – D’) + (D’ – E’)
Prosentase fraksi lempung = x 100 %
3. Fraksi Liat
Prosentase fraksi lempung = 100 % - % fraksi pasir - % fraksi lempung
Berikut adalah tabel data hasil pengamatan pada hasil tangkapan stasiun 2:
Tabel 4. Hasil tangkapan pada stasiun 2
Panjang (cm) Berat
No. Jenis
Maksimum Minimum (kg)
1. Udang putih (Penaeus 12 4,9 0,62
merguensis)
2. Ikan Belanak (Mugil sp) 19 5,3 0,114
3. Ikan Sebelah (Psettodes 8 5 0,142
4. erumei) 4 2 0,068
5. Ikan Petek (Leiognatus sp) 10 7 0,176
Ikan Tiga waja (Jhonius
dussumieri)
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum daerah penangkapan ikan yang telah kami
lakukan suhu tertinggi 29oC yang berada di stasiun 1. Kemudian tidak didapatkan data tentang
suhu dikarenakan alat yang digunakan untuk mengetahui suhu pecah dan tidak bisa digunakan
lagi.
Karena sifat air yang tidak mudah melepas dan menerima panas, sehingga suhu air
mengalami perubahan secara perlahan. Selain itu juga faktor kedalaman juga mempengaruhi
suhu perairan. Semakin dalam suatu perairan maka suhu akan semakin rendah. Hal ini dapat
dilihat dari hasil praktikum daerah penangkapan ikan ini. Ikan laut termasuk jenis hewan yang
eksotermik yang artinya memiliki suhu tubuh yang sangat dipengaruhi oleh suhu massa air yang
ada di sekitarnya. Hampir semua hewan laut memang termasuk golongan hewan yang
eksotermik, kecuali burung laut dan mamalia laut yang endotermik karena keduanya tersebut
dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri (Effendie, 2003).
4.4.2. Arus
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum daerah penangkapan ikan yang telah kami
lakukan, didapatkan hasil pengamatan tentang arus. Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan
terhadap arus.
Tabel 7. Hasil pengukuran parameter arus
Arus (m/s)
Menit
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
5 menit ke-1 0,7 0,8 1,05
5 menit ke-2 0,7 0,8 1,05
5 menit ke-3 0,75 0,95 1,05
5 menit ke-4 0,7 0,85 1,1
5 menit ke-5 0,75 0,85 1,1
5 menit ke-6 0,8 0,85 1,1
Dari hasil pengukuran diketahui, semakin jauh dari pantai kecepatan arus semakin tinggi.
Radiasi matahari merupakan faktor primer yang menyebabkan timbulnya arus di laut. Karena
adanya pemanasan yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, akibatnya angin
berhembus dari daerah tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah.
Arus laut baik yang di permukaan maupun kedalaman, berperan dalam iklim di Bumi
dengan cara menggerakkan air dingin dari kutub ke daerah tropis dan sebaliknya. Air laut selalu
dalam keadaan bergerak. Arus laut tak ubahnya arus sungai, gelombang laut bergerak dan
menabrak pantai, dan gaya gravitasi bulan dan matahari mengakibatkan naik turunnya air laut
dan biasa di sebut sebagai fenomena pasang surut laut (Hutabarat, 2000).
4.4.3. Salinitas
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum daerah penangkapan ikan yang telah kami
lakukan, didapatkan hasil pengamatan tentang salinitas. Berikut ini adalah tabel hasil
pengamatan terhadap salinitas.
Tabel 8. Hasil pengukuran parameter salinitas
Salinitas (‰)
Menit
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
5 menit ke-1 28 29 29
5 menit ke-2 29 30 26
5 menit ke-3 29 30 26
5 menit ke-4 30 30 29
5 menit ke-5 30 30 29
5 menit ke-6 29 30 29
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum daerah penangkapan ikan yang telah kami
lakukan, Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan kadar salinitas pada saat pelaksanaan
praktikum yaitu, besar kecilnya penguapan atau evaporasi, penguapan menyebabkan
bertambahnya kadar salinitas karena penguapan menyebabkan berkurangnya volume air
sedangkan kadar garam yang terlarut dalam air tetap. Semakin besar penguapan maka semakin
besar pula kadar salinitasnya. Dari hasil pengukuran salinitas, semakin sore kadar salinitas di
perairan Semarang semakin rendah.
Tiap jenis ikan menyenangi kadar garam atau salinitas yang berbeda untuk lingkungan
hidupnya. Ada jenis ikan yang senang di perairan yang kadar garamnya tinggi (dengan fluktuasi
kecil). Ada juga ikan yang senang hidup di perairan yang kadar garamnya rendah (dengan
fluktuasi besar) (Effendie, 2003).
Substrat berlumpur ini berasal dari sedimen yang dibawa ke dalam estuaria baik oleh air
laut maupun air tawar. Pengangkutan partikel pasir yang lebih besar oleh angin ke dalam estuaria
sering kali penting artinya di beberapa daerah, khususnya bagi gobah pesisir pantai yang terletak
di belakang pantai. Mengenai air tawar sungai mengangkut partikel lumpur dalam bentuk
suspensi. Ketika partikel tersuspensi ini mencapai dan bercampur dengan air laut di estuaria,
kehadiran berbagai ion yang berasal dari air laut menyebabkan partikel lumpur menggumpal,
membentuk partikel yang lebih besar dan lebih berat serta mengendap membentuk dasar lumpur
yang khas (Effendie, 2003).
4.4.5. Kedalaman
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum daerah penangkapan ikan, didapatkan hasil
pengamatan tentang kedalaman. Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan terhadap kedalaman.
Tabel 9. Hasil pengukuran parameter kedalaman
Kedalaman (m)
Menit
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
5 menit ke-1 6,2 - -
5 menit ke-2 6,5 - -
5 menit ke-3 8,4 - -
5 menit ke-4 8,7 - -
5 menit ke-5 8,2 - -
5 menit ke-6 9,5 - -
Dari data di atas dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum daerah penangkapan ikan yang telah kami
lakukan kedalaman tertinggi 9,5 m yang berada di stasiun 1. Kemudian tidak didapatkan data
tentang kedalaman dikarenakan alat yang digunakan untuk mengetahui kedalaman tidak bisa
digunakan (mati).
Menurut Hutabarat (2000), kedalaman suatu perairan erat kaitannya dengan intensitas
cahaya matahari yang masuk ke dalam kolom air, hal ini akan berakibat terjadinya stratifikasi
suhu dan berdampak pada proses fotosintesis yang memerlukan bantuan sinar matahari. Perairan
Indonesia binatang laut dapat dijumpai pada kedalaman antara 2 – 6 m, bahkan ada yang
ditemukan di paparan terumbu karang yang terbuka pada saat air surut dan ada yang ditemukan
di terumbu karang hidup, bahkan pada kedalaman 33 m terdapat sekitar 7 jenis binatang laut.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kepadatan stok ikan demersal pada Praktikum Daerah
Penangkapan Ikan diperairan Semarang tertinggi udang putih pada alat tangkap garuk adalah
668,3375 kg/km2, dan terendah udang ronggeng pada alat tangkap arad adalah 176,565 kg/km2.
Kepadatan stok tiap stasiun tidak teratur atau naik turun, hal ini dapat disebabkan banyak faktor
diantaranya: faktor oceranografi, alat tangkap, sarana kapal, dan praktikan itu sendiri. Pada
kenyataannya hasil tangkapan yang paling banyak adalah udang putih.
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Daerah Penangkapan Ikan di Tambak
Lorok adalah sebagai berikut:
1. Cara untuk menentukan daerah penangkapan ikan diantaranya adalah dengan; berdasarkan
pengalaman nelayan sebelumnya dan dengan menggunakan fishfinder.
2. Faktor–faktor lingkungan yang mempengaruhi penentuan daerah penangkapan ikan ialah
kedalaman, suhu, salinitas, substrat dasar perairan dan arus.
3. Hasil tangkapan terbanyak dari praktikum DPI pada tanggal 4 April lalu adalah jenis udang
putih.
5.2. Saran
Berdasarkan praktikum Daerah Penangkapan Ikan saran yang diberikan adalah sebagai
berikut :
1. Metoda penentuan daerah penangkapan ikan sebaiknya benar-benar dikuasai, bukan hanya
sekedar dari pengalaman para nelayan.
2. Penentuan lokasi daerah penangkapan ikan sebaiknya berada tidak jauh dari pelabuhan
pendaratan ikan agar ikan yang ditangkap dapat segera ditangani dengan baik.
3. Sebaiknya alat tangkap yang digunakan untuk praktikum lebih banyak dan stasiun
diperbanyak.
4. Untuk mempermudah jalannya praktikum alangkah lebih baik jika untuk praktikum lapangan,
khususnya untuk berlayar disediakan perahu sendiri untuk praktikan, sehingga tidak perlu
menyewa dari nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan. 2005. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia.
Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang.
Diniah, 2001. TRAWL : Suatu Tinjauan Terhadap Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1980. Makalah Falsafah Sains Program Pascasarjana, Bogor : Fakultas Pascasarjana
IPB dalam http://tumoutou.net/3_sem1_012/diniah.htm (21 juni 2006).
Nelwan, Alfan. 2004. Artikel Ilmiah/journal/Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702), Bogor IPB.
Halaman 25-37.pdf
Nomura M. 1981. Fishing Tecniques 2. Japan International Cooperation Agency,Tokyo. p119 – 120.
Sudirman dan Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta, Jakarta.
Sudirman. 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan untuk mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan dalam
Proses Penangkapan pada Bagan Rambo. Disertasi(tidak dipublikasikan), Bogor: IPB, Program
pascasarjana. Halaman 270 – 272.
Tambahkan komentar
RSN'Blog
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
Standarisasi
Laporan mopi
definisi planning
Teknik Pengukuran Tingkat Produktivitas Alat Tangkap Gill Net Di Perairan Rawa
Pening
Download pasha ungu feat rossa-KUPINANG KAU DENGAN BISMILLAH (ost kupinang
kau dengan bismillah).flv video on savevid.com
laporan navigasi
laporan ekoper
Biopi pendahuluan
laporan avertebrata
posting pertama
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah. 2007. Teknologi Referigrasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pembekuan Ikan. CV.
Paripurna, Jakarta.
Afrianto, Eddy dan Evi, L. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Agustini, TW., Darmanto, YS., dan Putri, DPK. 2008. Evaluation On Utilization Of Small Marine Fish
To Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents To Increase The Quality Of Surimi.
Journal of Coastal Development Volume 11, Number 3. http://www.akademik.unsri.ac.id/ (01
Desember 2011, 21.10).
Berka, R. 19SG. The Transportation of Live Fish. A Riview. EUFAC Technology Paper, 48:l-52.
Caggiano, M. 2009. Quality in harvesting and post harvesting procedures influence on quality. Fish
and freshness and quality assessment for sea bass and sea bream. Torre Canne di Fassano, Italy.
Darmanto. 1998. Pengaruh Pre Rigor, Rigor, Post Rigor terhadap Indeks Rigor K-Value dan
Kemunduran Mutu Pasta Ikan pada Berbagai Jenis Ikan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Ilmu
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Edisi Maret 1998 [Jurnal]. UNDIP,
Semarang.
Djazuli, N. dan T. Handayani 1992. Transportasi Ikan Hidup dan Olahan Hasil Laut. Balai Bimbingan
dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Jakarta.
Feistel and Wagner. 2006. "A New Equation of State for H2O Ice Ih". J. Phys. Phys. Chem.Ref.
Hari, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
Hidayat, Nur dan Suhartini, S. 2005. Olahan Ikan Segar. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Ilyas, S dan Yunizal. 1993. Teknik Refrigerasi Hasil-Hasil Perikanan. Lembaga Teknologi Perikanan.
Jakarta.
Ilyas, S . 1993. Teknologi Referigrasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pembekuan Ikan. CV.
Paripurna, Jakarta.
Indra, J dan Dewi, K.R. 2006. Aplikasi Metode Akustik untuk Uji Kesegaran Ikan. Buletin Teknologi
Hasil Perikanan Vol. IX Nomor 2 Tahun 2006 [Jurnal].
Irianto, E. H. dan Soesilo. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. [Seminar].
Bogor. [Jurnal].
Martyshev, F.G. 1983. Pond Fisheries. Ameerican Publishing Company. PVT Limited. New Delhi.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murniyati, A.S. dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Saanin, H. 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Binacipta Anggota IKAPI. Bogor.
Saanin, H. 2001. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1 dan 2. Bina Tjipta. Bogor.
Shawyer, M. and Pizzali. 2003. The Use of Ice on Small Fishing Vessels. [Jurnal].
Sorensen, N.K., Brataas, Nyvold, T.E., dan Lauritzen. 1997. Influence of Early Processing (Pre-Rigor)
on Fish Quality [Jurnal]. http://www.ub.uit.no /munin/bitstream/10037/1819/5/paper_1.pdf (19
November 2011).
Tabrani. 1997. Teknologi Hasil Perairan. Universitas Islam Riau Press. Riau.
Lihat komentar
1.
Balas
Memuat
Rahayu Septia Ningsih. Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.