Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH EKOLOGI LAHAN BASAH

EKOSISTEM MANGROVE

Disusun Oleh:

Nuraini (93218007)

Dosen Pengampu:

Dr. Yetty Hastiana, M.Si

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena
luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove
terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-
budaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi
karbon, remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut,
dan gelombang badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan
dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta
pembentuk daratan. Fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove meliputi kayu bangunan,
kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap
ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap huma,
tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat, dan
bahan pewarna, serta memiliki fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi,
pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove
dunia, termasuk Indonesia, sangat cepat dan dramatis. Ancaman utama kelestarian
ekosistem mangrove adalah kegiatan manusia, seperti pembuatan tambak (ikan dan
garam), penebangan hutan, dan pencemaran lingkungan. Di samping itu terdapat pula
ancaman lain seperti reklamasi dan sedimentasi, pertambangan dan sebab-sebab alam
seperti badai.

Restorasi hutan mangrove mendapat perhatian secara luas mengingat tingginya


nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi berpotensi besar menaikkan
nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah
kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan,
2002). Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan menjadi pemanfaatan
ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk-produk yang
dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial ekonomi dan budaya). Secara tradisional,
masyarakat setempat menggunakan mangrove untuk memenuhi berbagai keperluan
secara lestari, tetapi meningkatnya jumlah penduduk dapat menyebabkan terjadinya
tekanan yang tidak terbaharukan pada sumber daya ini. Referensi tertua mengenai
pemanfaatan tumbuhan mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni penggunaan
bibit (seedling) Rhizophora sebagai sumber pangan, getah untuk mengobati sakit mulut,
batang tua untuk kayu bakar, tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman yang
memiliki efek afrodisiak bagi lelaki dan pengasihan bagi perempuan

Mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas , yaitu komunitas


atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang
surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies. Supaya tidak rancu, Macnae
kemudian menggunakan istilah "mangal" apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan
"mangrove" untuk individu tumbuhan. Kata mangrove merupakan kombinasi antara
bahasa Portugis "mangue" dan bahasa Inggris "grove". Dalam bahasa inggris kata
mangro ve digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan
pasang surut maupun untuk individuindividu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas
tersebut. Beberapa ahli mendefinisikan istilah "mangrove" secara berbeda-beda, namun
pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah
tidal forest, coastalwoodland, vloedbosschen dan hutan payau (Bahasa Indonesia).
Mangrove juga dapat disebut sebagai tumbuhan yang memiliki kekhasan habitus maupun
habitat yang tidak dimiliki oleh tumbuhan lain. Komunitas ini hidup pada daerah pasang
surut dengan salinitas yang relatif tinggi dan kondisi perairan yang berubah-ubah
(tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut) dengan reaksi
tanah anaerob. Untuk bertahan hidup, mangrove melakukan adaptasi dengan membentuk
akar yang keluar dari dalam tanah untuk membantu pengambilan udara langsung karena
tanah tempat tumbuh yang bersifat anaerob. Jadi bisa dikatakan bahwa hutan mangrove
dicirikan sebagai hutan yang habitatnya tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang
surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah pantai dan tidak mempunyai struktur tajuk.
BAB II

PEMBAHASAN

2. Ekosistem Mangrove
2.1 Karakteristik/Ciri Dan Sifat Ekosistem Mangrove

Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik
adalah :

 Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;


 Memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung
dan menjulang pada bakau Rhizophora sp ., serta akar yang mencuat vertikal seperti
pensil pada pidada Sonneratia sp. dan pada api-api Avicennia sp.;
 Memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah dipohonnya,
khususnya pada Rhizophora sp.;
 Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Kondisi Biologi - Tipe Vegetasi Mangrove Struktur Secara umum mangrove tumbuh
dalam 3 zona, yaitu zona depan, zona tengah dan zona belakang.

a. Zona depan merupakan daerah yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini
umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis mangrove yang mampu beradaptasi dengan
salinitas tinggi. Zona depan mangrove didominasi oleh marga Avicennia dan
Sonneratia,
b. Zona tengah merupakan zona yang terletak di bagian tengah vegetasi mangrove .
Zona ini memiliki karakteristik terlindung dari hempasan ombak dan berlumpur
tebal. Zona ini umumnya berkembang pada daerah intertidal yang luas
Oksigen terlarut pada mangrove relative rendah, yaitu rata-rata hanya berkisar antara
2,39 ppm - 3,22 ppm, namun kadar oksigen yang rendah tersebut mampu diatasi oleh
ekosistem mangrove karena ekosistem mangrove memiliki mekanisme internal yang
akan mengatasi timbulnya reaksi anoksik di dalam perairan. Sistem perakaran yang besar
dan mencuat dari perairan digunakan untuk menangkap oksigen dari udara oleh
mangrove, sementara hasil fotosintesis tumbuhan air yang tidak terlalu besar
kandungannya dapat dipergunakan oleh biota perairan lainnya. Faktor fisik lain yang
berpengaruh terhadap keberadaan mangrove adalah salinitas. Kondisi salinitas sangat
mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas
dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu
menghindari penyerapan garam dari media tumbuhan, sementara beberapa jenis yang
lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya. Pada salinitas
ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis
Sonneratia umumn ya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas
air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 o/oo. Para ahli
menemukan beberapa jenis lain yang juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti
Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40 o/oo, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa
pada salinitas 55 o/oo, dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan Lumnitzera
racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 o/oo.

Adapun ciri-ciri ekosistem mangrove menurut Wardhani (2014) sebagai


berikut:
1. Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari
habitatnya yang unik, adalah :
a) Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit
b) Memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar
melengkung dan menjulang pada bakau (Rhizophora spp.), serta akar yang
mencuat vertikal seperti pensil pada pidada (Sonneratia spp.) dan pada api-api
(Avicennia spp.)
c) Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,
khususnya pada Rhizophora
d) Memiliki lentisel pada bagian kulit pohon
2. Tempat tumbuh hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki
ciri-ciri khusus, diantaranya adalah :
a) Tanah tergenang air laut secara berkala, baik setiap harinya atau hanya tergenang
pada saat pasang purnama
b) Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
c) Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat
d) Airnya berkadar garam (bersalinitas), dari payau (2-22 ‰) hingga asin

2.2 Fungsi Ekosistem Mangrove

Ekosistem hutan mangrove menggambarkan adanya hubungan yang erat antara


sekumpulan vegetasi dengan geomorfologi, yang ditetapkan sebagai habitat. Fenomena
yang muncul di kawasan pantai adalah terjadinya proses pengendapan sedimen dan
kolonisasi oleh tumbuhan mangrove dari jenis Rhizophora stylosa yang dikenal sebagai
jenis pioner, sehingga memungkinkan bertambahnya luas areal hutan mangrove. Kondisi
sebaliknya juga dapat terjadi apabila kawasan pantai tersebut tidak terlindung, hal ini
disebabkan oleh adanya proses erosi pantai sebagai akibat gelombang laut. Terkait
dengan fenomena tersebut, Edi wibowo (2015) mengungkapkan bahwa ekosistem hutan
mangrove merupakan refleksi dinamik antara variasi iklim dari proses-proses yang
terjadi di kawasan pesisir dan kombinasi interaksi biologis, antara lain seperti flora, fauna
dan elemen fisiknya termasuk intervensi aktivitas manusia. Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang dikenal memiliki peran dan
fungsi sangat besar. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting
dalam memainkan peranan sebagai mata rantai makanan di suatu perairan, yang dapat
menumpang kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Perlu diketahui bahwa
hutan mangrove tidak hanya melengkapi pangan bagi biota aquatik saja, akan tetapi juga
dapat menciptakan suasana iklim yang kondusif bagi kehidupan biota aquatik, serta
memiliki kontribusi terhadap keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Kekhasan
tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti Rhizophora sp., Avicennia sp.
dan Sonneratia sp. dan kondisi lantai hutan, kubangan serta alur-alur yang saling
berhubungan merupakan perlidungan bagi larva berbagai biota laut. Kondisi seperti ini
juga sangat penting dalam menyediakan tempat untuk bertelur, pemijahan dan
pembesarkan serta tempat mencari makan berbagai macam ikan dan udang kecil, karena
suplai makanannya tersedia dan terlindung dari ikan pemangsa. Ekosistem mangrove
juga berperan sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove mempunyai
peranan sebagai pelindung kawasan pesisir dari hempasan angin, arus dan ombak dari
laut, serta berperan juga sebagai benteng dari pengaruh banjir dari daratan. Tipe
perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove (pneumatophore) tersebut juga mampu
mengendapkan lumpur, sehingga memungkinkan terjadinya perluasan areal hutan
mangrove. Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan mangrove juga mampu berperan
sebagai perangkap sedimen dan sekaligus mengendapkan sedimen, yang berarti pula
dapat melindungi ekosistem padang lamun dan terumbu karang dari bahaya pelumpuran.
Terciptanya keutuhan dan kelestarian ketiga ekosistem dari bahaya kerusakan tersebut,
dapat menciptakan suatu ekosistem yang sangat luas dan komplek serta dapat
memelihara kesuburan, sehingga pada akhirnya dapat menciptakan dan memberikan
kesuburan bagi perairan kawasan pantai dan sekitarnya (Pramudji. 2014)

Manfaat ekosistem mangrove yang berhubungan dengan fungsi fisik adalah


sebagai mitigasi bencana seperti peredam gelombang dan angin badai bagi daerah yang
ada di belakangnya, pelindung pantai dari abrasi, gelombang air pasang (rob), tsunami,
penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan,
pencegah intrusi air laut ke daratan, serta dapat menjadi penetralisir pencemaran perairan
pada batas tertentu. Manfaat lain dari ekosistem mangrove ini adalah sebagai obyek daya
tarik wisata alam dan atraksi ekowisata dan sebagai sumber tanaman obat (Suhastini, D.
2011)nEkosistem mangrove berfungsi sebagai habitat berbagai jenis satwa. Ekosistem
mangrove berperan penting dalam pengembangan perikanan pantai karena merupakan
tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan,
kerang, kepiting, dan udang. Jenis plankton di perairan mangrove lebih banyak
dibandingkan di perairan terbuka. Hutan mangrove menyediakan perlindungan dan
makanan berupa bahan organik ke dalam rantai makan. Bagian kanopi mangrove pun
merupakan habitat untuk berbagai jenis hewan darat, seperti monyet, serangga, burung,
dan kelelawar. Kayu pohon mangrove dapat digunakan sebagai kayu bakar, bahan
pembuatan arang kayu, bahan bagunan, dan bahan baku bubur kertas.

Ekosistem mangrove memiliki multifungsi, yaitu fisik, ekologis dan sosial ekonomi.
Secara fisik, mangrove mampu menahan gelombang tinggi, badai dan pasang sewaktu -
waktu, sehingga mengurangi abrasi pantai. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi
sebagai sumber plasma nutfah, tempat bertelur dan bersarangnya biota laut. Mangrove
juga dikatakan sebagai ekosistem yang sangat produktif karena mangro ve merupakan
tempat yang ka ya akan bahan organik dan bahan makanan lain bagi biota. Dari segi
sosial ekonomi, mangrove dapat digunakan sebagai areal tumpangsari dengan
memelihara jenisjenis ikan payau yang bernilai ekonomi tinggi, atau yang sering disebut
sebagai silvofishery ataupun dimanfaatkan sebagai obyek da ya tarik wisata alam dalam
pengembangan ekowisata. Fungsi ekologis mangrove ini sekaligus juga menjadikan
mangrove sebagai habitat bagi banyak satwa liar. Fauna mangrove hampir mewakili
semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia.

2.3 Karakteristik Ekosistem Mangrove di Sumatera Selatan

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Beberapa


ahli men yatakan bah wa hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau
gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang
surut. Sebagian besar mangro ve hidup dan tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi dengan reaksi tanah anaerob .
Mangro ve tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik , tumbuh hanya pada pantai
yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak
mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di
sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada
pulau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung.
Beberapa ahli lain men yatakan bahwa tempat hidup/habitat mangrove merupakan habitat
yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah tanahnya tergenang air laut
secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama, tempat
tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, daerahnya terlindung dari
gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, airnya berkadar garam (bersalinitas)
payau (2 - 22 o/oo) hingga asin. Mangrove biasanya hidup di rawa payau yang terlindung
dari gelombang besar dan berair tenang. Namun sebenarnya mangrove merupakan
tumbuhan darat yang beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang bersalinitas tinggi
sehingga mampu hidup di darat hingga pantai berkarang pada kedalaman tertentu.
Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Di Sumatera selatan kedalam
lumpur pada tiap lokasi sepanjang ± 15 km tidak sama. Kedalaman lumpur bervariasi
mulai dari 0,14 m hingga 2,1 m.

2.4 Permasalahan Ekosistem Mangrove di Indonesia dan Sumatera Selatan

Kerusakan dapat menurunkan fungsi-fungsi mangrove baik secara bio-ekologis


berupa rusaknya sistem maupun fungsi ekonomis berupa penurunan produksi (Ulqodry
dkk, 2010). Selain itu, kerusakan hutan pasang surut tropis di seluruh dunia tidak banyak
mendapat perhatian publik, meskipun telah memberi tanda peringatan. Kerusakan
mangrove tersebut terjadi secara alamiah dan melalui tekanan masyarakat. Secara alami
umumnya tingkat kerusakannya jauh lebih kecil daripada kerusakan akibat ulah manusia.
Kerusakan alamiah timbul karena peristiwa alam seperti adanya gelombang besar pada
musim angin timur dan musim kemarau yang berkepanjangan sehingga dapat
menyebabkan akumulasi garam dalam tanaman. Kedua fenomena alam tersebut
berdampak pada pertumbuhan vegetasi mangrove. Gelombang besar dapat menyebabkan
tercabutnya tanaman muda atau tumbangnya pohon, serta menyebabkan erosi tanah
tempat bakau tumbuh.
Kekeringan yang berkepanjangan bisa menyebabkan kematian pada vegetasi
mangrove dan menghambat pertumbuhannya. Perubahan pada sistem ekosistem
mangrove dapat mengubah properti melalui efek langsung pada faktor-faktor abiotik
seperti suhu, cahaya dan nutrisi pasokan atau melalui perubahan-perubahan dalam faktor-
faktor biotik seperti produktivitas primer atau komposisi jenis.
Peningkatan populasi penduduk yang demikian cepat yang tidak dibarengi oleh
peningkatan ilmu pengetahuan tentang keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan
serta masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat memberikan dampak negatif
yang cukup signifikan terhadap sumberdaya hutan mangrove. Masih banyak masyarakat
yang beranggapan bahwa mangrove tidak berfungsi ekonomis dan mangrove hanya
pohon pantai biasa yang tidak memiliki manfaat apa-apa. Padahal, hilangnya mangrove
memberi efek dratis berupa terjadinya banjir dan erosi pantai yang mengakibatkan
hilangnya hasil tangkapan, penurunan hasil perikanan dan terjadinya perubahan sosial
yang dratis pada masyarakat komunitas pantai yang terkait dengan hilangnya pendapatan
karena hilangnya sumberdaya perikanan (Wardhani, 2014).
BAB III

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Ekosistem hutan mangrove menggambarkan adanya hubungan yang erat antara


sekumpulan vegetasi dengan geomorfologi, yang ditetapkan sebagai habitat. Ekosistem
ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting.
Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan
pencemar, menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai,
menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran
berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk daratan.
DAFTAR PUSTAKA

Edi Wibowo, 2015. Beberapa aspek Bio-Fisik Kimia Tanah di Daerah Mangrove Desa
Pasar Banggi Kabupaten Rembang. Jurnal ILMU KELAUTANvol. 14 (2) : 76-83
Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Diponegoro,Semarang Indonesia

Pramudji. 2014. Ekosistem Hutan Mangrove Dan Peranannya Sebagai Habitat Berbagai
Fauna Aquatik Oseana, Volume Xxvi, Nomor 4, :13 - 23 Issn 0216-1877

Sosia., P. Yudasakti., T. Rahmadhani., dan M. Nainggolan. 2014. Mangrove (Siak dan


Kepulauan Meranti). Energi Mega Persada. p: 1-79.

Suhastini, D. 2011. Seri Buku Informasi dan Potensi Mangrove Taman Nasional Alas
Purwo. Balai Taman Nasional Alas Purwo. Banyuwangi. p: 6-17.

Theresia. Mennofatria Boer dan Niken T.M Pratiwi. 2015. Status Keberlanjutan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. vol
7 (2): 703-714.

Ulqodry, Tengku Zia. Dietriech G dan Richardus F. Kaswadji. 2010. Karakteristik


Perairan Mangrove Tanjung Api-api Sumatera Selatan Berdasarkan Sebaran
Parameter Lingkungan Perairan dengan Menggunakan Analisis Komponen Utama
(PCA). J. Maspari. vol 1: 16-21.

Wardhani, Mauninna Kusumo. 2014. Kawasan Konservasi Mangrove: Suatu Ekowisata.


J. Kelautan ISSN: 1907-9931 vol 4 (1).

Anda mungkin juga menyukai