Anda di halaman 1dari 13

PAPER MANAJEMEN PERPAJAKAN

“REVISI KUP”

Oleh :Ryan Aviantara / 023P16151

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI (PPAK) UNIVERSITAS TRISAKTI

KELAS GROGOL, ANGKATAN 29

2016
A. LATAR BELAKANG

Pemerintah Indonesia sedang melakukan perbaikan berkelanjutan disetiap lini


kelembagaan negaranya, diantara yang paling menarik adalah tentang reformasi total
perpajakan.Reformasi ini tujuan utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengejar
target penerimaan negara dari sektor pajak. Seperti kita tahu, kenaikan target penerimaan pajak
tahun 2015 naik 30%—kenaikan yang normalnya dicapai dalam waktu kurang lebih tiga tahun,
bukan dalam waktu satu tahun—anda bisa bayangkan akselerasi yangsedang pemerintah kita
lakukan? Dengan target yang besar danwaktu yang singkat, perangkat-perangkatperpajakan pun
harus segeradibentuk agar bisa mencapai tujuantersebut.

Upaya merevisi UU Perpajakan inisebenarnya tidak hanya berkaitandengan tujuan jangka


pendek, yaitupencapaian target pajak tahun berjalan saja,tetapi juga untuk mencapai
tujuanjangka panjang, yaitu mencapai tax ratio sebesar 16% di tahun 2019,sebagaimana yang
sudah dicanangkandalam Road Map Direktorat Jenderal(Ditjen) Pajak 2015-2019. “Idealnya
sebagai sebuah negara,tax ratio Indonesia seharusnya sudahmencapai 16%. Hal itu
sebenarnyasudah dicanangkan di tahun 2019, dan untuk ke arah sana, mau tidakmau yang sangat
dibutuhkan adalahrevisi sekaligus penyempurnaan dari RUU KUP yang baru.”1

Milestone dimulai dengan membuat gebrakan melalui program pengampunan pajak (tax
amnesty) yang dituangkan melalui UU no.11 tahun 2016.Program pengampunan pajak ini dibagi
kedalam tiga periode dengan tarif tebusan yang berbeda disetiap periodenya :

1
Kodrat Wibowo, “Arah Perubahan Dalam Rancangan UU KUP”, Majalah Inside Tax Edisi 34 halaman 21,
September 2015.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati2yang baru dilantik pada tahun 2016 juga
menyampaikan bahwa dengan adanya program tax amnesty, maka basis pajak Indonesia semakin
bertambah. Dengan itu, maka akan mempengaruhi rasio perpajakan Indonesia, karena
pemerintah memiliki basis yang cukup besar sehingga tingkat ratenya bisa dilakukan perubahan.
Dengan kata lain, basis pajak mengalami perluasan, dan dana yang masuk ke Indonesia
jumlahnya sangat banyak. Untuk mengantisipasi dana tersebut keluar dari Indonesia kembali
(repatriasi), pemerintahdapat memberikan penawaran-penawaran tarif perpajakan yang menarik.

Ditambah pada tahun 2018 terdapat kewajiban untuk sharing informasi perpajakan dan
perbankan antar otoritas di dunia.Kebijakan keterbukaan informasi perpajakan dan perbankan ini
disebut AEOI “Automatic Exchange OfInformation”, yangmemungkinkan pertukaran data
perbankan serta pajak antarnegara, terutama memperlihatkan semua aset wajib pajak, termasuk
yang disembunyikan di luar negeri. Sehingga diharapkan tidak ada lagi istilah WP nakal yang
mencoba menyembunyikan aset ilegal diluar negeri.

Bila tidak didukung revisi UU perpajakanyang praktis dan relevan, maka dapat dipastikan
seluruh wacana yang tertuang melalui paragraf-paragraf diatas tidak dapat berjalan dengan

2
“Tax Amnesty jadi Pertimbangan dalam Revisi UU KUP”, dari www.kontan.co.id, 2 Oktober 2016.
semestinya. Jadi, jika stakeholdersmenginginkan sistem perpajakan yang baik dan berkeadilan.
Maka, perubahan fundamental yang bisa dilakukan adalah melalui amandemen UU KUP.

Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, revisi Undang-Undang


Ketentuan Umumdan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) ditempatkansebagai salah satu regulasi
yang akan dibahas pemerintahdan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

RUU KUP sudah disiapkan dan sedang disempurnakan, pemerintah juga terus melakukan
kajian untuk pembahasan revisi undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP).Dalam revisi ini, akan dikombinasikan peningkatan rate antara kebutuhan penerimaan
negara dalam bidang perpajakan dengan menciptakan iklim dunia usaha yang kompetitif.

Ekonomist yang juga Menteri Keuangan diperiode sebelumnya yakni Bambang


Brodjonegoro3 mengatakan Revisi UU KUP diharapkan menempatkan wajib pajak dan fiskus
secara equal. Setidaknya bisa menempatkan wajib pajak bukan hanya sebagai obyek tapi juga
subyek. Karena fakta yang terjadi dilapangan, sering didapati perbedaan antara wajib pajak dan
fiskus, sehingga sangat sering terjadi sengketa diantara mereka. Oleh karenanya, dengan adanya
revisi KUP, permasalahan antara WP & Fiskus dapat diakomodir.

B. TENTANG KUP

Sistem perpajakan yang dianut Indonesia adalah self assesment. Yakni, wajib pajak
diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak yang terutang, menyetornya
serta melaporkan penghitungan dan penyetoran tersebut ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak
Kementerian Keuangan. Sedangkan Ditjen Pajak berfungsi melakukan pengawasan atas sistem
self assesment tersebut.

Antara kedua kubu (WP & Fiskus), diperlukan suatu perangkat peraturan yang mampu
menjaga harmonisasi diantara keduanya. Perangkat hukum ini bernama KUP. UU KUP adalah
singkatan dari Undang - Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sampai dengan
tahun 2016 ini UU KUP sudah mengalami 4 kali perubahan:

3
“Revisi UU KUP, DPR harap Wajib Pajak tak lagi Jadi Obyek”, dari www.merdeka.com, 8Juni 2016.
1. UU 6 Tahun 1983
2. UU 16 Tahun 2000
3. UU 38 Tahun 2007
4. UU 16 Tahun 2009

UU KUP mengatur hak dan kewajiban wajib pajak. Bukan hanya itu, UU KUP juga
mengatur mengenai wewenang Ditjen Pajak, termasuk di dalamnya mengatur mengenai sanksi
perpajakan apabila wajib pajak tersebut tidak memenuhi kewajiban perpajakan.
Contoh definisi atau istilah-istilah penting perpajakan yang tertuang dalam KUP :
1. Pajak, adalah Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak, adalah Orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak,yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dasar Hukum : UU KUP 1984, Pasal 1 Angka 1 dan Angka 2.

3. Orang Pribadi, adalah Subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia.
4. Badan,
adalahOrangdan/ataumodalyangmerupakankesatuanbaikyangmelakukanusahamaupunyan
gtidakmelakukanusahayangmeliputi:
• Perseroanterbatas,perseroankomanditer,perseroanlainnya,
• Badanusahamilik Negara atauDaerah,dengannamadandalambentukapapun,
• Firma,kongsi,koperasi,danapensiun,
• Persekutuan,perkumpulan,yayasan,
• Organisasimassa,organisasi social politik,atauorganisasilainnya,
• Lembagadanbentukbadanlainnya,termasukkontrakinvestasikolektifdanBUT.
Dasar Hukum : UU KUP 1984, Pasal 1 Angka 3, dan UU PPH 1984, Penjelasan
Pasal 2 Ayat (1) Huruf A.
5. Pengusaha, adalah
OPatauBadandalambentukapapunyangdalamkegiatanusahaataupekerjaannya:
• Menghasilkanbarang,mengimporbarang,mengeksporbarang,melakukanusahaperdagangan
,
• Memanfaatkanbarangtidakberwujuddariluardaerahpabean,
• Melakukanusahajasa,ataumemanfaatkanjasadariluardaerahpabean.
6. Pengusaha Kena Pajak, adalah
PengusahayangmelakukanpenyerahanBarangKenaPajakdan/ataupenyerahanJasaKenaPaja
kyangdikenaipajakberdasarkanUUPPN1984danperubahannya.
Dasar Hukum : UU KUP 1984, Pasal 1 Angka 4 s.d. 5.

7. NPWP, adalahNomoryang
diberikankepadaWajibPajaksebagaisaranadalamadministrasiperpajakanyang
dipergunakansebagaitandapengenaldiriatauidentitasWajibPajakdalammelaksanakanhakda
nkewajibanperpajakannya.
Dasar Hukum : UU KUP 1984, Pasal 1 Angka 6.
C. KELEMAHAN & REKOMENDASI
UU KUP pada kenyataanya tidak hanya mengatur ketentuan umum perpajakan, tetapi
juga mengatur tata cara perpajakan, seperti pada visualisasi gambar alur dibab sebelumnya. Jika
sudah berbicara tentang tata cara, maka ketentuannya harus lengkap dan detail. Masalah
perincian terkait tata cara inilah yang sering menjadi kelemahan dari UU KUP :
1) Faktanya masih banyak ketentuan yang membingungkan para stakeholder perpajakan,
sehingga pada akhirnya UU KUP justru seakan membenturkan kepatuhan Wajib Pajak
(WP) dan Fiskus, atau dengan kata lain mereka merupakan dua pihak yang mempunyai
perbedaan kepentingan. Hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi atau paling tidak
harus bisa direduksi. Oleh karena itu, UU KUP yang baru nantiharus bisa menempatkan
WP dan fiskus secara seimbang. Walaupun tidak bisadisetarakan mengingat adanya
hierarkidan pajak yang bersifat memaksa,setidaknya UU KUP yang baru harusbisa
menempatkan WP tidak hanyasebagai objek pajak, melainkan sebagaisubjek pajak.4
2) Sering terjadi perbedaan interpretasi antara WP danfiskus dalam menghitung nilai
pajakyang harus dibayar. Tidak heran jikamasih banyak sengketa pajak yangterjadi.
Dengan banyaknya sengketa pajakyang terjadi, apalagi jika keputusannyalebih banyak
memenangkan WP,yang akhirnya terjadi adalah tidaktercapainya efisiensi karena
pemerintahhanya menghabiskan waktu dansumber daya yang ada. Untuk itu, UUKUP
yang baru nanti seharusnya bisa memberikan sedikitnya pengertian yang lebih
diterima dan dipahami oleh kedua belah pihak, baik oleh WPmaupun fiskus itu
sendiri, bahkan disini termasuk aparat kepolisian dankejaksaan yang seringkali terlibat
dalampelaksanaan penagihan pajak.5
3) UU KUP yang baru seharusnya bisamemperkuat paradigma umum bahwapajak itu pada
hakikatnya adalah ranah administrasi, bukan ranah pidana.Kalaupun memang harus
dibawa keranah pidana, pertimbangan dalammemindahkan kasus atau
sengketaadminsitrasi pajak itu jangan sampaiseperti ini, yang kadang-
6
kadangmembingungkan bagi para pihak yangbertugas di penindakan.
4) Masih banyak celah dalam UU KUP yang dapat dimanfaatkan oleh WP untuk
menghindar dari kewajiban pajak. Celah-celah tersebut tidak selalu berkonotasi negatif,
tetapi ada juga yang bersifat positif. Misal, persoalan zakat yangdianggap sebagai celah
yang negatif, artinya orang yang bayar zakat itu dianggap sebagai salah satu
upayamenghindari pajak. Padahal, ketentuan mengenai zakat ini secara implisit dapat
mendorong orang agar lebihmemiliki rasa altruisme, filantropi, atau dermawan kepada
sesama. Oleh karena itu, UU KUP seharusnya tidak memberikan terminologi negatif
bagi hal-hal yang sebetulnya bersifat positif.7
5) Tentang biaya dalam memenuhi kewajiban perpajakan atau sering disebut dengan istilah
cost of compliance, pada dasarnya tidak hanya sekedar berkaitan dengan aturan hukum.
Dalam hal ini, kepatuhan tidak hanya sekedar patuh pada aturan hukum, tetapi juga ada
unsur kesukarelaan di dalamnya (voluntary compliance). Pada dasarnya orang akan patuh
4
Kodrat Wibowo, “Arah Perubahan Dalam Rancangan UU KUP”, Majalah Inside Tax Edisi 34 halaman 21,
September 2015.
5
Kodrat Wibowo, Op.Cit. halaman 22.
6
Ibid.
7
Ibid.
jika cost of compliance itu rendah, begitu pula sebaliknya. Cost of compliance sendiri
harus dibedakan, ada yang bersifat materiil dan nonmateriil. Misal, ada orang yang sudah
patuh bayar pajak, orang itu sudah mengeluarkan biaya kepatuhannya, namun ternyata
masih diperiksa sehingga biaya kepatuhan itu pun bertambah.
Sementara orang lain di sekitarnya masih banyak yang tidak membayar pajak meski
mempunyai penghasilan yang sama atau bahkan lebih tinggi. Tentu, hal itu akan menjadi
orang yang sudah patuh akan merasa diperlakukan tidak adil. Perasaan kesal tersebut
merupakan bagian dari cost of compliance yang tidak bisa dihitung nilainya, namun
menjadi persoalan serius karena bisa mendorong orang yang sudah patuh menjadi
cenderung tidak patuh.
Dalam UU KUP yang baru nanti, perlu adanya suatu regulatory impact assesment
(RIA), di mana setiap ada regulasi baru tentu akan ada dampak yang akan timbul.
Dengan adanya RIA, paling tidak dampak tersebut sudah bisa diukur sejak awal berkaitan
dengan cost and benefit yang akan terjadi. RIA dilakukan agar jangan sampai UU KUP
yang sudah disahkan begitu saja berjalan, disosialisasikan sekedarnya, tanpa adanya
perhitungan yang matang, dikhawatirkan ke depannyajustru akan menimbulkan masalah-
masalah baru sehingga akhirnya dilakukan revisi-revisi kembali.8
D. ANALISA DAMPAK
Selain kelemahan dan rekomendasi pada bab sebelumnya, penulis juga rangkumkan
dampak lain yang mungkin timbul adalah sebagai berikut:

1) Perubahan struktur kelembagaan pada otoritas pajak


Dalam draft RUU yang menjadi inisiatif pemerintah ini, otoritas pajak yang selama ini
berbentuk direktorat jenderal di bawah Kementerian, berubah menjadi lembaga baru yang
langsung di bawah presiden bernama Badan PenerimaanPajak (BPP). Tujuan utamanya
adalah bertanggung jawab terhadap penerimaan negara.
2) Kewenangan baru yang lebih besar
Otoritas bisa mengakses seluruh data yang terkait dengan data perpajakan, termasuk data
perbankan. Selama ini data perbankan memang bersifat rahasia, seperti yang diatur dalam
UU Perbankan.

8
Kodrat Wibowo, Op.Cit. halaman 24.
3) Perubahan tarif perpajakan
PPh badan kita sekarang tarifnya 25%, sementara di negara tetangga tarifnya lebih kecil
sekitar 17% - 18%, nantinya harus diakomodir supaya bisa berdaya saing.
4) Pengenaan sanksi
Pengenaan sanksi dilakukan dengan cara yang lebih mendidik dan berkeadilan. Salah satu
caranya dengan memberikan tarif lebih rendah bagi pembayar pajak yang sukarela
melaporkan. Adapun sanksi administratif yang berlaku saat ini sebesar 1% dari nilai
tagihan.

E. PENUTUP &KESIMPULAN

Selain Tax Ratio16% pada 2019, ada Road Map Dirjen Pajak yang sejatinya lebih hebat
lagi, yaitu mewujudkan kemandirian APBN. Dalam keuangan publik, kemandirian APBN
diartikan bahwa APBN betul-betul tidak lagi bergantung pada utang, baik utang domestik
maupun utang luar negeri. Meskipun diakui bahwa utang luar negeri saat ini semakin sedikit
jumlahnya, tetapi yang perlu ditekankan adalah bagaimana menjadikan pajak sebagai solusi
awal dalam mengatasi permasalahan APBN, sedangkan utang hanya akan menjadi solusi
alternatif atau bahkan solusi terakhir. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus
berupaya keras, salah satunya diawali dengan menyiapkan perangkat undang-undang yang baik.

Pada akhirnya, perubahan-perubahan yang penulis jabarkan diatas diharapkan bisa


meningkatkan kepatuhan dalam perpajakan. Dan yang paling penting adalah semangat yang
akan dibawa dalam RUU KUP yang baru ini, yaitu bagaimana membuat pajak menjadi sumber
utama pembangunan perekonomian dan pembiayaan pembangunan. Dengan semangat ini, UU
KUP yang baru akan melihat pajak tidak hanya sebagai alat pemaksaan negara kepada warga
negaranya, tetapi UU KUP yang baru juga dapat menyempurnakan ketentuan dan aturan yang
mengakomodasi bagaimana kepatuhan pajak itu juga dibangun oleh willingness to pay, bukan
hanya ability to pay.Kepatuhan itu tidak hanya yang bersifat pemaksaan, tapi kepatuhan juga
karena ada unsur kesukarelaan. Kami semua berharap UU KUP yang baru nanti mampu
mengakomodasi keduanya.

Anda mungkin juga menyukai