Anda di halaman 1dari 125

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, 1

pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160

pekerja mengalami sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatat

angka kematian dikarenakan kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja

(PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun (Depkes RI, 2014).

Di Indonesia perkembangan industri sekarang ini berlangsung sangat pesat

seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari tahun ke tahun

perindustrian di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan. Seiring

dengan peningkatan dan penurunan industri, kecelakaan kerja di Indonesia

masih tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data

Jamsostek (2012) terjadi kecenderungan peningkatan kecelakaan kerja. Pada

tahun 2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2010 terdapat 98.711 kasus, tahun

2011 terdapat 99.491 kasus dan tahun 2012 terdapat 103.000 kasus.

Berdasarkan data dari BPJS (2014) terjadi kecelakaan kerja sebanyak 129.911

orang dengan 65,59% persen kecelakaan terjadi di dalam perusahaan saat

pekeraj bertugas, 10,29% diluar perusahaan, dan sekitar 20,15% pekerja

mengalami kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan kerja tertinggi terjadi di

lingkungan industri.

1
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan

RI (2015) jumlah kasus kecelakaan akibat kerja di Indonesia pada tahun 2011-

2014 yang paling tinggi pada tahun 2013 yaitu 35.917 kasus kecelakaan kerja.

Pada tahun 2011 terdapat 9.891 kasus, tahun 2012 terdapat 21.735 kasus 2013

terdapat 35.917 kasus dan pada tahun 2014 terdapat 24.910 kasus kecelakaan

kerja di Indonesia. 5 Provinsi dengan kecelakaan kerja tertinggi pada tahun

2011 adalah Provinsi Banten, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah

dan Jawa Barat, tahun 2012 adalah Provinsi Bali, Banten, Jawa Timur, Jawa

Tengah dan Jawa Barat, tahun 2013 adalah Provinsi Jambi, Sulawesi Utara,

Aceh, Gorontalo, dan Banten, tahun 2014 adalah Provinsi Bali, Riau, Sulawesi

Selatan, Jawa Timur dan Jawa Barat. Faktor utama kecelakaan disebabkan oleh

faktor manusia dan kondisi tidak aman karena kurangnya kedisiplinan

lingkungan kerja, alat atau mesin, dan lingkungan yang buruk.

Sedangkan jumlah kasus kecelakaan akibat kerja di Provinsi Jawa Barat

(Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015) pada tahun 2011-

2014 mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Jumlah kasus kecelakaan

akibat kerja pada tahun 2011-2014 yang paling tinggi pada tahun 2014 yaitu

terdapat 1.713 kasus kecelakaan kerja, tahun 2011 terdapat 731 kasus, tahun

2012 terdapat 1.026 kasus dan pada tahun 2013 terdapat 584 kasus kecelakaan

kerja.

Berdasarkan data dari BPJS Ketenagakerjaan (2016) di Kota Bogor

terdapat 200 accident atau kecelakaan kerja dari tahun 2015 sampai dengan

Januari 2016. Kecelakaan kerja di Kota Bogor mengalami penurunan

2
kecelakaan keja dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 300 kasus

kecelakaan kerja. Walaupun data tersebut termasuk kategori rendah di Jawa

Barat atau secara nasional, tetapi diharapkan setiap perusahaan di Kota Bogor

harus mewaspadai atau mengantisipasi penyebab langsung dari kecelakaan

yang berdasarkan faktor manusia dan faktor lingkungan kerja.

Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (BPS,

2014) bahwa tenaga kerja di Kabupaten Bogor paling banyak bekerja di sektor

perdagangan (29,08%) , industri (25,88%) dan jasa (12,8%). Dengan tingginya

sektor industri di kabupaten bogor mengakibatkan tingginya kemungkinan

terjadinya kecelakaan kerja terhadap tenga kerja dimana masih banyak

perusahaan di kabupaten yang tidak menerapkan culture safety bagi

perusahaan.

Menurut H.W. Heinrich dalam terjadinya sebuah kecelakaan kerja

dipengaruhi oleh 2 (dua) penyebab langsung yaitu unsafe action (tindakan

tidak aman) dan unsafe condition (kondisi tidak aman). Berdasarkan studi yang

dilakukan Heinrich tahun 1928 bahwa terdapat 75 ribu kasus kecelakaan

industri dan didapatkan bahwa 88 % disebabkan oleh tindakan tidak aman,

10% disebabkan oleh kondisi tidak aman, dan 10% didapatkan dari kondisi

yang tidak dapat dihindarkan seperti bencana alam (Ramli, 2010). Penyebab

kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh tindakan tidak aman seperti, sembrono

dan tidak hati-hati, tidak mematuhi peraturan, tidak mengikuti standar prosedur

kerja, tidak memakai alat pelinding diri (APD), dan kondisi badan yang lemah.

3
Berdasarkan konsep perilaku dari Notoadmodjo (2007), dapat dijelaskan

bahwa faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan

karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan,

misalnya pengetahuan, motivasi, jenis kelamin, persepsi, sikap dan sebagainya.

Sedangkan faktor eksternal merupakan lingkungan baik fisik, sosial, budaya,

ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga kedua faktor ini dapat dijadikan

sebuah acuan pengambilan keputusan bagi perusahaan untuk mengukur dan

mengurangi terjadinya unsafe action dan unsafe condition.

Selly Triminati (2015) melakukan penelitian mengenai gambaran faktor

perilaku tidak aman pada pekerja PT. Krakatau area Cook Over Plant (COP)

Proyek Blast Furnace. Hasil penelitian diketahui bahwa dari sebelas indikator

perilaku tidak aman, sebanyak 9 perilaku tidak aman yang dilakukan pekerja

diantaranya tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap,

merokok saat bekerja, tidak menggunakan APD secara benar, melempar

material ketika bekerja, bekerja sambil merokok, bekerja sambil

berkelakar/bercanda dengan teman, tidak menempatkan peralatan dengan

sesuai yang terlihat dari melempar alat-alat kerja, melakukan pekerjaan dengan

cepat dan terburu-buru dan bekerja tidak sesuai dengan prosedur. Berdasarkan

hasil penelitian, perilaku tidak aman yang dilakukan pekerja disebabkan oleh

rendahnya motivasi untuk keselamatan diri bagi para pekerja, persepsi terhadap

bahaya yang buruk, kebiasaan, kenyamanan bekerja, ketersediaan APD yang

kurang memadai dan tidak sesuai dengan jumlah pekerja, dan tidak adanya

4
reward yang diberikan kepada pekerja, pemberian punishment yang kurang

efektif serta pengawasan yang kurang efektif.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian dari Aghil Dwi Jati Kusuma dan Eni

Mahawati (2015) mengenai faktor-faktor determinan unsafe action karyawan

di unit paper mill 5/6/9 bagian produksi 5/6 PT. Baratuma Kudus 2015 terdapat

hubungan antara pengetahuan dan tindakan tidak aman pada pekerja walaupun

tingkat pengetahuan baik tapi berpotensi untuk melakukan tindakan-tindakan

tidak aman salah satunya dengan sengaja seperti yang dilakukan pekerja unit

produksi yang melanggar aturan dengan tidak menggunakan alat pelindung diri

(APD) saat bekerja. Berdasarkan persepsi pekerja sebanyak 70% pekerja

memiliki persepsi yang sedang dalam bertindak aman, sedangkan kelompok

dengan persepsi baik menunjukkan tindakan tidak aman sebesar 60%. Pada

penelitian ini dengan kurangnya persepsi seseorang maka akan berpengaruh

terhadap tindakan tidak aman.

PT. Danson Indonesia merupakan salah satu industri yang memproduksi

Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Dari hasil observasi dan wawancara

pada HRD di PT.Danson Indonesia di bagian Air Mineral Dalam Kemasan

(AMDK) pada tahun 2016 terjadi kecelakaan kerja sebanyak lebih dari 10

kecelakaan dari mulai kecelakaan ringan (terjatuh, tertimpa hasil produksi)

sampai dengan kecelakaan yang membutuhkan perawatan. Salah satu penyebab

kecelakan kerja itu disebabkan oleh tindakan tidak aman yang pekerja lakukan

yaitu ketidakpatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) khususnya pada

pekerja operator produksi, miskomunikasi dalam memperbaiki mesin yang

5
rusak sehingga menyebabkan kecelakaan kerja. Terlebih didukung dengan

kondisi lingkungan fisik yang tidak sesuai dengan standar lingkungan fisik di

area kerja berupa pencahayaan <100 lux dan intensitas kebisingan >85 dB(A)

Dengan demikian faktor-fakor yang mempengaruhi tindakan tidak aman

(unsafe action) pada pekerja harus diperhatikan dengan baik untuk mencegah

dan mengurangi kecelakaan kerja di tempat kerja. Meningkatnya kecelakaan

kerja dari tahun ke tahun akibat faktor manusia (tindakan tidak aman) dan

faktor lingkungan disebabkan oleh beberapa faktor internal dan faktor eksternal

pekerja di tempat kerja dan perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor

yang mempengaruhi tindakan tidak aman (unsafe action) pada pekerja bagian

Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di PT.Danson Indonesia Kabupaten

Bogor. Selain itu, di PT.Danson Indonesia belum pernah dilakukan penelitian

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan tidak aman pada pekerja,

sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor

yang mempengaruhi tindakan tidak aman (unsafe action) pada pekerja bagian

Air Minum Dalam Kemasan di PT.Danson Indonesia Kabupaten Bogor”.

6
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat diketahui bahwa

kecelakaan kerja di dunia maupun di indonesia lebih besar disebabkan oleh

faktor manusia yang melakukan tindakan tidak aman di tempat kerja dan

kondisi lingkungan yang mendukung terjadinya kecelakaan. Pada tahun 2016

di PT. Danson Indonesia terjadi kecelakaan kerja sebanyak lebih dari 10

kecelakaan dari mulai kecelakaan ringan (terjatuh, tertimpa hasil produksi)

sampai dengan kecelakaan yang membutuhkan perawatan. Salah satu penyebab

kecelakan kerja itu disebabkan oleh tindakan tidak aman yang pekerja lakukan

yaitu ketidakpatuhan penggunaan alat pelindung diri (APD) khususnya pada

pekerja operator produksi, miskomunikasi dalam memperbaiki mesin yang

rusak sehingga menyebabkan kecelakaan kerja. Terlebih didukung dengan

kondisi lingkungan fisik yang tidak sesuai dengan standar lingkungan fisik di

area kerja berupa pencahayaan <100 lux dan intensitas kebisingan >85 dB(A)

Berdasarkan data wawancara dan observasi dapat diindikasikan bahwa

pekerja di PT.Danson Indonesia melakukan tindakan tidak aman. Selain itu,

belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

tindakan tidak aman pada pekerja produksi bagian Air Minum Dalam Kemasan

(AMDK) di PT.Danson Indonesia Bogor. Oleh karena itu, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi tindakan tidak aman (unsafe action) pada pekerja produksi

bagian Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di PT.Danson Indonesia

7
Kabupaten Bogor yang dihubungkan dengan faktor internal dan faktor

eksternal pekerja.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran tindakan tidak aman (unsafe action) pada pekerja

produksi bagian Air Minum Dalam Kemasan di PT. Danson Indonesia

Bogor pada tahun 2017?

2. Bagaimana hubungan faktor internal (pengetahuan, persepsi, motivasi)

dengan tindakan tidak aman pada pekerja produksi bagian Air Minum

Dalam Kemasan di PT. Danson Indonesia Bogor pada tahun 2017?

3. Bagaimana hubungan faktor eksternal (peraturan/kebijakan, pengawasan,

dan lingkungan fisik (pencahayaan dan kebisingan)) dengan tindakan tidak

aman pada pekerja produksi bagian Air Minum Dalam Kemasan di PT.

Danson Indonesia Bogor pada tahun 2017?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan tidak

aman (unsafe action) pada pekerja produksi bagian Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) di PT. Danson Indonesia Bogor tahun 2017.

8
1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui gambaran tindakan tidak aman pada pekerja produksi

bagian Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di PT. Danson Indonesia

Bogor pada tahun 2017.

2. Untuk mengetahui hubungan faktor internal (pengetahuan, persepsi,

motivasi) dengan tindakan tidak aman pada pekerja produksi bagian Air

Minum Dalam Kemasan (AMDK) di PT. Danson Indonesia Bogor pada

tahun 2017.

3. Untuk mengetahui hubungan faktor eksternal (peraturan/kebijakan,

pengawasan, dan lingkungan Fisik (pencahayaan dan kebisingan)) dengan

tindakan tidak aman pada pekerja produksi bagian Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) di PT. Danson Indonesia Bogor pada tahun 2017.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ibn Khaldun Bogor

Dapat bermanfaat sebagai referensi tambahan bagi mahasiswa

konsentrasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) dalam penelitian

selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan topik yang

berhubungan dengan tindakan tidak aman (unsafe action).

9
1.5.2 PT. Danson Indonesia

1) Peneliti dapat membantu proses analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi tindakan tidak aman (unsafe action) pada pekerja

produksi bagian Air Mineral Dalam Kemasan (AMDK) di PT. Danson

Indonesia Bogor tahun 2017.

2) Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait

manajemen keselamatan pekerja.

3) Sebagai sarana menjalin kemitraan dengan Fakultas Ilmu Kesehatan

Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Ibn’ Khaldun Bogor.

4) Sebagai sarana transfer wawasan dari ilmu pengetahuan yang dimiliki

oleh mahasiswa/I Fakultas Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ibn

Khaldun Bogor.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi tindakan tidak aman (unsafe action) pada pekerja produksi

bagian Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang di lakukan di PT Danson

Indonesia yang terletak di Jln. Kol. Bustami, Kp. Gembrong, Desa Ciadeg,

RT/RW 02/07, Kec. Cigombong, Kab. Bogor Provinsi Jawa Barat dan

penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2017. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional dengan variabel

dependent berupa tindakan tidak aman dan variabel independen adalah faktor

internal (pengetahuan, persepsi, motivasi) dan faktor eksternal (peraturan dan

10
kebijakan, pengawasan, dan lingkungan fisik (pencahayaan dan kebisingan)).

Penelitian ini diharapkan dapat melihat adakah hubungan antara faktor internal

dan faktor eksternal dengan tindakan tidak aman pada pekerja.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecelakaan Kerja

2.1.1 Definisi Kecelakaan Kerja

Kecelakaan adalah kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan. Tak

terduga, karena dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan,

lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan, oleh karena

peristiwa kecelakaan disertai kerugian material ataupun penderitaan dari

yang paling ringan sampai yang paling berat (Suma’mur, 2014).

Menurut Benneth Silalahi (1995), kecelakaan terjadi tanpa disangka-

sangka dan dalam sekejap mata, dan setiap kejadian terdapat empat (4)

faktor yang saling mempengaruhi yaitu lingkungan, bahaya, peralatan dan

manusia.

Kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang

berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja

yang di maksud adalah kecelakaan yang terjadi karena pekerjaan atau pada

waktu melaksanakan pekerjaan (Suma’mur, 2014).

12
Menurut Rachman (1990), kecelakaan akibat kerja adalah suatu

kejadian yang tidak diduga, tidak dikehendaki dan dapat menyebabkan

kerugian baik jiwa maupun harta benda.

2.1.2 Klasifikasi Kecelakaan Kerja

Klasifikasi kecelakaan akibat kerja menurut ILO tahun 1962 (Anizar,

2009) adalah:

a. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan

- Terjatuh

- Tertimpa benda

- Tertumbuk

- Terjepit

- Gerakan melebihi kemampuan

- Pengaruh suhu

- Terkena arus listrik

- Terkena bahan-bahan berbahaya/radiasi

b. Klasifikasi menurut penyebab kecelakaan

- Mesin

- Alat angkut

- Peralatan lain seperti dapur pembakaran atau pemanas, instalasi listrik

- Bahan-bahan zat kimia atau radiasi

- Lingkungan kerja misal di ketinggian atau kedalaman tanah.

13
c. Klasifikasi menuut sifat luka/kelainan

- Patah tulang

- Dislokasi (keseleo)

- Regang otot

- Memar dan luka dalam

- Amputasi

- Luka dipermukaan

- Geger dan remuk

- Luka bakar

- Keracunan-keracunan mendadak

- Pengaruh radiasi

- Lain-lain

d. Klasifikasi menurut letak kelalaian atau cacat di tubuh

- Kepala

- Leher

- Badan

- Anggota atas

- Anggota bawah

- Banyak tempat

- Letak lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi tersebut

14
2.1.3 Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja

Pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan (1) pengamatan

risiko bahaya di tempat kerja, (2) pelaksanaan SOP secara benar di tempa

kerja, (3) pengendalian faktor bahaya di tempat kerja, (4) peningkatan

pengetahuan tenaga kerja terhadap keselamatan kerja dan (5) pemasangan

peringatan bahaya kecelakaan di tempat kerja. Selain itu upaya pencegahan

kecelakaan kerja juga perlu disediakan sarana untuk menganggulangi

kecelakaan di tempat kerja seperti penyediaan P3K, penyediaan peralatan

dan perlengkapan tanggap darurat (Sucipto, 2014).

Upaya pencegahan kecelakaan kerja menurut Suma’mur (2014) dapat

dilakukan melalui 12 hal yaitu :

1. Peraturan perundangan yaitu ketentuan yang diwajibakan mengenai

kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, kontruksi, perawatan dan

pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan industri,

tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis, P3K dan

pemeriksaan kesehatan.

2. Standarisasi yaitu penetapan standar resmi, setengah resmi atau tak

resmi misalkan mengenai syarat keselamatan sesuai instruksi peralatan

industri dan Alat Pelindung Diri (APD).

3. Pengawasan terhadap ketentuan undang-undang yang wajib dipatuhi.

15
4. Penelitian bersifat teknik yang meliputi sifat dan bentuk bahan yang

berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengamanan, pengujian alat

perlindungan diri.

5. Riset medis yang meliputi terutama penelitian tentang efek fisiologi dan

patologis dan keadaan fisik yang mengakibatkan kecelakaan yang tidak

terduga.

6. Penelitian psikologi yaitu penyelidikan tentang bentuk kejiwaan yang

menyebabkan terjadinya kecelakaan.

7. Penelitian tentang statistik dilakukan untuk menetakan jenis kecelakaan

yang terjadi, banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa, apa

sebab-sebabnya.

8. Pendidikan diarahkan pada pendidikan keselamatan dan kurikulum

teknik, beberapa sekolah pelatihan.

9. Pelatihan yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja

yang baru, dalam keselamatan kerja.

10. Penggairahan yaitu penggunaan aneka cara penyuluhan atau pendekatan

lain untuk menimbulkan sikap untuk selamat.

11. Asuransi yaitu pemberian insentif finansial untuk meningkatkan

pencegahan kecelakaan misalkan dalam bentuk pengurangan premi yang

dibayar oleh perusahaan jika tindakan keselamatan yang sangat baik.

12. Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan yaitu merupakan ukuran

utama efektif tidaknya penerapan keselamatan kerja. Pola kecelakaan

16
terjadi pada suatu perusahaan sangat bergantung kepada tingkat

pesadaran akan keselamatan kerja oleh semua pihak yang bersangkutan.

Beberapa asas pencegahan kecelakaan kerja menurut Anizar (2009)

dapat dilakukan baik oleh pihak manajemen perusahaan maupun oleh pihak

pekerja atau tenaga kerja. Manajemen perusahaan dengan cara memberikan

pelatihan untuk karyawan, pemeriksaan kesehatan, memberikan demostrasi

tentang penggunaan alat pelindung diri, pelaksanaan housekeeping yang

baik, pemberian sanksi dan memberikan insentif kepada pekerja jika terjadi

kecelakaan. Pencegahan oleh tenaga kerja yaitu dengan cara memakai alat

pelindung diri, menyadari pentingnya keselamatan kerja dan mematuhi

peraturan yang berlaku ditempat kerja.

2.2 Faktor-Faktor Kecelakaan Kerja

2.2.1 Tindakan Tidak Aman (Unsafe Action)

Menurut Heinrich 1931, tindakan tidak aman (unsafe action) adalah

tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang karyawan yang

memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan.

Menurut Didi Sugandi (2003), tindakan tidak aman adalah tingkah laku,

tindak tanduk atau perbuatan yang menyebabkan kecelakaan.

17
Jenis-jenis tindakan tidak aman menurut para ahli adalah sebagai

berikut :

1. Tindakan Tidak Aman Menurut Heinrich tahun 1928 (1931)

a. Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang tidak sesuai

b. Mengoperasikan peralatan yang bukan haknya

c. Menggunakan peralatan yang tidak pantas

d. Menggunakan peralatan yang tidak benar

e. Membuat peralatan safety tidak berfungsi

f. Kegagalan untuk memperingatkan karyawan lain

g. Kegagalan untuk menggunakan alat pelindung diri

h. Beban, tempat dan materi yang tidak layak dalam pengangkatan

i. Mengambil posisi yang salah

j. Mengangkat yang salah

k. Tidak disiplin dalam pekerjaan

l. Menservice peralatan yang sedang bergerak

m. Meminum-minuman yang beralkohol

n. Menggunakan obat-obatan terlarang

2. Tindakan Tidak Aman Menurut Systematic Cause Analysis Technique

(SCAT) yang dikeluarkan oleh Det Norske Veritas (DNV) Modern

Safety Management (1996)

a. Mengoperasikan peralatan tanpa otorisasi atau kewenangan

b. Gagal untuk memperingatkan

c. Gagal untuk mengamankan

18
d. Mengoperasikan peralatan atau mesin kerja dengan kecepatan yang

tidak sesuai dengan prosedur

e. Membuat safety devices (peralatan pengaman) tidak berfungsi

f. Menggunakan peralatan yang rusak

g. Gagal menggunakan APD secara layak

h. Muatan tidak layak

i. Penempatan tidak layak

j. Pengangkutan yang tidak layak

k. Posisi atau postur kerja janggal

l. Perawatan atau perbaikan peralatan yang sedang beroperasi

m. Bersenda gurau berlebihan

n. Dibawah pengaruh alkohol (mabuk) dan atau obat-obatan

o. Menggunakan peralatan yang tidak tepat

p. Gagal mengikuti prosedur

3. Menurut Silalahi (1995) Terdapat Alasan Seorang Karyawan Melakukan

Pekerjaan yang Merugikan

a. Yang bersangkutan tidak mengetahui tata cara yang aman atau

perbuatan-perbuatan yang berbahaya.

b. Yang bersangkutan tidak mampu memenuhi persyaratan kerja

sehingga terjadilah tindakan yang dibawah standar.

c. Yang bersangkutan mengetahui seluruh peraturan dan persyaratan

kerja, namun dia enggan memenuhinya.

19
2.2.2 Kondisi Tidak Aman (Unsafe Condition)

Kondisi tidak aman (unsafe condition) adalah situasi atau keadaan yang

tidak langsung disebabkan oleh tindakan atau ketidaksengajaan dari satu

atau lebih karyawan pada suatu lokasi yang dapat menyebabkan celaka atau

cedera jika kondisi tersebut tidak diperbaiki. Kondisi tidak aman disebabkan

oleh berbagai hal yaitu (Anizar, 2009):

1. Peralatan yang sudah tidak layak pakai

2. Ada api di tempat bahaya

3. Pengamanan gedung yang kurang standar

4. Terpapar bising

5. Terpapar radiasi

6. Pencahayaan dan ventilasi yang kurang atau berlebihan

7. Kondisi suhu yang membahayakan

8. Keadaan pengamanan yang berlebihan

9. Sistem peringatan yang berlebihan dan sifat pekerjaan yang

mengandung potensi bahaya

20
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Tidak Aman

2.3.1 Faktor Internal

a. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan hasil “tahu”

dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga.

Dalam teori belajar sosial, pengetahuan merupakan bagian dari

kapabilitas perilaku. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa

perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitan Rogers (1974)

yang dikutif oleh syarifudin (2009), mengungkapkan bahwa sebelum

orang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi

proses yang berurutan yaitu:

1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus/objek.

2. Interest yaitu dimana orang mulai tertarik terhadap stimulus.

3. Evaluation yaitu dimana orang tersebut menimbang-nimbang

terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

4. Trial yaitu dimana orang telah mencoba perilaku baru.

21
5. Adoption yaitu dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus

(Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (over behavior). Pengetahuan yang dicakup dalam dominan

kognitif mempunyai tingkatan sebagai berikut :

1. Tahu (know)

Mengingat sesuatu materi yang dipelajari sebelumnya,

termasuk diantaranya mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu

yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan

yang telah diterima.

2. Memahami (comprehension)

Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek

yang diketahui dan dapat diinterpretasikan materi secara benar.

3. Aplikasi (aplication)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi/kondisi ril, yaitu pengalaman hukum-hukum, rumus-

rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi

yang lain.

22
4. Analisis (analysis)

Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen-komponen, tetapi dalam suatu struktur

organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-

bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis

merupakan kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan

formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kinerja yang ditentukan

sendiri atau menggunakan yang telah ada.

Menurut Adenan (1986) dalam buku Widyatun (1999), semakin

luas pengetahuan seseoarang maka semakin positif perilaku yang

dilakukannya. Perilaku positif mempengaruhi jumlah informasi yang

dimiliki seseorang sebagai hasil proses penginderaan terhadap objek

tertentu. Selain itu, tingkat perilaku mempengaruhi domain kognitif

seseorang dalam hal mengingat, memahami, dan mengaplikasikan

informasi yang dimiliki. Juga berpengaruh dalam proses analisis,

sintesis, dan evaluasi suatu objek. Menurut Adenan (1986) dalam buku

Widyatun (1999) juga bahwa pengetahuan diperoleh dari pendidikan

23
formal atau pendidikan informal. Menurut Cahyani (2004),

pengetahuan yang tidak memadai mengenai adanya risiko dan bahaya

kecelakaan kerja akan membuat pekerja bersikap acuh serta mungkin ia

melakukan tindakan yang tidak aman dan merugikan keselamatan

dirinya. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui

proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang

positif maka sikap tersebut akan bersifat langgeng (long lasting).

Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).

b. Pendidikan

Menurut Green (1980), tingkat pendidikan merupakan faktor

predisposisi seseorang untuk berperilaku sehingga latar belakang

pendidikan merupakan faktor yang mendasar untuk memotivasi

terhadap perilaku atau memberikan referensi pribadi dalam pengalaman

belajar seseorang. Pendidikan mempengaruhi cara berfikir dalam

mengahadapi pekerjaan, demikian pula dalam menerima latihan kerja

termasuk cara menghindari kecelakaan dan cara bertindak ataupun

melakukan pekerjaan yang aman. Pada karyawan yang dengan

pendidikan tinggi mempunyai kecenderungan mempunyai motivasi

kerja yang tinggi dan semakin tinggi pengetahuannya, karyawan

semakin puas bekerja dan semakin baik pula kinerjanya. Jadi,

pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti

oleh seorang karyawan atau pekerja. Tingkat pendidian erat kaitannya

24
dengan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing karyawan. Pada

umumnya semakin tinggi pendidikan fornal yang dicapai, maka

semakin banyak pula pengetahuan yang diperoleh dalam hidupnya.

Untuk mengatasi permasalahan perlu dilakukan penambahan

pengetahuan dan keterampilan karyawan tentang K3, melalui :

1. Pendidikan berkelanjutan tentang K3.

2. Penyempurnaan substansi keilmuan, kurikulum.

3. Perhatian dari profesi pendidik.

4. Pelaksanaan berupa bentuk formal dan informal.

c. Lama Kerja

Menurut Robbins (2006), lama kerja berhubungan dengan perilaku

seseorang. Lama kerja merupakan variabel penjelas tunggal yang paling

penting dalam absen maupun total hari yang hilang pada saat bekerja.

Lama kerja juga merupakan variabel yang penting dalam menjelaskan

keluar masuknya karyawan.

Berdasarkan ILO (1989) menyatakan bahwa hasil studi Amerika

menunjukkan, kecelakaan kerja yang selain disebabkan oleh faktor

manusia juga karena masih baru bekerja dan kurang dalam pengalaman

kerja. Setiap orang atau individu mempunyai pandangan dan penilaian

terhadap lingkungan yang dipengaruhi oleh sosial budaya, sehingga

dapat dikatakan bahwa semakin lama seseorang itu berada ditempat

kerjanya, maka mereka dapat mempersiapkan lingkungan tersebut.

25
d. Motivasi

Menurut Munandar (2001), motivasi dapat dipandang sebagai satu

ciri yang ada pada calon tenaga kerja ketika diterima masuk bekerja

diperusahaan, dibawa masuk oleh tenaga kerja. Selama bekerja,

motivasi kerja tenaga kerja mengalami perubahan-perubahan sebagai

hasil interaksi antara tenaga kerja dengan lingkungan kerjanya. Tenaga

kerja mulai bekerja dengan derajat motivasi kerja tertentu. Motivasi

adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang

untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada

tercapainya tujuan tertentu. Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud

adalah suatu keadaan yang terdapat dalam diri seseorang (internal

state) yang menyebabkan hasil-hasil atau keluaran-keluaran tertentu

menjadi menarik, misalnya rasa haus (kebutuhan untuk minum)

menyebabkan kita tertarik pada air segar, sebaliknya, jika kita tidak

haus, maka kita bersikap netral terhadap air.

Sedangkan menurut As’ad (1995), motivasi atau motif seringkali

diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut

merupakan gerakan jiwa dan jasmani untuk berbuat. Sedangkan

motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau

dorongan kerja. oleh karena itu motivasi kerja dalam psikologi biasanya

disebut pendorong semangat kerja. Kuat lemahnya motivasi kerja

seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasi. Motivasi

kerja tidak dapat dipisahkan dari job performance. Hal ini karena

26
motivasi kerja merupakan bagian penting dari tingkah laku kerja

tersebut.

Menurut Robbins (2006) motivasi merupakan suatu kesediaan

individu untuk mengeluarkan tingkat atau upaya yang tinggi dalam

mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dikondisikan oleh kemampuan

upaya/usaha tersebut untuk memenuhi suatu kebutuhan individu.

Menurut Frank E.Bird (1996) untuk memotivasi pekerja untuk

berperilaku aman dalam bekerja terdapat 6 prinsip yaitu :

1. Prinsip penetapan tujuan dan sasaran

2. Prinsip keterlibatan pekerja yang bersnagkutan

3. Prinsip mutual interest dari pekerja

4. Prinsip psychological Appeal dari pekerja

5. Prinsip pemberian informasi kepada pekerja

6. Prinsip penguatan perilaku

Dengan 6 prinsip dasar yang ada dapat dilakukan untuk memotivasi

pekerja untuk dapat dan harus berperilaku aman dalam bekerja di

lingkungan kerja. Sehingga dapat mengurangi frekuensi tingkat

kecelakaan kerja yang mungkin terjadi.

e. Persepsi

Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses yang ditempuh individu

untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka

agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Perilaku seseorang

didasari oleh persepsi orang itu mengenai apa realita itu, bukan

27
mengenai realitas itu sendiri. Penilaian kinerja seorang karyawan sangat

tergantung pada proses perseptual (Robbins, 2006). Oleh karena itu

dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus,

sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek.

Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan

juga keadaan dirinya. Orang yang mempunya persepsi yang baik

tentang sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi

yang dimilikinya.

Petersen (1998) mengemukakan bahwa seseorang karyawan

cenderung melakukan perilaku tidak selamat karena beberapa hal,

yaitu:

1. Tingkat persepsi yang buruk terhadap adanya bahaya/risiko

ditempat kerja.

2. Menganggap rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi

kecelakaan kerja.

3. Menganggap rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi

kecelakaan kerja.

28
2.3.2 Faktor Eksternal

a. Peraturan dan Kebijakan

Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan

standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller,

2001). Salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan

menggunakan kekuatan dan kekuasaan misalnya peraturan-peraturan

dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota

masyarakat. Cara ini menghasilkan perubahaan perilaku yang cepat,

akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama

karena perubahaan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh

kesadaran sendiri (Notoatmodjo, 2007).

Suma’mur (1996) menyatakan bahwa suatu perusahaan harus

memiliki aturan yang jelas tentang penerapan keselamatan dan

kesehatan kerja dan aturan tersebut merupakan faktor yang penting

pada tempat kerja karena dapat membantu dan memudahkan penerapan

program keselamatan kerja pada area kerja.

b. Pengawasan

Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar

pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau

hasil yang dikehendaki. Agar pengawasan berhasil maka manajer harus

melakukan kegiatan-kegiatan pengecekan, inspeksi, pengendalian dan

berbagai tindakan yang sejenis dengan itu. Bahkan bilamana perlu

29
mengatur dan mencegah sebelumya terhadap kemungkinan-

kemungkinan adanya yang mungkin terjadi (Sarwono, 1991)

Pengawasan merupakan peran manajerial profesional yang

dilaksanakan oleh semua anggota yang terlibat dalam manajemen,

apakah ia seorang pengawas atau pemimpin utama suatu organisasi.

Semua anggota yang terlibat dalam organisasi mampu memberikan

pengawasan terhadap jalannya operasi perusahaan, bila fungsi

pengawasan ini tidak dilaksanakan makan akan timbul penyebab dasar

dari suatu insiden yang dapat mengganggu kegiatan perusahaan (Birds

dan Germain, 1996).

Peran seorang pengawas sangat penting dan harus dapat

memanfaatkan waktu dengan baik dalam berbicara untuk

memberitahukan ataupun memberikan teguran terhadap pekerjaan

yang melakukan tindakan tidak aman dan memberikan pujian pada

pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat kerja. Kontak secara

personal harus dilakukan sesering mungkin untuk mempengaruhi sikap

pekerja, pengetahuan, dan keterampilan (Bird dan Germain, 1996).

Pengawasan terhadap aktivitas pekerja diharapkan dapat menumbukan

kepatuhan dan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan kesehatan

kerja (K3) bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya.

Tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman umumnya

disebabkan oleh tidak adanya peraturan, standar, tidak adanya sistem

pelatihan, supervisi yang tidak adekuat, sistem inspeksi atau patroli

30
yang berjalan serta kurangnya sistem pengawasan dalam bidang

keselamatan dan kesehatan kerja. Sistem pengawasan merupakan

segala usaha penegakan peraturan yang harus dipatuhi dan merupakan

salah satu cara guna meningkatakan keselamatan (ILO, 1989).

Menurut Harold Koontz (1980), pengawasan merupakan proses

berkesinambungan yang terdiri atas pengamatan, pencatatan dan

pelaporan kegiatan organisasi atau program atau proyek yang meliputi:

1. Menetapkan standar performance yang diharapkan.

2. Mengukur performance yang sesungguhnya yang betul-betul

dilaksanakan.

3. Membandingkan performance yang sesungguhnya dengan standar

yang telah ditetapkan guna melihat adanya penyimpangan.

Menurut Anton (1989) pengawasan yang baik adalah yang dapat

mengidentifikasi, antara lain :

1. Masalah keselamatan kerja, seperti desain yang tidak aman

penataan lokasi kerja yang tidak baik, bahaya kebakaran.

2. Ketidaksempurnaan peralatan, seperti peralatan kerja yang tidak

layak untuk dipakai atau adanya kerusakan pada peralatan.

3. Kegiatan pekerja yang tidak aman, seperti cara kerja yang salah,

penggunaan peralatan secara tidak aman, kesalahan dalam

penggunaan perlengkapan pelindung diri.

4. Pengawasan harus dilakukan sesering mungkin sehingga apabila

ada kondisi yang berbahaya atau kegiatan yang tidak aman dapat

31
diketahui dengan segera dan dapat dilakukan usaha untuk

memperbaikinya.

c. Ketersediaan Fasilitas/APD

Ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung tindakan

pekerja berperilaku selamat dalam bekerja. Sistem yang didalamnya

terdapat manusia (sumber dan manusia) dan fasilitas merupakan salah

satu hal yang penting dalam mewujudkan penerapan keselamatan di

tempat kerja (Suma’mur, 2014).

Menurut Sahab (1997) bahwa sistem yang didalamnya terdapat

manusia (sumber dan manusia) dan fasilitas merupakan salah satu hal

yang penting dalam mewujudkan penerapan keselamatan di tempat

kerja. Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) dan penerapan SOP

(Sistem Operasional Prosedur) merupakan alternatif pengendalian

dalam hierarki bahaya. Lebih baik mendahulukan tempat kerja yang

aman dalam pekerjaan yang safety karena tempat kerja yang memenuhi

standar keselamatan lebih menjamin terselenggaranya perlindungan

bagi tenaga kerja. Pada penggunaan APD harus dipertimbangkan

berbagai hal, seperti pemilihan dan penetapan jenis pelindung diri,

standarisasi, pelatihan cara pemakaian dan perawatan APD, efektivitas

penggunaan, pengawasan pemakaian, pemeliharaan dan penyimpanan

(Suma’mur, 1996)

32
d. Lingkungan Fisik

1. Kebisingan

Kebisingan mempengaruhi konsentrasi dan dapat membantu

terjadinya kecelaakan ditempat kerja. Kebisingan yang lebih dari

85 dB(A) dapat mempengaruhi daya dengar dan menimbulkan

ketulian jika pekerja tidak menggunakan alat pelindung telinga (ear

plug dan ear mup). Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011, NAB kebisingan

yang diizinkan berdasarkan tingkat dan intensitas kebisingan

adalah 8 jam untuk paparan bising sebesar 85 dB(A) . Secara detail

NAB yang diizinkan untuk waktu 1 jam, 2 jam, 4 jam, dan 8 jam

perhari berturut-turut adalah 94 dB(A), 91 dB(A), 88 dB(A) dan

85 dB(A). Pada tingkatan menit, secara detail NAB yang diizinkan

untuk waktu 30 menit, 15 menit, 7,5 menit, 3,75 menit, 1.88 menit,

dan 0,94 menit perhari berturut-turut adalah 97 dB(A), 100 dB(A),

103 dB(A), 10 dB(A), 109 dB(A) dan 112 dB(A).

Menurut Buchari (2007) kebisingan ditempat kerja memiliki

dampak terhadap kesehatan sebagai berikut :

1. Gangguan fisiologis

Gangguan ini dapat berupa tekanan darah, peningkatan nadi,

basal metabolisme, kontruksi pembuluh darah kecil terutama

pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan

sensoris. Efek kebisingan terhadap gangguan fisiologis lainnya

33
adalah perubahan emosional akibat tekanan darah berubah

seperti mudah marah yang akan berlanjut ke stress.

2. Ganguan psikologis

Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman,

kurang konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan

dalam jangka waktu lama dan lain-lain.

Eksposur terhadap kebisingan yang berlebihan dapat

menimbulkan konsentrasi, kehilangan keseimbangan dan

disorientasi (berkaitan dengan pengaruh kebisingan pada cairan

di dalam saluran semisurkular telinga dalam) dan juga

kelelahan (Ridley, 2006).

Hilangnya konsentrasi dalam melakukan aktivitas kerja

dapat menimbulkan dampak yang sangat besar berupa

melakukan tindakan tidak aman saat bekerja sehingga

mengakibatkan kecelakaan kerja. Ketika terjadi kecelakan

kerja, pihak individual pekerja maupun pihak perusahaan akan

mengalami beberapa kerugian baik secara finansial maupun

non finansial, seperti hilang pekerjaan, tidak berfungsinya salah

satu anggota badan dan atau panca indra, hal terburuk adalah

sampai pada kematian bagi tenaga kerja. Sedangkan bagi

perusahaan, kecelakaan kerja dapat menghambat aktivitas para

pekerja lainnya sehingga dapat menurunkan produktivitas

34
kerja, terkait masalah hukum sampai pada ditutupnya

perusahaan (Fanny, 2015).

3. Gangguan komunikasi

Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya

pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi

pekerja baru yang belum berpengalaman. Gangguan

komunikasi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan

bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja,

karena tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan

tentunya akan menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas

kerja. Menurut W. Bester, J.C (1979) efek kebisingan yang

paling serius adalah susahnya berkomunikasi terhadap orang

lain dan susahnya mengerti apa yang orang lain katakan. Untuk

mengetahui apa yang dikatakan orang, orang tersebut harus

berbicara lebih keras dilingkungan bising.

4. Gangguan Keseimbangan

Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan

berjalan diruang angkasa atau melayang, yang dapat

menimbulkan gangguan fisiologis seperti kepala pusing, mual

dan lain-lain.

Menurut Suma’mur (2014) kebisingan mempengaruhi daya

kerja seseorang dan efek tersebut mengakibatkan gangguan

kebisingan membuat motivasi untuk berpikir dan bekerja melemah

35
atau hilang sama sekali dan mempengaruhi ketelitian seseorang

untuk berbuat dan bertindak. Selain gangguan terhadap

kemampuan memusatkan perhatian atau mengalihkan perhatian

atau melemahkan motivasi, kebisingan dapat menyebabkan

pengalihan perhatian sehingga tidak fokus kepada masalah yang

dihadapi. Selain itu berdampak pada pekerjaan, tenaga kerja yang

melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu produksi

atau hasilnya dapat membuat kesalahan-kesalahan, akibat

terganggunya konsentrasi dan kurang fokusnya perhatian.

Demikian pula terganggunya pelaksanaan dan pencapaian hasil

kerja oleh kebisingan dapat dikarenakan adanya perasaan

terganggu atau melemahnya semangat kerja, kurang sempurna

istirahat, terganggu sistem saraf dan lainnya.

Pencegahan terhadap kebisingan harus dimulai sejak

perencanaan mesin dan dilanjutkan dengan memasang bahan-bahan

yang menyerap kebisingan. Organisasi kerja dapat diatur

sedemikian sehingga pekerjaan persiapan tidak dilakukan

diruangan yang bising (Suma’mur, 2014).

2. Pencahayaan atau penerangan

Pencahayaan atau penerangan merupakan suatu aspek

lingkungan fisik yang penting bagi keselamatan pekerja.

Berdasrkan data Kepmenkes RI No 1405 tahun 2002 bahwa

intensitas pencahayaan diruang kerja minimal 100 lux. Beberapa

36
peneliti membuktikan bahwa penerangan yang tepat dan

disesuaikan dengan pekerjaan berakibat produksi yang maksimal

dan ketidakefisienan yang minimal, dan dengan begitu secara tidak

langsung membantu mengurangi terjadinya kecelakaan kerja.

Dalam pengalaman menunjukkan bahwa penerangan yang tidak

memadai disertai tingkat kecelakaan yang tinggi.

Faktor-faktor dalam pencahayaan yang menjadi penyebab

kecelakaan meliputi kesilauan langsung, kesilauan sebagai

pantulan dari lingkungan pekerjaan dan bayangan-bayangan gelap.

Juga perubahan yang mendadak dari keadaan terang kepada

keadaan gelap dapat membahayakan. Newstrom (1996) bahwa

penerangan yang kurang jelas (kurang cukup) mengakibatkan

penglihatan saat bekerja kurang jelas yang mengakibatkan pekerja

bekerja dengan lambat dan banyak mengalami kesalahan dan pada

akhirnya menyebabkan kurang efisien dalam pekerjaan sehingga

produktifitas perusahaan sulit dicapai.

Penerangan yang memadai sangat perlu bagi pencegahan

kecelakaan, ditempat dengan bahaya terantuk, terjatuh atau

terjerembab dan lain-lain. Bila diruang kerja terdapat banyak

orang, penerangan harus diadakan secara baik dan disesuaikan

dengan lokasi seperti diarea yang rawan yaitu dijalan-jalan,

ditangga-tangga, di area mesin-mesin dan lain-lain (Suma’mur,

2014).

37
2.4 Kerangka Teori

2.4.1 Teori Geller

Geller (2001) memaparkan sebuah misi dalam mengembangkan total

budaya keselamatan yang berperan sebagai suatu petunjuk atau standar yang

diperkenalkan dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Safety

Handbook. Pernyataan misi budaya keselamatan ini mencakup :

1. Mempromosikan suatu lingkungan pekerjaan yang didasarkan pada

keterlibatan karyawan, kepemilikan, kerjasama kelompok, pendidikan,

pelatihan, dan kepemimpinan.

2. Membangun penghargaan pada diri sendiri, empowerment, kebanggaan,

gairah, optimis, dan dorongan inovasi.

3. Penguatan kebutuhan akan karyawan yang secara aktif memperhatikan

teman sekerja mereka.

4. Mempromosikan filosofi keselamatan yang merupakan bukanlah suatu

prioritas yang dapat disampaikan lagi, tetapi suatu nilai yang

dihubungkan dengan setiap prioritas.

5. Mengenali kelompok dan prestasi individu.

Teori total budaya keselamatan memerlukan perhatian yang

berkesinambungan pada ketiga faktor, yaitu (Geller, 2001): faktor

lingkungan (peralatan, equipment, mesin, layout fisik, standar prosedur,

prosedur operasi, dan temperatur), faktor orang (pengetahuan, sikap

38
masyarakat dan lain-lain) dan faktor perilaku (termasuk praktek kerja aman

dan berisiko (tidak aman).

Menurut Geller (2001), perubahan perilaku seseorang dalam bekerja

dapat dilakukan dengan secara internal yaitu dengan berusaha mengubah

cara berpikir sehingga diharapkan dapat mengubah perilaku, atau secara

eksternal yaitu dengan berusaha mengubah perilaku sehinga diharapkan

dapat terjadi perubahan cara berpikir. Proses pendekatan perilaku ini dapat

secara jelas digambarkan sebagai berikut :

Perilaku Manusia

Internal Eksternal
- Sikap - Pelatihan
- Kepercayaan - Pengawasan
- Perasaan - Perhatian aktif
- Pemikiran - Pengakuan
- Tujuan - Pemenuhan
- Kepatuhan - Pengkomunikasian
- Kepribadian - Pengenalan
- Nilai-nilai
- Persepsi

Sumber : Geller, E. Scoot, 2001. The Psyhologi of Safety Handbook

Gambar 2.1 Teori Geller Perilaku Manusia

39
2.4.2 Teori Lawrence Green

Lawrence Green (1980) menganalisis perilaku manusia terkait masalah

kesehatan. Bahwa perilaku seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2

faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar

perilaku (non behavior causes). Selanjutnya faktor itu sendiri terbentuk dari 3

faktor yaitu:

1) Predisposing factors (faktor dari diri sendiri) adalah faktor-faktor yang

mendahului perilaku untuk menetapkan pemikiran ataupun motivasi yang

terdiri dari pengetahuan, sikap, persepsi, nilai, keyakinan, dan variabel

demografi seperti umur.

2) Enabling factors (faktor pemungkin) adalah kemampuan dari sumber daya

yang diperlukan untuk membentuk perilaku. Faktor pemungkin terdiri dari

fasilitas penunjang, peraturan dan kemampuan sumber daya.

3) Reinforcing factors (faktor penguat) adalah faktor yang menentukan

apakah tindakan kesehatan mendapatkan dukungan. Pada program

pendidikan keselamatan kerja dilakukan oleh teman kerja, pengawas,

pimpinan dan keluarga dan atau pemberian reward dan punishment.

2.4.3 Teori Domino oleh Frank E.Bird. Jr dan Germain

The International Lost Control Institue (ICLI) mengembangkan suatu

sistem pencegahan kerugian yang disebut sebagai ILCI Loss Caution Model

yang juga mengacu pada urutan peristiwa yang berakibat pada kerugian.

Teori ini pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari teori domino yang

40
ditemukan H.W Heinrich. Pada buku Pratical Loss Control Leadershift

(1996), Frank. E. Bird dan Germain menggambarkan urutan-urutan

kejadian yang saling berhubungan dan berakhir pada kerugian yaitu cidera,

kerusakan peralatan atau terhentinya proses. Urutan krjadian tersebut

adalah:

Kelemahan
Kendali
Kecelak Kerugian
a. Program Penyeba
Penyebab aan atau (LOSS)
yang tidak b Dasar
Langsung Insiden
memadai a.pekerja
a. Faktor a. kontak
b. Standar a. Tindakan
Manusia dengan b. Material
program tidak aman
b. Faktor sumber c.
yang tidak b. Kondisi
Pekerjaa energi lingkungan
memadai Tidak aman
n atau
c. Tidak bahan d. alat
memenuhi
standar

Sumber : Buku Pratical Loss Control Leadershift (1996),

Gambar 2.2 Teori Domino oleh Frank E. Bird dan Germain

1. Kurang Pengendalian/ kontrol

Kontrol merupakan salah satu diantara fungsi manajemen yang

penting meliputi perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan

pengontrolan. Seseorang secara profesional memimpin perusahaan

mengetahui tentang program keselamatan atau loss control, mengetahui

standar-standar, memimpin karyawan guna mencapai standar, mengukur

kinerja dirinya sendiri dan orang lain, mengevaluasi hasil dan keperluan,

mengomentari dan mengoreksi guna pengembangan kinerja. Tanpa itu,

41
rangkaian kecelakaan berawal dan menyebabkan faktor-faktor penyebab

yang berkelanjutan mengarah pada kerugian. Tanpa pengontrolan

manajemen yang memadai penyebab kecelakaan dan pengaruh

rangkaian mulai dan tanpa koreksi, mengarah pada kerugian.

Tiga alasan mengenai kurangnya kontrol, diantranya :

a. Program yang tidak memadai

Program keselamatan atau pengendalian kerugian bisa tidak

memadai karena terlalu banyak kegiatan program. Kegiatan program

yang penting bervariasi dengan lingkup atau scope, sifat dan jenis

perusahaan, riset yang tepat dan pengalaman-pengalaman dari

program-program yang telah berhasil dari beberapa perusahaan dan

negara yang berbeda dapat diterapkan.

b. Standar program yang tidak memadai

Suatu penyebab kebingungan dan kegagalan adalah standar-

standar yang tidak bersifat spesifik, tidak jelas. Standar-standar itu

memberikan kelonggaran para karyawan untuk mengetahui apa yang

diharapkan darinya dan memberikan kelonggaran artinya

pengukuran seberapa baik penampilannya dalam hubungannya

dengan standar. Standar-standar yang memadai adalah penting untuk

pengontrolan yang memadai.

c. Tidak bisa memenuhi standar

Kurang memenuhi standar yang ada merupakan alasan

kurangnya kontrol. Kebanyakan manajer menyetujui bahwa ini

42
adalah merupakan alasan tunggal yang paling kuat bagi kegagalan

pengendalian kerugian karena kecelakaan. Pengembangan

merupakan suatu fungsi eksekutif di bantu supervisor. Pemeliharaan

untuk memenuhi standar-standar merupakan fungsi supervisor

dibantu para eksekutif.

2. Penyebab dasar

Penyebab dasar adalah akar masalah, penyebab nyata setelah gejala-

gejala, alasannya mengapa terjadi tindakan dan kondisi tidak standar,

faktor yang bila dikenali membuat pengendalian manajemen yang

berarti. Seringkali mengacu pada berbagai sumber penyebab diantaranya

penyebab dasar, penyebab tidak langsung dan penyebab utama.

Penyebab dasar juga membantu menjelaskan mengapa timbul kondisi

yang tidak standar. Dua kategori (tindakan yang tidak aman dan kondisi

yang tidak standar), yang perlu dipertimbangkan sehingga membantu

memikirkan penyebab dasarnya:

a. Faktor manusia

- Kurang pengetahuan

- Kurang keterampilan

- Kemampuan tidak memadai (fisik atau mental)

- Stress (fisik atau mental)

- Motivasi yang tidak benar

b. Faktor pekerjaan atau lingkungan

- Kepemimpinan yang tidak memadai

43
- Enginering yang tidak memadai

- Pembelian yang tidak memadai

- Kerusakan dan keausan peralatan

- Penyalahgunaan atau salah dalam menggunakan peralatan

- Standar kerja yang tidak memadai

- Alat, peralatan, material yang tidak memadai

3. Penyebab langsung

Penyebab langsung kecelakaan merupakan suatu kejadian yang

terjadi sebelum terjadi kontak, biasanya dapat terlihat. Keadaan ini

biasanya disebut keadaan dan tindakan tidak aman. Adapun tindakan

dan kondisi yang tidak aman pada umumnya dapat diperhatikan dari

beberapa contoh dibawah ini :

a. Tindakan yang tidak aman

- Mengoperasikan peralatan tanpa wewenang

- Menggunakan peralatan yang rusak

- Penggunaan peralatan secara tidak benar

- Tidak menggunakan alat pelindung diri

- Penggunaan peralatan melebihi kapasitas maksimum

- Tidak memperhatikan peringatan keselamatan

- Posisi kerja tidak benar

- Bekerja tidak mengikuti SOP yang berlaku

- Bekerja dalam keadaan tidak sadar secara mental dan fisik

(karena pengaruh alkohol atau narkoba)

44
b. Kondisi yang tidak aman

- Housekeeping tidak standar

- APD tidak memenuhi standar

- Sistem peringatan yang tidak standar

- Peralatan dan material yang rusak

- Tata letak dan pengaturan area kerja yang tidak benar

- Kondisi lingkungan kerja yang tidak standar (kebisingan, suhu

ekstrim, pencahayaan kurang, ventilasi yang tidak memadai, debu

dan paparan radiasi)

4. Insiden atau Kejadian

Insiden disebabkan adanya suatu kontak dengan sumber energi yang

melampaui ambang batas dari yang seharusnya diterima oleh tubuh atau

benda. Setiap kali timbul potensi kecelakaan maka selalu terbuka

kemungkinan terjadinya suatu kontak atau kejadian, baik yang

mengakibatkan kerugian atau tidak. Bilamana tenaga yang dipindahkan

terlalu banyak, menyebabkan seseorang cidera atau luka atau kerugian

harta benda, yang disebabkan karena energi kinetik, listrik, panas,

radiasi, kimia dan lain-lain. Beberapa jenis kontak atau kejadian yang

sering terjadi diantaranya :

- Tertabrak atau menabrak

- Jatuk atau tergelincir dari ketinggian

- Terjepit peralatan

- Kontak dengan energi listrik, kinetik, panas dan lain-lain

45
5. Kerugian atau Loss

Akibat dari kecelakaan adalah kerugian berupa cidera ringan

bahkan kematian pada karyawan atau pekerja, kerusakan peralatan,

kerugian harta benda atau kerugian proses produksi. Jenis dan derajat

kerugian sebagian tergantung hal-hal yang dilakukan untuk mengurangi

atau memperkecil risiko kerugian. Konsep tentang kontrol kerugian yang

dikemukan oleh Frank. E. Bird dan George Germani merupakan

penyesuaian dari model yang dikemukan H.W. Heinrich, pada tahun

1969 di Amerika Utara menyimpultan tentang formula 1-10-30-600,

dapat diartikan bahwa setiap adanya suatu kejadian cidera berat seperti

fatality, cidera kehilangan jam kerja selalu ada kurang lebih 30 poperty

damage, serta 600 kajian yang tida kterlihat adanya cidera atau kerusakan

material (termasuk nearmiss incident).

46
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini dibuat berdasarkan teori yang dikemukana

oleh Geller (2001) bahwa informasi perilaku dipengaruhi oleh faktor

internal(persepsi) dan eksternal (pengawasan), teori L. Green (1980) bahwa

perilaku seseorang dipengaruhi oleh predisposing factors yang berasal dari

faktor internal (pengetahuan, motivasi) dan enabling factors yang berasal dari

faktor luar (peraturan dan kebijakan) dan teori Domino Herbert W. Heinrich

bahwa penyebab kecelakaan kerja disebabkan oleh penyebab langsung yaitu

tindakan tidak aman (unsafe action) dan kondisi tidak aman (lingkungan fisik :

pencahayaan dan kebisingan) oleh pekerja. Oleh karena itu peneliti mengambil

faktor internal dan faktor eksternal sebagai variabel independen dan tindakan

tidak aman sebagai variabel dependen. Faktor internal yang diteliti adalah

pengetahuan, persepsi, motivasi sedangkan faktor eksternal yang diteliti adalah

peraturan/kebijakan perusahaan, pengawasan, dan lingkungan fisik (kondisi

pencahayaan dan kebisingan ditempat kerja).

47
Variabel Independen Variabel Dependen
Faktor Internal :
Pengetahuan
Persepsi
Motivasi

Tidakan Tidak aman


pada Pekerja
Faktor Eksternal:
Peraturan dan
kebijakan
Perusahaan
Pengawasan
Lingkungan
Fisik(Pencahayaan
dan Kebisingan)

Sumber : Model Total Safety Culture (Teori Geller) , Teori Domino(Frank E Bird dan
Germain,1996), Teori Green (Lawrence Green, 1980)
Gambar 3.1 Kerangka Konsep

48
1.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Dependen
1 Tindakan Tindakan tidak aman adalah Kuesioner Pengisian 1. Tinggi, bila Ordinal
tidak aman tindakan yang dilakukan oleh kuesioner dengan score yang
pekerja pada saat melakukan diperoleh
pekerjaannya yang meliputi: responden
1. Menjalankan peralatan atau ≥20
mesin kerja tanpa adanya (median)
kewenangan atau perintah 2. Rendah, jika
2. Gagal untuk score yang
memperingatkan, seperti diperoleh
tidak memberi peringatan <20
berupa tanda bahaya untuk (median)
berhenti kerja kepada rekan
kerja
3. Gagal untuk mengamankan
seperti tidak mematikan
peralatan atau mesin kerja
yang tidak digunakan
4. Mengoperasikan peralatan
atau mesin kerja dengan
kecepatan yang tidak sesuai
dengan prosedur

49
5. Membuat safety devices
(peralatan pengaman)
seperti safety plug, safety
tag, safety valve tidak
berfungsi
6. Menggunakan peralatan
kerja yang rusak
7. Gagal dalam pemakaian
APD (tidak menggunakan
APD yang lengkap dan
benar seperti memakai ear
muff dileher, seharunya
ditelinga)
8. Muatan atau beban yang
tidak layak, seperti memuat
beban yang berlebihan pada
forklift atau mengangkat
beban berat
9. Penempatan yang tidak
layak, seperti menempatkan
peralatan kerja tidak pada
tempatknya baik pada saat
bekerja maupun setelah
bekerja
10. Mengangkat beban
dengan postur tubuh yang
janggal, misalnya
punggung membungkuk
pada saat mengangkat

50
beban
11. Bekerja dengan postur
janggal/ postur yang salah
(seharusnya bekerja dengan
posisi tubuh berdiri dan
tegak tapi bekerja dengan
postur berdiri tapi
membungkuk)
12. Memperbaiki atau
melakukan perawatan
terhadap peralatan kerja
kerja pada saat peralatan
kerja sedang beroperasi
atau belum dimatikan
13. Bersenda gurau
berlebihan (mengagetkan
rekan kerja, berteriak, iseng
atau jahil, bercanda dengan
rekan kerja, dll) pada saat
bekerja
14. Mengkonsumsi alkohol
dan/ atau obat-obat
sebelum, saat bekerja dan
setelah bekerja
15. Menggunakan peralatan
kerja yang tidak tepat
dalam melakukan suatu
pekerjaan (peralatan kerja
yang digunakan bukan

51
peralatan kerja yang
dibutuhkkan untuk
menyelesaikan suatu
pekerjaan)
16. Tidak mengikuti prosedur
kerja yang berlaku
Tindakan tidak aman tersebut
diatas berdasarkan standar dari
Systematic Causes Analysis
Technique (SCAT) yang
dikeluarkan oleh Det Norske
Veritas (DNV)

Independen
Faktor
Internal
2. Pengetahuan Informasi yang diketahui Kuesioner Pengisian 1. Kurang, bila Ordinal
pekerja mengenai APD yang Kuesioner score yang
digunakan , bahaya dan risiko diperoleh
ditempat kerja dan <72,47
pengendaliannya. (mean).
2. Baik, jika
score yang
diperoleh
≥72,47
(mean)
3. Persepsi Opini responden mengenai Kuesioner Pengisian 1. Ada Ordinal
seberapa sulit untuk melakukan kuesioner dengan hambatan
tindakan tidak aman saat piiliha (negatif) jika

52
bekerja, 1= sangat setuju score yang
Indikator : 2= setuju diperoleh
a. Alat pelindung diri (APD) 3= tidak setuju ≥14,12(mean)
yang wajib digunakan 4= sangat tidak 2. Tidak ada
terkadang sulit didapatkan, setuju hambatan jika
sehingga malas score yang
menggunakannya. diperoleh
b. Merasa tidak nyaman bila <14,12
menggunakan APD saat (mean)
bekerja
c. Tidak terlalu memahami
bagaimana berperilaku
yang aman saat bekerja
d. Jika saat bekerja
berperilaku tidak aman, hal
tersebut tidak akan
diingatkan oleh
pengawas/supervisor
e. Merasa kurang
mendapatkan informasi
mengenai risiko bahaya di
tempat kerja
f. Teman tidak mendukung
bekerja dengan
menggunakan APD (karena
mereka juga tidak
menggunakan)
4. Motivasi Alasan atau tujuan mengapa Kuesioner Pengisian 1. lemah, bila Ordinal
pekerja mau berperilaku aman kuesioner dengan menjawab

53
dalam bekerja. pilihan jawaban : salah , dan
Indikator: 1. Mencipatakan score yang
a. Alasan menggunakan APD kondisi kerja diperoleh
saat bekerja yang aman buat <50,89
b. Alasan tidak melempar alat diri sendiri, (mean)
kerja saat memberikan ke orang lain dan 2. kuat, bila
teman lingkungan nilai
c. Alasan tidak bekerja 2. Selain diatas menjawab
dengan terburu-buru benar, dan
d. Alasan tidak berkelakar score yang
atau becanda saat bekerja diperoleh
e. Alasan tidak merokok ≥50,89
sambil bekerja (mean)
f. Alasan mengikuti standar
prosedur kerja
5. Peraturan Peraturan yang terkait perilaku Kuesioner Pengisian Ordinal
dan yang harus pekerja terapkan kuesioner dengan 1. tidak ada,
kebijakan dilingkungan kerja diantaranya pilihan jawaban : jika score
perusahaan : 1= sangat setuju yang
a. pihak perushaan telah 2= setuju diperoleh >7
memiliki Standar Prosedur 3= tidak setuju (median)
Kerja terhadap setiap 4= sangat tidak 2. ada jika
aktivitas pekerjaan setuju score yang
b. pada area kerja telah diperoleh ≤7
dipasang rambu-rambu (score)
mengenai pentingnya
penggunaan APD dalam
bekerja
c. pihak perusahaan memiliki

54
program safety morning/
safety briefing yang
diberikan secara rutin
d. pihak perusahaan
mewajibkan kepada seluruh
pekerja untuk menggunakan
(APD) selama melakukan
pekerjaan di area produksi
6. Pengawasan Kegiatan pemantauan dan Kuesioner Pengisian 1. Tidak baik, Ordinal
pengarahan pada pekerja untuk kuesioner dengan jika score
selalu berperilaku aman saat pilihan jawaban yang
bekerja.. indikatornya : 4= sangat setuju diperoleh >8
a. Pihak pengawas selalu 3= setuju (median)
memeriksa kelengkapan 2= tidak setuju 2. Baik jika
APD 1= sangat tidak score yang
b. Sebelum bekerja, selalu setuju diperoleh ≤8
diingatkan untuk bekerja (median)
sesuai standar prosedur
kerja
c. Pihak pengawas jarang
melakukan pengawasan
pada area kerja
d. Pengawasan dari pengawas
(supervisor) pada saat
bekerja sudah sangat baik
7. Lingkungan Jumlah penyinaran pada area Pengisian lembar 1. Sangat Ordinal
fisik (kondisi kerja dari segi intensitas pengukuran rendah, bila
pencahayaan) pencahayaan/ penerangan di Lux Meter pencahayaan
ruang kerja minimal 100 lux diarea kerja

55
(Kepmenkes RI No 1405 tahun <25 lux
2002) 2. Rendah, bila
pencahayaan
diarea kerja
≥25 lux tapi
<100 lux

8 Lingkungan Terjadinya bunyi yang tidak Pengisian lembar 1. Tidak baik, Ordinal
fisik (kondisi dikehendaki diarea kerja Sound Level pengukuran bila terpapar
kebisingan) dengan tingkat kebisingan Meter kebisingan
kerja maksimal 85 dbA dalam diatas 85
8 jam (Keputusan Menteri dbA
Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2. Baik, bila
Nomor Per.13/Men/X/2011) terpapar
kebisingan
≤85 dbA.

56
3.3 Hipotesis

1. Ho : Tidak ada hubungan (p value > 0,05) antara pengetahuan dengan

tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia

Ha : Ada hubungan (p value ≤ 0,05) antara pengetahuan dengan tindakan

tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia.

2. Ho : Tidak ada hubungan (p value > 0,05) antara persepsi dengan

tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia

Ha : Ada hubungan (p value ≤ 0,05) antara persepsi dengan tindakan

tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia.

3. Ho : Tidak ada hubungan (p value > 0,05) antara motivasi dengan

tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia

Ha : Ada hubungan (p value ≤ 0,05) antara motivasi dengan tindakan

tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia.

4. Ho : Tidak ada hubungan (p value > 0,05) antara peraturan dan kebijakan

perusahaan dengan tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson

Indonesia.

Ha : Ada hubungan (p value ≤ 0,05) antara peraturan/kebijakan

perusahaan dengan tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson

Indonesia.

5. Ho : Tidak ada hubungan (p value > 0,05) antara pengawasan dengan

tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia

57
Ha : Ada hubungan (p value ≤ 0,05) antara pengawasan dengan tindakan

tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia.

6. Ho : Tidak ada hubungan (p value > 0,05) antara pencahayaan dengan

tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia

Ha : Ada hubungan (p value ≤ 0,05) antara pencahayaan dengan tindakan

tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia.

7. Ho : Tidak ada hubungan (p value > 0,05) antara kebisingan dengan

tindakan tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia

Ha : Ada hubungan (p value ≤ 0,05) antara kebisingan dengan tindakan

tidak aman pada pekerja di PT.Danson Indonesia.

58
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik yang bersifat cross sectional

dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Cross Sectional adalah suatu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan

efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada

suatu saat tertentu (Notoatmodjo, 2010).

Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional untuk melihat faktor-

faktor yang mempengaruhi tindakan tidak aman (unsafe action) pada pekerja

produksi bagian Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di PT. Danson Indonesia

Kabupaten Bogor Tahun 2017.

59
4.2 Populasi, Sampel, Teknik Pengambilan Sampel, serta Kerangka Kerja

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruh objek penelitian atau objek yang akan diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

seluruh pekerja di PT. Danson Indonesia Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Populasi target dalam penelitian ini yaitu seluruh pekerja yang bekerja

PT.Danson Indonesia Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan jumlah populasi

sebanyak 84 pekerja.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmodjo, 2010). Sampel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah 41

pekerja yang bekerja di bagian produksi air minum dalam kemasan di

PT.Danson Indonesia.

4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non

random sampling dengan metode sampling jenuh. Sampling jenuh adalah

teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai

60
sampel (Sugiyono, 2014). Penggunaan sampling jenuh karena jumlah pekerja

yang sedikit sehingga semua populasi dijadikan sampel. Pengambilan sampel

penelitian ini dengan memilih semua pekerja bagian Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) di PT. Danson Indonesia.

4.2.4 Kerangka Kerja

Tabel 4.1 Kerangka Kerja

Jenis Waktu
NO
Kegiatan Januari Februari Maret April
Penyusunan
1 x x x x x x x X
Proposal
Persiapan
2 x
Instrumen
Pengumpulan
3 x
Data
Pengolahan
4 x
Data
5 Analisis Data X
Penyusunan
6 x x x x x
Laporan

61
4.3 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal

tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini

terdapat beberapa variabel yaitu:

1. Variabel Dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat adanya variabel bebas (Sugiyono, 2014). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah tindakan tidak aman (unsafe action) diantaranya:

a. Menjalankan peralatan atau mesin kerja tanpa adanya kewenangan atau

perintah

b. Gagal untuk memperingatkan, seperti tidak memberi peringatan berupa

tanda bahaya untuk berhenti kerja kepada rekan kerja

c. Gagal untuk mengamankan seperti tidak mematikan peralatan atau mesin

kerja yang tidak digunakan

d. Mengoperasikan peralatan atau mesin kerja dengan kecepatan yang tidak

sesuai dengan prosedur

e. Membuat safety devices (peralatan pengaman) seperti safety plug, safety

tag, safety valve tidak berfungsi

f. Menggunakan peralatan kerja yang rusak

g. Gagal dalam pemakaian APD (tidak menggunakan APD yang lengkap dan

benar seperti memakai ear muff dileher, seharusnya ditelinga)

62
h. Muatan atau beban yang tidak layak, seperti memuat beban yang

berlebihan pada forklift atau mengangkat beban berat

i. Penempatan yang tidak layak, seperti menempatkan peralatan kerja tidak

pada tempatknya baik pada saat bekerja maupun setelah bekerja

j. Mengangkat beban dengan postur tubuh yang janggal, misalnya punggung

membungkuk pada saat mengangkat beban

k. Bekerja dengan postur janggal/ postur yang salah (seharusnya bekerja

dengan posisi tubuh berdiri dan tegak tapi bekerja dengan postur berdiri

tapi membungkuk)

l. Memperbaiki atau melakukan perawatan terhadap peralatan kerja kerja

pada saat peralatan kerja sedang beroperasi atau belum dimatikan

m. Bersenda gurau berlebihan (mengagetkan rekan kerja, berteriak, iseng atau

jahil, bercanda dengan rekan kerja, dll) pada saat bekerja

n. Mengkonsumsi alkohol dan atau obat-obat sebelum, saat bekerja dan

setelah bekerja

o. Menggunakan peralatan kerja yang tidak tepat dalam melakukan suatu

pekerjaan (peralatan kerja yang digunakan bukan peralatan kerja yang

dibutuhkkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan)

p. Tidak mengikuti prosedur kerja yang berlaku

63
2. Variabel Independen merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahannya variabel dependen (Sugiyono, 2014).

a. Faktor internal berupa pengetahuan, persepsi, dan motivasi)

b. Faktor eksternal berupa peraturan dan kebijakan perusahaan, pengawasan,

dan lingkungan fisik (pencahayaan dan kebisingan).

4.4 Pengumpulan Data

4.5.1 Bahan Penelitian

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan tidak aman (unsafe action) pada

pekerja di bagian produksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di PT. Danson

Indonesia Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data

primer (kuesioner untuk mengukur pengetahuan, persepsi, motivasi, peraturan,

pengawasan, lux meter (mengukur pencahayaan), sound level meter (mengukur

kebisingan)) dan data sekunder (data dari pusat data dan informasi Kementerian

Kesehatan RI, BPJS Ketenagakerjaan).

4.4.2 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan

data (Notoatmodjo, 2010). Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian

ini adalah sebagai berikut :

64
1. Pengamatan (observasi)

Pengamatan dalam penelitian ini adalah peneliti mengamati tindakan

tidak aman yang dilakukan pekerja.

2. Kuesioner

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden (Sugiyono, 2014). Kuesioner penelitian ini diadaptasi

dari penelitian sebelumnya yaitu Victoria Afrianty Bessie (2006),

Delfianda (2012) sehingga tidak dilakukan uji validasi.

Kuesioner yang ditulis oleh peneliti terdiri dari 3 bagian yaitu kuesiner

tentang karakteristik responden, faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan

tidak aman pada pekerja dan tindakan tidak aman yang dilakukan pekerja.

a. Kuesioner karakteristik responden

Berisi data responden yang akan diteliti. Karakteristik ini terdiri,

jenis kelamin, usia, status pendidikan, status karyawan dan lama masa

kerja. Untuk kuesioner karakteristik responden terdiri dari 5 item.

b. Kuesioner tindakan tidak aman

Kuesioner tindakan tidak aman ini menggunakan kuesioner pada

penelitian terdahulu yang mengacu pada penelitian Victoria Afrianty

Bessie (2006). Berisi sejumlah perrnyataan yang menggambarkan

tindakAn tidak aman yang dilakukan pekerja di tempat kerja. Untuk

pengukuran skala tingkat tindakan tidak aman terdiri dari 16 item.

65
Responden diminta untuk memilih salah satu kategori jawaban yang

mewakili dirinya, yaitu “Tidak Pernah”, “Jarang” dan “Sering”

c. Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan tidak aman.

Berisi sejumlah pernyataan atau pertanyaan yang menggambarkan

kodisi dan situsi responden sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi

tindakan tidak aman. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan tidak

aman dalam penelitian ini yaitu pengetahuan, persepsi, motivasi,

peraturan dan kebijakan, pengawasan, ketersediaan fasilitas dan

lingkungan fisik (kebisingan dan pencahayaan).

1. Pengetahuan

Kuesioner pengetahuan ini menggunakan kuesioner pada penelitian

terdahulu yang mengacu pada penelitian Victoria Afrianty Bessie

(2006). Pada skala pengetahuan terdiri dari 14 item. Responden

diminta untuk memilih salah satu dari 3 kategori jawaban yang

tepat.

2. Persepsi

Kuesioner persepsi ini menggunakan kuesioner pada penelitian

terdahulu yang mengacu pada penelitian Delfianda (2012). Pada

skala persepsi terdiri dari 6 item. Responden diminta untuk memilih

salah satu dari 4 kategor jawaban yang mewakili dirinya, yaitu

“Sangat Setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju”, dan “Sangat Tidak

Setuju”.

66
3. Motivasi

Kuesioner persepsi ini menggunakan kuesioner pada penelitian

terdahulu yang mengacu pada penelitian Delfianda (2012). Pada

skala persepsi terdiri dari 6 item. Responden diminta untuk memilih

salah satu dari 4 kategori jawaban yang mewakili dirinya, yaitu

“Mengikuti peraturan atau kebijakan yang ada”, “Tidak

dimarahi/ditegur atasan”, “Menciptakan kondisi kerja yang aman

buat diri sendiri, orang lain dan lingkungan”, dan “Ikut-ikutan

teman kerja”.

4. Peraturan dan Kebijakan Perusahaan

Kuesioner persepsi ini menggunakan kuesioner pada penelitian

terdahulu yang mengacu pada penelitian Delfianda (2012). Pada

skala persepsi terdiri dari 4 item. Responden diminta untuk memilih

salah satu dari 4 kategori jawaban yang mewakili dirinya, yaitu

“Sangat Setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju”, dan “Sangat Tidak

Setuju”.

5. Pengawasan

Kuesioner persepsi ini menggunakan kuesioner pada penelitian

terdahulu yang mengacu pada penelitian Delfianda (2012). Pada

skala persepsi terdiri dari 4 item. Responden diminta untuk memilih

salah satu dari 4 kategori jawaban yang mewakili dirinya, yaitu

67
“Sangat Setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju”, dan “Sangat Tidak

Setuju”.

3. Pengukuran Lingkungan Fisik

a. Pencahayaan

Pengukuran cahaya dengan menggunakan lux meter untuk melihat

kondisi pencahayaan di area Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)

PT. Danson Indonesia.

b. Kebisingan

Pengukuran kebisingan dengan menggunakan Sound Level Meter

(SLM) untuk melihat tingkat kebisingan di area Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) PT. Danson Indonesia.

4.4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT Danson Indonesia yang terletak di Jln.

Kol. Bustami, Kp. Gembrong, Desa Ciadeg, RT/RW 02/07, Kec.

Cigombong, Kab. Bogor Provinsi Jawa Barat.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2017.

68
4.4.4 Ethical Cleareance

Menurut Hidayat (2013:83), etika yang harus diperhatikan dalam

melakukan penelitian adalah :

a. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed

consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, serta

mengetahui dampaknya.

b. Anonimity (Tanpa Nama)

Anonimity memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian

dengan cara tidak mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur

dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang akan disajikan.

c. Kerahasiaan (Confidentiality)

Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data

teretentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

69
4.4.5 Teknik Pengumpulan Data

Menurut arikunto (2010) sumber data merupakan objek dari mana data

diperoleh. Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan yaitu :

a. Data Primer

Data primer merupakan data langsung yang diperoleh peneliti dengan

cara memberikan kuesioner, observasi dan pengukuran lingkungan fisik

(pencahayaan dan kebisingan) di PT. Danson Indonesia Kabupaten Bogor,

Jawa Barat.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan oleh orang lain.

Data sekunder dalam penelitian ini data yang didapatkan dari perusahaan

terkait jumlah pekerja, profil perusahaan. Data kecelakaan kerja diperoleh

dari dinas tenaga kerja sosial dan transmigrasi kabupaten bogor.

4.5 Cara Analisis Data

4.5.1 Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka langkah yang dilakukan berikutnya adalah

pengolahan data. Dalam pengolahan data tersebut peneliti menggunakan

perangkat lunak aplikasi statistik. Proses pengolahan data menurut

Notoatmodjo (2010) adalah :

70
a. Editing

Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus

dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing

adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir

atau kuesioner tersebut :

1. Apakah lengkap, dalam arti semua pertanyaan sudah terisi.

2. Apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup jelas

atau terbaca.

3. Apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya.

4. Apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban

pertanyaan yang lainnya.

b. Coding

Setelah semua kuesioner diedit dan disunting, selanjutnya dilakukan

peng”kodean” atau “coding” yakni mengubah data berbentuk kalimat atau

huruf menjadi data angka atau bilangan. Koding atau pemberian kode ini

sangat berguna dalam memasukkan data (data entry).

c. Memasukkan Data (Data Entry) atau Processing

Memasukan data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing

responden yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke

dalam program atau “software” komputer.

71
d. Pembersihan Data

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan

adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya,

kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut

pemberishan data (data cleaning).

Setelah diolah data tersebut kemudian disajikan. Penyajian data tersebut

menggunakan tabel distribusi frekuensi.

4.5.2 Metode Analisa Data

1. Analisis univariat

Analisis univariat merupakan analisis satu variabel (Sugiyono, 2014).

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan proporsi

guna mendeskripsikan setiap variabel yang diteliti yaitu variabel

independen dan dependen. Dalam penelitian ini peneliti akan melihat

distribusi berdasarkan karakteristik pekerja (usia, masa kerja, status

pekerjaan). Variabel independen mengenai faktor internal (pengetahuan,

persepsi, motivasi) dan faktor eksternal (peraturan dan kebijakan

perusahaan, pengawasan, dan lingkungan fisik baik pencahayaan maupun

kebisingan). Variabel dependen yang berupa tindakan tidak aman yang

dilakukan pekerja.

72
2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis statistik untuk mengetahui

keterkaitan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel

dependen (Sugiyono, 2014). Uji yang digunakan peneliti dalam analisis

bivariat yaitu uji Chi Square (independen dan dependen bersifat kategorik)

sehingga dapat diketahui hubungan yang bermakna secara statistik dengan

derajat kepercayaan yaitu sebesar 5%. Hasil uji statistik dikatakan

mempunyai hubungan yang bermakna jika nilai p lebih kecil dari alpha (p-

value ≤0,05), sebaliknya dikatakan tidak mempunyai hubungan yang

bermakna jika nilai p lebih besar dari alpha (p-value > 0,05).

73
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

PT. Danson Indonesia, berdiri sejak tahun 2010 dan merupakan perusahaan

yang bergerak dalam bidang industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang

terletak di area pegunungan Gunung Salak Bogor dengan lahan pabrik seluas 2 Ha

yang memiliki sumber mata air sendiri. PT.Danson Indonesia terleak di Jalan

Kol.Bustami, Kp.Gembrong, Desa Ciadeg RT/RW 02/07 Kec. Cigombong, Kab.

Bogor, Provinsi Jawa Barat.

PT Danson memiliki visi dan misi, visinya yaitu menjadi perusahaan terbaik,

terpercaya dan inovatif, dan misi PT. Danson Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Lingkungan kerja yang harmonis

2. Sumber daya manusia dan manajemen profesional

3. Produk dan pelayanan yang terbaik

4. Inovasi berorientasi pada pasar

5. Keuntungan maksimal bagi profesional

74
PT. Danson Indonesia memiliki komitmen perusahaan yaitu memberikan

pelayanan yang terbaik kepada pelanggan dengan inovasi, produktivitas, dan

efisiensi secara berkesinambungan. Dengan Budaya Kerja yang diterapkan adalah:

1. Heart

2. Yes i can

3. Attitude

4. Mental Kaizen

5. New Spirit

PT.Danson Indonesia mempunyai jumlah pekerja dibagian produksi air

mineral dalam kemasana sebanyak 41 pekerja. Pada bagian produksi air mineral

dalam kemasan terdapat 2 line produksi. Line pertama memproduksi cup filler

dengan jumlah 11 pekerja dengan hanya terdapat 1 shift kerja dalam 1 hari. Proses

kerja line produksi ini 3 pekerja fokus pada bagian sebagai operator mesin kerja, 1

pekerja fokus bagian visual control, 4 pekerja fokus bagian mempacking air

mineral dalam kemasan gelas ke kardus, 1 pekerja fokus dalam proses

penglackbanan kardus, 1 pekerja fokus pada bagian mengangkat kardus yang

sudah dikemas dan menatanya, dan 1 pekerja fokus memindahkan kardus yang

sudah ditata dengan hand pallet manual.

Pada line kedua memproduksi bottle filler dengan jumlah 30 pekerja dalam 3

shift dengan jumla 1 shift terdapat 10 pekerja. Proses kerja line produksi ini adalah

2 pekerja fokus dengan bagian sebagai operator mesin kerja dengan kebisingan di

75
area ini sebesar 100,3 dB(A), 1 pekerja fokus pada mesin kerja dengan kebisingan

di area ini sebesar 86,4 dB(A), 1 pekerja fokus dalam bagian visual control dengan

intensitas pencahayaan di area ini sebesar 48 lux, 2 pekerja fokus dalam bagian

memberikan labelling pada air mineral dalam kemasan botol dengan intensitas

pencahayaan 36 lux, 1 pekerja fokus mempacking botol kemasan ke dalam kardus,

1 pekerja fokus dalam proses penglakbanan kardus, 1 pekerja fokus pada bagian

mengangkat kardus yang sudah dikemas dan menatanya, dan 1 pekerja fokus

memindahkan kardus yang sudah ditata dengan hand pallet manual.

Pada penelitain ini, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini

sebanyak 41 responden. Dengan menggunankan teknik pengambilan sampel

dengan teknik non random sampling dengan metode sampling jenuh yaitu seluruh

pekerja produksi dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini. Sampel penelitian

ini seluruh pekerja bagian produksi air mineral dalam kemasan di PT.Danson

Indonesia.

76
5.2 Analisis Univariat

5.2.1 Karakteristik Responden

Tabel 5.1 Umur Responden di PT.Danson Indonesia Tahun 2017

Umur Responden Frekuensi Persentase(%)


< 20 Tahun 12 29.3
≥ 20 Tahun 29 70.7
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa umur responden sebagian besar berumur

lebih besar sama dengan 20 tahun sebanyak 29 responden (70,7%), sedangkan

responden yang berumur kurang dari 20 tahun sebanyak 12 responden (29,3%).

Tabel 5.2 Jenis Kelamin Responden di PT.Danson Indonesia Tahun 2017

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)


Laki-laki 26 63.4
Perempuan 15 36.6
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa jenis kelamin responden sebagian besar

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 26 responden (63,4%), sedangkan

responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 15 responden (36,6%).

77
Tabel 5.3 Pendidikan Terakhir Responden di PT.Danson Indonesia

Tahun 2017

Pendidikan Terakhir Frekuensi Persentase (%)


SMP 21 51.2
SMA 20 48.8
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa pendidikan terakhir responden sebagian

besar berpendidikan terakhir SMP sebanyak 21 responden (51,2%), sedangkan

responden yang berpendidikan terakhir SMA sebanyak 20 responden (48,8%).

Tabel 5.4 Lama Masa Kerja Responden di PT.Danson Indonesia

Tahun 2017

Lama Masa Kerja Frekuensi Persentase (%)


≥5 Tahun 4 9.7
<5 Tahun 37 90.3
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa lama masa kerja responden sebagian

besar kurang dari 5 tahun sebanyak 37 responden (90,3%), sedangkan

responden yang lama masa kerjanya lebih dari sama dengan 5 tahun sebanyak 4

responden (9,7%).

78
5.2.2 Tindakan Tidak Aman

Tabel 5.5 Tindakan Tidak Aman Responden di PT.Danson Indonesia

Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman Frekuensi Persentase (%)


Tinggi (Score ≥20) 22 53.7
Rendah (Score < 20) 19 46.3
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa tindakan tidak aman yang dilakukan

responden saat bekerja sebagian besar kategori tinggi sebanyak 22 responden

(53,7%), sedangkan responden yang melakukan tindakan tidak aman kategori

rendah sebanyak 19 responden (46,3%).

Tabel 5.6 Jenis Tindakan Tidak Aman Berdasarkan Jawaban Responden


di PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Tidak Jarang Sering Total


No Jenis Tindakan Tidak Pernah
Aman N % n % N % N %
1. Menjalankan peralatan 30 73,2 9 22 2 4,9 41 100
atau mesin kerja tanpa
adanya
kewenangan/perintah
2. Tidak memberikan 31 75,6 6 14,6 4 9,8 41 100
peringatan , seperti tidak
memberi peringatan
berupa tanda adanya
bahaya pada teman
3. Tidak melakukan 35 85,4 5 12,2 1 2,4 41 100
pengaman seperti tidak
mematikan peralatan atau
mesin kerja yang tidak

79
digunakan
4. Menjalankan peralatan 29 70,7 11 26,8 1 2,4 41 100
atau mesin kerja dengan
kecepatan yang tidak
sesuai dengan prosedur
5. Membuat safety devices 41 100 0 0 0 0 41 100
(alat pengaman) seperti
safety plug, safety tag,
safety valve tidak
beroperasi
6. Menggunakan peralatan 35 85,4 5 12,2 1 2,4 41 100
kerja yang sudah rusak
7. Tidak memakai APD 8 19,5 30 73,2 3 7,3 41 100
(Alat Pelindung Diri)
secara lengkap dan benar
sesuai peraturan kerja
(menggunakan ear muff
tapi dileher seharusnya
ditelinga)
8. Pemuatan beban yang 35 85,4 5 12,2 1 2,4 41 100
tidak layak, seperti
memuat beban yang
berlebihan pada forklift
atau mengangkat beban
yang berlebihan
9. Penempatan yang tidak 29 70,7 11 26,8 1 2,4 41 100
benar, seperti
menempatkan peralatan
kerja tidak pada
tempatnya baik pada saat
bekerja maupun setelah
bekerja
10. Mengangkat beban 27 65,9 8 19,5 6 14,6 41 100
dengan postur yang
janggal, misalnya
punggung terlalu
membungkuk pada saat
mengangkat beban
11. Bekerja dengan postur 24 58,5 14 34,1 3 7,3 41 100
yang janggal/posisi yang
salah (seharusnya bekerja
dengan posisi tubuh

80
berdiri dan tegak tapi
bekerja dengan postur
berdiri tapi membungkuk)
12. Memperbaiki atau 41 100 0 0 0 0 41 100
melakukan perawatan
terhadap peralatan kerja
pada saat peralatan kerja
tersebut sedang
beroperasi atau belum
dimatikan
13. Bersenda gulau 21 51,2 15 36,6 5 12,2 41 100
berlebihan (mengagetkan
rekan kerja, berteriak,
iseng, atau jahil terhadap
rekan kerja, bercanda
dengan teman dll) pada
saat bekerja
14. Mengkonsumsi alkohol 41 100 0 0 0 0 41 100
dan atau obat-obatan
terlarang sebelum, saat
bekerja dan setelah
bekerja
15. Menggunakan peralatan 41 100 0 0 0 0 41 100
kerja yang tidak tepat
dalam melakukan suatu
pekerjaan (peralatan kerja
yang digunakan bukan
peralatan kerja yang
dibutuhkan untuk
menyelesaikan suatu
pekerjaan)
16. Tidak mengikuti prosedur 37 90,2 2 4,9 2 4,9 41 100
kerja yang berlaku
didivisi saudara
Sumber : Data Primer

81
Dari tabel diatas diketahui bahwa jawaban responden terhadap pernyataan

variabel tindakan tidak aman yang pernah melakukan variabel tindakan tidak

aman sebanyak 12 indikator tindakan tidak aman pernah dilakukan adalah

sebagai berikut :

1. Tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD) secara lengkap dan benar sesuai

dengan peraturan kerja sebanyak 30 responden (73,2%),

2. Bersenda gurau berlebihan dengan rekan kerja sebanyak 15 responden

(36,6%)

3. Bekerja dengan postur yang janggal/salah sebanyak 14 responden (34,1%),

4. Menempatkan peralatan kerja tidak pada tempatnya baik pada saat bekerja

maupun setelah bekerja sebanyak 11 responden (26,8%),

5. Menjalankan peralatan/mesin kerja dengan kecepatan yang tidak sesuai

dengan prosedur sebanyak 11 responden (26,8%),

6. Menjalankan peralatan atau mesin kerja tanpa adanya perintah sebanyak 9

responden (22,0%),

7. Mengangkat beban dengan postur yang janggal sebanyak 8 responden

(19,5%).

8. Tidak memberikan peringatan, seperti tidak memberi peringatan berupa

tanda adanya bahaya pada teman sebanyak 6 responden (14,6%)

9. Tidak melakukan pengamanan seperti tidak mematikan peralatan atau

mesin kerja yang tidak digunakan sebanyak 5 responden (12,2%)

82
10. Pemuatan beban yang tidak layak, seperti memuat beban yang berlebihan

pada hand pallet/ forklift manual atau mengangkat beban berlebihan

sebanyak 5 responden (12,2%)

11. Menggunakan peralatan kerja yang sudah rusak sebanyak 5 responden

(12,2%)

12. Tidak mengikuti prosedur kerja yang berlaku didivisi saudara sebanyak 2

responden (4,9%)

Berdasarkan kategori jawaban sering melakukan variabel tindakan tidak

aman sebagian responden menjawab sering adalah sebagai berikut :

1. Mengangkat beban dengan postur yang janggal sebanyak 6 responden

(14,6%),

2. Bersenda gurau berlebihan dengan rekan kerja sebanyak 5 responden

(12,2%),

3. Tidak memberikan peringatan adanya bahaya kepada rekan kerja sebanyak 4

responden (9,8%),

4. Bekerja dengan postur yang janggal sebanyak 3 responden (7,3%),

5. Tidak memakai APD dengan lengkap dan benar sebanyak 3 responden

(7,3%),

6. Menjalankan peralatan/mesin kerja tanpa adanya perintah sebanyak 2

responden (4,9%).

83
5.2.3 Pengetahuan

Tabel 5.7 Distribusi Score Pengetahuan di PT. Danson Indonesia

Tahun 2017

Variabel Mean SD Minimal - 95% CI


Maksimal
Pengetahuan 72,47 10,90 50,0-85,7 69,03-75,91
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui rata-rata score pengetahuan responden adalah

72,47 (95%CI : 69,03-75,91) , dengan standar deviasi 10,90. Score terkecil

adalah 50,0 dan score tertinggi adalah 85,7. Dari hasil estimasi interval dapat

disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata score pengetahuan responden

adalah diantara 69,03 sampai dengan 75,91 score.

Tabel 5.8 Pengetahuan Responden Mengenai Bahaya, Risiko dan


Pengendalian Risiko di Tempat Kerja di PT.Danson Indonesia Tahun 2017

Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)


Tidak Baik/ Kurang 20 48.8
Baik 21 51.2
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa pengetahuan responden mengenai

bahaya, risiko dan pengendalian risiko ditempat kerja sebagian besar termasuk

kategori baik sebanyak 21 responden (51,2%), sedangkan responden yang

pengetahuannya tidak baik (kurang) sebanyak 20 responden (48,8%).

84
5.2.4 Persepsi

Tabel 5.9 Distribusi Score Persepsi Responden di PT. Danson Indonesia


Tahun 2017
Variabel Mean SD Minimal- 95% CI
Maksimal
Persepsi 14,12 3,30 8-24 13,08-15.16
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa rata-rata score persepsi responden adalah

14,12 (95% CI : 13,08-15.16), dengan standar deviasi 3,30. Score terkecil

adalah 8 dan score tertinggi adalah 24. Dari hasil estimasi interval dapat

disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata score persepsi ibu adalah

diantara 13,08 sampai dengan 15,16 score.

Tabel 5.10 Persepsi Responden Mengenai Hambatan dalam Berperilaku


Aman dalam Bekerja di PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Persepsi Responden Frekuensi Persentase (%)


Ada hambatan (Negatif) 16 39.1
Tidak ada hambatan 25 60.9
(Positif)
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa persepsi responden mengenai hambatan

berperilaku aman dalam bekerja sebagian besar beranggapan bahwa tidak ada

hambatan (Positif) dalam pekerjaaanya sebanyak 25 responden (60,9%),

85
sedangkan responden yang memiliki persepsi ada hambatan (Negatif) sebanyak

16 responden (39,1%).

5.2.5 Motivasi

Tabel 5.11 Distribusi Score Motivasi Responden di PT. Danson


Indonesia Tahun 2017
Variabel Mean SD Minimal-Maksimal 95% CI
Motivasi 50,8 23,56 0-100,0 43,36-58,24
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa rata-rata score motivasi responden adalah

50,8 (95% CI : 43,36-58,24), dengan standar deviasi 23,56. Score terkecil

adalah 0 dan score tertinggi adalah 100. Dari hasil estimasi interval dapat

disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata score motivasi responden

adalah diantara 43,36 sampai dengan 23,56 score.

Tabel 5.12 Motivasi Responden dalam Berperilaku Aman dalam


Bekerja di PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Motivasi Responden Frekuensi Persentase (%)


Lemah 25 60.9
Kuat 16 39.1
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa motivasi responden terhadap

pekerjaannya sebagian besar memiliki motivasi rendah sebanyak 25 responden

86
(60,9%) dengan alasan berperilaku aman dalam bekerja karena mengikuti

peraturan/kebijakan yang ada, sedangkan responden yang memiliki motivasi

kuat sebanyak 16 responden (39,1%) dengan alasan menciptakan kondisi kerja

yang aman buat diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

5.2.6 Peraturan/Kebijakan Perusahaan

Tabel 5.13 Distribusi Score Peraturan/Kebijakan Perusahaan Menurut


Responden di PT. Danson Indonesia Tahun 2017
Variabel Mean SD Minimal-Maksimal 95% CI
Peraturan/ 6,95 1,43 4-9 6,50-7,00
Kebijakan
Perusahaan
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa rata-rata score peraturan/kebijakan

perusahaan menurut responden adalah 6,95 (95% CI :), dengan standar deviasi

1,43. Score terkecil adalah 4 dan score tertinggi adalah 9. Dari hasil estimasi

interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata score

peraturan/kebijakan perusahaan menurut responden adalah diantara 6,50 sampai

dengan 7,00 score.

87
Tabel 5.14 Peraturan/Kebijakan Perusahaan Menurut Responden di
PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Peraturan/Kebijakan Frekuensi Persentase (%)


Tidak Ada (Score>7) 19 46,3
Ada (Score≤7) 22 53,7
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa peraturan dan kebijakan perusahaan

menurut responden sebagian besar menyatakan ada peraturan/ kebijakan

perusahaan sebanyak 22 responden (53,7%), sedangkan responden yang

menyatakan tidak ada peraturan/kebijakan perusahaan sebanyak 19 responden

(46,3%).

5.2.7 Pengawasan

Tabel 5.15 Distribusi Score Pengawasan di Perusahaan Menurut


Responden di PT. Danson Indonesia Tahun 2017
Variabel Mean SD Minimal-Maksimal 95% CI
Pengawasan 7,90 1,34 5-10 7,48-8,32
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa rata-rata score pengawasan di perusahan

menurut responden adalah 7,90 (95% CI : 7,48-8,32), dengan standar deviasi

1,34. Score terkecil adalah 5 dan score tertinggi adalah 10. Dari hasil estimasi

interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata score

88
pengawasan di perusahan menurut responden adalah diantara 7,48 sampai

dengan 8,32 score.

Tabel 5.16 Pengawasan di Perusahaan Menurut Responden di PT.Danson


Indonesia Tahun 2017

Pengawasan Frekuensi Persentase (%)


Tidak Ada (Score >8) 26 63.4
Ada (Score ≤8) 15 36.6
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa pengawasan ditempat kerja menurut

responden sebagian besar responden mengatakan tidak ada pengawasan pada

saat bekerja sebanyak 26 responden (63,4%), sedangkan sisanya mengatakan

ada pengawasan pada saat bekerja sebanyak 15 responden (36,6%).

5.2.8 Kebisingan

Tabel 5.17 Terpapar Kebisingan di Area Kerja di PT. Danson Indonesia


Tahun 2017

Kebisingan Frekuensi Persentase (%)


Tidak baik, >85 dB(A) 17 41.5
Baik, ≤85 dB(A) 24 58.5
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa responden yang terpapar kebisingan

sebagian besar terpapar kebisingan ≤85 dB(A) sebanyak 24 responden (58,5%),

89
sedangkan responden yang terpapar kebisingan >85 dB(A) sebanyak 17

responden (41,5%).

5.2.9 Pencahayaan

Tabel 5.18 Intensitas Pencahayaan di Area Kerja di PT. Danson


Indonesia Tahun 2017

Pencahayaan Frekuensi Persentase(%)


Sangat rendah, < 25 lux 23 56,1
Rendah, ≥ 25 lux 18 43,9
Total 41 100.0
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas diketahui bahwa responden yang terpapar intensitas

pencahayaan diruang kerja yaitu sebagian besar mendapatkan pencahayaan saat

kerja sangat rendah (<25lux) sebanyak 23 responden (56,1%), sedangkan

responden yang mendapatkan pencahayaan rendah (≥ 25 lux) sebanyak 18

responden (43,9%).

90
5.3 Analisis Bivariat

5.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Tidak Aman

Tabel 5.19 Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Tidak Aman di


PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman


Total P
Pengetahuan Tinggi Rendah OR
Value
N % N % N % (95% CI)
Tidak Baik 12 60,0 8 40,0 20 100 1,650
(Kurang) 0,630 (0,478-5693)
Baik 10 47,6 11 52,4 21 100
Jumlah 22 53,7 19 46,3 41 100
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pengaruh pengetahuan terhadap

kejadian tindakan tidak aman responden adalah sebanyak 21 responden

memiliki pengetahuan baik, dimana sebanyak 10 responden (47,6%) melakukan

tindakan tidak aman dengan kategori tinggi dan 11 responden (52,4%)

melakukan tindakan tidak aman kategori rendah. Dan sebanyak 20 responden

memiliki pengetahuan tidak baik/kurang, dimana sebanyak 12 responden

(60,0%) melakukan tindakan tidak aman dengan kategori tinggi dan 8

responden (40,0%) melakukan tindakan tidak aman kategori rendah.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,630. Oleh karena nilai p > 𝛼

(0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian

tindakan tidak aman aman antara responden yang memiliki pengetahuan tidak

baik dan responden yang memiliki pengetahuan baik (tidak ada hubungan

antara pengetahuan dengan tindakan tidak aman).

91
5.3.2 Hubungan Persepsi dengan Tindakan Tidak Aman

Tabel 5.20 Hubungan Persepsi dengan Tindakan Tidak Aman di PT.


Danson Indonesia Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman P OR


Total
Persepsi Tinggi Rendah Value (95% CI)
N % N % N %
Ada 9 56,3 7 43,8 16 100
hambatan
(Negatif) 1,187
1,000
Tidak ada 13 52,0 12 48,0 25 100 (0,336-4,190)
hambatan
(Positif)
Jumlah 22 53,7 19 46,3 41 100
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pengaruh persepsi terhadap

kejadian tindakan tidak aman adalah sebanyak 25 responden memiliki persepsi

tidak ada hambatan (positif) dalam berperilaku aman, dimana sebanyak 13

responden (52,0%) melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi dan 12

responden (48,0%) melakukan tindakan tidak aman kategori rendah. Dan

sebanyak 16 responden memiliki persepsi terdapat hambatan (negatif) dalam

berperilaku aman, dimana sebanyak 9 responden (56,3%) melakukan tindakan

tidak aman kategori tinggi dan 7 responden (43,8%) melakukan tindakan tidak

aman kategori rendah.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p= 1,000. Oleh karena p > 𝛼 (0,05),

maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian tindakan

tidak aman aman antara responden yang memiliki persepsi terdapat hambatan

92
(negatif) dalam berperilaku aman dan responden yang memiliki persepsi tidak

ada hambatan (positif) dalam berperilaku aman (tidak ada hubungan antara

persepsi dengan tindakan tidak aman).

5.3.3 Hubungan Motivasi dengan Tindakan Tidak Aman

Tabel 5.21 Hubungan Motivasi dengan Tindakan Tidak Aman di PT.


Danson Indonesia Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman


Total
Motivasi Tinggi Rendah P Value OR
N % N % N % (95%CI)
Lemah 14 56,0 11 44,0 25 100 1,273
0,956
Kuat 8 50,0 8 50,0 16 100 (0,362-4,480)
Jumlah 22 53,7 19 46,3 41 100
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pengaruh motivasi terhadap

kejadian tindakan tidak aman responden adalah sebanyak 25 responden

memiliki motivasi yang kuat, dimana sebanyak 14 responden (56,0%)

melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi dan 11 responden (44,0%)

melakukan tindakan tidak aman kategori rendah. Dan sebanyak 16 responden

memiliki motivasi yang lemah, dimana sebanyak 8 responden (50,0%)

melakukan tindakan tidak aman kategori rendah dan 8 responden (50,0%)

melakukan tindakan tidak aman kategori rendah.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,956. Oleh karena p > 𝛼 (0,05),

maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian tindakan

93
tidak aman aman antara responden yang memiliki motivasi yang lemah dan

responden yang memiliki motivasi yang kuat (tidak ada hubungan antara

motivasi dengan tindakan tidak aman).

5.3.4 Hubungan Peraturan/Kebijakan Perusahan dengan Tindakan Tidak

Aman

Tabel 5.22 Hubungan Peraturan/Kebijakan Perusahan dengan


Tindakan Tidak Aman di PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman


Total P
Peraturan/Kebijakan Tinggi Rendah OR
Value
N % N % N % (95%CI)
Tidak ada 10 52,6 9 47,4 19 100 0,926
1,000
Ada 12 54,5 10 45,5 22 100 (0,270-3,171)
Jumlah 22 53,7 19 46,3 41 100
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pengaruh peraturan/kebijakan

perusahaan terhadap kejadian tidak aman adalah sebanyak 22 responden

menyatakan terdapat peraturan/kebijakan perusahaan, dimana sebanyak 12

responden (54,5%) melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi dan 10

responden (45,5%) melakukan tindakan tidak aman kategori rendah. Dan

sebanyak 19 responden menyatakan terdapat peraturan/kebijkan perusahaan,

dimana, sebanyak 10 responden (52,6%) melakukan tindakan tidak aman

kategori tinggi dan 9 responden (47,4%) melakukan tindakan tidak aman

kategori rendah.

94
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p= 1,000. Oleh karena p > 𝛼 (0,05),

maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian tindakan

tidak aman aman antara responden yang menyatakan tidak ada

peraturan/kebijakan perusahaan dan responden yang menyatakan ada

peraturan/kebijakan perusahaan (tidak ada hubungan antara peraturan/kebijakan

perusahaan dengan tindakan tidak aman).

5.3.5 Hubungan Pengawasan dengan Tindakan Tidak Aman

Tabel 5.23 Hubungan Pengawasan dengan Tindakan Tidak Aman di


PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman


Total P
Pengawasan Tinggi Rendah OR
Value
N % N % N % (95%CI)
Tidak ada 12 85,7 2 14,3 14 100 10,2
0,008
Ada 10 37,0 17 63,0 27 100 (1,88-55,19)
Jumlah 22 53,7 19 46,3 41 100
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pengaruh pengawasan terhadap

kejadian tindakan tidak aman adalah sebanyak 27 responden mengatakan ada

pengawasan, dimana sebanyak 10 responden (37%) melakukan tindakan tidak

aman kategori tinggi dan 17 responden (63%) melakukan tindakan tidak aman

kategori rendah. Sedangkan sebanyak 14 responden mengatakan tidak ada

pengawasan, dimana sebanyak 12 responden (85,7%) melakukan tindakan tidak

95
aman kategori tinggi dan 2 responden (14,3%) melakukan tindakan tidak aman

kategori rendah.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,008. Oleh karena p < 𝛼 (0,05),

maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian tindakan tidak

aman aman antara responden yang mengatakan ada pengawasan dan responden

yang mengatakan tidak ada pengawasan (ada hubungan antara pengawasan

dengan tindakan tidak aman).

5.3.6 Hubungan Kebisingan dengan Tindakan Tidak Aman

Tabel 5.24 Hubungan Kebisingan dengan Tindakan Tidak Aman di PT.


Danson Indonesia Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman


Total P
Kebisingan Tinggi Rendah OR
Value
N % N % N % (95%CI)
Tidak baik, 14 82,4 3 17,6 17 100
>85 dB(A) 9,3
0,005
Baik, ≤ 85 8 33,3 16 66,7 24 100 (2,06-42,18)
dB(A)
Jumlah 22 53,7 19 46,3 41 100
Sumber : Data Primer

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pengaruh kebisingan dengan

kejadian tindakan tidak aman adalah sebanyak 24 responden terpapar

kebisingan dibawah NAB (≤85 dB(A)), dimana sebanyak 8 responden (33,3%)

melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi dan 16 responden (66,7%)

melakukan tindakan tidak aman kategori rendah. Sedangkan sebanyak 17

96
responden terpapar kebisingan diatas NAB (>85 dB(A)), dimana sebanyak 14

responden (82,4%) melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi dan 3

responden (17,6%) melakukan tindakan tidak aman kategori rendah.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,005. Oleh karena p < 𝛼 (0,05),

maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian tindakan tidak

aman aman antara responden yang terpapar kebisingan dibawah NAB (≤85

dB(A)) dan responden yang terpapar kebisingan diatas NAB (>85 dB(A)) (ada

hubungan antara kebisingan dengan tindakan tidak aman).

5.3.7 Hubungan Pencahayaan dengan Tindakan Tidak Aman

Tabel 5.25 Hubungan Pencahayaan di ruang kerja dengan Tindakan


Tidak Aman di PT. Danson Indonesia Tahun 2017

Tindakan Tidak Aman


Total P
Pencahayaan Tinggi Rendah OR
Value
N % N % N % (95%CI)
Sangat rendah, 18 78,3 5 21,7 23 100
<25 lux 0,001 12,6
Rendah, ≥ 25 lux 4 22,2 14 77,8 18 100 (2,84-55,83)
Jumlah 22 53,7 19 46,3 41 100

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pengaruh pencahayaan dibawah

NAB (<100 lux) dengan kejadian tindakan tidak aman adalah sebanyak 23

responden mendapatkan pencahayaan diruang kerja sangat rendah (<25lux),

dimana sebanyak 18 responden (78,3%) melakukan tindakan tidak aman

97
kategori tinggi dan 5 responden (21,7%) melakukan tindakan tidak aman

kategori rendah. Sedangkan sebanyak 18 responden mendapatkan pencahayaan

diruang kerja yang rendah (≥25 lux), dimana sebanyak 4 responden (22,2%)

melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi dan 14 responden (77,8%)

melakukan tindakan tidak aman kategori rendah.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,001. Oleh karena p < 𝛼 (0,05),

maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian tindakan tidak

aman antara responden yang mendapatkan pencahayaan diruang kerja sangat

rendah (<25lux) dan responden yang mendapatkan pencahayaan diryang rendah

(≥25 lux) (ada hubungan antara pencahayaan dengan tindakan tidak aman).

98
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Gambaran Tindakan Tidak Aman Pekerja di PT. Danson Indonesia

Dari 41 responden diketahui bahwa tindakan tidak aman yang dilakukan saat

bekerja, sebagian besar kategori tinggi atau sering melakukan tindakan tidak aman

sebanyak 22 orang (53,7%). Tingginya tidak aman dilakukan di PT. Danson

Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal pekerja yaitu pengetahuan pekerja

mengenai bahaya, risiko dan pengendalian risiko kurang baik (48,8%). Menurut

Cahyani (2004), pengetahuan yang tidak memadai mengenai adanya risiko, bahaya

kerja akan membuat pekerja bersikap tak acuh serta mungkin pekerja melakukan

tindakan yang tidak aman dan merugikan keselamatan dirinya. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian Aghil Dwi Jati Kusuma (2015) bahwa terdapat hubungan

antara pengetahuan dengan tindakan tidak aman pada karyawan dimana pekerja

dengan pengetahuan kurang berpotensi lebih besar untuk melakukan tindakan-

tindakan berbahaya dalam melakukan pekerjaannya dibandingkan dengan pekerja

yang memiliki pengetahuan baik.

Selain itu tindakan tidak aman dan pengetahuan pekerja ditunjang ataupun

didukung dengan status pendidikan terakhir pekerja. Dalam penelitian ini

99
mayoritas pekerja berstatus (51,2%) lulusan SMP sehingga mengakibatkan

kurangnya pengetahuan dan meningkatnya tindakan tidak aman yang dilakukan

pekerja. Menurut Adenan (1986) dalam buku Widyatun (1999) juga bahwa

pengetahuan diperoleh dari pendidikan formal atau pendidikan informal. Semakin

luas pengetahuan dan semakin tinggi tingkat pendidikan seseoarang maka semakin

positif perilaku yang dilakukannya. Perilaku positif mempengaruhi jumlah

informasi yang dimiliki seseorang sebagai hasil proses penginderaan terhadap

objek tertentu. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kudus (2003) bahwa

tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan pekerja dan membentuk

perilaku seara langsung maupun tidak langsung

Tindakan tidak aman yang paling sering dilakukan di bagian produksi air

mineral dalam kemasan di PT. Danson Indonesia antara lain :

1. Tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD) secara lengkap dan benar sesuai

dengan peraturan kerja sebanyak 30 responden (73,2%),

2. Bersenda gurau berlebihan dengan rekan kerja sebanyak 15 responden (36,6%)

3. Bekerja dengan postur yang janggal/salah sebanyak 14 responden (34,1%),

4. Menempatkan peralatan kerja tidak pada tempatnya baik pada saat bekerja

maupun setelah bekerja sebanyak 11 responden (26,8%),

5. Menjalankan peralatan/mesin kerja dengan kecepatan yang tidak sesuai dengan

prosedur sebanyak 11 responden (26,8%),

100
6. Menjalankan peralatan atau mesin kerja tanpa adanya perintah sebanyak 9

responden (22,0%),

7. Mengangkat beban dengan postur yang janggal sebanyak 8 responden (19,5%).

8. Tidak memberikan peringatan, seperti tidak memberi peringatan berupa tanda

adanya bahaya pada teman sebanyak 6 responden (14,6%)

9. Tidak melakukan pengamanan seperti tidak mematikan peralatan atau mesin

kerja yang tidak digunakan sebanyak 5 responden (12,2%)

10. Pemuatan beban yang tidak layak, seperti memuat beban yang berlebihan pada

hand pallet/ forklift manual atau mengangkat beban berlebihan sebanyak 5

responden (12,2%)Menggunakan peralatan kerja yang sudah rusak sebanyak 5

responden (12,2%)

11. Tidak mengikuti prosedur kerja yang berlaku didivisi saudara sebanyak 2

responden (4,9%)

12. Tidak mengikuti prosedur kerja yang berlaku didivisi saudara sebanyak 2

responden (4,9%)

Dari 12 tindakan tidak aman yang dilakukan oleh pekerja produksi di

PT.Danson, tindakan tidak aman yang paling sering dilakukan adalah bekerja

dengan tidak menggunakan alat pelindung diri yang lengkap dan benar sesuai

dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yaitu penggunaan masker, ear pulg

dan ear muff. Hal ini terjadi karena pekerja tidak mengetahui pentingnya

penggunaan alat pelindung diri dan terbukti dari hasil kuesioner bahwa pertanyaan

101
mengenai alat pelindung ear pulg dan ear muff merupakan alat pelindung diri

untuk melindungi pekerja dari kebisingan di tempat kerja merupakan pertanyaan

yang paling banyak jawaban salahnya. Menurut Adenan (1986) dalam buku

Widyatun (1999), semakin luas pengetahuan seseoarang maka semakin positif

perilaku yang dilakukannya. Perilaku positif mempengaruhi jumlah informasi

yang dimiliki seseorang sebagai hasil proses penginderaan terhadap objek tertentu.

Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pekerja masih kurang sehingga

mengakibatkan pekerja melakukan perilaku negatif berupa tindakan tidak aman

dalam bekerja.

6.2 Hubungan Pengetahan dengan Tindakan Tidak Aman

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini

terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga. Melalui indera penglihatan dan pendengaran

tersebut, pekerja dapat mengidentifikasi adanya bahya dan risiko di tempat

kerjanya, sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja pada dirinya

sendiri maupun rekan kerjanya. Menurut Green (1980) menyatakan bahwa

peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku, tetapi

pengetahuan sangat penting diberikan sebelum individu melakukan suatu tindakan.

102
Tindakan akan sesuai dengan pengetahuan apabila individu menerima isyarat yang

cukup kuat untuk memotivasi dia bertindak sesuai dengan pengetahuannya

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.19 bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara pengetahuan dengan tindakan tidak aman pada pekerja bagian

produksi air mineral dalam kemasan PT. Danson Indonesia. Dari hasil uji statistik,

diperoleh nilai OR sebesar 1,650 (95% CI : 0,478-5,693) yang artinya responden

yang memiliki pengetahuan kurang mempunyai peluang 1,65 kali untuk

melakukan tindakan tidak aman yang sering dibandingkan dengan responden yang

memiliki pengentahuan baik. Walau tidak terdapat hubungan yang signifikan

tetapi terdapat peluang resiko pekerja yang memiliki pengetahuan kurang untuk

melakukan tindakan tidak aman yang mengakibatkan terdapat kecenderungan

bahwa pekerja yang memiliki pengetahuan kurang (60,0%) sering melakukan

tindakan tidak aman dan sebaliknya pekerja yang memiliki pengetahuan yang baik

memiliki kecenderungan yang rendah (47,6%) dalam melakukan tindakan tidak

aman dalam bekerja. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner, pertanyaan yang paling

banyak salah, salah satunya adalah pekerja belum mengetahui definisi bahaya,

risiko dan pengendalian risiko di tempat kerja. Selain itu, terdapat faktor pemicu

pekerja tidak mengetahui definisi bahaya, risiko dan pengendalian risiko ditempat

kerja sehingga pekerja melakukan tindakan tidak aman yaitu karena diarea kerja

masih kurangnya faktor pendukung berupa poster poster penggunaan alat

103
pelindung diri (APD) dan rambu-rambu peringatan bahaya yang tidak dipasang di

area kerja berdasarkan hasil observasi yang dilakukan.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Dwi Ayu Septiani (2014), bahwa

hasil yang didapatkan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan

dengan tindakan tidak aman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maulidhasari

(2011) yang menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan

lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan setiap

perilaku seseorang ditentukan oleh pengetahuan.

Disamping tingkat pengetahuan responden, dapat juga disebabkan oleh faktor

lain yang mempengaruhi responden melakukan kemungkinan untuk melakukan

tindakan tidak aman antara lain lama kerja/masa kerja responden lebih dari sama

dengan 5 tahun sehingga pengalaman dan pengetahuan tentang bahaya, risiko dan

pengendalian risiko dari pekerja juga semakin baik. Akan tetapi, pada penelitian

ini, lama kerja/masa kerja responden kurang dari 5 tahun sebanyak 37 responden

(90,3%) yang mengakibatkan pengalaman yang diperolehpun belum terlalu

banyak sehingga masih tingginya tindakan tidak aman yang dilakukan responden.

Menurut teori Max Weber yang dikemukan oleh Ritzer (1983) bahwa seorang

individu akan melakukan tindakan berdasarkan lama kerjanya atau pengalamannya

(Nurhayati, 1997). Berdasarkan lama kerjanya, maka karyawan akan memperoleh

berbagai pengalaman yang berkaitan dengan kondisi yang ada, sehingga sangat

mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dapat dimiliki oleh tenaga kerja tersebut,

104
dengan kata lain semakin lama bekerja maka semakin mengetahui keadaan yang

ada ditempat perusahaan tersebut.

6.3 Hubungan Persepsi dengan Tindakan Tidak Aman

Menurut Dwi Atmaja (2012) persepsi merupakan tahap paling awal dari

serangkaian memproses informasi. Persespi adalah suatu proses penggunaan

pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan di dalam ingatan) untuk

mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasikan stimulus (rangsangan) yang

diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung. Secara singkat dapat

dikatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau

menafsirkan informasi yang diperoleh melalui sistem indera manusia.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.20 bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara persepsi dengan tindakan tidak aman pada pekerja bagian

produksi air mineral dalam kemasan PT. Danson Indonesia. Dari hasil uji statistik,

diperoleh pula nilai OR sebesar 1,187 (95% CI = 0,336-4,19), yang artinya pekerja

yang memiliki persepsi ada hambatan (negatif) dalam berperilaku aman

mempunyai peluang 1,187 kali untuk melakukan tindakan tidak aman yang sering

dibanding dengan pekerja yang memiliki persepsi merasa tidak ada hambatan

(postif) dalam berperilaku aman. Dalam penelitian ini pekerja yang memiliki

persepsi adanya hambatan (negatif) dalam berperilaku aman mengalami penurunan

105
dalam melakukan tindakan tidak aman, sedangkan pekerja yang memiliki persepsi

tidak ada hambatan (positif) dalam berperilaku aman mengalami peningkatan

dalam melakukan tindakan tidak aman dalam bekerja. Dapat disimpulkan bahwa

pekerja yang memiliki persepsi positif atau negatif tidak menutup kemungkinan

untuk melakukan tindakan tidak aman dalam bekerja.

Berdasarkan hasil analisis statistik bahwa dalam penelitian ini pekerja yang

memiliki persepsi negatif dalam berperilaku aman berpeluang lebih besar dalam

melakukan tindakan tidak aman yang sering dalam bekerja, dan berdasarkan hasil

kuesioner bahwa pertanyaan persepsi mengenai alat pelindung diri yang wajib

digunakan sulit didapatkan sehingga pekerja malas untuk menggunakannya dan

pekerja tidak nyaman menggunakan alat pelindung diri saat bekerja merupakan

pertanyaan yang paling banyak jawabannya setuju bahwa alat pelindung diri sulit

didapatkan, malas menggunakannya dan tidak nyaman digunakan saat bekerja.

Menurut Notoatmodjo (2003) persepsi merupakan proses pengorganisasian,

penginterpretasian terhadap rangsangan yang diterima oleh seseorang atau

individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti secara menyeluruh

mempengaruhi perubahaan perilaku. Dengan persepsi negatif yang muncul dari

pekerja, berdampak pada tindakan tidak aman yang dilakukan pekerja.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Aghil Dwi Jati Kusuma

(2015) bahwa terdapat hubungan antara persepsi dengan tindakan tidak aman yang

menyatakan bahwa setiap persepsi seseorang pasti berbeda-beda, dengan

106
kurangnya persepsi seseorang maka akan berpengaruh terhadap tindakan yang

tidak aman. Responden yang memiliki persepsi positif cenderung tidak melakukan

tindakan tidak aman, dan responden yang memiliki persepsi negatif cenderung

melakukan tindakan tidak aman.

6.4 Hubungan Motivasi dengan Tindakan Tidak Aman

Berdasarkan ilmu psikologi, motivasi berarti upaya untuk mengetahui hal

yang mendasari seseorang untuk berperilaku. Motivasi berasal dari bahasa latin

yang berarti to move yang secara umum mengacupada adanya kekuatan dorongan

yang menggerakkan kita untuk beperilaku tertentu (Notoatmodjo, 2012). Menurut

sialagan (2008) dalam Retnani (2013) faktor yang mendorong motivasitenga kerja

adalah pemenuhan rasa puas tenaga kerja terhadap faktor intrinsik seperti

keberhasilan mencapai sesuatu, diperolehnya pengakuan, rasa tanggung jawab,

kemajuan karier, rasa profesionalitas dan intelektual.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.21, nilai p value yang didapatkan

adalah 0,956 yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara motivasi

dengan tindakan tidak aman pada pekerja bagian produksi air mineral dalam

kemasan PT. Danson Indonesia. Dari hasil uji statistik, diperoleh pula nilai OR

sebesar 1,273 (95% CI : 0,362-4,480), yang artinya pekerja yang mempunya

motivasi yang lemah dalam berperilaku aman mempunyai peluang 1,273 kali

107
untuk melakukan tindakan tidak aman yang sering dibanding pekerja yang

memiliki motivasi kuat dalam berperilaku aman. Walaupun dalam penelitian ini

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara motivasi dengan tindakan tidak

aman, akan tetapi terdapat peluang resiko untuk pekerja yang memiliki motivasi

lemah dalam melakukan tindakan tidak aman dan mengakibatkan terdapatnya

kecenderungan bahwa pekerja yang memiliki motivasi yang lemah atau kurang

memiliki kecenderungan melakukan tindakan tidak aman yang tinggi/ sering

(56,0%), sedangkan pekerja yang memiliki motivasi yang kuat atau baik memiliki

kecenderungan untuk tidak melakukan tindakan tidak aman (50,0%). Dari hasil

jawaban responden, alasan pekerja melakukan tindakan aman adalah kebanyakan

pekerja melakukan tindakan aman karena mengikuti peraturan dan kebijakan yang

terdapat diperusahaan. Dalam penelitian ini pekerja berperilaku aman untuk

mencapai tujuan yang diinginkan yaitu supaya tidak diberhentikan kerja dan

supaya kebutuhan hidup dapat terpenuhi.

Menurut Munandar (2001) motivasi merupakan proses dimana kebutuhan-

kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang

mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu, yang berarti pada penelitian ini,

pekerja berperilaku aman supaya terhindar dari sanksi kerja atau pemberhentian

kerja karena tidak mengikuti peraturan dan kebijakan di perusahaan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Dwi Ayu Septiani (2011) yang

menghasilkan nilai p value sebesar 0,458 > ɑ 0,05 yang artinya tidak terdapat

108
hubungan yang bermakna antara motivasi dengan unsafe action. Hal tersebut dapat

terjadi karena jika kita pandang berdasarkan pengertiannya bahwa motivasi

merupakan upaya untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual seperti

kebutuhan akan fisiologi, kebutuhan untk mendapatkan keamanan, kebutuhan

sosial, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan untuk aktualisasi diri

(Robbins, 2001). Dan setiap orang dapat berada dalam hierarki kebutuhan yang

berbeda-beda, sehingga ketika pekerja masih berada pada tahap untuk memenuhi

kebutuhan tingkat dasar yaitu kebutuhan akan fisiologi atau justru kebutuhan akan

hal tersebut sudah dapat dicapai/terpuaskan maka kebutuhan akan keamanan

tersebut tidak akan bisa menimbulkan motivasi bagi pekerja tersebut.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitain Siagalan (2008) bahwa PT.

EGS Indonesia didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi terhadap

perilaku aman dalam bekerja. Selaim itu, penelitian yang dilakukan oleh Karyani

(2005) juga didapatkan hbunga yang bermakna antara motivasi perilaku aman

dalam bekerja. Dimana dalam penelitian mereka berdua, motivasi pekerja yang

tinggi mempunya 3 kali untuk berperilaku aman dibandingkan dengan pekerja

yang mempunya motivasi yang rendah. Dapat diartikan bahwa pekerja yang

memiliki motivasi rendah akan melakukan tindakan tidak aman lebih sering

dibandingkan pekerja yang memiliki motivasi tinggi.

Motivasi pekerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pekerja. Menurut

Schultz (1986) pendidikan karyawan mempengaruhi motivasi dan aktivitas kerja.

109
Karyawan yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi akan menunjukkan

motivasi dan aktivitas yang berbeda dengan pendidikan yang rendah. Pada

karyawan dengan pendidikan tinggi (SMA) mempunyai kecenderungan

mempunyai motivasi kerja yang kuat dalam melakukan perilaku aman sedangkan

karyawan dengan pendidikan rendah (SMP) mempunyai kecenderungan untuk

melakukan tindakan tidak aman. Pada penelitian ini mayoritas pekerja memiliki

status pendidikan terakhir SMP (51,2%) dan mempunyai kemungkinan untuk

melakukan tindakan tidak aman karena motivasi yang dimilikinya dalam

berperilaku aman lemah.

6.5 Hubungan Peraturan/Kebijakan Perusahaan dengan Tindakan Tidak Aman

Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan standar,

norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). Semakin

banyak peraturan perusahaan yang diterapkan di area kerja untuk pekerja, semakin

kecil kemungkinan munculnya tindakan tidak aman di tempat kerja.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.22, nilai p value yang didapatkan

pada penelitian ini adalah 1,000 > ɑ 0,05 yang artinya tidak ada hubungan yang

bermakna antara peraturan/kebijakan perusahaan dengan tindakan tidak aman.

Berdasarkan hasil uji statistik, pekerja yang mengatakan tidak ada

peraturan/kebijakan di tempat kerja sebanyak 52,6% melakukan tindakan tidak

110
aman dan pekerja yang mengatakan ada peraturan/kebijakan di tempat kerja

sebanyak 54,5% responden melakukan tindakan tidak aman. Dari hasil analisa

diperoleh pula nilai OR sebesar 0,926 (95% CI : 0,270-3,171), yang artinya

pekerja yang mengatakan bahwa tidak adanya peraturan/kebijakan ditempat kerja

mempunyai peluang 0,926 kali untuk melakukan tindakan tidak aman yang sering

dibanding dengan pekerja yang mengatakan bahwa ada peraturan/kebijakan

ditempat kerja. Walaupun terdapat peluang resiko, tetapi dalam penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa ada/tidak adanya peraturan dan kebijakan di tempat kerja

responden tetap melakukan tindakan tidak aman karena pekerja yang beranggapan

ada peraturan/ tidak ada peraturan perusahaan tetap melakukan tindakan tidak

aman. Selain itu, dari hasil observasi peneliti, diarea tempat kerja tidak terpasang

peraturan/kebijakan perusahaan sehingga pekerja beranggapan bahwa ditempat

kerja tidak memiliki peraturan. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya sosialisasi

peraturan dan kebijakan perusahaan kepada pekerja yang mengakibatkan pekerja

tidak takut jika melakukan tindakan tidak aman karena merasa tidak ada sanksi

yang diberikan jika melakukan tindakan tidak aman.

Menurut teori Notoatmodjo (2007), bahwa salah satu strategi perubahaan

perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan misalnya

peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh pekerja.

Cara ini menghasilkan perubahaan perilaku yang cepat mengenai tindakan tidak

aman pekerja, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama

111
karena perubahaan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran

sendiri (Notoatmodjo, 2007).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Maaniaya (2005) yaitu tidak

ditemukannya hubungan antara peraturan dengan tindakan tidak aman. Pada

penelitian Hendrabuwana (2007) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

peraturan dengan perilaku bekerja selamat. Ada atau tidak adanya

peraturan/kebijakan perusahaan pekerja mungkin melakukan tindakan tidak aman.

6.6 Hubungan Pengawasan dengan Tindakan Tidak Aman

Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan

terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki.

Agar pengawasan berhasil maka manajer harus melakukan kegiatan-kegiatan

pengecekan, inspeksi, pengendalian dan berbagai tindakan yang sejenis dengan itu.

Bahkan bilamana perlu mengatur dan mencegah sebelumya terhadap

kemungkinan-kemungkinan adanya yang mungkin terjadi (Sarwono, 1991).

Sistem pengawasan merupakan segala usaha penegakan peraturan yang harus

dipatuhi dan merupakan salah satu cara guna meningkatakan keselamatan (ILO,

1989).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.23, nilai p value yang didapatkan

pada penelitian ini adalah 0,008 < ɑ 0,05 yang artinya ada hubungan yang

112
bermakna antara pengawasan dengan tindakan tidak aman. Responden yang

merasa tidak ada pengawasan sebesar 85,7% melakukan tindakan tindakan tidak

aman kategori tinggi atau sering lebih banyak dari responden yang merasa ada

pengawasan sebesar 37,0% melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi atau

sering. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 10,2 (95% CI : 1,88-

55,19), yang artinya pekerja yang merasa bahwa ditempat kerja tidak adanya

pengawasan mempunyai peluang 10,2 kali untuk melakukan tindakan tidak aman

yang sering dibandingkan dengan pekerja yang merasa bahwa ditempat kerja

adanya pengawasan ditempat kerja. Dapat disimpulkan pengawasan yang telah

dilakukan mempunyai hubungan secara bermakna terhadap tesponden/pekerja

dalam melakukan tindakan tidak aman dan juga memiliki pelung resiko yang

terbilang tinggi. Dari hasil jawaban pekerja, pekerja merasa tidak mendapatkan

pengawasan sehingga pekerja melakukan tindakan tidak aman diarea kerja.

Penelitian ini pun didukung oleh masih tingginya tindakan tidak aman dan

indikator bercanda berlebihan selama bekerja merupakan tindakan tidak aman

yang sering dilakukan pekerja yang berarti pengawasan di tempat kerja pun terasa

tidak ada dan pekerja merasa biasa saja jika melakukan tindakan tidak aman.

Penelitian ini sejalan dengan pendapat Sondang P. Siagian (1986) bahwa

pengawasan merupakan pengamatan yang dilakukan untuk menjamin agar semua

pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah

113
ditentukan sebelumnya yaitu rencana karyawan tidak melakukan tindakan tidak

aman di tempat kerja.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hendrawan (2005), bahwa ada

hubungan yang signifikan antara pengawasan dalam bekerja dengan tindakan tidak

aman yang dilakukan oleh responden. Pekerja yang tidak selalu merasa

mendapatkan pengawasan sering melakukan tindakan tidak aman sebesar 18%

lebih banyak daripada yang jarang melakukan tindakan tidak aman sebesar 9%,

sedangkan responden yang selalu merasa ada pengawasan jarang melakukan

tindakan tidak aman sebanyak 47% lebih banyak daripada responden yang sering

melakukan tindakan tidak aman sebesar 26%. Tindakan tidak aman umumnya

disebabkan oleh pengawasan yang tidak berjalan serta kurangnya sistem

pengawasan dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Dalam

penelitian hendrawan pengawasan yang dilakukan merupakan salah satu cara dan

upaya guna menghindari dan meningkatkan keselamatan kerja. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa kehadiran petugas pengawasan atau ada atau tidak adanya

pengawasan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja dan bertindak secara

aman.

114
6.7 Hubungan Kebisingan dengan Tindakan Tidak Aman

Kebisingan mempengaruhi konsentrasi dan dapat membantu terjadinya

kecelaakan ditempat kerja. Kebisingan yang lebih dari 85 dB(A) dapat

mempengaruhi daya dengar dan menimbulkan ketulian jika pekerja tidak

menggunakan alat pelindung telinga (ear plug dan ear mup). Berdasarkan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011,

NAB kebisingan yang diizinkan berdasarkan tingkat dan intensitas kebisingan

adalah 8 jam untuk paparan bising sebesar 85 dB(A).

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.24, nilai p value yang di dapatkan

pada penelitian ini adalah 0,005 < 0,05 yang artinya ada hubungan yang bermakna

antara kebisingan dengan tindakan tidak aman. Responden yang mendapatkan

paparan dibawah NAB (≤ 85 dB(A)) melakukan tindakan tidak aman kategori

tinggi sebesar 33,3% lebih kecil dari responden yang melakukan tindakan tidak

aman kategori rendah sebesar 66,7%, sedangkan responden yang mendapatkan

paparan di atas NAB (>85 dB(A)) melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi

sebesar 82,4% lebih besar dari responden yang melakukan tindakan tidak aman

kategori rendah sebesar 17,6%. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar

9,3 (95% CI : 2,06-42,18), yang artinya pekerja yang terpapar kebisingan >85

dB(A) mempunyai peluang 9,3 kali untuk melakukan tindakan tidak aman yang

sering dibanding dengan pekerja yang terpapar kebisingan ≤85 dB(A) di tempat

kerja. Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah (≤85dB (A)) intensitas

115
kebisingan semakin kecil pula kemungkinan pekerja melakukan tindakan tidak

aman, sebaliknya semakin tinggi ((>85 dB(A)) intensitas kebisingan semakin besar

pula kemungkinan pekerja melakukan tindakan tidak aman. Kebisingan yang >85

dB(A) mengakibatkan pekerja di PT.Danson Indonesia mengalami gangguan

psikologis berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi atau tidak fokus selama

bekerja, emosinya pun meningkat dan komunikasi pun terganggu sehingga

meningkatkan tingginya tindakan tidak aman pekerja.

Menurut Ridley (2006), eksposur terhadap kebisingan yang berlebihan dapat

menimbulkan kurangnya konsentrasi, kehilangan keseimbangan dan disorientasi

(berkaitan dengan pengaruh kebisingan pada cairan di dalam saluran semisurkular

telinga dalam) dan juga kelelahan. Selain itu menurut Fanny (2015) bahwa

hilangnya konsentrasi dalam melakukan aktivitas kerja dapat menimbulkan

dampak yang sangat besar berupa melakukan tindakan tidak aman saat bekerja

sehingga mengakibatkan kecelakaan kerja. Ketika terjadi kecelakan kerja, pihak

individual pekerja maupun pihak perusahaan akan mengalami beberapa kerugian

baik secara finansial maupun non finansial, seperti hilang pekerjaan, tidak

berfungsinya salah satu anggota badan dan atau panca indra, hal terburuk adalah

sampai pada kematian bagi tenaga kerja. Sedangkan bagi perusahaan, kecelakaan

kerja dapat menghambat aktivitas para pekrja lainnya sehingga dapat menurunkan

produktivitas kerja, terkiat maslaah hukum sampai pada ditutupnya perusahaan.

116
Hasil tersebut didukung oleh mayoritas jawaban responden, bahwa tindakan

tidak aman yang paling banyak dilakukan adalah tidak memakai Alat Pelindung

Diri (APD) secara lengkap dan benar sesuai dengan peraturan kerja sebanyak 30

responden (73,2%) Di PT. Danson intensitas kebisingan melebihi >85 dB(A)

Penelitian ini sejalan dengan teori Green (1980) bahwa faktor pembentuk

perilaku adalah lingkungan fisik merupakan faktor pendukung (enabling factor).

Faktor pendukung merupakan kemampuan dari sumber daya yang diperlukan

untuk membentuk perilaku. Dapat diartikan bahwa lingkungan fisik yang baik

akan memberikan kenyamanan pada pekerja dalam berperilaku aman ditempat

kerja, sebaliknya lingkungan fisik yang buruk akan memberikan efek

ketidaknyaman pada pekerja yang mengakibatkan timbulnya tindakan yang tidak

inginkan atau tidakan tidak aman ditempat kerja.

6.8 Hubungan Pencahayaan dengan Tindakan Tidak Aman

Pencahayaan/penerangan merupakan suatu aspek lingkungan fisik yang

penting bagi keselamatan pekerja. Beberapa peneliti membuktikan bahwa

penerangan yang tepat dan disesuaikan dengan pekerjaan berakibat produksi yang

maksimal dan ketidakefisienan yang minimanl, dan dengan begitu secara tidak

langsung membantu mengurngai terjadinya kecelakaan kerja. Dalam pengalaman

menunjukkan bahwa penerangan yang tidak memadai disertai tingkat kecelakaan

117
yang tinggi (Sumamur, 1996). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1405

tahun 2002 bahwa jumlah penyinaran pada area kerja/ dari segi intensitias

pencahayaan di ruang kerja minimal 100 lux.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.25, nilai p value yang didapatkan

pada penelitian ini adalah 0,001 < 0,05 vang artinya ada hubungan yang bermakna

antara pencahayaan yang dibawah NAB (<100 lux) dengan tindakan tidak aman.

Responden yang mendapatkan pencahayaan diruang kerja sangat rendah (<25 lux)

melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi sebesar 78,3% lebih besar dari

responden yang melakukan tindakan tidak aman kategori rendah sebesar 21,7%,

sedangkan responden yang mendapatkan pecahayaan diruang kerja yang rendah

(≥25 lux) melakukan tindakan tidak aman kategori tinggi sebesar 22% lebih kecil

dari responden yang melakukan tindakan tidak aman kategori rendah 77,8%. Dari

hasil analisis dipeorleh pula nilai OR sebesar 12,6 (95% CI : 2,84-55,83), yang

artinya pekerja yang terpapar pencahayaan kurang dari <25 lux mempunyai

peluang 12,6 kali untuk melakukan tindakan tidak aman yang sering dibanding

pekerja yang terpapar ≥25 lux – <100 lux ditempat kerja. Dapat disimpulkan

bahwa semakin rendah pencahayaan yang didapatkan karyawan semakin tinggi

atau semakin sering melakukan tindakan tidak aman ditempat kerja dan

meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Pada penelitian ini

pencahayaan di tempat kerja <50 lux yang terbilang sangat jauh dari batas minimal

pencahayaan diruang kerja (100 lux) yang mengakibatkan pekerja kurang fokus

118
dan merasa tidak nyaman saat bekerja sehingga tindakan tidak aman ditempat

kerja pun meningkat. Pencahayaan yang kurang terlebih didukung oleh

pengawasan yang kurang baik mengakibatkan meningkatnya potensi pekerja untuk

melakukan tindakan tidak aman salah satunya pekerja bisa lebih leluasa untuk

bercanda dengan teman kerja. Selain itu dampat dari pencahayaan yang kurang

mengakibatkan penurunan produktivitas.

Menurut Sumamur (1996), penerangan yang memadai sangat perlu bagi

pencegahan kecelakaan , ditempat dengan bahaya terantuk, terjatuh atau

terjerembab dan lain-lain. Bila diruang kerja terdapat banyak orang, penerangan

harus diadakan secara baik dan disesuaikan dengan lokasi seperti diarea yang

rawan yaitu dijalan-jalan, ditangga-tangga, di area mesin-mesin dan lain-lain.

Selain itu, menurut Newstrom (1996) bahwa penerangan yang kurang jelas

(kurang cukup) mengakibatkan penglihatan saat bekerja kurang jelas yang

mengakibatkan pekerja bekerja dengan lambat dan banyak mengalami kesalahan

dan pada akhirnya menyebabkan kurang efisien dalam pekerjaan sehingga

produktifitas perusahaan sulit dicapai.

Penelitian ini sejalan dengan teori Green (1980) bahwa faktor pembentuk

perilaku adalah lingkungan fisik yang merupakan faktor pendukung (enabling

factor). Faktor pendukung merupakan kemampuan dari sumber daya yang

diperlukan untuk membentuk perilaku. Dapat diartikan bahwa lingkungan fisik

yang baik akan memberikan kenyamanan pada pekerja dalam berperilaku aman

119
ditempat kerja, sebaliknya lingkungan fisik yang buruk akan memberikan efek

ketidaknyaman pada pekerja yang mengakibatkan timbulnya tindakan yang tidak

inginkan atau tidakan tidak aman ditempat kerja.

6.9 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini ada beberapa keterbatasan, yaitu :

a. Pada saat melakukan penyebaran kuesioner kepada seluruh pekerja produksi

air mineral dalam kemasan terdapat kekurangannya diantaranya :

1. Penyebaran kuesioner pada pekerja shift 1 (pagi), peneliti membagikan

kuesioner dijam sebelum pekerja beristirahat. Peneliti menjelaskan dan

memberikan arahan cara mengisi kuesioner, tapi ketika responden mengisi

jawaban terdapat responden yang bekerja sama saat pengisian dan peneliti

pun memberitahu untuk mengisi kuesioner sendiri-sendiri dengan jujur dan

benar.

2. Penyebaran kuesioner pada responden yang bekerja di shift 2 (sore) dan

shift 3 (malam) peneliti menitipkan kepada kepala line dan menjelaskan

dan memberikan arahan cara mengisi kuesioner. Dan peneliti tidak dapat

mengawasi selama berlangsungnya pengisian kuesioner oleh responden.

120
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa :

1. Tindakan tidak aman yang sering dilakukan di PT. Danson Indonesia adalah

sebagai berikut :

a. Tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD) secara lengkap dan benar

sesuai dengan peraturan kerja sebanyak 30 responden (73,2%),

b. Bersenda gurau berlebihan dengan rekan kerja sebanyak 15 responden

(36,6%)

c. Bekerja dengan postur yang janggal/salah sebanyak 14 responden

(34,1%),

d. Menempatkan peralatan kerja tidak pada tempatnya baik pada saat bekerja

maupun setelah bekerja sebanyak 11 responden (26,8%),

e. Menjalankan peralatan/mesin kerja dengan kecepatan yang tidak sesuai

dengan prosedur sebanyak 11 responden (26,8%),

f. Menjalankan peralatan atau mesin kerja tanpa adanya perintah sebanyak 9

responden (22,0%),

121
g. Mengangkat beban dengan postur yang janggal sebanyak 8 responden

(19,5%).

h. Tidak memberikan peringatan, seperti tidak memberi peringatan berupa

tanda adanya bahaya pada teman sebanyak 6 responden (14,6%)

i. Tidak melakukan pengamanan seperti tidak mematikan peralatan atau

mesin kerja yang tidak digunakan sebanyak 5 responden (12,2%)

j. Pemuatan beban yang tidak layak, seperti memuat beban yang berlebihan

pada hand pallet/ forklift manual atau mengangkat beban berlebihan

sebanyak 5 responden (12,2%)

k. Menggunakan peralatan kerja yang sudah rusak sebanyak 5 responden

(12,2%)

l. Tidak mengikuti prosedur kerja yang berlaku didivisi saudara sebanyak 2

responden (4,9%)

2. Tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan tindakan tidak aman pada

pekerja bagian produksi Air Mineral Dalam Kemasan di PT. Danson

Indonesia. Dengan nilai p value adalah 0,630 > ɑ (0,05). Walau tidak terdapat

hubungan tetapi terdapat peluang resiko pekerja yang memiliki pengetahuan

kurang untuk melakukan tindakan tidak aman yang mengakibatkan terdapat

kecenderungan bahwa pekerja yang memiliki pengetahuan kurang sering

melakukan tindakan tidak aman.

3. Tidak adanya hubungan antara persepsi dengan tindakan tidak aman pada

pekerja bagian produksi Air Mineral Dalam Kemasan di PT. Danson

122
Indonesia. Dengan nilai p value adalah 1,000 > ɑ (0,05). Berdasarkan hasil

analisis statistik bahwa dalam penelitian ini pekerja yang memiliki persepsi

negatif dalam berperilaku aman berpeluang lebih besar dalam melakukan

tindakan tidak aman yang sering dalam bekerja.

4. Tidak adanya hubungan antara motivasi dengan tindakan tidak aman pada

pekerja bagian produksi Air Mineral Dalam Kemasan di PT. Danson

Indonesia. Dengan nilai p value adalah 0,956 > ɑ (0,05). Dalam penelitian ini

motivasi lemah pekerja berperilaku aman dikarenakan alasan pekerja

berperilaku aman karena ketakutan terhadap peraturan dan kebijakan

perusahaan.

5. Tidak adanya hubungan antara peraturan/kebijakan perusahaan dengan

tindakan tidak aman pada pekerja bagian produksi Air Mineral Dalam

Kemasan di PT. Danson Indonesia. Dengan nilai p value adalah 1,000>ɑ

(0,05). Walaupun terdapat peluang resiko, tetapi dalam penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa ada/tidak adanya peraturan dan kebijakan di tempat kerja

responden tetap melakukan tindakan tidak aman karena pekerja yang

beranggapan ada peraturan/ tidak ada peraturan perusahaan tetap melakukan

tindakan tidak aman

6. Adanya hubungan antara pengawasan dengan tindakan tidak aman pada

pekerja bagian produksi Air Mineral Dalam Kemasan di PT. Danson

Indonesia. Dengan nilai p value adalah 0,008<ɑ (0,05). Pengawasan ditempat

123
kerja terasa tidak ada yang mengakibatkan seringya pekerja tindakan tidak

aman.

7. Adanya hubungan antara kebisingan dengan tindakan tidak aman pada pekerja

bagian produksi Air Mineral Dalam Kemasan di PT. Danson Indonesia.

Dengan nilai p value adalah 0,005< ɑ (0,05). Dalam penelitian ini semakin

pekerja terpapar kebisingan > 85 dB(A) semakin sering pekerja melakukan

tindakan tidak aman.

8. Adanya hubungan antara pencahayaan di bawah NAB (<100 lux) dengan

tindakan tidak aman pada pekerja bagian produksi Air Mineral Dalam

Kemasan di PT. Danson Indonesia. Dengan nilai p value adalah 0,001 < ɑ

(0,05). Dalam penelitian ini semakin pencahayaan diruang kerja <100 lux,

semakin sering tindakan tidak aman yang pekerja lakukan.

8.2 Saran

Saran yang dapat diberikan oleh peneliti untuk menangani permasalahan

seringnya pekerja melakukan tindakan tidak aman di PT.Danson Indonesia adalah

sebagai berikut :

1. Penerapan safety culture bagi perusahaan dan pekerja yaitu memprioritaskan

keselamatan dalam produksi dan membudayakan kondisi kerja yang aman

dan perilaku kerja yang aman.

124
2. Perusahaan mensosialisasikan peraturan/kebijakan perusahaan kepada

pekerja supaya pekerja mengetahui peraturan, mematuhi peraturan yang ada,

dan mengetahui sanksi jika pekerja tidak mematuhi dan mentaati peraturan

yang ada.

3. Perusahaan mensosialisasikan kepada pekerja tentang alat pelindung diri dari

segi fungsinya sampai jenis-jenis alat pelindung diri yang harus digunakan

sesuai jenis bahaya yang terdapat diperusahaan.

4. Melatih budaya kerja aman terhadap seluruh karyawan untuk menghindari

terjadinya kecelakaan kerja saat kerja atau sesudah kerja.

5. Penambahaan alat pelindung diri khususnya alat pelindung telinga berupa ear

muff dan ear pulg. Perusahaan menyediakan alat pelindung telinga berupa ear

muff khusus untuk operator mesin produksi bottle filler dan cup filler, karena

dosis kebisingan yang mencapai 100 dB(A) diarea tersebut, menyediakan

alat pelindung telinga berupa ear pulg untuk pekerja produksi.

125

Anda mungkin juga menyukai