Anda di halaman 1dari 53

SMF Ilmu Penyakit Mata Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KERATITIS DAN ULKUS KORNEA

Oleh:
Chyntiananda Prabu Hening 1710029033

Dosen Pembimbing:
dr. Manfred Himawan, Sp. M

LAB / SMF Ilmu Penyakit Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Juli 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial Klinik tentang “Keratitis dan Ulkus
Kornea”. Tutorial klinik ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan referat ini. Akhir kata,
semoga referat ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Juli 2019

Penyusun

2
DAFTAR PUSTAKA

KERATITIS DAN ULKUS KORNEA ..................................................................... 1

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 2

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 4


1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6


1. Anatomi dan Histologi Kornea ........................................................................ 6
2. Fisiologi Kornea ................................................................................................ 9
3. Pemeriksaan Penyakit Kornea ...................................................................... 12
4. Patogenesis Keratitis & Ulkus Kornea ......................................................... 17
5. Keratitis Superfisial dan Dalam .................................................................... 22
6. Keratitis Infektif ............................................................................................. 26
7. Keratitis Jamur ............................................................................................... 34
8. Keratitis Viral ................................................................................................. 37
9. Herpes Zooster Keratitis2,3............................................................................. 41
10. Keratitis Acanthamoeba 2,3 .......................................................................... 42
11. Keratitis Non Infektif ................................................................................... 43
12. Ulkus Kornea Trofik .................................................................................... 46
13. Keratitis Lain2,3,4 ........................................................................................... 50

BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................. 52

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 52

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis ini diakibatkan
oleh berbagai organisme bakteri, virus, jamur, atau parasit, abrasi sedikitpun bisa
menjadi pintu masuk bakteri. Kebanyakan infeksi kornea terjadi akibat trauma atau
gangguan mekanisme pertahanan sistemis ataupun lokal.
Infeksi ini terjadi bila kornea tidak dilembabkan secara memadai dan
dilindungi oleh kelopak mata. Kekeringan kornea dapat terjadi dan kemudian dapat
diikuti ulserasi dan infeksi sekunder. Pemajanan kornea dapat diebabakan oleh karena
keadaan eksoptalmus, paresis saraf kranial VII tetapi juga dapat terjadi pada pasien
koma atau yang dianastesi.
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya
infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat
terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi
menyebabkan kebutaan yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.
Data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2010
menyebutkan saat ini terdapat 285 juta orang menderita gangguan penglihatan, 39
juta diantaranya mengalami kebutaan dan 246 juta orang mengalami penglihatan
yang kurang. WHO juga mengeluarkan bahwa kebutaan pada anak dan kelainan
kornea merupakan penyebab kebutaan keempat dengan persentase 4% dari seluruh
populasi yang diteliti. Dan ulkus kornea merupakan salah satu penyebab dalam
penyebab kebutaan ini.
Dalam jurnal Clinical Evaluation of Corneal Ulcer among Patients Attending
Teaching Hospital menuliskan bahwa ulkus kornea di India sering terjadi pada
kelompok umur 3 tahun dan dasawarsa ke-4 (55%) lebih umum terjadi pada pria.
Ulkus kornea pada populasi pedesaan (65%), dan status sosial ekonomi rendah (60%)
pada orang yang pekerjaannya di bidang Pertanian (48%). Trauma okuler merupakan
4
faktor predisposisi utama pada mayoritas kasus (46,25%). Pada virus keratitis, virus
herpes simpleks lebih banyak berhubungan dengan ulkus kornea.8
Di Indonesia gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah
kesehatan. Survey Kesehatan Indera tahun 1993 – 1996 menunjukkan 1,5% penduduk
Indonesia mengalami kebutaan disebabkan oleh katarak (0,78%), glaukoma (0,2%),
kelainan refraksi (0,14%) gangguan retina (0,13%), kelainan kornea, (0,10%) dan
penyakit mata lain-lain (0,15%). Kelainan kornea yang dimaksud, termasuk ulkus
kornea.di Indonesia insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000
penduduk, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena
trauma, infeksi, pemakaian lensa kontak, dan kadang-kadang tidak diketahui
penyebabnya.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Histologi Kornea

Kornea berasal dari bahasa Latin, kornu, yang berarti tanduk. Kornea
merupakan bagian tunika fibrosa yang transparan, tidak mengandung pembuluh
darah, dan kaya akan ujung-ujung serat saraf. Kornea berasal dari penonjolan
tunika fibrosa ke sebelah depan bola mata.1 Kornea berhubungan dengan sklera
pada limbus yang merupakan depresi sirkumferensial yang dapat disebut juga
dengan sulkus sklera. Ketebalan kornea pada manusia dewasa rata-rata adalah
0,52 mm pada bagian tengah, dan 0,65 mm pada bagian perifer, dengan
diameter 11,75 mm secara horizontal. 2
Kornea bertanggung jawab terhadap ¾ kekuatan optik dari mata. Dengan
tidak adanya pembuluh darah maka untuk memenuhi kebetuhan nutrisi dan
pembuangan produk metabolik pada kornea dilakukan melalui aqueous humor
pada bagian posterior dan melalui air mata yang melewati air mata pada bagian
anterior. Korena diinervasi oleh cabang pertama dari nervus trigeminus yang
menyebabkan segala kerusakan pada kornea (abrasi kornea, keratitis, dll)
menimbulkan rasa sakit, fotofobia, dan refleks lakrimasi.3
Secara histologis, kornea dibagi menjadi 5 bagian yaitu:

a. Epitel kornea1,3
Epitel kornea merupakan lanjutan dari konjungtiva disusun oleh epitel
gepeng berlapis tanpa lapisan tanduk. Lapisan ini merupakan lapisan kornea
terluar yang langsung kontak dengan dunia luar dan terdiri atas 5-6 lapis sel.
Basal sel kolumnar pada lapis sel pertama melekat dengan membran basement
dibagian bawahnya dengan hemidesmosome. Dua lapisan diatas sel basal
tersebut merupakan sel ”wing”, atau sel payung, dan dua lapisan diatas
berikutnya merupakan sel gepeng.

6
Epitel kornea ini mengandung banyak ujung- ujung serat saraf bebas.
Sel-sel yang terletak di permukaan cepat menjadi aus dan digantikan oleh sel-
sel yang terletak di bawahnya yang bermigrasi dengan cepat. Stem cell epitelial
ini terletak pada superior dan inferior limbus.

b. Membran Bowman 1,2


Membran Bowman merupakan lapisan fibrosa aseluler yang terletak di
bawah epitel tersusun dari serat kolagen tipe 1.

c. Stroma Kornea1,2
Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen tipe 1 yang berjalan
secara paralel membentuk lamel kolagen dengan sel-sel fibroblast diantaranya.
Lamel kolagen ini berjalan paralel dengan permukaan kornea dan bertanggung
jawab terhadap kejernihan kornea. Ketebalan stroma kornea mencakup 90%
dari ketebalan kornea. Stroma kornea tidak dapat beregenerasi.

d. Membran Descemet1,2,3
Membran descemet merupakan membran dasar yang tebal tersusun dari
serat-serat kolagen yang dapat dibedakan dari stroma kornea. Memiliki
ketebalan sekitar 3 mm pada saat lahir dan meningkat ketebalannya sepanjang
usia. Membran Descemet memiliki potensi untuk beregenerasi.

e. Endotel kornea
Lapisan ini merupakan lapisan kornea yang paling dalam tersusun dari
epitel selapis gepeng atau kuboid rendah. Sel-sel ini mensintesa protein yang
mungkin diperlukan untuk memelihara membran Descement. Sel-sel ini
mempunyai banyak vesikel dan dinding selnya mempunyai pompa natrium
yang akan mengeluarkan kelebihan ion-ion natrium ke dalam kamera okuli
anterior. Ion-ion klorida dan air akan mengikuti secara pasif. Kelebihan cairan
di dalam stroma akan diserap oleh endotel sehingga stroma tetap dipertahankan
7
dalam keadaan sedikit dehidrasi (kurang cairan), suatu faktor yang diperlukan
untuk mempertahankan kualitas refraksi kornea.
Kornea bersifat avaskular (tak berpembuluh darah) sehingga nutrisi
didapatkan dengan cara difusi dari pembuluh darah perifer di dalam limbus dan
dari humor aquoeus di bagian tengah. Kornea menjadi buram bila endotel
kornea gagal mengeluarkan kelebihan cairan di stroma. Pada manusia dewasa,
densitas dari endotel kornea adalah sekitar 2.500 sel/mm2. Densitas ini
berkurang sepanjang usia kurang lebih 0,6% setiap tahun dan sel-sel endotel
tetanga membesar berusaha untuk mengisi ruang kosong. Sel-sel endotel ini
tidak dapat beregenerasi. Pada densitas 500 sel/mm2, akan terjadi edema kornea
dan transparansi menjadi berkurang.

8
Gambar 1. Histologi Kornea3

2. Fisiologi Kornea

Fungsi dari kornea adalah sebagai membran protektif dan sebagai


“jendela” yang dilewati oleh cahaya untuk sampai ke retina.
Transparansi Kornea
Sifat transparan dari kornea dihasilkan oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu susunan dari lamela kornea, sifat avaskular, serta keadaan

9
dehidrasi relatif (70%) yang dijaga oleh adanya efek barrier dari epitelium,
endotelium, dan pompa bikarbonat yang bekerja secara aktif pada endotelium.
Keadaan dehidrasi tersebut dihasilkan oleh evaporasi air dari laporan air
mata prekorneal yang menghasilkan lapisan dengan sifat hipertonis. Dalam hal
ini, endotelium memegang peranan yang lebih besar daripada epitelium.
Demikian pula bila terjadi kerusakan pada endotelium, akan diperoleh dampak
yang lebih besar.1-6
Penetrasi pada kornea yang sehat atau intak oleh obat bersifat bifasik.
Substansi larut lemak dapat melewati epithelium dan substansi larut air dapat
melewati stroma. Obat yang diharapkan untuk dapat menembus kornea harus
memiliki kedua sifat tersebut.4
Metabolisme Kornea
Untuk menyokong sifat fisiologis tersebut, kornea membutuhkan energi.
Adapun sumber energi kornea diperoleh melalui:
 Zat terlarut, misalnya glukosa, masuk ke kornea secara pasif melalui difusi
sederhana maupun secara transpor aktif melalui aqueous humor, serta melalui
difusi dari kapiler perilimbal.
 Oksigen, secara langsung diperoleh dari udara atmosfer melalui lapisan air
mata. Proses ini dijalankan secara aktif melalui epitelium.
Sumber energi ini kemudian diproses / dimetabolisme, terutama oleh
epitelium dan endotelium. Dalam hal ini, karena epitelium jauh lebih tebal
daripada endotelium, suplai energi yang dibutuhkan pun jauh lebih besar,
sehingga akitivitas metabolisme tertinggi di mata dijalankan oleh kornea.4
Kornea adalah jaringan yang braditrofik, yaitu jaringan dengan metabolisme
yang lambat dan karenanya juga penyembuhan yang lambat.5
Sebagaimana jaringan lain, epitelium dapat melangsungkan metabolisme
secara aerobik maupun anaerobik. Secara aerobik, proses yang terjadi adalah
glikolisis (30%) dan heksosa monofosfat (65%). Secara anaerobik, metabolisme
akan menghasilkan karbon dioksida, air, dan juga asam laktat.2-4

10
Kornea juga dilengkapi oleh beberapa materi antioksidan untuk
menangkal radikal bebas yang dapat terjadi sebagai efek samping dari proses
metabolisme. Adapun antioksidan yang terkandung dalam jumlah terbesar pada
kornea adalah glutation reduktase, selain terdapat pula askorbat, superoksida
dismutase, serta katalase.
Proteksi dan Persarafan Kornea
Struktur ini menerima persarafan dari cabagn ophtalmik dari nervus
trigeminalis. Kornea sendiri adalah sebuah struktur vital pada mata dan
karenanya juga bersifat sangat sensitif. Sensasi taktil minimal telah dapat
menimbulkan refleks penutupan mata. Adapun lesi pada kornea akan membuat
ujuang saraf bebas terpajan dan sebagai akibatnya, akan timbul nyeri hebat
diikuti refleks pengeluaran air mata beserta lisozim yang terkandung di
dalamnya (epifora) dan penutupan mata secara involunter (blefarospasme)
sebagai mekanisme proteksinya.5
Resistensi Kornea terhadap Infeksi
Epitelium kornea, dengan sifat hidrofobik dan regenerasi cepatnya,
merupakan pelindung yang sangat baik dari masuknya mikroorganisme ke
dalam kornea. Akan tetapi, bila lapisan ini mengalami kerusakan, lapisan
stroma yang avaskular serta lapisan Bowman dapat menjadi tempat yang baik
bagi mikroorganisme, misalnya bakteri, amuba, dan jamur.
Faktor predisposisi yang dapat memicu inflamasi pada kornea di
antaranya adalah blefaritis, perubahan pada epitel kornea (misalnya mata
kering), penggunaan lensa kontak, lagoftalmus, kelainan neuroparalitik, trauma,
dan penggunaan kortikosteroid. Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan
inokulum dalam jumlah besar atau keadaan defisiensi imun.
Di dalam kornea itu sendiri, terdapat Streptococcus pneumoniae, yang
merupakan bakteri patogen kornea yang sesungguhnya. Salah satu bakteri
oportunis yang dapat menginfeksi adalah Moraxella liquefaciens. Umumnya,
mikroorganisme ini ditemui pada pengonsumsi alkohol sebagai akibat dari
deplesi piridoksin. Di samping itu, ditemukan pula kelompok lain, misalnya
11
Serratia marcescens, Mycobacterium fortuitum-chelonei complex,
Streptococcus viridans, Staphylococcus epidermidis, virus, amuba, dan jamur.
Faktor lain, yaitu defisiensi imun, dapat disebabkan oleh konsumsi
kortikosteroid lokal maupun sistemik, sehingga organisme oportunistik dapat
menyerang dan menginfeksi kornea.2

3. Pemeriksaan Penyakit Kornea

Untuk dapat memperoleh gambaran yang komperehensif mengenai proses


patologi yang terjadi pada kornea, diperlukan data yang dapat diperoleh melalui
pemeriksaan berikut:
Anamnesis (Gejala)
Melalui anamnesis, dikumpulkan data mengenai riwayat trauma,
mengingat keberadaan benda asing dan abrasi merupakan penyebab yang cukup
sering pada penyakit kornea. Di samping itu, ditanyakan pula mengenai riwayat
penyakit kornea sebelumnya, misalnya pada keratitis akibat infeksi herpes
simpleks. Riwayat imunodefisiensi maupun penggunaan obat – obatan topikal,
terutama kortikosteroid, juga penting untuk ditanyakan karena dapat menjadi
faktor predisposisi bagi pertumbuhan bakteri, jamur, maupun virus.
Karena kornea memegang peranan sebagai salah satu media refraksi,
adanya lesi kornea umumnya menurunkan ketajaman penglihatan, terutama
untuk lesi yang berada di bagian tengah kornea, sehingga pandangan menjadi
buram seringkali menjadi salah satu keluhan yang muncul.
Pada kornea, terdapat serabut saraf yang dapat menghantarkan nyeri. Oleh
karenanya, setiap lesi pada kornea umumnya akan menimbulkan nyeri maupun
fotofobia. Rasa nyeri akan bertambah buruk dengan adanya pergerakan dari
kelopak mata. Fotofobia pada penyakit kornea muncul sebagai akibat dari rasa
nyeri pada kontraksi iris yang mengalami inflamasi. Dapat pula ditemukan
adanya dilatasi pembuluh darah iris sebagai respons terhadap iritasi pada ujung
saraf korneal.

12
Gambaran keluhan sebagaimana disebutkan di atas dapat saja tidak
ditemukan pada kasus tertentu, misalnya fotofobia pada kasus keratitis
herpetikus sebagai akibat dari hipestesia yang menjadi salah satu bagian dari
perjalanan penyakitnya.2,3,4
Pemeriksaan Kornea (Tanda)
Hal yang harus dievaluasi dari kornea adalah transparansi (adanya
opasitas stroma dan epitelium menunjukkan scarring atau infiltrasi) dan luster
pada permukaan (absensi menunjukkan defek epitel atau lesi kornea
superfisial).5
Pemeriksaan kornea hendaknya dilakukan dalam pencahayaan yang
memadai, dapat pula dilakukan setelah pemberian agen anestetik lokal.
Umumnya, seorang oftalmologis akan menggunakan slit lamp dalam
pemeriksaan.2
Adapun pulasan dengan satu tetes larutan fluorescein atau rose bengal
1%, dengan sifatnya yang umumnya tidak diabsorbsi oleh epitelium, dapat
memperjelas gambaran lesi epitel superfisial yang sulit terlihat pada
pemeriksaan biasa, mulai dari keratitis pungtata superfisial hingga erosi
kornea.2-5 Pencahayaan dengan cobalt blue filter akan mempertegas efek
floresensi.
Topografi permukaan kornea secara kasar dapat dievaluasi menggunakan
keratoskop / Placido’s disk. Akan tetapi, hasil yang lebih akurat dapat diperoleh
melalui pemeriksaan topografi kornea yang terkomputerisasi
(videokeratoskopi).
Sensitivitas kornea secara sederhana dapat dinilai dengan cotton swab.
Dalam hal ini, secara kasar dinilai adanya infeksi viral atau neuropati fasialis
atau trigeminalis. Densitas epitelium kornea secara kasar dapat dinilai
menggunakan slit lamp atau teknik mikroskop spekular untuk keperluan
kuantifikasi. Ukuran kornea dapat diukur menggunakan penggaris sederhana
atau keratometer Wessely.5

13
Pemeriksaan Laboratorium 2
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit kornea ditujukan untuk dapat
mengidentifikasi organisme penyebab dan memberikan terapi yang sesuai
terutama pada ulserasi supuratif. Spesimen dapat diambil dari kerokan kornea
yang kemudian diberikan pewarnaan gram ataupun giemsa. Selain kerokan
kornea, spesimen juga dapat diambil dari kontaks lens pasien ataupun larutan
kontak lens tersebut.
Pemeriksaan dengan PCR dapat dilakukan untuk dapat mengidentifikasi
virus, acanthamoeba dan jamur dengan cepat. Pemeriksaan melalui kultur,
biasanya dilakukan pada semua kasus infeksi bakteri dan fungi pada kunjungan
pertama. Kultur acanthamoeba atau virus dapat dikerjakan bergantung pada
gambaran klinis dan tidak adanya respon terapi infeksi bakteri.
Diagnosis Morfologik Lesi Kornea 2
A. Keratitis Epitelial
Epitel kornea terlibat pada sebagian besat konjungtivitis dan keratitis.
Perubahan-perubahan epithelial bervariasi dari edema sederhana dan
vakuolisasi, hingga erosi, formasi filament dan keratinisasi parsial. Lesinya
pun berbeda-beda dari tiap kornea. Variasi ini memiliki signifikasi diagnostik
yang penting.
B. Keratitis Subepitelial
Keratitis subepitelial biasanya disebabkan secara sekunder oleh keratitis
epitelial
C. Keratitis Stromal
Pada keratitis stroma, terdapat respon stroma kornea terhadap penyakit yang
ditunjukkan dengan akumulasi dari sel radang, edema yang menyebabkan
penebalan kornea, opaksifikasi atau parut, nekrosis dan vaskularisasi. Pola
dari respon pada keratitis stroma ini tidak spesifik untuk setiap penyebabnya
sehingga diperlukan informasi klinis lainnya untuk mengidentifikasi secara
jelas.

14
D. Keratitis Endotelial
Terjadi disfungsi dari endotel kornea yang menyebabkan edema kornea
mengenai stroma terlebih dahulu dan kemudian epitel. Penemuan sel radang
berupa persipitat keratic pada endothelium tidak selalu merupakan indikasi
dari penyakit endoteliat akrena manifestasi dari dari anterior uveitis tidak
sellaui diikuti oleh keratitis stroma.

15
Gambar 2. Tipe Epitelial Keratitis (sesuai dengan frekuensi tersering)2

16
4. Patogenesis Keratitis & Ulkus Kornea

Secara sederhana, keratitis didefinisikan sebagai peradangan / inflamasi


pada kornea mata (bahasa Yunani: kerat = tanduk). Proses inflamasi tersebut
umumnya ditandai dengan adanya edema kornea, infiltrasi seluler, serta
kongesti silier.
Patogenesis
Ketika epithelium kornea yang rusak diinvasi oleh agen-agen pathogen,
perubahan-perubahan pada kornea pada perkembangannya menjadi ulkus
kornea dapat dibedakan menjadi 4 tahap yaitu infiltrasi, ulserasi aktif, regresi,
dan sikatrik. Hasil akhir atau terminal dari ulkus korna bergantung pada
virulensi dari agen pathogen, mekanisme pertahanan dari host, dan tatalaksana
yang diterima. Perkembangan dari ulkus kornea atau keratitis dapat mengarah
pada salah satu arah dibawah ini:
1. Ulkus dapat terlokalisasi dan sembuh
2. Penetrasi kedalam menyebabkan perforasi kornea
3. Menyebar cepat menyebabkan seluruh kornea terkelupas atau ulkus kornea
terkelupas.

Patologi dari ulkus kornea terlokalisasi:


A. Tahap progresif infiltrasi
Pada tahap ini dikarakteristikan dengan infiltrasi dari PMN dan/atau limfosit
kedalam epithelium dari sirkulasi perifer. Pada tahap ini nekrosis dapat
muncul pada jaringan tergantung dari virulensi agen pathogen dan kekuatan
mekanisme pertahana dari host tersebut.
B. Tahap ulserasi aktif
Ulserasi aktif terjadi disebabkan karena nekrosis dan pengelupasan dari
epithelium, membrane bowman dan stroma. Dinding dari ulserasi aktif ini
akan membengkak disebabkan oleh lamella yang terimbibis oleh cairan dan

17
leukosit diantaranya. Pada tahap ini disekitar dan dasar dari ulserasi akan
memperlihatkan infiltrasi abu-abu dan pengelupas.
Pada tahap ini akan muncul hyperemia dari jaringan sirkumkorneal yang
merupakan hasil dari akumulasi eksudar purulen dari kornea. Kongesti
vaskular pada iris, badan siliaris dan iritis terjadi akibat dari absorpsi toxin
dari ulserasi. Eksudasi dapat masuk kedalam COA melalui pembuluh iris dan
bandan siliaris menyebabkan hipopion. Ulserasi dapat berkembang hanya
pada bagian superficial ataupuan dapat lebih menembus kedalam hingga
menyebabkan formasi descemetocele hingga perforasi kornea.
C. Tahap regresi
Tahap regersi merupakan tahapan yang diinduksi dari mekanisme pertahanan
dan tatalaksana yang didapatkan yang meningkatkan respon host. Garis
demarkasi kemudian terbentuk di sekitar ulkus, yang terdiri dari leukosit yang
menetralkan dan memakan agen patogen dan debris-debris nekrosis. Digesti
dari materi nekrosis ini dapat menyebabkan ulkus yang semakin besar. Proses
ini kemudian diikut dengan vaskularisasi superfisial yang meningkatkan
respon imun humoral dan selular. Ulkus pada tahap ini mulai sembuh
beregenerasi.
D. Tahap sikatrik
Pada tahap ini terjadi epitelisasi yang progresif yang membentuk lapisan
penutup yang permanen. Dibawah epitel, terdapat jaringan fibrosa terdiri dari
fibroblas kornea dan sel endotel dari pembuluh darah baru. Stroma kemudian
menebal dan memenuhi bagian bawah epitelium, sehingga mendorong epitel
ke arah anterior.
Tahap sikatrik dari proses penyembuhan berbeda-beda. Pada ulkus sangat
superfisal dan hanya meliputi epitel, penyembuhan akan terjadi tanpa
meninggalkan opasitas. Sedangkan jika ulkus mencakup membran Bowman
dan lamela stroma superfisial, sikatrik yang tebentuk akan membentuk nebula.
Makula dan leukoma dapat terjadi pada proses penyembuhan ulkus yang
meliputi sepertiga dan melebihi stroma kornea.
18
Gambar 3. Tahap dari Ulkus Kornea Lokal4

Patologi dari ulkus kornea perforasi:


Perforasi pada ulkus kornea muncul jika proses ulserasi menembus
hingga membran descemet. Membran ini kemudian akan menonjol keluar
sebagai Descemetocele. Pada tahap ini, batuk, buang air besar, dapat membuat
terjadinya perforasi ulkus kornea. Segera setelah terjadinya perforasi, aquous
humor akan keluar, tekanan intra okular menurun dan diafragma iris-lensa akan
bergerak kearah anterior. Jika perforasinya kecil dan berlawanan dengan
jaringan iris, maka iris dapat prolaps. Leukoma merupakan hasil yang sering
terjadi pada ulkus ini.

Patologi dari ulkus kornea mengelupas dan pembentukan staphyloma anterior:


Pada keadaan dimana agen pathogen memiliki virulensi yang tinggi
ataupun membran resistensi dari host sangat rendah, seluruh kornea dapat
terkelupas kecuali pada bagian ujung rim dan seluruh iris akan prolaps. Iris
19
kemudian akan inflamasi dan eksudat akan menyumbat pupil dan menutupi iris
membentuk pseudokornea.
Pseudokornea yang terbentuk dari eksudat ini merupakan layar tipis
fibrosa dimana konjuntiva dan epitel kornea akan tumbuh diatasnya. Karena
tipis, dan tidak dapat menahan tekanan intraocular, pseudokornea ini akan
menonjol keluar bersamaan dengan jaringan iris yang menempel. Sikatrik
ektatik ini kemudian disebut dengan anteriot staphyloma yang bergantung dari
perkembnagnnya dapat bersifat parsial atau total. Ketebalan dari staphyloma ini
berbeda-beda yang menghasilkan permukaan lobul-lobul yang menghitam
dengan jaringan iris sehingga nampak seperti anggur hitam.

Klasifikasi Keratitis4
Keratitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
 Berdasarkan topografi / morfologinya
o Keratitis ulseratif / ulkus kornea
 Berdasarkan lokasinya
 Ulkus kornea sentral.
 Ulkus kornea perifer.
 Berdasarkan purulensinya
 Ulkus kornea purulen / supuratif (bakteri / jamur).
 Ulkus kornea non purulen (viral, klamidial, alergik).
 Berdasarkan keberadaan hipopion
 Ulkus kornea sederhana (tanpa hipopion).
 Ulkus kornea dengan hipopion.
 Berdasarkan kedalaman ulkus
 Ulkus kornea superfisial.
 Ulkus kornea dalam.
 Ulkus kornea dengan perforasi yang segera terjadi.
 Ulkus kornea dengan perforasi.
 Berdasarkan keberadaan pengelupasan
20
 Ulkus kornea tanpa pengelupasan.
 Ulkus kornea dengan pengelupasan.
o Keratitis non ulseratif
 Keratitis superfisial
 Keratitis superfisial difus.
 Keratitis pungtata superfisialis.
 Keratitis dalam
 Keratitis non supuratif.
 Keratitis supuratif.
 Berdasarkan etiologinya
o Keratitis infektif.
 Keratitis Bakterial.
 Keratitis Viral
 Keratitis Fungal.
 Keratitis Klamidial.
 Keratitis Protozoal.
 Keratitis Spirochaetal.
o Keratitis alergik.
 Keratitis phlyctenular.
 Keratitis vernal.
 Keratitis atopik.
o Keratitis trofik.
 Keratitis pajanan.
 Keratitis neuroparalitik.
 Keratomalasia.
 Ulkus ateromatosa.
o Keratitis terkait penyakit kulit dan membran mukosa.
o Keratitis terkait kelainan gangguan kolagen sistemik.
o Keratitis traumatik (mekanik, kimia, radiasi).
o Keratitis idiopatik.
21
5. Keratitis Superfisial dan Dalam

Temuan pada kasus inflamasi kornea pada lesi yang bersifat superfisial
umumnya berbeda dengan kasus pada lesi dalam.
Pada lesi superfisial, dapat ditemukan:3
 Erosi epitel pungtata, merupakan tanda awal dari defek epitel, berupa defek
berukuran sangat kecil pada pulasan dengan fluorescein dan rose bengal.
 Keratitis epitel pungtata, berupa gambaran sel epitel yang granular,
opalescent, membengkak, disertai dengan infiltrat intraepitelial fokal,
umumnya dapat terlihat tanpa pulasan khusus.
 Infiltrat subepitelial.
 Keratitis pungtata superfisialis, dengan morfologi seperti titik.
 Filamen, berupa struktur seperti benang yang terdiri atas mukus dan sel epitel
yang telah mengalami degenerasi, bergerak dengan mengedip, dan menempel
pada ujung kornea.
 Edema epitel, umumnya disertai vesikel kecil dalam jumlah banyak atau bula.
 Neovaskularisasi superfisial, merupakan pertana adanya iritasi permukaan
okular kronik maupun hiposkia.
 Pannus, yaitu neovaskularisasi yang disertai dengan perubahan subepitelial
dari limbus yang bersifat degeneratif.

22
Gambar 4. Lesi Superfisial Kornea – Erosi epitel pungtata, Keratitis epitel pungtata, filamen,
edema kornea dengan bula, neovaskularisasi superfisial, pannus.3

Pada lesi dalam, dapat ditemukan:3


 Infiltrat, merupakan area fokal dengan inflamasi stromal akut yang tersusun
atas sel inflamatori disertai debris seluler maupun ekstraseluler dan nekrosis.
Temuan yang tampak adalah gambaran berwarna kekuningan atau putih
kelabu pada stroma anterior. Secara umum, infiltrat yang terbentuk dapat
bersifat infektif maupun steril, dengan pembeda sesuai dengan parameter pada
tabel berikut:

23
Tabel 1. Karakteristik Infiltrat Kornea3
Parameter Infiltrat Infektif Infiltrat Steril
(Supuratif) (Non Supuratif)
Ukuran Besar Kecil
Progresi Cepat Lambat
Defek Epitel Umumnya ada dan besar Umumnya tidak ada dan kecil
Nyeri (Pain) Sedang – berat Ringan
Sekret (Discharge) Purulen Mukopurulen
Jumlah Lesi Tunggal Jamak
Lokasi pada Mata Unilateral Bilateral
Reaksi COA Berat Ringan
Lokasi Sentral Perifer
Reaksi Kornea Ekstensif Terbatas
di sekitarnya

 Ulserasi, merupakan tanda adanya ekskavasi jaringan terkait dengan defek


epitel.
 Vaskularisasi.
 Deposisi lemak, penanda inflamasi kronik dengan kebocoran dari pembuluh
darah kornea yang baru.
 Lipatan pada membran Descemet, dapat dihasilkan dari edema kornea yang
telah melampaui batas toleransi endotelium.
 Descemetocele, merupakan herniasi dari membran Descemet ke dalam kornea
dengan gambaran menyerupai gelembung.
 Kerusakan pada membran Descemet.
 Gambaran kebocoran cairan pada tes Seidel. Tes ini dilakukan menggunakan
tetes fluorescein 2% pada slit lamp dengan cobalt blue filter untuk mendeteksi
perubahan dari warna jingga jelap menjadi hijau kuning terang.

24
Gambar 5. Lesi Dalam Kornea – Infiltrasi, ulserasi, vaskularisasi, deposisi lemak,
lipatan pada membran Descemet, kerusakan traumatik pada membran Descemet.3

Prinsip Tatalaksana Umum


Pada seluruh kasus keratitis, tatalaksana yang umumnya dilakukan
meliputi kontrol infeksi serta inflamasi dan promosi penyembuhan epitel.
Infeksi dapat dikontol dengan agen antimikrobial sesuai dengan etiologinya.
Penggunaan steroid topikal dengan tujuan supresi inflamasi harus dilakukan
dengan hati – hati karena dapat melemahkan imunitas tubuh dan mendukung
pertumbuhan mikroorganisme tertentu serta memperlambat proses reepitelisasi.

25
Pada kasus keratitis akibat penyakit autoimun, agen imunosupresif dapat
digunakan.
Promosi penyembuhan epitel dapat dilakukan dengan reduksi pajanan
pada obat – obatan toksik, lubrikasi dengan air mata buatan dan salep,
penutupan kelopak mata sementara, cangkok membran ambrionik pada defek
epitel persisten yang unresponsif, maupun perekat jaringan untuk menutup
perforasi kecil.2,3

6. Keratitis Infektif

Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial dapat terjadi melalui dua mekanisme utama, yaitu
kerusakan epitelium kornea maupun infeksi pada area yang telah mengalami
erosi. Akan tetapi, terdapat beberapa organisme yang dapat menginvasi
epitelium kornea yang masih intak dan memicu pembentukan ulkus, yaitu
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphteriae, dan Neisseria
meningitidis.
Kerusakan epitel kornea dapat terjadi karena adanya abrasi kornea akibat
benda asing, misdireksi silia, ataupun trauma dalam penggunaan lensa kontak.
Di samping itu, kerusakan epitel juga dapat disebabkan oleh kekeringan epitel,
nekrosis misalnya pada keratomalasia, deskuamasi epitel akibat edema kornea,
dan perubahan secara trofik.
Sumber infeksi dapat berasal dari eksogen, misalnya sakus konjungtiva,
sakus lakrimalis, benda asing, maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi, serta
infeksi melalui air. Infeksi dapat pula menyebar dari jaringan mata lain di
sekitar kornea, ataupun secara endogen walaupun cukup jarang terjadi.4
Organisme yang sering menyebabkan infeksi ini adalah Staphylococcus
aureus, Pseudomonas pyocyanea, Streptococcus pneumoniae, E. Coli, Proteus,
Klebsiella, N.gonorrhoea, N.meningitidis, dan C.diphtheriae.2-7

26
Secara umum, beratnya infeksi bakteri yang terjadi bergantung pada
virulensi organisme penyebab, toksin yang dikeluarkan, enzim, serta respons
jaringan pejamu.
Gejala dan Tanda
Keluhan yang biasanya ditemukan adalah nyeri dan sensasi benda asing
sebagai akibat dari efek mekanik dari kelopak mata dan efek kimia dari toksin
pada ujung saraf. Di samping itu, terdapat pula hiperlakrimasi sebagai refleks
mata, fotofobia karena stimulasi ujung saraf, pandangan buram, dan kemerahan
pada mata karena kongesti pembuluh darah.
Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh adalah adanya defek
epitel dengan infiltrat berwarna putih kelabu dengan batas tegas. Defek
kemudian meluas dan terjadilah efema stromal serta pelipatan membran
Descemet serta uveitis anterior. Tampakan ulkus bakteria adalah area berwarna
putih kekuningan dengan bentuk oval atau iregular, batas ulkus membengkak
dan terangkat, basis ulkus tertutup oleh jaringan nekrotik, dengan edema stroma
di sekitar area ulkus. Di samping itu, dapat pula ditemukan hipopion maupun
descemetocele, terutama pada infeksi Pseudomonas.3,4

27
Gambar 6. Keratitis Bakterial – Defek epitel dan infiltrasi, pelebaran infiltrat,
hipopion, penyakit tahap lanjut, perforasi.3

Pemeriksaan Penunjang
Pada seluruh kasus ulkus kornea, umumnya dilakukan pemeriksaan
laboratorium berupa pemeriksaan rutin, yaitu hemoglobin, jumlah leukosit,
hitung jenis, laju endap darah, glukosa, urinalisis, serta analisa feses.
Di samping itu, dilakukan pula pemeriksaan mikrobiologi untuk
mengidentifikasi organisme penyebab dan menentukan tatalaksana. Spesimen
yang dipakai adalah kerokan pda basis dan batas ulkus kornea setelah
pemberian anestesi lokal silokain 2%. Kemudian, dilakukan pemeriksaan Gram

28
dan Giemsa dan kultur pada medium agar darah. Kerokan kornea umumnya
tidak dilakukan apabila hanya terdapat infiltrat kecil tanpa defek epitel yang
jelas.2,3,4,5

Gambar 7. Pemeriksaan Penunjang pada Keratitis Bakteri.3


Tatalaksana Umum
Pada seluruh kasus ulkus, terutama yang belum menimbulkan komplikasi,
prinsip tatalaksana adalah terapi spesifik untuk agen penyebab, terapi suportif
non spesifik, serta tatalaksana tambahan.
Terapi spesifik mencakup administrasi antibiotik topikal dengan terapi
inisial mencakup organisme gram negatif dan positif. Umumnya, dipilih tetes
mata gentamycin 14 mg/ml atau tobramisin bersamaan dengan sefazolin (50
mg/ml) setiap ½ hingga 1 jam untuk beberapa hari pertama, kemudian
dikurangi menjadi setiap 2 jam sekali.2,4
Ketika telah diperoleh hasil kultur maupun tes sensitivitas, terapi dapat
disesuaikan dengan etiologi penyebabnya. Dalam hal ini, antibiotik sistemik
umumnya tidak dibutuhkan.2-7

29
Tabel 2. Pilihan Terapi pada Keratitis2,7

Terapi non spesifik yang dapat diberikan adalah agen siklopegik,


analgesik, anti inflamasi, serta vitamin. Agen siklopegik yang umumnya
dipakai adalah tetes mata atau salep atropin 1% untuk mengurangi nyeri dari
spasme silier atau mencegah pembentukan sinekia posterior, sekaligus
meningkatkan suplai darah pada uvea anterior dengan cara menurunkan tekanan
pada arteri siliaris anterior, sehingga lebih banyak antibodi yang dapat dibawa.
Analgesik dan anti inflamasi yang umumnya digunakan adalah parasetamol dan
ibuprofen, untuk meredakan nyeri dan mengurangi edema. Vitamin yang
dipakai adalah A, B kompleks, dan C untuk membantu penyembuhan ulkus.
Di samping itu, dapat pula dilakukan tatalaksana tambahan berupa
pemberian kompres hangat untuk menimbulkan vasodilatasi dan mengurangi
nyeri, penggunaan kacamata hitam untuk mencegah fotofobia, serta tirah
baring.4

Tatalaksana pada Kasus Ulkus yang Tidak Sembuh


Pada kasus ini, tatalaksana tambahan yang dapat dilakukan antara lain
menyingkirkan faktor penyebab yang mendasari kegagalan penyembuhan,
30
misalnya peningkatan tekanan intraokular, misdireksi silia, benda asing,
diabetes melitus, anemia, malnutrisi, penggunaan steroid, dan lain – lain.
Di samping itu, dilakukan pula debridement untuk membersihkan luka
dari jaringan nekrotik, kauterisasi luka, bandage soft contact lens, serta
peritomy.4
Tatalaksana pada Kasus Ulkus yang Segera Mengalami Perforasi
Tatalaksana untuk dapat mencegah perforasi dan komplikasi lain yang
dapat dilakukan adalah edukasi pada pasien untuk menghindari bersin, batuk,
ataupun mengejan ketika buang air besar dan edukasi untuk tirah baring total.
Di samping itu, dilakukan pula penurunan tekanan intraokular, pemberian
perekat jaringan, bandage soft contact lens, dan keratoplasti terapeutik
penetratif.4
Tatalaksana pada Kasus Ulkus Perforasi
Bila perforasi telah terjadi, diperlukan upaya cepat untuk mengembalikan
keutuhan kornea yang telah mengalami perforasi. Dalam hal ini, dapat
digunakan perekat jaringan, keratoplasti, dan cangkok membran amnion.4

A. Ulkus kornea Streptococcus pneumoniae (pneumokokal)


Ulkus ini biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea yang
mengalami abrasi. Tampilannya adalah ulkus kelabu berbatas tegas yang
menyebar tak teratur dari tempat infeksi ke sentral. Gambaran batas yang bergerak
maju menampakan ulserasi dan infiltrasi aktif, sementara batas yang ditinggalkan
menunjukkan penyembuhan. Efek merambat ini disebut ulkus serpiginosa akut.
Kornea disekeliling ulkus seringkali jernih, biasanya terdapat pula
hipopion. Hipopion terbentuk sebagai akibat dari pergerakan masif leukosit dari
pembuluh darah. Kondisi ini terjadi sebagai respons dari iritis berat yang terjadi
akibat difusi toksin bakteri. Oleh karena adanya gaya gravitasi, leukosit tersebut
kemudian bergerak ke bagian bawah dari kamera okuli anterior membentuk
hipopion. Selama hanya terjadi migrasi dari leukosit, hipopion yang terbentuk

31
umumnya steril dan akan diserap kembali oleh tubuh setelah ulserasi dapat
dikontrol. 2,3,4

Gambar 8. Hipopion.4
Adanya hipopion menimbulkan risiko untuk terjadinya glaukoma
sekunder sehingga untuk pencegahannya diperlukan pemberian timolol maupun
asetazolamid. Kerokan dari tepian depan (yang maju) dari ulkus kornea
pneumokokal biasanya mengandung diplokokus gram positif.

B. Ulkus kornea Pseudomonas aeruginosa


Ulkus ini berawal dengan infiltrat berwarna kelabu atau kuning ditempat
epitel kornea yang retak. Umumnya, lesi terasa sangat nyeri dan dengan cepat
terjadi penyebaran ke segala arah sebagai pengaruh dari kerja enzim proteolitik. Di
samping itu, sering terdapat hipopion besar, infiltrat, dan eksudat berwarna hijau
kebiruan. Meskipun awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea
dan mengakibatkan kerusakan yang parah seperti perforasi kornea dan infeksi
intraokular berat.
32
Ulkus ini biasanya berhubungan dengan penggunaan lensa kotak lunak, terutama
lensa jenis extended-wear. Organisme penyebab ditemukan melekat pada
permukaan lensa kontak lunak dan obat tetes mata yang terkontaminasi. Kerokan
dari ulkus mengandung batang gram negatif halus panjang. 2,3,4

C. Ulkus Kornea Moraxella liquefaciens


M. linguefaciens menimbulkan ulkus lonjong tipe indolen yang umumnya
mengenai kornea bagian inferior dan meluas ke stroma dalam beberapa hari.
Umumnya, tidak ditemukan hipopion atau apabila ada hanya sedikit. Kornea di
sekitar lesi biasanya jernih. Ulkus ini hampir selalu terjadi pada pasien peminum
alkohol, diabetes atau dengan penyebab imunosupresi lainnya. Kerokan
menampilkan diplobacili gram negatif besar dengan ujung persegi. 2,3,4

D. Ulkus kornea Streptokokus Group-A


Ulkus kornea sentral yang disebabkan oleh Streptococcus beta-
hemolyticus tidak memiliki ciri yang khas. Stroma disekitar ulkus sering
menunjukkan infiltrat dan sembab, dan biasanya disertai hipopion berukuran
sedang. Kerokan sering mengandung kokus gram positif berbentuk rantai. 2,3,4

E. Ulkus kornea Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan


Streptococcus alpha-hemolyticus
Ulkus ini banyak terjadi pada pasien dengan riwayat penggunaan
kortikosteroid topikal. Ulkusnya sering indolen, tetapi mungkin disertai hipopion
dan dapat ditemukan sedikit infiltrat di sekitar kornea. Ulkus ini umumnya
superfisial dan dasar ulkus terasa padat saat dikerok. Pada infeksi Streptococcus
alpha-hemolyticus, dapat ditemukan gambaran kornea tampak mirip kristal.
Kerokan dapat mengandung kokus gram positif satu-satu, berpasangan atau dalam
bentuk rantai. 2,3,4

33
F. Ulkus kornea Mycobacterium fortuitumchelonei dan Norcadia
Ulkus ini jarang ditemui dan umumnya terkait riwayat kontak dengan
tanah. Ulkusnya indolen, dan dasar ulkusnya sering menampakkan kumpulan garis
memancar sehingga tampak sebagai kaca yang retak. Hipopion dapat ditemukan
namun dapat pula sebaliknya. Kerokan dapat mengandung batang tahan asam (M
Fortuitum-chelonei) atau organsime gram positif berfilamen yang sering
bercabang (Nocardia). 2,3,4

7. Keratitis Jamur

Secara umum, etiologi penyebab keratitis jamur antara lain:2-6


 Jamur penyebab, dapat berupa:
o Jamur berfilamen, contohnya Aspergillus, Fusarium, Alternaaria,
Cephalosporium, Curvularia, dan Penicillium.
o Jamur beragi, misalnya Candida dan Cryptococcus.
 Mode infeksi
Infeksi jamur dapat terjadi karena adanya trauma pada mata yang berkaitan
dengan tumbuhan (daun, ranting), perlukaan oleh ekor binatang, ataupun
ulkus fungal sekunder pada pasien dengan imunosupresi ataupun pasien
dengan mata kering, pasien dengan lensa kontak, keratitis herpetikum, atau
setelah operasi keratoplasti.
 Penggunaan antibiotik dan steroid.
Sebelum era kortikosteroid, keratitis jamur hanya terjadi apabila organisme
masuk dalam jumlah yang sangat banyak. Namun, infeksi jamur semakin
sering terjadi sebagai akibat dari efek samping pemakaian antibiotik dan
kortikostreoid yang lama. Antibiotik dapat mengganggu simbiosis antara
bakteri dan jamur, sedangkan steroid dapat membuat jamur menjadi patogen
fakultatif.
Setelah terjadi trauma, fungi kemudian melakukan penetrasi dan proliferasi,
sehingga memicu reaksi inflamasi dan nekrosis jaringan. Pada Candida albicans,

34
produksi fospolipase A dan lisofosfolipase di permukaan blastofor dapat
memfasilitasi jamur untuk memasuki jaringan. Bagian pada fungi yang memegang
peranan untuk menyebabkan kerusakan jaringan adalah mycotoxin dan enzim
proteolitik. Adapun proliferasi dari filamen-filamen fungi pada kornea dapat
menyebabkan penghambatan pada respon imun host.

Gejala yang umumnya dirasakan oleh penderitanya mirip degan gejala pada
ulkus kornea bakterial sentral, akan tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dan
pertumbuhan yang lambat. Adapun tanda yang ditemukan antara lain:4
 Ulkus terlihat kering, nampak putih kelabu, dengan batasnya terelevasi ke
luar.
 Di bawah epitelium yang intak, terdapat gambaran ekstensi seperti jari.
 Infiltrat supuratif berwarna putih kekuningan pada infeksi Candida.
 Gambaran infiltrat cincin berwarna kekuningan, bila terdapat interaksi dengan
antibodi pejamu.
 Lesi satelit kecil dan banyak di sekitar area luka.
 Hipopion besar.
Diagnosis dari keratitis jamur dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis yang
muncul setelah trauma terkait dengan bagian dari tanaman, perburukan ulkus yang
bersifat kronik walaupun dengan terapi adekuat, serta pemeriksaan laboratorium,
dalam hal ini kerokan kornea. Kerokan korena diperiksa secara mikroskopik dengan
menggunakan KOH 10%. Kerokan keratitis jamur kecuali Candida akan memberikan
gambaran unsur hifa sedangkan kerokan candida umumnya mengandung psedohifa
atau bentuk ragi. Di samping itu, dapat pula dilakukan pewarnaan Calcoflour White
untuk melihat filamen fungi ataupun kultur pada agar Saboraud.2,3,4,5

35
Gambar 9. Keratitis Mikotik.5

Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain:4


 Terapi spesifik, yaitu berupa tetes mata antifungal dengan natamisin 5%,
flukonazol 0,2% selama 6 – 8 minggu atau menggunakan salep mata nistatin
3,5%. Pada kasus berat, dapat pula diberikan obat – obatan sistemik, yaitu
flukonazole dan ketoconazole selama 2 – 3 minggu.
 Terapi non spesifik, yaitu rawat inap.
 Keratoplasti penetrasi terapeutik, pada kasus yang tidak responsif.

36
8. Keratitis Viral

Herpes Simples Keratitis


Penyakit mata akibat herpes merupakan salah penyakit menular tersering yang
menyebabkan kebutaan kornea pada negara berkembang. Sebanyak 60% ulkus korna
pada negara berkembang disebabkan oleh virus herpes simpleks dan 10 juta orang di
dunia mengalami penyakit mata akibat herpes.
HSV merupakan virus dengan kapsul kuboidal dengan double stranded DNA
genome. Terdapat dua subtype dari HSV yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-1
menyebabkan infeksi diatas pinggang (pada muka, bibir dan mata) dan HSV-2
disebabkan oleh infeksi veneral (genital herpes). Pada beberapa kasus HSV-2 dapat
menginfeksi mata melalui sekresi yang terinfeksi pada saat melahirkan (neonatal
konjungtivitis). Infeksi okuler Herpes Simpleks Virus (HSV) pada hospes
imunokompeten biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, akan tetapi pada hospes
yang yang non-imunokompeten, termasuk pasien yang mendapat pengobatan
kortikosteroid topikal, perjalanannya mungkin terjadi menahun. Kortikosteroid
topikal dapat mengendalikan respons peradangan, namun memberikan peluang
terjadinya replikasi virus. Sehingga pada pengobatan dengan kortikosteroid topikal,
harus ditambahkan anti-virus. 2,3
Infeksi Primer3
Infeksi primer dari HSV tanpa adanya pajanan virus sebelumnya biasanya
muncul pada masa kanak-kanak. Infeksi ini disebarkan melalui transmisi droplet atau
inokulasi langsung. Karena antibodi dari maternal sehingga jarang sekali infeksi ini
muncul pada bayi berumur 6 bulan, walaupun pada beberapa kasus, dapat muncul
penyakit sistemuk neonatal. Kebanyakan infeksi sistemik muncul secara subklinis
hanya terdapat demam sedang, malaise, dan gejala traktur respiratori bagian atas.
Blepahiritis dan konjungtivits folikular dapat muncul akan tetapi biasanya ringan dan
dapat sembuh tanpa pengobatan. Pemberian tatalaksana biasanya dengan asiklovir
topikal ointment pada mata atau krim pada lesi kulit. Sesudah infeksi primer, virus ini
akan menetap di ganglion trigeminum.

37
Infeksi Rekurensi3
Infeksi rekurensi dapat muncul:
1. Setelah infeksi primer. Virus yang menetap di ganglian trigenminum akan dapat
muncul sebagai infeksi laten bagian dermatomnya dan tidak dapat dieradikasi
karena virus laten ini telah terinkorporasi dengan DNA host.
2. Reaktivasi subklinis. Reaktivasi subklinis dapat muncul pada secara periodik, dan
pada masa ini HSV dapat terpancarkan dan pasien dapat menularkan.
3. Reaktivasi klinis. Beberapa stressor seperti demam, perubahan hormonal, radiasi
UV, trauma atau kerusakan pada trigeminus dapat menyebabkan reaktivasi klinis
saat virus bereplikasi dan di transportasikan dari akson sensoris kearah perifer.
4. Pola penyakit. Pola dari penyaki bergantung pada tempat reaktivasi yang dapat
muncul jauh daripada tempat penyakit primernya.
5. Perkiraan kemunculan ocular keratitis. Pada penyakit ini, 1 episode perkiraan
kemunculannya dalam 1 tahun adalah 10% dan 50% dalam 10 tahun. Semakin
banyak munculnya penyaki ini, makan resiko kemunculannya akan semakin
tinggi.
6. Faktor resiko penyakit lainnya. Karena adanya penyakit mata lainnyam maka
kemunculan rekurensi dapat semkain meningkat contohnya penyakit mata atopic,
imunodefisiensi atau supresi, malnutrisi, malaria, campak atau cacar air.
Penggunaan steroid topikal dapat meningkatkan perkembangan geografis dari
ulserasi.

Gejala dan Tanda2,3


Gejala pada umumnya berupa kemerahan, berair, iritasi, fotofobia dan mild
discomfort. Bila kornea bagian pusat yang terkena, terjadi sedikit gangguan
penglihatan (blurred vision).

38
Gambar 10. Epitelial Keratitis Herpes Simpleks, A, Lesi Stelata, B, Ulkus Dendritik3

Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin
minimal. Sering ada riwayat lepuh-lepuh demam atau infeksi herpes lain, namun
ulserasi kornea kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala infeksi herpes
rekurens.

Lesi
Lesi paling khas adalah ulkus dendritik pada epitel kornea dengan pola
percabangan linear khas dengan tepian kabur dan bulbus-bulbus terminalis pada
ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit.
Ulserasi geografik penyakit dendritik kronik dengan lesi dendritiknya lebih
lebar. Sensasi kornea pada penyakit dendritik ini akan berkurang sehingga harus
diperiksa. Lesi kornea lainnya yang dapat disebabkan oleh HSV adalah blotchy
ephitelial keratitis, stellate epthelial keratitis, dan filamentery keratitis. Kesemua tipe
lesi ini merupakan transisi yang nanyia akan berubah menjadi dendrit tipikal dalam
24-48 jam.
Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip hantu,
yang bentunya sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebih besar, terlihat di
daerah tepat di bawah lesi epitel. Lesi subephitelial ini akan menghilang lebih dari 1
tahun.
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma pada daerah pusat mengalami edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi

39
yang berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Persipitat keratik tepat dapat berada
di bawah lesi diskiformis itu ataupun dapat beada di bawah endotel bersamaan
dengan anterior uveitis. Patogenesisnya dari keratitis diskiformis ini adalah sebuah
reaksi imunologik terhadap antigen virus dalam stroma atau endotel, bersamaan
dengan adanya penyakit virus aktif yang tidak dapat dikesampingkan. Edema
merupakan tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan akhir jaringan
parut dan vaskularisasi minimal. Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan
edema fokal, yang sering disertai vaskularisasi, terutama disebabkan replikasi virus.
Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika ditambah
dengan penggunaan kortikosteroid topikal.
Lesi perifer kornea dapat pula ditimbulkan oleh HSV. Lesi-lesi ini umumnya
linear dan menunjukan kehilangan epitelial sebelum stroma kornea di bawahnya
mengalami infiltrasi (hal ini berlawanan dengan ulkus marginal pada hipersensitivitas
bakteri seperti pada blepharitis stafilokok).
Terapi
Terapi keratitis HSV bertujuan untuk menghentikan replikasi virus pada
kornea dan menahan efek merusak dari respon radang.
1. Debridement
Untuk keratitis dendritik secara efektif adalah dengan debridement epitelial,
karena virus berlokasi dalam epitel. Selain itu juga mengurangi beban antigenik
virus pada stroma kornea. Permukaan kornea dibersihkan dengan spons selulose
steril hingga 2 mm di luar ujung-ujung dendrite. Agen antiviral harus digunakan
sebagai konjungsi.
2. Terapi obat
Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Acyclovir oral (5x400mg) memiliki
manfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata yang berat, khususnya pada
pasien dengan atopik yang rentan terhadap herpes mata dan kulit (eczema
herpeticum).

40
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam
hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpontensi sangat
merusak. Pada peningkatan TIO maka penggunaan derivat protalglandin harus
dihindari akrena dapar meningkatkan aktivitas virus herpes simples dan
inflamasi.
3. Terapi bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai sikatrik kornea berat. Perforasi kornea akibat penyakit
herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi memungkinkan untuk
dilakukan keratoplasti penetrans darurat.
4. Pengendalian pemicu HSV rekurensi
Untuk mengendalikan mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi
HSV, aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, dan dapat diminum sebelum
menstruasi, pajanan berlebih terhadap sinar ultra-violet dapat dihindari dan
keadaan-keadaan yang dapat memicu timbulnya stres psikis dapat dikurangi.

9. Herpes Zooster Keratitis2,3

Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk: primer


(varicella) dan rekurens (zooster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella,
namun sering terjadi pada zoster oftalmik. Pada varicella, lesi mata umumnya terjadi
pada kelopak, jarang timbul keratitis. Sedangkan zooster oftalmik relatif lebih sering
dijumpai, kerap disertai keratouveitis yang bervariasi tergantung keadaan imun
pasiennya. Pada orang dewasa (umumnya pada umur 60-70 tahun), penyakit ini
termasuk penyakit berat dan terkadang dapat mengakibatkan kebutaan. Komplikasi
kornea pada zooster oftalmik dapat diperkirakan jika terdapat erpsi kulit di daerah
yang dipersarafii oleh cabang nervus nasociliaris (pada bagian membrane mukus
hidung ujung hidung dan konjungtiva).

41
Gambar 11. Lesi Dendrit Keratitis Herpes Zooster.4

Keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior dari awal. Lesi epitelnya
berbercak dan amorf, sesekali terlihat pseudodendrit yang mirip dengan dendrit sejati
pada keratitis Herpes simplex virus. Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan
sedikit infiltrat sel yang awalnya hanya terdapat pada daerah subepitelial. Kehilangan
sensasi kornea, dengan risiko terjadinya keratitis neurotopik selalu merupakan ciri
khas dan sering menetap hingga berbulan bulan setelah lesi kornea tampak sembuh.
Uveitis yang timbul cenderung menetap tetapi akhirnya sembuh. Skleritis dapat
menjadi masalah berat pada keratitis jenis ini.
Obat antiviral intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster oftalmik, khususnya pada pasien dengan sistem imun yang
terganggu. Dosis oral asiklovir adalah 800 mg lima kali sehari untuk 10-14 hari;
valasiklovir 1 g tiga kali sehari selama 7-10 hari; famsiklovir 500 mg per 8 jam
selama 7-10 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya rash. Setelah
72 jam tetapi dilakukan terapi yang sama untku dapat mengurangi tingkat keparahan
dari episode akut dan resiko postherpetic neuralgia.

10. Keratitis Acanthamoeba 2,3


Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang dapat ditemukan di tanah, air
kotor ataupun bersih dan traktus respiratori bagian atas. Infeksi ini biasanya
dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yang dipakai semalaman atau pada
individu memakai lensa kontak setelah terpapar air atau tanah yang tercemar.

42
Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinisnya,
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea indolen, cincin
stroma, dan infiltrat perineural, tetapi sering kali hanya ditemukan perubahan-
perubahan yang terbatas pada epitel kornea.
Investigasi penyebab dapat dilakukan dengan:
1. Pewarnaan. kerokan kornea yang diwarnai dengan periodic acid-Schiff atau
calcofluor white. Pada pewarnaan gram dan giemsa juga dapat ditemukan
kista.
2. Kultur. kultur dilakuan pada di atas media khusus (agar nonnutrien yang
dilapisi E coli), spesimen diambil melalui biopsi kornea agar didapatkan
bentuk-bentuk amuba. Perlu diketahui bahwa 30% pasien memiliki hasil
kultur negative dan kultis pada lensa kontak dapat ditemukan acanthamoeba
dan gram negatif. Larutan dan tempat lensa kontak harus dikultur, karena
bentuk amuba dapat ditemukan pada cairan tempat lensa kontak.1
3. Teknik yang lebih modern adalah sitologi impresi dan confocal microscopy.
Immunochemistry, PCR dan biopsi kornea.
Terapi dapat dilakukan dengan debridemen. Debridemen epitel bisa bermanfaat
pada tahap awal penyakit. Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isethionate
propamidine topikal (larutan 1 %) dan polyhexamethylene biguanide (larutan 0,01-
0,02%) dan tetes mata neomycin forte. Mungkin diperlukan keratoplasti pada
penyakit yang telah lanjut.

11. Keratitis Non Infektif

Keratitis Alergi
Phlyctenular Keratoconjuntivitis
Merupakan penyakit hipersensitivitas (hipersenitivitas tipe 4) biasanya karena
human tubercle bacillus. Phlyctenular merupakan akumulasi lokal limfosit, monosit,
makrofag, dan neutrofil. Muncul pertama kali di limbus dan serangan rekurensi dapat
meliputi kojungtiva bulbi dan kornea. Kornea phlyctenular biasanya bilateral, sikatrik

43
dan vaskularisasi. Konjungtiba phlyctenular tidak meninggalkan jejas. Pada
phlyctenular yang tidak mendapatkan terapi akan sembuh dalam 10-14 hari, terapi
topikal dengan kortikosteroid dapat menurunkan prosesnya menjadi 1-2 hari.2

Alergen Penyebab: 2
1. Pretein tuberkulosa, dulu dipikirkan sebagai penyebab tersering
2. Protein stafilokokus, saat ini dipikirkan sebagai penyebab terbanyak
3. Alergen lain, dapat berasal dari protein Moraxella Axenfeld dan parasit
tertentu.

Faktor Predisposisi:2
1. Usia. Kelompok usia puncak 3-15 tahun
2. Jenis Kelamin. Insidens lebih banyak terjadi pada anak wanita daripada anak
laki-laki
3. Kurang gizi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak kurang gizi.
4. Kondisi lingkungan. Terutama pada daerah padat an tidak higienis
5. Musim. Muncul pada seluruh iklim tapi insidens jauh lebih tinggi pada musim
semi dan panas

Terlibatnya kornea dapat terjadi sekunder dari ekstensi fikten konjungtiva,


kejadian primer jarang terjadi. Keratitis ini dapat muncul dalam 2 bentuk: keratitis
flinktenular ulseratif atau keratitis infiltratif difus2,4.

Keratitis vernal4
Keratitis vernal atau keratokonjungtivitis vernal. Keratitis ini terjadi berulang,
bilateral, interstisial, self-limiting, inflamasi alergik dari konjungtiva yang mengalami
inflamasi pada musim-musim tertentu. Keratokonjungtivitis dikarakteristikan dengan
sensasi panas (burning) dan garal yang tidak dapat di toleransi dan meningkat pada
atmosfir yang panas dan lembab. Gejala lainnya berupa fotofobia ringan, lakrimasi,
dan kelopak mata yang berat.
44
Keratokonjungtivitis vernal merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh alergen eksogen, seperti sebuk sari. Keratokonjungtivitis vernal
dianggap sebagai kelainan alergik atopi dimana mekanisme yang memediasi Ig-E
berperan penting. Riwayat atopik lainnya perlu ditanyakan.

Faktor predisposisi:
1. Umur dan jenis kelamin. 4-20 tahun. Lebih sering terjadi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan.
2. Musim. Paling sering terjadi pada musim panas. Nama lain dari penyakit ini
adalah warm weather conjunctivitis/ spring catarhh
3. Iklim. Lebih sering pada iklim tropis, sangat jarang terjadi pada musim
dingin.

Keratopati Vernal4
Keikutsertaan kornea dalam keratokonjungtivitis vernal dapat terjadi primer
maupun sekunder dari ekstensi lesi di limbus. Keratopati vernal mencakup 5 tipe lesi
yaitu
1. Keratitis epitelial pungtata mencakup kornea atas yang biasnaya berkaitan
dengan formasi penyakit ini pada palpebra. Tidak memerlukan terapi kecuali
penggunaan steroid.
2. Keratitis ulseratif vernal muncul sebagai ulkus transversus dangkal di bagian
atas kornea. Ulserasi muncul karena makroerosi pada epitel.
3. Plak korneal vernal karena adanya penutupan dari area makroerosi epitel oleh
layer eksudat. Perlu dilakukan terapi pembedahan dengan keratektomi
superficial
4. Sikatrik subepitel muncul dengan bentuk sikatrik cincin
5. Pseudogerontoxon, dikarakterisikan dengan “cupid’s bow”

45
Keratitis Atopik4
Keratitis ini dapat dianalogikan sebagai tipe dewasa dari keratokonjungtivitis
vernal. Kebanyakan dari pasien ini adalah dewasa muda atopik dengan predominansi
pada laki-laki. Gejala mencakup gatal, sakit, sensai kering, discharge mukoid,
fotofobia, pandangan buram. Pada pemeriksaan ditemukan:
1. Inflamasi kronis di batas posterior berbentuk bulat di batas kelopak mata.
2. Konjungtiva tarsal menunjukkan kenampakan seperti susu dan terdapat papila
halus, hiperemia, dan jaringan parut yang mengkisut.
3. Kornea dapat terlihat keratitis epitelial pungtata, seringnya lebih parah di
bagian bawah. Dapat ditemukan adanya vaskularisasi kornea, penipisan, dan
plak.
Manifestasi klinis dari keratokonjungtivitis atopik, seperti atopi lainnya dapat
terjadi fase eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal,
keratokonjungtivitis atopik cenderung menjadi inaktif saat memasuki umur >50 tahun

12. Ulkus Kornea Trofik

Ulkus kornea trofik berkembang karena gangguan pada aktivitas metabolik dari
sel epitel. Kelompok ini meliputi (1) Keratitis neuroparalisis dan (2) Keratitis
pajanan.4
Keratitis neuroparalisis2,4
Keratitis ini muncul karena interupsi dari saraf sensorik trigeminus yang
menyuplai kornea. Interupsi ini bisa disebabkan oleh trauma, pembedahan, tumor,
inflames, atau penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan kornea kehilangan
sensitivitasnya terhadap simulasi kedip yang merupakan salah satu mekanisme
pertahanan terbaik untuk mencegah degenerasi, ulserasi dan infeksi.
Etiologi
1. Kongenital
- Disautonomia (sindrom Riley-Day)
- Insensitivitas kongenital terhadap nyeri

46
- Displasia ektodermal anhidrosis
2. Didapat
- Setelah blok alkohol atau elektrokoagulasi ganglion Gasseria atau
seksio akar sensorik saraf trigeminus karena neuralgia trigeminus
- Neoplasma yang menekan ganglion Gasserian
- Destruksi ganglion Gasserian karena infeksi akut pada herpers zoster
oftalmikus
- Infeksi akut ganglion gasserian karena virus herpes simplex
- Neuropati sifilitik
- Progresi dari morbus hansen
- Trauma pada ganglion Gasserian
Patogenesis
Belum dikatahui secara jelas pathogenesis dari keratitis ini, menurut teorinya
gangguan dalam refleks kornea antidromik yang muncul karena paralisis saraf V.
Sebagai konsekuensinya aktivitas metabolis epitel kornea terganggu, sehingga terjadi
akumulasi metabolit yang selanjutnya menyebabkan edema dan eksfoliasi dari sel
epitel karena ulserasi. Perubahan kornea dapat muncul pada kehadiran refleks kedip
normal dan sekresi lakrimal normal.
Manifestasi klinis
1. Gambaran khasnya tidak terdapat nyeri, tidak ada lakrimasi, dan hilangnya
seluruh sekresi kornea
2. Kongesti silier
3. Kornea kusam
4. Perubahan awal kornea adalah dengan pembentukan erosi epitel di area intra-
palpebra diikuti oleh ulserasi karena eksfoliasi epitel kornea
5. Sering terjadi relaps, jaringan parut yang telah terbentuk bahkan dapat rusak
Tatalaksana
1. Tatalaksana awal sebelumnya adalah dengan artificial tear drops dan
lubricant ointment untuk menjaga agar kornea tetapi lembab. Pada kasus telah
berkembang menjadi keratitis, maka talaksana awal adalah dengan salep mata
47
antibiotik dan atropin dan dipasang penutup mata. Penyembuhan biasnaya
sangat lambat. Modalitas tatalaksana yang juga dapat dijadikan pilihan adalah
tetes mata topikal faktor pertumbuhan saraf dan transplantasi membran
amniosis.
2. Jika terjadi relaps, dapat dilakukan tarsorafi lateral yang paling tidak harus
dijaga hingga satu tahun bersaman dengan penggunaan air mata buatan.

Keratitis Pajanan
Kornea secara normal tertutup oleh kelopak mata selama tidur dan secara
konstan dijaga kelembabannya melalui mekanisme berkedip saat terjaga. Ketika
kelopak tidak dapat tertutup secara adekuat, muncullah keratopati pajanan / keratitis
lagoftalmus. Proses ini diikuti oleh mengeringnya epitel kornea, desikasi /
pembuangan epitel, dan akhirnya invasi dari mikroorganisme. Desikasi umumnya
muncul pada area interpalpebral sehingga terjadi keratitis epitelial pungtata diikuti
dengan nekrosis, ulserasi, dan vaskularisasi.4

48
Gambar 12. Keratitis Pajanan – Defek epitel, desikasi, infeksi sekunder.3

Faktor yang dapat memicu kondisi ini adalah proptosis ekstrim, neuroparalitik /
Bell’s palsy, ektropion, simblefaron, penurunan tonus otot pada koma dalam tanpa
penutupan kelopak yang adekuat, dan lagoftalmus fisiologis selama tidur.4,5
Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain profilaksis saat terdapat
lagoftalmus berupa pemberian air mata buatan / salep serta penutupan kelopak mata
pada pajanan yang reversibel serta tatalaksana pada penyebab lagoftalmus dan
tarsorrhaphy permanen pada pajanan yang bersifat permanen. Apabila terbentuk
ulkus, maka dilakukan tatalaksana untuk ulkus.4

49
13. Keratitis Lain2,3,4

 Keratitis terkait penyakit kulit dan membran mukosa, yaitu keratitis rosacea
akibat penyakit pada kelenjar sebasea kulit, berupa lesi okular yang terdiri
atas keratitis marginal, vaskularisasi perifer, maupun penipisan dan perlukaan
pada kornea, dapat ditatalaksana dengan steroid topikal dan obat –obatan
sistemik.
 Keratitis dapat menjadi salah satu manifestasi penyakit kolagen sistemik,
misalnya pada reumatoid artritis, SLE, poliarteritis nodosa, dan Wegener’s
granulomatosis.
 Ulkus kornea idiopatik, misalnya ulkus Mooren, merupakan keratitis ulseratif
perifer inflamatori berat. Etiologinya hingga saat ini tidak diketahui, namun
diperkirakan berkaitan dengan proses degeneratif, iskemia akibat vaskulitis,
aktivitas enzimatik, maupun proses autoimun.
Gejala yang dirasakan adalah nyeri berat, fotofobia, lakrimasi, dan penurunan
visus.

Gambar 13. Ulkus Mooren.4

Gambaran yang dapat ditemukan umumnya berupa ulkus rodent yang terlihat
“menggerogoti” epitelium dan lamela mulai dari batas kornea secara
sirkumferensial yang jinak (unilateral dan perkembangan lambat, pada orang
tua), atau dapat pula virulen / progresif (bilateral dan cepat berkembang, pada
orang muda), menghasilkan area basis ulkus berwarna putih yang akan diikuti
dengan pembentukan vaskularisasi.
50
Terapi yang umumnya digunakan adalah kortikosteroid tipikal, terapi
imunosupresif, dan keratektomi lamelar.

51
BAB 3
KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat
di lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu
superfisial, interstisial dan profunda. Keratitis superfisial adalah radang kornea yang
mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat terjadi pada anak-
anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau,
epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda – beda tergantung dari jenis
pathogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan lampu celah. Dengan pemeriksaan lampu celah,
penatalaksanaan keratitis dapat dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan etiologi
penyebabnya.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk
luasnya dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan
tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur pathogen, dan diagnosis serta
pengobatan yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
52
1. Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat Keseimbangan
dan Pendengaran.Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
2. Vaughan, Asbury. Lensa. Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta : EGC; 2010. p
125-35.
3. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: a systematic approach 7th ed. USA:
Elsevier. 2011.
4. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007. p. 89-126.
5. Lang GK, Ophhalmology. Stuttgart: Thieme; 2000.p.117-41.
6. Cassidy L, Oliver J. Ophthalmology at a Glance. Massachusetts: Blackwell
Science; 2005. p.66-8.
7. American Academy of Ophthalmology. Bacterial Keratitis. San Fransisco:
AAO; p.2-22.
8. Ravinder K. Clinical Evaluation of Corneal Ulcer among Patients Attending
Teaching Hospital. International Journal of Contemporary Medical Research Volume 3. Issue 4.
April 2016.

53

Anda mungkin juga menyukai

  • Kortikosteroid Pada Polip Nasi
    Kortikosteroid Pada Polip Nasi
    Dokumen5 halaman
    Kortikosteroid Pada Polip Nasi
    Chyntiananda Prabu Hening
    Belum ada peringkat
  • Mata
    Mata
    Dokumen48 halaman
    Mata
    Chyntiananda Prabu Hening
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading
    Journal Reading
    Dokumen23 halaman
    Journal Reading
    Chyntiananda Prabu Hening
    Belum ada peringkat
  • Penyapu Jalan
    Penyapu Jalan
    Dokumen14 halaman
    Penyapu Jalan
    Chyntiananda Prabu Hening
    Belum ada peringkat
  • Absen
    Absen
    Dokumen3 halaman
    Absen
    Chyntiananda Prabu Hening
    Belum ada peringkat
  • Scribd Antioksidan
    Scribd Antioksidan
    Dokumen10 halaman
    Scribd Antioksidan
    Chyntiananda Prabu Hening
    Belum ada peringkat