Anda di halaman 1dari 36

SUMBERDAYA AIR DAN PERILAKUNYA

Diabstraksikan oleh Soemarn0-2010

Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ayaupun


di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini
air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada
di darat.
Sumber air adalah empat atau wadah air alami dan/atau
buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah.
Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air
dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat
ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan
manusia serta lingkungannya.

Sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung
didalamnya.

Konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan,


keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumberdaya air agar
senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan mahluk hidup baik pada waktu sekarang
maupun pada generasi yang akan datang.

Pendayagunaan sumberdaya air adalah upaya penatagunaan,


penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan
sumberdaya air secara optimal, berhasilguna dan berdayaguna.

Pengendalian dan penanggulangan daya rusak air adalah upaya


untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan lingkungan
yang disebabkan oleh daya rusak air yang dapat berupa banjir, lahar
dingin, ombak, gelombang pasang, dan lain-lain.

Pengelolaan adalah upaya merencanakan, melaksanakan,


memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi,
pendayagunaan sumberdaya air, dan pengendalian daya rusak air.

Penatagunaan sumberdaya air adalah upaya untuk menentukan


zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air.

Penyediaan sumberdaya air adalah upaya pemenuhan kebutuhan


akan air dan daya air untuk memenuhi berbagai keperluan dengan
kualitas dan kuantitas yang sesuai.

Penggunaan sumberdaya air adalah pemanfaatan sumberdaya air


dan prasarananya sebagai media dan atau materi.
Pengembangan sumberdaya air adalah upaya peningkatan
kemanfaatan fungsi sumberdaya air tanpa merusak keseimbangan
lingkungan.

Pengusahaan sumberdaya air adalah upaya pemanfaatan


sumberdaya air untuk tujuan komersial.

Peruntukan air dan daya air adalah penentuan prioritas alokasi air
dan daya air untuk masing-masing keperluan dengan kualitas dan
kuantitas yang sesuai.

Hak guna sumberdaya air adalah hak untuk memperoleh dan


menggunakan sumberdaya air untuk keperluan tertentu.

Daerah Aliran Sungai (DAS) atau yang disebut dengan Daerah


Pengaliran Sungai (DPS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh
pemisah topografis, yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan
air ke anak sungai dan sungai utama yang bermuara ke danau atau
laut.

Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air


dalam satu atau lebih Daerah Aliran Sungai dan atau satu atau lebih
pulau-pulau kecil, termasuk cekungan air tanah yang berada di
bawahnya.

Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-
batas hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air tanah berlangsung.

Air tanah atau air bawah tanah adalah air yang terdapat dibawah
permukaan tanah pada lapisan tanah yang mengandung air.

Tata Pengaturan Air adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan


seperti pemilikan, penguasaan, pengelolaan, penggunaan,
pengusahaan dan pengawasan atas air beserta sumber-sumbernya
termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di-dalamnya,
guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam memenuhi
hajat hidup dan peri kehidupan Rakyat.

Kajian global kondisi air di dunia yang disampaikan pada World


Water Forum II di Denhaag tahun 2000, memproyeksikan bahwa pada
tahun 2025 akan terjadi krisis air di beberapa negara. Meskipun Indonesia
termasuk 10 negara kaya air namun krisis air diperkirakan juga akan
terjadi, sebagai akibat dari kesalahan pengelolaan air yang tercermin dari
tingkat pencemaran air yang tinggi, pemakaian air yang tidak efisien,
fluktuasi debit air sungai yang sangat besar, kelembagaan yang masih
lemah dan peraturan perundang-undangan yang tidak memadai.
Ketersediaan air di Indonesia mencapai sekitar 15.000 meter kubik per
kapita per tahun --masih di atas rata-rata dunia yang hanya 8.000 meter
kubik per kapita per tahun-- namun jika ditinjau ketersediaannya per pulau
akan sangat lain dan bervariasi. Pulau Jawa yang luasnya mencapai tujuh
persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya mempunyai empat
setengah persen dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini
dihuni oleh sekitar 65 persen total penduduk Indonesia. Kondisi ini
menggambarkan potensi kelangkaan air di Pulau Jawa sangat besar. Jika
dilihat ketersediaan air per kapita per tahun, di Pulau Jawa hanya tersedia
sekitar 1.750 meter kubik per kapita per tahun, masih di bawah standar
kecukupan yaitu 2000 meter kubik per kapita per tahun.
Jumlah ini akan terus menurun sehingga pada tahun 2020
diperkirakan hanya akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik per kapita per
tahun. Apabila fenomena ini terus berlanjut maka akan terjadi keterbatasan
pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah-daerah
tersebut karena daya dukung sumberdaya air yang telah terlampaui.
Potensi krisis air ini juga dikhawatirkan terjadi di Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Sulawesi Selatan .
Masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan
yang makin tidak kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air.
Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi
daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu akibat kerusakan hutan
yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai 18,5 juta
hektar. Di samping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22 buah pada
tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998.
Fenomena degradasi hutan telah menyebabkan turunnya
kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau sehingga
frekuensi dan besaran banjir makin meningkat, demikian juga sedimentasi
makin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di waduk dan sungai
sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999
terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam
kondisi kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan
minimum sungai-sungai yang sudah jauh melampaui batas normalnya.
Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai akibat penambangan
bahan galian golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Sumatera Barat yang telah menyebabkan kerusakan struktur
dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air dan terjadinya
kelangkaan ketersediaan air, orang mulai terpancing untuk berpikir dan
memandang air sebagai barang ekonomi (economic goods). Seperti yang
tercantum dalam Dublin Priciples (1992) Water has an economic value
in all its competing uses and should be recognized as an economic
good. Kelangkaan air dianggap sebagai peluang ekonomi. Buat mereka,
kelangkaan air harus diatasi dengan efisiensi pemakaian, yang
ditindaklanjuti dengan pembatasan pemakaian air dengan cara menaikkan
nilai ekonomi air sehingga orang akan berhati-hati memakai air karena
mahal. Saat sebagian orang tertarik untuk menjual air langsung sebagai
barang komoditi, beberapa pemakai air lainnya mulai terganggu, karena
bagi budidaya pertanian, ketersediaan air akan dapat menunjang
peningkatan produksi pangan, peningkatan pendapatan petani, lapangan
pekerjaan dan ketahanan pangan.
Kebutuhan air sector pertanian di beberapa Negara Asia hampir
mencapai 90% dari tingkat ketersediaan air, demikian juga di Indonesia.
Hal ini karena sebagian besar masyarakat hidup dari pertanian dan
ketahanan pangan menjadi komponen utama bagi ketahanan bangsa.
Semakin meningkatnya persaingan di antara para pengguna air,
maka pertimbangan ekonomis sering menjadi pertimbangan dalam alokasi
air. Air dapat mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi apabila dijual
langsung sebagai barang komoditi.
Ancaman terhadap alokasi air akibat kesenjangan ini telah mulai
terjadi. Beberapa industri yang mendapatkan air dari saluran irigasi dan air
tanah, dengan cara membeli atau menyewa tanah petani atau mengambil
alokasi pergiliran pemberian air irigasi bagi tanah yang dibeli/disewa
tersebut, dan kadang-kadang masih menambah beberapa pipa
pengambilan bahkan dengan pemompaan. Untuk menambah jumlah air
yang dapat diambil, beberapa industri tersebut juga melakukan
pendekatan kepada petani bagian hulu agar dapat merelakan sebagian
airnya dengan imbalan misal dengan pembangunan saluran drainasi. Yang
paling dirugikan pada keadaan ini adalah petani dibagian hilir yang akan
kekurangan air. Proses realokasi air irigasi untuk kepentingan lain, akan
memberikan pengaruh negatif pada ekonomi di pedesaan, berkurangnya
air irigasi, akan mengurangi luas tanam dan akan mengakibatkan
hilangnya mata pencaharian, penurunan produksi pangan dan gangguan
sosial lainnya. (Rosegrant and Ringler, 1998). Sebetulnya perubahan
alokasi seperti di atas tidak diperbolehkan, berkenaan dengan Undang-
Undang No 7/2004, pasal 29 ayat (3) prioritas pemberian air irigasi lebih
tinggi dari pada pemberian air untuk kepentingan industri, namun dengan
pendekatan bahwa alokasi air itu melekat pada lahan pertanian, maka
seseorang yang menyewa atau membeli tanah pertanian tersebut dapat
mengambil air irigasi yang menjadi hak yang melekat atas lahan itu (Budi
Santosa Wignyosukarto, 2006).

Pengelolaan sumberdaya air di Indonesia menghadapi problema


yang sangat rumit dan kompleks, mengingat air mempunyai beberapa
fungsi baik fungsi sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan yang masing-
masing dapat saling bertentangan. Dengan terjadinya perubahan iklim
global, semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas kegiatan
ekonomi, telah terjadi perubahan sumberdaya alam yang sangat cepat.
Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian,
pemukiman dan industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam suatu
kerangka pengembangan tata ruang, telah mengakibatkan terjadinya
degradasi lahan, erosi, tanah longsor, banjir. Hal itu telah mengakibatkan
terjadinya peningkatan konflik antara para pengguna air baik untuk
kepentingan rumah tangga, pertanian dan industri, termasuk penggunaan
air permukaan dan air bawah tanah di perkotaan. Saat ini sektor pertanian
menggunakan hampir 80% kebutuhan air total, sedangkan kebutuhan
untuk industri dan rumah tangga hanya 20%. Pada tahun 2020,
diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan
industri sebesar 25% – 30%.
Beberapa daerah aliran sungai di Pulau Jawa telah mengalami
degradasi yang sangat memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah
mengakibatkan terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang telah
dibangun di sungai Citarum, Brantas, Serayu-Bogowonto dan Bengawan
Solo. Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk, usia
tampung beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan mampu
memenuhi kebutuhan air baku hingga tahun 2010 saja.
Pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer di kota-
kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya) telah
mengakibatkan terjadi intrusi air laut dan penurunan elevasi muka tanah.
Ketidaktersediaan sistem sanitasi dan pengolah limbah industri yang baik,
juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah dan sungai
oleh buangan air rumah tangga dan industri, terutama di musim kemarau.
Di saat lain, di musim hujan, banjir terjadi di mana-mana, akibat karena
semakin kecilnya daerah resapan, turunnya kapasitas sungai dan
rusaknya sistem drainasi internal.

Sumber mata air Kawasan Kars Kendeng Utara Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Pati (Sumber:

Kawasan kars Sukolilo memiliki fungsi utama sebagai fungsi


hidrologis, yang berguna bagi kelangsungan sistem ekosistem
yang ada di kawasan kars. Banyaknya outlet-outlet mata air yang
keluar menunjukkan bahwa kawasan kars Sukolilo merupakan
kawasan kars aktif yang telah dan sedang mengalami proses
karstifikasi. Keberadaan air yang melewati sungai-sungai bawah
permukaan dan sumber-sumber air sangat memberikan peranan
penting terhadap setiap aset-aset kehidupan dan penghidupan
yang ada di kawasan kars baik oleh biota-biota yang ada di dalam
gua, flora dan fauna yang ada di permukaan dan manusia
sebagai komponen utama yang berperan penting dalam suatu
ekosistem. Perbukitan batugamping kawasan ini memiliki sifat-
sifat kawasan kars.
Fisik dan struktur geologi perbukitan ini, dengan sempurna telah
menyimpan dan memelihara air dalam jumlah dan masa tinggal
yang ideal. Sehingga dapat mencukupi kebutuhan air bagi warga
setempat di musim kemarau sampai datangnya musim hujan
berikutnya. “Kemampuan bukit kars dan mintakat epikars pada
umumnya telah mampu menyimpan tiga hingga empat bulan
setelah berakhirnya musim penghujan, sehingga sebagian besar
sungai bawah tanah dan mata air mengalir sepanjang tahun
dengan kualitas air yang baik” (Haryono, 2001).
Mata air epi-karst dikenal mempunyai kelebihan dalam hal:
1. Kualitas air. Air yang keluar dari mata air epikars sangat
jernih karena sedimen yang ada sudah terperangkap
dalam material isian atau rekahan.
2. Debit yang stabil. Mata air yang keluar dari mintakat
epikars dapat mengalir setelah 2 - 3 bulan setelah musim
hujan dengan debit relatif stabil.
3. Mudah untuk dikelola. Mata air epikars umumnya muncul
di kaki-kaki perbukitan, sehingga dapat langsung
ditampung tanpa harus memompa.

Kawasan kars ini menjadi sebuah tandon air alam raksasa bagi
semua mata air yang terletak di kedua kabupaten tersebut. Akifer
yang unik menyebabkan sumberdaya air di kawasan kars
terdapat sebagai sungai bawah permukaan, mata air, danau
dolin/telaga, dan muara sungai bawah tanah (resurgence).
Kawasan kars disinyalir merupakan akifer yang berfungsi sebagai
tandon terbesar keempat setelah dataran alluvial, volkan dan
pantai.

Siklus Air di Alam


Siklus perjalanan air adalah ketika titik embun yang berada di
atmosfer mencapai titik jenuh, turun menjadi curahan hujan. Hujan jatuh di
permukaan bumi, di hutan-hutan, atau di rawa-rawa. Selanjutnya
sebagian air hujan ini meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi;
dan ketika tanah sudah mulai jenuh, air menggenang dipermukaan tanah
dan mencari tempat yang lebih rendah. Pada saat air permukaan bergerak
mencari daerah yang lebih rendah, terjadilah aliran air di permukaan tanah
yang disebut surface runoff. Jika air hujan jatuh pada tanah yang miring,
maka sebagian tetesan air hujan ini tidak sempat meresap ke dalam
tanah, melainkan menjadi aliran permukaan. Air yang mengalir di
permukaan tanah tersebut akan bertambah besar jumlahnya setelah
bertemu dengan aliran air dari lokasi lain, mengalir menuju lembah, dan
memasuki aliran sungai. Jika jumlah air yang mengalir di permukaan jauh
lebih besar dibandingkan dengan yang meresap ke dalam tanah, dapat
menyebabkan banjir atau luapan aliran permukaan.
Air yang mengalir di sungai juga berasal dari air hujan yang
meresap kedalam tanah, seterusnya menembus lapisan yang mampu
menyimpan air yang pada umumnya merupakan lapisan pasir (mereka
sebut namanya lapisan aquifer) dan pada tempat tertentu memunculkan
airnya kembali ke permukaan sebagai sumber atau mata air. Air dari mata
air ini, airnya terus mengalir ke dalam sungai. Sungai dengan segala sifat-
sifatnya, mengalirkan air jauh sampai ke laut. Air laut (biasanya asin)
ketika mendapat energi panas matahari mengalami penguapan, proses
penguapan ini disebut evaporasi. Air laut yang menguap ditiup angin
menuju darat, mendaki lereng sampai ke puncak gunung, mengumpul jadi
satu, berubah menjadi embun. Maka turunlah hujan. Kalau uap air yang
naik ke lapisan atmosfeer masih berada di atas lautan, kemudian
mencapai titik jenuh, jatuh kembali ke laut sebagai hujan, dinyatakan siklus
pendek.

Pola aliran air permukaan, DAS (Sumber:


http://sonyssk.wordpress.com/2008/10/04/air-dan-tanah-sumber-kehidupan/)

Apa itu DAS?

A watershed is the surrounding land area that drains into a


stream. Watersheds cover the entire land surface of the earth.
Watersheds contain homes, neighborhoods, cities, forests,
farmland, and more. Watersheds come in all shapes and sizes
and can even cross state lines.
Smaller streams flow into larger rivers. Just like streams, smaller
watersheds join together to form larger watersheds. Because we
all live in a watershed, our actions directly impact our watershed.
If there is pollution in your watershed, then your stream will get
polluted from the runoff that drains into it.

Pentingnya vegetasi pohon untuk menyimpan air hujan (Sumber:


http://www.nccwep.org/stormwater/stormwater101/what_is_watershed.php)

The infiltration capacity of the soil depends on its texture and structure, as
well as on the antecedent soil moisture content (previous rainfall or dry
season). The initial capacity (of a dry soil) is high but, as the storm
continues, it decreases until it reaches a steady value termed as final
infiltration rate.
Schematic diagram illustrating relationship between rainfall, infiltration and
runoff (Source: Linsley et al. 1958).
Air sebagai Sumberdaya Ekonomi

Dewasa ini air sudah menjadi barang ekonomi dan mahal karena
keberadaannya semakin langka, bahkan banyak yang tercemar
bermacam-macam limbah dari hasil aktivitas manusia dan rumah tangga,
limbah pertanian, peternakan, industri dan lain sebagainya. Indikator atau
tanda air telah tercemar adalah perubahan suhu air, pH atau konsentrasi
ion hidrogen, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan, koloid bahan
terlarut, mikroorganisme dan radioaktif air. Wilayah kota dan kabupaten
merupakan wilayah yang memiliki sumber daya air, berupa air permukaan
dan air tanah yang potensial. Hal tersebut nampak dari beberapa sungai
yang berukuran cukup besar dan mata air yang merupakan sumber
potensial bagi penyediaan kebutuhan air baku penduduk. Keseimbangan
air tanah (neraca air) di dapat dibuat berdasarkan besar input dan output
yang ada. Input merupakan debit air sungai yang ada, sedangkan output
merupakan total penggunaan air untuk keperluan domestik (rumah
tangga), untuk irigasi dan untuk industri pariwisata.
Keseimbangan penggunaan air di suatu wilayah, seperti
Kabupaten Gianyar, berdasarkan sumbernya yaitu sebesar 3.369.871,8
m3/hari dengan total penggunaan sebesar 1.759.792,046 m3/hari,
sehingga masih terdapat cadangan air untuk wilayah Kabupaten Gianyar
sebesar 1.610.079,754 m3/hari (Made Sudita dan Made Antara, 2006).
Surat Keputusan Bupati Gianyar Nomor 4 tahun 2003 tentang Penetapan
Obyek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Gianyar, Sumber mata air di
Desa manukaya ditetapkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik
wisata. Selain peninggalan fisik (pura), mata air di Sumber mata air yang
dialirkan lewat pancuran memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan
yang sedang berkunjung.
Air yang bersumber dari mata air ini juga dimanfaatkan untuk air
Suci atau Nunas Tirta, bahan baku air minum oleh PDAM Kabupaten
Gianyar sebanyak 330,32 m3/bulan yang bersumber dari tiga titik
pengambilan (Made Sudita dan Made Antara, 2006), kebutuhan air untuk
Istana Presiden Tampaksiring, air irigasi subak Pulagan Kumba seluas
183,5 ha dan untuk membersihkan diri atau melebur. Oleh masyarakat
setempat, dengan mandi (melebur) di pancuran tersebut diyakini dapat
membuang sial dan menyembuhkan penyakit. Wisatawan yang datang
untuk mandi di permandian umum sekitar Sumber mata air dominan
wisatawan lokal, yang sampai saat ini belum di pungut biaya apapun.
Padahal ini merupakan aset yang perlu dikelola demi kelestarian fungsi
dan keberlangsungan Sumber mata air.
Fluktuasi debit air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
air irigasi sangat beragam dan berfluktuasi antar waktu, kondisi rona
lingkungan sekitar mata air sangat mempengaruhi debit air ini.
Kecendrungan perubahan tataguna lahan dari kawasan bukan terbangun
menjadi kawasan terbangun dan sistem pengolahan lahan yang tidak
sesuai dengan peruntukan telah mencapai kawasan-kawasan lindung
yang seharusnya dikonservasi, seperti sempadan jurang dan sempadan
sungai yang akan berpengaruh terhadap sistem aliran air pemukaan (run
off) dan infiltrasi. Demikian pula halnya dengan daerah aliran sungai
bagian hulu (kawasan Sumber mata air) yang merupakan daerah
tangkapan hujan, telah mendapat tekanan menjadi daerah pertanian yang
intensif dan perubahan peruntukan dari lahan non terbangun menjadi
kawasan terbangun. Jika fenomena ini dibiarkan berlangsung terus tanpa
ada usaha-usaha menemukan solusinya, dikhawatirkan sumber air di
kawasan Sumber mata air akan semakin menyusut dan mungkin suatu
hari akan hilang, sedangkan di pihak lain sumber mata air dibutuhkan oleh
berbabagai pihak untuk berbagai keperluan. Karenanya, keberadaan air di
kawasan Sumber mata air harus dikaji, khususnya terkait nilai sosial
(social benefit), nilai ekonomi total (total economic value) yang terkandung
di dalamnya, dan usaha-usaha pelestarian saat ini yang telah dan perlu
dilakukan oleh berbagai pihak.

Siklus air hujan (Sumber:


http://www.co.portage.wi.us/groundwater/undrstnd/runoff.htm)

Runoff (RO) is the total amount of water flowing into a stream, or the sum of
direct runoff and baseflow. To determine the amount of annual runoff,
subtract the amount of annual evapotranspiration from the annual amount of
precipitation.

Precipitation – Evapotranspiration = Runoff (RO)

RO = DRO + BF or RO = OF + SOF + IF + BF

From here, runoff can be divided into two successively smaller


subcategories:
Direct Runoff (DRO) is the sum of surface runoff and interflow.

DRO = SRO + IF or DRO = OF+ SOF + IF


Surface Runoff (SRO) is the sum of overland flow and saturation excess
overland flow.

SRO = OF + SOF
Valuasi Ekonomi Air

Penelitian menggunakan pendekatan teknik nilai pasar dan teknik


survei untuk mengetahui nilai/manfaat sosial (social value) dan ekonomi
total (Total Economic Value) terhadap keberadaan air di Kawasan Sumber
mata air. Penelitian bersifat studi kasus dan lebih berorientasi pada proses
menuju pembentukan konsep sebagai landasan management option.
Penelitian ini mempunyai fokus substansi sebagai berikut: (1) Memberikan
penilaian secara moneter terhadap nilai/manfaat sosial (social value)
berdasarkan pendekatan-pendekatan yang telah diuraikan; (2)
Menentukan nilai ekonomi total atau Total Ekonomic Value (TEV) yang
terkandung dalam mata air di kawasan Pura Tirta Empul.
Sejumlah konsep berharga, dan teknik penilaian praktis telah
dikembangkan untuk
melacak dampak kesejahtraan dari perubahan mutu lingkungan. Menurut
Munasinghe dan Lutz (1993), Dixon and Hufschmidt (1986), Pearce and
Kerry (1990), secara konseptual total nilai ekonomi atau Total Ekonomic
Value (TEV) suatu sumber daya terdiri dari nilai penggunaan atau Use
Value (UV) dan nilai non penggunaan atau Non Use Value (NUV).
Nilai penggunaan dapat dibagi menjadi nilai penggunaan langsung atau
Direct Use Value DUV), nilai penggunaan tidak langsung atau The Indirect
Use Value (IUV), dan nilai pilihan atau Option Value (OV). Sedangkan nilai
non penggunaan atau Non Use Value (NUV) terdiri dari nilai keberadaan
atau Existence Value (EV) dan nilai hibah wasiat atau Bequest Value (BV),
sehingga Total Ekonomic Value (TEV) dapat dituliskan sebagai berikut:

TEV = UV + NUV atau TEV = (DUV+IUV+OV) + (EV+BV).

Keterangan: TEV = Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value); UV = Nilai


Penggunaan (Use Value); NUV = Nilai non penggunaan (Non Use value);
DUV = Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value); IUV = Nilai
Penggunaan tak langsung (Indirect Use Value); OV = Nilai pilihan (Option
Value); EV = Nilai keberadaan (Existence Value); BV = Nilai Warisan
(Bequest Value).

Konsep Total Economic Value (TEV) dapat digambarkan dalam bentuk


bagan seperti
disajikan pada bagan berikut.
Gambar 1. Katagori tentang Nilai-nilai Ekonomi Dihubungkan dengan Aset
Lingkungan.
Berbagai metode penilaian terhadap dampak lingkungan telah
dipraktekkan, beberapa diantaranya seperti pendekatan teknik nilai pasar
dan pendekatan teknik survei (Reksohadiprodjo, 1997), yang masing-
masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pendekatan Nilai Pasar atau Produktivitas

Teknik nilai pasar biasanya dipakai untuk meneliti pengaruh pembangunan


terhadap sistem alami seperti pada perikanan, kehutanan, pertanian;
pengaruh pada sistem yang dibangun manusia yaitu gedung, jembatan,
bahan; juga pengaruh pada produk di sektor produsen dan rumah tangga.
Di dalam menilai atau memberi harga terhadap dampak suatu proyek,
selama ada harga pasar untuk produk atau jasa yang hilang atau yang
timbul dari adanya suatu proyek, sebaiknya digunakan harga pasar.
Dengan adanya satu proyek, di samping manfaat biasanya ada korban
fisik atau hilangnya suatu produk atau aset, sehingga dengan
menggunakan harga pasar akan dapat diperkirakan nilai biaya atau korban
dari proyek tersebut.
Perbaikan dalam kualitas lingkungan menjurus pada perubahan dalam
produktivitas dan biaya produksi, sehingga harga-harga serta tingkat hasil
juga berubah dan ini dapat diukur seperti misalnya, (i) Pengaruh erosi
tanah menstabilkan atau bahkan menaikan hasil padi di dataran tinggi.
Tambahan produktivitas (hasil ekstra) erosi dikalikan harga pasar adalah
manfaat dari program pengurangan erosi; (ii) Perbaikan kualitas air irigasi
dapat menaikkan produktivitas tanaman. Tambahan hasil hasil merupakan
manfaat perbaikan kualitas air.

Pendekatan Survei

Pendekatan teknik survey ada dua macam, yang semuanya berdasarkan


wawancara di lapangan yaitu wawancara kemauan membayar
(Willingness to Pay) atau menerima kompensasi (Willingness to Accept)
dan wawancara tentang pilihan kualitas.

a. Wawancara Kemauan Membayar atau Menerima Kompensasi atau


Pampasan.

Asumsi pendekatan tawar menawar ini ialah bahwa harga barang-barang


atau jasa-jasa berbeda tergantung pada perubahan dalam jumlah kualitas
yang disuplai. Orang ditanya untuk menilai kelompok-kelompok yang
terdiri dari berbagai barang dan jasa. Penilaian didasarkan pada
kesediaan orang untuk membayar sekelompok barang yang lebih baik
(variasi kompensasi) atau kesediaan menerima pembayaran bila
memperoleh barang dan jasa yang lebih inferior (variasi ekuivalen). Untuk
barang publik kurve penawaran dijumlah secara vertikal untuk
memperoleh tawaran total. Biaya marginal menyediakan barang dengan
pemakaian marginal sama dengan nol. Kurva ini merupakan surogat kurve
permintaan yang dipampas oleh penghasilan (income compensated
demand curve), dengan prosedur, yaitu:
(1) Pewawancara menjelaskan kuantitas, kualitas, waktu, lokasi
barang yang dapat dipakai dalam waktu tertentu;
(2) Mulai ditanya bersedia membayar, kalau ya dinaikan sampai dia
tak bersedia membayar;
(3) Diturunkan lagi sampai benar-benar bersedia membayar
berapa;
(4) Hal seperti ini disebut pendekatan “converging” atau
”memfokus” atau orang ditanya: “lebih baik membayar berapa
dari pada kehilangan barang itu”.
b. Wawancara tentang Pilihan Kualitas
Pendekatan ini mewawancarai secara langsung untuk menentukan pilihan
orang atas berbagai jumlah barang, sehingga dapat disimpulkan
kesediaan orang untuk membayar sejumlah uang. Pilihan tersebut tanpa
biaya dalam arti bahwa perbandingan dilakukan antara dua atau lebih
alternatif yang masing-masing diinginkan orang dan gratis. Salah satu
alternatif tersebut ada harganya, yaitu barang lingkungan, yang lain
barang biasa yang dibeli orang bila ia memiliki cukup uang. Dengan
demikian nilai barang lingkungan, apabila barang tersebut dipilih, paling
tidak senilai dengan uang yang “hilang”. Jadi ada nilai minimum barang.

Perhitungan nilai/manfaat sosial (Social Value) dan nilai ekonomi total


(Total Economic Value) didahului dengan mengidentifikasi nilai-nilai yang
terkandung di dalam sumber daya air di kawasan Sumber mata air
sebagai berikut:

1. Nilai Penggunaan Langsung

Made Sudita dan Made Antara (2006) melakukan estimasi Nilai


penggunaan langsung sumber daya air di kawasan Sumber mata air
sampai saat ini digunakan untuk sumber bahan baku Air PDAM Kabupaten
Gianyar, untuk kebutuhan air Istana Presiden Tampaksiring dan digunakan
untuk melebur (membersihkan diri). Pendekatan yang digunakan untuk
PDAM dan Istana Presiden Tampaksiring adalah pendekatan harga pasar
dan untuk melebur digunakan teknik survei yaitu:

Nilai Penggunaan Langsung = Total Pemanfaatan Air x Harga Dasar/m3.

Sebagai contoh, harga dasar air per m3 ditetapkan sesuai dengan Perda
Kab. Gianyar Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.

Air yang dimaksud dalam penelitian ini adalah air yang bersumber dari
mata air di kawasan Pura Tirta Empul, Desa Manukaya Kecamatan
Tampaksiring Kabupaten Gianyar. Pelestarian fungsi air yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pelestarian fungsi air yang bersumber dari
mata air di kawasan Pura Tirta Empul yang dimanfaatkan untuk bahan
baku air minum oleh PDAM Kabupaten Gianyar, memenuhi kebutuhan air
Istana Presiden Tampaksiring, nunas tirta dan untuk melebur.
Nilai Penggunaan langsung air di kawasan Pura Tirta Empul untuk bahan
baku air PDAM Gianyar adalah rata-rata pemanfaatan per bulan dikalikan
harga dasar yaitu 38.456,83 m3 x Rp.75,00 = Rp.2.884.262,25/bulan atau
Rp.34.611.147,00/tahun.

Menurut Dixon dan Hufschmidt (1993), pendekatan teknik survei yaitu


kesediaan untuk membayar (Willingnes to Pay) dari konsumsi suatu
barang lingkungan. Pendekatan ini akan digunakan untuk menilai sumber
daya air dikawasan Sumber mata air yang digunakan untuk membersihkan
diri (melebur). Jangkauan kesediaan membayar (Willingness to Pay) akan
dikelompokkan ke dalam kelas, dengan menggunakan pendekatan
Sturges (Dajan, 1976) sebagai berikut:

K = 1 + 3,322 log n

Dimana: K = jumlah kelas; N = jumlah angka yang terdapat dalam data


(sampel).

Setelah dihitumg maka jumlah kelas (k) = 9,5079 dibulatkan menjadi 10


kelas. Sedangkan untuk mengetahui besarnya interval dalam kelas dapat
diperkirakan sebagai berikut :

Dimana: i = interval kelas; Jarak = kesediaan membayar tertinggi –


kesediaan membayar terendah atau Rp. 5.000,00 – Rp. 0,00 = Rp.
5.000,00

Setelah dihitung maka interval kelas (i) = Rp. 500,00, maka jangkauan
kesediaan membayar dapat dikelompokkan ke dalam 10 kelas dengan
interval kelas Rp 500,00. Kesediaan untuk membayar (Willingnes toPay)
baik masyarakat Desa Manukaya maupun yang dari luar akan dihitung
dengan rumus sebagai berikut, Dixon and Hufschmidt (1993):

Keterangan: TWP = Kesediaan membayar total; AWPi = Kesediaan


membayar rata-rata, jumlah 1 sampai dengan 10; ni = Banyaknya
responden yang bersedia membayar AWPi; N = Banyaknya orang yang
diwawancarai sebagai sampel.

Sumberdaya air di kawasan sumber-mata-air Pura Tirta Empul juga


dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan sekitarnya untuk
membersihkan diri (melebur). Manfaat melebur merupakan nilai
penggunaan langsung yang dihitung dengan pendekatan teknik survei
yaitu metode Willingness to Pay (WTP). Masyarakat yang dijadikan
sampel dikelompokan menjadi dua yaitu masyarakat dari Desa Manukaya
dan masyarakat luar yang kebetulan sedang melebur di kawasan Pura
Tirta Empul. Dari 364 masyarakat Desa Manukaya yang dijadikan sample
kegiatan melebur, dua orang tidak bersedia membayar dan 362 orang
bersedia membayar dengan tingkat harga yang bervariasi. Dari jumlah
sampel yang bersedia membayar sebanyak 131 orang (36%) bersedia
membayar pada tingkat Rp. 501,00 – Rp. 1.000.00, sebanyak 91 orang
(25%) bersedia membayar pada tingkat Rp. 4.001,00 – Rp. 10.000,00,
sebanyak 71 orang (19,5%) bersedia membayar Rp. 1.501,00 – Rp.
2.000,00. Variasi ini disebabkan masyarakat Desa Manukaya merasa
memiliki air di kawasan Tirta Empu, sehingga pada umumnya hanya mau
membayar pada tingkat Rp. 501,00 –Rp. 1.000,00. Kesediaan membayar
tertinggi oleh masyarakat Desa Manukaya untuk melebur sebesar
Rp.10.000,00. Jadi total kesediaan membayar masyarakat Desa
Manukaya untuk satu kali melebur sebesar Rp. 26.509.324,53/bulan atau
Rp. 318.111.894,36/tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Tingkat Kesediaan Membayar dan Nilai Ekonomi Air di kawasan


Pura Tirta Empul untuk Satu Kali melebur Sampel dari Desa
Manukaya (Made Sudita dan Made Antara , 2006)

Januaris (2004) melakukan estimasi nilai ekonomi air sebagai air


irigasi pertanian di DAS Kampar. Air dipandang sebagai salah satu
sumberdaya alam yang mempunyai peranan sangat besar dalam
menunjang pembangunan pertanian. Adanya pemanfaatan sumberdaya
air yang intensif untuk irigasi pertanian di DAS Kampar, diperkirakan telah
dapat memberikan manfaat kepada masyarakat setempat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui besaran nilai manfaat air irigasi secara
ekonomi dalam menunjang pembangunan pertanian di DAS Kampar,
untuk dijadikan sebagai referensi atau bahan pertimbangan dalam
perencanaan pegelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan di DAS
Kampar. Wilayah penelitian merupakan suatu kawasan, tempat
terkonsentrasinya beberapa prasarana irigasi di DAS Kampar, yang
terletak di sebelah hilir Bendung PLTA Koto Panjang dan termasuk ke
dalam wilayah administrasi Kabupaten Kampar.
Metoda yang dipakai dalam mengestimasi nilai ekonomi air irigasi ini
adalah dengan menggunakan Metoda Harga Pasar Pengganti, yaitu
menggunakan Biaya Pengadaan sebagai pengganti nilai ekonomii air
irigasi. Kemudian Metoda Nilai Pasar atau Produktifitas, yang
menggunakan selisih produktifitas lahan beririgasi dengan produktifitas
lahan non irigasi sebagai nilai ekonomi air irigasi.
Hasil penelitian Januaris (2004) menunjukkan bahwa nilai ekonomi
air irigasi melalui metoda Harga Pasar Pengganti adalah sebesar Rp
302.202.000,00 per tahun dan melalui metoda Nilai Pasar atau
Produktifitas adalah sebesar Rp. 6.733.606.500,00 per tahun, atau Rp.
1.483.500,00 per hektar per tahun. Berdasarkan analisis ekonomi,
diperoleh nilai neto ekonomi air irigasi sekarang (NPV) sebesar Rp.
2.020.961.675,00. Dengan demikian disimpulkan bahwa air irigasi ternyata
mempunyai peranan ekonomi yang cukup tinggi dalam menunjang
pembangunan pertanian di Kabupaten Kampar .

Tanjung Faidil (2006) melakukan valuasi nilai ekonomi air sehubungan


dengan Pemanfaatan air oleh PDAM Sumatera Barat. Sejalan dengan
peningkatan kebutuhan air untuk sektor-sektor non-pertanian yang terus
meningkat seperti industri, PLTA, PDAM, air yang selama ini dimanfaatkan
oleh pertanian direlokasi untuk memenuhi kebutuhan pengguna non-
pertanian tersebut. Tindakan merelokasi air untuk memenuhi kebutuhan
non-pertanian tersebut cenderung menimbulkan dampak yang merugikan
terhadap pengguna air yang telah ada sebelumnya yakni pertanian.
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian tentang Nilai Ekonomi Air dan
Kompensasi Sehubungan Dengan Re-Alokasi Air Dari Pemanfaatan
Pertanian Ke Perusahaan Daerah Air Minum Di Sumatera Barat penting
dilakukan.
Penelitian ini dilakukan untuk (1) Mengetahui Faktor-faktor yang
menentukan realokasi air dari pertanian ke pengguna non-pertanian. (2)
mengestimasi nilai ekonomi air; (3) Menentukan kompensasi sehubungan
dengan re-alokasi air dari pertanian ke pengguna non-pertanian.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif berposisi
dominant, sedangkan pedekatan kualitatif berposisi less-dominant.
Pendekatan kuantitatif digunakan sebagai alat utama dalam menentukan
kompensasi dan pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memberikan
penjelasan atau makna terhadap hasil yang diperoleh dari pendekatan
kuantitatif. Hasil penelitian menjelaskan antara lain:
(1) Faktor-faktor yang menentukan realokasi air dari pemanfaatan
pertanian ke non pertanian antara lain (a) meningkatnya
kebutuhan air non pertanian (b) perubahan jenis usaha tani
yang membutuhkan air banyak (usahatani padi sawah) ke
usaha tani dengan kebutuhan air sedikit (usahatani sayur-
sayuran), (c) adanya kelebihan air jika hanya manfaatkan untuk
satu pengguna saja (pertanian).
(2) Konflik akibat realokasi air dapat diselesaikan dengan
pembayaran kompensasi oleh pihak yang menerima manfaat
yakni PDAM .
(3) Kesediaan membayar kompensasi (willingness to pay) pihak
yang memperoleh manfaat ternyata lebih rendah dari
kesediaan untuk menerima kompensasi (willingness to
sell/Accept (WTA) kompensasi.

Tanjung Faidil (2006) merekomendasikan penelitian lanjutan tentang


besarnya nilai kompensasi yang layak antara pihak yang memperoleh
manfaat dengan pihak yang menderita kerugian akibat adanya tindakan
relaokasi air antar pengguna.

2. Nilai Penggunaan Tak Langsung


Nilai penggunaan tak langsung sumber daya air di kawasan
Sumber mata air dimanfaatkan untuk obyek wisata yang dikunjungi oleh
wisatawan dari manca negara. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan harga pasar dengan menghitung jumlah penerimaan dari
karcis masuk ke obyek wisata Sumber mata air.

3. Nilai Pilihan dan Nilai Warisan


Nilai pilihan dan nilai warisan air di kawasan Sumber mata air
dimanfaatkan untuk mengambil air. Pendekatan yang digunakan adalah
harga pasar dengan menghitung jumlah uang yang diperoleh dari
masyarakat yang mengambil air.

4. Nilai Keberadaan
Nilai keberadaan air di kawasan sumber mata air dimanfaatkan
untuk air irigasi, keperluan PDAM, dan kebutuhan air rumahtangga.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan survei dengan
menghitung selisih keuntungan bersih petani untuk menanam padi dengan
menanam palawija dalam satu tahun. Selisih keuntungan merupakan nilai
atas pemanfaatan sumber daya air di kawasan sumber mata air. Di
samping hal tersebut ada penggunaan air untuk kebutuhan sehari-hari
masyarakat sekitar (kebutuhan domestic) dan pemanfaatan air untuk
perusahaan daerah air minum.

5. Nilai/Manfaat Sosial Total


Nilai/manfaat sosial total sumber daya air di kawasan sumber mata
air diperoleh dengan menjumlahkan nilai penggunaan tak langsung
(sebagai obyek wisata) dan nilai pilihan dan nilai warisan.

6. Nilai Ekonomi Total


Nilai ekonomi total sumber daya air di kawasan sumber mata air
diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai yang terkandung seperti nilai
penggunaan langsung, nilai penggunaan tak langsung, nilai pilihan dan
warisan, serta nilai keberadaannya setelah dikurangi biaya-biaya (Dixon
and Hufschmidt, 1986; Munasinghe, 1993) sebagai berikut:

TEV = UV + NUV atau

TEV = (DUV+IUV+OV) + (EV+BV)

Keterangan: TEV = Nilai ekonomi total (Total Economic Value); UV


= Nilai penggunaan (Use Value); NUV = Nilai non penggunaan (Non Use
value); DUV = Nilai penggunaan langsung (Direct Use Value); IUV = Nilai
penggunaan tak langsung (Indirect Use Value); OV = Nilai pilihan (Option
Value); EV = Nilai keberadaan (Existence Value); BV = Nilai warisan
(Bequest Value).

Nilai Ekonomi Total

Made Sudita dan Made Aantara (2006) menghitung nilai ekonomi


total air di kawasan Pura Tirta Empul dengan menjumlahkan nilai-nilai
seperti nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tak langsung, nilai
pilihan dan nilai warisan, dan nilai keberadaannya dikurangi biaya-biaya
operasiobal dan rata-rata biaya konservasi pemeriantah yang dikeluarkan
per tahun, yaitu Rp.957.051.591,36 / tahun + Rp.616.508.000,00 / tahun +
Rp.165.691.620,00 / tahun + Rp.602.950.698,00 / tahun - Rp.
15.800.000,00/tahun - Rp. 12.361.437,50 / tahun = Rp. 2.314.040.471,86 /
tahun.

KIRSFIANTI Linda Ginoga , Mega Lugina, R. Deden Djaenudin ,


dan Y. C. Wulan (2008) melakukan valuasi Nilai ekonomi air di SUB DAS
KONTO dan SUB DAS CIRASEA. Nilai ekonomi manfaat hidrologis yang
dihasilkan hutan lindung belum diketahui secara luas, sehingga apresiasi
terhadap hutan lindung masih rendah dan tekanan terhadap hutan lindung
masih terus berlangsung. Penelitian dilakukan untuk mengkaji nilai-
ekonomi manfaat hidrologis air dari hutan lindung. Metode yang digunakan
adalah pendekatan biaya pengadaan, yang mencerminkan nilai minimal
manfaat ekonomi air yang dirasakan rumah tangga di hulu DAS yang
langsung memanfaatkan air dari sumber mata air hutan lindung.
Penelitian dilakukan di bagian hulu-tengah DAS Brantas, yaitu di Sub
DAS Konto, yang mengalirkan air ke waduk Selorejo, dan di Sub DAS
Cirasea, hulu DAS Citarum. Lokasi ini dipilih karena merupakan DAS yang
paling banyak memiliki permasalahan, terutama polusi air permukaan,
konflik air, dan penurunan muka air tanah, serta merupakan sumber air
utama untuk Perum Jasa Tirta (PJT) I dan PJT II yang merupakan BUMN
pensuplai air terbesar di pulau Jawa.

Fungsi hutan lindung yang utama adalah sebagai pengatur tata air,
sehingga ketersediaan air dapat terjaga sepanjang waktu. Artinya pada
musim kemarau sungai dan mata air tidak kering dan pada musim hujan
tidak terdapat erosi, banjir dan luapan sedimentasi. Akan tetapi
kecenderungan alih fungsi hutan lindung dan kawasan lindung umumnya
semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya
jumlah dan luas DAS kritis (Ditjen Sumberdaya Air, 2004; Soenarno, 2000;
Ditjen RRL, 1999). Dalam hal ini tersirat adanya under valuation terhadap
nilai ekonomi dan lingkungan yang dihasilkan hutan lindung dan kawasan
lindung. Kondisi ini tentu saja tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu yang
mengedepankan pembangunan berkelanjutan dalam rangka
memaksimalkan kesejahteraan sosial ekonomi secara adil tanpa
mengorbankan kelangsungan ekosistem yang penting.
Hutan lindung menghasilkan bukan hanya produk yang kasat mata
seperti kayu dan non kayu, tetapi juga menghasilkan intangible produk
yang manfaat dan keberadaannya semakin dibutuhkan baik oleh
masyarakat yang berdekatan dan jauh dengan hutan. Nilai hutan lindung
secara keseluruhan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Dimana T = Nilai total hutan lindung (Rp) Xi = Nilai sosial ekonomi


jasa hutan lindung (Rp) Yj = Nilai ekologi jasa hutan lindung (Rp) Zk = Nilai
tangible hutan lindung (Rp) M = Jumlah jenis manfaat sosial dan ekonomi
dari jasa hutan lindung N = Jumlah jenis manfaat ekologi jasa hutan
lindung K = Jumlah jenis manfaat tangible hutan lindung, seperti kayu dan
HHBK. i = Jenis manfaat sosial dan ekonomi jasa hutan lindung j = Jenis
manfaat ekologi jasa hutan lindung k = Jenis manfaat tangible dari jasa
hutan lindung Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menghitung nilai
ekonomi air di Sub DAS Konto, DAS Brantas, dan Sub DAS Cirasea
Sedangkan sasaran penelitian adalah mendapat Informasi nilai ekonomi
air hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub Das Cirasea dan
memberikan rekomendasi pengelolaan Sub DAS Konto, Brantas, dan Sub
DAS Cirasea, dalam rangka keberlanjutan produksi dan pemenuhan
kebutuhan air, serta kelestarian lingkungan DAS.

Perhitungan nilai ekonomi air di hulu DAS yang merupakan hutan


lindung didekati dari pendekatan perhitungan air untuk rumah tangga yang
langsung memanfaatkan air dari sumber mata air brantas di hulu DAS
Brantas dan Hulu DAS Citarum. Konsumsi air untuk rumah tangga meliputi
air untuk kebutuhan minum dan memasak, mandi dan mencuci, serta
untuk kakus. Penentuan nilai ekonomi air dilakukan dengan metode biaya
pengadaan yang merupakan modifikasi dari metode biaya perjalanan dan
metode kontingensi dengan menggunakan kurva permintaan. Harga air
dihitung berdasarkan pada biaya pengadaan, yaitu biaya yang harus
dikorbankan untuk mendapatkan dan menggunakan air tersebut. Biaya
pengadaan ini digunakan untuk menduga kurva permintaan masyarakat
terhadap manfaat hidrologis dari DAS.

Permintaan terhadap air oleh rumah tangga dipengaruhi oleh


beberapa faktor, yaitu jumlah anggota keluarga, pendidikan, umur,
pendapatan, biaya pengadaan air dan jarak tempat tinggal ke sumber
mata air. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari setiap faktor
tersebut terhadap permintaan air, maka dikembangkan model kausalitas,
dimana hubungan tersebut bersifat linier, yang berarti bahwa perubahan
yang terjadi pada peubah bebas akan direspon oleh permintaan air secara
proporsional. Untuk menentukan model (kurva) permintaan, yaitu
meregresikan permintaan (Cair) dengan harga (biaya pengadaan) dan
faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya sebagai berikut :

dimana: Cair : Konsumsi air oleh anggota rumah tangga (M3/kapita/tahun)


Pair : Biaya pengadaan air (Rp/M3) Income: Tingkat pendapatan rumah
tangga (Rp/tahun) Jak : Jumlah anggota keluarga (jiwa) Jarak : Jarak
antara rumah dengan sumber air (km) Pddk : tingkat pendidikan formal
yang dimiliki. Umur : umur responden (tahun) : factor kesalahan dari
model. 0-6 : tingkat pengaruh dari setiap peubah bebas terhadap tingkat
konsumsi air.

Kemudian menentukan intersep baru 0’ fungsi permintaan dengan


peubah bebas Pair dalam keadaan faktor lain (Income, JAK, Jarak, Pddk,
Umur) tetap.

Kemudian menginversi persamaan fungsi asal sehingga Pair


menjadi peubah tak bebas dengan Y sebagai peubah bebas :

Dan menduga rata-rata kesediaan membayar (utility) dengan


menggunakan persamaan berikut :

dimana : U = rata-rata kesediaan membayar nilai ekonomis f (Y) = fungsi


permintaan a = rata-rata jumlah air yang dikonsumsi (Cair).
Untuk menentukan nilai Pair pada saat Y dengan cara mensubstitusikan
nilai Y pada persamaan:

Menentukan rata-rata nilai yang dikorbankan oleh konsumen dengan cara


mengalikan Pair dengan Y. Penghitungan nilai total kesediaan membayar,
surplus konsumen, dan harga yang dibayarkan dengan cara
menggandakan nilai Pair dengan pengganda jumlah populasi.

Karena masyarakat desa di sekitar Hulu Sungai Citarum dan Hulu Sungai
Brantas termasuk dalam daerah tangkapan hutan lindung, maka air
domestik yang digunakan oleh masyarakat, keberadaannya merupakan
fungsi dari hutan lindung. Karena itu, diasumsikan bahwa semua sumber
air yang digunakan rumah tangga di sekitar hutan lindung tersebut
bersumber dari mata air hulu hutan lindung.

Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi air untuk manfaat


hidrologis Sub DAS Konto, dan Sub DAS Cirasea, masing-masing sebesar
Rp. 37.873.740.832/tahun dan Rp. 76.769.512.989/tahun. Nilai ini adalah
nilai yang diberikan oleh keberadaan hutan lindung di Sub DAS Brantas
dan Sub DAS Cirasea yang menghasilkan manfaat hidrologis terhadap
rumah tangga. Hasil perhitungan nilai ekonomi air dari manfaat hidrologis
yang dihasilkan sebagai fungsi dari keberadaan kawasan hutan lindung di
Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea ini, hanya sebagian kecil dari nilai
ekonomi air total yang dikandung oleh kawasan hutan lindung di Sub DAS
Brantas dan Sub DAS Cirasea, karena masih banyak pengguna-pengguna
air lain yang lebih besar seiring dengan mengalirnya air.
Berdasarkan hasil analisis regresi antara konsumsi air (Cair)
dengan biaya pengadaan (Pair) dan empat peubah lainnya (pendapatan,
jumlah anggota keluarga, jarak ke sumber air, dummy lokasi) menunjukkan
bahwa konsumsi air domestik di kedua Sub DAS tidak dipengaruhi oleh
pendapatan (Income) dan jumlah anggota keluarga (JAK).
Berdasarkan hasil pendugaan permintaan air di Sub DAS Konto,
menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan perilaku dari
permintaan air di DAS Brantas sebesar 50%. Di antara peubah yang
digunakan terlihat bahwa peubah JAK mempunyai pengaruh yang tertinggi
(nyata pada taraf 80%), yang kemudian diikuti oleh peubah jarak dan biaya
pengadaan air (nyata pada taraf 75%). Sedangkan hasil pendugaan
konsumsi air di Sub DAS Cirasea, DAS Citarum dapat menjelaskan
perilaku dari permintaan air sebesar 30,3 %. Hasil pendugaan
menunjukkan ternyata faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi
air adalah faktor jarak berpengaruh positif (pada taraf 99%), faktor biaya
pengadaan air berpengaruh negatif (nyata pada taraf 90%), dan faktor
berikutnya adalah jumlah anggota keluarga (JAK) yang pengaruh negatif.
Perbandingan antara Harga yang Dibayar dan Surplus
Konsumen di Sub DAS Brantas (Kirsfianti, dkk. 2008).

Nilai ekonomi total untuk manfaat hidrologis di Sub DAS Konto,


DAS Brantas adalah sebesar Rp 76.769.512.989,40/tahun. Sedangkan
nilai ekonomi total untuk manfaat hidrologis di Sub DAS Cirasea sebesar
Rp 37.873.740.832/tahun. Rata-rata surplus konsumen yang diperoleh
masyarakat di sekitar Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea adalah
masing-masing sebesar Rp.129.245,53/orang/ tahun dan Rp.
276.454,04/orang/tahun. Nilai air dengan menggunakan tarif PDAM pada
volume penggunaan yang sama di Sub DAS Konto, 10,75 kali lebih besar
dibandingkan dengan nilai air yang dihitung berdasarkan biaya
pengadaan. Sedangkan di Sub DAS Cirasea, 2,81 kali lebih besar.
Besarnya surplus konsumen yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai air
yang benar-benar dibayarkan oleh masyarakat lebih kecil dibandingkan
dengan kesediaan membayar masyarakat. Oleh karena itu nilai ekonomi
air yang sebenarnya masih perlu ditentukan secara lebih komprehensif
dan lebih akurat.
Pengelolaan Sumberdaya Air

Pengelolaan sumberdaya air semakin hari semakin dihadapkan ke


berbagai permasalahan. Permasalahan umum dalam pengelolaan
sumberdaya air pada dasarnya terdiri atas tiga aspek yaitu terlalu banyak
air, kekurangan air dan pencemaran air. Peningkatan kebutuhan akan air
telah menimbulkan eksploitasi sumberdaya air secara berlebihan sehingga
mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumberdaya air yang
pada gilirannya menurunkan kemampuan pasokan air. Gejala degradasi
fungsi lingkungan sumberdaya air ditandai dengan fluktuasi debit air di
musim hujan dan kemarau yang semakin tajam, pencemaran air,
berkurangnya kapasitas waduk dan lainnya. Pengelolaan sumberdaya air
perlu diarahkan secara holistik, untuk mewujudkan sinergi dan
keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor, dan antar
generasi. Semua pihak terkait perlu dilibatkan dalam setiap tahap
pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya air dari tahap
perencanaan sampai dengan operasi dan pemeliharaan. Dalam
pengelolaan sumberdaya air, pemerintah daerah tidak boleh memandang
air hanya sebagai komoditas ekonomi tetapi perlu mempertimbangkan
fungsi sosialnya. Pemakai air perlu memberikan kontribusi biaya
pengelolaan air, dengan prinsip pembayaran pengguna dan pembayaran
polusi serta adanya subsidi silang.

Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air


Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh Indonesia
namun juga dialami negara-negara dibelahan dunia lainnya termasuk
Jepang. Dari data yang ada menunjukan bahwa telah terjadi anomali yang
signifikan, khususnya dalam 25 tahun terakhir seperti meningkatnya
temperatur global, naiknya permukaan air laut dan sering terjadinya
kondisi ekstrim seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bencana
alam seperti banjir, typhon juga terjadi di Jepang sebagai salah satu
dampak terjadinya perubahan iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan
sangat rentan terkena dampak perubahan iklim karenanya perlu disiapkan
rencana kegiatan secara detil dalam upaya mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim.
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen PU bekerjasama
dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) merumuskan
sebuah kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air menghadapi
perubahan iklim. Pemerintah Indonesia besama-sama dengan Pemerintah
Jepang sangat concern terhadap perubahan iklim sejak Kyoto Protocol
menyusun beberapa strategi kedepan terhadap dampak perubahan iklim.
Strategi-strategi tersebut yaitu Strategi mitigasi dengan mengelola
tata air pada lahan-lahan gambut (low land) dalam rangka mengurangi
kerentanan kebakaran pada lahan gambut (pengendalian emisi gas rumah
kaca) dan mendukung kegiatan penghijauan di daerah aliran sungai yang
kritis dan kawasan hulu sungai.
Selain itu strategi adaptasi yaitu dengan meningkatkan
pengelolaan bangunan infrastruktur sumber daya air untuk mendukung
ketahan pangan, pengembangan pengelolaan resiko bencana untuk banjir
dan kekeringan, pengembangan perlindungan pantai. Seperti diketahui
permukaan air laut mengalami kenaikan ditandai dengan mencairnya es di
kutub utara. Kemudian, meningkatkan kampanye hemat air.

Kedua strategi di atas sangat penting dilakukan karena perubahan


iklim juga dapat berdampak pada terjadinya krisis Pangan, krisis air
global dan krisis energi sebagai akibat dari kondisi perubahan iklim
yang ekstrem.

Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu (Integrated Water


Resources Management, IWRM) merupakan suatu proses koordinasi
dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air dan lahan serta
sumberdaya lainnya dalam suatu wilayah sungai, untuk mendapatkan
manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial yang seimbang tanpa
meninggalkan keberlanjutan ekosistem. Pengelolaan sumberdaya air
terpadu memfokuskan pada pengelolaan terpadu antara kepentingan
bagian hulu dan kepentingan bagian hilir sungai, pengelolaan terpadu
antara kuantitas dan kualitas air, antara air tanah dan air permukaan, serta
antara sumberdaya lahan dan sumberdaya air. Konsep IWRM ini
diharapkan dapat mengatasi masalah kelangkaan air, banjir, polusi hingga
distribusi air yang berkeadilan.
Perkembangan dan implementasi konsep IWRM di Indonesia
sangat berliku dan mengalami beragam kendala, dikenal slogan One
River-One Plan-One Management. Namun hingga saat ini koordinasi antar
sektor yang menguasai empat hal yang perlu diterpadukan tersebut di
atas, belum dapat berjalan dengan baik. Penebangan hutan terus berlanjut
hingga mengakibatkan bencana banjir serta sedimentasi waduk dan
muara sungai, pengambilan air tanah (blue water) yang lebih sulit
diperbaharui terus berlangsung tanpa memperhatikan kemungkinan
penurunan muka tanah dan intrusi air asin, penggalian pasir tidak
terkendali, sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dasar sungai
yang membahayakan beberapa infrastruktur lainnya.
Upaya untuk koordinasi pengelolaan sumberdaya air pernah
dilakukan oleh pemerintah pada kesempatan memperingati Hari Air
Sedunia XII tahun 2004 pada tanggal 23 April 2004. Pada saat itu
dicanangkan komitmen pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Air
dengan penandatanganan Deklarasi Nasional Pengelolaan Air yang
Efektif dalam Penanggulangan Bencana oleh 11 Menteri dalam
koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang
terdiri dari Menko Kesra, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian,
Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan,
Menteri Sosial, Menteri Negara Riset dan Teknologi, serta Menteri Negara
PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Lagi-lagi, mengingat kondisi Sumberdaya Air di Indonesia sudah
mencapai tingkat krisis yang langsung mempengaruhi: kemiskinan,
kekurangan pangan; menghambat pertumbuhan ekonomi sosial budaya
bangsa dan terganggunya ekosistem, maka Presiden Susilo Bambang
Yudoyono di Jakarta pada tanggal 28 April 2005 mencanangkan Gerakan
Nasional Kemitraan Penyelematan Air (GNKPA) guna peningkatan
keterpaduan implementasi kebijakan pengelolaan untuk keberlanjutan
fungsi sumberdaya air. GN-KPA pada intinya memuat 6 komponen
strategis, yakni (1) Penataan Ruang, pembangunan fisik, pertanahan dan
kependudukan; (2) Rehabilitasi hutan dan lahan serta Koservasi sumber
daya air; (3) Pengendalian daya rusak air; (4) Pengelolaan kualitas dan
pengendalian pencemaran air; (5) Penghematan penggunaan dan
pengelolaan permintaan air; dan (6) Pendayagunaan sumber daya air
secara adil, efisien dan berkelanjutan. Dengan telah dicanangkannya GN-
KPA, diharapkan urusan air adalah urusan semua pemegang kepentingan
baik masyarakat, pengguna air lainnya dan pemerintah.
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengimplementasikan Water
Financing Program 2006 – 2010, untuk membantu program IWRM di lima
wilayah sungai di Indonesia, diantaranya Wilayah Sungai Citarum,
Ciliwung-Cisadane, Ciujung, Progo-Opak- Oya. ADB mempunyai 25
elemen sebagai indikator kondisi IWRM di sebuah Wilayah sungai, antara
lain keberadaan: Organisasi Pengelola Wilayah Sungai (RBO), partisipasi
para pemegang kepentingan, perencanaan wilayah sungai, kesadaran
publik, alokasi air, hak atas air, ijin pembuangan limbah, pembiayaan
IWRM, nilai/harga air, peraturan pengelolaan air, infrastruktur yang
mempunyai multimanfaat, partisipasi sektor swasta lewat CSR (corporate
social responsibility), pendidikan tentang pengelolaan wilayah sungai,
pengelolaan daerah tangkapan air, kebijakan tentang aliran penyangga
kualitas lingkungan, manajemen bencana, peramalan banjir, rehabilitasi
kerusakan akibat banjir, monitoring kualitas air, upaya perbaikan kualitas
air, konservasi lahan basah (rawa), perlindungan dan peningkatan ikan di
sungai, pengelolaan air tanah, konservasi air dan sistem informasi guna
mendukung penentuan kebijakan.
Perlindungan Sumberdaya Air
(PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR : 37
TAHUN 2009, TANGGAL : 31 Desember 2009)

1. Latar Belakang

Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan kelangkaan air pada musim
kemarau yang kecenderungannya diikuti oleh kekeringan yang
berkepanjangan, dan kelimpahan air pada musim hujan yang diikuti pula
oleh banjir dengan skala luas dan waktu yang cukup lama adalah dengan
melindungi sumber daya air. Salah satu upaya menambah cadangan air
tanah adalah dengan menambah kapasitas resapan air melalui
penanaman pohon dan pembuatan sumur resepan.

2. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk melindungi sumberdaya air

3. Sasaran
Terlindunginya sumber-sumber mata air di luar kawasan hutan dan
meningkatkan kuantitas air tanah pada musim kemarau, serta
tertanggulanginya kelimpahan air pada musim hujan pada daerah-daerah
tertentu.

4. Output
a. Tumbuhnya tanaman pelindung di sekitar sumberdaya air
b. Terbangunnya sumur-sumur resapan
c. Terjaganya pelestarian fungsi sumber air di luar kawasan hutan

5. Lingkup Kegiatan
a. Penanaman pohon di luar kawasan hutan;
b. Pembangunan sumur resapan / biopori;
c. Pembangunan turap;
d. Pembangunan taman hijau di bantaran sungai / danau / situ;
e. Pengadaan alat pengolah/pencacah gulma (tanaman
pengganggu) di danau/situ;
f. Pembuatan papan informasi perlindungan sumberdaya air;
g. Rehabilitasi daerah tangkapan air (pembuatan jebakan air).

6. Rincian kegiatan :

a. Penanaman pohon di sekitar sumber mata air yang berada di luar


kawasan hutan

Jenis pohon yang disarankan untuk ditanam di sekitar sumber mata air
yang berada di luar kawasan hutan adalah jenis tanaman lokal yang
berumur panjang. Namun demikian, apabila ada alasan teknis lainnya
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (saran dari ahli), jenis
tanaman lainnya atau yang berasal dari luar daerah boleh digunakan.
Umur dan besar bibit tanaman disesuaikan kondisi setempat. Hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah:
• Lokasi penanaman harus berada di luar kawasan hutan dan
berada di sekitar sumber atau mata air;
• Mudah terjangkau, untuk akses pemeliharaan;
• Lahan untuk lokasi penanaman bukan milik perseorangan atau
sejenisnya, untuk memudahkan pengendalian;
• Jika lokasi penanaman merupakan milik perseorangan atau
sejenisnya pemerintah daerah wajib membebaskan lahan
tersebut yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan
perlindungan setempat;
• Melakukan koordinasi dengan instansi terkait.

Komponen kegiatan penanaman pohon di sekitar sumber mata air yang


berada di luar kawasan hutan meliputi :
1). Pengadaan bibit tanaman;
2). Biaya penanaman;
3). Biaya pemeliharaan.

b. Pembangunan sarana perlindungan sumber air berupa sumur


resapan

Pembangunan sarana perlindungan sumber air berupa sumur


resapan, diharapkan dapat menjadi salah satu penyelesaian untuk
mengatasi permasalahan kelangkaan air pada musim kemarau dan
mengurangi volume air larian (run off) pada musim hujan. Kegiatan ini
dapat membantu memberikan tambahan cadangan air dan juga
mengurangi air limpahan.
Bentuk, ukuran, jumlah dan model sumur resapan dapat disesuaikan
dengan kondisi daerah. Untuk menambah cadangan air, sumur resapan
sebaiknya dibangun dilokasi atau disekitar sumber cadangan air atau mata
air sehingga dapat berfungsi sebagai kantong air. Sedangkan untuk
mengurangi volume air larian sebaiknya dibangun di permukiman
penduduk . Contoh rancangan sumur resapan dapat dilihat pada Gambar
1.

c. Pembangunan Turap / Talaud


Pembangunan turap / talud di bantaran sungai merupakan salah
satu upaya untuk melindungi sumber daya air dari erosi, selain itu juga
dimaksudkan untuk menambah estetika. Dengan menambah keindahan
bantaran sungai diharapkan dapat mendorong masyarakat menjaga
kebersihan dan kelestarian sumber daya air dengan tidak membuang
sampah ke badan air (sungai). Untuk mendapatkan hasil yang optimal,
letak turap / talaud, rancang bangun, dan, bahan yang akan dugunakan
sebaiknya dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh
bangunan turap / talaud disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 1. Contoh Rancangan Sumur Resapan

Gambar 2. Contoh Gambar Turap/Talud.

d. Pembangunan Taman Hijau di bantaran sungai / danau / situ


Pembangunan taman hijau di bantaran sungai / danau / situ
merupakan salah satu upaya untuk melindungi sumber daya air dengan
menambah estetika daerah tersebut, sehingga mendorong masyarakat
menjaga kebersihan dan kelestarian sumber daya air dengan tidak
membuang sampah ke badan air (sungai / danau / situ), dan sekaligus
dapat digunakan sebagai tempat / sarana interaksi sosial masyarakat.
Untuk itu, kegiatan pembangunan Taman Hijau agar lebih diutamakan
untuk tujuan tersebut, dan untuk mendapatkan hasil yang optimal baik dari
segi rancangan, bahan yang akan dIgunakan maupun letak Taman Hijau
yang akan dibangun seyogianya dikoordinasikan dengan pihak-pihak
terkait. Dengan demikian, baik bentuk kontruksi maupun jenis bahan yang
akan digunakan dapat disesuaikan dengan kondisi daerah dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai gambaran
berikut disajikan gambar Taman Hijau sebagai bahan perbandingan.

Gambar 3. Contoh Gambar Taman Hijau

e. Pengadaan alat pengolah/pencacah gulma (tanaman


pengganggu) di Danau / Situ

Pengadaan alat pengolah / pencacah gulma (tamanan


pengganggu) di perairan danau / situ dimaksudkan agar dapat
meningkatkan kualitas perairan danau / situ melalui upaya pemanfaatan
tanaman pengganggu baik untuk kompos maupun bahan kerajinan
lainnya. Hal ini sekaligus merupakan upaya mendorong diterapkannya
prinsip 3 R dalam setiap aspek kehidupan sehingga dapat memberikan
nilai tambah bagi masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan
tersebut, baik jenis dan merk mesin, kemampuan mesin atau kapasitas
dan bangunan serta alat alat pendukungnya dapat disesuaikan dengan
kondisi daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

f. Pembuatan papan informasi perlindungan SD Air


Pembuatan papan informasi perlindungan sumber daya air
dimaksudkan untuk mendorong keperdulian masyarakat dalam menjaga
kebersiahan dan tidak membuang sampah sembarang terutama ke badan
air. Untuk itu, pelaksanaan kegiatan ini baik bentuk maupun bahan dapat
disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

g. Sistem Daerah tangkapan air hujan dengan vegetasi pohon

The ratio between catchment and cultivated area is difficult to


determine for systems where trees are intended to be grown. As already
discussed, only rough estimates are available for the water requirements
of the indigenous, multi-purpose species commonly planted in WH
systems. Furthermore, trees are almost exclusively grown in
microcatchment systems where it is difficult to determine which proportion
of the total area is actually exploited by the root zone bearing in mind the
different stages of root development over the years before a seedling has
grown into a mature tree.

Microcatchment system (Negarim microcatchment) for trees

In view of the above, it is therefore considered sufficient to estimate


only the total size of the microcatchment (MC), that is the catchment and
cultivated area (infiltration pit) together, for which the following formula can
be used:

dimana: MC = total size of microcatchment (m 2); RA = area exploited by root


system (m2); WR = water requirement (annual) (mm); DR = design rainfall
(annual) (mm); K = runoff coefficient (annual); EFF = efficiency factor.
As a rule of thumb, it can be assumed that the area to be exploited
by the root system is equal to the area of the canopy of the tree.

Contoh:

Semi-arid area, fruit tree grown in Negarim microcatchment


Annual water requirement (WR) = 1000 mm
Annual design rainfall (DR) = 350 mm
Canopy of mature tree (RA) = 10 m2
Runoff coefficient (K) = 0.5
Efficiency factor (EFF) = 0.5
Total size MC = 10 x {(1000-350)/(350 x 0.5 x 0.5)} = 84m2

As a rule of thumb, for multipurpose trees in the arid/semi-arid


regions, the size of the microcatchment per tree (catchment and cultivated
area together) should range between 10 and 100 square metres,
depending on the aridity of the area and the species grown. Flexibility can
be introduced by planting more than one tree seedling within the system
and removing surplus seedlings at a later stage if necessary.
DAFTAR PUSTAKA

Agudelo, JI., 2001, The Economic Valuation of Water, Value of Water


Research Report Series No. 5, IHE Delft, The Netherland.
Bann C. 1998. The Economic Valuation of Tropical Forest Land Use
Options: A Manual for Researchers. Economy and Environment
Programme for Southeast Asia. http://www.eepsea.org/ev.php
Clark, E.H., 2007, Water Prices Rising Worldwide, Earth Policy Institute,
March, 2007.
Dajan, A. 1976. Pengantar Metode Statistik Jilid I. cet. Keempat LP3ES.
Darta, Ketut. 1983. Laporan Kerusakan Pura Tirta Empul Tampaksiring,
Gianyar. Suaka
Ditjen Sumberdaya Air, 2004. Sebanyak 65 DAS dalam kondisi semakin
kritis. Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004, hal. 15, Jakarta.
Dixon, J.A., and Hufschmidt, M. 1986. Economic Valuation Techniques For
The Environmental: A Case Study Workbook. The Johns Hopkins
University Press, Copyright by the East-West Center, East-West
Environment and Policy Institute. All Rights reserved.
Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo, Gadjah Mada
University Press.
Dudley, N. and Stolton, S. Running Pure: The Importance of Forest
Protected Areas to Drinking Water. http://www.forest-alliance.org.
Hadi, D. P. dan Van Noordwijk, M. Agro-ecosystems, Their Population
Densities and Land Cover in Indonesia in The Context of Upland-
Lowland Relationships. ICRAF SE Asia, RUPES Working Paper.
Haryono, 2001, Nilai Hidrologis Bukit Kars, Makalah dalam Seminar
Nasional Eko Hidrolik, Teknik Sipil Universitas Gadjahmada.
Hufschmidt MM et al. 1987. Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan
: Pedoman Penilaian Ekonomis. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Januaris. 2004. ESTIMASI NILAI EKONOMI SUMBERDAYA AIR
SEBAGAI AIR IRIGASI DALAM MENUNJANG PEMBANGUNAN
PERTANIAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KAMPAR. Master
Theses Intitut Teknologi Bandung. Central Library Institute
Technology Bandung.
Jonkowski. Jerzy, 2001, Geol 9111 Groundwater Environments, UNSW
Groundwater Centre, University of New South Wales, New South
Wales.
Kementrian Lingkungan Hidup, 2003. Kajian Strategi Nasional Mengenai
Mekanisme Pembangunan bersih di Sektor Kehutanan. Jakarta.
Kramer, R. A., Sharma, N. and Munasinghe, M. 1995. Valuing Tropical
Forests: Methodology and Case Study of Madagascar (World Bank
Environment Paper Number 13). The World Bank, Washington,
D.C.
Kurnia, G., T. W. Avianto and B. R. Bruns.,2000, Farmers, factories and the
dynamics of water allocation in West Java. In B. R. Bruns and R. S.
Meinzen-Dick (eds.) Negotiating Water Rights, pp. 292-314.
London: Intermediate Technology Publications.
Made Sudita dan Made Antara. 2006. NILAI SOSIAL-EKONOMI AIR DI
KAWASAN SUMBER MATA AIR DESA MANUKAYA, KABUPATEN
GIANYAR, BALI: SUATU PENDEKATAN EKONOMI
LINGKUNGAN. Jurusan Sosek, Fakultas Pertanian, Unud Bali.
Mandel, S, 1981, Groundwater Resources: Investigation and
Development, Academic Press, New York.
Meinzen-Dick, D., Ringler, C., 2006, Water Reallocation: Challenges,
Threats, and Solutions for the Poor, Occasional Paper,
HumanDevelopmen Report 2006, UNDP
Mercer, David. 2000. A Question of Balance, Natural resources conflict
Issues in Australia. The Federation Press. Canberra.
Munasinghe, M., and E. Lutz. 1993. Environmental Economics and
Valuation in Development Decisionmaking. Environmental
Economics and Natural Resource Management In Developing
Countries, edited by Mohan Munasinghe copiled by Adelaide
Schwab. Committee of International Development Institution on the
Evironment (CIDIE), distributed for CIDIE by The World Bank
Washington, DC.
Nasution, S. 2002. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Ed.1,cet.5—
Jakarta: Bumi Aksara
Noordwijk, Meine, F., et.al. 2004. Peranan Agroforestry dalam
Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS).
AGRIVITA Vol. 26. No. 1.
NRM, 1999. Resource Valuation: A Tool for improving Protected Areas
management in Indonesia. NRM, Jakarta.
Pearce David, W. and Turner R. Kerry, 1990, Economic of Natural
Resources and The Environment, Harvester Weatsheaf New York
London, Toronto Sydney Tokyo.
Pearce, D. 1992. Economic Valuation and the Natural World. Working
Papers, World Development Report. Center for Social and
Economic Research on the Global Environment, London and
Norwich, UK.
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali.
Ramdan, H., Yusran dan Dudung Darusman. 2003. Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan
Valuasi Ekonomi. Alqaprint, Jatinangor, Sumedang.
Reksohadiprodjo Sukanto dan Andreas Budi P.B, 1997, Ekonomi
Lingkungan, Suatu Pengantar, Edisi Pertama, Cetakan kelima,
BPFE, Yogyakarta.
Rogers, P., Bhatia R.,Huber,A.,1998, Water as a Social and Economic
Good:How to Put the Principle into Practice, Global Water
Partnership/Swedish International Development Cooperation
Agency, Stockholm, Sweden
Rosa, H., Kandel, S., dan Dimas L. 2005. Kompensasi untuk Jasa
Lingkungan dan Masyarakat Pedesaan: Pelajaran dari Negara-
Negara Amerika. RUPES Program, ICRAF-SEA Bogor.
Rosegrant, MW., Cai, X.,Cline, SA., 2002, World Water and Food to 2025:
Dealing with Water Scarcity, International Food Policy Research
Institute, Washington, D.C.
Rosegrant, MW., Ringler, C, 1998, Impact on Food Security and Rural
Development of Reallocating Water from Agriculture for Other
Uses, International Food Policy Research Institute, Background
Paper, United Nations Commission on Sustainable Development
Savenije, H.H.G.,Van der Zaag, P., 2001, “Demand Management” and
“Water as an Economic Good”, Paradigms with Pitfalls, Value of
Water , Research Report Series No. 8, IHE Delft The Netherlands
Soenarno, 2000. Daerah banjir di Indonesia bertambah. Harian Kompas
tanggal 24 Oktober 2000, hal. 19, Jakarta.
Subandriyo, T., 2004, Produksi Padi yang Mengkhawatirkan, Suara
Merdeka, Sabtu 24 Juli 2004.
Tarboton, D. G., R. L. Bras, dan I. Rodriguez-Iturbo, 1988. The fractal
nature of river network. Water Resour. Res., 24(8):1317 -1322.
UNEP, 2004, Challenges of Water Scarcity, A Business Case for Financial
Institutions, Stockholm International Water Institute (SIWI)
WHO, 2003, Right to water, Health and human rights publication series;
no. 3, World Health Organization
Zaini, L. A. 2005. Program Pengelolaan Perlindungan Sumber Air Baku
PDAM Menang Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat. A paper
presented at National workshop on “Payments and Rewards of
Environmental Services”, Jakarta, 14 – 15 February 2005.

Anda mungkin juga menyukai