Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat

(Drug Related Problems) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi

obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Suatu interaksi obat terjadi

ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh

kehadiran satu atau lebih zat lain (Piscitelli dan Rodvolk, 2005).

Perubahan efek itu bisa juga disebabkan oleh kehadiran obat lain, obat

herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya.

Definisi yang lebih relevan terkait dengan pasien adalah ketika satu obat bersaing

satu dengan yang lain (Stockley, 2008).

Interaksi obat dianggap penting secara klinis jika meningkatkan toksisitas

dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut

obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang sempit), misalnya

glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatika (Setiawati, 2007).

2.1.1Mekanisme Interaksi Obat

Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B)

dengan satu dari dua mekanisme berikut:

a. modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di

cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).

b. mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi

farmakokinetik).

8
Universitas Sumatera Utara
i. interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B

sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan

kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan

toksisitas).

ii. interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam

(sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan

perubahan efek secara substansial).

iii. untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit

besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin

hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas

keamanannya lebar.

iv. sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi

yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai

contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah

antineoplastik dan obat-obat imunosupresan (Hashem, 2005).

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :

a. interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi,

distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau

mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya

(BNF 58, 2009).

9
Universitas Sumatera Utara
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe:

i. interaksi absorbsi obat

a) efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada

apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi

ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan

sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah

absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada

pada pH tinggi (Stockley, 2008).

b) adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus

untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun

lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis

terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai

contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion

logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi,

membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri

(Stockley, 2008).

c) perubahan motilitas gastrointestinal

Kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-

obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi.

Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi

penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek

sebaliknya (Stockley, 2008).

10
Universitas Sumatera Utara
d) induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter

obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah

Pglikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang

menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati

digoksin (Stockley, 2008).

e) malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu

penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley,

2008).

ii. interaksidistribusi obat

a) interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh

sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang

lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat

dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma

bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat

dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara

farmakologi (Stockley, 2008).

b) induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh

aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang

11
Universitas Sumatera Utara
termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke

dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008).

iii. interaksi metabolisme obat

a) perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak

berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa

lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak

demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan

efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme,

biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadangkadang detoksifikasi. Beberapa

metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi

terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma

sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi

tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi

senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat

dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi)

untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I

dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

b) induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus

dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang

sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom

sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

12
Universitas Sumatera Utara
c) inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga

obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin

memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang

sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga

terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering

dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis

dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat

kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi

tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

d) faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa

isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa

beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh

yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian 28 kecil populasi memiliki

varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya

memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda

dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa

pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang

lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).

e) interaksi isoenzim

Sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Siklosporin dimetabolisme oleh

CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol

13
Universitas Sumatera Utara
menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi

efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

iv. interaksi ekskresi obat

a) perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)

sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat

berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan

dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5.

Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk

terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

b) perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus

ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,

probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya

pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui

bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan

Transporter Anion Organik (OATs) (Stockley, 2008).

c) perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator

prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa

obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

a. interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang

memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.

14
Universitas Sumatera Utara
Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara

obatobat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya

dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi

(BNF 58, 2009).

i. interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan

bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika

diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya

ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan.

Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas,

nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley,

2008).

ii. interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan

yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu

pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika

asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu

protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi

pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

2.1.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam

tiga level: minor, moderate, atau major

15
Universitas Sumatera Utara
a. keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi

mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap

pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin

oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).

b. keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari

bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe

intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin

menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan,

perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit.

Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan

monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004).

c. keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat

probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian

yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie,

2004). Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian

eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005).

2.2 Hipertensi

Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal

(120/80 mmHg). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National

Committee) VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

16
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII

Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)


Normal <120 <80
Pre Hipertensi 120-139 80-89
Stadium I 140-159 90-99
Stadium II ≥160 ≥100

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.

Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi

hipertensi primer (esensial) yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi

sekunder (non esensial) yang diketahui penyebabnya (Depkes RI, 2006).

2.2.1 Hipertensi primer (esensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial

(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi esensial merupakan 95%

dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi

untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori

yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering

turun temurun dalam satu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor

genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut

data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik

dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak

karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium,

tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah

ekskresi kallikrein urin, pelepasan nitrit oksida, ekskresi aldosteron, steroid

adrenal, dan angiotensinogen (Depkes RI, 2006).

17
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit

komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada

kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit

renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu,

baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau

memperberat hipertensi dengan menaikan tekanan darah seperti kortikosteroid,

estrogen, NSAID, antidepresan dan lain-lain. Apabila penyebab sekunder dapat

diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau

mengobati/mengkoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan

tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

2.3 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan

morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal

jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan

hipertensi dapat dilakukan dengan:

2.3.1 Terapi non farmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk

mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam

penanganan hipertensi. Semua pasien prehipertensi dan hipertensi harus

melakukan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi

berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah

prehipertensi (Depkes RI, 2006).

18
Universitas Sumatera Utara
Modifikasi gaya hidup yang penting terlihat menurunkan tekanan darah

adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;

mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang

kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan

mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien,

dan dorongan moril (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Terapi farmakologi

Menurut JNC VII obat-obat antihipertensi baik sendiri atau dikombinasi,

harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena

bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini (Depkes RI, 2006). Pilihan

terapi hipertensi menurut JNC VII terlihat pada Gambar 2.1.

Modifikasi Gaya Hidup

Target Tekanan Darah tidak tercapai (<140/90 mmHg atau <130/90 mmHg pada pasien dengan DM atau Penyakit ginjal kronis)

Pilihan obat inisial

Hipertensi tanpa compelling indication Hipertensi dengan compelling indication

Hipertensi stage I Hipertensi stage II Lihat petunjuk pemilihan


dengan compelling
Obat: Gol. Diuretik (tiazid) Kombinasi 2 obat, biasanya golongan
Pertimbangkan:
diuretic dan ACE Inhibitor atau Beta
ACE Inhibitor
Beta Bloker Bloker atau Penghambat Kanal
Penghambat kalsium atau kombinasi Kalsium

Target Tekanan darah tidak tercapai

Optimalisasi dosis atau tambahan obat lain sampai target tekanan darah
tercapai. Pertimbangkan untuk konsultasi pada spesialis hipertensi

Gambar 2.1 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC VII


(Dipiro, et al.,2008).

19
Universitas Sumatera Utara
Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah

<140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk

pasien dengan penyakit diabetes, jantung koroner, dan ginjal kronis, serta <120/80

mmHg untuk pasien dengan penyakit disfungsi ventrikel kiri (Dipiro, et al., 2008).

Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda

pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita

hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Modifikasi Gaya Hidup

Usia ≥ 60 tahun Usia ≤ 60 tahun Semua usia dengan Penyakit Semua usia dengan
Diabetes tanpa Penyakit Penyakit ginjal
ginjal kronis kronis (± Diabetes)

SBP < 150 SBP < 140 SBP < 140 SBP < 140
DBP < 90 DBP < 90 DBP < 90 DBP < 90

Non- black black

Thiazid, ACE-I, ARB atau Thiazid atau CCB ACE-I atau ARB
CCB (tunggal atau kombinasi) (tunggal atau
(tunggal atau kombinasi) dengan obat yang
lain)

Gambar 2.2 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC VIII


(James, et al., 2014).

2.4 Obat antihipertensi

Antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi.

Pembagian kelompok obat antihipertensi adalah sebagai berikut:

20
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Diuretik

Diuretik adalah suatu zat yang meningkatkan laju pengeluaran volume urin

melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi lima golongan

obat yaitu:

a. diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena bekerja

di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan obat ini bekerja

dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+ , K+ dan Cl- di ansa henle dan

tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl- yang

menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat yang termasuk diuretik

kuat adalah furosemida, asam etakrinat dan bumetamida.

b. diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa

komplikasi. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion

Na+ dan Cl- di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih

lama dibanding diuretik kuat. Obat-obat yang termasuk diuretik tiazid

adalah hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan siklotiazid.

c. diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal,

yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini

bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya

osmotiknya. Obat-obat golongan diuretik osmotik adalah mannitol, sorbitol,

gliserin, dan isosorbid.

d. diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme

kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion

natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium.

Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu:

21
Universitas Sumatera Utara
spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk

melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran

natrium, yaitu: triamteren dan amilorid.

e. diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja

pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi bikarbonat

melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi

meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar

dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan

ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat-obat dari golongan ini

adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Efek samping diuretik umumnya

berupa hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia,

hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual (Depkes RI, 2006).

2.4.2 Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi)

ACEi menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin,

dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung

dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam

darah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril, enalapril,

ramipril, lisinoril. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai terapi tunggal

maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan

antagonis kalsium. Efek samping dari golongan obat

ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan

hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Fauci, et al., 2008).

22
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Antagonis kalsium

Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan

kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot

jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat

sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja

menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali

normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem,

nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif

menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering

dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, et al.,

2008).

2.4.4 Penghambat reseptor angiotensin (ARB)

ARB bekerja dengan cara menghambat ikatan antara angiotensin II dengan

reseptornya . Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin

II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu

vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon

antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor

angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek

yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan

dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB

mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak

mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi.

Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,

hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).

23
Universitas Sumatera Utara
2.4.5 Penghambat reseptor beta (β blocker)

Penghambat β menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung

akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama

penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara

langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi

penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok

reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif

memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2

terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan

tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih

banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri.

Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan

renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatatasi dan vasodilatasi.

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat β yang

kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti

propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri

perifer, dan diabetes (Depkes RI, 2006).

Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada

penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang

berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker non selektif akan

menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati.

Penghambatan reseptor ini akan menghambat proses glukoneogenesis, sehingga

jika dikombinasikan dengan anti diabetik akan mengakibatkan hipoglikemi

(Fauci, et al., 2008).

24
Universitas Sumatera Utara
2.4.6 Penghambat reseptor alfa (α blocker)

Reseptor α terdiri dari α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat di jantung sedangkan

reseptor α2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini memiliki peran yang berlawanan.

Aktivasi dari reseptor α1 akan meningkatkan peningkatan senyawa katekolamin,

yakni epinefrin, nor epinefrin dan dopamin yang akan menyebabkan vasokontriksi

pembuluh darah. Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penghambat reseptor

α1 selektif. Obat-obat ini bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat

pelepasan katekolamin pada sel otot jantung, menyebabkan vasodilatasi dan

menurunkan tekanan darah. Efek samping yang tidak disukai dari penghambat

reseptor alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing

sementara atau pingsan dan palpitasi (Depkes RI, 2006).

2.4.7 Agonis α2 sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan

merangsang reseptor α2 di presinap di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran

simpatetik dari pusat vasomotor di otak. Penurunan aktivitas aimpatetik,

bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan

denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan

refleks baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten,

dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan.

Penghentian agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound

hypertension, yaitu peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Efek ini diduga

disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin

diberhentikan tiba-tiba (Depkes RI, 2006).

25
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai