Anda di halaman 1dari 18

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Landasan Teori

II.1.1 Konsentrasi Obat dalam Darah

Darah merupakan cairan tubuh yang paling sering dipakai dalam

penelitian farmakokinetika, karena kebanyakan obat sampai ke

reseptornya melalui darah, dan tidak mudah mendapatkan jaringan

tubuh lain dari organism hidup, khususnya manusia (Cahyati, 1985).

Dalam penetapan kadar obat dalam darah, metode yang digunakan

harus tepat dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu ketelitian yang

cukup tinggi agar diperoleh hasil yang akurat, sehingga nantinya dapat

menghindari kesalahan fatal (Ritschel, 1976).

Ketersediaan hayati menunjukan besarnya kadar zat aktif yang

mencapai peredaran darah dan mengikuti sirkulasi sistemik. Besarnya

kadar zat aktif yang mencapai peredaran darah tidak hanya dipengaruhi

bentuk sediaan dan faktor anatomi fisiologi saluran cerna, tetapi juga

faktor farmasetik (Ansel, 1989). Pemantauan konsentrasi obat dalam

plasma darah memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat secara

individual dan juga untuk mengoptimasi terapi (Shargel dan Yu, 2005).

Sampai saat ini masalah utama pada analisis obat dalam sampel

darah adalah rumitnya prosedur isolasi, mengingat terjadinya ikatan


7

antara molekul obat dengan protein dalam sampel darah, disamping

juga faktor kompleksitas komponen yang terkandung dalam darah yang

bisa ikut berinterferensi dalam analisis serta kecilnya konsentrasi obat

yang dianalisis (Kawira, 1994). Dalam analisi sini, kesalahan hasil tidak

boleh lebih dari 10 %, tergantung pula alat apa yang digunakan dalam

analisis (Ritschel, 1976).

Kurva kadar dalam plasma terhadap waktu dihasilkan dengan

mengukur konsentrasi obat dalam cuplikan plasma yang diambil pada

berbagai jarak waktu setelah pemberian suatu produk obat. Selama obat

mencapai sirkulasi umum (sistemik), konsentrasi obat dalam plasma

akan naik sampai maksimum. Pada umumnya absorpsi suatu obat

terjadi lebih cepat daripada eliminasi. Selama obat diabsorpsi ke dalam

sirkulasi sistemik, obat didistribusikan ke semua jaringan dalam tubuh

dan juga secara serentak dieliminasi (Shargel dan Yu, 2005).

MEC (minimum effective concentration) dan MTC (minimum

toxic concentration) masing-masing menyatakan konsentrasi efektif

minimum dan konsentrasi toksik minimum suatu obat. Dengan

menganggap konsentrasi obat dalam plasma dalam kesetimbangan

dengan obat-obat dalam jaringan, maka MEC mencerminkan

konsentrasi obat yang diperlukan oleh reseptor untuk menghasilkan

efek farmakologik yang diinginkan. Demikian pula, MTC menyatakan

konsentrasi obat yang diperlukan untuk mulai menghasilkan suatu efek

toksik. Waktu mulai kerja sama dengan waktu yang diperlukan obat
8

untuk mencapai MEC. Lama kerja obat adalah selisih waktu antara

waktu mula kerja obat dan waktu yang diperlukan obat turun kembali

ke MEC (Shargel danYu, 2005).

Gambar 2.1 Kurva kadar dalam plasma-waktu yang menunjukan

waktu dan konsentrasi puncak. MEC dan MTC ditunjukkan

pada kurva.

Ahli farmakokinetika dapat juga menggambarkan kurva kadar

dalam plasma terhadap waktu dalam istilah farmakokinetik seperti

kadar puncak dalam plasma dan area di bawah kurva, waktu untuk

mencapai kadar puncak dalam plasma adalah waktu yang diperlukan

untuk mencapai konsentrasi obat maksimum dalam plasma yang secara

kasar sebanding dengan laju absorpsi obat rata-rata. Kadar puncak

dalam plasma atau konsentrasi maksimum obat biasanya dikaitkan

dengan dosis dan tetapan laju absorpsi dan eliminasi obat sedangkan
9

AUC (luasan daerah di bawah kurva) dikaitkan dengan jumlah obat

yang terabsorpsi secara sistemik (Shargel dan Yu, 2005).

II.1.2 Farmakokinetika

Farmakokinetika dalam arti sempit khususnya hanya

mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan

metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi waktu (Tjay

dan Rahardja, 2005). Konsentrasi obat dan metabolitnya akan

memberikan hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik dan

merupakan target dalam pemberian dosis yang rasional (Katzung,

2001).

Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan

kebanyakan prosesnya sangat rumit. Umumnya ini didasari oleh suatu

rangkaian reaksi, yang dibagi dalam tiga fase: fase farmasetik, fase

farmakokinetik dan fase farmakodinamik (Mutschler, 1986).

Farmakokinetik mempelajari kinetika absorpsi obat, distribusi dan

eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme) (Shargel dan Yu, 2005).

II.1.1.1 Absorpsi

Absorpsi merupakan proses perpindahan obat dari

tempat absorpsinya ke dalam sirkulasi sistemik. Proses

perpindahan senyawa obat ini tergantung pada karakteristik

tempat absorpsi, aliran darah di tempat absorpsi, sifat fisika-

kimia obat dan bentuk sediaan (Aslam, dkk., 2003). Absorpsi


10

obat kebanyakan terjadi secara difusi pasif (Mutschler, 1986).

Absorpsi obat yang terjadi secara difusi pasif dipengaruhi oleh

pKa obat, pH tempat absorpsi dan fraksi obat yang tidak

terionkan (Aslam,dkk., 2003).

Selama fase absorpsi dari kurva kadar plasma-waktu

(Gambar 2), laju absorpsi obat lebih besar daripada laju

eliminasi obat.

Gambar 2.2 Kurva kadar dalam plasma-waktu untuk pemberian

obat secara oral dosis tunggal. Fase absorpsi dan eliminasi

ditunjukkan pada kurva.

Pada waktu konsentrasi puncak obat dalam plasma, yang

dapat disamakan dengan waktu absorpsi puncak dalam Gambar

2, laju absoprsi obat sama dengan laju eliminasi obat dan tidak

ada perubahan jumlah obat dalam tubuh. Segera setelah waktu


11

absorpsi obat mencapai puncak, beberapa obat masih berada

pada tempat absorpsi (yakni saluran cerna). Laju eliminasi obat

pada saat ini lebih cepat daripada laju absorpsi obat, seperti

diperlihatkan oleh fase pasca absorpsi dalam Gambar 1 (Shargel

dan Yu, 2005).

Laju dan jumlah absorpsi obat dalam tubuh dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas permukaan dinding

usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran

cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi. Laju absorpsi obat ini

dapat digambarkan secara matematik sebagai suatu proses order

kesatu atau order nol (Shargel dan Yu, 2005).

II.1.1.2 Distribusi

Distribusi didefinisikan sebagai proses perpindahan obat

dari satu tempat ke tempat lain yang terjadi didalam tubuh.

Informasi yang pasti tentang distribusi obat ini memerlukan

pengukuran dalam berbagai jaringan. Obat yang didistribusikan

dari darah dan dari jaringan lainnya memerlukan berbagai

ukuran dan kecepatan. Beberapa faktor yang menentukan

distribusi obat dengan waktu adalah kecepatan pengiriman obat

yang masuk ke dalam jaringan melalui darah, kemampuan untuk

melewati selaput jaringan yang di bungkus dengan darah dan

jaringan, serta penyekatan yang terdapat di dalam lemak

(Rowland & Tozer, 1980).


12

Obat didistribusi khususnya melalui peredaran darah,

yang bersamaan dengan metabolitnya yang telah terlebih dahulu

melalui hati disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh,

melalui kapiler dan cairan ekstra sel (yang mengelilingi

jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya di dalam sel (cairan

intra sel). Sering kali distribusi obat tidak merata akibat

beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan darah-otak,

terikatnya obat pada protein darah dan lemak. Obat yang

mempunyai molekul besar seperti kompleks protein sukar sekali

melintasi membran sel. Sebaliknya, obat bebas yang tak terikat

dan aktif mudah melalui membran (Tjay & Rahardja, 2005).

Obat setelah diabsorpsi akan dialirkan ke seluruh tubuh

melalui sirkulasi darah. Berdasarkan penyebarannya didalam

tubuh distribusi obat dibedakan menjadi dua fase. Distribusi fase

pertama terjadi setelah penyerapan yaitu ke organ yang

perfusinya sangat baik, misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.

Distribusi fase kedua mencakup jauh lebih luas yaitu ke jaringan

yang perfusinya tidak sebaik organ diatas misalnya otot, kulit

dan jaringan lemak. Distribusi ini akan mencapai keseimbangan

setelah waktu yang lebih lama (Syarif, dkk., 1995).

II.1.1.3 Eliminasi

Obat yang berasal dari dalam tubuh mengalami proses

eliminasi, yang melibatkan dua proses yaitu : metabolisme


13

(biotransformasi) dan ekskresi. Beberapa obat yang berasal dari

dalam tubuh tersebut dikeluarkan melalui empedu, sedangkan

zat partikel lainnya yang mudah menguap dikeluarkan melalui

nafas (Rowland & Tozer, 1980). Obat-obat yang dieliminasi

sebagian besar di ekskresi melalui hati dan ginjal (Aslam, dkk.,

2003).

Biotransformasi atau metabolisme adalah proses

perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan

dikatalisis oleh enzim. Pada dasarnya obat merupakan zat asing

tubuh yang tidak diinginkan, karena dapat merusak sel dan

mengganggu fungsi tubuh. Oleh karena itu, tubuh akan berusaha

melawan zat asing ini menjadi metabolit yang tidak aktif lagi

dan lebih bersifat hidrofil agar proses ekskresi yang dilakukan

oleh ginjal lebih mudah (Tjay dan Rahardja, 2005).

Obat yang bersifat inaktif, biotransformasinya akan

sangat berperan dalam mengakhiri kerja suatu obat. Kerja suatu

obat akan berakhir apabila metabolit aktifnya akan mengalami

biotransformasi dan / atau diekskresi lebih lanjut (Syarif, dkk.,

1995).

Reaksi biokimia yang terjadi dalam biotransformasi

dapat dibedakan menjadi reaksi fase I dan fase II. Reaksi fase I

melibatkan oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Reaksi fase I ini

sifatnya mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar,


14

yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif

daripada bentuk aslinya (Syarif, dkk., 1995). Reaksi fase I

terjadi peningkatan kehidrofilan yang dapat dicapai melalui

pemasukan gugus-gugus fungsi baru, pengubahan gugus - gugus

yang ada, maupun melalui reaksi penguraian (Schunack, dkk.,

1990).

Reaksi fase I biasanya mengubah obat asal (parent drug)

menjadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan atau

melepaskan suatu gugusan fungsional (-OH, -NH2, -SH).

Metabolit ini sering bersifat tidak aktif, walaupun pada beberapa

keadaan aktivitas obat hanya berubah saja. Jika metabolit reaksi

fase I cukup polar, maka reaksi dapat diekskresikan dengan

mudah. Namun banyak produk reaksi fase I tidak dieliminasikan

dengan cepat dan mengalami suatu reaksi selanjutnya dimana

suatu substrat endogen seperti asam glukorat, asam sulfur, asam

asetat atau asam amino akan berkombinasi dengan gugusan

fungsional yang baru untuk membentuk suatu konjugat yang

sangat polar. Reaksi konjugasi ini merupakan tanda dari

metabolisme fase II (Katzung, 2001).

Reaksi fase II juga disebut dengan reaksi sintetik, yang

merupakan konjugasi atau metabolit obat dari hasil reaksi fase I

dengan substrat endogen (asam amino). Hasil konjugasi ini

bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih


15

mudah diekskresi serta hasil metabolitnya bersifat tidak efektif

(Syarif, dkk., 1995).. Reaksi konjugasi ini umumnya karena

sebab-sebab energetik, hanya berlangsung bila ada pasangan

yang aktif (Schunack, dkk., 1990). Tidak semua obat yang

dimetabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang

mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja (satu atau

beberapa macam reaksi) (Syarif, dkk., 1995).

Kecepatan biotransformasi suatu obat umumnya

bertambah jika konsentrasi suatu obat meningkat. Hal ini

berlaku dimana konsentrasi obat tersebut meningkat hingga

seluruh molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati

terus-menerus oleh molekul obat dan sampai tercapainya

kecepatan biotranformasi yang konstan. Faktor yang

mempengaruhi kecepatan biotranformasi selain konsentrasi ada

beberapa faktor lain yaitu: (1) Gangguan fungsi hati, yang

metabolismenya dapat berlangsung lebih cepat atau lambat,

sehingga efek obat yang diharapkan menjadi lebih lemah atau

kuat. (2) Usia, terutama pada bayi yang baru lahir semua enzim

hati belum terbentuk lengkap, sehingga reaksi-reaksi

metabolismenya lebih lambat, sedangkan pada orang lanjut usia

mengalami kemunduran pada fungsi ginjal dan filtrasi

glomerolus, sehingga jumlah total air dalam tubuh dan albumin-

serum berkurang, begitu pula enzim hatinya. (3) Faktor genetik,


16

orang yang tidak memiliki faktor genetik maka perombakan

obat akan berjalan lambat/tidak semestinya. (4) Penggunaan

obat lain, yang bersifat induksi enzim dan inhibisi enzim (Tjay

dan Rahardja, 2005).

Biotransformasi obat ini terdapat enzim yang berperan di

dalamnya, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam

retikulum endoplasma dan enzim non mikrosom. Kedua enzim

metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga

terdapat di ginjal, paru, epitel saluran cerna dan plasma (Syarif,

dkk., 1995).

Ekskresi adalah proses pengeluaran obat atau

metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui

air seni. Kebanyakan obat yang dikeluarkan oleh ginjal melalui

air seni dan lazimnya tiap obat di ekskresi berupa metabolitnya

dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh,

misalnya: penisilin, tetrasiklin (Tjay dan Rahardja, 2005). Obat

dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam

bentuk metabolit yang berasal dari hasil biotransformasi atau

dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih

cepat daripada obat yang larut dalam lemak, kecuali pada

ekskresi melalui paru (Syarif, dkk., 1995). Selain melalui air

seni ada beberapa cara lain untuk mengeluarkan obat, yaitu

melalui: kulit bersama keringat, paru-paru melalui pernapasan,


17

empedu obat diresorpsi kembali, liur, air mata, air susu dan

rambut (Tjay dan Rahardja, 2005).

Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya

tergantung pada kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua

faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan

dengan pengertian plasma half-life eliminasi (waktu paruh, t1/2)

yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase

eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan eliminasi obat

dan plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi

dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half life-nya juga

pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami biotrasformasi

atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan

sendirinya t1/2-nya panjang (Waldon, 2008).

II.1.3 Profil Trisulfapirimidin

Tablet trisulfa mengandung campuran sulfadiazin, sulfamerazin

dan sulfadimidin dalam perbandingan yang sama. Karena dosis setiap

obat hanya sepertiga dari dosis biasa dan daya larutnya masing-masing

tidak saling dipengaruhi, maka bahaya kristaluria sangat diperkecil.

Trisulfapirimidine merupakan obat antibiotik yang termasuk dalam

golongan sulfonamide yaitu kelompok zat antibakteri dengan rumus

dasar yang sama H2N-C6H4-SO2NHR dan R adalah bermacam-macam

substituent (Tjay dan Rahardja, 2005). Mekanisme kerja dari obat ini
18

yaitu melalui mekanisme antagonis kompetitif, menggantikan PABA

dalam reaksi pembentukan asam folat bakteri (Katzung, 2001). Obat ini

diabsorbsi sangat cepat di dalam usus, terikat pada protein plasma

antara 20% sampai lebih dari 90%. Winek, et al (2001) melaporkan

sulfadiazine dengan dosis 3 gram mencapai efek terapetik pada kadar

80- 150 µg/ml.

Gambar 2.3 Struktur sulfadiazin

Gambar 2.4 Struktur sulfamerazin

Gambar 2.5 Struktur sulfamezatin


19

Sulfadiazin memiliki kegiatan atas dasar mg yang terkuat dari

semua sulfa. Resorpsinya di usus agak lambat sehingga sebagian obat

dapat mencapai usus besar. Plasma t1/2-nya 10 jam. Daya larutnya di

urin agak buruk. Derivat metil dari sulfadiazin adalah sulfamerazin

dengan khasiat sama, tetapi PP-nya tinggi, rata-rata 70%, dan plasma

t1/2-nya 20 jam. Sedangkan sulfametazin adalah derivat dimetil dari

sulfadiazine dengan kelarutan dalam urin yang lebih baik dan dieksresi

lebih lambat (Tjay dan Rahardja, 2005).

Trisulfa merupakan obat golongan antibiotik sulfonamide.

Farmakokinetika obat golongan ini yaitu dapat diabsorpsi dengan cepat

dari lambung dan usus halus serta didistribusikan secara luas ke

jaringan-jaringan dan cairan tubuh. Berbagai proporsi juga mengalami

asetilasi atau inaktivasi melalui jalur metabolisme lain. Penentuan

kimiawi yang dilakukan dalam serum dapat mengukur sulfonamide

bebas (aktif), sulfonamide yang terasetilasi (inaktif) atau jumlah

keduanya. Agar efektif secara terapeutik setelah pemberian sistemik,

maka sulfonamide harus mencapai konsentrasi 8-12 mg sulfonamide

bebas per desiliter darah. Kadar puncak darah biasanya tercapai 2-6 jam

setelah asupan oral (Katzung, 2001).

Pada umumnya, sulfonamide berupa kristal putih, tidak berbau,

rasa pahit, bersifat asam lemah yang lebih banyak larut dalam basa

daripada pH asam. Dalam suatu campuran obat sulfonamide, tiap

komponen menunjukkan kelarutannya masing-masing. Karena itu,


20

suatu campuran mungkin lebih larut dalam hal kehadiran sulfonamide

total dibandingkan bila digunakan secara tunggal. Hal ini merupakan

alasan untuk penggunaan trisulfapirimidin, suatu preparat yang

memungkinkan dosis 3 kali lebih besar daripada obat tunggal, dapat

dibandingkan berdasarkan kelarutannya dalam urin (Katzung, 2001).

Kecepatan proses asetilasi yang mempengaruhi kadar obat

dalam plasma dan waktu paruhnya, tergantung dari banyaknya enzim

asetiltransferase yang pada masing – masing orang berbeda secara

genetis (Tjay dan Rahardja, 2005). Individu - individu dalam populasi

terbagi menjadi asetilator cepat dan asetilator lambat, di mana ciri

genetik masing -masing di bawah gen dominan (R) dan resesif (r).

Frekuensi asetilator pada masing–masing kelompok etnik sangat

berbeda. Pada ras Mongoloid, sebagian besar tergolong ke dalam

asetilator cepat, sedangkan pada ras Kaukasoid atau Negroid, frekuensi

asetilator cepat sedikit lebih rendah dari pada asetilator lambat (Ellard,

et al., 1976).

Jalur utama metabolisme sulfonamide adalah N-asetilasi pada

gugus amina aromatik (Mande dan Sanders, 1985). N-Asetiltransferase

adalah enzim yang bertanggung jawab, dimana terdapat variasi jumlah

enzim berdasarkan fenotip asetilator (Evans, et al, 1960). Telah

diketahui bahwa hipersensitif terhadap sulfonamide dimediasi oleh

metabolit oksidatif sulfonamid (Shear dan Spielberg, 1986). Metabolit

ini dihasilkan oleh metabolisme gugus amina pada induk sulfanilamide


21

oleh sitokrom P-450. Ini menunjukan bahwa asetilator lambat akan

memiliki lebih banyak induk sulfonamide yang tersedia untuk

metabolisme oksidatif yang secara langsung meningkatkan resiko

hipersensitivitas sulfonamide (Rieder,et al, 1991).

Bratton dan Marshall menjelaskan metode kuantitatif untuk

analisis sulfoimamid dengan mengkopling garam diazonium dengan N-

(1-naphthyl)-etimylenediamine untuk membentuk pewarnaan azo. Sejak

saat itu, metode kerja tersebut digunakan secara intensif untuk

determinasi komponen sulfonamide dalam darah dan urin (Annino, J.,

1961). Metode ini merupakan metode sederhana yang sudah dianggap

sebagai standar penetapan kadar sulfonamide dalam darah (Benedetti,

1987) dan telah diuji selektivitas metodanya (Klimowicz, 1988).

II.1.4 Spektrofotometri UV-Visibel

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi

antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat

kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi

spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, inframerah dan serapan

atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet dan sinar

tampak adalah 200-600 nm (Ditjen POM, 1995).

Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang

cukup untuk terjadinya transisi elektronik. Transisi-transisi elektronik

akan meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau


22

lebih tingkat energi tereksitasi. Jika suatu molekul sederhana dikenakan

radiasi elektromagnetik maka molekul tersebut akan menyerap radiasi

elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi antara molekul dengan

radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi potensial elektron

dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Apabila pada molekul yang

sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus

yang terdapat pada molekul, maka hanya akan terjadi satu absorpsi

yang merupakan pita spektrum. Terjadinya dua atau lebih pita spektrum

diberikan oleh molekul dengan struktur yang lebih kompleks karena

terjadi beberapa transisi sehingga mempunyai lebih dari satu panjang

gelombang (Gandjar dan Rohman, 2007).

Gugus fungsi yang menyerap radiasi di daerah ultraviolet dekat

dan daerah tampak disebut gugus kromofor dan hampir semua gugus ini

mempunyai ikatan tak jenuh. Pada kromofor jenis ini transisi terjadi

dari π→π*, yang menyerap pada panjang gelombang maksimum kecil

dari 200 nm (tidak terkonyugasi), misalnya pada >C=C< dan –C≡C–.

Kromofor ini merupakan tipe transisi dari sistem yang mengandung

elektron π pada orbital molekulnya. Untuk senyawa yang mempunyai

sistem konyugasi, perbedaan energi antara keadaan dasar dan keadaan

tereksitasi menjadi lebih kecil sehingga penyerapan terjadi pada

panjang gelombang yang lebih besar (Dachriyanus, 2004).

Gugus fungsi seperti –OH, -O, -NH2, dan –OCH3 yang

memberikan transisi n → π* disebut gugus auksokrom. Gugus ini


23

adalah gugus yang tidak dapat menyerap radiasi ultraviolet-sinar

tampak, tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor

mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih besar

(pergeseran batokromik) (Gandjar dan Rohman, 2007).

II.2 Hipotesa

II.2.1 Ha. Profil kadar trisulfa suku Dayak Kanayatn berbeda signifikan

dengan profil kadar trisulfa secara umum (literatur).

II.2.2 Ho. Profil kadar trisulfa suku Dayak Kanayatn tidak berbeda

signifikan dengan profil kadar trisulfa secara umum (literatur).

Anda mungkin juga menyukai