Anda di halaman 1dari 5

A.

Perkembangan fiqih dimasa modern Tujuan Fiqh Kontemporer


Dr. Yusuf Qardlawi dalam salah satu kitabnya secara implisit mengungkapkan
betapa perlunya perkembangan fiqih modern. Dengan adanya kemajuan yang cukup
mendasar, timbul pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman
modern?. Masih relevankah hukum islam -yang lahir 14 abad silam- diterapkan
sekarang?. Tentu saja kita, sebagai muslim, akan menjawabnya. Hukum islam
mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan “tidak asal bicara,
memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu syarat yang harus dijalani secara
konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer tersebut Qardlawi
menawarkan konsep ijtihad. ijtihad yang perlu di buka kembali. Manapak-tilasi apa
yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan dengan hukum
kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab[2].

Pandangan Prof. Said Ramadan tentang hal serupa. Semua pendapat yang
harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan As- sunnah. Dan semua manusia
sesudah Rasulullah SAW dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada
teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat. dan bahwa
aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan di masa, terdahulu:
“Di mana ada maslahah disanalah letak jalan Allah”. Perbedaan antara syari’ah
(Sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan As-sunnah) yang mengikat abadi
dengan dalil- dalil yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya memberikan
pengaruh yang sangat sehat terhadap umat islam pada zaman ini.

Pernyataan diatas dapat kita ambil kesimpulan khususnya berkenaan dengan


munculnya isu fiqih kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapu pemikiran ulama bisa
di pertanyakan kembali berdasarkan kriteria Al-Qur’an dan As-Sunnah, di sisi lain
pertimbangan maslahah dapat di jadikan rujukan dalam upaya penyesuaian fiqh
dengan zaman yang berkembang. Terakhir, perbedaan antara syari’ah dengan fiqih
menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqih kontemporer. Demikianlah sekelumit
beberapa latar belakang munculnya isu fiqih modern yang dapat penulis kemukakan.

Paradigma Menuju Fiqih Moderen.


Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqih dari zaman kenabian yang disebut
dengan Periode risalah dan dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai
wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). sekiranya pada periode ini kekuasaan penentuan
hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu
adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik
dengan syariat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya
terpulang kepada Rasulullah SAW sendiri, hingga sampailah perkembangannya pada
zaman moderen ini yang ditandai dengan pemikiran-pemikiran ulama yang mengacu
pada tuntunan situasi dan zaman, pergesera-pergeseran pemikiran inilah yang
mengacu timbulnya pengaruh terhadap konteks fiqih, yaitu dengan mengandalkan
pemikiran fiqih antropologis dan rasionalitas hukum, dan menolak pemikiran
skripturalisme, yaitu aliran yang berpegang kepada teks-teks syari'at secara kaku, ini
disebabkan karena manusia pada zaman dulu sangat jauh berbeda dengan manusia
pada zaman sekarang, pemahaman ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi
berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks.
Sekitar akhir abad ke-19 timbullah benih benih pergeseran paradigma cara
pengambilan hukun syara’ (fiqih) dengan munculnya berbagai pemikiran di kalangan
ulama ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari
berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat
itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga
dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan
sesuai dengan keadaan masyarakat secara rasional. maka pada tahun 1333 H sebagai
salah satu contoh efek dri perkembangan pemikiran tersebut pemerintah Turki
Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang
merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab
yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculan kodifikasi hukum
Islam dalam berbagai bidang hukum. Bahkan pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah
Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang diambil dan disaring
dari pendapat dari berbagai kitab fiqh madzhab. Dengan demikian, seluruh pendapat
dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum yang boleh dipilih untuk
diterapkan di berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan
sosial politik maupun global, oleh karena itu upaya penerapan hukum Islam secara
rasionalitas dan penyesuaian dengan kondisi masyarakat mulai berkembang. Di
banyak negara Islam telah bermunculan hukum-hukum yang diambil dari berbagai
pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki,
Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Pembaharuan dalam islam atau gerakan modern islam merupakan jawaban
yang ditunjukan terhadap krisis yang dihadapi umat islam pada masanya.
Kemunduran progresif kerajaan usmani yang merupakan pemangku khalifah islam,
setelah abad 17, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalanggan warga Arab
dipinggiran imperium itu. Yang terpenting diantaranya adalah beberapa gerakan salah
satunya gerakan wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis(salafiyyah). Gerakan ini
merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kearah pembaharuan Islam abad ke-20
yang bersifat intelektual[3].
Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah jamaluddin Al-
Afgani(1897). Ia mengajarkan solidaritas Islam dan pertahanan terhadap imperalisme
Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dan
modernisasi[4].

B. Berbagai pemikiran Islam tentang Fiqh Kontemporer


Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga zaman,
yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau sebagai zaman
rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan zaman modern
(kontemporer) abad XIX-? . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih klasik yang di maksud
adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih kontemporer, adalah pola
pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang menjadi fokus kajian disini adalah;
adakah relevansinya antara pola pemahaman fiqih kontemporer dengan fiqih klasik,
lalu di mana letak relevansi pemahaman antara kedua zaman tersebut?

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait
langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang
kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar bin
Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih
seperti imam Malik, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibnu hambal. Juga oleh para
mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-
maturidi, dan Al-ghozali.

Sedangkan pemikiran zaman pertengahan, berbeda dengan pemikiran zaman


klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil pemikiran para ulama zaman klasik. Ruang
geraknya sempit, pemikiran rasional diganti dengan pola pemikiran tradisional.
Dalam menghadapi maslah-masalah baru mereka tidak lagi secara langsung menggali
ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih banyak terikat denga produk pemikiran ulama
abad klasik. Sehingga orisinalitas pemikiran semakin berkurang dan cenderung
dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu beradaptasi dengan
perkembangan zaman.

Corak pemikiran ini menampilkan sosok ulama islam abad pertengahan


dengan pola penalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih banyak
umat islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan tersebut
hanya sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional zaman
klasik.

Sebenarnya bila umat islam ingin maju dan punya kemampuan untuk
mengantisipasi perkembangan zaman modern, pola permikiran rasional para sahabat
dan ulama klasik sudah selayaknya untuk dikembangkan lagi disinilah letak
relevansinya antar fiqih kontemporer dengan fiqih klasik nantinya, yakni relevan
dalam pola penalaran fiqhiyahnya, walaupun akan menghasilkan produk fiqih yang
berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi yang ada.

C. RESPON DAN UPAYA PEMBAHARUAN FIQIH MODERN

Gerakan-gerakan dari pembaharu telah menjadi warisan tersendiri dalam


spektr um intelektual Islam Indonesia yang sekaligus sebagai pemikiran baru
perkembangan hukum Islam.12

Pelopor pembaharuan fikih di Indonesia, pertama Hazairin, seorang guru besar


Hukum Islam dan Hukum Adat Universitas Indonesia. Dan kedua Hasbi Ash
Shiddiqiy beliau adalah mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Meskipun konsepsi yang diajukan oleh kedua guru besar ini tampak tampil
secara sendiri-sendiri, tapi masih tidak terlepas kepada bentuk pembaharuan yang
selalu didengunkan di Indonesia, walaupun pada saat itu belum terbentuk ide mereka
dalam satu ketetapan hukum, namun banyak praktek para cendikiawan sudah menuju
ke arah pembaharuan tersebut.

Dalam pidatonya tahun 1951, Hazairin telah mempersoalkan kemungkinan


kita di Indonesia mendirikan mazhab kita sendiri, Mazhab Nasional dalam lapangan
yang langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan. Ini menunjukan bahwa pola
pemikiran pembaharu di Indonesia ini selalu melihat kepentingan negara dan
masyarakat, agar berjalan secara baik dan benar.

Penegasan Huzairin ini mengandung beberapa hal yang fundamental bagi


pembaharuan hukum Islam di Indonesia.Perlu memberi corak kenasionalan bagi
perkembangan hukum Islam di Indonesia dengan merangkumnya dalam satu Mazhab
Indonesia guna menonjolkan hal-hal yang sifatnya spesifik.

Dalam rangka memberikan identitas Nasional terhadap hukum Islam diadakan


pembedaan dalam dua bidang : Hukum Islam yang berkenaan dengan masalah
ibadah, yang sifatnya tidak langsung bersangkut paut dengan kemasyarakatan. Ini
boleh diadakan pembaharuan, karena tidak memberikan pengaruh langsung kepada
masyarakat yang selama ini dianggap sesuatu yang sangat benar, yang bila diadakan
perobahan dapat menimbulkan kerawanan dan kekacauan bagi masyarakat.

Hukum Islam yang langsung berkenaan dengan soal kemasyarakatan. Dari


bidang ini boleh kita adakan pembaharuan yang sifatnya bertahap dari satu masalah
ke masalah lain, dan kalau ini diadakan perubahan tidak terlalu terasa oleh
masyarakat, karena dianggap bukan hal-hal yang prinsip dan tidak membatalkan
ibadah mereka.

Mazhab Syafii masih hidup dan dipertahankan untuk bidang hukum yang berkenaan
dengan ibadah, sedangkan untuk bidang yang berkenaan dengan soal
kemasyarakatan, kita dirikan Mazhab Nasional dan melepaskan diri dari mazhab
Syafii dalam artian mengembangkan, mengubah dan memperbaiki mazhab itu,
misalnya dalam soal kesahihan macam-macam syirkah.

Untuk membentuk Mazhab Nasional diperlukan lahirnya Mazhab-Mazhab Mujtahid


baru yang bercorak nasional untuk melakukan ijtihad kelompok dan peranan hukum
Islam yang sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia.13

Lebih sepuluh tahun gagasan itu tidak dapat tanggapi oleh pemerintah maupun dari
kalangan pakar hukum Islam dan ahli hukum Islam, pada umumnya. Gagasan-
gagasan itu nanti pada tahun 1961 Hasbi Ash Shiddeiqy dalam pidato pengukuhannya
mengemukakan ide yang sama, walaupun tanpa menyebut gagasan dari Hazairin.
Beliau menyatakan bahwa sangat diperlukan lahirnya ijtihad baru yang dilakukan
dengan mempelajari syariat Islam. Karena itu maksud mempelajari syariat Islam di
Universitas Islam sekarang ini supaya fikih Islam dapat menampung kemaslahatan
masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum di tanah air.
Maksudnya, supaya kita dapat menyusun fiqih baru yang di terapkan sesuai dengan
tabiat dan watak Indonesia.

Ide yang sama juga dikemukakan oleh Munawir Sadzali pada saat ia menjadi Menteri
Agama RI. Munawir selalu memberikan konsep-konsep pemikirannya dalam rangka
pembaharuan hukum Islam di Indonesia, buktinya ia pernah menjelaskan tentang
sistem pembagian warisan di Solo antara laki-laki dan perempuan

Mengenai cara mewujudkannya, dikemukakan bahwa kita harus menggali hukum-


hukum syariat dari sumber asal (Alquran dan Hadis), dari kitab pokok yang ditulis
dalam masa ijtihad dari semua mazhab, sunni, syiah dhahiri dan sebagainya. Bahkan
kita tidak boleh hanya membandingkan antara satu fiqih dengan fiqih yang lain, tapi
juga dengan perundang-undangan buatan manusia.

Tampak dari pendapat-pendapat tersebut bahwa sesungguhnya mereka menggunakan


terminologi yang bersamaan dan tujuan yang sama. Sekalipu demikian, ada suatu
perbedaan pokok antara mereka. Hazairin berpendapat bahwa mazhab di Indonesia
adalah mazhab Syafii yang diperbaharui, sedangkan Hasbi ingin membentuk fikih
Indonesia, dan pendapat ini diperbuat oleh Bapak Munawir Syadzali.

Dari ide-ide pemikiran mereka itulah saat ada sejumlah produk perundang-undangan
yang bercirikan Indonesia, Seperti lahirnya Undang-Undang Hukun Acara Peradilan
Agama, dimana Pengadilan Agama mempunyai kewenangan yang lebih luas bila
dibandingkan dengan sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut.

Dari kesekian itu dengan adanya komplikasi hukum Islam yang ada di Indonesia
sekarang ini telah terbukti bahwa walaupun belum sampai semua bidang hukum dapat
di kembangkan sesuai zaman, akan tetapi minimal sudah mempunyai langkah-
langkah baru dalam menuju fikih ala Indonesia.

Ide kompilasi hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung
membina Teknis Yuridis Peradilan Agama, tugas pembinaan ini didasarkan pada UU
No. 14 tahun 1970. Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.14

Bardasarkan ketentuan di atas, secara formalnya baru muncul pada tahun 1985 dan
kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara Mahkama Agung dengan
menteri agama. Maka Bustanil Arifin sebagai penegas gagasan ini menyatakan
bahwa, untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia harus ada antara lain, hukum
yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat maupun oleh rakyat.

Upaya penyusunan kompilasi hukum Islam ini disusun dengan mempertahankan


kondisi kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia, bukan upaya
mazhab baru, tetapi sebagai upaya mempersatukan berbagai fikih dalam menjawab
satu persoalan yang mengarah kepada unifikasi mazhab dalam Islam.

Bagaimanapun juga kompilasi ini sebagai sesuatu yang di hayati oleh masyarakat
bangsa kita. Hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi masyarakat
manusia bahkan bagi alam semesta.

Kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah suatu peluang bagi umat Islam.
Sehubungan itu seorang pengamat umat Islam. Mitsoo Nakamura menyataka bahwa,
kompilasi ini sangat strategis dan mempunyai arti penting bagi umat Islam. Akan
tetapi menurut Nakamura, soalnya tinggal bagaimana tokoh-tokoh Islam dan umat
Islam melihat serta memanfaatkan arti pentingnya proyek kompilasi hukum Islam itu.

Anda mungkin juga menyukai