Anda di halaman 1dari 33

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penambangan Bijih Bauksit

2.1.1 Potensi daerah penambangan bauksit

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumber

daya alam yang melimpah, baik itu sumber daya alam hayati maupun sumber daya

alam non-hayati (Dahuri, 2003). Sumber daya mineral merupakan salah satu jenis

sumber daya non-hayati. Sumber daya mineral yang dimiliki oleh Indonesia sangat

beragam baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Endapan bahan galian pada

umumnya tersebar secara tidak merata di dalam kulit bumi. Sumber daya mineral

tersebut antara lain : minyak bumi, emas, batu bara, perak, timah, dan lain-lain.

Sumber daya itu diambil dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

manusia (Mindasari, 2007).

Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam

pembangunan nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesarbesarnya

untuk kepentingan rakyat dengan memperhatikan kelestarian hidup sekitar

(Soemarwoto, 2005). Selain itu Soemarwoto (2005) juga menyatakan salah satu

kegiatan dalam memanfaatkan sumber daya alam adalah kegiatan penambangan

bahan galian. Kegiatan penambangan selain menimbulkan dampak positif juga

dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut

diantaranya perubahan bentang alam, berubahnya estetika lingkungan, habitat flora

dan fauna menjadi rusak, penurunan kualitas tanah, penurunan kualitas air atau

penurunan permukaan air tanah, timbulnya debu dan kebisingan (Ahyani, 2011).
10

Sumber daya mineral yang berupa endapan bahan galian memiliki sifat

khusus dibandingkan dengan sumber daya lain yaitu biasanya disebut wasting

assets atau diusahakan ditambang, maka bahan galian tersebut tidak akan

“tumbuh” atau tidak dapat diperbaharui kembali. Dengan kata lain industri

pertambangan merupakan industri dasar tanpa daur, oleh karena itu di dalam

mengusahakan industri pertambangan akan selalu berhadapan dengan sesuatu

yang serba terbatas, baik lokasi, jenis, jumlah maupun mutu materialnya (Saleng,

2004). Widodo (2005) menambahkan keterbatasan tersebut ditambah lagi dengan

usaha meningkatkan keselamatan kerja serta menjaga kelestarian fungsi

lingkungan hidup. Dengan demikian dalam mengelola sumberdaya mineral

diperlukan penerapan sistem penambangan yang sesuai dan tepat, baik ditinjau

dari segi teknik maupun ekonomis, agar perolehannya dapat optimal.

Bauksit merupakan bahan heterogen yang mempunyai mineral dengan

susunan terutama dari oksida aluminium, yaitu berupa mineral buhmit (Al 2O3.H2O)

dan mineral gibsit (Al2O3.3H2O) (BLH Kepri, 2012). Bijih bauksit terjadi di daerah

tropika dan sub-tropika yang memungkinkan terjadinya proses pelapukan yang

sangat kuat. Bauksit terbentuk dari batuan sedimen yang mempunyai kadar Al nisbi

tinggi, kadar Fe rendah dan kadar kuarsa (SiO 2) bebasnya sedikit atau bahkan

tidak mengandung sama sekali. Batuan tersebut misalnya sienit dan nefelin yang

berasal dari batuan beku, batu lempung, lempung dan serpih (Pusat Penelitian

Geoteknologi LIPI, 2010).

Kandungan bijih bauksit yang terdapat di lokasi penelitian, terdiri dari Al 2O3

rata-rata diatas 50 %, sedangkan kandungan SiO2 rata-rata dibawah 13 % dan

kandungan kandungan FeO3 berada pada nilai diatas 10 % (BLH Kepri, 2012).

Kualitas endapan bijih bauksit dapat dilihat berdasarkan hasil analisis sampel-

sampel tanah dari pemboran dan sumur uji yang dianalisis kandungan unsur kimia
11

dalam bentuk oksida di laboratorium dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari tabel

tersebut terlihat bahwa kandungan terbesar di wilayah pengujian adalah aluminium

(Al2O3), menyusul besi (Fe2O3) dan silika (SiO2).

Tabel 2.1. Kualitas Bauksit Pulau Selayar


Kualitas Rata-rata (%)
Kongresi SiO2 TiO2 Fe2O3 Al2O3
66,41 5,94 1,00 13,58 53,57
63,61 5,85 1,00 13,76 53,02
63,03 5,81 1,00 13,83 53,94
67,52 6,40 1,21 13,35 55,50
67,98 6,35 1,16 13,38 54,93
64,65 6,14 1,18 13,21 56,36
68,97 6,02 1,00 13,44 54,49
65,36 5,99 1,05 13,59 54,17

Sumber : (BLH Kepri, 2012).

2.1.2. Metode penambangan bijih bauksit

Sistem penambangan disesuaikan dengan bentuk dan karakteristik lapisan

bauksit yang menyebar mengikuti morfologi perbukitan serta lapisan penutupnya

yang tipis, maka sistem yang diterapkan pada umumnya adalah sistem tambang

terbuka (surface mining) dengan metoda penambangan (open cash dan/atau atau

open pit) yang dilakukan secara berjenjang (benching). Penggalian dilakukan

bertahap dari elevasi yang paling tinggi ke elevasi yang rendah sampai kedalaman

batas penambangan yang telah ditentukan. Kemajuan penambangan bauksit

selanjutnya akan mengikuti arah penyebaran lapisan bauksit pada setiap open cut

yang akan ditambang (BLH Kepri, 2012).

Aktivitas penambangan dengan sistem tambang terbuka minimal terdiri dari

4 (empat) tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan (development), dimulai sejak

dari pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan tanah penutup (stripping of

overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap penambangan terdiri dari


12

penggalian, pemuatan, pengangkutan, penampungan menuju ke (stockpile),

reduksi ukuran besar butir, pencampuran (mixing) dan pencucian. Tahap

pemasaran : pemuatan dan pengapalan (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI,

2010).

Gambar 2.1. Open Cut dengan Sistem Contour Mining

Ditinjau dari sistem pembuangan over burden, maka sistem yang dipakai

adalah sistem Back Filling di mana over burden dan tailing untuk tahun 1 dibuang

di disposal permanen dan untuk tahun berikutnya di buang di open cut tahun 1

yang telah selesai (mine out) dan selanjutnya dilakukan reklamasi (Pusat Penelitian

Geoteknologi LIPI, 2010).


13

2.1.3. Tahap kegiatan penambangan yang berpotensi mencemari lingkungan


perairan

Aktivitas penambangan dengan sistem tambang terbuka minimal terdiri dari

4 (empat) tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan (development), dimulai sejak

dari pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan tanah penutup (stripping of

overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap penambangan terdiri dari

penggalian, pemuatan, pengangkutan, penampungan menuju ke (stockpile),

reduksi ukuran besar butir, pencampuran (mixing) dan pencucian. Tahap

pemasaran : pemuatan dan pengapalan (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI,

2010).

Aktivitas penambangan bauksit selalu berhubungan dengan sifat material

lepas, pembukaan lahan akan menyebabkan material mudah terbawa aliran air

menuju laut (BLH Kepri, 2010). Ketika terjadi turun hujan, sebagian material lepas

(bijih bouksit) terbawa air hujan mengalir menuju ke laut, sehingga dapat

mengakibatkan air laut menjadi keruh, dengan demikian dapat menimbulkan

terjadinya perubahan kualitas perairan yang berujung pada perubahan ekosistem

perairan dan degradasi lingkungan perairan (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI,

2010).

Masalah lain dalam pertambangan bauksit adalah limbah tambang terbuka

yaitu overburden dan limbah dari proses pengolahan bahan tambang yang disebut

tailing (Ahyani, 2011). Soehoed (2005) menjelaskan, overburden adalah batuan

dari tambang terbuka yang harus disisihkan terlebih dahulu untuk mencapai

cebakan yang kadar logamnya cukup tinggi. Batuan penutup dilepaskan dengan

cara peledakan pada kedalaman tertentu dan umumnya batuan ini tidak

mengandung logam. Sedangkan tailing adalah sisa batuan bijih / mineral yang

sudah diolah dan dibuang sebagai limbah dan berpotensi mencemari lingkungan.
14

2.2. Dampak Penambangan Bauksit terhadap Lingkungan Perairan

Aktivitas penambangan bauksit selalu berhubungan dengan sifat material

lepas, pembukaan lahan akan menyebabkan material mudah terbawa aliran air

menuju laut (BLH Kepri, 2010). Ketika terjadi turun hujan, sebagian material lepas

(bijih bouksit) terbawa air hujan mengalir menuju ke laut, sehingga dapat

mengakibatkan air laut menjadi keruh, dengan demikian dapat menimbulkan

terjadinya perubahan kualitas perairan yang berujung pada perubahan ekosistem

perairan dan degradasi lingkungan perairan (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI,

2010).

Kegiatan penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia, dan biologi

tanah melalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian, serta

tailing. Penambangan rakyat mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti tanah

longsor atau erosi karena hilangnya vegetasi penutup lahan serta terjadinya

pendangkalan dan perubahan kekeruhan perairan yang mempengaruhi kehidupan

organisme di perairan yang ada di sekitar daerah penambangan (As’ad, 2005).

Masalah lain dalam pertambangan bauskit adalah limbah tambang terbuka

yaitu overburden dan limbah dari proses pengolahan bahan tambang yang disebut

tailing (Ahyani , 2011). Soehoed (2005) menjelaskan, overburden adalah batuan

dari tambang terbuka yang harus disisihkan terlebih dahulu untuk mencapai

cebakan yang kadar logamnya cukup tinggi. Batuan penutup dilepaskan dengan

cara peledakan pada kedalaman tertentu dan umumnya batuan ini tidak

mengandung logam. Sedangkan tailing adalah sisa batuan bijih / mineral yang

sudah diolah dan dibuang sebagai limbah.

Menurut Rusli (2005), pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika,

kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan
15

menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, dan proses industri. Pencemaran

perairan pesisir didefinisikan sebagai dampak negatif, pengaruh yang

membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan

ekosistem perairan serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem

perairan (Ahyani, 2011).

Pencemaran adalah proses masuknya polutan ke dalam suatu lingkungan

sehingga menurunkan mutu lingkungan. Menurut Anggoro (2001), pencemaran

pesisir adalah masuknya atau dimasukkanya makhluk hidup, zat, energi, dan atau

komponen lain ke dalam lingkungan pesisir oleh kegiatan manusia sehingga

kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak

sesuai lagi dengan baku mutu dan fungsinya.

Supardi (2003) menyatakan bahwa pencemaran lingkungan sebagai akibat

pengelolaan pertambangan umumnya disebabkan oleh faktor kimia, fisik dan

biologis. Pencemaran lebih banyak terjadi di dalam lingkungan pertambangan

daripada di luar pertambangan. Keadaan tanah, air, dan udara setempat dari

tambang mempunyai pengaruh yang timbal balik dengan lingkungannya.

Dampak kegiatan pertambangan berbeda-beda tergantung jenis kegiatan

tambang yang berlangsung pada suatu stasiun. Dampak pertambangan lebih besar

akibat kegiatan pencucian bauksit, air menjadi keruh dan dasar perairan terdapat

endapan partikel bauksit dan batuan bahan pengotor bauksit. Pencucian bauksit

bertujuan untuk memisahkan bauksit dengan bahan pengotor lain seperti lumpur,

tanah dan batuan lainnya. Perombakan mineral dan bahan organik akan

mencemari perairan (Qomariyah, 2003).

Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan

tambang, vulkanisme dan sebagainya (Clark, 1986). Umumnya logam-logam di


16

alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain, sangat jarang

yang ditemukan dalam elemen tunggal.

Menurut Connell dan Miller (1995), logam berat adalah suatu logam dengan

berat jenis lebih besar. Logam ini memiliki karakter seperti berkilau, lunak atau

dapat ditempa, mempunyai daya hantar panas dan listrik yang tinggi dan bersifat

kimiawi, yaitu sebagai dasar pembentukan reaksi dengan asam. Selain itu logam

berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih besar dari 5 gr/cm 3, mempunyai

nomor atom lebih besar dari 21 dan terdapat di bagian tengah daftar periodik.

Di bumi ini sedikitnya terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia yang telah

teridentifikasi sebagai jenis logam berat (Suryanto, 2002). Berdasarkan sudut

pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama

adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat

dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat

menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini diantaranya Zn, Cu, Fe, Co, dan

Mn. Jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana

keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat

bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, dan Cr (Palar, 2004).

Logam berat biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan

toksisitas (Darmono. 2001). Pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan

lingkungan hidup, biasanya berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya

dalam arti memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi (Suryanto, 2002).

Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui

beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit

Darmono (2001), Di dalam tubuh hewan logam diabsorpsi darah berikatan dengan

protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi

logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal).
17

Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam

berat dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas fisiologis (Connel

dan Miller 1995).

Konsentrasi bahan pencemar yang masuk ke perairan bisa mempengaruhi

kehidupan organisme terutama yang menjadi topik disini adalah spesies ikan

Darmono (2001). Salah satu jenis unsur kimia yang bisa menyebabkan terjadi

kerusakan ekosistem perairan adalah unsur logam berat (Palar, 2004).

Logam Pb secara alami tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak

bumi (Clark, 1986). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan

IV-A dengan nomor atom 82 dan bobot 207,2. Penyebaran Pb di bumi sangat

sedikit yaitu 0,0002 % dari seluruh lapisan bumi. Logam Pb terdapat di perairan

baik secara alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia. Logam ini

masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Di

samping itu, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang

dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke dalam

perairan (Palar, 2004). Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l, dapat membunuh

ikan. Sedangkan krustase setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada

badan air konsentrasi Pb adalah 2,75 - 49 mg/l (Palar, 2004).

Toksisitas unsur Cr terhadap organisme perairan tergantung pada bentuk

kromium, bilangan oksidasinya, dan pH (Hutagalung, 1991). Penurunan pH dan

kenaikan suhu dapat meningkatkan toksisistas Cr6+ terhadap organisme air.

Toksisitas Cr6+ lebih besar daripada toksisitas Cr 3+.


Cr 6+
yang larut di dalam air

sebagian besar diserap oleh ikan melalui insang sehingga akumulasinya paling

banyak didapatkan pada insang daripada organ lainnya. Kadar kromium pada

perairan tawar biasanya kurang dari 0,001 mg/l dan pada perairan laut sekitar

0,00005 mg/l. Kromium trivalen biasanya tidak ditemukan pada perairan tawar;
18

sedangkan pada perairan laut sekitar 50% kromium merupakan kromium trivalen

(McNeely et al., 1979 in Effendi, 2003). Kadar kromium yang diperkirakan

amanbagi kehidupan akuatik adalah sekitar 0,05 mg/l (Moore, 1991 dalam Effendi,

2003). Kadar kromium 0,1 mg/l dianggap berbahaya bagi kehidupan organisme laut

(Effendi, 2003). Kadar maksimum kromium untuk keperluan air baku air minum dan

kegiatan perikanan menurut Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 adalah

sebesar 0,05 mg/l.

Cr jika keberadaannya melebihi ambang batas yang diperbolehkan dapat

membahayakan lingkungan, termasuk manusia. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa adanya akumulasi Chromium dapat menyebabkan kerusakan terhadap

organ respirasi, dan dapat juga menyebabkan timbulnya kanker pada manusia

(Palar, 2004).

Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan

mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Palar, 2004). Dalam

biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan

(biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami

akumulasi Cd yang lebih banyak. Keracunan kadmium bisa menimbulkan rasa

sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut dan menimbulkan

kematian. Salah satu contoh kasus keracunan akibat pencemaran Cd adalah

timbulnya penyakit itai-itai di Jepang (Palar, 2004).

Keberadaan unsur tembaga di alam dapat ditemukan dalam bentuk logam

bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau

sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral seperti CuCO 3+ dan CuOH+ (Palar,

2004). Di perairan alami tembaga (Cu) terdapat dalam bentuk partikulat, koloid dan

terlarut. Fase terlarut merupakan Cu2+ bebas dan ikatan kompleks, baik dengan

ligan inorganik, terutama (CuOH+, Cu2(OH)22+) maupun organik. Ikatan Cu


19

kompleks dengan ligan organik, terutama adalah oleh material humus. Ikatan

kompleks Cu yang terjadi dalam sedimen laut adalah yang paling stabil, sementara

yang terbentuk dalam kolom air laut stabilitasnya paling rendah (Moore dan

Ramamoorthy, 1984 dalam Sanusi, 2006).

Tembaga bersumber dari peristiwa pengikisan (erosi) dari batuan mineral,

debu, dan atau partikulat-partikulat Cu yang ada dalam lapisan udara yang dibawa

turun oleh hujan (Laws, 1993). Secara non alamiah, Cu masuk ke dalam suatu

tatanan lingkungan sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti buangan industri

yang menggunakan Cu dalam proses produksinya, produksi galangan kapal

menggunakan Cu sebagai campuran bahan pengawet, industri pengelolaan kayu,

buangan rumah tangga, dan sebagainya (Palar, 1994).

Tembaga (Cu) termasuk logam berat essensial karena keberadaannya

dalam tubuh sangat sedikit namun diperlukan dalam proses fisiologis organisme.

Walaupun dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit, bila kelebihan dapat

mengganggu kesehatan atau mengakibatkan keracunan (Clark, 1989). Tembaga

dimanfaatkan dalam proses pertmbuhan, metabolisme, dan aktivitas enzim pada

berbagai jenis alga, cyanobakteria, dan organisme perairan lainnya. Namun jika

konsentrasi Cu pada suatu perairan tinggi, maka akan menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan organisme perairan (Laing dan Helm, 1987 in Lestari, 2007).

Pada perairan alami, kadar tembaga biasanya < 0,02 mg/L. Air tanah dapat

mengandung tembaga sekitar 12 mg/L. Pada umumnya jumlah Cu yang terlarut

dalam badan perairan laut adalah 0,002 mg/L sampai 0,005 mg/L (Palar,1994).

Batas konsentrasi dari unsur ini yang mempengaruhi pada air berkisar antara 1 – 5

mg/l merupakan konsentrasi tertinggi. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, Tentang Baku Mutu Air Laut, konsentrasi
20

tembaga yang diperbolehkan untuk biota laut (budidaya perikanan) adalah 0,008

mg/L.

2.3. Daya Dukung Lingkungan untuk Budidaya Laut

Purnomo (1997) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan adalah

suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas perairan, sebagai nilai mutu

lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen

(fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung (carrying

capacity) merupakan areal dimana populasi organisme akuatik akan ditunjang oleh

kawasan atau volume perairan tanpa mengalami penurunan mutu atau deteriorasi).

Prasetyawati (2001) menyatakan daya dukung lahan pesisir ditentukan oleh

mutu dan sumber air (asin dan tawar), arus dan pasang surut (hidro-oceanografi),

topografi, klimatologi daerah pesisir dan hulu. Scone dalam Prasetyawati (2001)

membagi daya dukung lingkungan menjadi dua yaitu daya dukung ekologis

(ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomi (economic carrying

capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme dalam suatu

lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor

kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen

(irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu,

pH,salinitas, CO2 dan parameter kualitas air lainnya.

Hardjowigeno (2001) mengemukakan bahwa daya dukung/kesesuaian lahan

dapat pula dibedakan atas kesesuaian lahan sekarang (present land suitability),

yaitu kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan keadaan lahan pada saat

dilakukan penelitian tanpa memperhitungkan jenis perbaikan lahan yang

diperlukan; dan kesesuaian lahan potensial (potential land suitability), yaitu


21

kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan lahan setelah diadakan

perbaikanperbaikan tertentu yang diperlukan.

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu

lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta

pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga

dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha

pemeliharaan kelestariannya. Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu

penilaian sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya kedalam kategori

berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian

lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno, 2001).

Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas assimilasi

dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam

lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi merupakan ukuran

kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa

menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai

peruntukkannya (UNEP, 1993). Penjelasan tersebut apabila diterapkan sebagai

daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau peraian di

kawasan pesisir dalam menerima limbah organik, termasuk didalamnya adalah

kemampuan mendaur ulang atau mengassimilasi limbah tersebut sehingga tidak

mencemari lingkungan perairan yang berakibat pada terganggunya keseimbangan

ekologis suatu perairan (Widigdo, 2000).

Selain berakibat pada degradasi lingkungan, pencemaran perairan akibat

kegiatan pertambangan juga memberi akibat penurunan perekonomian

pembudidaya. Dampak dari pencemaran laut dan limbah telah mengakibatkan

penurunan hasil budidaya di sejumlah kawasan di Indonesia.


22

Budidaya laut adalah budidaya biota laut yang hidup dalam air laut. Ini

berarti bahwa air laut merupakan medium dimana biota laut tersebut hidup, tumbuh

dan berbiak lebih baik. Air laut merupakan kebutuhan pokok, baik kuantitas maupun

kualitas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas air akan mempengaruhi

pula keberhasilan budidaya (Hartami, 2008).

Menurut Hamzah (2009) salah satu dampak yang dapat dilihat sebagai

akibat dari aktivitas pertambangan adalah meningkatnya kekeruhan perairan

pesisir. Hal ini merupakan konsekuensi logis adanya kegiatan pembukaan lahan

yang sangat masif pada wilayah-wilayah yang menjadi target eksploitasi. Lahan

yang semula bervegetasi, setelah dilakukan eksploitasi menjadi areal yang terbuka

tanpa vegetasi. fisik tanah rusak, sehingga mudah tererosi. Kondisi tanah yang

rusak menghasilkan sedimen yang masuk kedalam perairan sehingga

meningkatkan nilai kekeruhan dan padatan tersuspensi di lingkungan perairan.

Peningkatan kekeruhan ini tentu saja dapat mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan organisme budidaya, dan pada kondisi yang ekstrim hal ini dapat

menyebabkan kematian bagi organisme-organisme budidaya tersebut. Mindasari

(2007) menambahkan, nilai kekeruhan yang tinggi mengganggu tumbuhnya pakan

alami (plankton) karena mengurangi cahaya matahari dan produktivitas perairan.

Selain itu, semakin masifnya sedimentasi di daerah pada perairan pesisir secara

keseluruhan yang dapat menyebabkan pendagkalan, sehingga pemenuhan standar

kedalaman untuk kegiatan budidaya tidak terpenuhi.

Akibat turunnya kualitas lingkungan, tingkat produksi budidaya juga akan

mengalami penurunan. Tingkat pendapatan pembudidaya menjadi berkurang,

sehingga masyarakat yang hidup dan bergantung pada kegiatan tersebut

mengupayakan berbagai strategi untuk dapat bertahan hidup dari besarnya

dampak pencemaran. Hal ini mengakibatkan hilangnya mata pencaharian


23

pembudidaya yang secara langsung akan menurunkan tingkat kesejahteraan

ekonomi masyarakat yang akses terhadap sumberdaya.

2.3.1. Budidaya laut

Perikanan Budidaya adalah usaha manipulasi yang dilakukan oleh manusia

pada suatu perairan sebelum di panen (Rachman,A dan S. Tonnek. 2001).

Perikanan budidaya laut baru dimulai awal tahun 1980-an sehingga tingkat

pemanfaatannya masih sangat rendah. Produksi yang dicapai masih belum

optimal dibandingkan dengan potensi yang ada di perairan laut dan pantai. Di sisi

lain komoditi perikanan budidaya laut memiliki nilai ekonomis tinggi di pasar local

dan ekspor seperti ikan kerapu, baronang, kakap, kerang mutiara dan rumput laut

(Dahuri, 2001).

Perikanan budidaya dapat dilakukan dengan pemanfaatan pengembangan

budidaya melalui kegiatan pembenihan, penyiapan prasarana, pembudidayaan,

pembuatan pakan buatan dan industrinya, pengelolaan kesehatan ikan dan

lingkungan, industri pengolahan dan pemasaran hasil budidaya (Rejeki, 2011).

Kegiatan budidaya laut (marine culture) merupakan salah satu kegiatan

budidaya ikan untuk memanfaatkan potensi kekayaan laut secara produkif. Sejak

mulai diperkenalkannya teknologi budidaya laut melalui model Keramba Jariong

Apung (KJA) pada sekitar tahun 1978 di Indonesia, maka usaha budidaya laut terus

meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi ini didukung oleh pemintaan pasar

komoditi ikan laut di pasar local maupun ekspor. Beberapa jenis ikan ikan laut yang

ekonomis yang dapat dibudidayakan antara lain ikan kerapu, kakap dan baronang

(Sunyoto dan Mustahal, 2000).


24

2.3.2. Kesesuaian kualitas air (lingkungan) untuk budidaya laut

Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan

untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya

dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu (Erlina, 2006). Sementara itu, perairan

ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam

menyelesaikan daur hidupnya (Boyd, 1982). Menurut Ismoyo (1994) kualitas air

adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi suatu perairan yang

dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu, seperti kualitas air

untuk air minum, pertanian dan perikanan, rumah sakit, industri dan lain

sebagainya. Sehingga menjadikan persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai

dengan peruntukannya.

Untuk mendukung semua kegiatan budidaya, maka perairan pantai yang

digunakan sebagai air sumber dan air pemeliharaan harus selalu memenuhi

persyaratan baik parameter fisik, kimia dan biologi (Sastrawijawa. Dkk, 2001).

Salah satu indikator penentu untuk mengetahui kualitas perairan yang memenuhi

persyaratan tersebut adalah nilai produktivitas primer. Menurut (Odum, 1971 dalam

Widowati, 2004) produktivitas primer adalah laju penyimpanan energi radiasi

matahari oleh organisme produsen dalam bentuk bahan organik melalui proses

fotosintesa oleh fitoplankton.

Menurut Wardjan (2005), beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan

dalam pengelolaan kualitas air: 1) Tingkat pemanfaatan dari penggunaan air; 2)

Faktor kualitas alami sebelum dimanfaatkan; 3) Faktor yang menyebabkan kualitas

air bervariasi; 4) Perubahan kualitas air secara alami; 5) Faktor-faktor khusus yang

mempengaruhi kualitas air; 6) Persyaratan kualitas air dalam penggunaan air; 7)

Pengaruh perubahan dan keefektifan kriteria kualitas air; 8) Perkembangan


25

teknologi untuk memperbaiki kualitas air; 9) Kualitas air yang sesuai untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat.

Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang dapat

dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual, penciuman, peraba dan

perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air dapat diketahui secara

visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya perubahan bau pada air

serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air, selanjutnya rasa tawar, asin

dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah (indera perasa). Hasil indikasi dari

panca indera ini hanya dapat dijadikan indikasi awal karena bersifat subyektif, bila

diperlukan untuk menentukan kondisi tertentu, misal kualitas air tersebut telah

menurun atau tidak harus dilakukan analisis pemeriksaan air di laboratorium

dengan metode analisis yang telah ditentukan (Hartami, 2008).

Sedangkan parameter kimia yang didefinisikan sebagai sekumpulan

bahan/zat kimia yang keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air.

Selanjutnya secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi

apakah kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik. Hal ini

dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam

perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003). Secara singkat kriteria

kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung dapat

dilihat pada Tabel 2.2.


26

Tabel . Kriteria Lokasi Budidaya Rumput Laut


No Parameter Kriteria Baik Kriteria Cukup Baik
1 Arus (cm/detik) 20 – 30 30 – 40
2 Salinitas (ppt) 32 -34 28 – 32
3 pH 7 -9 6–9
4 Kecerahan Lebih dari 5 m 3–5m
Sumber : Atmaja et al (1996)

Tabel 2.2. Baku Mutu Kualitas Air Untuk Kegiatan Budidaya Laut

Parameter yang Diukur Kisaran Nilai


Fisika
 Arus 30 – 50 cm/det
 Suhu 28 – 30 Untuk Wilayah Tropis
 Kecerahan ≥5m
 TSS < 25 mg/l
 TDS 1000
 Kedalaman 15 – 25 m
Kimia
 DO  6 mg/l
 BOD 20 mg/l
 COD 50 mg/l
 pH 6,5 – 8,5
 Salinitas 30 – 35 ppt
 Nitrat 0,9 – 3,2 mg/l
 Posfat 0.2 – 0.50 mg/l
Logam Berat
 Timbal 0,2 mg/ l
 Cromium 1,5 mg/ l
 Cadmium 2,0 mg/ l
 Tembaga 0.23-0.8 mg/ l

Sumber : Modifikasi dari DKP (2002); KLH (2004); Gufron dan Kordi
(2005); Wibisono (2005); Romimohtarto (2003); Radiarta et al
(2003)

2.4. Kualitas air

2.4.1. Parameter fisika

2.4.1.1. arus

Penyebaran kualitas air di badan air penerima, baik sungai, waduk dan laut,

sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus dan debit air. Semakin cepat arus dan

semakin besar debit air maka penyebaran kualitas air semakin cepat dan semakin
27

luas (Goldburg, 2001). Arus laut jauh lebih rumit karena adanya gaya Coriolis, yakni

gaya yang diakibatkan oleh perputaran bumi dan adanya pasang surut yang

dipengaruhi oleh gaya tarik bulan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Adanya arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut,

tiupan angin terus menerus diatas permukaan laut dan pasang-surut terutama di

daerah pantai (Widowati, 2004). Pasang surut juga dapat menggantikan air secara

total dan terus menerus sehingga perairan terhindar dari pencemaran (Winanto,

2004).

Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan

(Romimohtarto, 2003). Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan jazad hidup

akibat pengikisan atau teraduknya substrat dasar berlumpur yang berakibat pada

kekeruhan sehingga terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang lain, manfaat dari

arus adalah menyuplai makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan

penghilangan CO2 maupun sisa-sisa produk biota laut Kenyataan yang tidak dapat

ditoleransi terhadap kuat maupun lemahnya arus akan menghambat kegiatan

budidaya laut (Ghufron dan Kordi, 2005).

2.4.1.2. Suhu Air

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal

adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme

dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air,

karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan

menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan

untuk menentukan densitas air.

Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai

habitat organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik mempunyai batas

kisaran maksimum dan minimum (Efendi, 2003). Ikan merupakan hewan


28

poikiloterm, yang mana suhu tubuhnya naik turun sesuai dengan suhu lingkungan,

sebab itu semua proses fisiologis ikan dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu

perairan berpengaruh terhadap respon tingkah laku ikan, proses metabolisme,

reproduksi, ekskresi amonia dan resistensi terhadap penyakit (Wheathon et

al,1994).

Organisme akan hidup baik pada kisaran suhu optimal. Menurut Nybakken

(1992) suhu juga bervariasi secara vertikal, perairan permukaan mempunyai

kisaran yang terbesar, dan perairan yang lebih dalam kisaran suhunya lebih kecil.

Pada estuaria dengan salinitas tertinggi, perbedaan suhu vertikal ini juga

memperlihatkan kenyataan bahwa perairan permukaan didominasi air tawar,

sedangkan perairan yang lebih dalam didominasi atau seluruhnya terdiri dari air

laut.

Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C (Sunaryanto

et al., 2001). Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam

air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan

menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan (Widowati,

2004)

2.4.1.3. Kecerahan

Intensitas cahaya matahari merupakan salah satu faktor utama sebagai

penentu proses fotosintesis, atau disebut sebagai faktor pembatas bagi fitoplankton

(Sastrawijaya, 2000). Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan

kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung

pada beberapa faktor, antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjang gelombang

cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik

dan musim (Akbar 2001).


29

Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan

jasad termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas

perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang sangat

menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber energi dalam

proses fotosintesis (Wibisono, 2005).

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara

visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan

sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut,

partikelpartikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran

sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah,

sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992).

2.4.1.4. Padatan Tersuspensi (TSS)

Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tersuspensi (Ө > 1 μm),

yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0.45 μm. Keberadaan

muatan padatan tersuspensi di perairan dapat berupa pasir, lumpur, tanah liat,

koloid serta bahan-bahan organik seperti plankton dan organisme lain. (Effendi,

2003 ; Satriadi dan Widada (2004). Konsentrasi dan komposisi MPT bervariasi

secara temporal dan spatial tergantung pada faktor-faktor fisik yang mempengaruhi

distribusi MPT, terutama adalah pola sirkulasi air, pengendapan gravitional,

deposisi dan resuspensi sedimen (Widowati 2004). Padatan tersupensi dalam air

umumnya diperlukan untuk penentuan produktivitas dan mengetahui norma air

yang dimaksud dengan jalan mengukur dengan berbagai periode. Suatu kenaikan

mendadak, padatan tersuspensi dapat ditafsir dari erosi tanah akibat hujan

(Sastrawijaya, 2000). Pergerakan air berupa arus pasang akan mampu mengaduk

sedimen yang ada (Satriadi dan Widada, 2004). TSS berasal dari zat organik dan

anorganik. Komponen organik terdiri dari fitoplankton, zooplankton, bakteri dan


30

organisme renik lainnya, sedangkan komponen anorganik terdiri dari detritus dan

partikel-partikel anorganik. Widowati (2004) menyatakan bahwa kekeruhan karena

plankton selama tidak berlebihan tidak akan menganggu organisme. Sedangkan

kekeruhan karena detritus akan mengganggu pernafasan hewan air yang

dipelihara. Perairan dengan muatan padatan tersuspensi yang tinggi akan

menyebabkan penetrasi cahaya matahari terganggu, sehingga aktivitas fotosintesa

jasad nabati perairan menurun dan produktivitas hayati perairan tersebut menjadi

rendah.

Untuk usaha perikanan yang baik, (Pescod, 1973,) menganjurkan agar

kadar muatan padatan tersuspensi di dalam perairan tidak boleh melebihi 1000

mg/L. Sedang (Kangkan, 2006) menganjurkan agar kandungan tersebut lebih kecil

400 mg/L. DKP (2002) menyatakan bahwa muatan padatan tersuspensi bagi

kepentingan perikanan diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 2.3. Kadar Padatan Tersuspensi dan Pengaruh terhadap Perikanan


Nilai (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan
< 25 Tidak berpengaruh
25 - 80 Sedikit berpengaruh
81 - 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan
> 400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan

2.4.1.5. Padatan Terlarut (TDS)

Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak

tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 μm. Padatan ini

terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air,

mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1992). Penyebab utama terjadinya TDS

adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai

contoh air buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan

yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian

(Marganof, 2007).
31

TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena

tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan

mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi

oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat.

Ditambahkan oleh Nybakken (1992), peningkatan kandungan padatan tersuspensi

dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga

kedalaman perairan produktif menjadi turun.

2.4.1.6. Kedalaman

Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam kegiatan baik

terhadap organisme yang membutuhkan kedalaman rendah sampai cukup dalam

(Wibisono, 2005). Beberapa kultivan seperti rumput laut membutuhkan perairan

yang tidak terlalu dalam dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu dan tiram

mutiara. Ikan kerapu sangat tergantung dari pakan buatan (artificial food), maka

untuk menjaga terakumulasinya sisa pakan pada dasar perairan, diharapkan ada

perbedaan jarak antara dasar perairan dengan dasar jarring (Kangkan, 2006).

Akumulasi yang terjadi berupa proses dekomposisi dari sisa pakan menghasilkan

senyawa organik. Kedalaman yang dianjurkan adalah berkisar 5-25 meter (DKP,

2002).

2.4.2. Parameter kimia

2.4.2.1. Dissolved Oxygen/ Oksigen Terlarut (DO)

Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami,

sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen

(Brotowidjoyo et al., 1995). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen

perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar
32

oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air,

pergerakan masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke

badan air (Effendi, 2003). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua

kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan

konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005).

Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh. Kebutuhan akan

oksigen antara tiap spesies tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan

struktur molekul sel darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan partial

oksigen dalam air dan dengan keseluruhan oksigen dalam sel darah (Brown and

Gratzek, 1980). Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil sehingga

tidak menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo et al, 1995). Keberadaan oksigen di

perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan.

Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi

berbagai organisme perairan (Dahuri et al, 2004).

Kelarutan oksigen dalam air digunakan untuk respirasi organisme dan

dekomposisi bahan organik dalam perairan. Kelarutan oksigen diperoleh dari difusi

air dan hasil fotosintesa. Kadar oksigen terlarut yang sesuai bagi organisme

perairan adalah 5 – 8 ppm (Cholik, 1988). Perubahan DO menyebabkan perubahan

kondisi lingkungan sehingga mengubah pengaturan metabolisme tubuh organisme

secara langsung, sehingga DO dimasukkan sebagai faktor langsung (directive

factor) (Gerking, 1978).

Selanjutnya menurut Jeffries and Mills (1996) DO juga dikategorikan

sebagai faktor pembatas yang penting (limiting factor), dimana tanpa ketersediaan

oksigen terlarut dalam air, kehidupan organisme tidak berlangsung. Dari segi

ekosistem, kadar oksigen terlarut akan menentukan kecepatan metabolisme dan

respirasi dari keseluruhan ekosistem.


33

Disamping sebagai penentu tingkat metabolisme ekosistem perairan

tersebut, kadar oksigen sangat penting bagi kelangsungan dan pertumbuhan biota

air. Menurut (Suminto, 1984 ) bagi perairan yang belum tercemar dan produktif;

hasil proses produksi (Photocyntesa (P) akan selalu lebih besar daripada

kebutuhan O2 untuk proses Respirasi (R). Untuk perairan yang mengalami

pencemaran maka nilai R akan menjadi lebih besar daripada P.

Kemampuan bertahan terhadap perubahan oksigen untuk setiap spesies

tidak sama. Beberapa jenis ikan dapat bertahan pada kondisi oksigen yang sangat

ekstrim. Hal ini disebabkan beberapa ikan memiliki pernapasan tambahan yang

mampu mengambil oksigen langsung dari udara (Fujaya, 2004). Kadar oksigen

terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan dalam Effendi (2003)

sebagai berikut :

Tabel 2.4. Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya pada Kelangsungan Hidup Ikan
Kadar Oksigen Terlarut
(mg/l) Pengaruh Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan
<03 Hanya sedikit yang bertahan
Akan menyebabkan kematian pada ikan jika berlangsung
0.3 – 1.0 lama.
Ikan akan hidup pada kisaran ini tetapi pertumbuhannya
1.0 – 5.0 akan lambat, bila berlangsung lama.
Pada kisaran ini, hampir semua organisme akuatik
>5.0 menyukainnya.
Sumber: Effendi (2003).
2.4.2.2. BOD5

BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan

jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah

atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air Marganof (2007). Jika

konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen

terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan

oksigen tinggi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).


34

Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20


0
C selama 5 hari, dan nilai BOD5 yang menunjukkan jumlah oksigen yang

dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut

sebelum dan sesudah inkubasi (Hartami, 2008).

BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran (bahan?) organik pada

suatu perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan nilai BOD5

tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Lee et al.

(1978) dalam (Hartami, 2008). Bahan organik akan distabilkan secara biologi

dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik.

Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di

perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob

yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2.5. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5


Kisaran BOD5 (mg/l) Kriteria Kualitas Perairan
≤ 2,9 Tidak tercemar
3,0 – 5,0 Tercemar ringan
5,1 – 14,9 Tercemar sedang
≥ 15,0 Tercemar berat
Sumber: Lee (1987) dalam Hartami (2008).

2.4.2.3. Chemical Oxygen Demand (COD)

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical

Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang

dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan

oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil

terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD.

Effendi (2003) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat
35

didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2 dan H2O.

Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling baik

dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat didekomposisi

secara biologis maupun yang tidak (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organic

yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang

mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD

dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di

dalam perairan (ALaerst dan Sartika, 1987).

2.4.2.4. pH

pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di

dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H.

Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan

yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk

pH = 7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Derajat keasaman (pH) suatu perairan akan menentukan tingkat

produktivitas potensial. Disamping sebagai penentu tingkat produktivitas perairan

ternyata derajat keasaman perairan tersebut juga berperanan terhadap

kelangsungan hidup ikan (Suminto, 1984) Disamping itu pH juga sangat

berpengaruh terhadap fluktuasi keberadaan dan kelimpahan fitoplankton yang

sangat diperlukan dalam budidaya kultivan air payau.

pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam

dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S (Effendi,

2003). pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan

terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan
36

demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung

garam CaCO3 (Cholik et al., 2005).

Toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak

faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermcam-macam

anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7 – 9) merupakan

perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan bahan organik

dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Cholik

et al., 2005).

Derajat keasaman (pH) suatu perairan akan menentukan tingkat

produktivitas potensial. Disamping sebagai penentu tingkat produktivitas perairan

ternyata derajat keasaman perairan tersebut juga berperanan terhadap

kelangsungan hidup ikan (Suminto, 1984). Disamping itu pH juga sangat

berpengaruh terhadap fluktuasi keberadaan dan kelimpahan fitoplankton yang

sangat diperlukan dalam budidaya kultivan air payau. Bocek ed. (1991)

menyatakan bahwa respon udang terhadap perubahan pH hampir sama dengan

ikan, dimana secara umum pengaruh pH terhadap kultivan budidaya yaitu sebagai

berikut : pH 4 adalah merupakan titik mati keasaman, pH (4 – 6) dan (9 – 11) akan

memperlambat pertumbuhan, pH 11 merupakan titik mati alkalin dan pH (6 – 9)

merupakan pH yang baik untuk pertumbuhan. Sebagai persyaratan umum kualitas

air sumber untuk kegiatan budidaya, pH yang diperlukan adalah berkisar antara 7,0

– 9,0 (DKP, 2004).

2.4.2.5. Salinitas

Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat diperairan. Salinitas

menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi

oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan

organik telah dioksidasi (Effendi, 2003). Salinitas air laut bebas mempunyai kisaran
37

30-36 ppt (Brotowidjoyo et al, 1995). Sedangkan daerah pantai mempunyai variasi

salinitas yang lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada

perairan yang mempunyai perubahan salinitas kecil (Hutabarat dan Evans, 1995).

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa salinitas adalah

berat garam dalam gram per kilogram air laut serta merupakan ukuran keasinan air

laut dengan satuan pro mil (0/00), salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah

bahan terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air laut yang membentuk

garam adalah:

 Unsur utama : Khlorida (Cl), Natrium/ Sodium (Na), Oksida Sulfat (SO4) dan

Magnesium (Mg).
 Gas terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas Oksigen (O2).
 Unsur hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor (P).
 Unsur runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Air Raksa/ Merkuri (Hg).

Menurut Holiday (1967) salinitas mempunyai peranan penting untuk

kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, disamping faktor lingkungan maupun

faktor genetik spesies ikan tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air

sungai (Presetiahadi, 1994). Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula

melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai

kira-kira setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan.

Lapisan dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen,

selanjutnya pada lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas

yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan

bawah (Nontji, 2007).

Salinitas sangat berpengaruh dalam proses osmoregulasi organisme

perairan, salinitas yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dapat mengakibatkan
38

terganggunya tekanan osmotik kultivan (Bocek ed., 1991). Perubahan salinitas

dapat menyebabkan stress bahkan kematian pada udang (Erlina, 2006).

2.4.2.6. Nitrat (N-NO3)

Nitrat adalah sumber nitrogen yang penting bagi fitoplankton baik di

perairan laut maupun di perairan air tawar (Boney, 1983). Nutrien ini digunakan

dalam beberapa proses seperti fotosintesis, sintesa protein dan penyusun gen

serta pertumbuhan organisme (Weaton, 1977). (Bocek ed. 1991 dan Nybakken

1992) menyatakan bahwa nitrogen dan kemungkinan besar merupakan faktor

pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton. Phosphat merupakan salah satu unsur

hara yang potensial dalam pembentukan protein dan metabolisme sel. Kandungan

orthophosphat yang terlarut dalam air dapat menunjukkan kesuburan perairan.

Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat

merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan

dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi

pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh

ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi nitrat berkisar antara

0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).

2.4.2.7. Phosphat (P-PO4)

Phosphat merupakan salah satu unsur hara yang potensial dalam

pembentukan protein dan metabolisme sel. Kandungan orthophosphat yang terlarut

dalam air dapat menunjukkan kesuburan perairan (Erlina, 2006).Kandungan fosfat

yang lebih tinggi dari batas toleransi dapat berakibat terhambatnya pertumbuhan.

Kandungan fosfat 0,1011 μg/l - 0,1615 μg/l merupakan batas yang layak untuk

normalitas kehidupan organisme budidaya (Winanto, 2004).


39

Dalam perairan fosfat berbentuk orthofosfat, organofosfat atau senyawa

organik dalam bentuk protoplasma, dan polifosfat atau senyawa organik terlarut

(Sastrawijaya, 2000). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal dengan orthofosfat dan

merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan dan fitoplankon. Oleh

karena itu, dalam hubungan dengan rantai makanan diperairan ortofosfat terlarut

sangat penting (Boyd, 1981).

Fosfat terlarut biasanya dihasilkan oleh masukan bahan organik melalui

darat atau juga dari pengikisan batuan fosfor oleh aliran air dan dekomposisi

organisme yang sudah mati (Hutagalung dan Rozak, 1997). Seperti variable

oksigen dan salinitas, ortofosphat juga berada dalam nilai-nilai yang alami dalam

suatu perairan atau biolimited element (Brotowidjoyo et al, 1995).

2.4.3. Parameter Biologi

2.4.3.1. Plankton

Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau bergerak

mengikuti arus (Sastrawijaya, 2000), terdiri atas dua tipe yakni fitoplankton dan

zooplankton. Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem di laut,

karena menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut (Nybakken, 1992).

Ditambahkan oleh (Erlina, 2006) plankton adalah organisme renik yang

hidup melayang dalam air dan bergerak mengikuti arus. Plankton menurut jenisnya

terdiri dari plankton nabati (fitoplankton) dan plankton hewani (zooplankton). Dari

13 klas fitoplankton bahari dalam komunitas fitoplankton di laut hanya 4 klas

diantaranya merupakan klas terpenting yaitu Bacillariophyceae, Dinophyceae,

Haptophyceae dan Cryptophyceae. Diatom (Bacillariophyceae) dan Dinoflagellata

(Dinophyceae) merupakan anggota utama fitoplankton dan terdapat di seluruh

perairan laut, baik perairan pantai maupun perairan oseanik.

Menurut Nybakken (1992) daur hidupplankton digolongkan atas :


40

 Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik


 Meroplankton merupakan organisme akuatik yang sebagian dari daur hidupnya

bersifat planktonik.

Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai sinar yang

cukup, sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau

daerah-daerah yang kaya akan nutrien (Hutabarat dan Evans, 1995). Fitoplankton

sebagai pakan alami mempunyai peran ganda, yakni berfungsi sebagai penyangga

kualitas air dan dasar dalam rantai makanan di perairan atau yang disebut

produsen primer (Haumau, 2005).

Fitoplankton adalah organisme renik yang dapat berfotosintesis karena

mengandung klorofil dan berperan sebagai penghasil O2 dan juga sebagai

makanan bagi zooplankton. Dalam jumlah yang tepat fitoplankton berperan penting

dalam produktivitas primer perairan. Effendi (2003) mengatakan bahwa kesuburan

perairan ditentukan oleh kemampuan perairan tersebut untuk menghasilkan bahan

organik dari bahan anorganik. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah

dengan mengukur kelimpahan fitoplankton. Hal tersebut juga penting dilakukan

dalam kegiatan budidaya udang dan ikan.

2.4.3.2. Benthos

Benthos adalah biota yang hidup di atas atau di dalam sedimen dasar

perairan. Pada umumnya hewan benthos digunakan dalam studi lingkungan,

terutama yang berkaitan dengan kajian pencemaran bahan organik (Supriharyono,

2004), dan biasanya yang dianalisis adalah yang berukuran makro (> 1 mm),

sehingga disebut makrozoobenthos. Selain itu tingkat keanekaragaman yang

terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.

bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air (Susanto,

P. 2000).
41

Penggunaan hewan benthos dalam kajian/studi lingkungan biasanya

dikaitkan dengan penggunaannya sebagai bioindikator. Alasan penggunaan

benthos sebagai indikator adalah sifatnya relatif tidak bergerak (non-mobile), tidak

menggunakan metode sulit dalam mengumpulkan dan mudah diidentifikasi sampai

tingkat species meski sudah diawet dalam waktu lama (Supriharyono, 2004).

Penyebaran komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi

perairan (Sumarto, 2005). Sifat fisik perairan seperti kedalaman, kecepatan arus,

warna, kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara lain, kandungan gas

terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi yang berpengaruh

adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah produsen yang

merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan

mempengaruhi kelimpahan bentos (Setyobudiandi, 1997).

Anda mungkin juga menyukai