Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM

1. Definisi
Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu penyakit yang
dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9o−40,0oC). Kejang demam berlangsung
kurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada anak-anak tanpa kecacatan
neurologik. (Muscari, 2005)
Kejang demam juga dapat diartikan sebagai suatu kejang yang terjadi pada
usia antara 3 bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam namun tanpa
adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. (Meadow, 2005)
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang dapat terjadi karena
peningkatan suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi antara usia 6 bulan -
4 tahun, lamanya kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam
setelah timbulnya demam. (Hidayat, 2008)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh sebagai
akibat proses ekstrakranium (pajanan dari suatu penyakit yang dicirikan dengan
demam tinggi dimana suhunya berkisar antara 38,9o − 40,0oC) namun tanpa adanya
tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. Kejang demam ini lebih
sering terjadi pada anak usia 6 bulan – 5 tahun, dengan lama kejang kurang dari 15
menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam
2. Etiologi
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas.
Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan atas, infeksi
saluran kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum dengan pergerakan
klonik selama kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak ada tanda-tanda defisit
neurologis pada saat serangan telah menghilang. Sekitar sepertiga akan mengalami
kejang demam kembali jika terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami
kejang setelah usia 6 tahun. Kejang yang lama, fokal, atau berulang, atau gambaran
EEG yang abnormal 2 minggu setelah kejang, menunjukkan diagnosis epilepsi
(kejang nondemam berulang). (Meadow, 2005)
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang berperan dalam
menyebabkan kejang demam antara lain :
1) Demam itu sendiri
2) Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
3) Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4) Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
5) Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensekalopati toksik sepintas.
6) Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam dibedakan menjadi
intrakranial dan ekstrakranial.
Intrakranial meliputi :
1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
2) Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3) Congenital : disgesenis, kelainan serebri
Ekstrakranial meliputi:
1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan
elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
2) Toksik : intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3) Congenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan kekurangan
piridoksin.
Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu :
1) Riwayat kejang dalam keluarga
2) Usia kurang dari 18 bulan
3) Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang demam,
semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
4) Lamanya demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak mulainya demam dengan
kejang, maka semakin besar risiko kejang demam berulang.
3. Klasifikasi
1. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
a. Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari hal-hal
berikut :
1) Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian tubuh,
biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang, dan dapat menjadi
merata.
2) Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah, dilatasi
pupil.
3) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus – mendengar suara musaik,
merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
4) Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan, penglihatan
panoramik. (Betz, 2009)
b. Kejang Parsial Kompleks
1) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai suatu kejang
parsial sederhana.
2) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir mengecap,
mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)
2. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
a. Kejang Lena
1) Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
2) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang dari 15
detik.
3) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan mempunyai
perhatian penuh.
4) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang pada usia 18
tahun. (Betz, 2009)
b. Kejang Mioklonik
1) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan involunter.
2) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila patologis
melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan tungkai secara sinkron.
3) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
4) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat kesadaran singkat.
(Betz, 2009)
c. Kejang Tonik-klonik (grand mal)
1) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku otot
ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang berakhir kurang dari
satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
2) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
3) Tidak ada respirasi dan sianosis.
4) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas atas dan
bawah.
5) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
d. Kejang Atonik
1) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya kelopak
mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
e. Status Epileptikus
1) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
2) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
3) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
4) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)
4. Manifestasi Klinis
Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu:
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
- Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
- Kejang umum tonik dan atau klonik
- Umumnya berhenti sendiri
- Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Patofisiologi
Pada anak mudah sekali untuk terinfeksi bakteri, virus dan parasit yang
mengakibatkan reaksi inflamasi dan terjadinya proses demam sehingga menjadi
hipotermi maka terjadi demam. Demam akan menimbulkan proses peradangan maka
anak akan mengalami anoreksi maka akan muncul diagnosa ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang yang dapat mengakibatkan resiko cedera.
Kejang dengan frekuensi lebih dari 15 menit akan menyebabkan perubahan suplay
darah ke otak sehinnga terjadi hipoksia kemudian permeabilitas kapiler meningkat
akan mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam
yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh
ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di
luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi
ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut
potensial membran dari neuron.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1) Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2) Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
3) Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ᵒC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang
demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.
6. Pathway

Infeksi bakteri

Virus dan parasit

Reaksi inflamasi

Proses demam

Hipertermi

7.
Proses
Demam Keringat meningkat
peradangan

Mengubah keseimbangan Gangguan pemenuhan cairan


Anoreksi membran sel neuron

Kekurangan
Ketidakseimbanga Melepaskan muatan listrik yang volume cairan
n nutrisi kurang besar
dari kebutuhan
tubuh

Kejang Resiko cedera


Sel neuron otak
rusak

Kurang dari 15 menit Lebih dari 15 menit


Permeabilitas
kapiler meningkat

Tidak menimbulkan
gejala sisa Perubahan suplay
darah ke otak hipoksia
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG
abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi
atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG
tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan
laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil
seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi
pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur
kurang dari 18 bulan.
3. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200
mq/dl)
b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
5. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
6. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.
8. Penaktalaksanaan Medis
a. Terapi farmakologi
Pada saat terjadinya kejang, obat yang paling cepat diberikan untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal sebanyak 20 mg.
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang mempunyai berat badan
lebih dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan dosis 5 mg dapat diberikan
untuk anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3
tahun. Apabila kejangnya belum berhenti, pemberian diapezem rektal dapat
diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Anak seharusnya dibawa ke rumah sakit jika masih lagi berlangsungnya kejang,
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal. Di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kg/ menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis selanjutnya
adalah 4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika kejang belum
berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien harus dirawat di ruang intensif.
Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Seterusnya, terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan. Kedua
parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya untuk mengurangi
kejadian kejang demam. Meskipun mereka tidak mengurangi risiko kejang
demam, antipiretik sering digunakan untuk mengurangi demam dan memperbaiki
kondisi umum pasien. Dalam prakteknya, kita menggunakan metamizole
(dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai empat dosis harian (100 mg/ kg/
hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/ dosis, juga sampai empat dosis harian
(sampai 2,6 g/hari) dan pada anak-anak di atas usia enam bulan, diberikan
ibuprofen sebanyak 5 sampai 10 mg/ kg/ dosis dalam tiga atau empat dosis terbagi
(sampai 40 mg/ kg/ hari pada anak-anak dengan berat kurang dari 30 kg dan 1200
mg) (Siqueira, 2010).
Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang demam
menunjukkan ciri-ciri berikut seperti kejang berlangsung lebih dari 15 menit,
kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian kejang misalnya
hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental dan hidrosefalus, dan
kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat dipertimbangkan jika kejang berulang
dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12
bulan dan kejang demam berlangsung lebih dari 4 kali per tahun. Obat untuk
pengobatan jangka panjang adalah fenobarbital (dosis 3-4 mg/ kgBB/ hari dibagi
1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3 dosis).
Dengan pemberian obat ini, risiko berulangnya kejang dapat diturunkan dan
pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian secara bertahap
selama 1-2 bulan (Saharso et al., 2009).
b. Terapi non-farmakologi
Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et al., 2011
dan Capovilla et al., 2009):
1) Baringkan pasein di tempat yang rata.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.
3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka misalnya
ikat pinggang.
4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.
5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.
6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak.
7) Monitor suhu tubuh.
8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh
yang tinggi.
9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat antikonvulsan
yaitu diazepam secara rektal.
Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al., 2009):
1) Hilangkan obstruksi jalan napas.
2) Siapkan akses vena.
3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah,
SaO2).
4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)
5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg pada
kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan ketika kejang
berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10 menit.
6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.
7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli anestesi, ahli
saraf) untuk pengobatan.
9. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Data Subjektif
- Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.Biodata orang tua perlu
dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
- Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada
penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA,
Morbili dan lain-lain.
- Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang
terjadi untuk pertama kali ? Apakah ada riwayat trauma kepala, radang
selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
- Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami
infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per
vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama
hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan
tindakan ( forcep/vakum ), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain.
Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau
menetek, dan kejang-kejang.
- Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta
umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya
setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat
menimbulkan kejang.
- Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
ü Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan
kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
ü Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan
koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda,
dan lain-lain.
ü Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap
tubuh.
ü Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
- Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang
demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga yang
menderita penyakit syaraf atau lainnya ? Adakah anggota keluarga yang
menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang
dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
- Riwayat social
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji
siapakah yanh mengasuh anak ? Bagaimana hubungan dengan anggota
keluarga dan teman sebayanya ?
2. Pemeriksaan Fisik
 Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk
kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun
besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum
 Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien
dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang,
kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan
rasa sakit pada pasien.
 Muka/ Wajah
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal
bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat.
Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada
gangguan nervus cranial ?
 Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan
ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
 Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi
seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan
dari telinga, berkurangnya pendengaran.
 Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas
? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
 Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan
lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada
caries gigi ?
 Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring,
cairan eksudat ?
 Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah
pembesaran vena jugulans?
 Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale ? Pada
auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
 Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi
tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
 Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana
turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah
pembesaran lien dan hepar ?
 Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
 Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang?
Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
 Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-
tanda infeksi ?
B. Diagnosa Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai