Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Biomassa adalah sumber energi terbarukan yang berkontribusi bagi
ekonomi dunia, keberlanjutan, dan keamanan energi. Di Negara-negara
berkembang, penggunaan biomassa sangat diminati karena Negara-negara ini
memiliki ekonomi yang sebagian besar berbasis pada pertanian dan kehutanan.
Penggunaan biomassa sebagai bahan baku untuk bioenergy yang aman dan
ekonomis untuk mengubah biomassa menjadi produk bernilai tambah yang dapat
dikelola dengan baik (Sensoz, 2006).
Industri kelapa sawit menghasilkan banyak biomassa seperti cangkang,
tandan buah kosong, daun, batang, pelepah dan palm oil mill effluent (POME).
Sementara telah banyak penelitian yang dilakukan untuk memanfaatkan biomassa
kelapa sawit untuk produk yang bernilai tambah, namun pemanfaatan
komersialnya tidak tersebar luas. Sebagian besar biomassa kelapa sawit
dikemnbalikan ke lahan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Seiring waktu
bahan bakar fosil semakin menipis, ada kebutuhan mendesak untuk
mengeksploitasi semua jenis biomassa sebagai sumber terbarukan dengan
menjadikannya berbagai bentuk bahan bakar. Teknologi untuk mengubah
biomassa menjadi bioenergy bervariasi dari pembakaran normal ke proses termal
yang membutuhkan suhu dan tekanan yang lebih tinggi seperti pirolisis dan
gasifikasi (Sukiran dkk, 2011).
Pirolisis adalah proses dekomposisi termal pada suhu sedang dimana
biomassa dipanaskan tanpa adanya oksigen atau udara untuk menghasilkan
campuran cairan yang dapat dikondensasi (bio-oil), gas, dan biochar. Hasil dan
komposisi produk akhir pirolisis sangat bergantung pada jenis biomassa,
komposisi kimia, struktur biomassa dan parameter fisik lainnya seperti suhu, laju
pemanasan, reactor, ukuran partikel, dan lain-lain. Untuk mencapai proses
lanjutan yang mampu meningkatkan hasil produk biomassa, diperlukan
investigasi mendalam tentang mekanisme pirolisis biomassa (Sukiran, 2011).

1
2

Biochar adalah produk kaya karbon yang diperoleh ketika biomassa,


seperti kayu, pupuk kandang atau daun, dipanaskan dalam wadah tertutup dengan
sedikit atau tanpa udara yang tersedia. Dalam istilah yang lebih teknis, biochar
diproduksi oleh dekomposisi termal bahan organik di bawah pasokan oksigen
yang terbatas (O2), dan pada suhu yang relatif rendah (<700 ° C) (Haris, 1999).
Sifat biochar tidak hanya dipengaruhi oleh sifat bahan bakunya tetapi juga
dipengaruhi oleh kondisi operasi yang digunakan, terutama tingkat pemanasan,
suhu maksimum, dan waktu tinggal. Variabel-variabel ini mempengaruhi jumlah
dan sifat volatil yang dihasilkan selama pirolisis (Onay, 2007).
Biochar padat dapat digunakan sebagai bahan bakar dalam bentuk briket.
Biochar juga dapat ditingkatkan menjadi karbon aktif dan digunakan dalam proses
pemurnian (Islam dkk, 2005). Biochar bermanfaat bagi petani karena memiliki
potensi untuk meningkatkan produktivitas pertanian konvensional dengan
langsung menerapkannya ke dalam tanah. Konversi biomassa menjadi spesies
karbon tanah berumur panjang menghasilkan penyerap karbon jangka panjang,
karena biomassa menghilangkan karbon dioksida atmosfer melalui fotosintesis.
Kandungan karbon yang ada dalam biochar memiliki struktur cincin aromatik
berbobot molekul tinggi, yang diketahui bertahan di tanah selama ribuan hingga
jutaan tahun (McHenry, 2009).

1.2 Perumusan Masalah


Limbah pelepah sawit pada umumnya hanya dibiarkan begitu saja
membusuk tanpa ada perlakuan pengolahan lebih lanjut oleh masyarakat Provinsi
Riau. Selama ini pelepah sawit hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak, pupuk
kompos, dan dibiarkan di area perkebunan (Hidayanto, 2013). Untuk
meningkatkan nilai jual pelepah sawit, maka pelepah sawit harus diproses menjadi
produk yang mempunyai nilai jual tinggi. Pelepah sawit dapat dimanfaatkan
menjadi bahan baku biochar yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga
maupun industri.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Sukiran, dkk (2011) dalam produksi
dan karakterisasi biochar dari tandan buah kosong sawit dengan proses pirolisis.
3

Penelitian ini menggunakan tandan buah kosong berukuran partikel 91-106 µm


sebanyak 2 gram dan menggunakan reaktor fluidized-fixed bed dimana suhu
reactor diukur menggunakan memasang termokopel. Suhu pirolisis yang
digunakan yaitu 300oC, 400 oC, 500 oC, 600 oC, dan 700 oC. Pengaruh dari suhu
yang berbeda-beda yaitu mnghasilkan yield biochar yang berbeda-beda tiap
suhunya. Yield tertinggi biochar yang dihasilkan sebanyak 42% pada suhu 300 oC
dan yield terendah sebanyak 23% pada suhu 700 oC. Nilai kalor tertinggi yaitu
25,98 MJ/kg pada suhu 400 oC. Surface area maksimum yaitu sebesar 5,76 m2/g
pada suhu 400 oC. Persentase karbon tertinggi diperoleh sebesar 69% pada
temperature 700 oC dan persentase oksigen tertinggi diperoleh sebesar 34% pada
suhu 300 oC.
Shariff dkk, (2014) melakukan penelitian yang berfokus pada produksi dan
karakterisasi biochar dengan proses pirolisis lambat berbahan baku tandan buah
kosong sawit. Bahan baku dikeringkan selama 48 jam menggunakan oven pada
suhu 105 oC sampai kandungan air kurang dari 10%. Bahan baku dipotong
berukuran 5-10 cm. Variabel pada penelitian ini yaitu bahan baku yang dicuci
dengan air dan bahan baku yang tidak dicuci. Proses pirolisis lambat ini
menggunakan muffle furnace. Suhu yang digunakan yaitu 550 oC, laju pemanasan
5 oC/menit dan watu tinggal selama 1 jam. Karekterisasi biochar diperoleh
kandungan abu tertinggi sebesar 5,29% pada bahan baku yang tidak dicuci. Kadar
air tertinggi diperoleh sebesar 7,20% pada bahan baku yang tidak dicuci.
Kandungan fix-carbon tertinggi sebesar 88,34% pada bahan baku yang dicuci
dengan air selama 120 menit pada suhu 90 oC. Uji SEM yang dilakukan
menunjukkan struktur morfologi biochar yang diproduksi dari bahan baku yang
tidak dicuci lebih padat dan kental dibandingkan biochar yang diproduksi dari
bahan baku yang dicuci. Surface are tertinggi diperoleh sebesar 11,120 m2/g dari
biochar dengan bahan baku yang dicuci.
Iskandar dan umi (2017) melakukan penelitian tentang karakterisasi
biochar dari berbagai biomassa dengan proses pirolisis. Biomassa yang digunakan
yaitu tempurung kelapa, bambu, tongkol jagung, sekam padi, dan jerami padi.
4

Suhu pirolisis yang digunakan yaitu 300 oC, 400 oC, 500 oC, 600 oC, dan 700 oC
dengan waktu tinggal 30 menit, 45 menit, dan 60 menit. Dari penelitian yang telah
dilakukan didapatkan nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 0,73% pada suhu 700
o
C dengan waktu tinggal 60 menit yang berasal dari tongkol jagung. Ini
menunjukkan bahwa pada suhu yang semakin tinggi dan waktu tinggal semakin
lama maka nilai kadar air menjadi lebih rendah. Nilai volatile matter tertinggi
yaitu sebesar 33,02% dengan waktu tinggal 30 menit yang berasal dari jerami
padi. Nilai fix-carbon tertinggi yaitu sebesar 74,08% dengan waktu tinggal 30
menit yang berasal dari tempurung kelapa. Nilai kalor tertinggi diperoleh sebesar
7,345% dengan waktu tinggal 60 menit yang berasal dari tempurung kelapa.
Penelitian ini menggunakan pelepah sawit sebagai bahan baku dengan
suhu pirolisis 400 oC, 500 oC, dan 600 oC dan waktu tinggal 30 menit, 45 menit,
dan 60 menit.

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menghasilkan biochar dengan menggunakan proses pirolisis lambat pada
suhu yang relatif rendah (<700 ° C).
2. Mengetahui pengaruh suhu dan waktu tinggal terhadap karakterisasi
biochar yang dihasilkan.
3. Mengetahui potensi biochar yang akan digunakan dari karakteristiknya.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat pada penelitian ini memberikan informasi tentang potensi biochar
lebih cocok sebagai soil amandement, bahan bakar, atau bioadsorben yang
diketahui berdasarkan karakteristiknya.

1.5. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang sebagai dasar dilakukannya penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
5

2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini merupakan penjelasan berupa informasi yang diperoleh dari
berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini terdiri atas penjelasan tentang mekanisme dan prosedur penelitian,
serta diagram alir penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelepah Sawit


Pelepah sawit merupakan salah satu biomassa limbah yang cukup banyak
dihasilkan dari perkebunan sawit. Umumnya limbah pelepah sawit dibiarkan
begitu saja membusuk tanpa ada perlakuan pengolahan lebih lanjut. Jumlah
pelepah sawit yang dipotong dapat mencapai 40-50 pelepah/pohon/tahun dengan
bobot pelepah sebesar 4,5 kg berat kering per pelepah. Dalam satu hektar sawit
diperkirakan dapat menghasilkan 6400-7500 pelepah per tahun dengan nilai kalor
dari biomassa pelepah sawit berkisar 17200 kJ/kg (Simanihuruk dkk, 2008).
Pelepah kelapa sawit merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses
peremajaan pohon kelapa sawit. Satu hektar tanaman kelapa sawit menghasilkan
pelepah daun sebanyak 10,4 ton dari pangkasan per tahun (Departemen Pertanian,
2016). Satu hektar tenaman sawit akan dihasilkan 6.400-7.500 pelepah pertahun.
Pelepah ini mengandung selulosa (16,6%), hemiselulosa (27,6%) dan silika
(3,8%). Tanaman kelapa sawit yang tumbuh memiliki pelepah berjumlah 40 - 60
buah dengan panjang mencapai 7,5-9 meter. Jumlah anak daun pada tiap pelepah
antara 250-400 helai. Limbah padat agroindustri kelapa sawit tersebut berasal
dari kegiatan di perkebunan kelapa sawit itu sendiri dan di industri pengolahan
sawit, sebagaimana diagram alir sesuai Gambar 2.1. Limbah padat yang
dihasilkan dari agroindustri kelapa sawit adalah pelepah, pohon sawit dari
perkebunan di sektor hulu. Sedangkan tandan buah kosong, serat buah, cangkang
biji dari industri pengolahan kelapa sawitnya.
Limbah padat kelapa sawit tergolong material lignoselulosik yang disebut
juga photomass karena dihasilkan dari proses fotosintesis (Abdolali dkk, 2014).
Terdapat beberapa tipe selulosa yang terdapat di dinding sel material
lignoselulose. Material tersebut meliputi tiga komponen yaitu selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Sekitar 65% selulosa merupakan komponen yang dapat
berbentuk kristal yang tidak larut dalam selulosa. Struktur selulosa berikatan
dengan hemiselulosa (20-40%) dan lignin (15-25%) (Abdolali dkk, 2014).

6
7

Selulosa tidak terlarut dalam air pada suhu ruang namun sebagian akan terlarut
pada suhu 302°C dan terlarut seluruhnya pada suhu 330°C (Kumar dan Jena,
2015).

Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Produksi Agroindustri Kelapa Sawit


Limbah biomassa agroindustri kelapa sawit menunjukkan karakteristik
kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin dari masing masing bagian seperti
Tabel 2.1. Hanya cangkang sawit yang mempunyai komposisi dominan lignin,
sedangkan tipe limbah padat yag lain memiliki rasio komponen yang tertinggi
adalah selulosanya. Hal ini akan berpengaruh terhadap karakteristik adsorben
yang dihasilkan.
Tabel 2.1 Karakteristik Kandungan Biomassa
Komponen Kimia (% berat kering)
Tipe Biomassa
Hemiselulosa Selulosa Lignin
Serat Mesocarp 26,1 33,9 27,7
Tandan Buah Kosong 35,3 38,3 22,1
Cangkang Buah Sawit 22,7 20,8 50,7
Batang Pohon Sawit 23,94 39,44 35,89
Pelepah Sawit 23,18 50,33 21,7
Daun Kelapa Sawit 22,97 32,49 26,00
Tulang Daun Kelapa Sawit 23,17 46,1 29,31
(Sumber : Kong dkk, 2014)
8

2.2 Biomassa Berlignoselulosa


Lignoselulosa merupakan komponen utama dalam biomassa yang berasal
dari tanaman yang tersusun oleh tiga senyawa utama, yaitu: selulosa,
hemiselulosa, dan lignin, dimana ketiga komponen tersebut membentuk suatu
ikatan kimia kompleks yang menjadi dasar dinding sel tumbuhan. Secara umum,
komposisi tiga komponen tersebut dalam dinding sel tumbuhan dapat dilihat pada
gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Komponen Penyusun Biomassa Lignoselulosa


(Mood dkk, 2013)

2.2.1 Selulosa
Selulosa (C6H10O5)x, adalah komponen utama dari biomassa lignoselulosa
yang merupakan senyawa polisakarida yang tersusun rantai panjang D-glukosa
yang terhubung oleh ikatan β-(1,4)-glikosida yang berikatan satu sama lain.
Selulosa tersebut berikatan satu sama lain membentuk benang-benang. Serat
selulosa terhubung dengan bilangan ikatan intra- dan intermolekular hidrogen.
Oleh karena itu, selulosa tidak dapat terlarut dalam air dan sebagian besar pelarut
organik (Mood dkk, 2013). Struktur senyawa selulosa dapat dilihat pada Gambar
2.3. di bawah ini.
9

Gambar 2.3 Struktur Selulosa (Jaworska dkk, 2013)

2.2.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa (C5H8O4)m, terletak di dinding sel sekunder adalah
biopolimer heterogen bercabang yang mengandung senyawa pentosa (β-D-xylosa,
α-L-arabinosa), heksosa (β-D-manosa, β-D-glukosa, α-D-galaktosa) dan asam
urgonat (asam α-D-glukuronat, asam α-D-4-O-metil-galakturonat dan asam α-D-
galakturonat). Ketiga komponen tersebut relatif mudah untuk dihidrolisis karena
bersifat amorf, dan struktu cabang (dengan rantai pendek) serta berat molekul
yang lebih kecil. Maka untuk meningkatkan kecernaan selulosa, hemiselulosa
dalam jumlah besar harus dihilangkan karena menyelubung benang-benang
selulosa sehingga menghalang proses hidrolisis enzimatik. Hemiselulosa relatif
sensitif terhadap kondisi operasi, karena itu, parameter seperti temperatur dan
waktu retensi harus dikontrol untuk menghindar terjadinya pembentukan produk
yang tidak diinginkan (Mood dkk, 2013). Struktur senyawa hemiselulosa dapat
dilihat pada Gambar 2.4. di bawah ini.
10

Gambar 2.4 Struktur Hemiselulosa (Kulkarni dkk, 2012)

2.2.3 Lignin
Lignin [C9H10O3(OCH3)0,9-1,7]n adalah polimer aromatik yang terbentuk
dari prekursor fenilpropanoid. Sebagian besar unit fenilpropana lignin yang terdiri
atas syringil, guaiasil, dan p-hidroksi fenol yang terhubung satu sama lain
sehingga membentuk matriks yang rumit (Mood dkk, 2013). Struktur senyawa
lignin dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur Lignin (Rauber dkk, 2017)


11

2.3 Teknologi Konversi Biomassa


Biomassa dapat dikonversi menjadi energi dengan proses termokimia,
biologis dan fisik. Pilihan proses konversi yang tepat biasanya dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu seperti jenis dan jumlah biomassa, produk akhir yang
diinginkan, standar lingkungan, kondisi ekonomi dan faktor spesifik proyek
(McKendry, 2002). Biasanya produk akhir yang diinginkan adalah faktor utama
dalam penentuan konversi. Rincian proses dijelaskan sebagai berikut:
2.3.1 Proses Termokimia
Termokimia dapat digambarkan sebagai modifikasi sifat fisik dan kimia
biomassa oleh interaksi termal dalam lingkungan yang terkontrol (Titiladunayo
dkk, 2012). Proses konversi termokimia menyediakan tiga opsi utama untuk
mengubah biomassa menjadi berbagai bentuk energi. Tiga opsi itu adalah
pembakaran, gasifikasi, dan pirolisis. Pembakaran adalah proses pembakaran
biomassa di udara untuk mendapatkan energi dalam bentuk panas, tenaga
mekanik atau listrik.
Demirbas (2004) melaporkan bahwa pembakaran bertanggung jawab atas
lebih dari 97% produksi bioenergi dunia. Menurut McKendry (2002), proses ini
cocok untuk biomassa yang memiliki kadar air kurang dari 50%. Biomassa harus
menjalani perawatan pra-pengeringan jika memiliki kadar air yang lebih tinggi. Di
sisi lain, gasifikasi adalah proses yang mengubah biomassa menjadi gas sintesis
atau disebut syngas yang merupakan campuran karbon monoksida, hidrogen dan
metana bersama-sama dengan karbon dioksida dan nitrogen di bawah kondisi
kekurangan oksigen dan terjadi pada suhu tinggi, umumnya lebih tinggi dari
700°C (Demirbas, 2004).
2.3.2 Proses Biologi
Konversi biomassa menjadi energi seperti bahan bakar termasuk
fermentasi etanol oleh ragi atau bakteri dan produksi metana oleh konsorsium
mikroba di bawah kondisi anaerob (Miyamoto, 1997). Pencernaan anaerob adalah
cara yang cocok untuk mengubah biomassa kelembaban tinggi menjadi biogas
yang merupakan campuran terutama metana dan karbon dioksida. Sementara itu,
12

proses fermentasi dilakukan secara komersial di banyak negara dalam skala besar
untuk produksi etanol dari tanaman gula seperti tebu dan gula bit serta tanaman
pati seperti jagung dan gandum (McKendry, 2002).
2.3.3 Proses Fisika
Densifikasi bahan lepas menjadi bentuk yang lebih ringkas yang
mencakup pelet dan briket adalah proses yang terlibat dalam proses konversi fisik
biomassa. Keadaan alami biomassa biasanya memiliki kadar air yang tinggi,
bentuk dan ukuran yang tidak beraturan serta kerapatan yang rendah, sehingga
menyulitkan untuk menangani, mengangkut, menyimpan dan memanfaatkan
(Lope Tabil et al., 2011). Proses pelet dan briket akan menjadikan biomassa
sebagai bahan baku yang cocok untuk bahan bakar padat.

2.4 Proses Pirolisis


Pirolisis merupakan salah satu cara konversi secara termokimia serta
memainkan peranan penting dalam konversi biomassa. Pirolisis didefinisikan
sebagai proses degradasi termal dari padatan dalam kondisi tidak adanya oksigen,
yang memungkinkan terjadinya beberapa jalur konversi thermokimia sehingga
padatan tersebut menjadi gas (permanent gasses), cairan (pyrolitic liquid) dan
padatan (char) (Silia dan Seri, 2017). Pirolisis biomassa dapat dipengaruhi oleh
empat faktor diantaranya kandungan air, dekomposisi hemiselulosa, dekomposisi
selulosa dan lignin.
13

Gambar 2.6 Pola Skematik Dekomposisi Biomassa Via Pirolisis (Huat Kong,
2014)
Pirolisis ini adalah proses degradasi termokimia biomassa pada suhu yang
relatif rendah sekitar 500°C hingga 800°C dengan terbatas atau tidak adanya
oksigen (Nan dkk, 1994). Goyal dkk, (2008) melaporkan bahwa pirolisis
biomassa dapat dimulai pada 350°C hingga 550°C dan naik hingga 700°C.
Sementara itu, proses pirolisis biomassa seperti kayu dapat dimulai pada suhu
serendah 200°C dan berlangsung hingga 450°C hingga 500°C tergantung pada
sifat-sifatnya (Sinha dkk, 2000). Pirolisis biomassa menghasilkan arang padat
yang berguna, cairan dan gas yang dapat terkondensasi. Proporsi dan komposisi
produk ini bervariasi sesuai dengan jenis pirolisis yang digunakan.
Babu (2008) mengklaim mekanisme pirolisis dimulai dengan perpindahan
panas ke permukaan partikel padat biomassa melalui radiasi dan / atau konveksi
dan kemudian ke bagian dalam partikel ketika biomassa dipanaskan dalam
atmosfer lembam. Selanjutnya, penghapusan kelembaban dalam biomassa terjadi
karena kenaikan suhu dalam partikel biomassa. Kenaikan suhu kemudian memulai
proses pirolisis. Produk volatil dan gas mengalir melalui pori-pori partikel selama
proses perpindahan panas. Proses pirolisis berlangsung dengan laju tergantung
pada suhu. Ketika biomassa berubah menjadi gas selama reaksi, pori-pori partikel
padat menjadi lebih berpori. Dengan demikian, pori-pori yang diperbesar
14

menyediakan banyak reaksi terhadap produk pirolisis yang mudah menguap dan
gas dan mendukung interaksi mereka dengan partikel padat biomassa.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi proses pirolisis adalah waktu, suhu,
ukuran partikel, dan berat partikel. Ada banyak klasifikasi dari jenis-jenis
pirolisis tergantung pada kondisi operasi, seperti laju panas, suhu, dan waktu
tinggal uap. Sehingga, dapat diklasifikan secara umum yaitu pirolisis lambat (slow
pyrolysis) dan pirolisis cepat (fast pyrolysis) (Silia dan Seri, 2017).
Pirolisis dengan berbagai tipe dan produk yang dihasilkan sebagaimana
tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Tipe Pirolisis, Kondisi Operasional dan Produk yang Dihasilkan
Tipe
Kondisi Operasional Produk yang Dihasilkan
Pirolisis
Cepat - Suhu reaktor 500ºC - Padatan 12%
- Kecepatan pemanasan sangat - Cairan 75%
tinggi > 1000ºC/detik - Gas 13%
- Waktu tinggal uap sekitar 1 detik
Sedang - Suhu reaktor 400-500ºC - Padatan 25%
- Kecepatan pemanasan sedang 1- - Cairan 50%
1000ºC/detik - Gas 25%
- Waktu tinggal uap sekitar 10-30
detik
Lambat - Suhu reaktor 290ºC - Padatan 77%
- Kecepatan pemanasan lambat - Cairan 0-5%
1ºC/detik - Gas 23%
- Waktu tinggal uap sekitar 30 detik
(Sumber: Kong dkk, 2014)
2.4.1 Pirolisis Cepat
Pirolisis cepat ditandai dengan temperature tinggi dan laju pemanasan.
Proses ini cocok untuk produksi cair (bio-oil) dan gas. Biomassa yang digunakan
untuk bahan baku pirolisis cepat biasanya digiling halus karena laju pemanasan
dan laju perpindahan panas yang sangat tinggi pada antarmuka reaksi
(Bridgwater, 2003). Babu (2008) melaporkan bahwa pirolisis cepat melibatkan
suhu mulai dari 580°C hingga 980°C. Sementara Bridgwater dan Bridge (1991)
menyatakan kisaran suhu untuk pirolisis cepat adalah sekitar 450°C hingga
900°C.
15

Pirolisis cepat mampu menghasilkan cairan dengan hasil tinggi hingga


70% berat dalam skala laboratorium yang melibatkan kombinasi laju pemanasan
tinggi setinggi 1000°C/s hingga 10000°C/s, suhu sedang kurang dari 650 ° C, dan
waktu tinggal pendek; 0,5 - 5 s (Bridgwater dan Bridge, 1991). Kondisi ini adalah
parameter yang lebih disukai untuk memaksimalkan produksi minyak pirolisis.
Namun, suhu dapat dinaikkan pada suhu yang lebih tinggi jika yang ingin
diproduksi adalah gas. Berbagai jenis bahan baku biomassa seperti residu dari
tanaman singkong, tongkol jagung, dan limbah kelapa sawit dapat digunakan
untuk produksi bio-oil melalui proses pirolisis cepat (Kim dkk, 2010).
2.4.2 Pirolisis Lambat
Pirolisis lambat dikenal juga sebagai pirolisis konvensional. Proses ini
menjadikan char sebagai produk utama. Proses ini juga menghasilkan cairan dan
gas. Selama proses tersebut, bahan baku akan dipanaskan pada tingkat pemanasan
rendah dan suhu sedang sekitar 600 ° C dengan waktu tinggal bervariasi dari 5-30
menit (Basu, 2010). Dibandingkan dengan proses pirolisis cepat, laju pemanasan
yang digunakan dalam proses pirolisis lambat cukup rendah yaitu sekitar
5°C/menit hingga 20°C/menit (Grierson dkk, 2011).
Secara umum, pirolisis lambat dari biomassa lignoselulosa kering dapat
menghasilkan sekitar 20 hingga 40% berat char atau biochar padat (Lee dkk,
2013). Persentase bervariasi sesuai dengan keadaan tertentu seperti sifat biomassa,
suhu pirolisis, laju pemanasan dan waktu tinggal. Dari banyak penelitian yang
dilakukan, suhu diakui sebagai parameter yang paling berpengaruh dalam
penentuan persentase dan karakteristik hasil produk akhir (Downie dkk, 2009).
Sejumlah besar studi tentang pirolisis lambat telah dilakukan untuk
menyelidiki dampak pirolisis pada produksi dan karakterisasi biochar (Ghani dkk,
2013, Gheorghe dkk, 2009, Natarajan dan Ganapathy Sundaram, 2009) dan bio-
oil (Duman dkk, 2011) diproduksi. Berbagai jenis biomassa seperti kayu pinus,
jerami gandum, limbah hijau, ganggang kering (Ronsse dkk, 2013), ganggang air
tawar kering (Chaiwong dkk, 2012), miscanthus raksasa (Lee dkk, 2013), cherry
biji, kulit biji ceri (Duman dkk, 2011), limbah kelapa sawit (Khor, 2012), batu
16

aprikot, kulit hazelnut, kulit biji anggur dan kulit chestnut (Özçimen dan Ersoy
Meriçboyu, 2010) digunakan sebagai bahan baku dalam proses pirolisis lambat.
Lee dkk. (2013) melakukan percobaan pirolisis lambat pada michantus
raksasa untuk mempelajari dampak suhu pirolisis pada hasil biochar dan siftat
untuk aplikasi tanah menggunakan reaktor unggun berskala lab. Temperatur
bervariasi pada 300°C, 400°C, 500°C, 600°C dan 700°C dengan tingkat
pemanasan 10°C/menit. Ditemukan bahwa persentase hasil biochar menurun dari
49,54% berat menjadi 27,15% berat ketika suhu meningkat dari 300°C menjadi
500°C. Namun, setelah 500°C, penurunan hasil biochar cukup signifikan. Hal ini
disebabkan oleh dekomposisi hemiselulosa dan selulosa yang telah selesai.
Dengan demikian, produksi biochar dari michantus raksasa sesuai pada 500 ° C
dengan mempertimbangkan sifat-sifat biochar dan jumlah panas yang dibutuhkan.

2.5 Biochar
Biochar adalah produk kaya karbon yang diperoleh ketika biomassa,
seperti kayu, pupuk kandang atau daun, dipanaskan dalam wadah tertutup dengan
sedikit atau tanpa udara yang tersedia. Dalam istilah yang lebih teknis, biochar
diproduksi oleh dekomposisi termal bahan organik di bawah pasokan oksigen
yang terbatas (O2), dan pada suhu yang relatif rendah (<700 ° C). Proses ini sering
mencerminkan produksi arang, yang merupakan salah satu teknologi industri
paling kuno yang dikembangkan oleh umat manusia (Harris, 1999). Biochar
diproduksi dengan maksud untuk diterapkan pada tanah sebagai cara
meningkatkan produktivitas tanah, penyimpanan karbon (C), atau penyaringan air
tanah yang meresap.
Menurut Lehmann dan Joseph (2009), biochar diproduksi dari bahan-
bahan organik yang sulit terdekomposisi, yang dibakar secara tidak sempurna
(pirolisis) atau tanpa oksigen pada suhu yang tinggi. Biochar yang terbentuk dari
pembakaran ini akan menghasilkan karbon aktif, yang mengandung mineral
seperti kalsium (Ca) atau magnesium (Mg) dan karbon anorganik. Kualitas
senyawa organik yang terkandung dalam biochar tergantung pada asal bahan
organik dan metode karbonisasi. Dengan kandungan senyawa organik dan
17

inorganik yang terdapat di dalamya, biochar banyak digunakan sebagai bahan


amelioran untuk meningkatkan kualitas tanah, khususnya tanah marginal (Rondon
dkk, 2007; Hunt dkk, 2010). Biochar memiliki kandungan C yang tinggi, yang
terutama terdiri dari senyawa aromatik yang dicirikan oleh cincin dari enam atom
C yang dihubungkan bersama tanpa O atau hidrogen (H), atom yang lebih
berlimpah dalam bahan organik hidup .
Biochar padat dapat digunakan sebagai bahan bakar dalam bentuk briket.
Biochar juga dapat ditingkatkan menjadi karbon aktif dan digunakan dalam proses
pemurnian (Islam dkk, 2005). Biochar bermanfaat bagi petani karena memiliki
potensi untuk meningkatkan produktivitas pertanian konvensional dengan
langsung menerapkannya ke dalam tanah. Konversi biomassa menjadi spesies
karbon tanah berumur panjang menghasilkan penyerap karbon jangka panjang,
karena biomassa menghilangkan karbon dioksida atmosfer melalui fotosintesis.
Kandungan karbon yang ada dalam biochar memiliki struktur cincin aromatik
berbobot molekul tinggi, yang diketahui bertahan di tanah selama ribuan hingga
jutaan tahun (McHenry, 2009). Teknik penggunaan biochar berasal dari basin
Amazon sejak 2500 tahun yang lalu. Penduduk asli Indian memasukkan limbah-
limbah pertanian dan perkebunan tersebut ke dalam suatu lubang di dalam tanah.
Sebagai contoh yaitu “Terra Preta”yang sudah cukup dikenal di Brazil (Glaser
dkk, 2002). Menurut Tan dkk (2017), karakteristik biochar yang baik yaitu
memiliki kadar air, abu, dan zat mudah menguap yang rendah dengan nilai
kandungan karbon tetap yang tinggi.

2.6 Aplikasi Biochar


Empat tujuan aplikasi dari biochar untuk pengelolaan lingkungan, yaitu:
perbaikan tanah (untuk peningkatan produktivitas serta pengurangan polisi);
penanganan limbah; mitigasi perubahan iklim; dan produksi energi.
18

Gambar 2.7 Penerapan Aplikasi Biochar


(Lehmann dan Stephen, 2009)
Menurut Ibrahim, dkk (2017) kegunaan biochar sebagai adsorben
penjernih air sangat efektif untuk menyerap warna dan mengurangi konsentrasi
polutan dari air limbah.
2.6.1 Biochar Sebagai Soil Amandement
Perbaikan struktur tanah merupakan suatu kebutuhan dibanyak wilayah di
dunia. Kurangnya ketahanan pangan sangat umum terjadi di Sahara Afrika dan
Asia Selatan, dengan kekurangan gizi masing-masing sebesar 32% dan 22% dari
total populasi (FAO, 2006). Sementara kekurangan gizi menurun di banyak
negara di seluruh dunia dari 1990-1992 ke 2001-2003, banyak negara di Asia,
Afrika atau Amerika Latin mengalami peningkatan (FAO, 2006). 'Revolusi Hijau'
yang diprakarsai oleh Peraih Nobel Norman Borlaug di Pusat Internasional untuk
Peningkatan Jagung dan Gandum (CIMMYT) di Meksiko selama tahun 1940-an
telah sukses besar dalam meningkatkan produktivitas pertanian di Amerika Latin
dan Asia. Revolusi Hijau menjadi praktik agroekosistem yang berkelanjutan
(Kimetu, 2008).
Khususnya di Afrika, revolusi hijau belum cukup berhasil karena
tingginya biaya bahan kimia untuk pertanian (Evenson dan Gollin, 2003). Biochar
memberikan peluang unik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan efisiensi
19

penggunaan unsur hara menggunakan bahan yang tersedia secara lokal dan
terbarukan secara berkelanjutan. Pembuatan biochar tidak memerlukan sumber
daya baru, tetapi menggunakan sumber daya yang ada lebih efisien dan lebih
sadar lingkungan, petani dapat menggunakan residu organik menjadi biochar
tanpa mengurangi energy yang dihasilkan (Lehmann dan Stephen, 2009). Biochar
mampu memainkan peran utama dalam pengelolaan tanah yang berkelanjutan
dengan meningkatkan produktivitas tanah. Biochar bermanfaat bagi petani karena
memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas pertanian konvensional
dengan langsung menerapkan karbon ke dalam tanah. Biochar yang dimasukkan
ke tanah juga dapat meningkatkan produktivitas tanah, mengurangi emisi N2O
dari tanah, meningkatkan kapasitas penampung air dan memiliki potensi untuk
menjadi penyerap karbon jangka panjang karena stabilitas kimia yang tinggi, dan
potensi untuk berada di tanah untuk waktu yang lama (Adilah, 2014) .
2.6.2 Biochar Untuk Mengelola Limbah
Pengelolaan limbah tanaman dari pertanian menimbulkan beban
lingkungan yang mengarah pada pencemaran air dan tanah (Carpenter dkk, 1998).
Limbah ini serta produk sampingan lainnya adalah sumber daya yang dapat
digunakan untuk menghasilkan bioenergi dengan menggunakan proses pirolisis
(Bridgwater, 2003). Tidak hanya energi yang dapat diperoleh dalam proses
pirolisis, tetapi juga mampu membuat limbah berkurang secara signifikan
(Cantrell, 2007). Menurut Ackerman (2000), pengelolaan limbah organik yang
tepat dapat membantu dalam mitigasi perubahan iklim secara tidak langsung
dengan:
a. Mengurangi emisi metana dari tanah.
b. Mengurangi penggunaan energi dan emisi industri karena daur ulang dan
pengurangan limbah.
c. Meningkatkan penyerapan karbon di hutan.

Aplikasi biochar berbeda dengan pupuk kandang atau aplikasi kompos,


karena umur panjang dari biochar di tanah dapat memperbaiki struktur tanah, dan
20

penghilangan logam berat. Oleh karena itu, biochar sangat efektif dalam
pengelolaan limbah (Gaunt dan Lehmann, 2008).
2.6.3 Biochar Untuk Menghasilkan Energi
Di daerah yang mengandalkan energi biomassa, seperti halnya sebagian
besar pedesaan Afrika serta daerah besar di Asia dan Amerika Latin, bioenergi
yang diperoleh dengan proses pirolisis memberikan peluang untuk produksi
energi yang lebih efisien daripada pembakaran kayu (Demirbas, 2004). Ini juga
memperluas pilihan untuk jenis-jenis biomassa yang dapat digunakan untuk
menghasilkan energi, misalnya, residu tanaman. Manfaat utama bahwa pirolisis
menawarkan panas bersih, yang diperlukan untuk mengembangkan teknologi
memasak dengan polusi dalam ruangan yang lebih rendah oleh asap (Bhattacharya
dan Abdul Salam, 2002) daripada yang biasanya dihasilkan selama pembakaran
biomassa (Bailis dkk, 2005). Faktanya, bioenergi dapat berkontribusi secara
signifikan untuk mengamankan pasokan energi hijau di masa depan.

2.6.4 Biochar Untuk Mitigasi Perubahan Iklim


Menambahkan biochar ke tanah telah dideskripsikan sebagai cara
penyerapan karbon dioksida atmosfer (CO2) (Lehmann et al, 2006). Biochar
memiliki potensi besar untuk mengatasi perubahan iklim karena biochar mampu
mengurangi emisi gas rumah kaca antropogenik seperti karbon dioksida (CO2).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat


3.1.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pelepah
sawit sebagai bahan baku utama dan gas nitrogen.

3.1.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain reaktor pirolisis,
bubble flow meter, desikator, kondensor, cawan porselin, condensate trap,
furnace, crucible, timbangan analitik, dan oven.

3.2 Variabel Penelitian


Variabel tetap dan berubah yang digunakan pada penelitian produksi
biochar ini antara lain:
1. Variabel Tetap Produksi Biochar
a. Ukuran partikel pelepah sawit ± 1 cm.
b. Laju alir gas nitrogen sebesar 150 mL/menit.
c. Tekanan atmosfer inert
d. Waktu pirolisis selama 45 menit.
2. Variabel Berubah Produksi Biochar
a. Suhu pirolisis (300 oC, 400 oC, dan 500oC).
b. Waktu tinggal (30 menit, 45 menit, dan 60 menit).

3.3 Prosedur Penelitian


Penelitian ini terdiri dari tahap pembuatan biochar dan analisa sampel.
Skema penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut:

21
22

Pelapah sawit

Pengecilan ukuran
dan pengeringan

Pirolisis

Bio-oil Biochar Gas

Analisa Hasil

Nilai Kalor Mass Yield Analisa Proksimat

Pengolahan Data

Gambar 3. 1 Skema Pelaksanaan Penelitian


23

3.3.1 Pembuatan Biochar


1. Pelepah sawit dicuci kemudian dipotong-potong ± 1 cm dan dikeringkan
dibawah sinar matahari untuk menghilangkan kadar air.
2. Pelepah sawit yang telah kering dipirolisis dengan suhu yang telah
ditentukan yaitu 400oC, 500 oC , dan 600 oC selama 30 menit, 45 menit,
dan 60 menit.
3. Reaktor pirolisis dikeluarkan dari tungku untuk mendinginkan biochar.
3.3.2 Proses Pirolisis
1. Pelepah sawit ditimbang sebanyak 10 gram, dimasukkan ke dalam reaktor
pirolisis.
2. Reaktor pirolisis kemudian dimasukkan ke dalam furnace, kemudian
furnace dihubungkan dengan temperature controller dan dialiri oleh gas
N2.
3. Temperature controller berfungsi untuk mengatur suhu yang bekerja pada
furnace agar sesuai dengan suhu yang diinginkan.

Gambar 3.2 Rangkaian Alat Pirolisis


24

3.4 Analisis Hasil


3.4.1 Analisis Proksimat
Analisis proksimat bertujuan untuk mengetahui kadar air, kadar volatil,
kadar abu, dan kadar fixed carbon produk biochar yang dihasilkan. Analisis
proksimat mengikuti prosedur ASTM D-3172-2013 sampai ASTM D-3175-2013.
1. Pengukuran Kadar Air (Moisture)
Prosedur pengukuran kadar air berdasarkan ASTM D-3173-13 adalah
sebagai berikut:
1. Cawan porselin dipanaskan pada temperatur pengeringan sampel,
cawan ditutup, didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan
kemudian ditimbang.
2. Sampel ditimbang sebanyak 1 gr dan diletakkan ke dalam cawan,
kemudian ditutup dan ditimbang.
3. Tutup cawan dibuka dan cawan dimasukkan ke dalam oven secara
cepat.
4. Oven ditutup dan sampel dipanaskan pada temperature 105°C
selama 1 jam oven dibuka, cawan diambil dan tutup cawan dibuka
secara cepat.
5. Setelah 1 jam oven dibuka, cawan diambil dan tutup cawan dibuka
secara cepat.
6. Cawan didinginkan dalam desikator.
7. Cawan ditimbang setelah mencapai temperature kamar.
8. Persentase kadar air dihitung menggunakan rumus:

(A−B)
Kadar air (%) = [ ] x 100%
A

Dimana,
A = Berat sampel yang digunakan (gr)
B = Berat sampel setelah dipanaskan (gr)
25

2. Pengukuran Kadar Zat Mudah Menguap (Volatile Matter)


Prosedur pengukuran kadar zat mudah menguap berdasarkan ASTM D-
3175-13 adalah sebagai berikut:
1. Sampel ditimbang sebanyak 1 gr dalam crucible dan segera ditutup.
2. Crucible dimasukkan ke dalam furnace dan dipanaskan pada suhu
950°C.
3. Pemanasan dilanjutkan selama 7 menit, setelah ity crucible
dikeluarkan dari furnace dan didinginkan di dalam desikator.
4. Wadah ditimbang dengan cepat setelah dingin.
5. Persentase kadar zat mudah menguap dihitung menggunakan rumus:

(A−B)
Kehilangan Berat (%) = [ ] x 100%
A

VM (%) = Kehilangan Berat (%) – Kadar Air (%)

Dimana,
A = Berat sampel yang digunakan (gr)
B = Berat sampel setelah dipanaskan (gr)

3. Pengukuran Kadar Abu (Ash)


Prosedur pengukuran kadar abu berdasarkan ASTM D-3174-13 adalah
sebagai berikut :
1. Sampel ditimbang sebanyak 1 gr dan diletakkan dalam cawan.
Selanjutnya cawan ditutup lalu di timbang.
2. Tutup cawan dibuka, kemudian cawan dimasukkan ke dalam furnace
secara cepat dan dipanaskan pada temperature 750℃ selama 2 jam.
3. Kemudian temperature diturunkan hingga temperature ruangan.
Cawan dikeluarkan dari furnace dan cawan ditutup, kemudian
didinginkan didalam desikator.
26

4. Setelah dingin, cawan ditimbang untuk mendapatkan berat abu.


5. Persentase kadar abu dihitung menggunakan rumus:

(A−B)
Kadar Abu (%) = [ ] x 100%
A

Dimana,
A = Berat cawan + tutup + abu (gr)
B = Berat cawan + tutup (gr)
C = Berat sampel yang digunakan (gr)

4. Pengukuran Kadar Karbon (Fixed Carbon)


Perhitungan kadar fixed carbon berdasarkan ASTM D-3172-13, fixed
carbon di hitung dari 100% dikurangi dengan kadar air, dikurangi kadar
abu, dan dikurangi volatile matter.

Kadar Karbon (%) = 100 – (kadar air + kadar abu + volatile matter)

3.4.2 Uji Nilai Kalor


Nilai kalor diuji dengan Kalorimeter SDACM3000 mengikuti prosedur
ASTM D-5865-13. Uji nilai kalor bertujuan untuk mengetahui nilai kalor produk
biochar yang dihasilkan. Prosedur pengukuran nilai kalor berdasarkan ASTM D-
5865-13 adalah sebagai berikut :
1. Timbang sampel sebanyak 0,6-1,4 gram.
2. Sampel ditempatkan dalam cawan (crucible).
3. Sampel dimasukkan kedalan bomb berisi oksigen.
4. Tunggu alat mencatat perubahan temperature dan merekam nilai kalor
yang dihasilkan.
5. Catat nilai kalor yang dihasilkan oleh sampel (tertera pada alat).

3.4.3 Analisis BET


Luas permukaan spesifik dianalisis menggunakan analisis Brunauer-
Emmett-Teller (BET). Uji luas permukaan spesifik dilakukan untuk mengetahui
27

luas permukaan spesifik produk arang yang dihasilkan sehingga dapat


dibandingkan dengan referensi.
3.5. Pengolahan Data
Data dipersentasikan secara deskriptif dalam grafik maupun tabel yang telah
dilakukan terhadap pengaruh suhu dan pemberian dosis adsorbent
3.6 Jadwal dan Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan selama tiga bulan di Laboratorium Teknologi
Oleokimia, Fakultas Teknik, Universitas Riau. Linimasa pelaksanaan penelitian
ini dapat dilihat pada Tabel 3.2. berikut.
Tabel 3. 1. Linimasa Pelaksanaan Penelitian
N Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3
Kegiatan
o 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pembuatan proposal
1
penelitian
2 Pengumpulan bahan baku
3 Pretreatment bahan baku
Pembuatan biochar dan
4
aktivasi biochar
5 Analisa hasil
Pembuatan laporan dan
6
publikasi hasil penelitian
8

Anda mungkin juga menyukai