Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Proses kelahiran bayi seringkali tidak semudah yang dibayangkan dan

diharapkan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu tidak bisa

menjalani persalinan secara normal (pervaginam), maka operasi Caesar

seringkali menjadi pilihan terakhir. Dengan semakin majunya perkembangan

ilmu kedokteran bidang teknik pembedahan, anestesi dan perinatologi,

teknologi bedah caesar juga mengalami kemajuan pesat. Saat ini frekuensi ibu

yang bisa menjalani operasi caesar meningkat menjadi empat kali semasa

hidupnya, yang sebelumnya hanya bisa maksimal tiga kali (Agreto, 2007).

Saat ini Sectio Caesaria (SC) menjadi tren karena berbagai alasan.

Dalam 20 tahun terakhir, angkanya meningkat pesat. Sectio Caesaria (SC)

adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut

dan dinding uterus. Saat ini pembedahaan Sectio Caesaria (SC) jauh lebih

aman dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika, tranfusi

darah, teknik operasi yang lebih baik, serta teknik anestesi yang lebih

sempurna. Hal ini yang menyebabkan saat ini timbul kecenderungan untuk

melakukan SC tanpa adanya indikasi yang cukup kuat. (Hanifa, 2009).

Semua tindakan bedah atau prosedur operasi (termasuk bedah caesar)

mempunyai resiko integritas atau keutuhan tubuh terganggu bahkan dapat

merupakan ancaman kehidupan pasien. Masalah-masalah lain juga bisa timbul

1
berkaitan, teknik anestesi, posisi pasien, obat-obatan, komponen darah,

kesiapan ruangan untuk pasien, suhu dan kelembaban ruangan, bahaya

peralatan listrik, potensial kontaminasi, dan secara psikososial adalah

kebisingan, rasa diabaikan dan percakapan yang tidak perlu (Smeltzer, 2002).

Perawatan pasien pasca bedah dapat menjadi kompleks akibat

perubahan fisiologis yang mungkin terjadi, diantaranya komplikasi

perdarahan, irama jantung tidak teratur, gangguan pernafasan, sirkulasi,

pengontrolan suhu (hipotermi), serta fungsi-fungsi vital lainnya seperti fungsi

neurologis, integritas kulit dan kondisi luka, fungsi genito-urinaria,

gastrointestinal, keseimbangan cairan dan elektrolit serta rasa nyaman (Potter,

2006).

Terjadinya menggigil bisa sesaat setelah tindakan tindakan anestesi,

dipertengahan jalannya operasi maupun di ruang pemulihan. Penyebab

terjadinya menggigil sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi

kemungkinan penyebab terjadinya menggigil adalah pada tindakan anestesi

spinal terjadi blok pada sistem simpatis sehingga terjadi vasodilatasi yang

mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke perifer, hal ini

menyebabkan hipotermi (Owen, 2005).

Diduga ada tiga penyebab terjadinya hipotermi pada anestesi spinal

yaitu redistribusi panas internal dari kompartemen sentral ke perifer,

hilangnya termoregulasi vasokontriksi dibawah ketinggihan blok serta

2
berubahnya nilai ambang vasokontriksi dan nilai ambang menggigil (Oyston,

2000) .

Himawan Sasongko (2005), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

angka kejadian menggigil selama pemulihan anestesi antara 5% hingga 60%.

Menurut Bhattacharya dkk, menggigil terjadi pada 40 % yang mengalami

pemulihan dari anesthesi umum, 50 % pada pasien dengan suhu inti tubuh

35,5°C dan 90% pada pasien dengan suhu inti tubuh 34,5°C. Sementara

kejadian menggigil pasca analgesia spinal bervariasi. Kelsaka dkk,

mendapatkan sekitar 36%, Roy dkk, mendapatkan sekitar 56,7%, Sementara

Sagir dkk dan Honarmand dkk mendapatkan sekitar 60%. Data yang didapat

dari laporan kegiatan pembedahan di Kamar Operasi Rumah Sakit Aisyiyah

Bojonegoro, rata-rata kasus sectio caesarea per bulan sebanyak 1520 kasus,

dimana 90% dilakukan dengan anastesi regional (SAB) dan sisanya dengan

anastesi general. Dari 20 pasien tersebut, sebanyak 12 pasien (60%)

mengalami kejadian menggigil post operasi. Dari data tersebut menunjukkan

bahwa masih tingginya angka kejadian menggigil post operasi secsio caesarea

di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Aisyiyah Bojonegoro.

Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah menggigil antara lain

adalah menjaga suhu tubuh tetap normal selama tindakan pembedahan.

Pendekatan yang ditempuh dapat berupa nonfarmakologis menggunakan

konduksi panas, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap sistem

regulasi tubuh terhadap menggigil seperti, pemberian cairan infus yang

3
dihangatkan, pemakaian blood warmer, pemakaian matras penghangat,

pemakaian selimut hangat atau dapat juga menggunakan pendekatan

farmakologis dengan obat-obatan. Obat yang sering dipakai untuk mengatasi

menggigil antara lain petidin, klonidin, dan tramadol. Sampai saat ini sudah

banyak penelitian untuk mengatasi menggigil menggunakan farmakologis

dengan obat-obatan. Dengan melakukan pencegahan terhadap menggigil

sebelum hal itu terjadi, diharapkan efek samping yang terjadi lebih minimal

(Oyston, 2000).

Pemberian cairan infus yang dihangatkan dapat diterapkan pada

pasien pre, durante sampai post operasi dengan metode yang mudah, murah

dan aman. Oleh karena itu disini dicoba dilakukan penelitian pemberian cairan

infus hangat untuk pencegahan menggigil. Diluar negeri telah dilakukan

penelitian oleh Parveen Goyal dkk yang bertujuan untuk menurunkan insiden

menggigil dengan menggunakan cairan infus yang dihangatkan pada pasien

SC yang diharapkan dapat mencegah hipotermi dan kejadian menggigil

(Smith, 2005).

1.2.Tujuan

Untuk mengetahui efektivitas pemberian cairan infus hangat terhadap

kejadian menggigil pada pasien post operasi secsio caesarea di Ruang Operasi

RSUD Prof.DR.H.Aloe Saboe.

4
1.3.Manfaat

1.3.1 Manfaat Praktis

Menambah ilmu pengetahuan perawat tentang efektivitas pemberian

cairan infus hangat terhadap kejadian menggigil pada pasien Sectio Caesar.

1.3.2 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam pemberian intervensi

keperawatan.

5
BAB II

METODE DAN TINJAUAN TEORITIS

2.1 Metode Pencarian

Analisis jurnal ini menggunakan 1 (satu) media atau metode pencarian jurnal,
yaitu menggunakan database dari Google scholar sebagai berikut :

Kata Kunci Hasil Pencarian

Cairan Infus Hangat 1.370

Sectio Caesarea 13.900

Hipotermi di Ruang Operasi 374

Menggigil (shivering) 2.300

Warmig Irrigation Fluids 24.700

Jurnal yang dipilih : Efektivitas Pemberian Cairan Infus Hangat Terhadap

Kejadian Menggigil Pada Pasien Sectio Caesar.

2.2 Konsep tentang Tinjauan Teoritis

A. Sectio Caesar

1. Pengertian

Sectio Caesarea merupakan suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka

dinding abdomen dan dinding rahim untuk melahirkan janin (Benson & Pernoll,

2008) dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram

6
dan usia janin > 28 minggu (Syaifuddin, 2009) yang dilakukan dengan cara

melakukan suatu irisan pembedahan yang akan menembus dinding abdomen

pasien (laparotomy) dan uterus (histerektomi) dengan tujuan untuk mengeluarkan

satu bayi atau lebih (Dewi, 2007).

Tindakan operasi Sectio Caesarea dilakukan untuk mencegah kematian janin dan

ibu karena adanya suatu komplikasi yang akan terjadi kemudian bila

persalinan dilakukan secara pervaginam.

2. Indikasi

Terdapat beberapa indikasi seorang ibu harus menjalani persalinan dengan

metode pembedahan Sectio Caesarea (Cunningham, et al., 2006) sebagai berikut:

a. Disproporsi Kepala Panggul

Keadaan dimana ibu memiliki panggul sempit, sehingga bayi dengan ukuran

yang tidak proporsional dengan ukuran panggul ibunya mengalami kesulitan

untuk melewati jalan lahir atau persalinan pervaginam.

b. Kasus Gawat Janin

Keadaan dimana terjadi suatu kondisi gawat janin, yaitu pada kondisi

terinfeksi, Ketuban Pecah Dini (KPD) yang merupakan kejadian bayi yang

terendam air ketuban sehingga bayi menderita demam tinggi karena ibu

mengalami eklampsia (keracunan kehamilan).

c. Plasenta Previa

Keadaan dimana plasenta terletak dibawah sehingga menutupi jalan lahir atau

liang rahim sehingga bayi tidak dapat keluar melalui persalinan pervaginam.

7
d. Letak Lintang

Keadaan dimana posisi janin dalam kandungan yang letaknya melintang,

sehingga tidak dimungkinkan jika bayi dilahirkan pervaginam.

e. Incoordinate Uterine Action

Keadaan dimana adanya suatu kontraksi rahim yang tidak adekuat dan tidak

mampu terkoordinasi sehingga tidak mampu mendorong bayi untuk keluar

dari rahim.

f. Preeklampsia

Keadaan dimana muncul gejala seperti tekanan darah tinggi, penglihatan

kabur, protein dalam urin (proteinuria) atau muncul gejala yang lebih berat

seperti eklampsia yang terjadi pada ibu selama kehamilan berlangsung.

3. Jenis-jenis

Menurut Wiknjosastro (2007), Sectio Caesarea dapat diklasifikasikan menjadi 3

jenis, yaitu:

a. Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda

Merupakan jenis pembedahan yang paling banyak dilakukan dengan cara

menginsisi di segmen bagian bawah uterus. Beberapa keuntungan

menggunakan jenis pembedahan ini, yaitu perdarahan luka insisi yang tidak

banyak, bahaya peritonitis yang tidak besar, parut pada uterus umumnya kuat

sehingga bahaya rupture uteri dikemudian hari tidak besar karena dalam masa

nifas ibu pada segmen bagian bawah uterus tidak banyak mengalami

kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.

8
b. Sectio Caesarea Klasik atau Sectio Caesarea Corporal

Merupakan tindakan pembedahan dengan pembuatan insisi pada bagian

tengah dari korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas

batas plika vesio uterine. Tujuan insisi ini dibuat hanya jika ada halangan

untuk melakukan proses Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda, misal

karena uterus melekat dengan kuat pada dinding perut karena riwayat

persalinan Sectio Caesarea sebelumnya, insisi di segmen bawah uterus

mengandung bahaya dari perdarahan banyak yang berhubungan dengan

letaknya plasenta pada kondisi plasenta previa. Kerugian dari jenis

pembedahan ini adalah lebih besarnya risiko peritonitis dan 4 kali lebih

bahaya rupture uteri pada kehamilan selanjutnya. Setelah dilakukan tindakan

Sectio Caesarea klasik sebaiknya dilakukan sterilisasi atau histerektomi untuk

menghindari risiko yang ada.

c. Sectio Caesarea Ekstraperitoneal

Insisi pada dinding dan fasia abdomen dan musculus rectus dipisahkan secara

tumpul. Vesika urinaria diretraksi ke bawah sedangkan lipatan peritoneum

dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah uterus. Jenis

pembedahan ini dilakukan untuk mengurangi bahaya dari infeksi puerperal,

namun dengan adanya kemajuan pengobatan terhadap infeksi, pembedahan

Sectio Caesarea ini tidak banyak lagi dilakukan karena sulit dalam

melakukan pembedahannya.

9
4. Kontra indikasi

Dalam praktik obstetric modern sebenarnya tidak ada kontraindikasi untuk

persalinan Sectio Caesarea. Namun tindakan persalinan Sectio Caesarea jarang

diperlukan jika janin sudah mati atau terlalu premature untuk bisa hidup dan

ketika mekanisme pembekuan darah ibu mengalami gangguan serius, yaitu

dilakukan persalinan dengan insisi yang seminimal mungkin dengan melakukan

tindakan persalinan pervaginam yang lebih disukai untuk sebagian besar

keadaan. Karena pada saat ibu melakukan persalinan Sectio Caesarea, ibu

kehilangan sejumlah 500 ml darah bahkan lebih (Cunningham, et al., 2006).

B. Hipotermia

1. Pengertian

Pengaturan suhu tubuh hampir seluruhnya dilakukan oleh mekanisme umpan

balik saraf, dan hampir semua mekanisme ini bekerja melalui pusat pengaturan

suhu yang terletak pada hipotalamus. Mekanisme umpan balik ini akan bekerja

membutuhkan detector suhu, untuk menentukan bila suhu tubuh terlalu panas

atau dingin. Panas akan terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil

sampingan metabolisme dan panas tubuh juga secara terus menerus dibuang ke

lingkungan sekitar (Guyton, 2007).

Hipotermi juga terjadi karena kombinasi dari tindakan anestesi dan tindakan

operasi yang dapat menyebabkan gangguan fungsi dari pengaturan suhu tubuh

yang akan menyebabkan penurunan suhu inti tubuh (care temperature) (Yulianto

& Budiono, 2011).

10
2. Batasan Suhu

Menurut Tamsuri (2007), batasan suhu normal adalah sebagai berikut:

a) Bayi: 37,5oC

b) Anak: 36,7-37oC

c) Dewasa: 36,4oC

3. Klasifikasi

Menurut O’Connel et al. (2011), hipotermi dapat diklasifikasikan menjadi 3,

yaitu:

a) Ringan

Suhu antara 32-35°C, kebanyakan orang bila berada pada suhu ini akan

menggigil secara hebat, terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu lebih turun

lagi, pasien mungkin akan mengalami amnesia dan disartria. Peningkatan

kecepatan nafas juga mungkin terjadi.

b) Sedang

Suhu antara 28–32°C, terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem saraf

secara besar yang mengakibatkan terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan

penurunan aliran darah ke ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun, kesadaran

pasien bisa menjadi stupor, tubuh kehilangan kemampuannya untuk menjaga

suhu tubuh, dan adanya risiko timbul aritmia.

11
c) Berat

Suhu <28°C, pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan penurunan

kontraksi miokardium, pasien juga rentan untuk menjadi koma, nadi sulit

ditemukan, tidak ada refleks, apnea, dan oliguria.

4. Faktor Yang Berhubungan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi di kamar operasi adalah:

a) Suhu kamar operasi

Paparan suhu ruangan operasi yang rendah juga dapat mengakibatkan pasien

menjadi hipotermi, hal ini terjadi akibat dari perambatan antara suhu permukaan

kulit dan suhu lingkungan. Suhu kamar operasi selalu dipertahankan dingin (20–

240C) untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri.

b) Luasnya luka operasi

Kejadian hipotermi dapat dipengaruhi dari luas pembedahan atau jenis

pembedahan besar yang membuka rongga tubuh, misal pada operasi ortopedi,

rongga toraks atau. Operasi abdomen dikenal sebagai penyebab hipotermi karena

berhubungan dengan operasi yang berlangsung lama, insisi yang luas, dan sering

membutuhkan cairan guna membersihkan ruang peritoneum.

c) Cairan

Faktor cairan yang diberikan merupakan salah satu hal yang berhubungan

dengan terjadinya hipotermi. Pemberian cairan infus dan irigasi yang dingin

(sesuai suhu ruangan) diyakini dapatmenambah penurunan temperatur tubuh

(Madjid, 2014).

12
Cairan intravena yang dingin tersebut akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan

mempengaruhi suhu inti tubuh (core temperature) sehingga semakin banyak

cairan dingin yang masuk pasien akan mengalami hipotermi (Butwick et al,

2007).

d) Obat anestesi

Pada akhir anestesi dengan thiopental, halotan, atau enfluran kadang-kadang

menimbulkan hipotermi sampai menggigil. Hal itu disebabkan karena efek obat

anestesi yang menyebabkan gangguan termoregulasi (Aribowo, 2012).

e) Lama operasi

Lama tindakan pembedahan dan anestesi bepotensi memiliki pengaruh besar

khususnya obat anestesi dengan konsentrasi yang lebih tinggi dalam darah dan

jaringan (khususnya lemak), kelarutan, durasi anestesi yang lebih lama, sehingga

agen-agen ini harus berusaha mencapai keseimbangan dengan jaringan tersebut

(Chintamani, 2008).

Induksi anestesi mengakibatkan vasodilatasi yang menyebabkan proses

kehilangan panas tubuh terjadi secara terus menerus. Panas padahal diproduksi

secara terus menerus oleh tubuh sebagai hasil dari metabolisme. Proses produksi

serta pengeluaran panas diatur oleh tubuh guna mempertahankan suhu inti tubuh

dalam rentang 36-37,5oC (Putzu, 2007).

Durasi pembedahan yang lama, secara spontan menyebabkan tindakan anestesi

semakin lama pula. Hal ini akan menimbulkan efek akumulasi obat dan agen

anestesi di dalam tubuh semakin banyak sebagai hasil pemanjanan penggunaan

13
obat atau agen anestesi di dalam tubuh. Selain itu, pembedahan dengan durasi

yang lama akan menambah waktu terpaparnya tubuh dengan suhu dingin

(Depkes RI, 2009).

f) Jenis operasi

Jenis operasi besar yang membuka rongga tubuh, misal pada operasi rongga

toraks, atau abdomen, akan sangat berpengaruh pada angka kejadian hipotermi.

Operasi abdomen dikenal sebagai penyebab hipotermi karena berhubungan

dengan operasi yang berlangsung lama, insisi yang luas dan sering membutuhkan

cairan guna membersihkan ruang peritoneum. Keadaan ini mengakibatkan

kehilangan panas yang terjadi ketika permukaan tubuh pasien yang basah serta

lembab, seperti perut

yang terbuka dan juga luasnya paparan permukaan kulit (Buggy

& Crossley, 2000).

5. Mekanisme

Menurut Lissauer (2009), penurunan suhu tubuh manusia selama general anestesi

mengikuti suatu pola tertentu, yaitu terbagi menjadi 3 fase.

a) Fase Redistribusi

Induksi general anestesi akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Hal ini

terjadi melalui dua mekanisme, yaitu obat anestesi secara langsung menyebabkan

terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan general anestesi menurunkan nilai

ambang vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral.

14
Vasodilatasi ini akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian sentral suhu inti

mengalir ke bagian perifer. Redistribusi panas

tubuh ini akan menyebabkan peningkatan suhu perifer tetapi menyebabkan

penurunan suhu inti. Penurunan suhu inti pada fase ini terjadi dengan cepat. Suhu

inti turun 1-1,5ºC selama jam pertama.

b) Fase Linear

Setelah fase redistribusi, suhu inti akan turun dengan lambat selama 2-4 jam

berikutnya. Penurunan ini sekitar 0,5ºC setiap jamnya. Hal ini terjadi karena

panas tubuh yang hilang lebih besar daripada panas yangdiproduksi.

Metabolisme tubuh menurun sebesar 15-40% selama general anestesi.

c) Fase Plateau

Setelah penderita teranestesi dan melewati fase linear, suhu tubuh akan

mencapai keseimbangan. Pada fase ini, produksi panas seimbang dengan panas

yang hilang. Fase ini terbagi menjadi dua, yaitu fase pasif dan aktif.

1) Fase plateau pasif terjadi jika produksi panas seimbang dengan panas yang

hilang tanpa disertai aktivitas dari termoregulasi, yaitu tanpa disertai terjadinya

vasokonstriksi. Tapi kombinasi dari penurunan produksi panas karena

anestesi dan faktor-faktor operasi yang lain menyebabkan fase ini jarang terjadi.

Fase ini lebih sering terjadi pada operasi-operasi kecil pada penderita yang

terselimuti atau terbungkus oleh insulator yang baik.

2) Fase palteau aktif terjadi saat suhu tubuh telah mencapai keseimbangan

dengan terjadinya mekanisme vasokonstriksi. Pada saat suhu inti mencapai 33-

15
35ºC akan memicu sistem termoregulasi untuk vasokonstriksi untuk mengurangi

panas tubuh yang hilang dengan membatasi aliran panas dari jaringan inti ke

jaringan perifer.

6. Penatalaksanaan

Tujuan intervensi adalah untuk meminimalkan atau membalik proses fisiologis.

Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat, dan nutrisi yang

sesuai. Menurut Setiati et al. (2008), terdapat 3 macam teknik penghangatan yang

digunakan, yaitu:

a) Penghangatan eksternal pasif

Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkirkan baju basah kemudian tutupi

tubuh pasien dengan selimut atau insulasi lain.

b) Penghangatan eksternal aktif

Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak berespon dengan penghangatan

eksternal pasif (selimut penghangat,

mandi air hangat atau lempengan pemanas), dapat diberikan cairan infus hangat

IV (suhu 39o – 40oC) untuk menghangatkan pasien dan oksigen.

c) Penghangatan internal aktif.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain irigasi ruang pleura atau

peritoneum, hemodialisis dan operasi bypass kardiopulmonal. Dapat pula

dilakukan bilas kandung kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas lambung

dengan cairan NaCl 0,9% hangat (suhu 40o – 45oC) atau dengan menggunakan

tabung penghangat esophagus.

16
C. Infus Hangat

Terjadinya menggigil bisa sesaat setelah tindakan tindakan anestesi,

dipertengahan jalannya operasi maupun di ruang pemulihan. Penyebab

terjadinya menggigil sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi

kemungkinan penyebab terjadinya menggigil adalah pada tindakan anestesi

spinal terjadi blok pada sistem simpatis sehingga terjadi vasodilatasi yang

mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke perifer, hal

ini menyebabkan hipotermi (Owen, 2005).

Menurut Oyston (2000) bahwa cara yang dapat dilakukan untuk

mencegah atau mengatasi menggigil saat anestesi antara lain adalah menjaga

suhu tubuh tetap normal selama tindakan pembedahan. Pendekatan yang

ditempuh dapat berupa non farmakologis menggunakan konduksi panas,

sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap sistem regulasi tubuh

terhadap menggigil seperti pemberian cairan infus yang dihangatkan.

Menurut Smith (2005) bahwa pemberian cairan infus yang dihangatkan dapat

diberikan pada pasien yang dioperasi pada periode pre, durante sampai post

operasi dengan metode yang mudah, murah dan aman. Pemberian cairan

infus yang dihangatkan dapat mempertahankan temperatur inti tubuh,

mencegah hipotermi dan kejadian menggigil.

17
Hipotermi pasca bedah tersebut ternyata dapat diatasi secara efektif dan

meyakinkan sejak 10 menit pasca pembedahan, dengan mengatur cairan intravena

pada suhu 37oC melalui suatu alat penghangat cairan intravena (Butwick et al. 2007;

Hasankhani et al. 2007). Dengan penggunaan alat ini pasien yang menjalani

pembedahan, khususnya bedah caesar menerima suplai cairan yang sudah sesuai

dengan suhu inti (core temperature) dan mengalir ke seluruh tubuh sehingga efektif

dalam mengurangi atau meminimalisir gejala hipotermia pada pasien pasca operasi.

Rumah sakit di Indonesia pada umumnya menggunakan cara manual untuk

menghangatkan infus atau darah dari tempat penyimpanan. Cara yang lazim

digunakan ketika menghangatkan darah yang akan di tranfusi adalah dengan

merendam kantung darah di dalam cawan berisi air hangat. Cara ini sangat beresiko

terjadinya kontaminasi darah dan belum tentu suhu darah/infus yang akan di tranfusi

sama dengan suhu pasien. Namun seiring dengan berjalannya waktu saat ini sudah

tersedia alat penghangat cairan yang lebih canggih (blood/fluid warmer).

18
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Author Judul Metode Hasil Source

Nayoko, 2016 Perbandingan True Ada Google


Efektifitas Experiment, perbedaan schoolar
Pemberian pre test post antara
Cairan Infus test design kejadian
Hangat with a control menggigil
Terhadap group pada pasien
Kejadian SC yang
Menggigil Pada telah
Pasien Sectio diberikan
Caesaria Di cairan infus
Kamar Operasi suhu ruangan
RSUD dengan yang
dr.M.Soewandhi diberikan
cairan infus
hangat.

Faridah, 2014 Pengaruh Experimental Pemberian Google


Pemberian (post test cairan infus
schoolar
Cairan Infus only hangat efektif
Dengan NaCl controlled dibanding
Hangat group desain cairan infus
Terhadap suhu ruangan

19
Kejadian terhadap
Menggigil Pada kejadian
Pasien Sectio menggigil
Caesaerea pada pasien
Kamar Operasi SC teknik
RS. Aisyah spinal
Bojonegoro anestesi di
Kamar
Operasi RS
Aisyiyah
Bojonegoro

Miarsih, 2013 Efektivitas Quasi Pemberian Google


Pemberian elemen
Exsperiment schoolar
Elemen penghangat
Research.
Penghangat cairan
Cairan Intravena intravena
Dalam sangat efektif
Menurukan dalam
Gejala menurunkan
Hipotermi Pasca gejala
Bedah hipotermi
pasca bedah
Sectio
Caesar.

Parveen, 2011 Efficacy of True Pemberian Google


intravenous Experiment,
cairan infus schoolar
fluid warming pre test post

20
for maintenance test design hangat
of core with a control
dibanding
temperature group
cairan infus
during lower
segment suhu ruangan
cesarean section
tiak
under spinal
signifikan
anesthesi

3.2 Pembahasan

a. Nayoko, 2016. Desain dalam penelitian ini adalah True Experiment, dengan

rancangan pretes-postes dengan kelompok kontrol (pretest-postest with

control group), yaitu subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan

randomisasi, artinya pengelompokan anggota-anggota kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen dilakukan berdasarkan acak atau random, kemudian

dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok A tanpa perlakuan (pemberian

cairan garam fisiologis yang tidak dihangatkan atau mengikuti suhu ruang

kamar operasi yaitu : 24°C - 26°C) dan kelompok B yang akan diberikan

perlakuan (pemberian cairan garam fisiologis yang telah dihangatkan dengan

fluid warmer, suhu 37,7°C - 40°C). Kemudian dilakukan pretes (01) pada

kedua kelompok tersebut dan diikuti intervensi (x) pada kelompok B

(kelompok eksperimen). Setelah beberapa waktu dilakukan postes (02) pada

kedua kelompok tersebut. Dengan randomisasi (R), maka kedua kelompok

21
tersebut dapat disebut sebagai pengaruh dari intervensi atau perlakuan.

Didapatkan diberikan cairan infus suhu ruangan kamar operasi sebagian besar

mengalami menggigil, dari jumlah responden yang menggigil sebagian besar

menggigil derajat 3.

b. Faridah, 2014. Penelitian ini menggunakan quasi eksperimen research yaitu

penelitian yang mengungkapkan sebab akibat dengan cara melibatkan

kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental yang dipilih dengan

tidak menggunakan tehnik acak (Nursalam, 2003). Rancangan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah postest only control group design.

Menurut Notoatmodjo (2005), yang dimaksud dengan postest only control

group design adalah eksperimen sesungguhnya tetapi tidak dilakukan pre test

karena kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sudah dirandomisasi

sehingga kelompok tersebut dianggap sama yaitu mengukur pengaruh

perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen dibanding kelompok

kontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian

elemen penghangat cairan intravena dalam menurunkan gejala hipotermi

pasca bedah Sectio Caesar. Hasil penelitian seperti tertera pada tabel 1

menunjukkan bahwa pada saat sebelum menggunakan selimut hingga 30

menit pasca perlakuan (pemakaian selimut) semua responden (100%)

mengalami gejala hipotermi. Pada 60 menit pasca intervensi hampir seluruh

responden (92,3%) tetap mengalami hipotermia, dan hanya 7,7% responden

yang suhu tubuhnya menjadi normal. Hasil penelitian seperti tertera pada tabel

22
2 menunjukkan bahwa pada saat sebelum perlakuan (penggunaan selimut dan

elemen penghangat intravena) hingga 30 menit pasca perlakuan semua

responden (100%) mengalami gejala hipotermi, namun pada 60 menit pasca

intervensi seluruh responden (100%) suhu tubuhnya menjadi normal.

Berdasarkan hasil penelitian tentang efektifitas pemberian elemen penghangat

cairan intravena dalam menurunkan gejala hipotermi pasca bedah Sectio

Caesar di RS Wava Husada Kepanjen, dapat ditarik kesimpulan bahwa

pemberian elemen penghangat cairan intravena sangat efektif dalam

menurunkan gejala hipotermi pasca bedah Sectio Caesar.

c. Miarsih, 2013. Desain penelitian ini menggunakan experimental (post test

only controlled group desain). Besar sampel dalam penelitian ini adalah 42

pasien SC yang terbagi dalam dua kelompok yaitu 21 pasien kelompok

perlakuan yang diberikan cairan infus dengan NaCl hangat dan 21 pasien

kelompok kontrol yang diberikan cairan infus dengan NaCl suhu kamar.

Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan uji Uji MannWhitney (U-

Test). Didapatkan hasil bahwa responden yang diberikan cairan infus suhu

ruangan kamar operasi sebagian besar mengalami menggigil, dari jumlah

responden yang menggigil sebagian besar menggigil derajat 3 sebesar

38,10%. Sedangkan pada responden yang diberikan cairan infus hangat

sebagian besar mengalami tidak menggigil atau derajat 0 sebesar 95,24%.

Setelah dilakukan analisis dengan uji Mann Whitney dan hasilnya Z= -4,219

dan p = 0,000 (p ≤ 0,05) yang berarti H1 diterima, dan Hₒ ditolak, yaitu ada

23
perbedaan antara kejadian menggigil pada pasien SC teknik spinal yang telah

diberikan cairan infus suhu ruangan dengan yang diberikan cairan infus

hangat, artinya bahwa pemberian cairan infus hangat efektif dibanding cairan

infus suhu ruangan terhadap kejadian menggigil pada pasien SC teknik spinal

anestesi di Kamar Operasi RS Aisyiyah Bojonegoro.

d. Penelitian dilakukan setelah disetujui oleh Komite Etika Rumah Sakit pada 64

pasien obstetri yang termasuk ASA grade I dan II, yang dijadwalkan untuk

LSCs elektif di bawah anestesi spinal. Informed consent tertulis diambil dari

semua pasien sebelum dimasukkan dalam penelitian. Pasien secara acak

dibagi menggunakan nomor acak yang dihasilkan komputer menjadi dua

kelompok I dan II dari 32 pasien masing-masing.Kelompok I: Pasien

diinfuskan I.V. cairan pada suhu ruang operasi (22 ° C). (Wadah cairan IV

telah disimpan di ruang operasi paling sedikit 1 jam sebelum memulai operasi

dan juga memastikan bahwa suhu permukaan wadah cairan sesuai

kebutuhan).Kelompok II: Pasien diinfuskan dengan I.V. hangat cairan (39 °

C) dengan menggunakan cairan penghangat. Dalam kelompok I, menggigil

hadir di 10 pasien dan pada kelompok II, menggigil hadir di delapan pasien,

tetapi perbedaan ini secara statistik tidak signifikan .Dalam kelompok I,

intervensi diperlukan untuk dilakukan pada 10 pasien dan pada kelompok II,

intervensi diperlukan pada delapan pasien. Hasil penelitian kami

menunjukkan bahwa pemanasan cairan menghasilkan penurunan suhu inti

yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan yang diberikan. pada suhu

24
ruang operasi. Dalam penelitian ini, suhu inti rata-rata pasien dalam kelompok

2 lebih tinggi daripada pasien di grup 2 pada saat kedatangan dan pada 30

menit. Cairan intravena yang hangat memberikan kontribusi terhadap

kehilangan panas yang kurang signifikan dan karenanya pencapaian fase

dataran respon termoregulasi.Insiden menggigil pada kedua kelompok tidak

signifikan secara statistik. Demikian pula, tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam waktu pulang dari ruang pemulihan dicatat.

Dari beberapa hasil penelitian menunukan bahwa cairan infus hangat efektif

dalam menurukan angka kejadian menggigil pada pasien section ceasarea di

kamar operasi. Hal ini didukung dengan beberapa penelitian, salah satunya

penelitian yang dilakukan oleh Nayoko (2016) dengan judul penelitian

“Perbandingan Efektifitas Pemberian Cairan Infus Hangat Terhadap Kejadian

Menggigil Pada Pasien Sectio Caesaria Di Kamar Operasi RSUD dr. M.

Soewandhie Surabaya, Jawa Timur”. Desain dalam penelitian ini adalah True

Experiment, dengan rancangan pretes-postes dengan kelompok kontrol

(pretest-postest with control group), yaitu subyek yang memenuhi kriteria

inklusi dilakukan randomisasi, artinya pengelompokan anggota-anggota

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dilakukan berdasarkan acak atau

random, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok A tanpa

perlakuan (pemberian cairan garam fisiologis yang tidak dihangatkan atau

mengikuti suhu ruang kamar operasi yaitu : 24°C - 26°C) dan kelompok B

yang akan diberikan perlakuan (pemberian cairan garam fisiologis yang telah

25
dihangatkan dengan fluid warmer, suhu 37,7°C - 40°C). Hasil dalam

penelitian ini menunjukan bahwa responden yang diberikan cairan infus suhu

ruangan kamar operasi sebagian besar mengalami menggigil dari jumlah

responden yang menggigil sebagian besar menggigil derajat 3, sedangkan

suhu tubuh responden yang diberi cairan infus hangat saat pre operasi

seluruhnya normal yaitu 100 % dan juga semua responden tidak menggigil

(skor 0) sebesar 100%.

Dalam beberapa penelitian, kejadian menggigil pada pasien section

caesarea ini dikaitkan dengan teknik anastesi spinal dimana tindakan anestesi

Spinal terjadi blok pada sistem simpatis sehingga terjadi vasodilatasi yang

mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke perifer, hal ini

menyebabkan hipotermi. Terjadinya hipotermi akan merangsang

vasokonstriksi dan menggigil, menggigil merupakan refleks dibawah kontrol

dari hipotalamus. Mekanisme ini untuk meningkatkan Core temperature. Core

temperature (central blood temperature) biasanya turun 1ᵒC – 2ᵒC pada satu

jam pertama selama anestesi umum (fase I), kemudian diikuti dengan

penurunan secara gradual selama 3 – 4 jam berikutnya (fase II) dan pada

akhirnya berada pada keadaan menetap (fase III). Pada penelitian Nayoko

(2016) didapatkan hasil penelitian bahwa responden yang diberi cairan infus

suhu ruangan sebagian besar saat post operasi mengalami hipotermi dan

menggigil sampai derajat 4 dan terbanyak adalah menggigil derajat 3 (tremor

intermiten seluruh tubuh). Hal ini terjadi karena responden mendapatkan

26
anestesi dan pemberian cairan infus suhu ruangan kamar opearasi. Pada

anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil sampai pada inti

hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan

menurun sekitar 1-2ᵒC, hal ini berhubungan dengan redistribusi panas tubuh

dari kompartemen inti ke perifer dan menyebabkan hipotermi. Bila sudah

terjadi hipotermi tubuh akan meningkatkan temperatur inti tubuh sebagai

kompensasinya tubuh akan mengigil.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilkakukan oleh Faridah (2014) dalam

penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pemberian Cairan Infus Dengan NaCl

Hangat Terhadap Kejadian Menggigil Pada Pasien Operasi Sectio Caesarea

di Kamar Operasi Rumah Sakit Aisyiyah Bojonegoro” dimana hasil penelitian

menunjukan bahwa responden yang diberikan cairan infus suhu ruangan

kamar operasi sebagian besar mengalami menggigil, dari jumlah responden

yang menggigil sebagian besar menggigil derajat 3 sebesar 38,10%.

Sedangkan pada responden yang diberikan cairan infus hangat sebagian besar

mengalami tidak menggigil atau derajat 0 sebesar 95,24%. Setelah dilakukan

analisis dengan uji Mann Whitney dan hasilnya Z= -4,219 dan p = 0,000 (p ≤

0,05) yang berarti H1 diterima, dan Hₒ ditolak, yaitu ada perbedaan antara

kejadian menggigil pada pasien SC teknik spinal yang telah diberikan cairan

infus suhu ruangan dengan yang diberikan cairan infus hangat, artinya bahwa

pemberian cairan infus hangat efektif dibanding cairan infus suhu ruangan

terhadap kejadian menggigil pada pasien SC teknik spinal anestesi di Kamar

27
Operasi RS Aisyiyah Bojonegoro. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat

para ahli bahwa pada responden diberikan cairan infus garam fisiologis yang

dihangatkan (37,7ᵒC - 40ᵒC) dengan Fluid Box Warmer dan diberikan melalui

intravena 300 ml dalam 15 menit pertama, selanjutnya 700 ml pada jam

pertama. Pemberian selanjutnya sesuai kekurangan cairan. Cairan infus hangat

ini bertujuan untuk mempertahankan temperatur inti tubuh, mencegah

hipotermi dan kejadian menggigil. Walaupun responden mengalami tindakan

anestesi Spinal yaitu terjadi blok pada sistem simpatis sehingga terjadi

vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral

ke perifer dan menyebabkan hipotermi. Namun setelah dilakukan observasi

pada saat post operasi sebagian besar responden suhunya normal (tidak

hipotermi) dan juga sebagian besar responden tidak mengalami menggigil.

Dengan demikian maka pemberian cairan infus hangat dapat digunakan

sebagai metode untuk mencegah mengigil pada pasien SC teknik anestesi

spinal.

28
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Sectio Caesarea merupakan suatu tindakan pembedahan dengan cara

membuka dinding abdomen dan dinding rahim untuk melahirkan janin dengan

syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram dan usia

janin > 28 minggu yang dilakukan dengan cara melakukan suatu irisan

pembedahan yang akan menembus dinding abdomen pasien (laparotomy) dan

uterus (histerektomi) dengan tujuan untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih.

Perawatan pasien pasca bedah dapat menjadi kompleks akibat

perubahan fisiologis yang mungkin terjadi, diantaranya komplikasi

perdarahan, irama jantung tidak teratur, gangguan pernafasan, sirkulasi,

pengontrolan suhu (hipotermi), serta fungsi-fungsi vital lainnya seperti fungsi

neurologis, integritas kulit dan kondisi luka, fungsi genito-urinaria,

gastrointestinal, keseimbangan cairan dan elektrolit serta rasa nyaman

Terjadinya menggigil bisa sesaat setelah tindakan tindakan anestesi,

dipertengahan jalannya operasi maupun di ruang pemulihan. Penyebab

terjadinya menggigil sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi

kemungkinan penyebab terjadinya menggigil adalah pada tindakan anestesi

spinal terjadi blok pada sistem simpatis sehingga terjadi vasodilatasi yang

mengakibatkan perpindahan panas dari kompartemen sentral ke perifer, hal ini

29
menyebabkan hipotermi.Pemberian cairan infus hangat dapat digunakan

sebagai metode untuk mencegah mengigil pada pasien SC.

Dari beberapa hasil penelitian menunukan bahwa cairan infus hangat

efektif dalam menurukan angka kejadian menggigil pada pasien section

ceasarea di kamar operasi. Hal ini didukung dengan beberapa penelitian, salah

satunya penelitian yang dilakukan oleh Nayoko (2016), Faridah (2014), dan

Miarsih (2013).

4.2 Saran

a. Bagi Perawat

Diharapkan literature review ini khususnya bagi perawat dapat dijadikan

bahan acuan intervensi.

b. Bagi Fasyankes

Diharapkan penggunaan terapi komplementer dapat dipertimbangkan

untuk menjadi salah satu tindakan pada pasien section caesarea dalam

upaya peningkatan pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

30
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, Taqiyyah dan Jauhar Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan Edisi Ke-

1. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Bararah, Taqiyyah dan Jauhar Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan Edisi Ke-2.

Jakarta: Prestasi Pustaka.

Brunner & Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Medah Edisi Ke-8. Jakarta:

EGC

Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Setyoadi, dkk. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien

Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.

Stuart, G.W. (2009). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis:

Mosby.

Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam.

31

Anda mungkin juga menyukai