Negara-negara di Asia Tenggara mempunyai prevalensi HIV (+) yang sangat tinggi
dibandingkan dengan negara lain di Benua Asia. Indonesia merupakan salah satu negara
di Asia Tenggara yang mempunyai angka penularan HIV yang paling cepat. Perkembangan
jumlah kasus baru HIV di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan pada tahun
2013 dan 2014. Hal ini bukan hanya menjadi masalah kesehatan semata, tetapi sekaligus
telah menjadi masalah sosial. Oleh sebab itu, perlu adanya gambaran trend terjadinya
kasus baru penyakit HIV-AIDS periode tahun 2012–2016 pada seluruh Provinsi yang ada di
Indonesia.
Di Indonesia, kasus epidemi penyakit HIVAIDS masih terus meningkat, meskipun jumlah
infeksi baru menunjukkan tren penurunan di Myanmar, Nepal, dan Thailand. Indonesia
merupakan negara dengan penularan HIV-AIDS tercepat di Asia Tenggara (WHO, 2009).
Indonesia merupakan negara yang menempati urutan pertama dalam penularan HIV-AIDS
di Asia Tenggara. Dari total populasi penduduk sebanyak 240 juta jiwa, Indonesia memiliki
prevalensi HIV sebesar 0,24% dengan estimasi ODHA 186.000, bahkan bisa mencapai
200.000 (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Epidemi HIV/AIDS di Indonesia sangat mengancam oleh karena kaitannya dengan faktor
risiko, terutama perilaku seksual dan penggunaan NAPZA suntik yang semakin meningkat
dalam tiga tahun terakhir ini. Walaupun agama dan budaya Indonesia tidak permisive
terhadap hubungan seks diluar nikah, dalam kenyataannya penularan melalui hubungan
seksual meningkat di hampir semua propinsi. Dari hasil penelitian perilaku diketahui bahwa
lebih dari separuh laki-laki dari kelompok tertentu baik yang sudah menikah maupun belum
menikah, pernah berhubungan seks dengan wanita penjaja seks dalam tahun terakhir.
Dalam hubungan ini sembilan diantara sepuluh orang tidak selalu menggunakan kondom,
dan angka ini merupakan yang terendah di bandingkan dengan negara Asia lainnya.
Dengan perilaku berisiko ini laki-laki dapat tertular ataupun menularkan HIV kepada
pasangannya, isterinya selanjutnya kepada bayinya. Angka kejadian infeksi HIV pada ibu
hamil dari survei di propinsi Riau dan Papua adalah 0,35% dan 0,25 %. Namun dari hasil
testing sukarela pada ibu hamil di DKI Jakarta ditemukan infeksi HIV sebesar 2,86%. Dalam
kelompok wanita penjaja seks kecenderungan meningkat di beberapa propinsi misalnya
Papua, Riau dan Jawa Barat angka infeksi sudah diatas 5%. Di kota besar seperti Jakarta,
Surabaya walaupun masih dibawah 5% tetapi terlihat meningkat pula pada dua tahun
terakhir ini.
HIV-AIDS masih menjadi masalah kesehatan global dan penyebab utama kematian akibat
penyakit menular di seluruh dunia. Rendahnya pemahaman tentang HIV-AIDS sampai saat
ini karena masih banyak yang belum memahami risiko penularan penyakit tersebut dan
angka kejadian belum dapat diprediksi dengan baik. Permasalahan HIV-AIDS merupakan
fenomena gunung es, artinya data yang ada merupakan data kasus HIV-AIDS yang hanya
muncul di permukaan. Masih banyak kasus yang belum terdeteksi karena ada banyak
orang yang sudah terinfeksi HIV tetapi tidak terbuka untuk melakukan pemeriksaan di klinik.
Hal ini disebabkan karena perasaan takut dan malu untuk memeriksakan diri yang muncul
karena adanya stigma dan diskriminasi dari masyarakat bahkan keluaga sebagai
lingkungan terdekat terhadap orang dengan HIV-AIDS (ODHA).
Berikut merupakan gambaran trend terjadinya kasus baru penyakit HIV-AIDS periode tahun
2012–2016 pada seluruh Provinsi yang ada di Indonesia.
Setelah tiga tahun berturut-turut (2010–2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus
baru HIV positif di Indonesia pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara
signifikan sebesar 34,99%. Pada tahun 2012 jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan
adalah sebanyak 21.511 kasus, dan meningkat menjadi 29.037 di tahun 2013. Jumlah
kasus baru HIV di tahun 2014 juga kembali mengalami peningkatan secara signifikan
sebesar 12,65% dari sebelumnya, yaitu tahun 2013. Akan tetapi, jumlah kasus baru HIV
positif yang dilaporkan pada tahun 2015 sebanyak 30.935 kasus, mengalami penurunan
5,43% dibandingkan tahun 2014. Penghujung tahun 2016, kasus baru HIV positif ini
kembali meningkat tajam sebesar 33,34% menjadi 41.250 kasus.
Analisis perbandingan data laporan epidemic kasus infeksi HIV positif baru di Indonesia
berdasarkan wilayah 34 Provinsi, dilakukan dengan menggunakan uji Friedman dan
dilanjutkan dengan menggunakan uji Wilcoxon. Hasil uji Friedman perbandingan kasus
infeksi baru HIV dari periode tahun 2012 hingga tahun 2016 dengan menggunakan uji
Friedman menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,001 (<0,01) sehingga dapat disimpulkan
bahwa minimal terdapat perbedaan yang signifikan jumlah kasus HIV dari periode tahun
2012 hingga tahun 2016.
Gambaran trend peningkatan atau penurunan dari jumlah kasus HIV yang terjadi di 34
provinsi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1.
Secara global data jumlah kasus HIV per tahun, untuk tahun 2012 rata-rata kejadian kasus
baru HIV sebanyak 652 kasus, meningkat pada tahun 2013 dengan rata-rata kejadian
kasus HIV dari ke-33 provinsi sebanyak 880 kasus. Tahun 2014 mengalami peningkatan
kembali dengan rata-rata kejadian kasus HIV dari ke 33 provinsi yaitu sebesar 994 kasus.
Akan tetapi, selang tahun berikutnya mengalami penurunan pada tahun 2015 dengan rata-
rata kejadian kasus
Gambar 1
Trend Jumlah Kasus HIV Baru pada 34 Provinsi di Indonesia Tahun 2012–2016
HIV dari ke-34 provinsi sebesar 911 kasus. Di akhir tahun 2016, kasus HIV tersebut malah
menjadi masalah besar terkait dengan terjadinya peningkatan tajam dari kasus tersebut
dengan rata-rata kejadian menjadi 1.214 kasus HIV baru.
Apabila diamati secara nilai rata-rata, dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan dari tahun
2013 menuju tahun 2014, kemudian terjadi penurunan dari tahun 2014 menuju tahun 2015.
Akan tetapi, mengalami peningkatan tajam sampai akhir tahun 2016.
Perbedaan jumlah kasus HIV dari periode tahun 2012 hingga tahun 2016 dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Untuk melihat perbedaan secara masing-
masing tahun periode dapat dianalisis menggunakan uji Wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari
uji Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 6.
1. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2012 dengan tahun 2013 menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan terjadi peningkatan yang cukup tajam (34,99%)
dari ratarata jumlah kasus HIV.
2. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2013 dengan tahun 2014 menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan secara statistic dengan bukti terjadi peningkatan
12,65% rata-rata jumlah kasus HIV.
3. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2014 dengan tahun 2015 menunjukkan
tidak adanya perbedaan yang signifikan secara statistic dengan bukti penurunan
rata-rata jumlah kasus HIV yang terjadi sebesar 5,43%.
4. Perbedaan jumlah kasus HIV periode tahun 2015 dengan tahun 2016 menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan secara statistic dengan bukti terjadinya
peningkatan ratarata jumlah kasus HIV yang cukup tajam (33,34%).
Tabel 2
Hasil Uji Perbandingan Menggunakan Wilcoxon test
Kegiatan yang disusun dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS yang diharapkan bisa
menjadi pedoman dalam menyusun rencana pembangunan bidang kesehatan pada tahun
berikutnya, khususnya dalam penanggulangan HIV-AIDS. Di samping itu, perlu peningkatan
koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam implementasi program-program yang
disusun, dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan secara terpadu. Selanjutnya, dalam
upaya pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS perlu komitmen dan dukungan dari
pengambil kebijakan untuk mengalokasikan anggaran di luar sektor kesehatan.
2. Baju bekas
Pada sekitar tahun 2015, Menteri Perdagangan saat itu, Rachmat Gobel, sempat mendapat
kecaman dari aktivis Indonesia AIDS Coalition (IAC). Gobel menyebut pakaian bekas impor
berbahaya karena bisa menularkan HIV (Human Imunodeficiency Virus).
Dalam rilisnya, IAC menyebut pernyataan Gobel tersebut menyesatkan dan ‘berbau hoax’
karena HIV hanya menular melalui kontak cairan tubuh. Salah paham tentang cara
penularan virus mematikan tersebut, dikhawatirkan akan menciptakan stigma negatif
terhadap upaya penanggulangan HIV.
3. Makanan kalengan
Pernah beredar kabar bahwa ada virus HIV-AIDS di dalam kemasan makanan kalengan
impor. Pesan yang dikirim melalui broadcast message blackberry messenger tersebut
mengatakan bahwa para pekerja positif HIV-AIDS tempat makanan tersebut dibuat
memasukkan darah mereka ke dalam kemasan makanan tersebut. Lalu apakah benar
seperti itu? Menanggapi hal tersebut, dr Roy Sparringa yang kala itu menjabat sebagai
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan bahwa berita tersebut
hoax dan menyesatkan. “Itu berita hoax. Sudah lama beredar, tidak benar dan
menyesatkan. Tolong hal ini diluruskan kepada masyarakat,” tutur dr Roy ketika dihubungi
detikHealth. dr Roy mengatakan bahwa BPOM tidak pernah menemukan hal-hal seperti
yang disebutkan dalam pesan berantai tersebut, termasuk kandungan darah dan virus HIV.
Selain itu menurut dr Roy, virus HIV tidak akan mampu bertahan hidup jika sudah keluar
dari host atau tubuh manusia.
4. Pembalut
Salah satu benda yang disebut-sebut bisa menjadi media penularan HIV-AIDS dan sempat
ramai dibicarakan adalah pembalut. Masyarakat kala itu diminta berhati-hati karena ada
produk pembalut yang sudah ‘disisipi’ oleh virus HIV.
Lagi-lagi sangat tidak masuk akal virus HIV bisa menular melalui produk pembalut yang
dijual di pasaran. Lagipula jika pembalut yang dibelinya kotor, terdapat bercak darah seperti
pembalut yang sudah pernah dipakai, tentu tidak ada orang yang mau menggunakannya.
“Isu-isu seperti makanan atau pembalut yang terkontaminasi HIV seperti itu tidak masuk
akal sama sekali,” ungkap Prof DrdrSamsuridjalDjauziSpPD-KAI, FACP beberapa waktu
lalu.
5. Bangku bioskop
Selain di toilet umum, jarum suntik yang disebut-sebut berisi virus HIV juga pernah
dipasang di bangku bioskop. Jika ada orang yang duduk di bangku tersebut, maka ia
otomatis akan tertular oleh virus tersebut. drSarsanto Wibisono Sarwono, SpOG
menyebutkan bahwa rasanya sulit menularkan virus HIV-AIDS. Ini karena darah yang
terinfeksi harus benar-benar masuk ke dalam pembuluh darah seseorang. “Kalau beneran
ada jarum di kursi bioskop, misal ada yang menduduki, jarumnya kan tertahan sama kain
bajunya. Kalau celana juga kan biasanya tebal, itu juga udah susah kena ke kulit,” imbuh
drSarsanto.
Telenursing membantu pasien dan keluarganya untuk berpartisipasi aktif dalam perawatan,
terutama sekali untuk self management pada penyakit kronis. Hal itu memungkinkan
perawat untuk menyediakan informasi secara akurat dan tepat waktu dan memberikan
dukungan secara langsung (online). Kesinambungan pelayanan ditingkatkan dengan
memberi kesempatan kontak yang sering antara penyedia pelayanan kesehatan dan pasien
dan keluarga-keluarga merek
Telenursing saat ini semakin berkembang pesat di banyak negara, terkait dengan beberapa
faktor seperti mahalnya biaya pelayanan kesehatan, banyak kasus penyakit kronik dan
lansia, sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, rural, dan daerah
yang penyebaran pelayanan kesehatan belum merata. Dan keuntungannya, telenursing
dapat menjadi jalan keluar kurangnya jumlah perawat (terutama di negara maju),
mengurangi jarak tempuh, menghemat waktu tempuh menuju pelayanan kesehatan,
mengurangi jumlah hari rawat dan jumlah pasien di RS, serta menghambat infeksi
nosokomial.
Membangun sistem kolaborasi dari pada kontrol atau penyembuhan pada ODHA(
orang dengan HIV AIDS).
Berfokus pada kekuatan dan sumber keluarga daripada kelemahan keluarga.
Mengakui keahlian keluarga dalam merawat ODHA( orang dengan HIV AIDS)
seperti sebagaimana profesional
Mebangun pemberdayaan daripada ketergantungan
Meningkatkan lebih banyak sharing informasi dengan pasien ODHA( orang dengan
HIV AIDS) , keluarga dan pemberi pelayanan dari pada informasihanya diketahui
oleh professional.
Menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku.
Rumusan Masalah
Bagaima pengetahuan tentang terapi ARV pada pasien ODHA ?
Bagaimana pengaruh motivasi dan dukungan keluarga untuk kepatuhan terapi
ARV pada ODHA.?
Tujuan Umum
Untuk mengkaji pengetahuan pasien ODHA
Untuk mengetahui pengaruh motivasi dan dukungan keluarga untuk
kepatuhan terapi ARV pada ODHA
Tujuan Khusus
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan
angka kepatuhan berobat pada ODHA
BAB II
PEMBAHASAN
Pengetahuan Terapi ARV pada ODHA
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar responden memiliki
pengetahuan baik sebesar 63,6 %. Berdasarkan uji statistik sher’s exact
diperoleh nilai p= 0,026 (p<0,05) dengan taraf kepercayaan 95%,
menunjukkan bahwa Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang signi!kan
antara pengetahuan dengan kepatuhan terapi ARV.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh hasil penelitian sebelumnya, yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan
terapi ARV pada ODHA (Bachmann, 2006). Hal ini dapat dimengerti bahwa
penderita yang mempunyai pengetahuan baik cenderung akan patuh dalam
minum obat, sesuai dengan teori perilaku yang mengatakan bahwa perilaku
seseorang terhadap sesuatu akan sesuai dengan tingkat pemahaman terhadap
sesuatau tersebut.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa perilaku
yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
disadari oleh pengeta-huan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Muzaham,
1995).
Hal ini sejalan dengan Nasronudin dan Margarita (2007), bahwa berhasilnya
pengelolaan dan perawatan terhadap penderita HIV/ AIDS tergantung pada
kerjasama petugas kese-hatan dengan pasien keluarganya. ODHA yang
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS, kemudian
selanjutnya mengubah perilakunya sehingga akan dapat mengendalikan
kondisi penyakitnya, sehingga penderi-ta dapat hidup lebih lama. Konseling
sangat diperlukan untuk memberikan pengetahuan terhadap ODHA dan
penerimaan pasien terha dap sakitnya. Pengetahuan itu meliputi penger-tian
tentang terapi ARV, pentingnya kepatuhan terapi, efek samping yang
mungkin terjadi serta lama pengobatan (Zou et al., 2009). Dengan
pengetahuan tinggi diharapkan ODHA menjalankan kepatuhan terapi ARV
sesuai dengan aturan yang dianjurkan dokter (Nasronudin dan Margarita,
2007)
Pengaruh motivasi dan dukungan keluarga untuk terapi ARV pada ODHA
penelitian menunjukkan bahwa prosentase terbesar responden memiliki mo-
tivasi tinggi sebesar 68,2%. Berdasarkan uji statistik !sher’s exact diperoleh
nilai p= 0,007 (p<0,05) dengan taraf kepercayaan 95% me-nunjukkan bahwa
Ho ditolak yang artinya adanya hubungan yang signi!kan antara moti-vasi
minum obat dengan kepatuhan terapi ARV.
Hasil ini diperkuat penelitian Sulasmi dan Tambing yang menyatakan ada
hubungan antara motivasi klien dengan program pengob-atan. Sedangkan
penelitian Senewe dalam jur-nal ilmiah UNAIR menunjukkan bahwa ada
hubungan antara motivasi dengan kepatuhan berobat pada penderita TB Paru
di puskesmas Depok (Nasronudin dan Margarita, 2007).
Menurut Muzaham (1995) bahwa orang tidak akan mencari pertolongan
medis bila mereka mempunyai pengetahuan dan motivasi minimal yang
relevan dengan kesehatan, bila mereka memandang keadaan tidak cukup ber-
bahaya, bila tidak yakin terhadap keberhasilan suatu intervensi medis dan bila
mereka melihat adanya beberapa kesulitan dalam melaksana-kan perilaku
kesehatan yang disarankan.
Hal ini sejalan dengan Menurut Azwar (2001) motivasi adalah dorongan
untuk melakukan hal yang positif bagi dirinya dan orang lain. Motivasi
adalah penggerak tingkah laku ke arah suatu tujuan dengan didasari adanya
suatu kebutuhan yang dapat timbul dari dalam individu tersebut, atau dapat
diperoleh dari luar dan orang lain/keluarga. Aspek-aspek motivasi meliputi
memiliki sikap positif, berorientasi pada pencapaian suatu tujuan dan
kekuatan yang mendorong pasien. Motivasi sangat diper-lukan dalam
menjalankan kepatuhan terapi ARV, tanpa adanya motivasi terapi ARV tidak
dapat dilanjutkan (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosentase terbesar responden memiliki
dukungan keluarga tinggi sebesar 72,7 %. Ber-dasarkan uji statistik !sher’s
exact diperoleh nilai p= 0,023 (p<0,05) dengan taraf keper-cayaan 95%
menunjukkan bahwa Ho ditolak yang artinya adanya hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan terapi ARV.
Hasil ini diperkuat oleh penelitian Umayyah (2008) yang menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan
kepatuhan berobat penderita TB Paru, dan penelitian Siti Mahmudah tentang
kepatuhan berobat penderita kusta didapatkan hasil bahwa ada hubungan
yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pada
penderita kusta, serta penelitian yang dilakukan oleh Atik Ristiyani tentang
kepatuhan pemeriksaan rutin penderita DM didapatkan hasil bahwa ada
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga de-ngan kepatuhan
pemeriksaan rutin penderita DM.
Hal ini sejalan dengan BKKBN (2000) dukungan dari anggota keluarga dan
teman terdekat merupakan salah satu dukungan yang sangat diperlukan
terhadap pelaksanaan terapi ARV dan berpengaruh besar bagi ODHA untuk
memacu semangat hidupnya. Menurut Nursalam dan Ninuk (2007), beberapa
pen-dapat mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam konteks
hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga
merupakan sumber dukungan yang pa-ling penting. Dengan adanya
dukungan keluarga diharapkan keluarga penderita HIV/AIDS memahami
masalah HIV/AIDS, memberikan perhatian keparawatan bagi anggota yang
menderita HIV/AIDS. Intervensi melalui terapi ARV secara rutin dan terus
menerus sangat diperlukan oleh ODHA, karena itu diperlukan bantuan
keluarga dan orang-orang terdekat untuk membantu mengingatkan penderita
dalam mengkonsumsi obat pada jam yang tetap setiap hari, membawa obat
saat bepergian, dan me-rencanakan kapan mendapatkan obat selanjutnya
setelah persediaan obat telah habis (In-fokes, 2007).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari hasil penelitian, dapat ditarik simpulan berupa tiga variabel yang diteliti
yaitu pengetahuan, motivasi, dan dukungan keluarga berhubungan dengan
kepatuhan terapi ARV. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p=0,026; CC=0,464
untuk variabel pengetahuan; nilai p=0,007; CC=0,528 untuk variabel
motivasi; nilai p=0,023; CC=0,467 untuk variabel dukungan keluarga.
Saran
Bagi ODHA (orang dengan HIV/ AIDS) agar lebih patuh dalam menjalankan
terapi ARV dan tetap aktif dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) guna
berbagi pe-ngalaman dan informasi.
Bagi keluarga, perlu memberikan dukungan dan motivasi yang kuat agar
ODHA dapat patuh untuk selalu memi-num ARV secara teratur.
Bagi tenaga kesehatan perlu pemantauan terhadap ODHA dalam
menjalankan terapi ARV yang meliputi monitoring kepatuhan, monitoring
efek sam-ping, dan monitoring keberhasilan terapi ARV serta perlu
pengawasan untuk meminimalkan terjadinya drop out terapi ARV agar dapat
me-ningkatkan kualitas hidup ODHA.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. 2001. Prinsip Dasar Motivasi Pelaksanaan Program Kesehatan.
Jakarta: EGC
Nasronudin dan Margarita. 2007. Konseling, Du-kungan, Perawatan dan
Pengobatan ODHA. Surabaya: Airlangga University Press
Sulasmi, N. dan Tambing, M.T. 2005, Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Motivasi Klien Menarik Diri dalam Mematuhi Program Pengobata.
Jurnal Ilmiah, 7 (2): 2-5.
Umayyah, F. 2008. Hubungan antara Dukungan Ke-luarga sebagai PMO
dengan Kepatuhan Bero-bat Penderita di BP4, Klaten. Skripsi. Jogja-karta:
Universitas Gajah Mada