Anda di halaman 1dari 15

Trend Dan Isu HIV/AIDS Family Centered Pada ODHA

Dosen Pembimbing : Supriliyah P,S.Kep, Ns. M.Kep


Oleh : Nazzuan Jesica Elvira (161101029)

Negara-negara di Asia Tenggara mempunyai prevalensi HIV (+) yang sangat tinggi
dibandingkan dengan negara lain di Benua Asia. Indonesia merupakan salah satu negara
di Asia Tenggara yang mempunyai angka penularan HIV yang paling cepat. Perkembangan
jumlah kasus baru HIV di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan pada tahun
2013 dan 2014. Hal ini bukan hanya menjadi masalah kesehatan semata, tetapi sekaligus
telah menjadi masalah sosial. Oleh sebab itu, perlu adanya gambaran trend terjadinya
kasus baru penyakit HIV-AIDS periode tahun 2012–2016 pada seluruh Provinsi yang ada di
Indonesia.

Di Indonesia, kasus epidemi penyakit HIVAIDS masih terus meningkat, meskipun jumlah
infeksi baru menunjukkan tren penurunan di Myanmar, Nepal, dan Thailand. Indonesia
merupakan negara dengan penularan HIV-AIDS tercepat di Asia Tenggara (WHO, 2009).
Indonesia merupakan negara yang menempati urutan pertama dalam penularan HIV-AIDS
di Asia Tenggara. Dari total populasi penduduk sebanyak 240 juta jiwa, Indonesia memiliki
prevalensi HIV sebesar 0,24% dengan estimasi ODHA 186.000, bahkan bisa mencapai
200.000 (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).

Epidemi HIV/AIDS di Indonesia sangat mengancam oleh karena kaitannya dengan faktor
risiko, terutama perilaku seksual dan penggunaan NAPZA suntik yang semakin meningkat
dalam tiga tahun terakhir ini. Walaupun agama dan budaya Indonesia tidak permisive
terhadap hubungan seks diluar nikah, dalam kenyataannya penularan melalui hubungan
seksual meningkat di hampir semua propinsi. Dari hasil penelitian perilaku diketahui bahwa
lebih dari separuh laki-laki dari kelompok tertentu baik yang sudah menikah maupun belum
menikah, pernah berhubungan seks dengan wanita penjaja seks dalam tahun terakhir.
Dalam hubungan ini sembilan diantara sepuluh orang tidak selalu menggunakan kondom,
dan angka ini merupakan yang terendah di bandingkan dengan negara Asia lainnya.
Dengan perilaku berisiko ini laki-laki dapat tertular ataupun menularkan HIV kepada
pasangannya, isterinya selanjutnya kepada bayinya. Angka kejadian infeksi HIV pada ibu
hamil dari survei di propinsi Riau dan Papua adalah 0,35% dan 0,25 %. Namun dari hasil
testing sukarela pada ibu hamil di DKI Jakarta ditemukan infeksi HIV sebesar 2,86%. Dalam
kelompok wanita penjaja seks kecenderungan meningkat di beberapa propinsi misalnya
Papua, Riau dan Jawa Barat angka infeksi sudah diatas 5%. Di kota besar seperti Jakarta,
Surabaya walaupun masih dibawah 5% tetapi terlihat meningkat pula pada dua tahun
terakhir ini.

HIV-AIDS masih menjadi masalah kesehatan global dan penyebab utama kematian akibat
penyakit menular di seluruh dunia. Rendahnya pemahaman tentang HIV-AIDS sampai saat
ini karena masih banyak yang belum memahami risiko penularan penyakit tersebut dan
angka kejadian belum dapat diprediksi dengan baik. Permasalahan HIV-AIDS merupakan
fenomena gunung es, artinya data yang ada merupakan data kasus HIV-AIDS yang hanya
muncul di permukaan. Masih banyak kasus yang belum terdeteksi karena ada banyak
orang yang sudah terinfeksi HIV tetapi tidak terbuka untuk melakukan pemeriksaan di klinik.
Hal ini disebabkan karena perasaan takut dan malu untuk memeriksakan diri yang muncul
karena adanya stigma dan diskriminasi dari masyarakat bahkan keluaga sebagai
lingkungan terdekat terhadap orang dengan HIV-AIDS (ODHA).

Berikut merupakan gambaran trend terjadinya kasus baru penyakit HIV-AIDS periode tahun
2012–2016 pada seluruh Provinsi yang ada di Indonesia.

A. Trend Kasus Baru Infeksi HIV di Indonesia Periode Tahun 2012–2016

Setelah tiga tahun berturut-turut (2010–2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus
baru HIV positif di Indonesia pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara
signifikan sebesar 34,99%. Pada tahun 2012 jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan
adalah sebanyak 21.511 kasus, dan meningkat menjadi 29.037 di tahun 2013. Jumlah
kasus baru HIV di tahun 2014 juga kembali mengalami peningkatan secara signifikan
sebesar 12,65% dari sebelumnya, yaitu tahun 2013. Akan tetapi, jumlah kasus baru HIV
positif yang dilaporkan pada tahun 2015 sebanyak 30.935 kasus, mengalami penurunan
5,43% dibandingkan tahun 2014. Penghujung tahun 2016, kasus baru HIV positif ini
kembali meningkat tajam sebesar 33,34% menjadi 41.250 kasus.

Analisis perbandingan data laporan epidemic kasus infeksi HIV positif baru di Indonesia
berdasarkan wilayah 34 Provinsi, dilakukan dengan menggunakan uji Friedman dan
dilanjutkan dengan menggunakan uji Wilcoxon. Hasil uji Friedman perbandingan kasus
infeksi baru HIV dari periode tahun 2012 hingga tahun 2016 dengan menggunakan uji
Friedman menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,001 (<0,01) sehingga dapat disimpulkan
bahwa minimal terdapat perbedaan yang signifikan jumlah kasus HIV dari periode tahun
2012 hingga tahun 2016.

Gambaran trend peningkatan atau penurunan dari jumlah kasus HIV yang terjadi di 34
provinsi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1.

Secara global data jumlah kasus HIV per tahun, untuk tahun 2012 rata-rata kejadian kasus
baru HIV sebanyak 652 kasus, meningkat pada tahun 2013 dengan rata-rata kejadian
kasus HIV dari ke-33 provinsi sebanyak 880 kasus. Tahun 2014 mengalami peningkatan
kembali dengan rata-rata kejadian kasus HIV dari ke 33 provinsi yaitu sebesar 994 kasus.
Akan tetapi, selang tahun berikutnya mengalami penurunan pada tahun 2015 dengan rata-
rata kejadian kasus

Gambar 1
Trend Jumlah Kasus HIV Baru pada 34 Provinsi di Indonesia Tahun 2012–2016

HIV dari ke-34 provinsi sebesar 911 kasus. Di akhir tahun 2016, kasus HIV tersebut malah
menjadi masalah besar terkait dengan terjadinya peningkatan tajam dari kasus tersebut
dengan rata-rata kejadian menjadi 1.214 kasus HIV baru.

Apabila diamati secara nilai rata-rata, dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan dari tahun
2013 menuju tahun 2014, kemudian terjadi penurunan dari tahun 2014 menuju tahun 2015.
Akan tetapi, mengalami peningkatan tajam sampai akhir tahun 2016.

Perbedaan jumlah kasus HIV dari periode tahun 2012 hingga tahun 2016 dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Untuk melihat perbedaan secara masing-
masing tahun periode dapat dianalisis menggunakan uji Wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari
uji Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan Tabel 2, dapat diperoleh informasi bahwa mayoritas mengalami perbedaan


yang signifikan antar tahunnya. Meskipun demikian, masih terdapat hasil yang
menunjukkan tidak terlalu berbeda secara signifikan dari perbandingan antar tahunnya.
Berikut merupakan gambaran singkat perbandingan antar-tahun dengan selang waktu 1
tahun dari tahun 2012 hingga tahun 2016.

1. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2012 dengan tahun 2013 menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan terjadi peningkatan yang cukup tajam (34,99%)
dari ratarata jumlah kasus HIV.
2. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2013 dengan tahun 2014 menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan secara statistic dengan bukti terjadi peningkatan
12,65% rata-rata jumlah kasus HIV.
3. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2014 dengan tahun 2015 menunjukkan
tidak adanya perbedaan yang signifikan secara statistic dengan bukti penurunan
rata-rata jumlah kasus HIV yang terjadi sebesar 5,43%.
4. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2015 dengan tahun 2016 menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan secara statistic dengan bukti terjadinya
peningkatan ratarata jumlah kasus HIV yang cukup tajam (33,34%).

Tabel 2
Hasil Uji Perbandingan Menggunakan Wilcoxon test

Kegiatan yang disusun dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS yang diharapkan bisa
menjadi pedoman dalam menyusun rencana pembangunan bidang kesehatan pada tahun
berikutnya, khususnya dalam penanggulangan HIV-AIDS. Di samping itu, perlu peningkatan
koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam implementasi program-program yang
disusun, dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan secara terpadu. Selanjutnya, dalam
upaya pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS perlu komitmen dan dukungan dari
pengambil kebijakan untuk mengalokasikan anggaran di luar sektor kesehatan.

B. su-Isu Mengenai Media Penyebaran HIV/AIDS

1. Terompet tahun baru


Pergantian tahun identik dengan pesta kembang api dan tiup-tiup terompet. Beberapa
waktu lalu pun ramai beredar pesan berantai yang menyebutkan bahwa virus HIV bisa
menyebar lewat terompet. Hal ini ditepis oleh praktisi kesehatan dari Klinik Cempaka Putih,
dr Ayu Yuni Andini.
Menurutnya, HIV tidak menular melalui air liur. Penularan virus ini memang terjadi melalui
kontak cairan tubuh, tetapi bukan melalui mulut. Darah dan sperma paling sering
menularkan virus tersebut.

2. Baju bekas
Pada sekitar tahun 2015, Menteri Perdagangan saat itu, Rachmat Gobel, sempat mendapat
kecaman dari aktivis Indonesia AIDS Coalition (IAC). Gobel menyebut pakaian bekas impor
berbahaya karena bisa menularkan HIV (Human Imunodeficiency Virus).
Dalam rilisnya, IAC menyebut pernyataan Gobel tersebut menyesatkan dan ‘berbau hoax’
karena HIV hanya menular melalui kontak cairan tubuh. Salah paham tentang cara
penularan virus mematikan tersebut, dikhawatirkan akan menciptakan stigma negatif
terhadap upaya penanggulangan HIV.

3. Makanan kalengan
Pernah beredar kabar bahwa ada virus HIV-AIDS di dalam kemasan makanan kalengan
impor. Pesan yang dikirim melalui broadcast message blackberry messenger tersebut
mengatakan bahwa para pekerja positif HIV-AIDS tempat makanan tersebut dibuat
memasukkan darah mereka ke dalam kemasan makanan tersebut. Lalu apakah benar
seperti itu? Menanggapi hal tersebut, dr Roy Sparringa yang kala itu menjabat sebagai
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan bahwa berita tersebut
hoax dan menyesatkan. “Itu berita hoax. Sudah lama beredar, tidak benar dan
menyesatkan. Tolong hal ini diluruskan kepada masyarakat,” tutur dr Roy ketika dihubungi
detikHealth. dr Roy mengatakan bahwa BPOM tidak pernah menemukan hal-hal seperti
yang disebutkan dalam pesan berantai tersebut, termasuk kandungan darah dan virus HIV.
Selain itu menurut dr Roy, virus HIV tidak akan mampu bertahan hidup jika sudah keluar
dari host atau tubuh manusia.

4. Pembalut
Salah satu benda yang disebut-sebut bisa menjadi media penularan HIV-AIDS dan sempat
ramai dibicarakan adalah pembalut. Masyarakat kala itu diminta berhati-hati karena ada
produk pembalut yang sudah ‘disisipi’ oleh virus HIV.
Lagi-lagi sangat tidak masuk akal virus HIV bisa menular melalui produk pembalut yang
dijual di pasaran. Lagipula jika pembalut yang dibelinya kotor, terdapat bercak darah seperti
pembalut yang sudah pernah dipakai, tentu tidak ada orang yang mau menggunakannya.
“Isu-isu seperti makanan atau pembalut yang terkontaminasi HIV seperti itu tidak masuk
akal sama sekali,” ungkap Prof DrdrSamsuridjalDjauziSpPD-KAI, FACP beberapa waktu
lalu.

5. Bangku bioskop
Selain di toilet umum, jarum suntik yang disebut-sebut berisi virus HIV juga pernah
dipasang di bangku bioskop. Jika ada orang yang duduk di bangku tersebut, maka ia
otomatis akan tertular oleh virus tersebut. drSarsanto Wibisono Sarwono, SpOG
menyebutkan bahwa rasanya sulit menularkan virus HIV-AIDS. Ini karena darah yang
terinfeksi harus benar-benar masuk ke dalam pembuluh darah seseorang. “Kalau beneran
ada jarum di kursi bioskop, misal ada yang menduduki, jarumnya kan tertahan sama kain
bajunya. Kalau celana juga kan biasanya tebal, itu juga udah susah kena ke kulit,” imbuh
drSarsanto.

C. Isu Etik Dalam Keperawatan HIV/AIDS Di Indonesia

Telenursing diartikan sebagai pemakaian telekomunikasi untuk memberikan informasi dan


pelayanan keperawatan jarak-jauh. Aplikasinya saat ini, menggunakan teknologi satelit
untuk menyiarkan konsultasi antara fasilitas-fasilitas kesehatan di dua negara dan memakai
peralatan video conference (bagian integral dari telemedicine atau telehealth).

Telenursing membantu pasien dan keluarganya untuk berpartisipasi aktif dalam perawatan,
terutama sekali untuk self management pada penyakit kronis. Hal itu memungkinkan
perawat untuk menyediakan informasi secara akurat dan tepat waktu dan memberikan
dukungan secara langsung (online). Kesinambungan pelayanan ditingkatkan dengan
memberi kesempatan kontak yang sering antara penyedia pelayanan kesehatan dan pasien
dan keluarga-keluarga merek

Telenursing saat ini semakin berkembang pesat di banyak negara, terkait dengan beberapa
faktor seperti mahalnya biaya pelayanan kesehatan, banyak kasus penyakit kronik dan
lansia, sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, rural, dan daerah
yang penyebaran pelayanan kesehatan belum merata. Dan keuntungannya, telenursing
dapat menjadi jalan keluar kurangnya jumlah perawat (terutama di negara maju),
mengurangi jarak tempuh, menghemat waktu tempuh menuju pelayanan kesehatan,
mengurangi jumlah hari rawat dan jumlah pasien di RS, serta menghambat infeksi
nosokomial.

D. Family Centered Care pada ODHA


1. Konsep dari Family Centered Care pada ODHA

 Martabat dan kehormatan Praktisi keperawatan mendengarkan dan menghormati


pandangan dan pilihan pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang
budaya pasien dan keluarg abergabung dalam rencana dan intervensi keperawatan
pada ODHA.
 Berbagi informasi. Praktisi keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan
informasi yang berguna bagi pasien dan keluarga dengan benar dan tidak memihak
kepada pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi setiap waktu,
lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan
keputusan pada ODHA.
 Partisipasi. Pasien pada ODHA dan keluarga termotivasi berpartisipasi dalam
perawatan dan pengambilan keputusan sesuai dengan kesepakatan yang telah
mereka buat.
 Kolaborasi. Pasien pada ODHA dan keluarga juga termasuk ke dalam komponen
dasar kolaborasi. Perawat berkolaborasi dengan pasien pada ODHA dan keluarga
dalam pengambilan kebijakan dan pengembangan program, implementasi dan
evaluasi, desain

2. Penyebab dilakukan Family-Centered Care pada ODHA

 Membangun sistem kolaborasi dari pada kontrol atau penyembuhan pada ODHA(
orang dengan HIV AIDS).
 Berfokus pada kekuatan dan sumber keluarga daripada kelemahan keluarga.
 Mengakui keahlian keluarga dalam merawat ODHA( orang dengan HIV AIDS)
seperti sebagaimana profesional
 Mebangun pemberdayaan daripada ketergantungan
 Meningkatkan lebih banyak sharing informasi dengan pasien ODHA( orang dengan
HIV AIDS) , keluarga dan pemberi pelayanan dari pada informasihanya diketahui
oleh professional.
 Menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku.

3. Elemen Family-Centered Care pada ODHA


Sembilan element Family-Centered Care pada ODHA( orang dengan HIV AIDS) yaitu :

 Keluarga dipandang sebagai unsur yang konstan sementara kehadiran profesi


kesehatan fluktuatif
 Memfasilitasi kolaborasi keluarga professional pada semua level perawatan
kesehatan.
 Meningkatkan kekuatan keluarga, dan mempertimbangkan metode-metode
alternative dalam koping.
 Memperjelas hal-hal yang kurang jelas dan informasi lebih komplit oleh keluarga
tentang perawatan pada ODHA( orang dengan HIV AIDS) yang tepat.
 Menimbulkan kelompok support antara orang tua dengan ODHA( orang dengan HIV
AIDS).
 Mengerti dan memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan dalam memenuhi
kebutuhan pelayanan pada ODHA (orang dengan HIV AIDS)
 melaksanakan kebijakan dan program yang tepat, komprehensif meliputi dukungan
emosional dan finansial dalam memenuhi kebutuhan kesehatan keluarganya.
 Menunjukkan desain transportasi perawatan kesehatan fleksibel, accessible, dan
responsive ODHA( orang dengan HIV AIDS) terhadap kebtuhan pasien pada
 Implementasi kebijakan dan program yang tepat komprehensif meliputi dukunga
nemosional dengan staff. Element Family Centered Care

Perkembangan jumlah kasus baru HIV di Indonesia mengalami peningkatan secara


signifikan pada tahun 2013 dan 2014, bila dibandingkan dengan perkembangan jumlah
kasus baru pada tahun 2010–2012 yang relatif cukup stabil. Pada tahun 2012 jumlah kasus
baru HIV sebesar 21.511 kasus, sedangkan pada tahun 2013 dan 2014 masing-masing
sebesar 29.037 dan 32.711 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi yaitu DKI
Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Berdasarkan kondisi yang berkembang saat ini dapat dipahami bahwa HIV-AIDS adalah
sebuah isu yang sangat rumit. Hal ini bukan hanya menjadi masalah kesehatan semata,
tetapi sekaligus telah menjadi masalah sosial. Mengingat kompleksitas permasalahan
tersebut, penyelesaiannya pun menjadi tidak mudah.
Latar belakang
Jumlah infeksi HIV/AIDS terus bertambah diseluruh dunia, kasusnya terus
meningkat sampai 100 kali lipat sejak pertama kali ditemu-kan dan menyebar
paling sedikit 166 negara di-dunia (Figueroa et al., 2008). HIV/AIDS sudah
merupakan global e!ect dengan kecepatan pe-nularan penyebaran yang sangat
pesat 1 menit 5 orang tertular di seluruh dunia (Hawari, 2006; Waning et al.,
2009). Menurut Vrisaba (2001), angka penularan HIV di benua Asia cukup
tinggi, yakni 2000 sampai 3000 per hari, berarti dalam setahun. Penderita
HIV akan bertambah lagi antara 700.000 sampai 1.000.000 orang. Sedangkan
di Asia Tenggara jumlah penderita AIDS mencapai 4,6 juta orang dengan
tingkat kematian anak sebesar 330-590 ribu dengan penambahan penderita
baru sebesar 11,1 juta orang (Suyono, 2006).
Infeksi HIV di Indonesia sudah meru-pakan masalah kesehatan yang
memerlukan perhatian dan pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS
semakin meroket. Menurut data Departemen Kesehatan RI, kasus AIDS per-
tama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 dan sampai 31 Desember
2008 pengidap HIV berkisar 6.554 orang dan penderita AIDS 16.110 orang.
Indonesia sudah memasuki ham-pir dua dekade epidemi HIV/AIDS, namun
sampai saat ini belum ada upaya penanggu-langan nasional yang
komprehensif serta men-jangkau setiap orang.
Data Departemen Kesehatan RI sam-pai dengan 31 Desember 2008,
menyebutkan bahwa Propinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-7 kasus
AIDS terbanyak di Indonesia setelah propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa
Timur, Papua, Bali, dan Kalimantan Barat. Jumlah Kasus AIDS di Jawa
Tengah yaitu se-banyak 530 orang, positif HIV 1.208 orang, dan 221 orang
meninggal akibat penyakit ini. Kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah cenderung
mening-kat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Yayasan Spiritia, 2008).
Kota Semarang adalah kota dengan jumlah kasus penderita HIV/AIDS
terbesar di Jawa Tengah yaitu sampai dengan 31 Desember 2008 ditemukan
sejumlah 175 kasus HIV/AIDS (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2009)
Salah satu langkah penting untuk menanggulangi HIV/AIDS yaitu dengan
meningkatkan ODHA yang minum obat Anti Retroviral (ARV) (Bateganya et
al., 2005; Tsertsvadze et al., 2008). Dari hasil penelitian sudah membuktikan
bahwa ARV efektif menurunkan infeksi HIV dan menemukan bahwa 80 %
pasien terinfeksi HIV yang minum ARV dua kali sehari, kadar virus dalam
darah tidak terdeteksi setelah enam bulan pengobatan (Farmacia, 2005).
Namun sampai saat ini, distribusi terhadap ARV di beberapa negara masih
terdapat berbagai kendala, diantarannya harga yang mahal (Moona et al.,
2007; Wirtz et al., 2009). Selain mahal, kendala tersebut juga disebabkan
oleh sulitnnya akses untuk mendapatkan ARV (Kitajima et al., 2004; Zhaoa,
2009).
Penggunaan obat ARV diperlukan ting-kat kepatuhan tinggi untuk
mendapatkan ke-berhasilan terapi dan mencegah resistensi yang terjadi
(Bachmann, 2006). Untuk mendapatkan respon penekanan jumlah virus
sebesar 85% diperlukan kepatuhan penggunaan obat 90-95%, dalam hal ini
ODHA harus minum obat rata-rata sebanyak 60 kali dalam sebulan maka
pasien diharapkan tidak lebih dari 3 kali lupa minum obat (Somi et al., 2008;
Kouandaa et al., 2009). Data WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa
kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terutama HIV/AIDS di
negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan di negara berkembang, jumlah
tersebut bahkan lebih rendah. Adanya ketidakpatuhan terhadap terapi ARV
dapat memberikan efek resistensi obat sehingga obat tidak dapat berfungsi
atau gagal (Ramiah and Reich, 2005). Berdasarkan peneli-tian pada tahun
2004, di Amerika Serikat dan Eropa didapatkan 10% dari infeksi baru HIV/
AIDS menunjukkan resistensi terhadap ARV (Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Depkes RI, 2006).
Berdasarkan data Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli HIV/AIDS Graha
Mitra Semarang, didapatkan data pada tahun 2008 terdapat 28 ODHA yang
berkonsultasi dan sedang menjalani terapi, yang sebelumnya ada 6 orang
yang mengalami drop out terapi. Dari hasil wawancara dengan konselor LSM
Graha Mitra Semarang didapatkan data bahwa ada beberapa kendala yang
menyebabkan ODHA kesulitan dalam melaksanakan kepatuhan menjalankan
terapi yaitu karena efek samping obat, lupa terhadap jadwal pengobatan, dan
kurangnya pemahaman terhadap pengoba-tan. Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas maka diangkat penelitian hubungan antara pengetahuan,
motivasi, dan dukungan keluarga dengan kepatuhan terapi ARV pada ODHA
(bimbingan LSM Graha Mitra Semarang). Pada akhirnya diharapkan hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan angka kepatuhan
berobat pada ODHA

Rumusan Masalah
Bagaima pengetahuan tentang terapi ARV pada pasien ODHA ?
Bagaimana pengaruh motivasi dan dukungan keluarga untuk kepatuhan terapi
ARV pada ODHA.?
Tujuan Umum
Untuk mengkaji pengetahuan pasien ODHA
Untuk mengetahui pengaruh motivasi dan dukungan keluarga untuk
kepatuhan terapi ARV pada ODHA
Tujuan Khusus
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan
angka kepatuhan berobat pada ODHA

BAB II
PEMBAHASAN
Pengetahuan Terapi ARV pada ODHA
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar responden memiliki
pengetahuan baik sebesar 63,6 %. Berdasarkan uji statistik sher’s exact
diperoleh nilai p= 0,026 (p<0,05) dengan taraf kepercayaan 95%,
menunjukkan bahwa Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang signi!kan
antara pengetahuan dengan kepatuhan terapi ARV.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh hasil penelitian sebelumnya, yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan
terapi ARV pada ODHA (Bachmann, 2006). Hal ini dapat dimengerti bahwa
penderita yang mempunyai pengetahuan baik cenderung akan patuh dalam
minum obat, sesuai dengan teori perilaku yang mengatakan bahwa perilaku
seseorang terhadap sesuatu akan sesuai dengan tingkat pemahaman terhadap
sesuatau tersebut.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa perilaku
yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
disadari oleh pengeta-huan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Muzaham,
1995).
Hal ini sejalan dengan Nasronudin dan Margarita (2007), bahwa berhasilnya
pengelolaan dan perawatan terhadap penderita HIV/ AIDS tergantung pada
kerjasama petugas kese-hatan dengan pasien keluarganya. ODHA yang
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS, kemudian
selanjutnya mengubah perilakunya sehingga akan dapat mengendalikan
kondisi penyakitnya, sehingga penderi-ta dapat hidup lebih lama. Konseling
sangat diperlukan untuk memberikan pengetahuan terhadap ODHA dan
penerimaan pasien terha dap sakitnya. Pengetahuan itu meliputi penger-tian
tentang terapi ARV, pentingnya kepatuhan terapi, efek samping yang
mungkin terjadi serta lama pengobatan (Zou et al., 2009). Dengan
pengetahuan tinggi diharapkan ODHA menjalankan kepatuhan terapi ARV
sesuai dengan aturan yang dianjurkan dokter (Nasronudin dan Margarita,
2007)

Pengaruh motivasi dan dukungan keluarga untuk terapi ARV pada ODHA
penelitian menunjukkan bahwa prosentase terbesar responden memiliki mo-
tivasi tinggi sebesar 68,2%. Berdasarkan uji statistik !sher’s exact diperoleh
nilai p= 0,007 (p<0,05) dengan taraf kepercayaan 95% me-nunjukkan bahwa
Ho ditolak yang artinya adanya hubungan yang signi!kan antara moti-vasi
minum obat dengan kepatuhan terapi ARV.
Hasil ini diperkuat penelitian Sulasmi dan Tambing yang menyatakan ada
hubungan antara motivasi klien dengan program pengob-atan. Sedangkan
penelitian Senewe dalam jur-nal ilmiah UNAIR menunjukkan bahwa ada
hubungan antara motivasi dengan kepatuhan berobat pada penderita TB Paru
di puskesmas Depok (Nasronudin dan Margarita, 2007).
Menurut Muzaham (1995) bahwa orang tidak akan mencari pertolongan
medis bila mereka mempunyai pengetahuan dan motivasi minimal yang
relevan dengan kesehatan, bila mereka memandang keadaan tidak cukup ber-
bahaya, bila tidak yakin terhadap keberhasilan suatu intervensi medis dan bila
mereka melihat adanya beberapa kesulitan dalam melaksana-kan perilaku
kesehatan yang disarankan.
Hal ini sejalan dengan Menurut Azwar (2001) motivasi adalah dorongan
untuk melakukan hal yang positif bagi dirinya dan orang lain. Motivasi
adalah penggerak tingkah laku ke arah suatu tujuan dengan didasari adanya
suatu kebutuhan yang dapat timbul dari dalam individu tersebut, atau dapat
diperoleh dari luar dan orang lain/keluarga. Aspek-aspek motivasi meliputi
memiliki sikap positif, berorientasi pada pencapaian suatu tujuan dan
kekuatan yang mendorong pasien. Motivasi sangat diper-lukan dalam
menjalankan kepatuhan terapi ARV, tanpa adanya motivasi terapi ARV tidak
dapat dilanjutkan (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosentase terbesar responden memiliki
dukungan keluarga tinggi sebesar 72,7 %. Ber-dasarkan uji statistik !sher’s
exact diperoleh nilai p= 0,023 (p<0,05) dengan taraf keper-cayaan 95%
menunjukkan bahwa Ho ditolak yang artinya adanya hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan terapi ARV.
Hasil ini diperkuat oleh penelitian Umayyah (2008) yang menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan
kepatuhan berobat penderita TB Paru, dan penelitian Siti Mahmudah tentang
kepatuhan berobat penderita kusta didapatkan hasil bahwa ada hubungan
yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pada
penderita kusta, serta penelitian yang dilakukan oleh Atik Ristiyani tentang
kepatuhan pemeriksaan rutin penderita DM didapatkan hasil bahwa ada
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga de-ngan kepatuhan
pemeriksaan rutin penderita DM.

Hal ini sejalan dengan BKKBN (2000) dukungan dari anggota keluarga dan
teman terdekat merupakan salah satu dukungan yang sangat diperlukan
terhadap pelaksanaan terapi ARV dan berpengaruh besar bagi ODHA untuk
memacu semangat hidupnya. Menurut Nursalam dan Ninuk (2007), beberapa
pen-dapat mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam konteks
hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga
merupakan sumber dukungan yang pa-ling penting. Dengan adanya
dukungan keluarga diharapkan keluarga penderita HIV/AIDS memahami
masalah HIV/AIDS, memberikan perhatian keparawatan bagi anggota yang
menderita HIV/AIDS. Intervensi melalui terapi ARV secara rutin dan terus
menerus sangat diperlukan oleh ODHA, karena itu diperlukan bantuan
keluarga dan orang-orang terdekat untuk membantu mengingatkan penderita
dalam mengkonsumsi obat pada jam yang tetap setiap hari, membawa obat
saat bepergian, dan me-rencanakan kapan mendapatkan obat selanjutnya
setelah persediaan obat telah habis (In-fokes, 2007).

BAB III
PENUTUP
Simpulan

Dari hasil penelitian, dapat ditarik simpulan berupa tiga variabel yang diteliti
yaitu pengetahuan, motivasi, dan dukungan keluarga berhubungan dengan
kepatuhan terapi ARV. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p=0,026; CC=0,464
untuk variabel pengetahuan; nilai p=0,007; CC=0,528 untuk variabel
motivasi; nilai p=0,023; CC=0,467 untuk variabel dukungan keluarga.

Saran

Bagi ODHA (orang dengan HIV/ AIDS) agar lebih patuh dalam menjalankan
terapi ARV dan tetap aktif dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) guna
berbagi pe-ngalaman dan informasi.
Bagi keluarga, perlu memberikan dukungan dan motivasi yang kuat agar
ODHA dapat patuh untuk selalu memi-num ARV secara teratur.
Bagi tenaga kesehatan perlu pemantauan terhadap ODHA dalam
menjalankan terapi ARV yang meliputi monitoring kepatuhan, monitoring
efek sam-ping, dan monitoring keberhasilan terapi ARV serta perlu
pengawasan untuk meminimalkan terjadinya drop out terapi ARV agar dapat
me-ningkatkan kualitas hidup ODHA.

DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. 2001. Prinsip Dasar Motivasi Pelaksanaan Program Kesehatan.
Jakarta: EGC
Nasronudin dan Margarita. 2007. Konseling, Du-kungan, Perawatan dan
Pengobatan ODHA. Surabaya: Airlangga University Press
Sulasmi, N. dan Tambing, M.T. 2005, Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Motivasi Klien Menarik Diri dalam Mematuhi Program Pengobata.
Jurnal Ilmiah, 7 (2): 2-5.
Umayyah, F. 2008. Hubungan antara Dukungan Ke-luarga sebagai PMO
dengan Kepatuhan Bero-bat Penderita di BP4, Klaten. Skripsi. Jogja-karta:
Universitas Gajah Mada

Anda mungkin juga menyukai