Anda di halaman 1dari 21

Rangkuman Buku Sejarah Nasional Jilid VI bagian Demokrasi Terpimpin hingga Masa

Orde Baru

Tugas Rangkuman untuk Memenuhi Mata Kuliah Sejarah Kontemporer

Oleh:

Citra Husnul Khuluqi 13030116120013

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
DEMOKRASI TERPIMPIN

Sejarah Indonesia (1959–1965) adalah masa di mana sistem Demokrasi Terpimpin sempat
berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Konsep
sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam
pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
1. Dari segi keamanan nasional: banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal,
menyebabkan ketidakstabilan negara.
2. Dari segi perekonomian : sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi
liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat
dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS
1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan
anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti
oleh seluruh anggota konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi
konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini
disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai
2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Dibubarkannya konstituante
4. Pembentukan MPRS dan DPAS

Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan


hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk mengakomodasi persekutuan
konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu, yaitu antara
ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Pada tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia yang dilangsungkan
dalam Operasi Trikora mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga
mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat yang tidak menghendaki integrasi
dengan Indonesia.

Kehidupan Politik Masa Demokrasi Terpimpin


Masa Demokrasi terpimpin adalah suatu masa yang menunjukan bentuk tindak lanjut dari Dekrit
Presiden. Yaitu penataan kehidupan politik yang disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Demokrasi Terpimpin. Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959 merupakan
dasar dalam pembentukan demokrasi terpimpin yang memiliki harapan akan dapat dilaksanakan
pemerintahan yang sesuai dengan UUD 1945 atau pelaksanaannya dapat dilakukan secara murni
dan konsekuen. Untuk itu, pada masa demokrasi terpimpin, tindakan perubahan yang dilakukan
dalam menata politik dalam negeri maupun politik luar negeri, terlihat dari adanya beberapa
tindakan-tindakan sebagai berikut:

a. Pembaharuan bagi politik dalam negeri Indonesia


Pembaharuan yang terjadi dalam kehidupan politik dalam negeri Indonesia nampak dari tindakan
seperti dari tindakan sebagai berikut :
1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden di bawah MPRS akan tetapi dalam
kenyataannya MPRS tidak memiliki kekuasaan dalam mengeluarkan dan memutuskan berbagai
kebijakan. Kedudukan presiden sebagai kepala negara merangkap menjadi kepala pemerintahan
sehingga memiliki kekuasaan yang bersifat absolut atau mutlak.
2. Presiden Diangkat Seumur Hidup
Berdasarkan UUD 1945, seorang presiden dapat ditunjuk sebanyak dua kali periode. Tetapi
pada masa demokrasi terpimpin, Dari diangkat seumur hidup tanpa adanya pergantian pemegang
kekuasaan.
3. Presiden membentuk MPRS
Tindakan presiden membentuk MPRS bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam
UUD 1945. Sebab berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, pembentukan MPRS
dilakukan melalui pemilihan umum.
4. Manifesto politik republik Indonesia
Pidato presiden yang berjudul “penemuan kembali revolusi kita” dijadikan sebagai GBHN
(Garis Besar Haluan Negara). Hal itu bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
5. Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukan DPR-GR
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, seorang presiden tidak
diperkenankan membubarkan DPR. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Presiden
membubarkan DPR hasil pemilu 1945 karena menolak RAPBN yang diajukan presiden.
6. Pemasyarakatan ajaran nasakom (nasionalis, agama dan komunis)
Tujuan presiden memasyarakatkan ajaran nasakom adalah untuk menghindari kubu-kubu
dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ajaran nasakom ini dimanfaatkan oleh PKI untuk
memperluas pengaruhnya dalam masyarakat Indonesia dan berusaha menggeser ideologi
Pancasila menjadi ideologi komunis.
7. Perjuangan pembebasan Irian Barat
Kebijakan politik luar negeri lainnya adalah melakukan perebutan terhadap Irian Barat ke
pangkuan Indonesia. Hal ini dilakukan sesuai keputusan KMB di Den Haag yang menyatakan
bahwa Belanda akan mengembalikan Irian Barat ke Indonesia setelah keadaan Indonesia stabil.
Untuk melaksanakan kebijakan politik ini, Indonesia menggunakan jalam damai dalam
perjuangan membebaskan Irian Barat. Kebijakan ini sesuai dengan program kabinet kerja dan
kabinet lainnya yakni pembebasan Irian Barat. Setelah satu tahun Irian Barat masih tetap
dikuasai oleh Belanda, pemerintah Indonesia menempuh usaha-usaha secara bilateral, namun
mengalami kegagalan.
Pada situasi yang demikian itu, Presiden Soekarno selaku presiden/panglima tertinggi
APRI/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
mengeluarkan tri komando rakyat (trikora) di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961 yang
berisi tentang berikut ini:
1. Gagalkan pembentukan negara Boneka Papua bikinan belanda kolonial
2. Kibarkan sang merah putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa.
Kesungguhan pihak RI membuahkan hasil. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun
1969, rakyat Irian Barat memilih tetap bersatu dengan RI. Hasil pepera itu kemudian diterima
oleh Majelis Umum PBB dalam persidangan tahun 1969. Setelah Irian Barat kembali bersatu
dengan RI, namanya diganti menjadi Irian Jaya.

b. Pembaharuan Bagi Politik Luar Negeri Indonesia


Pada msa demokrasi terpimpin, telah terjadi penyimpangan terhadap politik luar negeri Indonesia
yang bersifat bebas aktif. Hal itu nampak dari tindakan-tindakan yang dilakukan presiden dalam
melaksanakan politik luar negeri yaitu :
1. Indonesia lebih condong ke NEFO (New Emerging Forces)
NEFO merupakan kelompok Negara-Negara baru yang sedang muncul, yang bersifat
revolusioner yaitu Negara-Negara yang berhaluan komunis. Latar belakang Indonesia lebih
condong pada kelompok NEFO disebabkan Indonesia menentang terhadap segala bentuk
imperialisme dan kolonialisme barat.
2. Munculnya politik mercusuar
Politik mercusuar adalah politik yang menganggap bahwa negaranya yang paling baik dan
hebat dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
3. Munculnya politik poros antara Jakarta-peking
Hal ini menyebabkan ruang gerak diplomasi Indonesia di forum internasional menjadi
sempit sebab Indonesia berkiblat pada negara-negara komunis.
4. Indonesia keluar dari PBB
Penyebab Indonesia keluar dari PBB adalah adanya konflik dengan Malaysia. Pembentukan
PAN Melayu yang merupakan bentukan dari imperialisme dan kolonialisme inggris
menyebabkan Indonesia menentang segala bentuk imperialisme dan kolonialisme barat.
Sementara itu, Malaysia dicalonkan sebagai Anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap di
PBB, sehingga Indonesia mengajukan pilihan yaitu jika Malaysia tetap dicalonkan menjadi
anggota dewan keamanan PBB maka Indonesia memilih untuk keluar dari keanggotaan
PBB.

Peran Media Massa pada Demokrasi Terpimpin


Perkembangan politik Indonesia sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
terjadi perubahan dalam kehidupan berpolitik dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Situasi
ini membuat politik menjadi panglima, Soekarno membentuk aliansi politik yang bertujuan
untuk menggalang persatuan yaitu dengan menggalang kekuatan dari Nasionalis, Agama,
dan Komunis yeng kemudian dikenal dengan Nasakom. Kemunculan Manifesto Politik
(Manipol) yang kemudian dikenal dengan Manipol USDEK yang diperkenalkan oleh
Soekarno sebagai dasar adanya Demokrasi Terpimpin dan kemudian ditetapkan sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara membuat semakin rumitnya persoalan bagi media massa.
Dalam Manipol disebutkan adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi bangsa demi
jalannya revolusi. Tugas retooling yang dibebankan kepada Panitia Retooling Aparatur
Negara (Paran) yang dipimpin oleh Nasution ini juga mengontrol bidang kebudayaan dan
bidang pers.
Pada tahun 1960 merupakan awal mulai penerapan Manipolisasi media massa
sebagai usaha untuk menyeragamkan pemberitaan yang mendukung kebijaksanaan
pemerintah. Tindakan yang dilakukan pertama kali oleh pemerintah adalah mengeluarkan
peringatan yang dilakukan oleh Menteri Muda Penerangan R. Maladi yang menyatakan
bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat kabar, majalah-majalah,
dan kantor berita yang tidak mentaati peraturan-peraturan yang diperlukan dalam usaha
penerbiatan pers nasional. Apabila surat-surat kabar tidak ingin kehilangan subsidi dan izin
pembelian kertas, mereka harus memberikan sumbangan pada usaha-usaha pelaksanaan
Manifesto Politik dari Presiden serta prinsip-prinsip kepada Undang-Undang Dasar 1945”.
Menurut Edward C Smith bahwa dari sisi eksistensi media adanya perlakuan tersebut
sebagai bentuk tindakan yang anti pers. Adanya kompleksitas masalah sistem kenegaraan
antara Demokrasi Terpimpin dengan ideologi Manipol USDEK, jargon-jargon politik
sebagai sumber berita yang wajib disajikan dalam halaman depan oleh tiap media massa
tentunya mengancam kebebasan pers. Ditambah dengan adanya keberpihakan banyak media
massa terhadap ideologi tertentu, membuat kualitas pemberitaan menjadi turun. Adanya
ancaman pencabutan subsidi kertas koran, pencabutan Surat Ijin Terbit mengakibatkan
sebuah media massa tidak dapat melaksanakan fungsi jurnalismenya sebagai kontrol sosial
dengan baik dan konsisten.
Penekanan terhadap kebebasan pers tersebut berdasarkan peraturan Peperti No
10/1960. Peraturan Peperti No 10/1960 yang dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960
mewajibkan bagi para penerbit media massa untuk mendaftarkan kembali medianya kepada
pemerintah melalui Peperti. Pada dasarnya peraturan tersebut membuat seluruh media massa
harus memberitakan tentang semangat revolusi pada masa Demokrasi Terpimpin yang
didasarkan pada Manipol USDEK. Apabila pers melakukan kritik terhadap kebijakan
pemerintah harus selalu sejalan dengan Manipol. Situasi Masa Demokrasi Terpimpin
merupakan masa sulit bagi media di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya penerapan
kebijakan yang ketat. Akibatnya perkembangan media menjadi terhambat dan rendahnya
kualitas jurnalistik di Indonesia. Pers kemudian menjadi terkotak-kotak dan terpolarisasi
pada partai politik, sehingga terjadi penekanan pada pembenaran ideologi. Tentu saja hal
tersebut membuat media massa yang beraliran independen dan kritis berada dalam posisi
sulit. Seperti nasib yang dialami Koran Indonesia Raya yang dilarang terbit dan pmpinan
redaksinya Mochtar Lubis ditahan.
Sikap represif pemerintah tidak hanya menimpa penerbit pers, perusahaan
percetakan juga mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 1 Maret 1961 dikeluarkannya
peraturan yang menetapkan semua percetakan yang dimiliki perseorangan atau swasta harus
dibawah pengawasan pemerintah dengan membentuk Badan Pengawas dan Pembinaan yang
bertujuan untuk mengelola serta mengawasi semua percetakan. Unsur-unsur dari badan
pengawas tersebut terdiri dari Angkatan Darat, Kepolisian, Penerangan dan Kejaksaan.
Pada tanggal 7 Januari 1961 akibat dari pembubaran PSI dan Masyumi maka
dilakukan pembredelan terhadap Harian Pedoman yang pemimpinnya adalah Rosihan
Anwar yang pro kepada PSI. Sementara Harian Abadi yang merupakan alat perjuangan
Masyumi juga mengundurkan diri. Harian Abadi secara sukarela mengundurkan diri
sebelum dibredel oleh pemerintah. Mundurnya harian Abadi selain dikarenakan
dibubarkannya Masyumi sebagai partai induknya juga karena masalah penandatanganan 19
butir kesepakatan media massa yang dikeluarkan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti).
Saat Presiden Soekarno melancarkan kampanye Manipol, pers sendiri tidak berdaya karena
tidak dilengkapi dengan undang-undang pers yang melindungi fungsi, tugas, kewajiban dan
hak pers. Pers pada tahun tersebut hanya diatur dengan Ketetapan Presiden nomor 6/1963
dimana peraturan tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip yang berhubungan dengan bentuk,
tujuan dan pelaksanaan pembinaan pers agar sejalan dengan Manipol dalam usahanya
mewujudkan Demokrasi Terpimpin. Dapat disimpulkan bahwa ketetapan Presiden nomor
6/1963 selain berguna untuk mengekang kebebasan pers juga diharapkan agar pers pada
masa itu membantu menciptakan suasana yang tetap kondusif dalam pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin.
Pengekangan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dengan
tidak dikeluarkannnya UU pers, tetapi juga berusaha menghidupkan kembali Undang-
undang pers pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu juga banyak dimunculkan
peraturan-peraturan, pemberitahuan, ketentuan-ketentuan, dan berbagai macam bentuk
pernyataan-pernyatan dari pemerintah yang berfungsi untuk mengingatkan pers. Dengan
banyaknya peraturan-peraturan yang menyudutkan posisi pers sehingga menyebabkan
pemerintah dapat dengan sangat mudah melakukan pembredelan pers. Seluruh media masa
yang sifatnya oposisi akan sangat mudah dijinakkan dan diberangus.
Kebijakan politik yang ditempuh oleh Demokrasi Terpimpin pada masa itu
membuat perkembangan dunia pers nasional tidak stabil. Dampak nyata dari hal tersebut
terbukti pada tahun 1961, lebih dari 800 orang wartawan ataupun mereka yang menggeluti
dunia pers harus merelakan pekerjaan mereka hilang karena ditutupnnya perusahaan tempat
mereka bekerja. Tahun 1962 terdapat 70 penerbit pers di Indonesia, padahal pada tahun
1960 tercatat penerbit pers sebanyak 97 buah penerbit. Tahun 1960-1962 menjadi tahun
buruk dalam perkembangan pers Nasional. Perkembangan pers pada tahun 1963 berbanding
terbalik dengan tahun sebelumnya. Dilaporkan pada tahun tersebut tercatat sebanyak 105
penerbit surat kabar terdapat di Indonesia dengan oplah sebesar 1.304.000.
Pasang surutnya perkembangan surat kabar di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari kebijakan pemerintah yang otoriter. Kebebasan pers Indonesia semakin terkekang pada
tahun 1963 dengan dibentuknya suatu badan pengawas pers yang berada di bawah
wewenang Departemen Penerangan. Pembentukan badan pengawasan ini bertujuan untuk
mempermudah pengawasan dan pengontrolan fungsi pers agar tetap berada dalam jalur
politik nasional. Pers juga diharapkan dapat menjadi juru bicara resmi pemerintah, dan
secara tidak langsung pemerintah berupaya untuk melenyapkan cita-cita terbentuknya pers
yang independen dan kritis.
Kebijakan-kebijakan otoriter Demokrasi Terpimpin terhadap bidang pers benar-
benar mematikan kreativitas para wartawan dan pimpinan surat kabar yang kritis dan idealis.
Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya harus berurusan dengan penegak hukum
karena keberanian tulisan mereka dalam mengkritik pemerintah. Kebanyakan kasus
penangkapan-penangkapan terhadap wartawan pada tahun 1963 tanpa melalui prosedur
hukum yang berlaku. Wartawan dan pemimpin surat kabar yang ditangkap pada masa itu
dikenakan tuduhan sebagai penghasut, melakukan permusuhan dan penghinaan kepada
penguasa. Landasan dari tuduhan tersebut adalah pasal Hatzaai Artikelen, yang merupakan
hukum warisan Belanda semasa menjajah Indonesia. Pada jaman Kolononial pasal ini
digunakan untuk menangkap para pejuang kemerdekaan.
Penggunaan Hatzai Artikeelen oleh Soekarno, bertujuan untuk menjaga status quo
pemerintah dari serangan-serangan pihak oposisi yang dimungkinkan menggunakan media
massa sebagai sarananya. Langkah Soekarno dalam penerapan pasal-pasal tersebut yaitu
dengan jalan menangkap para pengritiknya yang menuangkan aspirasi mereka dalam bentuk
tulisan ternyata sangat efektif. Dalam perkembangannya untuk semakin memperkuat
tekanannya kepada pers, pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 11/PNPS/1963
yang intinya tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal-pasal dalam Undang-undang
tersebut, merupakan sebuah tameng pemerintah dari segala ancaman dan serangan apapun
yang dikhawatirkan dapat meruntuhkan kewibawaan pemerintah di mata rakyatnya.
Hatzai Artikeelen dan UU nomor 11/PNPS/1963 tidak dilepaskan dari
kepentingan politik. Kedua produk hukum tersebut tidak ditetapkan melalui proses legislatif,
melainkan murni kehendak penguasa dengan alasan ketertiban umum dan stabilitas politik.
Penguasa yang begitu represif, menyebabkan para pengelola surat kabar tidak dapat
mengekspresikan tulisannnya. Kenyataan yang terjadi adalah perasan takut dan khawatir
dialami oleh para wartawan dan pihak percetakan karena dianggap sebagai “teroris politik”.
Kondisi pers yang diterapkan Soekarno sangat jauh dari konsep pers idealis yaitu sebagai
mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi intuisi yang mengontrol antara
hubungan rakyat dengan Negara, didasarkan pada sistem pemerintahan Demokrasi
Terpimpin yang segalanya berada di bawah kekuasaan seorang Presiden. Wina Armada
menuliskan bahwa kebebasan pers adalah kebebasan berekspresi untuk mengungkapkan
pendapat yang mempunyai posisi dan fungsi yang penting serta dihargai sepenuhnya.
Kenyataanya, kondisi pers pada masa Demokrasi Terpimpin berada dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan. Berbagai macam tekanan yang dilakukan pihak pemerintah kepada
insan pers semakin mempersempit ruang gerak mereka dalam mewujudkan kebebasan pers.
Wartawan dan pimpinan redaksi pers pada masa itu harus bersifat pro dengan pemerintah
kalau ingin tetap mempunyai pekerjaan. Kebebasan pers pada waktu Demokrasi Terpimpin
adalah sesuatu yang tidak mungkin, dikarenakan sama sekali tidak didukung oleh kondisi
politik yang kondusif melainkan harus menghadapi politik tangan besi Soekarno yang
menjadikan dirinya sebagai penguasa otoriter.
Perbedaan pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat sesuatu dapat
menjadi masalah karena keduanya mempunyai paradigma sendiri-sendiri. Pemerintah
memandang kegiatan pers dianggap bisa mengganggu stabilitas politik dan penerapan
kebijakan pemerintah. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran etika politik dan dengan
alasan pelanggaran etika politik itulah Soekarno melakukan pemberedelan pers yang oleh
Soekarno seniri kebijakan tersebut diambil karena sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih
lanjut, kebijakan Soekarno dalam mekakukan pemberedelan pers hanya untuk kepentingan
politik otoriter semata tanpa pernah mempertimbangkan nilai moral dan etika.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebenarnya pernah mengusulkan kepada
Soekarno untuk terlebih dahulu membicarakan keputusannya bila akan melakukan
pemberedelan pers. Usulan PWI tersebut pada akhirnya hanya menjadi sebuah usulan saja,
karena ketidakmampuan mereka melawan penguasa yang sudah sedemikian kuat. PWI
sendiri sebenarnya sudah tidak mampu untuk bersikap mandiri, terbukti dengan pendaftaran
organisasi ini menjadi bagian dari Front Nasional, padahal PWI bukanlah organisasi massa.
Menariknya, PWI tetap diterima menjadi anggota Front Nasional dngan pertimbangan PWI
mempunyai pengaruh yang besar dalam hal menggerakan massa. Sebagai konsekuensinya,
PWI harus menyesuaikan diri dengan politik Nasakom yang sudah menjadi ideologi negara.
Masuknya PWI kedalam Front Nasional menjadi bukti kongkrit bahwa adanya
Nasakomisasi dalam tubuh pers. Pers yang bisa menerima Nasakomisasi Soekarno dibiarkan
tetap hidup dan sekaligus dijadikan alat untuk menyuarakan kepentingan politik suatu partai
tertentu. Akibatnya, pers secara terang-terangan membela kepentingan kelompoknya
sehingga agresifitas pers tergantung dari sikap partai politik yang berada dibelakangnya.
Situasi pers yang demikian dapat dimanfaatkan dengan optimal oleh PKI melalui
surat kabar yang mendukungnya Harian Rakjat. Harian tersebut menjadi alat propaganda
utama PKI dalam melancarkan agitasi politiknya. Sebagai contoh, PKI dengan gencar
menyebarluaskan istilah “Tujuh Setan Desa” melalui harian ini. Populernya istilah Tujuh
Setan Desa tersebut secara otomatis menjadikan terhasutnya rakyat dipedesaan untuk
melakukan Ofensif Revolusioner di daerah pedesaan. Akibatnya, situasi dan suhu politik
semakin memanas karena dilain pihak PNI yang notabene adalah saingan PKI juga didukung
oleh harian Merdeka.

Sistem Ekonomi Terpimpin


Dalam bidang ekonomi dipraktekkan ssstem ekonomi Terpimpin, Presiden Soekarno secara
langsung terjun dan mengatur perekonomian-perekonomian yang terpusat pada pemerintah pusat
yang menjurus pada sistem ekonomi etatime menyebabkan menurunnya kegiatan ekonomi. Pada
gilirannya keadaan perekonomian mengalami invlasi yang cukup parah. Pada akhir tahun 1965
inflasi telah mencapai 650 persen. Secara khusus sebab-sebab pokok kegagalan ekonomi terpilih
adalah sebagai berikut :
 Penanganan/penyelesaian masalah ekonomi yang tidak rasional
 Ekonomi lebih bersifat politis dan tanpa terkendali
 Defisit yang makin meningkat yang ditutup dengan mencetak mata uang sehingga
menyebabkan inflasi
 Tidak adanya suatu ukuran yang objektif dalam menilai suatu usaha/hasil orang lain
 Struktur ekonomi cenderung bersifat etatisme.
Pembentukan Depernas dan Bappenas
Sementara itu, garis-garis besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahap 1 (1961 – 1969)
yang telah disusun oleh Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan telah diresmikan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961. Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada
tanggal 15 Agustus 1959 yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80
orang. Tugas dewan ini menyusun overall planning yang meliputi bidang ekonomi, kultural dan
mental. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan pedoman kerja bagi
Depernas yang tugas utamanya memberikan isi kepada proklamasi melalui grand strategy, yaitu
perencanaan overall dan hubungan pembangunan dengan demokrasi terpimpin dan ekonomi
terpimpin. Namun pada penerapannya tidak berhasil, Hal ini disebabkan antara lain sebagai
berikut :
1. Rencana pembangunan kurang matang
2. Biaya pembangunan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri kurang memadai
3. Proyek-proyek yang sudah direncanakan sering diterlantarkan
4. Pembangunan lebih mengarah pada pembangunan yang bersifat Mercusuar
Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno sendiri. Tugas Bappenas ialah
menyusun rancangan pembangunan jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional maupun
daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan menilai
Mandataris untuk MPRS.

Senaring
Selain itu upaya pemerintah untuk mengatasi inflasi adalah dengan cara melakukan senaring.
Kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan
ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan perbaikan keuangan
dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu uang kertas pecahan Rp500 dan Rp1000
yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan nilainya menjadi Rp50
dan Rp100. Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada bank-
bank yang nilainya di atas Rp25.000 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar. Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran
Rp1000 dan Rp500 yang masih berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang
bernilai Rp100 dan Rp50 sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Deklarasi Ekonomi atau Dekan disusun oleh Panitia 13. Anggota panitia ini bukan hanya para
ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota Musyawarah
Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA. Panitia ini menghasilkan konsep
yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia
dalam rangka pelaksanaan Ekonomi Terpimpin. Dekon disampaikan oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 28 Maret 1963. Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri dari beberapa
tahap; Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional demokratis
yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme. Tahapan ini merupakan persiapan
menuju tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis. Beberapa peraturannya merupakan upaya
mewujudkan stabilitas ekonomi nasional dengan menarik modal luar negeri serta merasionalkan
ongkos produksi dan menghentikan subsidi.
Pada tanggal 26 Mei 1963, pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berjumlah 14
kemudian terkenal dengan Peraturan 26 Mei, yang isinya antara lain:
1. Peraturan Presiden No.1 tahun 1963 tentang pelaksanaan Deklarasi Ekonomi di bidang
ekspor
2. Peraturan Presiden No. 6 tahun 1963 tentang pelaksanaan Deklarasi Ekonomi di bidang
impor
3. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1963 tentang kebijakan dalam bidang harga
4. Peraturan Presiden No. 7 tahun 1963 tentang aktivitas perusahaan dagang negara dalam
rangka pelaksanaan Deklarasi Ekonomi
5. Peraturan pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 1963 tentang perubahanUndang-undang
No. 4 Prp tahun 1959 dan pencabutan Undang-undang no. 32 Prp tahun 1960 dan Undang-
undang No. 34 Prp tahun 1960
6. Intrusi presiden RO No. 2 Tahun 1963 tentang koordinasi garis kebijaksanaan dalam
pelaksanaan Deklarasi Ekonomi dan sebagainya.
Namun pada penarapannya Dekon tidak bisa mengatasi kesulitan ekonomi.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Tri Tuntutan Rakyat (atau biasa disingkat Tritura) adalah tiga tuntutan kepada pemerintah
yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya
seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru
Indonesia (KAGI), serta didukung penuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak
segera mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari
segi ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan bakar
minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori
kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Isi
Tritura adalah:
1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
2. Perombakan kabinet Dwikora
3. Turunkan harga pangan
Tuntutan pertama dan kedua sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan
Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan ketiga baru diserukan saat itu.
Tuntutan ketiga sangat menyentuh kepentingan orang banyak.
Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle kabinet. Dalam
kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa
meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot pelantikan
menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen Tjakrabirawa, Pasukan
Pengawal Presiden Soekarno, seorang mahasiswa Arif Rahman Hakim meninggal. Pada
tanggal 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan
mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada
Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
ORDE BARU

Lahirnya era Orde Baru dilatar belakangi oleh runtuhnya Orde Lama. Tepatnya pada
saat runtuhnya kekuasaan Soekarno yang lalu digantikan oleh Soeharto. Orde Baru lahir
sebagai rezim yang ingin mengoreksi penyelewengan tehadap Pancasila sebagai dasar negara
dan UUD 1945 selama masa Orde Lama. Koreksi ini penting, karena segala bentuk
penyelewengan tersebut telah menyebabkan kemunduran di berbagai bidang kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Salah satu penyebab yang melatar belakangi runtuhnya Orde
Lama dan lahirnya Orde Baru adalah keadaan keamanan dalam negara yang tidak kondusif
pada masa Orde Lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Hal
ini menyebabkan presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk
melaksanakan kegiatan pengamanan di Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret atau
Supersemar. Bagi bangsa Indonesia Supersemar memiliki arti penting berikut:
1) Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru
2) Dengan Supersemar, Letjen Soeharto mengambil beberapa tindakan untuk menjamin
kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia
3) Lahirnya Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945. Kedudukan Supersemar secara hukum semakin kuat setelah dilegalkan melalui TAP
MPRS No.XXXIII/1967. Sebagai pengemban dan pemegang Supersemar, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa langkah awal seperti berikut:
a. Pada tanggal 12 Maret 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan
membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya
b. Pada tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga
terlibat dalam G 30 S/PKI
c. Membersihkan MPRS dan DPR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh
PKI dan unsur-unsur komunis. Adapun langkah penting yang diambil pemerintah Orde
Baru antara lain:
o Membubarkan PKI dan menghancurkan PKI dan ormas-ormasnya
o Konsolidasi pemerintah dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945
o Menghapus dualisme dalam kepemimpinan nasional
o Mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan
o Menyelenggarakan pemilihan umum
o Menyederhanakan partai politik
o Melaksanakan sidang umum MPR 1973
o Melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan

Keadaan Masyarakat Selama Masa Orde Baru


Seperti yang telah kita ketahui, tujuan terbentuknya Negara Indonesia adalah
“Memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap masyarakat Indonesia, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut memelihara perdamaian dunia”. Dalam pelaksanaannya, tugas
Negara ini dapat diselewengkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa demi kepentingan
kekuasaannya. Orde Lama telah gagal melaksanakan cita-cita negara yang dimaksud.
Keadaan masyarakat Orde Lama ditandai dengan penyelewengan terhadap dasar negara
Pancasila dan UUD 1945. Lalu bagaimana dengan keadaan masyarakat pada masa Orde
Baru? Apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya? Berikut potret kehidupan masyarakat pada
masa Orde Baru di berbagai bidang.
1) Ideologi
Takut akan kembalinya Ideologi komunis di Indonesia, Orde Baru bertekad untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun, yang
dilakukan oleh Orde Baru adalah menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang tertutup,
meskipun Orde Baru sering mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka.
Pancasila hanya ditafsirkan dari satu versi saja, yakni pemerintah. Pemerintah Orde Baru
memilki BP-7 yang bertugas memahami Pancasila secara “benar”,
menafsirkan secara benar dan menyampaikan tafsiran tersebut kepada masyarakat. Seluruh
lapisan masyarakat harus pernah mengikuti penataran P4 dan memperoleh sertifikat
sebagai syarat dalam mencari pekerjaan, melanjutkan studi, kenaikan pangkat dan
golongan, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, Pancasila dijadikan sebagai satu-satunya ideologi yang seolah-olah
ideologi lain bisa dimasukkan ke dalam Pancasila. Organisasi apapun harus berasaskan
Pancasila, jika tidak akan dijebloskan ke penjara. Selama Orde Baru juga terjadi
indoktrinasi Pancasila secara intens yang bersifat berlebihan dan membosankan. Meskipun
demikian masyarakat tidak berani untuk menentang, karena takut dianggap tidak
Pancasilais dan dapat ditangkap.

2) Politik
Melihat situasi politik yang kian memanas, DPR-GR berpendapat perlu dilakukan
penyelesaian politik secara konstitusional. Atas anjuran berbagai pihak, presiden Soekarno
memutuskan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto, yang dilakukan
sebagai upaya mengakhiri konflik politik dalam negeri. Usaha yang dilakukan untuk
menata kehidupan politik antara lain:
a. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet
AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma. Kabinet AMPERA
yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk
melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA disebut Catur Karya
Kabinet AMPERA.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Soeharto sebagai
presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama
Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida.
b. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai
tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan
(fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada
ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga
kekuatan sosial-politik, yaitu:
o Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan
Partai Islam seperti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai
politik Islam)
o Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis)
o Golongan Karya (Golkar)
c. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak
enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Penyelenggaraan pemilu yang teratur selama Orde Baru
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu
berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan
Rahasia). Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu
Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan
Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana
terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan
Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain
itu, setiap pertangung-jawaban, Rancangan Undang-Undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
d. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat dengan disaksikan
oleh wakil PBB pada tanggal 2 Agustus 1969.
e. Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi
bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR-GR terhadap pemerintah Indonesia.
Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi
anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab
kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini
dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya
kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
f. Pendirian ASEAN (Association of South-East Asian Nations).
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada tanggal 8
Agustus 1967. Masih di bidang politik, pemerintah Orde Baru sangat mengontrol
kebebasan berpendapat meskipun dalam UUD menjamin hal ini. Mahasiswa yang
sangat aktif berdemonstrasi kini tidak bebas lagi. Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK) sejak tahun 1978, membungkam suara mahasiswa untuk menyuarakan
aspirasinya. Demikian pula dengan kebebasan pers yang merupakan salah satu faktor
penting dalam demokrasi. Pers yang terlalu memberitakan masalah sensitif atau masalah
yang dianggap membahayakan keberlangsungan Orde Baru akan dibredel (dicabut
izinnya).

3) Sosial
Pemerintah Orde Baru memperluas kekuasaan mereka atas kehidupan sosial
masyarakat melalui tentara. TNI memiliki struktur organisasi yang menempatkan mereka
sampai ke desa-desa. Dengan struktur ini, TNI mengawasi dan mempengaruhi seluruh
kehidupan sosial warga negaranya. Tidak mengherankan TNI bisa menyusup ke dalam
kelompok-kelompok sosial untuk memastikan bahwa mereka tidak membahayakan negara.
Sementara karena masyarakat semakin lama semakin tidak memiliki kesadaran politik,
maka hubungan sosial antar sesama warga bersifat steril
terhadap politik.

4) Kebudayaan
Pemerintah Orde Baru mendefinisikan kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak
kebudayaan daerah. Dengan demikian, kebudayaan daerah yang dianggap bertentangan
atau membahayakan kebudayaan nasional akan dihapus atau dilarang. Pemerintah juga
mengontrol kerja dan produksi kebudayaan. Seniman tidak bisa seenaknya mengahasilkan
karya seni. Karya seni yang membahayakan Pancasila dan UUD akan dilarang. Demikian
pula dengan pementasan drama atau teater. Semuanya harus ada izin tertulis dari aparat
keamanan. Selain itu isi pementasan atau isi puisi harus dikontrol.

5) Ekonomi
Untuk menanggulangi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa
Demokrasi Terpimpin, pemerintah menempuh cara:
a. Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan
ekonomi, keuangan dan pembangunan.
b. MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan,
program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan. Langkah-langkah yang
diambil Kabinet AMPERA mengacu pada TapMPRS tersebut adalah sebagai berikut:
o Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan
kemacetan.
o Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
o Berorientasi pada kepentingan produsen kecil. Untuk melaksanakan langkah-langkah
penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
1. Mengadakan operasi pajak
2. Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan
menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak
orang.
3. Penghematan pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta
menghapuskan subsidi bagi perusahaan negara.
4. Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor. Seluruh perencanaan dan
pembangunan ekonomi dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah. Masyarakat
tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. Rakyat hanya menjadi
objek atau sasaran pembangunan. Untuk memajukan perekonomian nasional,
pemerintah terus memajukan pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor
pertanian. Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan
sebutan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok
tanam daricara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution)
merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan
ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung
yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut. Upaya yang
dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakkan revolusi hijau ditempuh
dengan cara:
- Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani
yang meliputi:
 Pemilihan bibit unggul
 Pengolahan tanah yang baik
 Pemupukan
 Irigasi
 Pemberantasan hama
- Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami
dengan pembukaan lahan-lahan baru.
- Diversifikasi Pertanian
Usaha penganeka-ragaman jenis tanaman pada suatu lahan
pertanian melalui sistem tumpang sari.
- Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis,
yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut.

6) Pertahanan dan Keamanan


Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda
bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan
Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara
pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama
di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan.
Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator. Peran
dan kedudukan ABRI semacam tidak hanya mengukuhkan kekuatan pengaruh ABRI
dalam penyelenggaraan Negara, tetapi juga mengamankan kekuasaan Orde Baru itu
sendiri. Tentara selama masa Orde Baru adalah sebagai alat kekuasaan bagi pemerintah
Orde Baru.

7) Agama
Selama masa Orde Baru, hanya 5 agama saja yang diperbolehkan hidup dan
berkembang di kalangan masyarakat sedangkan agama-agama lain dilarang. Orang yang
tidak beragama pun dilarang, jadi semua orang harus beragama, tetapi agamanya harus
salah satu dari kelima agama yang diperbolehkan. Pemerintah juga mengawasi praktik-
praktik keagamaan setiap agama. Praktik keagamaan yang membahayakan keamanan atau
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 akan ditindak dengan keras.

Anda mungkin juga menyukai