Anda di halaman 1dari 60

DISUSUN OLEH :

1. ARTANTI (2016030001)

2. LIA WINANDA SAEFATU (2016030003)

3. SIMPLESIUS I.R SILA (2016030008)

4. VERAWATI ERMIA R K (2016030010)

5. NOFRIS NABUASA (2014030820)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN

2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang
telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas LPSP dengan tepat pada waktunya. LPSP ini berjudul
“LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PERENCANAAN DENGAN
IMPLIKASI KEPERAWATAN GANGGUAN REALITA WAHAM & HALUSINASI”.
LPSP ini penulis buat sebagai salah satu syarat tugas Mata Kuliah Keperawatan
Jiwa I.

Dalam proses pembuatan LPSP ini penulis banyak menemui kesulitan


dalam menjabarkan materi dan penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam
penyajiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun demi perbaikan LPSP ini ke depan.

Jombang, 7 April 2018

Tim Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL

LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PERENCANAAN

DENGAN IMPLIKASI KEPERAWATAN GANGGUAN REALITA

WAHAM & HALUSINASI

TUJUAN

“LPSP yang disusun bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan
Jiwa I. Selain itu, LPSP ini juga disusun untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan tentang pemahaman gangguan realita waham dan halusinasi bagi
penulis maupun pembaca”.

DISUSUN OLEH : KELOMOK 3

ii
1. ARTANTI (2016030001)

2. LIA WINANDA SAEFATU (2016030003)

3. SIMPLESIUS I.R SILA (2016030008)

4. VERAWATI ERMIA R K (2016030010)

5. NOFRIS NABUASA (2014030820)

Jombang, 7 April 2018

DI SAHKAN OLEH

DOSEN MK KEPERAWATAN JIWA I

Ns. Yunus Adi Wijaya, S.Kep

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................... i

Lembar Pengesahan ................................................................................................ii

Daftar Isi ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. …….1

1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1

1.2 Tujuan Umum-Khusus ....................................................................................... 1

1.3 Manfaat.............................................................................................................. 2

BAB II KONSEP TEORI ................................................................................ …….3

2.1 Gangguan Orientasi Realita ............................................................................... 3

2.2 Waham .............................................................................................................. 3

A. Definisi Waham ............................................................................................ 3

B. Etiologi Waham ............................................................................................ 3

C. Manifestasi Klinis ......................................................................................... 5

D. Fase Terjadinya Waham ............................................................................... 7

E. Penatalaksanaan Waham............................................................................. 8

F. Dampak Gangguan Orientasi Realita Waham ............................................. 10

G. Masalah yang Lazim Muncul ...................................................................... 10

H. Discharge Planning .................................................................................... 11

H. Pathway ..................................................................................................... 11

2.3 Halusinasi ........................................................................................................ 12

A. Definisi Halusinasi ...................................................................................... 12

iv
B. Etiologi Halusinasi ...................................................................................... 12

C. Fase Terjadinya Halusinasi......................................................................... 14

D. Macam-macam Halusinasi ......................................................................... 15

E. Tanda & Gejala halusinasi .......................................................................... 16

F. Dampak Gangguan Orientasi Realita Halusinasi......................................... 17

G. Pathway ..................................................................................................... 17

H. Penatalaksanaan Halusinasi ...................................................................... 17

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................ 19

3.1 Strategi Pelaksanaan ....................................................................................... 19

3.2 Analisis Jurnal .................................................................................................. 35

3.3 Implikasi Keperawatan ..................................................................................... 40

BAB IV PENUTUP ................................................................................................ 41

4.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 41

4.2 Saran ............................................................................................................... 42

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 43

v
vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan klien menilai dan


berespons pada realitas. Klien tidak dapat membedakan rangsangan
internal dan eksternal, tidak dapat membedakan lamunan dankenyataan.
Klien tidak mampu memberi respon secara akurat, sehingga tampak
perilaku yang dimengerti dan mungkin menakutkan.
Gangguan orientasi realita disebabkan oleh fungsi otak yang
terganggu yaitu fungsi kognitif dan isi fikir, fungsi persepsi fungsi empati
dan fungsi motorik dan fungsi sosial. Gangguan pada fungsi kognitif dan
persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu.
Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan kemampuan
berespon terganggu yang tampak dari perilaku non verbal (ekspresi muka,
gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan, hubungan sosial). Oleh
karena gangguan orientasi realitas terkait dengan fungsi otak maka
gangguan atau respon yang timbul disebut pula respon neurobiologik.
Dalam LPSP ini kami akan membahas gangguan orientasi realita
yaitu waham dan halusinasi.

1.2 Tujuan

Tujuan Umum

Pembuatan LPSP ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta


menambah wawasan tentang gangguan orientasi realita waham dan
halusinasi bagi penulis dan bagi pembaca pada khususnya.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengertian gangguan orientasi realita

1
2. Untuk mengetahui etiologi gangguan orientasi realita waham dan
halusinasi
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis gangguan orientasi realita waham
dan halusinasi
4. Untuk mengetahui fase-fase terjadinya gangguan orientasi realita
waham dan halusinasi
5. Untuk mengetahui jenis-jenis gangguan orientasi realita waham dan
halusinasi
6. Untuk mengetahui akibat dari gangguan orientasi realita waham dan
halusinasi
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan gangguan orientasi realita waham
dan halusinasi

1.3 Manfaat

1. Untuk membagikan ilmu yang diperoleh dari berbagai sumber dan dari
hasil diskusi kelompok tentang gangguan orientasi realita waham dan
halusinasi.

2. Dapat mengidentifikasi gangguan orientasi realita waham dan halusinasi


agar dapat melakukan tindakan yang tepat serta dapat membantu
meminimalisir terjadinya gangguan orientasi realita waham dan
halusinasi di sekitar kita.

3. Untuk memperluas wawasan dan pandangan mahasiswa mahasiswi


bahwa tindakan diskriminasi terhadap penderita gangguan orientasi
waham dan halusinasi adalah hal yang tidak benar. Justru mereka
adalah seseorang yang memerlukan bantuan kita.

4. Untuk membuka mindset mahasiwa mahasiswi khususnya dalam bidang


keperawatan bahwa profesi keperawatan jiwa juga memiliki prospek
kerja yang bagus dan mendukung serta memiliki peluang yang besar
pada dunia profesi karena perawat jiwa sangat dibutuhkan tetapi
masih jarang di Indonesia.

2
BAB II

KONSEP TEORI

2.1 Pengertian Gangguan Orientasi Realita

Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan klien menilai dan


berespons pada realita. Klien tidak dapat membedakan rangsangan internal
dan eksternal, tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan. Klien tidak
mampu memberi respon secara akurat, sehingga tampak perilaku yang
sukar dimengerti dan mungkin menakutkan. Gangguan orientasi realita
dibagi menjadi beberapa macam contohnya gangguan orientasi realita
waham dan halusinasi.

2.2 Waham

A. Definisi Waham

Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan

3
secara kuat/terus menerus, tetai tidak sesuai dengan kenyataan. (Keliat)

Penyangkalan, digunakan untuk menghindari kesadaran akan


kenyataan yang menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk melindungi diri
dari mengenal impuls yang tidak dapat diterima dari dirinya sendiri.
Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas telah dihipotesiskan
menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi waham dan suporioritas.

Waham juga dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia


yang menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan harga diri
mereka yang terluka. (Kalpan&Sadock)

B. Etiologi Waham

Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang penyebab dari


delusi atau waham, yaitu :

1. Biologis

Pola keterlibatan keluarga relatif kuat yang muncul dikaitkan


dengan delusi atau waham. Dimana individu dari anggota keluarga
yang dimanifestasikan dengan gangguan ini berada pada resiko
lebih tinggi untuk mengalaminya dibandingkan dengan opulasi
umum. Studi pada manusia kembar juga menunjukkan bahwa ada
keterlibatan faktor genetik.

2. Teori Psikososial

− System Keluarga

Dikemukakan oleh Bowen (1978) dimana perkembangan


skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Konflik diantara suami istri memengaruhi anak. Banyaknya
masalah dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan
anak dimana anak tidak akan mampu memenuhi tugas
perkembangan dimasa dewasanya.

Beberapa ahli teori bahwa individu paranoid memiliki orang

4
tua yang dingin, perfeksionis, sering menimbulkan kemarahan,
perasaan mementingkan diri sendiri yang berlebihan dan tidak
percaya pada individu. Klien menjadi orang dewasa yang rentan
karena pengalaman awal ini.

− Teori Interpersonal

Dikemukakan oleh Sullivan (1953) dimana orang yang


mengalami psikosis akan menghasilkan suatu hubungan orang
tua-anak yang penuh dengan ansietas tinggi. Hal ini jika
dipertahankan maka konsep diri anak akan mengalami
ambivalen.

− Psikodinamika

Perkembangan emosi terhambat karena kurangnya


rangsangan atau perhatian ibu, dengan ini seorang bayi
mengalami penyimpangan rasa aman dan gagal untuk
membangun rasa pecayanya.

Sehingga menyebabkan munculnya ego yang rapuh karena


kerusakan harga diri yang parah, perasaan kehilangan kendali,
takut dan ansietasberat. Sikap curiga terhadap seseorang
dimanifestasikan dan dapat berlanjut di sepanjang kehidupan.
Proyeksi merupakan mekanisme koping paling umum yang
digunakan sebagai pertahanan melawan perasaan.

Faktor yang memepengaruhi terjadinya waham adalah :

a) Faktor predisposisi yang mendukung seseorang menderita


gangguan orientasi realita waham yakni :

1. Faktor Biologis

 Gangguan perkembangan otak, frontal dan temporal

 Gangguan tumbuh kembang

 Kembar monozigot, lebih beresiko dari kembar dua telur

2. Faktor Genetik

5
 Gangguan orientasi realita yang ditemukan pada klien
dengan skizoprenia

3. Faktor Psikologis

 Ibu pengasuh yang cemas/over protektif, dingin, tidak


sensitif

 Hubungan dengan ayah tidak dekat/perhatian yang


berlebihan

 Konflik perkawinan

 Komunikasi “double bind”

4. Sosial Budaya

 Kemiskinan

 Ketidakharmonisan sosial

 Stress yang menumpuk

b) Faktor presipitasi yang mencetus seseorang klien mengalami


gangguan orientasi realita waham diantaranya :

1. Stressor Sosial Budaya

Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi


penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang yang
paling penting, atau diasingkan dari kelompok.

2. Faktor Biokimia

Penelitian tentang pengaruh dopamine, inorefinefrin,


lindolomine, zat halusinogen diduga berkaitan dengan orientasi
realita.

3. Faktor Psikologi

Intensitas kecemasan yang ekstrim dan menunjang disertai


terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkurangnya orientasi realita.

6
C. Manifestasi Klinis Waham

Tanda dan gejala waham dapat dilihat dari jenis waham sebagai berikut :

1. Waham Kebesaran

Individu meyakini bahwa dia memiliki kebesaran atau


kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misal “Saya adalah jenderal PBB”.

2. Waham Curiga

Individu meyakini bahwa ada sesorang atau kelompok yang


berusaha merugikan/mencederai dirinya dan diucapkan berulang
kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misal “ Saya tahu orang-orang
disekitar saya akan menghancurkan hidupku”.

3. Waham Agama

Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara


berlebihan dan diucapka berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misal “Kalau saya mau masuk surgasaya harus memakai pakaian
putih setiap hari”.

4. Waham Somatik

Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu


atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan. Misal “Saya sakit kanker (dari hasil pemeriksaan
tidak didapatkan suatu penyakit kanker)”.

5. Waham Nihillistik

Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia


(meninggal) dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misal “Ini kan alam kubur saya, semua yang ada di sini
adalah roh-roh”.

6. Waham Pengaruh

7
Individu yakin bahwa pikirannya, emosi atau perbuatannya
diawasi atau dipengaruhi oleh orang lainatau sesuatu kekuasaan
yang aneh.

7. Waham Dosa

Individu yakin bahwa dirinya telah berbuat dosa atau kesalahan


yang besar, yang tidak dapat diampuni atau bahwa ia bertanggung
jawab atas suatu kejadian yang tidak baik. Misal kecelakaan
keluarga, karena pikirannya yang tidak baik.

8. Waham Bizar

a) Sisip pikir : Keyakinan klien terhadap suatu pikiran orang lain


disisikan ke dalam pikiran dirinya.

b) Siar pikir/broadcasting :Klien yakin bahwa idenya dipakai


oleh/disampaikan kepada orang lain mengetahui apa yang ia
pikirkan meskipun ia tidak pernah secara nyata mengatakan
pada orang tersebut.

c) Kontrol pikir : Klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari


luar.

D. Fase Terjadinya Waham

1) Fase Of Human Needm

Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien


baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham
dapat terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi
sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita.
Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya
untuk melakukan komensasi yang salah. Ada juga klien yang secara
sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti
dengan self ideal sangat tinggi.

2) Fase Lack Of Self Esteem

8
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan dan tingginya
kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan
harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi
sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.

3) Fase Control Internal External

Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau


apa-apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan
dan tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi menghadapi kenyataan
bagi klien adalah suatu yang sangat berat, karena kebutuhannya
untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan
tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang
dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara
adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga
perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak
mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien
tidak merugikan orang lain.

4) Fase Environment Support

Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam


lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama
kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari
sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya
norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan
dosa saat berbohong.

5) Fase Comforting

Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya


serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan
mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai
halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya.
Selanjutnya klien sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial

9
(isolasi sosial).

6) Fase Improving

Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi,


setiap waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat.
Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa
lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang
hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dioreksi. Isi waham
dapat menimbulkan ancaman diri danorang lain.

E. Penatalaksanaan Waham

Penanganan pasien dengan gangguan jiwa waham antara lain :

1. Psikofarmalogi

a. Litium karbonat; adalah jenis litium yang paling sering


digunakan untuk mengatasi gangguan bipolar, menyusul
kemudian litium sitial. Litium masih efektif dalam menstabilkan
mood pasien dengan gangguan bipolar. Gejala hilang dalam
jangka waktu 13 minggu setelah minum obat litium juga
digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas
serangan ualng pasien bipolar dengan riwayat mania.

b. Haloperidol; merupakan obat antipsikotik (mayor tranquiliner)


ertama dari turunan butirofenon. Mekanisme kerjanya yang
pasti tidak diketahui. Haloperidol efektif untuk pengobatan
kelainan tingkah laku berat ada anakanakyang sering
membangkang dan eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk
pengobatan jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga
melibatkan aktivitas motorik berlebih disertai kelainan tingkah
laku seperti : impulsive, sulit memusatkan perhatian, agresif,
suasana hati yang labil dan tidak tahan frustasi.

c. Karbamazepin; Karbamazepin terbukti efektif dalam


pengobatan kejang psikomotor, serta neuralgia trigeminal.

10
Karbamazepin secara kimiawi tidak berhubungan dengan obat
antikonvulsan lain maupun obat-obat lain yang digunakan untuk
mengobati nyeri pada neuralgia trigeminal.

2. Pasien hiperaktif atau agitasi anti pasikotik low potensial

Penatalaksanaan ini berarti mengurangi dan menghentikan


agitasi untuk pengamanan pasien. Hal ini berkaitan dengan
penggunaan obat anti psikotik untuk pasien waham.

a) Antipsikosis atipikal (olanzapin, risperidone). PIlihan awal


Risperidone tablet 1mg, 2mg, 3mg atau Clozapine tablet 25mg,
100mg.

b) Keuntungan Tipikal (Chlorpromazine, haloeridol),


chlorpromazine 25-100mg. Efektif untuk menghilangkan gejala
positif.

3. Penarikan diri high potensial

Selama seseorang mengalami waham, dia cenderung menarik


diri dari pergaulan dengan orang lain dan cenderung asyik dengan
dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya sendiri). Oleh karena itu,
salah satu penatalaksanaannya pasien waham adalah penarikan
diri high potensial. Hal ini berarti penatalaksanaannya ditekankan
pada gejala dari waham itu sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang
berkaitan edengan kecanduan morfin biasanya dialami sesaat
sebelum waktu yang dijadwalkan berikutnya, penarikan diri dari
lingkungan sosial.

4. ECT tipe katatonik

Electro Convulsive Terapi (ECT) adalah sebuah prosedur


dimana arus listrik melewati otak untuk memicu kejang singkat. Hal
ini tampaknya menyebabkan perubahan dalam kimiawi otak yang
dapat mengurangi gejala penyakit mental tertentu, seperti
skizofreniakatatonik. ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang
parah atau obat-obatan tidak membantu meredakan katatonik
episode.

11
5. Psikoterapi

Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien waham,


namun pasikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak sesuai
untuk semua orang, terutama jika gejala terlalu berat untuk terlibat
dalam proses terapi yang memerlukan komunikasi dua arah. Yang
termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi kelompok,
terapi keluarga, terapi supportif.

F. Dampak Gangguan Orientasi Realita Waham

Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi


verbal yang ditandai dengan pikiran tidak realistis, flight of ideas,
kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak
mata yang kurang. Akibat yang lain yang ditimbulkannya adalah
beresiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

G. Masalah yang lazim Muncul

1. Resiko membahayakan diri sendiri dan orang lain b.d ancaman


bahaya yang dirasakan, peningkatan rasa ansietas.

2. Ansietas b.d ketidakmampuan untuk percaya (belum menguasai


tugas ercaya vs tidak percaya)

3. Resiko ketidakberdayaan b.d gaya hidup tidak berdaya : perasaan


tidak adekuat, gangguan harga diri yang parah, interaksi
interpersonal.

4. Ketidakefektifan koping b.d konflik psikologis, peningkatan ansietas


dan ketakutan (karakteristik orang yang dicurigai)

5. Harga diri rendah situasional b.d ego kurang berkembang, fiksasi


pada tahap awal perkembangan, ketidakmampuan untuk percaya,
kurangnya umpan balik positif.

6. Hambatan interaksi sosial b.d gangguan proses pikir, perasaan tidak

12
percaya terhadap orang lain/ pikiran delusi. Defisit pengetahuan/
keterampilan tentang cara meningkatkan mutualitas.

7. Ketidakmampuan koing keluarga b.d disorganisasi keluarga


sementara/ perubahan peran, informasi yang tidak adekuat atau
tidak benar, atau diahami hanya oleh individu utama. Kemajuan
kondisi yang lama, melelahkan kapasitas dukungan orang terdekat.

H. Discharge Planning

1. Meningkatkan lingkungan yang aman, keamanan klien/ orang lain.

2. Meningkatkan lingkungan yang terbuka dan jujur sehingga klien


dapat mulai memercayai diri sendiri atau orang lain.

3. Mendorong klien atau keluarga berfokus ada metode yang


ditetapkan untuk koping terhadap ansietas dan takanan kehidupan.

4. Meningkatkna rasa harga diri dan percaya diri

I. Pathway

F.Gangguan emosi, psiko, Tidak mampu berfikir Penyangkalan,


factor social, secara logis dan pikiran melindungi diri dari
kegaduhan, dan individu mulai mengenal impuls yang
keadaan social yang menyimpang tidak dapat diterima
lain didalam dirinya sendiri.

Fantasi pikiran rahasia Ketidak efektifan koping


sebagai cara untuk
meningkatkan harag
diri mereka yang
terluka
Resiko Kemandirian yang kokoh
Ketidakberdayaan
Gangguan harga diri
Ansietas
rendah situasional 13
Resiko membahayan
diri/ orang lain
Tidak percaya terhada
orang lain/ pikiran delusi

Hambatan interaksi social

2.3 Halusinasi Ketidakefektifan koping


keluarga
A. Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah persepsi yang kuat atas suatu peristiwa atau


objek yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi daat terjadi pada setiap
panca indra (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, perabaan).
Meskipun halusinasi adalah bagian dari banyak penyakit, ada juga
saat-saat dimana ia dianggap normal atau umum, misalnya ketika
tertidur atau selama pengalaman religius. Halusinasi dapat terjadi dalam
berbagai bentuk yang paralel dengan indra manusia. Halusinasi visual
melibatkan indra penglihatan, atau “melihat sesuatu.” Halusinasi
pendengaran umumnya melibatkan “pendengaran suara”, jenis paling
umum dari halusinasi. Kadang-kadang halusinasi dapat mencakup
pengalaman suara dan visual; profesional kesehatan mental
menggambarkannya sebagai “halusinasi auditori-visual.” Mencium
adanya bau atau merasakan ada sesuatu di kulit seseorang yang
sebenarnya tidak ada adalah bentuk -bentuk halusinasi somatik (berasal
dari soma, kata Yunani untuk tubuh). Perbedaan halusinasi dengan

14
delusi adalah bahwa delusi merupakan kesalah pahaman atas hal-hal
yang secara objektif hadir.

B. Etiologi Halusinasi

1. Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis


dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya,
faktor predisposisi yang dapat membuat sesorang terkena
gangguan orientasi realita halusinasi antara lain :

a. Faktor Perkembangan

Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan


hubungan interpersonal terganggu maka individu akan
mengalami stres dan kecemasan.

b. Faktor Genetik

Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum


diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.

c. Faktor Biologis

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.


Dengan adanya stres yang berlebihan dialami seseorang maka
di dalam tubuh akan dihasilkan sesuatu zat yang daat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimitytranferase (DMP). Seperti :

 Gangguan perkembangan dan fungsi otak/ susunan saraf


pusat.

 Gejala yang mungkin muncul adalah hambatan dalam


belajar, berbicara, daya ingat dan perilaku kekerasan.

b. Faktor Psikologis

15
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya
peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak
akan mengakibatkan stres, kecemasan yang tinggi dan berakhir
dengan gangguan orientasi realita.

 Sikap dan keadaan keluarga juga lingkungan. Penolakan


dan kekerasan dalam kehidupan klien.

 Pola asuh pada usia kanak-kanak yang tidak adekuat,


misal : tidak ada kasih sayang,diwarnai kekerasan dalam
keluarga.

c. Faktor Sosial budaya

Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan


seseorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap
lingkungan tempat klien dibesarkan, seperti :

 Kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan,


kerawanan keamanan.

 Kehidupan yang terisoler disertai stres yang menumpuk.

2. Faktor Presipitasi

Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai


tantangan, ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra
untuk koping. Adanya rangsangan lingkungan yang sering yaitu
seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu diajak komunikasi,
objek yang ada di lingkungan suasana sepi/isolasi adalah sering
sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat
meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik. Faktor presipitasi misalnya :

a. Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang


mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme

16
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh
otak untuk diinterpretasikan.

b. Stress Lingkungan

Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi


terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.

c. Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam


menanggapi stressor.

C. Fase dalam Halusinasi

1. Fase pertama/ comoforting (Ansietas sedang)

 Klien mengalami stres, cemas, perasaan berpisah, kesepian


yang memuncak dan tidak dapat diselesaikan.

 Klien mulai melamun dan memikirkan tentang hal-hal yang


menyenangkan. Cara ini hanya menolong sementara.

2. Fase kedua/ condemning (Ansietas berat)

 Kecemasan meningkat, melamun, berpikir sendiri jadi dominan.

 Mulai diresahkan oleh bisikan yang tidak jelas.

 Klien tidak ingin orang lain tahu dan tetap dapat mengantrol.

3. Fase ketiga/ contolling (Ansietas sangat berat)

 Bisikan suara, isi halusinasi makin menonjol, menguasai dan


mengontrol klien.

 Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap


halusinasinya.

17
4. Fase keempat/ conquering (panik)

 Halusinasi berubah menjadi mengancam, memerintah, dan


memarahi klien.

 Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol dan tidak


dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain
dilingkungan.

D. Macam-Macam Halusinasi

1. Halusinasi Pendengaran (Auditorik)

Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, terutama


suara-suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan
memerintahkan untuk melakukansesuatu.

2. Halusinasi Penglihatan (Visual)

Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk


pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau
panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa
menyenangkan atau menakutkan.

3. Halusinasi Penciuman (Olfactory)

Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau


yang menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang-kadang
tercium bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor,
kejang, dan dementia.

4. Halusinasi Pengecap (Gustatory)

Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,


amis, dan menjijikkan, merasa pengecap rasa seperti darah, urine
atau feses.

5. Halusinasi Raba (Tactile)

18
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak
tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik
datang dari tanah, benda mati, atau orang lain.

6. Halusinasi Sinestetik

Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti


darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna ata
embentukan urine.

7. Halusinasi Kinesthetic

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

E. Tanda dan Gejala Halusinasi

Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering


didapatkan duduk terpakudengan pandangan mata pada satu arah
tertentu, tersenyum, atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau
menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang
menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang
halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan).

Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi


Anna Keliat, 1999) :

a. Tahap 1 : Halusinasi bersifat tidak menyenangkan.

Gejala klinis :

 Menyeringai/tertawa tidak sesuai

 Menggerakkan bibir tana bicara

 Gerakan mata cepat

 Bicara lambat

 Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan

19
b. Tahap 2 : Halusinasi bersifat menjijikkan

Gejala klinis :

 Cemas

 Konsentrasi menurun

 Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata

c. Tahap 3 : Halusinasi bersifat mengendalikan

Gejala klinis :

 Cenderung mengikuti halusinasi

 Kesulitan berhubungan dengan orang lain

 Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah

 Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu


mengikuti petunjuk)

d. Tahap 4 : Halusinasi bersifat menaklukan

Gejala klinis :

 Pasien mengikuti halusinasi

 Tidak mampu mengendalikan diri

 Tidak mampu mengikuti perintah nyata

 Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

F. Dampak Gangguan Orientasi Realita Halusinasi

Gangguan orientasi halusinasi dapat mengakibatkan klien


kehilangan kontrol dirinya. Dimana klien mengalami panik dan
perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Dalam situasi ini klien
dapat melakukan bunuh diri, membunuh orang lain, bahkan merusak
lingkungannya. Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan,

20
dibutuhkan penanganan halusinasi yang tepat (Hawari 2009, dikutip dari
Chaery 2009).

G. Pathway
Risiko mencederai diri sendiri/
lingkungan/ orang lain
Akibat……………………….

Perubahan sensori persepsi :


Masalah Utama………………… halusinasi

Isolasi sosial : Menarik diri


Penyebab………………….

H. Penatalaksanaan Halusinasi

Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan, dan


ketakutan pasien halusinasi, sebaiknya pada permulaan
pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi
kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien
jangan di idolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat
masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien.
Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien
diberitahu. Pasien diberitahu tindakan yang akan dilakukan.

Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat

21
merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan
dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding,
majalah dan permainan.

2. Melaksanakan program terapi dokter

Sering kali pasien menolak obat yang diberikan sehubungan


dengan rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendektan
sebaiknya secarapersuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati
agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat yang
diberikan.

3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah


yang ada.

Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat


menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya
halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.
Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga
pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.

4. Memberi aktivitas pada pasien

Pasien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,


misalnya berolahraga, bermain, atau melakukan kegiatan. Kegiatan
ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyatadan
memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien diajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.

5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan

Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang


data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungandalam
proses keerawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien
diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang
mengejek. Tai bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak
terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan
menyendiri dan menyibukan diri dalam permainan atau aktivitas
yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga

22
pasien dan petugas lain agar tidak membiarkan pasien sendirian
dan saran yang diberikan tidak bertentangan,

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 STRATEGI PELAKSANAAN

1. Waham
a. Tindakan keperawatan
A. Tujuan keperawatan
− Klien dapat berorientasi pada realita secara bertahap
− Klien dapat memenuhi kebutuhan dasar
− Klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
− Klien dapat menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
B. Tindakan keperawatan
1) Membina hubungan saling percaya
- Mengucapkan salam terapeutik
- Berjabat tangan
- Menjelaskan tujuan interaksi
- Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu klien
2) Membantu orientasi realita
- Tidak mendukung atau membantah waham klien
- Meyakinkan klien dalam keadaan aman
- Mengobservasi pengaruh waham pada aktifitas
sehari-hari

23
- Jika klien terus – menerus membicarakan wahamnya
dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal
sampai klien berhenti membicarakannya
- Memberikan pujian jika penampilan dan orientasi klien
sesuai dengan realita
3) Mendiskusikan kebutuhan psikologis / emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan
marah
4) Mendiskusikan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan
fisik dan emosional klien
5) Mendiskusikan tentang kemampuan positif yang dimiliki
6) Membantu kemampuan yang dimiliki
7) Mendiskusikan tentang obat yang diminum
8) Melatih minum obat yang benar

SP 1 Klien

1. Membantu hubungan saling percaya


2. Mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi
kebutuhan
3. Mempraktikkan pemenuhan yang tidak terpenuhi

Orientasi

“Selamat pagi mas?, perkenalkan nama saya Perawat Robi, nama mas siapa?,
senangnya dipanggil apa?”

“Bisa kita berbincang – bincang tentang perasaan yang mbak rasakan saat ini ?”
“Berapa lama mas kita berbincang – bincang ?, bagaimana kalau 20 menit ?”

“Dimana enaknya kita berbincang – bincang ?, baik”

Kerja

“Saya mengerti bahwa mas merasa seorang jendral PBB tapi sulit bagi saya

24
untuk mempercayai, karena setahu saya kalau jendral PBB harus bermarkas di
kantor PBB

“Mas bisa ceritakan apa yang sedang Mas rasakan ?”

“Oh, jadi Mas merasa takut nanti diatur – atur oleh orang lain dan tidak punya hak
untuk mengatur diri sendiri” “Menurut Mas siapa yang mengatur – ngatur diri
Mas?”

“Jadi bapak yang selalu mengatur Mas, juga Ibu dan keluarga yang lain?”

Kalau Mas sendiri inginnya seperti apa?”

“Bagus, Mas sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri”

“Coba kita tuliskan rencana dan jadwal tersebut”

“Wah bagus sekali, jadi setiap harinya Mas ingin ada kegiatan diluar rumah
karena bosan berada didalam rumah terus ya”

Terminasi

“Bagaimana perasaan Mas setelah kita berbincang – bincang dengan saya” “Apa
saja yang telah kita perbincangkan tadi?, bagus”

“Bagaimana kalau jadwal ini mas coba lakukan, setuju?” “Bagaimana kalau saya
datang 2 jam lagi?”

“Kita akan bercakap – cakap tentang kemampuan yang pernah Mas miliki” “Mau
dimana kita bercakap – cakap, bagaimana kalau disini lagi?”

SP 2 Klien

Mengidentifikasi kemampuan positif klien dan membantu mempraktikkannya

Orientasi

“Selamat pagi mas, bagaimana perasaannya ?, bagus”

25
“Apakah mas sudah mengingat ingat apa hobby mas?”

“Bagaimana kalau kita bicarakan hobby tersebut sekarang ?”

“Dimana enaknya kita berbincang – bincang tentang hobby Mas tersebut ?.


berapa lama Mas kita bisa berbincang – bincang. Bagaimana kalau 20 menit ?”

Kerja

“Apa saja hobby Mas?, saya catat ya, terus apa lagi?”

“Wah rupanya mas pandai main bulu tangkis ya?, tidak semua orang pandai main
bulu tangkis lho”

“Bisakah Mas ceritakan kepada saya, kapan pertama kali Mas belajar bulu
tangkis, siapa yang mengajari mas?, dimana?” “coba peragakan bagaimana cara
main bulu tangkis yang baik itu?”

“Wah baik sekali, coba kita buatkan jadwal untuk kemampuan Mas ini, berapa
hasil mas main bulu tangkis ?”

“Apa yang Mas harapkan dari kemampuan bermain bulu tangkis itu?”

“Adakah hobby mas yang lain selain bermain bulu tangkis?”

Terminasi

“Bagaimana perasaan Mas setelah kita bercakap – cakap tentang hobby dan
kemampuan Mas?”

“Setelah ini, coba Mas lakukan latihan bulu tangkis sesuai dengan jadwal yang
telah kita buat”

“Besok kita bertemu lagi ya Mas?” “bagaimana kalau nanti sebelum makan siang?
di ruang makan saja ya Mas” “Nanti kita akan membicarakan tentang obat yang
harus Mas minum setuju?”

26
SP 3 Klien

Menganjurkan dan melatih cara minum obat yang benar

Orientasi

“Selamat pagi Mas?, bagaimana? Sudah latihan bulu tangkisnya ? bagus sekali”

“sesuai janji kita 2 hari yang lalu, bagaimana kalau sekarang kita membicarakan
tentang obat yang Mas minum?”

“Dimana kita harus berbicara?, bagaimana kalau kita nanti berbicara 30 menit
saja”

Kerja

“Berapa macam obat yang Mas minum?, jam berapa saja Mas minum obatnya?”
“Mas minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya pun juga enak”

“Obat Mas ada 3 macam, yang berwarna telur asinnamanya Trifloupirazine,


yang putih namanya Trihexpenidil dan yang merah namanya Clorpomazine,
semua obat ini diminum pada pagi hari dan sore hari yang akan menjadikan Mas
menjadi lebih tenang”

“Obat ini harus diminum teratur dan diminum secara teratur dan diminum dalam
jangka waktu yang lama”

“Agar tidak terjadi kekambuhan Mas tidak boleh berhenti minum obat dengan
sendirinya kecuali berkonsultasi dulu dengan dokter”

Terminasi

“Bagaimana perasaan Mas setelah kita bercakap – cakap tentang obat yang Mas
minum?”

“Apa saja ya obatnya? Jam berapa obatnya harus diminum?”

27
“Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan Mas, jangan lupa nanti minum obatnya
dan nanti saat makan sore. Jangan lupa minta sendiri obatnya pada perawat”

“Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya Mas?”


“Mas besok kita akan bertemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah
dilaksanakan” “Bagaimana kalau seperti biasa jam 10 pagi kita bertemu lagi”
“untuk empatnya disini saja ya ?”

SP 1 Keluarga

1. Membina hubungan saling percaya dengan keluarga


2. Mengidentifikasi masalah menjelaskan proses terjadinya masalah
3. Membantu klien untuk patuh minum obat

Orientasi

“Selamat pagi Bapak/Ibu? Perkenalan nama saya perawat Robi, saya perawat
yang ruangan ini, nama Bapak/Ibu senangnya dipanggil siapa?

“Bagaimana kalau kita sekarang membicarakan tentang masalah anak Bapak/Ibu


dan bagaimana nanti cara merawatnya saat dirumah”

“Dimana kita akan bicara? Bagaimana kalau di kantor pegawai saja?”

“Berapa lama kita bercakap – cakap, bagaimana kalau 30 menit saja?

Kerja

“Apa masalah yang Bapak/Ibu rasakan dalam merawat anaknya, siapa yang
pernah dilakukan dirumah?”

“Dalam menghadapi sikap anak Bapak/Ibu yang selalu mengaku – ngaku


sebagai Jendral PBB ini merupakan suatu gangguan dalam proses berpikirnya.

28
Untuk itu saya jelaskan siakp dan cara menghadapinya.”

“Setiap kali anak Bapak/Ibu mengatakan bahwa ia adalah salah seorang Jendral
PBB, Bapak/Ibu dapat mengatakan :

Pertama “Bapak/Ibu mengerti kalau Mas merasa sebagai seorang Jendral PBB,
tapi sulit bagi Bapak/Ibu untuk mempunyai, karena setahu Bapak/Ibu kamu
bukanlah ABRI?”

Kedua “Bapak/Ibu terus lebih sering memberikan pujian, jika ia melakukan hal –
hal yang baik”

Ketiga “”Cara pertama dan kedua ini sebaiknya dilakukan oleh seluruh anggota
keluarga yang berinteraksi dengannya. Bapak/Ibu dapat bercakap – cakap
dengan anaknya tentang kebutuhan yang diinginkan, misal dengan mengatakan :
Bapak/Ibu percaya kalau Mas kan punya kemampuan…(kemampuan yang
pernah dimiliki anak)

Keempat “bagaimana kalau dicoba lagi sekarang ?” “Jika anaknya mau mencoba
berikan pujian “Bapak/Ibu ?, anaknyaperlu minum obat ini agar pikirannya lebih
tenang, tidurnya juga enak”.

“Obatmya ada 3 macam, yang berwarna telur asin namanya Triflouperasine,


yang putih kecilnamanya Trihexypenidil dan yang merah besar namanya tablet
Cloropromosine. Semuanya ini harus diminum sehari 2 kali, pagi dan sore hari”

“minum obatnya tidak boleh diberhentikan sendiri tapi harus konsultasi dengan
dokternya karena bisa menyebabkan kekambuhan” “Anak Bapak/Ibu sudah
mempunyai jadwal minum obat, jika anaknya minum obat sesuai dengan jamnya,
segeraberi pujian”.

Terminasi

“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita bercakap – cakap tentang cara


merawat anak Bapak/Ibu dirumah”

“Setelah ini coba, Bapak/Ibu lakukan apa yang sudah saya jelaskan tadi setiap
berkunjung ke rumah sakit ini”

29
“Baiklah bagaimanadua hari lagi Bapak/Ibu datang kembali ke sini dan kita akan
mencoba melakukan langsung cara merawat anak Bapak/Ibu sesuai dengan
pembicaraan kita tadi”

“Jam berapa Bapak/Ibu bisa datang kemari?, baik saya tunggu, kita bertemu”

SP 2 Keluarga

Melatih keluarga cara merawat klien

Orientasi

“Selamat pagi Bapak/Ibu, sesuai janji kita 2 hari yang lalu, kita bertemu lagi”

“Bagaimana Bapak/Ibu apakah ada pertanyaan tentang cara merawat anaknya


yang kita bicarakan 2 hari yang lalu”

“Sekarang kita akan latihan cara – cara merawat tersebut. Kita akan latihan disini
dulu, setelah itu langsung kita coba ke anaknya.”

“Berapa lama Bapak/Ibu punya waktu?”

Kerja

“Sekarang anggap saja saya anaknya sedang mengaku – ngaku sebagai Jendral
PBB, coba Bapak/Ibu praktikkan cara berbicara yang benar jika anaknya sedang
dalam keadaan seperti ini”

“Bagus, Betul, begitu caranya”

“Sekarang coba praktikkan cara memberikan pujian pada kemampuan yang


dimiliki anaknya. Bagus”

“Sekarang coba cara membuat anaknya untuk minum obat dan melakukan
kegiatan positif sesuai jadwal”

“Bagus sekali ternyata Bapak/Ibu telah mengerti cara merawat anaknya”

30
“Bagaimana kalau sekarang kita coba langsung ke anaknya”

Terminasi

“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita berlatih cara merawat anaknya


tadi?”

“Setelah ini coba lakukan apa yang sudah dilatih setiap kali mengunjunginya”

“Baiklah, 2 hari lagi Bapak/Ibu bisa datang lagi dan coba lagi cara merawat
anaknya sampai lancar”

“Jam berapa Bapak/Ibu datang? Baik saya tunggu”

31
2. Halusinasi
A. Tindakan Keperawatan
1. Bantu klien mengenai halusinasi
Untuk membantu klien mengenai halusinasi, perawat dapat
berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasi (apa yang didengar,
dilihat, atau dirasa) waktu, frekuensi, situasi atau respon
2. Melatih klien mengontrol halusinasi
Latih klien mengontrol halusinasi dengan 4 cara
a) Menghardik
Adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan
cara menolak halusinasi yang muncul. Klien dilatih untuk tidak
memperdulikan halusinasinya, jika ini dilakukan klien akan
mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasinya
yang muncul.
Tahapan intervensi yang dilakukan :
- Menjelaskan cara menghardik halusinasi
- Memperagakan cara menghardik
- Meminta klien memeragakan ulang
- Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien
b) Bercakap – cakap dengan orang lain
Ketika klien bercakap – cakap dengan orang lain terjadi
distraksi, fokus perharian klien aakn beralih dari halusinasi ke
percakapan yang dilakukan dengan orang lain

32
c) Melakukan aktivitas yang terjadwal
Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah
dengan menyibukkan diri, melakukan aktivitas yang teratur.
Dengan aktivitas secara teratur, klien tidak akan mengalami
banyak waktu luang sendiri yang sering kali mencetuskan
halusinasi.
Tahapan intervensi :
- Menjelaskan pentingnya aktivitasnya yang teratur untuk
mengatasi halusinasi
- Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan klien
- Melatih klien melakukan aktivitas
- Menyusun jadwal kegiatan sehari – hari sesuai dengan
aktivitas yang telah dilatih
- Upaya klien mempunyai aktivitas mulai dari bangun tidur
sampai tidur malam
- Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan
penguatan terhadap perilaku positif
d) Minum obat secara teratur
Klien dengan gangguan jiwa sering mengalami putus obat,
oleh karena itu klien dilatih minum obat sesuai program dan
berkelanjutan
Tahap intervensi
- Jelaskan kegunaan obat
- Jelaskan akibat jika putus obat
- Jelaskan cara mendapatkan obat
- Jelaskan cara minum obat degan 5 benar : benar obat,
orang, cara, waktu, dan benar dosis

SP 1 Klien

1. Memantau klien mengenai halusinasi


2. Menjelaskan cara mengontrol halusinasi
3. Mengajarkan klien mengontrol halusinasi dengan menghardik

33
Orientasi

“Selamat pagi mas? Kenalkan nama saya Perawat Robi, nama mas siapa?,
senangnya dipanggil apa?”

“Bagaimana kalau sekarang kita bercakap – cakap tentang suara – suara yang
selama ini mas dengar tapi tidak ada wujudnya”

“Dimana kita berbincang – bincang? Diruang makan saja ya? Untuk waktunya
bagaimana kalau 20 menit”

Kerja

“Apakah mas mendengar suara yang tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan
suara itu?”

“Apakah suara itu datangnya terus menerus atau sewaktu – waktu, kapan
biasanya sering mas dengar suara itu? Berapa kali dalam sehari?”

“Dalam keadaan apa suara itu biasanya muncul? Apa yang mas arasakan bila
suara itu datang? Apakah dengan cara itu suara itu bisa hilang? Bagaimana
kalau kita sekarang belajar cara mencegah agar suara itu tidak muncul?”
“Mas ada 4 cara untuk mencegahsuara suara itu muncul, yaitu pertama dengan
menghardik suara itu, kedua bercakap – cakap, ketiga melakukan aktivitas dan
keempat minum obat dengan cara teratur” “Bagaimana kalau belajar itu cara dulu
menghardik, caranya adalah saat suara itu muncul langsung mas bilang dalam
hati, pergi…… saya tidak mau dengar kamu suara palsu, begitu diulang ulang
sampai suara itu tidak terdengar lag”

“Coba sekarang mas peragakan, begitu diulang ulang sampai suara itu tidak
terdengar lag”

“Coba sekarang mas peragakan, ya begitu…..bagus, sekali lagi ya bagus, mas


sudah bisa”

Terminasi

34
“Bagaimana perasaan mas setelah memperagakan latihan tadi? Kalau suara itu
muncul coba cara tersebut bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya, mau jam
berapa saja latihannya”

“Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan mengendalikan suara
dengan cara kedua? Jam berapa? Bagaimana kalau 2 jam lagi dan tempatnya
dimana?”

“Baiklah sampai ketemu lagi”

SP 2 Klien

Melatih klien mengontrol halusinasi dengan bercakap – cakap bersama orang


lain

Orientasi

“Selamat pagi mas? Bagaimana perasaan mas hari ini? Apakah suara –
suaranya masih muncul? Apakah sudah pakai cara yang kita latih? Berkurangkah
suara – suara itu?”

“Bagus, sesuai janji kemarin, saya akan latih cara kedua dengan bercakap –
cakap bersama orang lain, mau berapa lama kita latihan 20 menit, tempatnya
disini saja ya?”

Kerja

“Cara kedua untuk mencegah halusinasi adalah bercakap – cakap dengan orang
lain, kalau mas mulai mendengar suara – suara itu langsung saja cari tempat
untuk ngobrol, ini bisa dilakukan baik saat dirumah sakit maupun dirumah”

“Coba sekarang mas latihan, ya bagus, coba sekali lagi, oke bagus sekali”

“Nah latih terus ya mas, mas disini dapat mengajak perawat atau teman mas

35
untuk bercakap – cakap”

Terminasi

“Bagaimana perasaan mas setelah kita latihan? Jadi sudah berapa cara yang
telah kita pelajari untuk suara itu? Bagus, cobalah kedua cara itu bila mas
mengalami halusinasi lagi”
“Bagaimana kalau cara tu kita masukkan kedalam jadwal kegiatan hari ini? Mau
jam berapa mas mau berlatih bercakap – cakap? Nanti mas lakukan secara
teratur sewaktu suara itu muncul”

“Bagaimana kalau besok kita latih untuk cara ketiga? Yaitu melakukan aktivitas
yang terjadwal, mau jam berapa, bagaimana kalau jam 8 pagi? Mau dimana
tempatnya? Disini lagi ya? Oke, sampai bertemu”

SP 3 Klien

Melatih klien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal

Orientasi

“Selamat pagi mas? Bagaimana perasaan mas hari ini? Bagaimana suara –
suaranya masih muncul? Apakah sudah dipakai 2 cara yang kita latih?
Bagaimana hasilnya? Bagus?”

“Sesuai janji kita, hari ini kita belajar untuk mencegah halusinasi dengan cara
yang ketiga, yaitu melakukan kegiatan terjadwal, mau dimana kita bicara?
Diteras depan saja ya, kita bicara 30 menit”

Kerja

“Kegiata apa saja yang biasa mas lakukan? Terus berikutnya apa mas?”

“Wah banyak sekali kegiatannya, mari kita latih 2 kegiatan hari ini, bagus sekali

36
jika mas bisa lakukan. Kegiatan ini bisa mas lakukan untuk mencegah suara itu
muncul. Kegiatan yang lain akan kita latih lagi agar pagi sampai malam ada
kegiatan”

Terminasi

“Bagaimana perasaan mas setelah kita bercakap – cakap cara yang ketiga untuk
mencegah suara – suara? Bagus sekali, coba sebutkanlagi 3 cara yang telah kita
latih untuk mencegah suara – suara, bagus sekali”

“Mari kita masukkan dalam kegiatan harian mas, coba lakukan sesuai jadwal ya?,
bagaimana kalau menjelang makan siang nanti kita membahas cara minum obat
yang baik serta guna obat” “mau jam berapa? Bagaimana kalau setelah makan
siang,diruang makan ya? Sampai jumpa”

SP 4 Klien

Masalah klien minum obat secara teratur

Orientasi

“Selamat siang mas? Bagaimana perasaan mas hari ini? Apakah suara –
suaranya masih muncul?”

“Apakah sudah digunakan 3 cara yang kita latih? Apakah jadwal kegiatannya
sudah dilaksanakan?”

“Kalau boleh tahu tadi pagi obatnya sudah diminum?”

“Baik hari ini kita akan mendiskusikan tentang obat – obat yang mas minum, kiat
akan diskusi selama 20 menit”

Kerja

“Mas adakah bedanya setelah minum obat secara teratur? Apakah suara –

37
suaranya berkurangatau hilang?”

“Minum obat itu penting agar suara – suara yang disengar tidak muncul lagi”

“Berapa macam obat yang mas minum? Yang merah besar ini namanya ibat CPZ,
yang pink kecil namanya haloperidol dan yang putih ini namanya THD, semua
obat ini akan membantu mas agar lebih tenang dan rilex”

“Meskipun sudah pulang nanti harus minum obat terus, tidak boleh putus, kalau
merasakan sesuatu yang tidak enak setelah minum obat mas bisa konsultasi
dengan dokter”

Terminasi

“Bagaimana perasaan mas setelah kita bercakap – cakap tentang obat yang mas
minum?”

“sudah berapa cara yang kita latih untuk mencegah suara suara coba sebutkan.
Bagus”

“Sekarang jadwal minum obatnya kita masukkan pada jadwal kegiatan mas”

“Jangan lupa kalau waktunya munim obat mas minum pada perawat, kalau
dirumah minta keluarga”

“Besok kita bertemu lagi untuk melihat manfaat 4 cara mencegah suara yang
telah kita bicarakan, mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10 pagi, sampai
jumpa ma”

SP 1 Keluarga

1. Memberikan pendidikan kesehatan penting pengertian halusinasi yang


dialami klien
2. Tanda dan gejala halusinasi
3. Cara merawat klien halusinasi

38
Orientasi

“Selamat pagi Bapak/Ibu, saya perawat ruangan ini yang merawat anak
Bapak/Ibu, bagaimana perasaan Bapak/Ibu? Bagaimana pendapat Bapak/Ibu?”

“Hari ini kita akan berdiskusi penting masalah apa yang Bapak/Ibu alami dan
bantuan apa yang Bapak/Ibu berikan”

“Kita mau berdiskusi dimana? Bagaimana kalau diruang makan? Berapa lama
waktunya? Bagaimana kalau 20 menit”

Kerja

“Paham merawat anak Bapak/Ibu masalah apa yang Bapak/Ibu temui, terus apa
yang Bapak/Ibu lakukan?”

“Ya, gejala yang dialami anak Bapak/Ibu namanya halusinasi, yaitu melihat /
mendengar sesuatu tapi tidak ada sumbernya, tandanya bicara dan tertawa
sendiri atau marah tanpa sebab”

“Jadi apabila anak Bapak/Ibu mengatakan suara – suara bisikan atau bayangan
sebenarnya itu tidak ada”

“Bapak/Ibu tidak usah khawatir ada beberapa cara untuk membantunya dalam
mengusir suara – suara itu”

“Pertama, dihadapan anak Bapak/Ibu jangan membantah atau mendukung


halusinasi, katakan bahwa Bapak/Ibu percaya tapi Bapak/Ibu tidak melihat atau
mendengarsuara – suara itu”

“Kedua, jangan biarkan anak Bapak/Ibu biarkan anak Bapak/Ibu melamun sendiri,
karena kalau melamun suara atau bayangan itu akan kembali, upayakan ada
orang yang mau bercakap – cakap dengannya, lakukan kegiatan keluarga secara
bersama sama, terkait dengan kegiatan, saya telah melatihnya membuat jadwal
kegiatan sehari – hari nanti pantau kegiatannya”

“Saya telah melatihnya membuat jadwal kegiatan sehari – hari nanti pantau

39
kegiatannya”

“Ketiga bantu anak Bapak/Ibu untuk minum obat secara teratur, jangan
menghentikan obat tanpa konsultasi, disini anak Bapak/Ibu saya ajari minum
obat teratur, jadi kalau dirumah Bapak/Ibu harus mengingatkan”

“Obatnya macam tiga, merah besar namanya CPZ, kecil pink Haloperidol dan
yang putih THD, obat – obat ini harus diminum secara teratur”

“Terakhir, jika ada tanda - tanda halusinasi halusinasi mulai muncul, putus
halusinasi itu dengan cara menepuk punggungnya, kemudian suruh menghardik
suara itu. Anak Bapak/Ibu sudah saya ajarkan bagaimana cara menghardik
suara itu”

“Sekarang mari kita latihan memutus halusinasi anak Bapak/Ibu. Sambil


menepuk punggungnya, katakanlah sedang apa kamu? Kamu ingatkan apa yang
diajarkan perawat jika suara itu datang”

“Sekarang coba Bapak/Ibu praktikkan cara yang baru saya ajarkan, bagus”

Teminasi

“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita berdiskusi dan latihan memutuskan


halusinasi?”

“Sekarang Bapak/Ibu coba sebutkan empat cara perawatan pada anak


Bapak/Ibu”

“Bagus sekali pak/bu, bagaimana kalau dua hari lagi kita bertemu untuk
mempraktikkan cara memutus halusinasi dihadapan anak Bapak/Ibu”

“Jam berapa kita bisa bertemu, baik sampai ketemu lagi”

SP 2 Keluarga

1. Melatih keluarga praktik merawat klien langsung dihadapan klien

40
2. Memberi kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat
klien dengan halusinasi langsung dihadapan klien

Orientasi

“Selamat pagi, bagaimana perasaan Bapak/Ibu?”


“Apakah Bapak/Ibu masih ingat cara memutus halusinasi anak Bapak/Ibu yang
sedang mengalami halusinasi? Bagus”

“Sesuai janji kita kemarin selama 30 meint ini kita akan mempraktikkan cara
memutus halusinasi langsung dihadapan anak Bapak/Ibu”

Kerja

“Selamat pagi mas, Bapak/Ibu sangat ingin membantu mas mengendalikan suara
– suara yang sering mas dengar. Untuk itu pagi ini Bapak/Ibu datang untuk
mempraktikkan cara memutus suara - suara yang mas dengar, mas nanti kalau
sedang mendengar suara suara dan bicara atau senyum sendiri Bapak/Ibu akan
mengingatkan”

“Sekarang coba Bapak/Ibu peragakan cara memutus halusinasi yang sedang


anak Bapak/Ibu alami, seperti yang sudah kita pelajari sebelumnya tepuk
punggungnya dan suruh mengusir suara dan tutup telinga dan menghardiknya”

“Bagus sekali, bagaimana mas? Senang dipantau Bapak/Ibu ? ini jadwal harian
anak Bapak/Ibu yang biasa dikerjakan disini”

“Nah mas, sekarang saya Bapak/Ibu mau bicara dikantor dulu y?”

Terminasi

“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah mempraktikkan cara memutus


halusinasi secara langsung dihadapan anak Bapak/Ibu”

“Cara ini bisa diingat, kalau di rumah anak Bapak/Ibu mengalami halusinasi.
Bagaimana kalau dua hari lagi kita bertemu untuk membicarakan jadwal kegiatan

41
hariannya ketika dirumah”

“Sampai bertemu besok lusa ya”

SP 3 Keluarga

Orientasi

“Selamat pagi Bapak/Ibu, berhubung besok anak Bapak/Ibu maka sesuaijanji kita
sekarang bertemu untuk membicarakan jadwal kegiatan anak Bapak/Ibu selama
dirumah”

“Bagaimana Bapak/Ibu, selama Bapak/Ibu mengunjungi apakah mempraktikkan


cara merawat anaknya”

“Sekarang mari kita bicarakan jadwal kegiatan anak Bapak/Ibu selama di rumah,
berapa? 30 menit cukup?”

Kerja

“Ini jadwal kegiatan anak Bapak/Ibu selama dirumah sakit, jadwal ini dapat
dilanjutkan di rumah. Coba Bapak/Ibu lihat mungkin ada yang bisa dilakukan di
rumah, jangan lupa jadwal minum obatnya juga”

“Hal yang harus diperhatikan pada anak Bapak/Ibu adalah perilaku yang
ditampilkan si rumah, misalnya mulai suka menyendiri, bicara dan senyum
sendiri, sulit tidur ata menolak minum obat Bapak/Ibu bisa segera konsultasi ke
dokter atau perawat perkembangannya terpantau”

Terminasi

“Bagaimana? Ada yang ingin di tanyakan? Coba sebutkan bagaimana cara

42
merawat anak Bapak/Ibu selama di rumah. Bagus ini jadwal kegiatannya bisa
dibawa pulang.

Terapi Aktivitas Kelompok

TAK yang dilakukan dengan halusinasi

a. TAK Orientasi Realita


1. Sessi 1 : Pengenalan orang
2. Sessi 2 : Pengenalan tempat
3. Sessi 3 : Pengenalan waktu
b. TAK Stimulasi Persepsi
1. Sessi 1 : Mengenal halusinasi
2. Sessi 2 : Mengontrol halusinasi dengan menghardik
3. Sessi 3 : Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
4. Sessi 4 : Mencegah halusinasi dengan bercakap – cakap dengan
orang lain
5. Sessi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat

3.2 ANALISIS JURNAL

A. Jurnal 1 dengan judul : Gangguan Waham Menetap Pada Pasien


Dengan Riwayat Penyalahgunaan Ganja : Sebuah Laporan Kasus

Hasil Analisis :

Gangguan waham menetap merupakan suatu kelompok gangguan


psikiatri yang meliputi serangkaian gangguan dengan waham-waham
yang berlangsung lama, sedikitnya tiga bulan, sebagai satu-satunya
gejala klinis yang khas atau yang paling mencolok dan tidak dapat
digolongkan sebagai gangguan mental organic, skizofrenik atau
gangguan afektif.

Waham atau delusi itu sendiri didefinisikan sebagai suatu keyakinan


palsu yang didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang realitas
eksternal yang tetap bertahan meskipun sudah terbukti sebaliknya dan

43
keyakinan ini biasanya tidak diterima oleh anggota lain dari budaya atau
subkultur seseorang.

Waham yang dialami pada gangguan waham menetap adalah


waham yang bersifat nonbizzare, dalam artian bahwa tipe delusi ini
merupaka suatu kejadian yang mungkin terjadi dalam dunia nyata
seperti merasa diikuti, merasa dicintai oleh seseorang, merasa
dikhianati serta curiga terhadap pasangan.

Berdasarkan beberapa literature,prevalensi gangguan waham


menetap pada pasien yang di rawat inap dilaporkan swbesar o,5-0,9%
dan pada pasien yang dirawat jalan, berkisar antara o,83-1,2%.
Sementara pada populasi dunia, angka prevalensi dari gangguan ini
mencapai 24-30 kasus dari 100.000 orang. 4 onset gangguan waham
menetap paling banyak ditemukan pada umur 40 tahun, dan dapat di
derita oleh kelompok usia 18-90 tahun. Gangguan ini lebih banyak
diderita oleh wanita dibandingkan pria, dengan angka rasio yang
bervariasi, berkisar antar 1,18-3:1. Dimana pria biasanya lebih banyak
mengalami waham curiga atau paranoid, sedangkan wanita umumnya
mengalami waham erotomania atau merasa dicintai oleh seseorang.
Kemunculan awaham dapat terjadi semata-mata akibat gangguan
kejiwaan yang sifatnya idiopatik ataupun yang diinduksi oleh suatu
kondisi medis maupun penggunaan zat.

Penyalahgunaan narkoba saat ini masih menjadi masalah yan sulit


diatasi, tidakk hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Ganja (Cannabis sp)
merupakan jenis narkoba yang paling sering disalahgunakan, dimana
angka prevalensi ketergantungan ganja di Amerika Serikat mencapai
4,2%. Penylahgunaan ganja umumnya dilakukan oleh remaja dan lebih
sering pada pria dibandingkna wanita. Selain memiliki efek
ketergantungan yang sangat berbahaya, beberapa penelitian terakhir
menemukan adanya peningkatan resiko terjadinya gangguan psikiatri
pada pengguna ganja. Sebuah penelitian yang dilakukan di Swedia,
menunjukkan bahwa seseorang yang menyalahgunakan ganja sejak usi
18 tahun memiliki kemungkinan 2,4 kali lebih besar untuk menderta
skizoprenia.

44
Pada laporan kasus ini, dilaporkan seorag pasien laki-laki yang
didiagnosis dengan gangguan waham menetap dan memiliki riwayat
penggunaan ganja sebelumnya.

Pasien laki-laki berumur 27 tahun, sudah menikah, beragama Hindu,


suku Bali, kewarganegaran Indonesia, datang ke Poliklinik Jiwa RSUD
Sanjiwani Gianyar bersama istrinya. Pasien terlihat rapi layaknya orang
biasa. Saat dikaji, pasien dapat menjawab dengan benar, lancar dan
menggunakan bahasa Indonesia. Pasien datang ke poli klinik jiwa
karena obat habis dan ingin mengetahui perkembangan penyakitnya.

Pasien mengeluh bahwa dirinya selalu merasa curiga bahwa


istrinya berselingkuh dengan orang lain. Hal ini sudah dirasakan sejak
awal pernikahan pasien empat tahun ynag lalu. Ia semakin curiga sejak
kira-kira tiga bulan yang lalu setelah ia menonton video porno yang
diperlihatkan oleh teman kerjanya, dimana pemeran wanitanya
dikatakan mirip dengan istrinya. Awalnya ia tidak terlalu menghiraukan
perkataan teman-temannya, tetapi setelah melihat video tersebut, ia
semakin curiga dan sempat marah-marah serta memaki istrinya. Ia juga
memaksa istrinya untuk berhenti bekerja, jika tidak berhenti bekerja,
pasien mengancam istrinya untuk menceraikan istrinya. Akhirnya sang
istri berhenti bekerja.

Ia kemudian menceritakan tentang masa lalunya saat SMA, dimana


saat itu ia mulai menggunakan narkoba jenis ganja selama tiga tahun
bersekolah. Sejak sat itu, ia mulai sering bengong dan kurang
konsentrasi. Setelah lulus ia tidak pernah mengkonsumsi narkoba lagi
karena sudah berpisah dengan teman-temannya. Sementara itu, sang
istri mengatakan bahwa pasien mulai marah-marah dan memaki dirinya
sejak tiga bulan yang lalu (setelah melihat video).

Pasien sebelumnya sudah empat kali datang ke pengobatan


alternative namun tidak ada yang memberikan hasil yang memuaskan.
Ia kemuadian berobat ke puskesmas dengan keluhan curiga dan pihak
puskesmas memberikan obat chlorpromazine. Setelah mengkonsumsi
obat dari puskesmas, pasien mulai lebih tenang dan akhirnya mau diajak
berobat ke Poliklinik Jiwa RSUD Sanjiwani Gianyar.

45
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi,
kencing manis dan penyakit jantung. Namun saat SMA, pasien pernah
dibawa ke rumah sakit oleh ibunya karena sering bengong dan kurang
konsentrasi di sekolah. Dari hasil pemeriksaan dokter, dikatakan bahwa
pasien positif pernah menyalahgunakan narkoba. Sementara itu dari
riwayat keluarga, tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan
seperti pasien.

Pasien merupakan seorang pembuat tato. Namun semenjak pasien


curiga, pelanggan pasien mulai berkurang dan pasien juga enggan
untuk bekerja karena sering dibicarakan oleh orang yang datang. Dalam
kesehariannya pasien hanya berinteraksi dengan ibu, paman dan
bibinya saja.

Hasil pemeriksaan fisiknya didapatkan tanda vital dalam batas


normal. Status general dan neurologis tidak ditemui adanya kelainan.
Pada pemeriksaan psikiatri didapatkan penampilan wajar, roma muka
sesuai umur, kontak verbal dan visual cukup, kesadaran jernih, orientasi
baik, kemampuan berpikir abstrak baik, daya ingat baik. Mood/afek
curiga, labil/inadekuat. Bentuk pir non-logis, non-realis, arus piker
koheren, isi piker terdapat waham curiga. Tidak terdapat halusinasi
auditorik dan visual. Tidak terdapat masalah tidur dan masalh mengurus
diri.psikomotor tenang saat pemeriksaan.

Pasien didiagnosis dengan Gangguan Waham Menetap dengan


diagnosis multiaksial sebagai berikut: Aksis I Gangguan Waham
Menetap, Aksis II Ciri Kepribadian Paranoid, Aksis III riwayat
penggunaan obat psikotropika (ganja), Aksis IV masalah pemakaian
obat psikotropika dan lingkungan lainnya, dan Aksis V GAF saat
pemeriksaan adalah 80-71.

Ia kemudian diterapi dengan melanjutkan pemberian obat


chlorpromazine 1x50mg dan trihexyphenidyl 1x2 mg serta pemberian
psikoterapi suportif pada pasien dan keluarga. Keluarga juga diberikan
KIE tentang keadaan pasien agar tetap bersabar serta terus memberi
dukungan kepada pasien.

46
Pada kunjungan ke poliklinik jiwa berikutnya, keadaan pasien
dikatakan sudah mulai tenang. Ia sudah jarang marah-marah dan rasa
curiga ke istri pasien juga sudah mulai berkurang, istrinya sudah
diperbolehkan bekrja kembali, ia juga sudah mulai bekerja dengan
membuat lukisan meski belum bisa membuat tato karena belum bisa
fokus menggambar tato dan masih merasa malu bertemu dengan orang
lain.

B. Jurnal 2 dengan judul : Efficacy Of Cognitive Behavior Therapy In


Management Of Delusion, Hallusination In Patients With
Scizophrenia

Hasil Analisis :

Skizofrenia masih dianggap sebagai penyakit kronis dan depilating.


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengelola khayalan dan
halusinasi pada pasien dengan skizofrenia. 24 pasien yang didiagnosa
dengan skizofrenia menurut ICD-10 DOR dipilih dari berbagai
departemen rawat inap RINPAS, kanke menggunakan teknik sampling
acak yang sederhana. Setelah mengambil informed consent dari pasien,
socio-demographic dan lembar data klinis dan PSYRATS dikelola dan
mereka secara acak ditugaskan untuk kelompok CBT dan TAU. Terapi
perilaku kognitif diberikan kepada kelompk CBT+TAU, total 17-20 sesi
dari 45 menit masing-masing dengan frekuensi tiga kali seminggu.
Setelah menyelesaikan sesi terapi, penilaian pasca dilakukan dan
penilaian tindak lanjut dilakukan setelah enam bulan pasca penilaian.
Data dianalisis dengan bantuan Mann-Whitney U test dan Uji-square di
gunakan untuk analisis statistic. Terapi perilaku kognitif ditemukan efektif
dalam pengelolaan khayalan dan halusinasi.

Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya merupakan penyakit


kronik dan melemahkan kondisi meskipun sudah ada kemajuan dalam
perawatan farmakologi (Pratt dan Mueser, 2002). Penelitian
menunjukkan bahwa antara 25-60% pasien terus mengalami gejala
psikotik bahkan setelah mengkonsumsi obat (curson et al., 1998).

47
Meskipun efektifitas farmakoterapi anti-psikotik, sisa halusinasi dan
delusi tidak sepenuhnya menghilang pada beberapa pasien. Tambahan
terapi perilaku kognitif (CBT) tampaknya meningkatkan pengelolaan
gejala positif. Bahkan dengan penggunaan dosis optimal clozapine, 40%
pasien dengan skozofrenia yang resistan terhadap pengobatan tidak
merespon. Pengobatan psikologis yang efektif saat ini adalah
satu-satunya pilihan bagi pasien tersebut unutk memperbaiki
gejala-gejala yang melumpuhkan.

Terapi perilaku kognitif telah ditetapkan sebagai pengobatan yang


efektif untuk gejala psikotik residual tetapi sebagian besar orang tidak
mendapatkan manfaat dari perawatan ini.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi signifikansi terapi


perilaku kognitif dalam mengurangi khayalan dan halusinasi pada orang
dengan skizofrenia. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kelompok
CBT meningkat secara signifikan pada sebagian besar dengan elemen
delusi dan halusinasi seperti delusi penganiayaan, cemburu, dosa atau
rasa bersalah. Demikian pula dengan delusi dan halusinasi dari skala
PSYRATS , peningkatan yang signifikan di semua elemen delusi dan
halusinasi setelah selesai terapi di pos penilaian. Mereka menunjukkan
ada peningkatan pada semua kelompok delusi. CBT efektif dalam
mengurangi khayalan dan halusinasi pasien. Perbedaan signifikan
ditemukan antara kedua kelompok pada semua elemen delusi dan
halusinasi pada penilaian pasca dimana skor CBT lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok TAU. Temuan ini sekali lagi mendukung
CBT dalam mengurangi delusi dan halusinasi pada pasien dengan
skizofrenia. Keparahan halusinasi dan khayalan secara umum tidak
berubah secara signifikan pada pasca perawatan pada kelomok kontriol
sedangkan mereka lakukan pada kelompok perlakuan. Tetapi temuan
dari penelitian ini menunjukkan bahwa total skor gejala positif secara
signifikan menurun pada kedua kelompok tetapi menurun lebih besar
pada kelompok eksperimen. Literature menunjukkan bahwa ketika obat
di kombinasi dengan CBT maka akan lebih efektif daripada terapi obat
saja dalam mengatasi gejala positif (inggris 2007, 2008). Namun ada
dua penelitian lain yang melaporkan bahwa kedua modalitas

48
pengobatan sama efektif dalam mengobati skizofrenia (Barrowclough et
al.,2006: Samarasekera et al., 2007)

Program terapi di anggap efektif dalam meningkatkan kemampuan


untuk mengatasi halusinasi pendengaran dan delusi, juga meningkatkan
wawasan dan kemampuan untuk mengatasi penyebab stress dengan
delusi yang secara ultimatctly memalsukan keparahan gejala psikotik
seperti halusinasi dan delusi (Oyactal., 2011). Perbandingan anrtara
kedua kelompok pada skor yang berbeda menunjukkan pada kelompok
CBT pasca penilaian menunjukkan penurunan tajam yang signifikan
dalam delusi dan halusinasi dibandingkan dengn kelompok TAU.

Temuan penelitian ini mendukung terapi perilaku kognitif dalam


mengurangi khayalan dan halusinasi pada pasien dengan skizofrenia.
Namun, penelitian ini memiliki keterbatasan tertentu. Penelitian lebih
lanjut diperlukan pada sampel yang lebih besar sehingga generalisasi
fapat di lakukan untuk melihat daya tahan terapi perilaku kognitif.

3.3 IMPLIKASI KEPERAWATAN

A. Implikasi Keperawatan Jurnal 1 :

Setelah melakukan pemeriksaan di poliklinik jiwa, pasien diterapi


dengan obat chlorpromazine 1x50mg dan trihexyphenidyl 1x2 mg,
pemberian psikoterapi support pada pasien dan keluarga dan juga KIE
tentang keadaan pasien. Hasilnya, pasien sudah jarang marah-marah,
rasa curiga pada istri sudah mulai berkurang, istri pasie sudah boleh
bekerja lagi dan psienpun suah mulai bekerja lagi.

B. Implikasi Keperawatan Jurnal 2 :

Terapi perilaku kognitif ditemukan efektif dalam pengelolaan


khayalan dan halusinasi pada pasien skizofrenia karena mampu untuk
mengatasi khayalan dan halusinasi pada pasien dengan skizofrenia.

BAB IV

49
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Gangguan waham merupakan salah satu gangguan spesifik pada


pikiran. Waham adalah keyakinan palsu yang didasarkan pada kesimpulan
yang salah tentang kenyataan eksternal yang tidak sejalan dengan
intelegensia pasien dan latar belakang kultural yang tidak dapat dikoreksi
dengan satu alasan. Waham dari segi pasien tidak boleh ditentang secara
langsung. Waham mungkin merupakan pikiran sebagai suatu pertahanan
dan perlindungan diri pasien untuk melawan kecemasan, penurunan harga
diri dan kebingungan. Waham mungkin sangat terfiksasi, tetap dan kronis
atau mungkin merupakan subjek pertanyaan dan keraguan dari pasien dan
dapat berlangsung hanya dalam waktu relative singkat. Pasien mungkin
dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh keyakinan waham dan mungkin
mampu mengenali efeknya.
Waham serta sebagian besar gejala psikiatri ini terjadi dalam spectrum
dari berat sampai ringan dan harus diperiksa tentang derajat beratnya,
terfiksasinya, kerumitannya, kekuatan untuk mempengaruhi tindakan pasien
dan penyimpangannya dari perilaku normal. Gangguan waham ditandai
keyakinan yang salah dan menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam
kenyataan.
Sedangkan halusinasi adalah persepsi yang timbul tanpa stimulus
eksternal serta tanpa memperlihatkan sumber dari luar yang meliputi semua
ssstem panca indra. Faktor predisposisi penyebab halusinasi seperti faktor
perkembangan, sosialkultural, biokimia, psikologis, genetik, dan pola asuh.
Sedangkan faktor prepitasi dilihat dari perilaku dari segi dimensi fisik,
emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Tipe halusinasi ada beberapa
macam yaitu halusinasi dengar, halusinasi penglihatan, halusinasi penghidu,
halusinasi pengecapan, halusinasi perabaan, halusinasi kinestik. Sedangkan
tahap terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase. Tindakan dalam melakukan
pengkajian klien dengan halusinasi adalah membina hubungan saling
percaya, mengkaji data objektif dan subjektif, mengkaji waktu, frekuensi dan
situasi munculnya halusinasi dan munculnya halusinasi dan mengkaji respon

50
terhadap halusinasi. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien
halusinasi melatih dan mengongtrol halusinasi dengan cara menghardik
halusinasi, melatih bercakap – cakap, melatih beraktivitas, melatih
menggunakan obat dengan teratur, dan melibatkan keluarga dalam tindakan.

4.2 SARAN

Sebagai mahasiswa keperawatan, suatu saat nanti mungkin kita akan


dihadapkan pada pasien jiwa dengan gangguan orientasi realita, entah itu
waham ataupun halusinasi. Pada pasien waham kita harapkan untuk bisa
menyandarkan dan membawa keyakinan klien kita ke realita tanpa membuat
klien tersebut merasa digurui. Kita dianjurkan untuk tidak membenarkan
waham klien tapi kita mengajak klien untuk berfikir sesuai logika.
Sedangkan untuk klien dengan gangguan orientasi realita berupa
berupa halusinasi, kita diharapkan mampu membantu klien mengatasi
halusinasi yang sering dialaminya, dan ada beberapa matode pengobatan
yang dapat dipraktekkan seperti yang sudah dibahas diatas. Akan tetapi,
salah satu kunci agar kita bisa sukses dalam klien dengan masalah kejiwaan
adalah adanya rasa percaya tersebut timbul melalui komunikasi terapiutik
yang dilakukan perawat, maka rencana keperawatan akan dilakukan
perawat. Jika rasa percaya sudah timbul antara pasien dan perawat, maka
rencana keperawatan akan dapat dilakukan secara lebih optimal lagi.

51
DAFTAR PUSTAKA

Wijaya. Y.A (2013). Petunjuk Teknis Pengisian Format Asuhan Keperawatan Jiwa.
Jombang. Stikes Husada. Unpublizer.

Nurarif A.H, Kusuma H, 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 3. Jogjakarta.

Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawtan Kesehatan Jiwa. Jakarta. EGC.

Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan).
Jakarta:EGC.

Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan


Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto.

Suliswati (2005), Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, EGC ; Jakarta

Doengoes, E Marllyn (2006). Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri Edisi 3


Jakarta : EGC.

Nurjannah (2005), Buku Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa Edisi 2


Moco Media.

52

Anda mungkin juga menyukai