Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang
mana berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Makalah Spektroskopi Atom dan Molekul” dimana dalam makalah ini akan di direview
jurnal terkait dengan aplikasi analisis pada instrumen Spektroskopi Serapan Atom (SSA)
dengan judul “Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu) Dan Timbal (Pb) Pada
Sedimen Di Pulau Payung Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan”.
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah
Spektroskopi Atom dan Molekul yang diampu oleh Bapak Dr. Sandra Hermanto, M.Si yang
membimbing kami dalam mata kuliah ini.
Kami selaku penyusun mengucapkan banyak terimaksih kepada dosen pembimbing
yang telah banyak membantu dalam proses penyelesain makalah ini. Semoga makalah yang
kami buat dapat di nilai dengan baik dan bermanfaat oleh pembaca. Meski makalah ini masih
mempunyai kekurangan, kami selaku penyusun mohon kritik dan saranya. Terimakasih.

Ciputat, 19 Maret 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2

BAB I ......................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 3

1.2 Tujuan.......................................................................................................................... 3

BAB III ...................................................................................................................................... 4

BAHAN DAN METODE ........................................................................................................ 16

BAB IV .................................................................................................................................... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................................ 17

BAB V ..................................................................................................................................... 24

PENUTUP................................................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 25

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Muara Sungai Musi adalah perairan yang dipengaruhi oleh pasang surut.
Surbakti (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tipe pasang surut di perairan
tersebut adalah pasang surut tunggal dimana dalam satu hari terjadi satu kali pasang
dan satu kali surut. Pulau Payung merupakan sebuah pulau yang berada di Muara
Sungai Musi. Posisi Pulau Payung yang tepat berada di tengah aliran Muara Sungai
Musi menjadikan pulau ini sebagai perangkap beban masukan dari aktivitas industri,
rumah tangga dan pelayaran yang berada di sepanjang aliran sungai. Selain itu
aktivitas pertanian yang tinggi juga berpotensi menjadi sumber pencemar logam berat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Tembaga (Cu) dan
Timbal (Pb) pada sedimen di Pulau Payung.
Pulau yang hampir keseluruhan merupakan wilayah mangrove ini secara
biologis memiliki manfaat yaitu sebagai tempat memijah dan berkembang biaknya
ikan-ikan, kepiting, kerang dan udang. Selain itu juga dijadikan tempat berlindung,
bersarang dan berkembang biak dari burung dan satwa-satwa lain. Oleh sebab itu
kajian tentang logam berat di Pulau Payung ini menjadi penting untuk diteliti demi
kelangsungan ekosistem yang berada pada pulau tersebut dan sekitarnya.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb) pada sedimen di Pulau Payung.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Spektrofotometri


Spektrofotometri merupakan salah satu metode analisis instrumental yang
menggunakan dasar interaksi energy dan materi. Spektrofotometri dapat dipakai untuk
menentukan konsentrasi suatu larutan melalui intensitas serapan pada panjang
gelombang tertentu. Panjang gelombang yang dipakai adalah panajang gelombang
maksimum yang memberikan absorbansi maksimum. Salah satu prinsip kerja
spektrofotometri didasarkan pada fenomena penyerapan sinar oleh spese kimia
tertentu didaerah ultra violet dan sinar tampak (visible).
Pada spektrofotometer, yang penting untuk diperhatikan ialah perbedaan
antara spektrofotometer sinar tunggal dan spektrofotometer sinar ganda.
Spektrofotometer sinar tunggal biasanya dipakai untuk kawasan spectrum ultraungu
dan cahaya yang terlihat. Spektrofotometer sinar ganda dapat dipergunakan baik
dalam kawasan ultraungu dan cahaya yang terlihat maupun dalam kawasan
inframerah (O.G.Brink,1985).

2.2 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)


Spektrofotometri Serapan atom (AAS) adalah suatu metode analisis untuk
penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang berdasarkan pada penyerapan
(absorpsi) radiasi oleh atom-atom bebas unsur tersebut. Sekitar 67 unsur telah dapat
ditentukan dengan cara AAS. Banyak penentuan unsur-unsur logam yang sebelumnya
dilakukan dengan metoda polarografi, kemudian dengan metoda spektrofotometri
UV-VIS, sekarang banyak diganti dengan metoda AAS.
Prinsip pengukuran dengan metode AAS adalah adanya absorpsi sinar UV
atau Vis oleh atom-atom logam dalam keadaan dasar yang terdapat dalam “bagian

4
pembentuk atom”. Sinar UV atau Vis yang diabsorpsi berasal dari emeisi cahaya
logam yang terdapat pada sumber energi “HOLLOW CATHODE”. Sinar yang
berasal dari “HOLLOW CATHODE” diserap oleh atom-atom logam yang terdapat
dalam nyala api, sehingga konfigurasi atom tersebut menjadi keadaan tereksitasi.
Apabila electron kembali ke keadaan dasar “GROUND STATE” maka akan
mengemisikan cahayanya. Besarnya intensitas cahaya yang diemisikan sebanding
dengan konsentrasi sampel (berupa atom) yang terdapat pada nyala api.
Ada lima komponen dasar alat SSA:
1) Sumber sinar, biasanya dalam bentuk “ HOLLOW CATHODE” yang mengemisikan
spectrum sinar yang akan diserap oleh atom.
2) Nyala Api, merupakan sel absorpsi yang menghasilkan sampel berupa atom-atom
3) Monokromator, untuk mendispersikan sinar dengan panjang gelombang tertentu
4) Detektor, untuk mengukur intensitas sinar dan memperkuat sinyal
5) Readout, gambaran yang menunjukan pembacaan setelah diproses oleh alat elektronik

Seperti umumnya pada peralatan spectrometer, analisi kuantitatif suatu sampel


berdasarkan Hukum Lambert-Beer, yaitu :

A=εbC

Keterangan: A = absorbansi

ε = absorptivitas molar

b = lebar sampel yang dilalui sinar

C = Konsentrasi zat

Rumusan hokum Lambert Beer menunjukan bahwa besarnya nilai absorbansi


berbanding lurus (linear) dengan konsentrasi. Berdasarkan penelitian, kelinieran
hokum Lamber-Beer umumnya hanya terbatas pada nilai absorban 0,2 sampai dengan
0,8.

2.3 Jenis dan tipe AAS


Ada tiga cara atomisasi (pembentukan atom) dalam AAS :
1) Atomisasi dengan nyala
Suatu senyawa logam yang dipanaskan akan membentuk atom logam
pada suhu ± 1700 ºC atau lebih. Sampel yang berbentuk cairan akan dilakukan

5
atomisasi dengan cara memasukan cairan tersebut ke dalam nyala campuran
gas bakar. Tingginya suhu nyala yang diperlukan untuk atomisasi setiap
unsure berbeda. Beberapa unsur dapat ditentukan dengan nyala dari campuran
gas yang berbeda tetapi penggunaan bahan bakar dan oksidan yang berbeda
akan memberikan sensitivitas yang berbeda pula.
Syarat-syarat gas yang dapat digunakan dalam atomisasi dengan nyala:
• Campuran gas memberikan suhu nyala yang sesuai untuk atomisasi
unsur yang akan dianalisa
• Tidak berbahaya misalnya tidak mudah menimbulkan ledakan.
• Gas cukup aman, tidak beracun dan mudah dikendalikan
• Gas cukup murni dan bersih (UHP)

Campuran gas yang paling umum digunakan adalah Udara : C2H2(suhu


nyala 1900 – 2000 ºC), N2O : C2H2 (suhu nyala 2700 – 3000 ºC), Udara :
propana (suhu nyala 1700 – 1900 ºC). Banyaknya atom dalam nyala
tergantung pada suhu nyala. Suhu nyala tergantung perbandingan gas bahan
bakar dan oksidan.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada atomisasi dengan nyala :

1. Standar dan sampel harus dipersiapkan dalam bentuk larutan dan cukup
stabil. Dianjurkan dalam larutan dengan keasaman yang rendah untuk
mencegah korosi.
2. Atomisasi dilakukan dengan nyala dari campuran gas yang sesuai
dengan unsur yang dianalisa.
3. Persyaratan bila menggunakan pelarut organik:
 Tidak mudah meledak bila kena panas
 Mempunyai berat jenis > 0,7 g/mL
 Mempunyai titik didih > 100 ºC
 Mempunyai titik nyala yang tinggi
 Tidak menggunakan pelarut hidrokarbon

Pembuatan atom bebas dengan menggunakan nyala (Flame AAS)

6
Contoh: Suatu larutan MX, setelah dinebulisasi ke dalam spray
chamber sehingga terbentuk aerosol kemudian dibawa ke dalam nyala oleh
campuran gas oksidan dan bahan bakar akan mengalami proses atomisasi.

2) Atomisasi tanpa nyala


Atomisasi tanpa nyala dilakukan dengan mengalirkan energi listrik
pada batang karbon (CRA – Carbon Rod Atomizer) atau tabung karbon (GTA
– Graphite Tube Atomizer) yang mempunyai 2 elektroda.
Sampel dimasukan ke dalam CRA atau GTA. Arus listrik dialirkan
sehingga batang atau tabung menjadi panas (suhu naik menjadi tinggi) dan
unsur yang dianalisa akan teratomisasi. Suhu dapat diatur hingga 3000 ºC.
pemanasan larutan sampel melalui tiga tahapan yaitu :
• Tahap pengeringan (drying) untuk menguapkan pelarut
• Pengabuan (ashing), suhu furnace dinaikkan bertahap sampai terjadi
dekomposisi dan penguapan senyawa organik yang ada dalam sampel
sehingga diperoleh garam atau oksida logam
• Pengatoman (atomization)

3) Atomisasi dengan pembentukan senyawa hidrida


Atomisasi dengan pembentukan senyawa hidrida dilakukan untuk
unsur As, Se, Sb yang mudah terurai apabila dipanaskan pada suhu lebih dari
800 ºC sehingga atomisasi dilakukan dengan membentuk senyawa hibrida
berbentuk gas atau yang lebih terurai menjadi atom-atomnya melalui reaksi
reduksi oleh SnCl2 atau NaBH4, contohnya merkuri (Hg).

2.4 Bagian-Bagian Spectrometry AAS dan fungsinya

7
Skema peralatan AAS:

a. Sumber radiasi berupa lampu katoda berongga


Sumber radiasi resonansi yang digunakan adalah lampu katoda
berongga (Hollow Cathode Lamp) atau Electrodeless Discharge Tube
(EDT). Elektroda lampu katoda berongga biasanya terdiri dari wolfram
dan katoda berongga dilapisi dengan unsur murni atau campuran dari
unsur murni yang dikehendaki. Tanung lampu dan jendela (window)
terbuat dari silika atau kuarsa, diisi dengan gas pengisi yang dapat
menghasilkan proses ionisasi. Gas pengisi yang biasanya digunakan
ialah Ne, Ar atau He.

Pemancaran radiasi resonansi terjadi bila kedua elektroda diberi


tegangan, arus listrik yang terjadi menimbulkan ionisasi gas-gas
pengisi. Ion-ion gas yang bermuatan positif ini menembaki atom-atom
yang terdapat pada katoda yang menyebabkan tereksitasinya atom-
atom tersebut. Atom-atom yang tereksitasi ini bersifat tidak stabil dan
akan kembali ke tingkat dasar dengan melepaskan energy eksitasinya
dalam bentuk radiasi. Radiasi ini yang dilewatkan melalui atom yang
berada dalam nyala.

b. Atomizer yang terdiri dari pengabut dan pembakar


Atomizer terdiri atas Nebulizer (sistem pengabut), spray
chamber dan burner (sistem pembakar).
o Nebulizer berfungsi untuk mengubah larutan menjadi aerosol
(butir-butir kabut dengan ukuran partikel 15 – 20 µm) dengan cara
menarik larutan melalui kapiler (akibat efek dari aliran udara)
dengan pengisapan gas bahan bakar dan oksidan, disemprotkan ke
ruang pengabut. Partikel-partikel kabut yang halus kemudian
bersama-sama aliran campuran gas bahan bakar, masuk ke dalam
nyala, sedangkan titik kabut yang besar dialirkan melalui saluran
pembuangan.

8
o Spray chamber berfungsi untuk membuat campuran yang homogen
antara gas oksidan, bahan bakar dan aerosol yang mengandung
contoh sebelum memasuki burner.
o Burner merupakan sistem tepat terjadi atomisasi yaitu pengubahan
kabut/uap garam unsur yang akan dianalisis menjadi atom-atom
normal dalam nyala.

c. Monokromator
Setelah radiasi resonansi dari lampu katoda berongga melalui
populasi atom di dalam nyala, energy radiasi ini sebagian diserap dan
sebagian lagi diteruskan. Fraksi radiasi yang diteruskan dipisahkan dari
radiasi lainnya. Pemilihan atau pemisahan radiasi tersebut dilakukan
oleh monokromator.
Monokromator berfungsi untuk memisahkan radiasi resonansi
yang telah mengalami absorpsi tersebut dari radiasi-radiasi lainnya.
Radiasi lainnya berasal dari lampu katoda berongga, gas pengisi lampu
katoda berongga atau logam pengotor dalam lampu katoda berongga.
Monokromator terdiri atas sistem optik yaitu celah, cermin dan kisi.

d. Detektor
Detektor berfungsi mengukur radiasi yang ditransmisikan oleh
sampel dan mengukur intensitas radiasi tersebut dalam bentuk energi
listrik.
e. Rekorder
Sinyal listrik yang keluar dari detektor diterima oleh piranti
yang dapat menggambarkan secara otomatis kurva absorpsi.

f. Lampu Katoda
Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada AAS. Lampu
katoda memiliki masa pakai atau umur pemakaian selama 1000 jam.
Lampu katoda pada setiap unsur yang akan diuji berbeda-beda
tergantung unsur yang akan diuji, seperti lampu katoda Cu, hanya bisa
digunakan untuk pengukuran unsur Cu. Lampu katoda terbagi menjadi
dua macam, yaitu :

9
 Lampu Katoda Monologam : Digunakan untuk mengukur 1
unsur
 Lampu Katoda Multilogam : Digunakan untuk pengukuran
beberapa logam sekaligus, hanya saja harganya lebih mahal.

Soket pada bagian lampu katoda yang hitam, yang lebih


menonjol digunakan untuk memudahkan pemasangan lampu katoda
pada saat lampu dimasukkan ke dalam soket pada AAS. Bagian yang
hitam ini merupakan bagian yang paling menonjol dari ke-empat besi
lainnya.
Lampu katoda berfungsi sebagai sumber cahaya untuk
memberikan energi sehingga unsur logam yang akan diuji, akan mudah
tereksitasi. Selotip ditambahkan, agar tidak ada ruang kosong untuk
keluar masuknya gas dari luar dan keluarnya gas dari dalam, karena
bila ada gas yang keluar dari dalam dapat menyebabkan keracunan
pada lingkungan sekitar. Cara pemeliharaan lampu katoda ialah bila
setelah selesai digunakan, maka lampu dilepas dari soket pada main
unit AAS, dan lampu diletakkan pada tempat busanya di dalam
kotaknya lagi, dan dus penyimpanan ditutup kembali. Sebaiknya
setelah selesai penggunaan, lamanya waktu pemakaian dicatat.

g. Tabung Gas
Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas
yang berisi gas asetilen. Gas asetilen pada AAS memiliki kisaran suhu
± 20.000K, dan ada juga tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih
panas dari gas asetilen, dengan kisaran suhu ± 30.000K. Regulator
pada tabung gas asetilen berfungsi untuk pengaturan banyaknya gas
yang akan dikeluarkan, dan gas yang berada di dalam tabung.
Spedometer pada bagian kanan regulator merupakan pengatur tekanan
yang berada di dalam tabung.
Pengujian untuk pendeteksian bocor atau tidaknya tabung gas
tersebut, yaitu dengan mendekatkan telinga ke dekat regulator gas dan
diberi sedikit air, untuk pengecekkan. Bila terdengar suara atau udara,
maka menendakan bahwa tabung gas bocor, dan ada gas yang keluar.

10
Hal lainnya yang bisa dilakukan yaitu dengan memberikan sedikit air
sabun pada bagian atas regulator dan dilihat apakah ada gelembung
udara yang terbentuk. Bila ada, maka tabung gas tersebut positif bocor.
Sebaiknya pengecekkan kebocoran, jangan menggunakan minyak,
karena minyak akan dapat menyebabkan saluran gas tersumbat. Gas
didalam tabung dapat keluar karena disebabkan di dalam tabung pada
bagian dasar tabung berisi aseton yang dapat membuat gas akan mudah
keluar, selain gas juga memiliki tekanan.

h. Ducting
Ducting merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap
atau sisa pembakaran pada AAS, yang langsung dihubungkan pada
cerobong asap bagian luar pada atap bangunan, agar asap yang
dihasilkan oleh AAS, tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. Asap
yang dihasilkan dari pembakaran pada AAS, diolah sedemikian rupa di
dalam ducting, agar polusi yang dihasilkan tidak berbahaya.
Cara pemeliharaan ducting, yaitu dengan menutup bagian
ducting secara horizontal, agar bagian atas dapat tertutup rapat,
sehingga tidak akan ada serangga atau binatang lainnya yang dapat
masuk ke dalam ducting. Karena bila ada serangga atau binatang
lainnya yang masuk ke dalam ducting , maka dapat menyebabkan
ducting tersumbat.
Penggunaan ducting yaitu, menekan bagian kecil pada ducting
kearah miring, karena bila lurus secara horizontal, menandakan ducting
tertutup. Ducting berfungsi untuk menghisap hasil pembakaran yang
terjadi pada AAS, dan mengeluarkannya melalui cerobong asap yang
terhubung dengan ducting.
i. Kompresor
Kompresor merupakan alat yang terpisah dengan main unit,
karena alat ini berfungsi untuk mensuplai kebutuhan udara yang akan
digunakan oleh AAS, pada waktu pembakaran atom. Kompresor
memiliki 3 tombol pengatur tekanan, dimana pada bagian yang kotak

11
hitam merupakan tombol ON-OFF, spedo pada bagian tengah
merupakan besar kecilnya udara yang akan dikeluarkan, atau berfungsi
sebagai pengatur tekanan, sedangkan tombol yang kanan
merupakantombol pengaturan untuk mengatur banyak/sedikitnya udara
yang akan disemprotkan ke burner. Bagian pada belakang kompresor
digunakan sebagai tempat penyimpanan udara setelah usai penggunaan
AAS.
Alat ini berfungsi untuk menyaring udara dari luar, agar
bersih.posisi ke kanan, merupakan posisi terbuka, dan posisi ke kiri
merupakan posisi tertutup. Uap air yang dikeluarkan, akan memercik
kencang dan dapat mengakibatkan lantai sekitar menjadi basah, oleh
karena itu sebaiknya pada saat menekan ke kanan bagian ini, sebaiknya
ditampung dengan lap, agar lantai tidak menjadi basah dan uap air
akan terserap ke lap.
j. Burner
Burner merupakan bagian paling terpenting di dalam main unit,
karena burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan
aquabides, agar tercampur merata, dan dapat terbakar pada pemantik
api secara baik dan merata. Lobang yang berada pada burner,
merupakan lobang pemantik api, dimana pada lobang inilah awal dari
proses pengatomisasian nyala api.
Perawatan burner yaitu setelah selesai pengukuran dilakukan,
selang aspirator dimasukkan ke dalam botol yang berisi aquabides
selama ±15 menit, hal ini merupakan proses pencucian pada aspirator
dan burner setelah selesai pemakaian. Selang aspirator digunakan
untuk menghisap atau menyedot larutan sampel dan standar yang akan
diuji. Selang aspirator berada pada bagian selang yang berwarna
oranye di bagian kanan burner. Sedangkan selang yang kiri,
merupakan selang untuk mengalirkan gas asetilen. Logam yang akan
diuji merupakan logam yang berupa larutan dan harus dilarutkan
terlebih dahulu dengan menggunakan larutan asam nitrat pekat. Logam
yang berada di dalam larutan, akan mengalami eksitasi dari energi
rendah ke energi tinggi.

12
Nilai eksitasi dari setiap logam memiliki nilai yang berbeda-
beda. Warna api yang dihasilkan berbeda-beda bergantung pada
tingkat konsentrasi logam yang diukur. Bila warna api merah, maka
menandakan bahwa terlalu banyaknya gas. Dan warna api paling biru,
merupakan warna api yang paling baik, dan paling panas.

2.5 Keunggulan dan Kelemahan AAS


A. Keunggulan/ Kelebihan AAS
Keuntungan metoda AAS adalah:

• Spesifik
• Batas (limit) deteksi rendah
• Dari satu larutan yang sama, beberapa unsur berlainan dapat diukur
• Pengukuran dapat langsung dilakukan terhadap larutan contoh (preparasi
contoh sebelum pengukuran lebih sederhana, kecuali bila ada zat
pengganggu)
• Dapat diaplikasikan kepada banyak jenis unsur dalam banyak jenis
contoh.
• Batas kadar-kadar yang dapat ditentukan adalah amat luas (mg/L hingga
persen)
B. Kelemahan Metode AAS
Analisis menggunakan AAS ini terdapat kelemahan, karena terdapat
beberapa sumber kesalahan, diantaranya: Sumber kesalahan pengukuran yang
dapat terjadi pada pengukuran menggunakan SSA dapat diprediksikan sebagai
berikut :
1. Kurang sempurnanya preparasi sampel, seperti:
 Proses destruksi yang kurang sempurna
 Tingkat keasaman sampel dan blanko tidak sama
 Kesalahan matriks, hal ini disebabkan adanya perbedaan
matriks sampel dan matriks standar
 Aliran sampel pada burner tidak sama kecepatannya atau ada
penyumbatan pada jalannya aliran sampel.
2. Gangguan kimia berupa:
 Disosiasi tidak sempurna

13
 Ionisasi

 Terbentuknya senyawa refraktori

2.6 Penerapan Spektroskopi Serapan Atom (SSA) Dalam Analisis Kimia


Untuk metode serapan atom telah diterapkan pada penetapan sekitar 60 unsur,
dan teknik ini merupakan alat utama dalam pengkajian yang meliputi logam runutan
dalam lingkungan dan dalam sampel biologis. Sering kali teknik ini juga berguna
dalam kasus-kasus dimana logam itu berada pada kadar yang cukup didalam sampel
itu, tetapi hanya tersediasedia sedikit sampel dalam analisis, kadang-kadang
demikianlah kasus dengan metaloprotein misalnya. Laporan pertama mengenai
peranan biologis yang penting untuk nikel didasarkan pada penetapan dengan serapan
atom bahwa enzim urease, sekurang-kurangnya dari organisme pada dua ion nikel per
molekul protein. Sering kali tahap pertama dalam analisis sampel-sampel biologis
adalah mengabukan untuk merusak bahan organik. Pengabuan basa dengan asam
nitrat dan perklorat sering kali lebih disukai daripada pengabuan kering mengingat
susut karena menguap dari unsur-unsur runutan tertentu (pengabuan kering semata-
mata adalah pemasangan sampel dalam satu tanur untuk mengoksidasi bahan organik).
Kemudian serapan atom dilakukan terhadap larytan pengabuan basa atau terhadap
larutan yang dibuat dari residu pengabuan kering.
Segi utama serapan atom tentu saja adalah kepekaan. Dalam satu segi, serapan
atom menyolok sekali bebasnya dari gangguan. Perangkat tingkat-tingkat energi
elektronik untuk sebuah atom adalah unit untuk unsur itu. Ini berarti bahwa tidak ada
dua unsur yang memperagakan garis-garis spektral yang eksak sama panjang
gelombangnya. Sering kali terdapat garis-garis untuk satu unsur yang sangat dekat
pada beberapa garis unsur yang lain, namun biasanya untuk menemukan suatu garis
resonansi untuk suatu unsur tertentu, jika tak terdapat gangguan spektral oleh unsur
lain dalam sampel.
Gangguan utama dalam serapan atom adalah efek matriks yang mempengaruhi
proses pengatoman. Baik jauhnya disosiasi menjadi atom-atom pada suatu temperatur
tertentu maupun laju proses bergantung sekali pada komposisi keseluruhan dari
sampel. Misalnya jika suatu larutan kalsium klorida dikabutkan dan dilarutkan
partikel-partikel halus CaCl2 padat akan berdisosiasi menghasilkan atom Ca dengan
jauh lebih mudah daripada paertikel kalsium fosfat, Ca3 (PO4)2.

14
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang dieksistensikan dengan makin
banyaknya publikasi penelitian dalam bidang spektroskopi serapan atom, tampak
bahwa tekhnik spektroskopi serapan atom masih dalam taraf penyempurnaan

15
BAB III

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2014. Pengambilan sampel
sedimen dilakukan saat kondisi surut sementara pengukuran parameter perairan dilakukan
saat pasang dan surut. Penelitian ini terdapat 10 stasiun yang terdiri dari 5 stasiun berada di
Pulau Payung dan 5 stasiun lagi berada di perairannya (Gambar 1). Metode yang digunakan
dalam analisis logam berat adalah Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS)
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2004) lagi berada di perairannya (Gambar 1).
Metode yang digunakan dalam analisis logam berat adalah Atomic Absorption
Spectrophotometry (AAS) berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2004) sedangkan metode
yang digunakan untuk analisis fraksi sedimen adalah pengayakan dan dilanjutkan dengan
pemipetan (Folk, 1980). Karakteristik sedimen berupa nilai mean, median, skewness,
sorting dan kurtosis dianalisis menggunakan analisis cluster terhadap terhadap kandungan
logam berat Pb dan Cu.

Gambar 1. Lokasi penelitian

16
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran parameter perairan dilakukan pada pukul 20.45 - 22.14 WIB untuk
kondisi pasang dan pengambilan sampel dilakukan pukul 10.51 -14.26 WIB untuk kondisi
surut. Pola arus saat pasang datang dari arah Selat Bangka dan masuk ke Muara Sungai Musi
dengan kecepatan arus berkisar 0,01-0,35 m/s dan kecepatan arus rata-rata 0,15 m/s.
Sementara pola arus surut terlihat meninggalkan sungai menuju keluar muara dengan
kecepatan arus surut berkisar 0,06-0,23 m/s dan kecepatan rata-rata adalah 0,17 m/s.
Nybakken (1992) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa arus di estuari disebabkan oleh
kegiatan pasang surut dan aliran sungai, dimana saat pasang daerah muara sungai
mendapatkan masukan air laut sedangkan saat surut perairan muara banyak mendapatkan
masukan air tawar.

Hasil pengukuran salinitas jelas terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara
kondisi pasang dan kondisi surut dengan nilai yang bervariasi mulai dari 0-21‰. Salinitas
saat pasang berkisar 10-21‰ sedangkan saat surut berkisar dari 0-2‰. Saat kondisi pasang,
pH yang tinggi dominan berasal dari arah laut sesuai dengan arah arus, dan pH mulai rendah
pada lokasi yang tidak terkena arus langsung dari laut. Saat surut, kisaran nilai pH yaitu 5,80-
6,8. Saat pasang, kisaran suhu yaitu 29,2-30,1oC dengan rata-rata 29,8oC sementara saat surut
berkisar 29,1-31,6oC dengan rata-rata 30,1oC. Suhu saat surut lebih hangat dibandingkan saat
pasang merupakan akibat dari intensitas cahaya matahari saat pengukuran parameter perairan
surut yang dilakukan pada siang hari sedangkan pada saat pasang dilakukan pada malam hari.

Hasil dari penentuan jenis fraksi sedimen menggunakan segitiga Shephard didapatkan
bahwa stasiun di daerah Pulau Payung dan perairan muara memiliki fraksi sedimen yang
bervariasi. Stasiun 1 dominan ditemukan fraksi dengan jenis lempung sementara stasiun 5
dominan ditemukan fraksi dengan jenis pasir. Letak posisi stasiun dalam segitiga Shephard
disajikan pada Gambar 2.

17
Gambar 2. Klasifikasi jenis fraksi sedimen

Hasil perhitungan pada setiap stasiun untuk mean u dan median dari ukuran butir
sedimen disajikan pada Gambar 3 sementara untuk perhitungan nilai skewness, sorting, dan
deskripsinya disajikan pada Tabel 1.

Gambar 3. Grafik mean dan median (dalam mm)

Gambar 3 memperlihatkan bahwa jenis fraksi yang lebih halus memiliki nilai mean
dan median yang semakin rendah, sebaliknya jenis fraksi yang lebih kasar memiliki nilai
mean dan median yang semakin tinggi.

Berdasarkan perhitungan nilai skewness positif terdapat pada stasiun 2, 3, 5 dan 7


atau bila dilihat pada segitiga Shephard (Gambar 2) adalah stasiun yang keempatnya paling
banyak mengandung sedimen fraksi pasir. Skewness negatif terdapat pada stasiun 1, 4, 6, 8, 9
dan 10 yang banyak mengandung fraksi lempung. Rifardi (1994) dalam Ariandi et al. (2010)
menyatakan bahwa negatively skewness disebabkan oleh kelebihan material-material kasar

18
dari distribusi normal dan diduga dihasilkan oleh lingkungan yang menjadi sasaran aktifitas
gelombang dan arus.

Nilai sorting pada stasiun 1 dan 10 kurang tersortir sementara pada stasiun 2-8
termasuk pada kategori sangat kurang tersortir. Rifardi (1994) dalam Ariandi et al. (2010)
menyatakan bahwa jika suatu lingkungan pengendapan mempunyai sedimen poorly sorted
maka kekuatan arus dan gelombang yang bekerja pada lingkungan tersebut tidak stabil (pada
masa tertentu kekuatan arus dan gelombangnya besar dan pada masa lain lemah). Kecepatan
arus pada kelima stasiun perairan muara Pulau Payung saat pasang berkisar 0,18-0,35 m/s
sedangkan saat surut berkisar 0,06-0,23 m/s. Tidak stabilnya arus yang terjadi di lokasi
penelitian ini memungkinkan terjadinya ketidaksejalanan antara jenis fraksi sedimen terhadap
kecepatan arus yang berada pada stasiun tersebut.

Tabel 1. Distribusi skewness dan sorting

Berdasarkan hasil analisis kandungan logam berat menggunakan AAS diperoleh


kandungan logam berat Cu berkisar 2,3-11,6 mg/kg dengan ratarata 7,49 mg/kg dan Pb
berkisar 0-9,7 mg/kg dengan nilai rata-rata 2,47 mg/kg. Grafik kandungan logam berat Cu
dan Pb pada masing-masing stasiun disajikan pada Gambar 4. Stasiun 1 merupakan memiliki
kandungan logam berat Cu dan Pb yang paling tinggi yaitu 11,6 mg/kg dan 9,7 mg/kg.
Notodarmojo (2005) menjelaskan bahwa contoh penggunaan logam berat Cu salah satunya
yaitu insektisida. Insektisida diduga menjadi sumber utama dari logam berat Cu pada lokasi
penelitian.

Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja dan transmigrasi (2014) bahwa 89%
dari penduduk KTM Telang bekerja pada sektor pertanian. Bappeda (2011) mengggambarkan
penggunaan lahan di sekitar lokasi penelitian yang banyak digunakan untuk kegiatan

19
pertanian, perkebunan dan persawahan. Selain berasal dari limbah pertanian, perkebunan dan
persawahan, kandungan logam berat Cu juga disebabkan oleh limbah domestik yang berasal
dari pemukiman penduduk yang berada dekat lokasi penelitian. Yodo (2006) menyebutkan
bahwa limbah logam berat Cu di Sungai Cipinang salah satunya disebabkan oleh limbah
domestik yang berasal dari pemukiman padat penduduk.

Gambar 4. Grafik kandungan logam berat Pb dan Cu pada sedimen

Logam berat Pb bersumber dari aktivitas transportasi yang berasal dari aktivitas kapal.
Bahan bakar dari kapal-kapal nelayan serta cat-cat kapal yang melintas juga ikut berperan
dalam pencemaran logam Pb. Rochyatun et al. (2006) menyatakan bahwa umumnya bahan
bakar minyak mendapat zat tambahan tetraetyl yang mengandung Pb untuk meningkatkan
mutu dari bahan bakar tersebut.

Stasiun yang memiliki kandungan logam berat Cu paling rendah adalah stasiun 5
dengan nilai 2,3 mg/kg sementara untuk logam berat Pb yang paling rendah adalah stasiun 5
dan 7 dengan konsentrasi < 0,01 mg/kg. Stasiun 5 memiliki jenis fraksi kategori berpasir
yang menyebabkan lemahnya daya ikat sedimen terhadap logam yang terdapat pada sedimen
tersebut. Secara umum stasiun di Pulau Payung yang memiliki kandungan logam berat Cu
dan Pb yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun yang berada pada aliran muara. Bila
dibandingkan dengan standar baku mutu sedimen menurut SEPA (2000) [Pb 25 ppm ; Cu 15
ppm] OSPAR (2000) [Pb 50 ppm ; Cu 50 ppm] dan NOAA (1999) [Pb 46,7 ppm ; Cu 34
ppm], kandungan logam berat Cu dan Pb di Sungai Musi masih berada di bawah ambang
batas maksimum dari baku mutu yang telah ditetapkan, namun harus terus dipantau
perkembangannya di masa yang akan datang.

20
Analisis cluster bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan
karakterstik diantara objek-objek tersebut (Sitepu et al, 2011). Objek-objek dalam penelitian
ini yaitu stasiun-stasiun yang memiliki kemiripan berdasarkan kandungan logam berat Cu
dan Pb terhadap masingmasing nilai mean, skewness, dan sorting.

Gambar 5. Dendogram Cu (kiri) dan Pb (kanan) terhadap mean

Gambar 5 untuk logam berat Cu dan Pb pada stasiun 1 membentuk cluster pertama
yang berdiri sendiri. Stasiun 2, 4, 8, 9 dan 10 membentuk cluster kedua. Stasiun 3 dan 6
membentuk cluster ketiga. Stasiun 5 dan 7 membentuk cluster keempat sementara pada
logam berat Pb juga menunjukkan hal yang sama untuk stasiun 1 yang membentuk cluster
pertama. Stasiun 2, 3 dan 4 merupakan anggota dari cluster kedua. Stasiun 5, 7 dan 9
merupakan anggota dari cluster ketiga. Stasiun 6, 8 dan 10 merupakan anggota dari cluster
keempat.

Gambar 6. Dendogram Cu (kiri) dan Pb (kanan) terhadap skewness

Gambar 6 untuk logam berat Cu, stasiun 1 membentuk cluster pertama. Stasiun 2, 3
dan 6 membentuk cluster kedua. Stasiun 4, 8, 9 dan 10 membentuk cluster ketiga. Stasiun 5
dan 7 membentuk cluster keempat sementara pada logam berat Pb juga stasiun 1 sama-sama
membentuk cluster yang pertama. Stasiun 2, 3 dan 4 sama-sama membentuk cluster kedua.
Stasiun 5, 7 membentuk cluster ketiga dan stasiun 6, 8, 9, 10 membentuk cluster keempat.

21
Gambar 7. Dendogram Cu (kiri) dan Pb(kanan) terhadap sorting

Gambar 7 memperlihatkan stasiun 1 membentuk cluster pertama. Stasiun 2, 3, 6 dan 9


membentuk cluster kedua. Stasiun 4, 8 dan 10 membentuk cluster ketiga. Stasiun 5 dan 7
cluster cluster keempat. Gambar 7 memperlihatkan stasiun 1 membentuk cluster pertama.
Stasiun 2, 3 dan 4 membentuk cluster kedua. Stasiun 5,7 dan 9 membentuk cluster ketiga.
Stasiun 6, 8 dan 10 membentuk cluster keempat.

Berdasarkan nilai mean dan median terhadap kandungan logam berat didapatkan
bahwa semakin besar nilai mean dan median maka kandungan logam berat yang ditemukan
akan semakin rendah. Hal tersebut terlihat pada stasiun 5 dan 7 yang memiliki nilai mean dan
median yang lebih besar dibandingkan stasiun yang lainnya dan memiliki kandungan logam
berat yang lebih rendah untuk Cu maupun Pb.

Berdasarkan nilai skewness pada logam berat Cu dan Pb stasiun 1 merupakan cluster
yang berdiri sendiri dan bernilai dengan nilai skewness kategori fraksi termasuk lempung
kasar. Stasiun 10, 8 dan 9 juga pada kedua dendogram termasuk dalam satu buah cluster yang
berada pada kategori skewness lempung kasar dimana pada kondisi ini kandungan logam
berat Cu ditemukan tinggi sedangkan pada kondisi ini pula ditemukan kandungan logam
berat yang rendah. Sehingga secara umum kandungan logam berat Cu yang tinggi memiliki
kecondongan fraksi lempung yang kasar dan sebaliknya kandungan logam berat Cu yang
rendah memiliki kecondongan fraksi lempung yang halus. Berbeda halnya dengan kandungan
logam Pb dimana terlihat sebaran nilai skewness merata yaitu nilai skewness negatif dan
skewness positif terdapat pada stasiun yang memiliki kandungan logam berat Pb yang tinggi
dan juga pada stasiun yang memiliki kandungan logam berat Pb yang rendah.

Berdasarkan nilai sorting, stasiun 1 dan 10 termasuk dalam kategori kurang tersortir
sedangkan kedelapan stasiun lainnya termasuk kategori sangat kurang tersortir. Stasiun 1
merupakan stasiun yang mengandung Pb dan Cu teringgi, stasiun 9 yang masih mengandung

22
Cu yang tinggi namun rendah kandungan Pb, secara umum dapat dikatakan bahwa ketegori
kurang tersortir memiliki kandungan logam berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kategori sangat kurang tersortir. Namun informasi terkait hal ini belum banyak didapatkan.

23
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kandungan logam berat Cu terdapat pada semua titik stasiun sedangkan
kandungan logam berat Pb hanya terdapat pada 8 titik stasiun namun kadar logam
berat belum melewati ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan. Jenis fraksi
sedimen pada lokasi penelitian bervariasi antar stasiunnya namun secara umum
didominasi oleh jenis fraksi lumpur. Kandungan logam berat Cu dan Pb dengan
konsentrasi tertinggi terdapat pada ketegori berlempung dengan nilai skewness
lempung condong kasar dan dengan keadaan sedimen yang keseragamannya kurang
tersortir sementara kandungan logam berat dengan konsentrasi terendah terdapat pada
kategori berpasir dengan nilai skewness pasir kategori condong halus dan dengan
keadaan sedimen yang keseragamannya sangat kurang tersortir. Perlu dilakukan
pengambilan data di sepanjang sumber industri untuk menentukan pengaruh sumber
industri terhadap penyebaran logam berat sedimen.

24
DAFTAR PUSTAKA

Lyusta, A. H., & Agustriani, F. (2017). ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT


TEMBAGA ( Cu ) DAN TIMBAL ( Pb ) PADA SEDIMEN DI PULAU PAYUNG
KABUPATEN BANYUASIN , SUMATERA SELATAN ANALYSIS CONTENT
LEVELS OF COPPER ( Cu ) AND LEAD ( Pb ) HEAVY METALS IN SEDIMENT IN
PAYUNG ISLAND, 9(1), 17–24.

25
LAMPIRAN

PERTANYAAN

1. Bagaimana preparasi sampel yang baik untuk AAS? Dan bagaimana dengan proses
destruksi pada AAS? (Fadhillah Restu P.)

Analisis dengan AAS dapat dilakukan terhadap sampel-sampel yang berupa padatan,
cairan dan gas.

Sebelum melakukan pengukuran, diperlukan terhadap larutan sampel maupun larutan


standar, disebut: Penyiapan / Preparasi sampel, misalnya absorpsi, palarutan,
dekomposisi (peleburan, pengabuan, ekstraksi), pemekatan, pengenceran

a) Sampel yang berupa gas

Pada umumnya sampel yang berupa gas, diperlukan dengan cara diabsorp dengan
menggunakan absorbents. Absorbents yang digunakan tergantung dari macam gas
yang hendak dianalisis, sehingga logam yang terkandung didalamnya terabsorpsi.

b) Sampel yang berupa padatan

Sampel yang berupa padatan diperlakukan dengan cara dekomposisi (peleburan,


pengabuan, ekstraksi), baru kemudian dilarutkan dengan aquades untuk diubah
menjadi larutan. Bila larutan yang didapat mempunyai konsentrasi diatas daerah
working range, maka perlu pengenceran dan bila sangat encer maka perlu pemekatan
sehingga diperoleh larutan yang siap diaspirasikan pada AAS.

Didalam melarutkan, pelarut yang digunakan dapat berupa pelarut air (disebut larutan
non aquatik) dan pelarut bukan air (disebut larutan non aquatik) yaitu berupa pelarut
organik.

c) Sampel yang berupa cairan

Sampel yang berupa cairan dapat langsung diaspirasikan. Bila viskus diencerkan,
sedang yang encer dilakukan pemekatan.

Khusus untuk sampel produk minyak bumi, sampel dilarutkan dengan pelarut organik
(yaitu white spirit atau MIBK) sehingga diperoleh larutan non viskus, yang
mempunyai kecepatan alir 3 – 5 mL/menit.

26
Destruksi merupakan suatu perlakuan untuk melarutkan atau mengubah sampel
menjadi bentuk materi yang dapat diukur sehingga kandungan berupa unsur-unsur
didalamnya dapat dianalisis. Metode destruksi merupakan suatu metode yang sangat
penting didalam menganalisis suatu materi atau bahan. Metode ini bertujuan untuk
merubah sampel menjadi bahan yang dapat dikukur. Metode ini seakan sangat
sederhana, namun apabila kurang sempurna dalam melakukan teknik destruksi, maka
hasil analisis yang diharapkan tidak akurat.

a. Destruksi Basah

Destruksi basah adalah proses perombakan logam organik dengan menggunakan asam
kuat, baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi menggunakan zat
oksidator sehingga dihasilkan logam anorganik bebas. Destruksi basah sangat sesuai
untuk penentuan unsur-unsur logam yang mudah menguap. Pelarut- pelarut yang
dapat digunakan untuk destruksi basah adalah HNO3 dan HClO4. Pelarut-pelarut
tersebut dapat digunakan secara tunggal maupun campuran. Kesempurnaan destruksi
ditandai dengan diperolehnya larutan jernih pada larutan destruksi yang menunjukkan
bahwa semua konstituen yang ada telah larut sempurna atau perombakan senyawa-
senyawa organik telah berjalan dengan baik. Senyawa-senyawa garam yang terbentuk
setelah destruksi merupakan senyawa garam yang stabil dan disimpan selama
beberapa hari. Pada umumnya pelaksanaan kerja destruksi basah dilakukan dengan
menggunakan metode Kjeldhal. Metode destruksi basah lebih baik daripada cara
kering karena tidak banyak bahan yang hilang dengan suhu pengabuan yang sangat
tinggi. Hal ini merupakan salah satu faktor mengapa cara basah lebih sering
digunakan oleh para peneliti. Di samping itu destruksi dengan cara basah biasanya
dilakukan untuk memperbaiki cara kering yang biasanya memerlukan waktu yang
lama.

b. Destruksi Kering
Destruksi kering merupakan perombakan organik logam di dalam sampel menjadi
logam-logam anorganik dengan jalan pengabuan sampel dalammuffle furnace furnace
furnace dan memerlukan suhu pemanasan tertentu. Pada umumnya dalam destruksi
kering ini dibutuhkan suhu pemanasan antara 400-800oC, tetapi suhu ini sangat
tergantung pada jenis sampel yang akan dianalisis. Untuk menentukan suhu
pengabuan dengan sistem ini terlebih dahulu ditinjau jenis logam yang akan dianalisis.

27
Bila oksida-oksida logam yang terbentuk bersifat kurang stabil, maka perlakuan ini
tidak memberikan hasil yang baik. Untuk logam Fe, Cu, dan Zn oksidanya yang
terbentuk adalah Fe2O3, FeO, CuO, dan ZnO. Semua oksida logam ini cukup stabil
pada suhu pengabuan yang digunakan. Oksida-oksida ini kemudian dilarutkan ke
dalam pelarut asam encer baik tunggal maupun campuran, setelah itu dianalisis
menurut metode yang digunakan.

2. Apa yang dimaksud dengan senyawa refraktori? (Alda Aissisiyah P.)

Refraktori secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bahan tahan terhadap suhu
tinggi yang berbentuk bata dan bubuk (powder), sedangkan refraktori menurut ilmu
material adalah bahan anorganik yang tidak meleleh atau melebur pada suhu tinggi,
sering juga disebut high temperature material. Dalam industri, refraktori adalah
sebagai bahan anorganik dalam konstruksi peralatan yang digunakan untuk
memanaskan, membakar, atau melebur bahan industri (Hari, 2002)

Bahan-bahan yang terdapat dalam refraktori, biasanya merupakan senyawa oksida


logam yang memiliki daya tahan terhadap suhu tinggi. Berikut ini beberapa senyawa
oksida yang terdapat dalam refraktori:

(1) Silikon Oksida

Silikon oksida banyak dijumpai dalam bebatuan dan mineral-meneral, mempunyai


titik leleh 1713 oC. Silikon oksida juga dapat dibentuk dari silikon yang direaksikan
dengan oksigen membentuk dioksida.

(2) Kalsium Oksida

Senyawa padat putih dengan titik leleh 2572 °C dibentuk melalui pemanasan kalsium
dengan oksigen atau dari penguraian kalsium karbonat (batu kapur).

(3) Magnesium Oksida

Magnesium oksida mempunyai titik leleh 2800°C, dapat dibuat dengan memanaskan
magnesium dengan oksigen, atau dari penguraian garam-garam Mg-nya seperti
Mg(OH)2, MgCO3, Mg(NO3)2.

(4) Besi (III) Oksida

28
Suatu zat padat berwarna coklat kemerah-merahan dengan titik leleh 1580 oC, yang
dapat diperoleh dengan memanaskan Fe(OH)3 atau FeSO4 pada suhu tinggi (Sunarya,
2003).

Sifat-sifat Refraktori:

Aksi kimia mugkin terjadi karena kontak dengan kerak, abu bahan bakar, gas tanur,
atau dengan produk-produk seperti kaca atau baja. Oleh karena itu, untuk penggunaan
refraktori perlu diperhatikan bahan baku yang digunakan, suhu pengerjaan didalam
tanur, dan beban yang diberikan pada waktu pemanasan, serta reaksi kimia yang
berlangsung.

(1) Titik lebur.


Kebanyakan refraktori komersial melunak secara berangsur dalam jangkauan suhu
yang cukup luas dan tidak mempunyai titik cair yang tajam, karena biasanya
terdiri dari berbagai mineral. Seperti pada refraktori untuk dinding tanur, biasanya
refraktori melunak secara berangsur akibat adanya aksi kimia yang disebabkan
berbagai kondisi pada tanur.
(2) Porositas
Porositas berkaitan langsung dengan berbagai sifat fisika bata lainnya, termasuk
ketahanan terhadap serangan kimia. Makin tinggi porositas suatu bata, makin
mudah bata tersebut dipenetrasi oleh fluks cair dan gas. Untuk setiap jenis bata
tertentu, bata yang porositasnya paling rendah adalah yang paling keras dan paling
tinggi konduktivitas termal dan kapasitas kalornya.
(3) Ketahanan terhadap perubahan suhu
Bata yang mempunyai ekspansi termal paling rendah dan teksturnya paling kasar,
sangat tahan terhadap perubahan termal yang berlangsung mendadak dan juga
paling sedikit mengalami regangan (Austin, 1996).

29

Anda mungkin juga menyukai