Anda di halaman 1dari 6

Dedi Juanda Novrian,S.

Pd
19110542710295

1. Apabila seorang anak yang tidak mampu membangun kerja sama dalam kelompok. Dia
cenderung menguasai forum dan tidak memberi kesempatan kepada teman-temannya. Jika
teman lain berhasil mengendalikan diskusi, dia lebih memilih bekerja mandiri.

Menurut John C Maxwell dalam The 17 Indisputable Laws of Teamwork mengatakan


beberapa sebabnya sebagai berikut:

1. Ego. Walaupun ada yang memilih bekerja sendiri tetapi tidak banyak oran g yang mau
mengakui bahwa mereka tak dapat melakukan segalanya. Tetapi inilah kenyataan hidup.
Tak ada yang namanya pria super atau wanita super. Andrew Carnagie menyatakan,“Anda
mendapatkan langkah besar dalam perkembangan diri Anda jika Anda menyadari bahwa
orang lain dapat membantu Anda melakukan pekerjaan yang lebih baik ketimbang Anda
bekerja sendiri.” Untuk melakukan sesuatu yang benar-benar besar, kita harus melepaskan
ego, dan siap menjadi anggota tim.

2. Ketidaktentraman. Dalam pekerjaan saya dengan para pemimpin, saya menemukan


bahwa ada individu yang menyukai bekerja sendiri dan tidak mempromosikan kerja sama
karena merasa terancam oleh orang lain. Negarawan Florentine abad ke enam belas, yaitu
Niccolo Machievelli, mungkin menyimpulkan hal serupa sehingga ia menulis,“Metode
pertama untuk memperkirakan intelegensi seorang penguasa adalah dengan mempelajari
orang-orang di sekelilingnya.”

Saya percaya bahwa ketidaktentraman adalah sebab utama mengapa seorang pemimpin
mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang lemah. hanya pemimpin-pemimpin yang
tenteram lah yang mendelegasikan kekuasaan kepada yang lain. Itulah yang disebut dengan
Hukum Pemberdayaan. Pemimpin-pemimpin yang tidak tenteram biasanya gagal
membangun tim karena salah satu dari dua alasan ini: ia bekerja sendiri entah karena ia
ingin mengendalikan segalanya yang merupakan tanggungjawabnya atau karena ia takut
digantikan oleh orang yang lebih mampu.
Apa pun alasannya pemimpin-pemimpin ini telah merendahkan potensinya sendiri dan
menghambat upaya terbaik dari orang-orang dengan siapa ia bekerja sama.

3. Kenaifan. Konsultan John Glegan meletakkan sebuah tanda di mejanya yang


bertuliskan,“Seandainya saya harus mengulanginya dari nol, saya tidak akan bekerja sendiri
akan mencari bantuan sejak awal.” Komentar itu sangat tepat untuk menggambarkan
perasaan tipe orang yang gagal menjadi pembangun tim. Dengan naif mereka meremehkan
kesulitan-kesulitan untuk mencapai hal-hal besar. Akibatnya, mereka melakukannya
sendirian. Ada yang sadar di tengah jalan sehingga mereka menyesuaikan diri. Ada pula
yang terlambat menyadari sehingga mereka tidak dapat meraih sasaran-sasarannya.
Sungguh disayangkan.

4. Temperamen. Ada orang yang tidak terlalu supel dan pokoknya tidak pernah terpikirkan
untuk membangun atau berpartisipasi dalam tim. Sementara mereka sibuk menghadapi
tantangan-tantangan dengan bekerja sendiri , tidak terpikir oleh mereka untuk meminta
bantuan orang lain.

Sedari dulu saya berpikir,“untuk apa menempuh perjalanan sendirian kalau bisa mengajak
orang lain?”
Beberapa tahun lalu, teman saya Chuck Swindoll menulis dalam The Finishing Touch,
katanya, “Tak seorang pun lengkap tanpa tim, kita saling membutuhkan. Kita bukanlah
pulau-pulau terisolasi. Untuk membuat kehidupan berhasil, kita harus saling membantu.
Memberi dan menerima. Mengakui dan mengampuni. Karena tak seorang pun dari kita ini
utuh, mandiri, dapat mencukupkan diri sendiri, super handal, sangat hebat, janganlah kita
pura-pura demikian. Kehidupan sudah cukup sepi tanpa perlu kita perparah lagi dengan sok
jagoan dengan bekerja sendiri. Marilah kita saling bekerja sama

2. Seorang anak yang memiliki moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan
pada standar-standar orang lain. Dia mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-
pilihan, lalu membuat keputusan menurut suatu kode moral pribadi.
Menurut Saya Hal ini merupakan contoh perilaku moral-spritual pada tahapan Penalaran
pascakonvensional
Tahap 5 : Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami
bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adlah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari
satu orang ke orang lain. seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai
seperti kebebasan lebih penting daripada hukum.

Tahap 6 : Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu
standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik
secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu
melibatkan resiko pribadi.

Cara Mengatasinya

Dapat dikatakan bahwa lingkungan adalah faktor yang paling penting bagi perkembangan
nilai, remaja yang seiring dengan pematangan kepribadian remaja tersebut. Nilai bersifat
abstrak, dalam arti tidak dapat ditangkap melalui indra, yang dapat ditangkap adalah objek
yang memiliki nilai. Meskipun abstrak, nilai merupakan suatu realitas, sesuatu yang ada dan
dibutuhkan manusia. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan
dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang
selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat
membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal
terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk
sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.

Kondisi psikologis remaja mengalami ketidakstabilan. Dalam keadaan seperti itu, mereka
perlu dibimbing untuk mengenal nilai-nilai dalam kehidupan 3 yang tidak terbatas pada adat
kebiasaan dan sopan santun saja, tetapi juga nilai-nilai keagamaan, keadilan, estetik dan nilai-
nilai intelektual dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.
Ketika anak berada dalam masa perkembangan, pembentukan moralnya dipengaruhi
oleh lingkungannya. Dimulai dari lingkungan keluarga, dimana orang tua mengenalkan nilai-nilai
sederhana seperti kesopanan terhadap ayah dan ibu. Saat pergaulan anak tersebut makin luas
pada usia remaja, dia akan mengenal lebih banyak nilai-nilai kehidupan melalui kejadian-
kejadian di sekitarnya. Remaja terdorong untuk mengidentifikasi peristiwa yang dialaminya
sehingga dapat membedakan sikap mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan
Upaya membantu remaja menemukan identitas diri:
a. Berilah informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa
b. Membantu siswa menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya
(melalui guru konseling)
c. Bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh. Caranya:
mendiskusikan tentang tatakrama dlm berpakaian
d. Memberi umpan balik yg realistik tentang dirinya. Caranya: berdiskusi dg siswa,
member contoh orang lain yg sukses dalam hidup.

Menurut Kohlberg ;
1. Anak menganggap baik dan buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya berupa
kepatuhan dan hukuman atas kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Misalnya,
jika anak tidak mau belajar maka dia tidak akan diijinkan untuk bermain dengan
temannya.
2. Anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya atau
ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian dapat
dipandang dari berbagai sisi yaitu sisi manfaat dan kerugiannya.
3. Anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain.
4. Anak merasakan bahwa perbuatan baik yang diperlihatkan bukan hanya agar dapat
diterima lingkungan, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan
atau norma sosial, contohnya seorang remaja yang mulai belajar menghormati orang
yang lebih tua dengan bersikap ramah dan santun
5. Remaja menyadari adanya hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan
sosial melalui kata hati yang dirasakannya. Maksudnya, jika dia menjalankan
kewajibannya sebagai anggota masyarakat maka lingkungan aka memberikan
perlindungan dan rasa nyaman padanya.
6, (Prinsip Universal), remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja
melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri,
menjadikan penilaian moral sebagai nilai-nilaipribadi yang tercermin pada tingkah
lakunya.
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986: 322)
mengemukakan bahwa sekolah merupakan factor penentu bagi perkembangan kepribadian
anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara berprilaku. Sekolah berperan
sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orangtua. Ada beberapa alassan, mengapa
sekolah memainkan peranan penting yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu ;

a) Siswa harus hadir disekolah


b) Sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan masa
perkembangan ‘konsep dirinya”.
c) Anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar
rumah
d) Sekolah member kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses
e) Sekolah member kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan
kemampuannya secara realistic.
3. Seorang peserta didik merasa kurang bersemangat pada jam usai pembelajaran. Dia bahkan
lebih senang tinggal di sekolah sampai sore, petugas kebersihan sekolah sampai
menyuruhnya pulang karena matahari hampir tenggelam.
Peserta didik tersebut dicurigai memiliki hambatan pengembangan potensi berupa factor
Keluarga dan masyarakat

Cara Mengatasinya:

Cara mengatasi masalah dalam keluarga


masalah keluarga yang sedang dihadapi saat ini timbul bukan disebabkan dari dalam keluarga,
namun dari faktor luar keluarga yang kemudian membuat suasana keluarga menjadi tidak
nyaman. Menghadapi masalah keluarga seperti ini, ada beberapa langkah yang perlu di lakukan
:

1. Ketahui masalahnya.
Ketahui betul apa masalah keluarga yang sedang anda alami. Kita harus tahu akar persoalan
yang menjadi penyebab masalah itu muncul. Sebab dengan begitu, Kita akan tahu duduk
masalah yang sebenarnya.

2. Jangan larut dalam masalah.


Jangan biarkan kita larut pada masalah. Apalagi jika sampai kita tak tahu harus berbuat apa.
Fokuskan diri kita pada solusi yang harus diambil.
Bolehlah jika itu merupakan persoalan yang berat, untuk sejenak bersedih atau bahkan
menangis agar kita merasa lebih lega. Namun jangan kemudian masalah itu memenjarakan
kehidupan kita. kita masih punya hari esok. Masih banyak yang harus kita lakukan dan itu jauh
lebih berarti. Sebab hidup ini indah!

3. Cari solusi.
Setelah kita tahu apa masalahnya, kemudian coba cari beberapa alternatif solusi agar masalah
tersebut bisa terselesaikan. Dari beberapa alternatif solusi tersbeut, pikirkan mana solusi yang
terbaik yang bisa kita dahulukan. Dalam mencari solusi ini, tak harus kita lakukan seorang diri,
kita bisa minta saran pada orang lain.

4. Minta bantuan saudara atau teman.


Jika masalah keluarga tersebut tak bisa diselesaikan sendiri ada baiknya minta bantuan saudara
dan teman. Jangan buang waktu untuk masalah yang tak bisa anda atasi sendiri. Ceritakan
bagaimana masalahnya, dan apa solusi yang akan kita jalankan. Dan mintalah berperan untuk
membantu dalam mengatasi masalah tersebut.

5. Berdoa.
Ya, berdoalah pada-Nya mengenai masalah keluarga yang sedang kita hadapi. Tuhan adalah
tempat berlabuh. Kepada-Nya segala urusan dan masalah diserahkan.
6. Segera selesaikan masalahnya.
Tak baik memperlama-lama masalah. Jika kita sudah mantap dengan pilihan solusinya, segera
ACTION.
Ya mungkin ada kalanya kita harus menunggu waktu yang tepat. kita boleh memilih hal itu asal
tahu kapan waktu itu tiba. Jika sudah tiba, segeralah ACTION agar masalah itu tak berlarut-
larut.

7. Ambil hikmahnya.
Setiap masalah pasti ada hikmahnya. Tak terkecuali masalah keluarga. Jadikan itu sebagai
bagian dari pembelajaran hidup yang kita lalui. Itu pasti akan membuat kita lebih tenang dan
matang dalam mengarungi hidup.

Dalam hidup, masalah itu pastilah selalu ada. Tak pandang bulu apakah kita orang kaya atau
orang biasa. Namun bukan masalahnya yang penting, tapi bagaimana sikap kita menghadapi
masalah itulah yang jauh lebih penting

Anda mungkin juga menyukai