Anda di halaman 1dari 26

RENCANA STRATEGIS PEMBANGUNAN PANGAN DAN

GIZI WILAYAH DI KOTA BOGOR

Oleh:
Kelompok 4
Yohana Elsa PS I14130002
Suci Larasati I14130024
Ribka Adelima I14130055
Adzra Izzati G I14130070
Sifay Febrika D I14130092
Melania Eriyani S I14144022
Nikita Debora P I14144023
Putri Ingga L I14144026

Asisten Praktikum:
Dena Aulia
Riska Amelia Mulyo

Penanggung Jawab Praktikum:


Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PENDAHULAN

Latar Belakang

Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki


dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan
atau minuman (UU No 18 tahun 2012). Menurut Undang Undang nomor 7 tahun
1996 tentang pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan hak asasi bagi
setiap individu di Indonesia. Hal ini menunjukkan seberapa penting kebutuhan
pangan itu harus dipenuhi. Apabila kebutuhan setiap masyarakat dapat terpenuhi,
maka akan tercipta suatu ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang
ketahanan pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Situasi
pangan pada berbagai tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional hingga
tingkat rumah sekalipun dapat dinyatakan dalam konsep ketahanan pangan ini.
Derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan
dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut (Irawan
2002). Malassis dan Ghersi dalam Irawan (2002) menyatakan bahwa energi dan
protein digunakan sebagai indikator status gizi karena penggunaan nilai kalori
(energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan
rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia
untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk
memulihkan sel-sel tubuh yang rusak. Ketahanan pangan tidak hanya
berhubungan dengan tingkat ketersediaan pangan saja, ketahanan pangan
dikatakan belum tercapai jika hanya dilihat dari satu aspek itu saja. Ketahanan
pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut memadai serta
penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Kondisi inilah yang belum
tercapai di beberapa daerah di Indonesia.
Salah satu kota di Indonesia yang telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2004
tentang pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam menyelenggarakan urusan
ketahanan pangan adalah Kota Bogor. Kota Bogor memiliki lahan pertanian bukan
sawah yang lebih besar dibandingkan dengan lahan pertanian sawah. Menurut
Daerah Dalam Angka Kota Bogor tahun 2015, lahan pertanian di Kota Bogor
terdiri dari lahan bukan sawah yaitu sebesar 2 476 ha atau sekitar 76.75% dan
sedangkan 23.25% sisanya berupa lahan sawah yang sebagian besar ada pada
wilayah Kecamatan Bogor Selatan (283 ha), Bogor Barat (270 ha) dan Bogor
Timur (178 ha). Data ini menunjukkan Kota Bogor lebih mengandalkan sektor
perdagangan antar wilayah dibandingkan sektor pertanian untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi pangan masyarakatnya. Menurut UU No 32 Tahun 2004,
Kota Bogor diharuskan melakukan upaya pencapaian SPM bidang
penganekaragaman dan keamanan pangan. Berdasarkan data konsumsi yang
bersumber dari Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2011 PPH konsumsi
masyarakat Kota Bogor baru mencapai 76.2 dimana angka ini menunjukkan
bahwa konsumsi pangan masyarakat Kota Bogor belum beragam. Keberagaman
konsumsi pangan merupakan hal yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
Pemenuhan kebutuhan yang optimal dengan keberagaman pangan yang baik akan
membuat keadaan gizi dan pangan di suatu daerah itu dikategorikan baik. Oleh
karena itu diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai perencanaan pangan dan
gizi ditingkat wilayah agar kebutuhan pangan penduduk suatu wilayah dapat
dipenuhi dengan baik serta dapat menyelesaikan permasalahan gizi akibat pangan.

Tujuan

Tujuan Umum
Menganalisis situasi dan kebutuhan serta merumuskan rencana strategis
pembangunan bidang pangan dan gizi berbasis Pola Pangan Harapan di Kota
Bogor tahun 2014.

Tujuan Khusus
1. Menganalisis situasi pangan dan gizi, khususnya pada subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan, serta status gizi masyarakat
di Kota Bogor.
2. Menyusun kebutuhan dan target penyediaan pangan wilayah berdasarkan
PPH di Kota Bogor.
3. Menyusun strategi dan program pangan dan gizi wilayah sesuai dengan
situasi dan kebutuhan masyarakat serta potensi wilayah di Kota Bogor.

METODE

Desain Studi

Desain yang digunakan pada praktikum ini adalah dengan mengumpulkan


data-data dan informasi mengenai keadaan pangan dan gizi di Kota Bogor yang
diperoleh dari data sekunder. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis
untuk mengetahui ketersediaan, stabilitas harga, dan kebijakan yang berkaitan
dengan pangan dan gizi di Kota Bogor.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan merupakan data sekunder yang telah tersedia dan
dapat di akses dari sumber resmi pemerintah Kota Bogor. Sumber data yang
digunakan berasal dari Kota Bogor Dalam Angka 2015. Data yang digunakan
terdiri dari keadaan umum wilayah, jumlah penduduk, laju pertumbuhan, data
produksi, dan data konsumsi pangan strategis, serta data mengenai kebijakan
daerah. Data tersebut diolah dan dianalisis untuk mendapatkan skor pola pangan
harapan (PPH) ketersediaan maupun skor pola pangan harapan (PPH) konsumsi di
Kota Bogor. Jenis dan sumber data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan sumber data


No Data Jenis data Sumber data
1 Keadaan umum Sekunder Badan Pusat Statistik Kota Bogor
wilayah
2 Jumlah penduduk Sekunder Badan Pusat Statistik Kota Bogor
3 Laju pertumbuhan Sekunder Badan Pusat Statistik Kota Bogor
4 Data produksi pangan Sekunder Dinas Peternakan dan Dinas
Pertanian
5 Kebijakan dan program Sekunder Kantor Ketahanan Pangan dan
kerja RPJMD

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft


Excel 2007 for Windows kemudian dianalisis hasil perhitungannya. Data yang
diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows adalah data konsumsi
pangan dari data SUSENAS dan ketersediaan pangan dengan neraca bahan
makanan (NBM). Situasi konsumsi pangan diukur secara kualitatif dilihat dari
skor Pola Pangan Harapan (PPH) dan kuantitatif dilihat dari tingkat kecukupan
energi.

Definisi Operasional

Distribusi pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran bahan pangan atau pangan kepada masyarakat, baik untuk
diperdagangkan atau tidak.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi suatu wilayah
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
Ketersediaan pangan adalah jumlah pangan yang disediakan di suatu wilayah
mencakup produksi, impor/ekspor, bibit/benih,bahan baku industri pangan
dan non pangan, penyusutan/tercecer dan yang tersedia untuk dikonsumsi
oleh masyarakat di wilayah tersebut.
Konsumsi pangan adalah banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun
beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.
NBM adalah penyajian data pangan dalam bentuk tabel yang dapat
menggambarkan situasi dan kondisi ketersediaan pangan untuk konsumsi
penduduk di suatu wilayah (negara/ propinsi/kabupaten-kota) pada waktu
tertentu (satu tahun).
Pangan adalah segala sumber yang berasal dari hayati maupun air yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia dari berbagai
sudut pandang.
Pola Pangan Harapan (PPH) adalah jumlah dan konsumsi pangan yang secara
agregat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi menurut kuantitas dan
kualitas maupun keberagamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial,
ekonomi, budaya, agama, daya terima dan cita rasa.
Skor PPH adalah angka yang menunjukkan mutu pangan secara kualitas dan
keragamannya yang dikonsumsi penduduk berdasarkan hasil survey
SUSENAS.

ANALISIS SITUASI PANGAN DAN GIZI DI KOTA BOGOR

Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor

Geografi dan Ekologi


Kota Bogor merupakan salah satu kota di propinsi Jawa Barat yang
sekelilingnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor. Perbatasan dengan
Kabupaten Bogor secara langsung dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan
Sukaraja di sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Ciawi di
sebelah timur, berbatasan dengan Kecamatan Dramaga, dan Ciomas di sebelah
barat, dan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Caringin di sebelah selatan.
Secara geografis Kota Bogor terletak di 106 o48’ Bujur Timur dan 6o26 Lintang
Selatan yang lokasinya sangat dekat dengan ibu kota negara. Kota Bogor memiliki
ketinggian rata-rata 190 m dan ketinggian maksimum 330 m dari permukaan laut.
Suhu rata-rata di Kota Bogor 33.9oC, dengan suhu terendah mencapai 18.8oC dan
tertinggi mencapai 36.1oC. Kelembapan udara di Kota Bogor adalah 90.8%,
ditandai dengan curah hujan rata-rata 352.5-567.1 mm setiap bulannya, dengan
curah hujan terbesar tercatat pada bulan Agustus 2014 (BPS Kota Bogor 2015).
Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11 850 ha yang terdiri dari 6 kecamatan
dan 68 kelurahan. Berdasarkan luas wilayah tersebut, dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian non sawah sebesar 2 467 ha atau sebesar 76.75% dari luas lahan
pertanian secara keseluruhan. Lahan pertanian non sawah ini tersebar merata di
seluruh kecamatan dengan luas berimbang, yaitu berkisar antara 383-580 ha,
kecuali yang terdapat di wilayah Kecamatan Bogor tengah yang memiliki luas
lahan pertanian non sawah terkecil dibandingkan dengan kecamatan lainnya di
Kota Bogor yaitu hanya sebesar 22 ha. Luas lahan pertanian di Kota Bogor
sisanya, yaitu sebesar 23.25% dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sawah yang
sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Bogor Selatan seluas 283 ha, Bogor
Barat seluas 270 ha, dan Bogor Timur 178 ha. Lahan sawah yang terdapat di Kota
Bogor seluas 735 ha telah menggunakan sistem irigasi setengah teknis (BPS Kota
Bogor 2015).

Demografi dan Sosial Ekonomi


Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2014 sebesar 1 030 720 jiwa yang
terdiri dari 532 479 orang laki-laki dan 507 241 perempuan. Pertambahan jumlah
penduduk Kota Bogor sebesar 17 701 jiwa atau meningkat 1.75% dari data tahun
sebelumnya. Kepadatan penduduk di Kota Bogor pada tahun 2013 mencapai 8
698 orang per km2. Pada umumnya penduduk yang bekerja di Kota Bogor terserap
pada lapangan perkerjaan di bidang perdagangan dan jasa. Jumlah penduduk yang
bekerja berdasarkan penggolongan tingkat pendidikan yaitu 67 134 orang
berpendidikan SLTP, 177 498 orang berpendidikan SLTA, dan 68 488 orang
berpendidikan akademi dan universitas (BPS Kota Bogor 2015).
Tahun 2014 berdasarkan tahapan kesejahteraan, penduduk Kota Bogor
umumnya berada pada tahapan keluarga sejahtera II, yaitu sebanyak 98 494
keluarga, yang diikuti kelompok keluarga sejahtera III sebanyak 56 899 keluarga.
Seperti halnya daerah lain, Kota Bogor masih bergelut dengan masalah
kemiskinan. Tahun 2013 sebanyak 83.3 ribu orang atau sebesar 8.19% penduduk
Kota Bogor masih berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan rata-rata
sebesar Rp 360 518.00 (BPS Kota Bogor 2015).

Keragaan Ketahanan Pangan dan Gizi di Kota Bogor

Ketersediaan Pangan
1. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan yang cukup merupakan komponen dari ketahanan
pangan. Adanya pangan yang cukup, seperti beras, pangan nabati, ternak, dan ikan
untuk memenuhi kebutuhan merupakan pengertian ketersediaan pangan (Suryana
2003 dalam Mun’im 2012). Ketersediaan pangan di suatu daerah sangat penting
diketahui agar kebutuhan pangan juga dapat terpenuhi. Berikut merupakan
analisis ketersediaan pangan Kota Bogor.

Tabel 2 Persentase AKE ketersediaan pangan Kota Bogor


No Golongan pangan AKE (%)
1 Padi-padian 2.3
2 Umbi-umbian 0.8
3 Pangan hewani 3.6
4 Minyak dan lemak 0.1
5 Buah/biji bermiyak 0.0
6 Kacang-kacangan 79.7
7 Gula 0.0
8 Sayur dan buah 0.3
9 Lain-lain 0.0
Total 86.8

Angka kecukupan energi Kota Bogor pada tahun 2014 yang ditunjukkan
oleh Tabel 2 memiliki nilai total sebesar 86.8%. Persentase AKE tersebut
memiliki arti bahwa angka kecukupan energi di Kota Bogor tergolong kurang
(Kemenkes RI 1996). Perbaikan angka kecukupan gizi di Kota Bogor dapat
dilakukan dengan menambah ketersediaan dengan bahan pangan lain secara
seimbang. Bahan pangan lain yang ketersediaannya dapat ditambah dapat berasal
dari golongan umbi-umbian yang juga merupakan sumber energi, namun
ketersediaannya masih sedikit di Kota Bogor. Data angka kecukupan energi ini
dapat digunakan sebagai dasar dalam menganalisis ketersediaan pangan di Kota
Bogor secara kuantitatif.
Analisis ketersediaan pangan juga dapat dilakukan secara kualitatif
menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan
menunjukkan keberagaman berdasarkan sumbangan energi dari kelompok pangan
utama terhadap total energi. Semakin tinggi skor PPH suatu wilayah, maka
pangan wilayah tersebut semakin beragam. Selain itu, bila konsumsi yang
beragam ditambah dengan pembagian jumlah yang beribang dari pangan wilayah
tersebut, maka semakin baik kualitas zat gizinya. Pola Pangan Harapan dapat
ditentukan dari ketersediaan dan atau konsumsi pangan (Pusat PKKP BKP 2013).
Kualitas dan kuantitas ketersediaan pangan dapat membantu pemerintah dalam
menentukan kebijakan pangan di wilayah tersebut. Skor Pola Pangan Harapan
(PPH) ketersediaan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Skor PPH ketersediaan pangan Kota Bogor berdasarkan kelompok bahan
pangan
No Golongan pangan Skor PPH
1 Padi-padian 1.2
2 Umbi-umbian 0.4
3 Pangan hewani 7.2
4 Minyak dan lemak 0.0
5 Buah/biji bermiyak 0.0
6 Kacang-kacangan 10.0
7 Gula 0.0
8 Sayur dan buah 1.7
9 Lain-lain 0.0
Total 20.5

Tabel 3 menunjukkan bahwa skor PPH ketersediaan pangan di Kota Bogor


sebesar 20.5. Skor PPH ketersediaan tersebut memiliki arti bahwa keberagaman
pangan yang tersedia di Kota Bogor belum beragam, karena skor PPHnya masih
berada di bawah 90. Skor PPH yang rendah di Kota Bogor disebabkan oleh
kondisi lahan yang semakin menyempit sehingga lahan pertanian di Kota Bogor
hanya 10.05% dari luas wilayah Kota Bogor. Hal ini dapat mempengaruhi
ketersediaan pangan Kota Bogor sehingga sebagian bahan pangan yang tersedia di
Kota Bogor diperoleh dari hasil perdagangan antar wilayah (Pemkot Bogor 2015).

2. Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan, yang dinyatakan dalam UU No. 18 tahun 2012,
merupakan kemampuan untuk memproduksi pangan yang beraneka ragam yang
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
Abrar (2009) menyatakan bahwa suatu wilayah dikatakan mandiri pangan apabila
dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya minimal 90%. Kebutuhan dan
produksi pangan strategis Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kebutuhan dan produksi pangan strategis Kota Bogor
Kebutuhan Produksi Gap
Bahan pangan
(ton/tahun) (ton/tahun) (%)
Beras 73 896 5 301.1 -92.82
Jagung 319 765.0 139.81
Kedelai 3 569 0.0a -1.00
Daging sapi 989 3 122.5 215.72
Daging ayam 1 736 7 303.7 320.72
Telur 2 552 0.0a -1.00
Gula pasir 521 0.0a -1.00
Minyak goreng 8 093 0.0a -1.00
Cabai 8 771 0.0a -1.00
a
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf tidak ditemukan jumlah produksinya di Kota
Bogor. Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2015.

Kemandirian pangan dihitung dengan cara mengurangkan produksi pangan


strategis dengan kebutuhan pangan strategis di Kota Bogor yang hasilnya dapat
dilihat pada kolom gap. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Bogor telah
mandiri pangan untuk beberapa bahan pangan strategis yang jumlah produksinya
diketahui seperti daging ayam dan daging sapi. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai
gap untuk bahan pangan strategis yang diketahui jumlah produksinya dan
memiliki nilai positif atau surplus, artinya jumlah produksi bahan pangan strategis
di Kota Bogor mencukupi bahkan berlebih untuk memenuhi kebutuhan penduduk
Kota Bogor dalam setahun. Akan tetapi, beras dan beras, jagung, telur, gula pasir,
minyak goreng, dan cabai belum tergolong mandiri pangan dikarenakan gap yang
masih bernilai negatif yang berarti produksi bahan pangan belum mencukupi
kebutuhan strategis penduduk. Hasil ini menunjukkan bahwa Kota Bogor belum
mandiri untuk keseluruhan kebutuhan dan produksi pangan strategis, sehingga
untuk memenuhi kebutuhannya Kota Bogor bergantung pada kegiatan impor dari
wilayah lain, termasuk dari Kabupaten Bogor yang wilayahnya berada paling
dekat secara geografis.

Distribusi Pangan
1. Sarana, Prasarana, dan Kelembagaan Distribusi Pangan
Kota Bogor memiliki luas wilayah sebesar 11 850 ha yang terdiri dari 6
kecamatan dan 68 kelurahan. Hapir semua jalan di wilayah Kota Bogor sudah
diaspal. Panjang jalan yang sudah diaspal mencapai 90.69% pada tahun 2014.
Jalan beton hanya sekitar 2.10% dan sisanya masih kerikil dan tanah. Kondisi
jalan di Kota Bogor didapatkan data jalan dengan kondisi baik mencapai 47.40%,
kondisi sedang mencapai 40.79%, dan sisanya sebesar 11.81% dalam kondisi
rusak ringan hingga berat. Dinas perdagangan bersama dengan dinas perindustrian
(Disperindag) mengatur proses distribusi termasuk pangan masuk atau keluar
Kota Bogor. Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor terlibat
dalam pelaksanaan arus transportasi termasuk mendukung terjadinya ditribusi
pangan di Kota Bogor.
Jumlah kendaraan bermotor yang mutasi masuk di Kota Bogor pada tahun
2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 121 unit,
sedangkan mutasi keluar mengalami peningkatan menjadi 127 unit. Terdapat 7
pasar di Kota Bogor dalam upaya melaksanakan transaksi jual beli yang
mengelola sebanyak 6 144 kios dan los. Kota Bogor merupakan salah satu kota
yang mengandalkan sektor perdagangan. Jumlah perusahaan perdagangan formal
pada tahun 2014 sebanyak 746 perusahaan. Jumlah tersebut terdiri dari 15 unit
perusahaan besar (dengan investasi di atas Rp 15 milyar), 369 unit perusahaan
kecil (dengan investasi Rp 50 juta hingga Rp 500 juta), dan 231 unit perusahaan
mikro.
Perdagangan melalui ekspor barang dan jasa di Kota Bogor pada tahun
2014 mengalami penurunan dibandingkan yang terlaksana pada tahun 2013.
Realisasi ekspor non migas di Kota Bogor mengalami penurunan pada tahun 2014
menjadi 121.10 juta US$ atau mengalami penurunan sekitar 43.47% dibandingkan
dengan realisasi ekspor non migas Kota Bogor pada tahun 2013.

2. Daya Beli Masyarakat terhadap Pangan.


Tahapan kesejahteraan, pada tahun 2014 keluarga di Kota Bogor berada
pada tahapan keluarga sejahtera II dan keluarga sejahtera III, dengan data
persentase penduduk miskin di Kota Bogor pada tahun 2013 sebesar 8.19% dan
garis kemiskinan sebesar Rp 360 518.00. Data ini sudah menunjukkan bahwa
masih ada keluarga di Kota Bogor yang memiliki daya beli yang rendah. Info
harga bahan pangan di Kota Bogor sudah cukup baik. Harga bahan pangan di
Kota Bogor akan menentukan daya beli masyarakat Kota Bogor terhadap pangan
untuk memenuhi kebutuhannya. Analisis stabilitas harga di Kota Bogor dapat
dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Analisis stabilitas harga beberapa bahan pangan


No Jenis Pangan CVKRi CVKTi SKi
1 Beras 6.186 25.000 175.256
2 Jagung 0.096 25.000 199.615
3 Kedelai 3.815 25.000 184.738
4 Daging sapi 1.164 25.000 195.344
5 Daging ayam 7.564 25.000 169.745
6 Telur 6.335 25.000 174.659
7 Gula pasir 5.537 25.000 177.854
8 Minyak goreng 3.455 25.000 186.181
9 Cabe 66.355 25.000 -65.419
Capaian stabilitas harga pangan (SK) 155.330

Tabel 5 menunjukan hampir seluruh bahan pangan sudah terdistribusi


dengan baik, yang ditandai oleh rata-rata nilai %CVKRi < 25%. Nilai SKi rata-
rata bahan pangan ≥ 90% yang menunjukan bahwa stabilitas harga sudah tercapai.
Namun, bahan pangan cabe menjadi perkecualian karena nilainya, baik berupa
%CVKRi maupun SKi, berbeda dengan bahan pangan lainnya. Bahan pangan
cabe belum terdistribusi merata dan hal ini berpengaruh pada stabilitas harganya.
Cabe, biasanya mengalami penurunan produksi pada musim penghujan, karena
bersaing dengan padi-padian yang cenderung ditanam pada musim tersebut.
Rendahnya produuksi cabe menyebabkan harga cabe pada musim tersebut
cenderung mengalami kenaikan yang besar, sehingga harga yang berubah-ubah ini
dikatakan tidak stabil. Selain itu pemenuhan kebutuhan cabe Kota Bogor yang
sebagian besar dari kegiatan impor juga menjadi hambatan mengingat
kemungkinan jumlah bahan pangan tersebut tercecer selama proses distribusi juga
mempengaruhi stabilitas harganya.
Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor pada tahun 2013 sebesar 5.86%.
Struktur ekonomi Kota Bogor masih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel,
dan restoran pada tahun 2013 dengan kontribusi sebesar 35.76% diikuti oleh
sektor industri pengolahan sebesar 27.48%. Sektor pertanian merupakan
kontributor terendah karena luas lahan yang tersedia di Kota Bogor sangat sempit.
Kontribusi sektor pertanian terhadap struktur ekonomi Kota Bogor pada tahun
2013 sebesar 0.17%. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun
2013 atas dasar harga berlaku Kota Bogor sebesar Rp 19.53 triliun dan nilai
PDRB atas dasar harga konstan sebesar Rp 5.71 triliun.

Konsumsi Pangan
1. Kuantitas Konsumsi Pangan
Penilaian situasi konsumsi pangan dapat diterapkan baik di tingkat nasional
dan regional (propinsi dan kabupaten/kota), dengan menganalisis aspek kuantitas
konsumsi (BKP 2013). Penilaian aspek kuantitas konsumsi ditinjau dari volume
pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan.
Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat
memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal dengan Angka
Kecukupan Gizi (AKG).
Penilaian kuantitas konsumsi pangan masyarakat dapat dilakukan
menggunakan beberapa parameter, salah satunya yaitu Tingkat Konsumsi Energi
(TKE). Beberapa kajian menunjukkan bahwa bila konsumsi energi dan protein
terpenuhi sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan
beragam, maka zat-zat lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan. Penilaian
kuantitas konsumsi pangan di Kota Bogor menggunakan parameter AKE untuk
mengetahui apakah sudah melebihi standar atau masih di bawah standar
kecukupan yang diharapkan (BKP 2013). Berikut merupakan analisis kuantitas
konsumsi pangan Kota Bogor.

Tabel 6 Persentase AKE konsumsi pangan Kota Bogor tahun 2011


No Golongan pangan AKE (%)
1 Padi-padian 52.2
2 Umbi-umbian 1.2
3 Pangan hewani 11.9
4 Minyak dan lemak 11.3
5 Buah/biji bermiyak 2.6
6 Kacang-kacangan 2.3
7 Gula 2.1
8 Sayur dan buah 3.0
9 Lain-lain 1.6
Total 88.3
Persentase angka kecukupan energi konsumsi pangan Kota Bogor pada
Tabel 6 sebesar 88.3%. Hal tersebut menunjukkan bahwa angka kecukupan energi
di Kota Bogor tergolong kurang. Hal ini sesuai dengan pengategorian angka
kecukupan energi menurut Kemenkes RI (1996) yang menyatakan bahwa untuk
masuk ke dalam kategori cukup maka tingkat kecukupan zat gizi makro harus
berada pada rentang antara 90-119%.
Analisis kuantitas konsumsi pangan juga dapat diketahui berdasarkan
analisis situasi konsumsi pangan dan gizi di wilayah Kota Bogor berdasarkan
konsumsi energi (Kal/kap/hari) dari rata-rata golongan pengeluaran pangan
wilayah kota pada tahun 2011. Dari data tersebut dapat diketahui mengenai
kuantitas zat gizi dari bahan makanan terutama energi. Grafik konsumsi energi di
Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Konsumsi energi per golongan pengeluaran Kota Bogor tahun 2011

Nilai konsumsi energi di Kota Bogor dianalisis berdasarkan data yang


tersedia, yaitu data konsumsi energi berdasarkan rata-rata golongan pengeluaran
pangan. Rata-rata asupan energi dari konsumsi pangan wilayah Kota Bogor
sebesar 1 898 Kal. Rata-rata konsumsi tersebut sebagian besar berasal dari padi-
padian, yaitu sebesar 1 122.1 Kal, yang diikuti oleh pangan hewani dan konsumsi
minyak dan lemak sebagai penyumbang asupan energi terbesar kedua dan ketiga,
yaitu sebesar 255.1 Kal dan 243.6 Kal. Padi-padian masih menjadi makanan
pokok penduduk di Kota Bogor yang pasti dikonsumsi setiap hari dalam porsi
yang cenderung lebih besar dari pada bahan pangan lainnya, hal ini menyebabkan
konsumsi energi dari masyarakat Kota Bogor jadi bernilai cukup besar mengingat
bahan makanan yang bersumber dari padi-padian merupakan pangan sumber zat
gizi karbohidrat yang menjadi sumber energi. Demikian pula halnya dengan
pangan hewani yang menjadi pendamping dari makanan pokok tadi, sehingga
konsumsinya menjadi cukup besar. Penyumbang energi terkecil berasal dari bahan
pangan umbi-umbian, yaitu sebesar 26.4 Kal. Meskipun Kota Bogor memiliki
komoditas unggulan yang merupakan golongan umbi-umbian, namun
konsumsinya tidak cukup banyak oleh masyarakat Kota Bogor itu sendiri.
Konsumsi yang rendah terhadap umbi-umbian disebabkan oleh ketersediaannya
yang rendah. Luas lahan untuk produksi talas (umbi-umbian) di Kota Bogor hanya
sebesar 89 ha, sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan yang dimanfaatkan
untuk produksi padi-padian sebesar 1 733 ha (Dinas Pertanian 2012).

2. Kualitas Konsumsi Pangan


Selain analisis secara kuantitatif, konsumsi pangan suatu wilayah dapat
dianalisis secara kualitatif. Pangan dalam aspek kualitas konsumsi wilayah lebih
ditekankan pada aspek gizi yang didasarkan pada penganekaragaman pangannya,
bukan hanya beraneka ragam untuk makanan pokok saja tetapi juga aneka ragam
konsumsi bahan pangan lainnya. Semakin beragam dan seimbang komposisi
pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya, karena pada
hakekatnya tidak ada satu jenis pangan yang mempunyai kandungan gizi yang
lengkap dan cukup jumlah jenisnya. Untuk menilai keanekaragaman pangan
digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) (BKP 2013). Pola Pangan
Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang
didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap
total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan, yang mampu
mencukupi kebutuhan dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi,
budaya, agama, dan cita rasa (Kemenkes RI 2005). Semakin tinggi skor mutu
pangan yang dihitung menggunakan pendekatan PPH menunjukkan konsumsi
pangan semakin beragam dan komposisinya semakin baik atau berimbang.
Berikut merupakan analisis kualitas konsumsi pangan Kota Bogor.

Tabel 7 Skor PPH konsumsi pangan berdasarkan kelompok bahan pangan di Kota
Bogor tahun 2011
No Golongan pangan Skor PPH
1 Padi-padian 25.0
2 Umbi-umbian 0.6
3 Pangan hewani 23.7
4 Minyak dan lemak 5.0
5 Buah/biji bermiyak 1.0
6 Kacang-kacangan 4.7
7 Gula 1.1
8 Sayur dan buah 15.2
9 Lain-lain 0.0
Total 76.2

Skor PPH untuk konsumsi pangan di Kota Bogor tahun 2011 pada Tabel 7
sebesar 76.2. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan pangan di Kota Bogor
belum beragam. Suatu wilayah akan dikatakan memiliki konsumsi pangan yang
beragam apabila memiliki skor PPH > 90. Skor PPH per golongan bahan pangan
pada Tabel 7, menunjukkan bahwa ada beberapa golongan bahan pangan yang
konsumsinya sudah baik. Golongan bahan pangan tersebut yaitu padi-padian,
minyak dan lemak, dan buah/biji berminyak karena telah mendekati skor PPH
maksimal untuk golongan bahan pangan. Sedangkan golongan bahan pangan
lainnya masih jauh dari skor PPH maksimal untuk golongan bahan pangan.
Peningkatan skor PPH bahan pangan yang masih rendah dapat dilakukan dengan
menerapkan diversivikasi pangan.
Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu indikator derajat kesehatan suatu
masyarakat. Status gizi pada balita dapat dinilai dengan mengukur berat badan
(BB), tinggi badan (TB), dan mengetahui usianya yang kemudian dapat dilihat
melalui tiga indikator yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Masing-masing nilai dari
indikator tersebut kemudian di konversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore)
menggunakan baku antropometri balita WHO 2005 (Kemenkes RI 2013). Status
gizi pada tiap balita akan berbeda di tiap-tiap daerah. Berikut merupakan status
gizi balita di Kota Bogor dilihat dari tiga indikator tersebut.
1. Status Gizi Balita berdasarkan BB/U
Indikator status gizi berdasarkan BB/U memberikan indikasi masalah gizi
secara umum, dan tidak mengindikasikan masalah gizi yang bersifat kronis
ataupun akut. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa hal di
antaranya pendek, atau sedang menderita penyakit infeksi seperti diare dan lain-
lain (Kemenkes RI 2013). Status gizi balita Kota Bogor menggunakan indikator
BB/U dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Prevalensi status gizi balita Kota Bogor berdasarkan BB/U

Prevalensi status gizi balita Kota Bogor pada Gambar 2 menunjukkan


bahwa sebagian besar balita memiliki status gizi baik. Namun masih ditemukan
beberapa masalah gizi pada balita di Kota Bogor, yaitu permasalahan gizi buruk,
gizi kurang, dan gizi lebih. Kategori ketiga masalah gizi tersebut adalah sebagai
berikut. Gizi buruk pada balita di Kota Bogor dikategorikan sebagai masalah gizi
ringan karena prevalensinya lebih dari 1%. Gizi kurang pada balita di Kota Bogor
tergolong sebagai masalah gizi sedang karena berada pada rentang 10-19.9%,
sementara gizi lebih pada balita di Kota Bogor tergolong bebas masalah karena
prevalensinya berada di bawah 5%.

2. Status Gizi Balita berdasarkan TB/U


Indikator status gizi berdasarkan TB/U menunjukan masalah gizi yang
bersifat kronis sebagai akibat dari keadaan yang telah berlangsung lama seperti
kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh yang kurang baik sejak
anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes RI 2013).
Status gizi balita Kota Bogor menggunakan indikator TB/U dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3 Prevalensi status gizi balita Kota Bogor berdasarkan TB/U

Prevalensi status gizi balita Kota Bogor pada Gambar 3 menunjukkan


sebagian besar balita Kota Bogor tergolong normal. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia menetapkan ambang batas penentuan besaran masalah gizi
adalah sebesar 1%, sehingga status gizi balita berdasarkan TB/U yang termasuk
dalam kategori sangat pendek dan pendek masuk sebagai masalah gizi.

3. Status Gizi Balita berdasarkan BB/TB


Status gizi berdasarkan BB/TB mengindikasikan masalah gizi yang bersifat
akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat seperti wabah
penyakit dan kelaparan, yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Teori Barker
menyebutkan bahwa status gizi berdasarkan BB/TB dapat menggambarkan status
gizi kurus dan gemuk yang berakibat terjadinya penyakit degeneratif saat dewasa.
Status gizi balita Kota Bogor menggunakan indikator BB/TB dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4 Prevalensi status gizi balita Kota Bogor berdasarkan BB/TB


Prevalensi status gizi balita Kota Bogor pada Gambar 4 menunjukkan
sebagian besar balita Kota Bogor tergolong normal. Prevalensi balita sangat
kurus, kurus, dan gemuk memiliki prevalensi lebih dari 1%. Hal ini menunjukkan
ketiganya telah masuk ke dalam kategori masalah gizi.
Prioritas Masalah Pangan dan Gizi di Kota Bogor

Prioritas masalah memperhatikan tiga aspek yaitu pentingnya masalah,


kelayakan teknologi, dan sumberdaya yang tersedia. Menurut teknik kimia
matriks, nilai prioritas masalah (P) dapat dihitung dengan cara mengalikan antara
pentingnya masalah (I), kelayakan teknologi (T), dan sumberdaya yang tersedia
(R). Skor prioritas masalah tergantung pada nilai setiap aspek yang
dipengaruhinya. Misalnya untuk aspek pentingnya masalah (I) ditentukan nilai 5
untuk kategori sangat penting, nilai 3 untuk kategori penting, dan nilai 1 untuk
kategori kurang penting. Contoh pemberian nilai untuk kelayakan teknologi (T)
yaitu nilai 5 untuk sangat sulit, nilai 3 untuk sulit, dan nilai 1 untuk mudah.
Sedangkan untuk sumber daya dinyatakan dalam 2 untuk tidak tersedia dan 1
untuk tersedia. Prioritas masalah pangan dan gizi di Kota Bogor dapat dilihat pada
Tabel 8.

Tabel 8 Prioritas Masalah Pangan dan Gizi di Kota Bogor


Masalah I T R P Prioritas
Stunting (18.9%) 5 3 2 30 1
Gizi kurang (11.5%), kurus (2%) 5 3 2 30 1
Gizi buruk (1.9%), sangat kurus (2%) 5 3 2 30 1
Lama sekolah (9.82 tahun) 3 1 1 3 6
Kualitas konsumsi pangan PPH (76.8%) 5 2 2 20 2
PHBS Rumah Tangga (62.1%) 5 1 2 10 3
Pelayanan pengangkutan sampah (70.2%) 3 1 2 6 4
Kurangnya minyak dan lemak (0.1%) 5 1 2 10 3
Kurangnya sayur dan buah (0.3%) 5 1 2 10 3
Jalan rusak berat (11.81%) 3 1 1 3 6
Pemberian ASI (30.2%) 5 1 1 5 5

Hasil perhitungan menunjukkan, prioritas masalah gizi di Kota Bogor yang


utama adalah stunting, gizi kurang, gizi buruk, kurus, dan sangat kurus yang
prevalensinya masing-masing sebesar 18.9%, 11.5%, 1.9%, 2%, dan 2%. Masalah
ini temasuk dalam kategori berat karena berdasarkan batas yang ditentukan oleh
Kemenkes RI (1996) minimum masalah gizi berupa sebesar 1% dalam wilayah
tertentu, jika melebihi 1% maka termasuk dalam kategori berat.
Permasalahan pangan dan gizi di Kota Bogor juga dapat dilihat dari aspek
konsumsi, yaitu kualitas konsumsi pangan yang rendah. Kualitas konsumsi
pangan yang rendah tersebut dilihat dari skor PPH konsumsi pangan Kota Bogor
yang masih kurang dari 90%, yaitu sebesar 76.8%. Artinya, konsumsi pangan di
Kota Bogor masih kurang beragam dikarenakan golongan pangan umbi-umbian,
pangan hewani, kacang-kacangan, buah, dan sayur dikonsumsi dalam jumlah
sedikit sedangkan golongan pangan padi-padian (makanan pokok) dikonsumsi
melebihi skor AKE ideal untuk padi-padian, yaitu 59.1 (lebih 6.9 dari skor AKE
ideal konsumsi golongan pangan padi-padian).
Permasalahan dalam bidang konsumsi merupakan satu-satunya masalah
yang mengakibatkan terjadinya masalah gizi di Kota Bogor. Apabila kualitas
konsumsi pangan rendah maka seseorang akan lebih rentan atau memiliki risiko
yang lebih tinggi terhadap masalah gizi. Selain itu, apabila terjadi masalah gizi di
suatu wilayah maka dapat diperbaiki atau diatasi melalui program peningkatan
kualitas konsumsi pangan. Semakin baik atau semakin tinggi kualitas konsumsi
pangan suatu wilayah maka semakin rendah risiko seseorang terhadap masalah
gizi. Hal inilah yang menyebabkan kualitas konsumsi pangan tergolong
permasalahan dengan prioritas yang penting untuk ditangani.
Permasalahan dalam bidang konsumsi merupakan masalah yang
mengakibatkan terjadinya masalah gizi secara langsung di Kota Bogor. Apabila
kualitas konsumsi pangan rendah maka seseorang akan lebih rentan atau memiliki
risiko yang lebih tinggi terhadap masalah gizi. Selain itu, apabila terjadi masalah
gizi di suatu wilayah maka dapat diperbaiki atau diatasi melalui program
peningkatan kualitas konsumsi pangan. Semakin baik atau semakin tinggi kualitas
konsumsi pangan suatu wilayah maka semakin rendah risiko seseorang terhadap
masalah gizi. Hal inilah yang menyebabkan kualitas konsumsi pangan tergolong
permasalahan dengan prioritas yang penting untuk ditangani.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Kota Bogor juga masih rendah
yaitu 62.1% yang melakukan PHBS. Hal ini menunjukkan rendahnya kesadaran
masyarakat untuk melakukan PHBS. Rendahnya kesadaran untuk melakukan
PHBS dapat menjadi penyebab tidak langsung terjadinya masalah gizi terkait
dengan sanitasi sehingga mempengaruhi kesehatan atau kondisi infeksi seseorang.
Pemenuhan kebutuhan pangan di Kota Bogor dilakukan melalui kegiatan
impor karena luas lahan yang terbatas, oleh karena itu saluran distribusi menjadi
perhatian yang penting. Permasalahan distribusi di Kota Bogor yaitu kondisi jalan
yang kurang memadai. Sekitar 11.8% kondisi jalan di Kota Bogor mengalami
rusak berat sehingga dapat mengganggu proses pendistribusian pangan di Kota
Bogor yang sangat bergantung dari sektor perdagangan.

Determinan Utama Ketahanan Pangan dan Gizi Wilayah di Kota Bogor

Determinan utama ketahanan pangan dan gizi pada suatu wilayah dapat
dilakukan dengan penentuan skala prioritas yang selanjutnya menjadi determinan
utama masalah ketahanan pangan dan gizi. Masalah pangan dan gizi merupakan
masalah yang kompleks sehingga penanganannya membutuhkan penyelesaian dari
berbagai faktor. Determinan masalah pangan dan gizi pada Kota Bogor
digambarkan dengan kerangka Unicef, dimana fokus permasalahan utama adalah
pada keadaan stunting . Faktor penyebab terdiri dari faktor langsung dan faktor
tidak langsung. Faktor langsung terdiri dari pola konsumsi makan yang tidak
seimbang dan adanya penyakit infeksi. Sedangkan untuk faktor tidak langsung
meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola asuh anak yang
kurang memadai, dan pelayanan kesehatan yang masih rendah. Kedua faktor
tersebut merupakan dampak dari masalah pokok yang terjadi diantaranya daya
beli yang rendah, akses pangan yang masih sulit, akses informasi yang terbatas,
akses pelayanan yang kurang memadai, kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi,
dan pendidikan yang rendah. Dimana semua permasalahan tersebut diawali dari
krisis ekonomi, politik, dan sosial.
Stunting, kurangnya konsumsi umbi-umbian, dan jalan yang rusak berat
merupakan masalah yang utama di Kota Bogor karena masalah tersebut dinilai
sangat penting. Teknologi yang tersedia untuk menyelesaikan masalah tersebut
tergolong sulit dan belum cukup tersedia di wilayah tersebut.Walaupun kondisi
sumber daya di daerah tersebut mendukung, namun masalah tersebut tergolong
penting untuk diperhatikan karena teknologi tidak mendukung diselesaikannya
masalah tersebut. Diagram causal model permasalahan gizi di Kota Bogor dengan
mengacu pada bagan Unicef dapat dilihat pada Gambar 5.

Gizi kurang Gizi


11.5% buruk

Stunting 18.6 % Masalah gizi Sangat kurus 2%

Kualitas konsumsi rendah Kejadian infeksi tinggi

PPH Konsumsi ISPA 13 529 kasus


76.8 Diare 44 kematian
DBD 669 kasus
HIV 180 kasus
PPH ketersediaan 20.5 PHBS RT 62.1%
Ketersediaan
AKE 86.8%pangan Sanitasi lingkungan KesehatanPelayanan
lingkungan
*(dari 85%) pengangkutan sampah
rendah
Minyak 0.1% danASI
ASI rendah
30.2% buruk
70.2%
Sayur dan buah 0.3%

Kemiskinan tinggi Akses jalan Pendidikan rendah


terganggu

Penduduk Rusak berat Lama sekolah


miskin 8.19% 11.8% 9.82 tahun

Pembangunan tidak merata

Gambar 5 Diagram causal model permasalahan pangan


IPM 76.82
dan gizi Kota Bogor

Indeks Pembangunan Manusia atau IPM di Kota Bogor ditahun adalah


76.82 (indeks ideal 100), dengan angka kemiskinan yang tinggi sebesar 8.19%
dan lama pendidikan rata-rata hanya 9.82 tahun. Selain itu jalan yang rusak berat
sebanyak 11.8% dari jumlah panjang jalan berisiko untuk menyebabkan akses
jalan untuk distribusi pangan terganggu. Masalah ketersediaan pangan yang
rendah terlihat dari angka PPH ketersedian hanya sebesar 20.5, angka kecukupan
energi hanya sebesar 86.8%, ketersediaan minyak 0.1%, serta ketersediaan sayur
dan buah hanya sebesar 0.3%. Angka yang sangat kecil didapat dari perhitungan
PPH dan NBM yang tidak mengikutsertakan pangan yang didapat dari kegiatan
impor dari luar Kota Bogor.
Sanitasi lingkungan di Kota Bogor terbilang rendah, yaitu hanya 62.1% dari
batasan minimal yang ditetapkan oleh Kemenkes RI yaitu 85%. Praktek
pemberian ASI eksklusif juga rendah, terlihat dari angka pemberian ASI eksklusif
hanya diberikan kepada 30.2% bayi. Pelayanan pengangkutan sampah yang hanya
memenuhi 70.2% dari kebutuhan masyarakat membuat kesehatan lingkungan
Kota Bogor terbilang kurang baik. Permasalahan tersebut membuat kualitas
konsumsi masyarakat Kota Bogor tidak memenuhi ketentuan, karena PPH
kosumsi hanya sebesar 76.8% serta kejadian infeksi terbilang tinggi. Kejadian
infeksi yang cukup tinggi dapat dilihat dari jumlah kasus, antara lain ISPA
sebanyak 13 529 kasus, diare sebanyak 44 kematian, DBD sebanyak 669 kasus,
dan HIV sebanyak 180 kasus. Permasalahan tersebut adalah akar dari masalah gizi
yang terjadi, yaitu kejadian stunting 18.6%, gizi kurang 11.5%, gizi buruk 1.9%,
dan sangat kurus 2%.
Objective tree permasalahan gizi di Kota Bogor digunakan untuk
menunjukkan akar masalah terciptanya permasalahan gizi oleh beberapa objek
atau kondisi dalam lingkungan tersebut. Akar masalah di Kota Bogor adalah
pembangunan yang tidak merata. Diagram objective tree permasalahan pangan
dan gizi di Kota Bogor yang mengacu pada bagan Unicef dapat dilihat pada
Gambar 6.

Perbaikan status gizi

Peningkatan kualitas Penurunan angka kejadian


konsumsi infeksi

Peningkatan sanitasi
Peningkatan Perbaikan kesehatan
lingkungan dan
ketersediaan pangan lingkungan
pemberianPenurunan
ASI angka Perbaikan akses jalan Perbaikan pendidikan
kemiskinan

Gambar 6 Diagram objective tree permasalahan pangan dan gizi Kota Bogor

Diagram objective tree pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pemerataan


pembangunan dapat berdampak positif terhadap perbaikan infrastruktur
khususnya perbaikan akses jalan. Selain itu,
pemerataan Pemerataan pembangunan pembangunan juga
dapat menurunkan angka kemiskinan
penduduk dan perbaikan pendidikan. Perbaikan keadaan tersebut dapat
memberikan dampak positif pula pada hal lain. Infrastruktur jalan yang lebih baik
akan menghasilkan sanitasi lingkungan yang lebih baik, seperti tidak ada lagi
genangan air saat hujan. Perbaikan infrastruktur jalan juga dapat memperbaiki
ketersediaan pangan di Kota Bogor sehingga distribusi kelompok bahan pangan
dapat meningkat, khususnya pada kelompok bahan pangan minyak serta sayur dan
buah. Tersedianya kelompok bahan pangan yang beragam diikuti dengan
penurunan angka kemiskinan akan meningkatkan kualitas konsumsi pangan
karena menguatnya daya beli masyarakat, yang juga didukung dengan kestabilan
harga. Penurunan angka kemiskinan dapat berpengaruh positif pada sanitasi
lingkungan karena akan tersedia dana untuk memelihara dan memfasilitasi
lingkungan.
Perbaikan pendidikan akan berdampak positif pada kesehatan lingkungan, hal ini
berkaitan dengan pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan limbah,
termasuk sampah, yang menjadi lebih baik. Selain itu dengan pendidikan yang
lebih baik masyarakat akan mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan serta
menerapkan praktek ASI eksklusif kepada bayinya. Semua perbaikan yang terjadi
pad tingkat ini akan berdampak positif juga kepada kualitas konsumsi dan
penurunan angka kejadian infeksi. Akhirnya dengan meningkatnya kualitas
konsumsi pangan dan menurunnya angka kejadian infeksi, akan tercapai status
gizi masyarakat yang lebih baik. Perbaikan status gizi masyarakat dapat tercermin
dari penurunan prevalensi masalah gizi, terutama pada balita yang berperan
sebagai generasi selanjutnya. Clustering dari permasalahan gizi yang terdapat di
Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 7.

Stunting (18.6 %), gizi kurang (11.5%),


gizi buruk (1.9%), sangat kurus (2%)

ISPA 13 529 kasus, Diare 44


Skor PPH Konsumsi
kematian, DBD 669 kasus,
(76.8)
dan HIV 180 kasus

PPH ketersediaan (20.5) PHBS RT Pelayanan


AKE (86.8%) 62.1% pengangkutan sampah
Minyak (0.1%) *(dari 85%) (70.2%)
Sayur dan buah (0.3%) ASI (30.2%)

Jalan rusak berat (11.8%), penduduk


miskin (8.19%), lama sekolah (9.82
tahun)

IPM (76.82)

Gambar 7 Clustering permasalahan pangan dan gizi di Kota Bogor


Clustering dari objective tree diatas yaitu kejadian stunting, gizi buruk,
gizi kurang, dan sangat kurus disebabkan secara langsung oleh kualitas konsumsi
pangan yang kurang baik yang ditandai oleh skor PPH konsumsi sebesar 76.8.
Kualitas konsumsi yang belum mencapai SPM ini juga dapat disebabkan secara
tidak langsung oleh ketersediaan beberapa bahan pangan yang masih kurang dari
skor minimal yang ada di PPH. Beberapa jenis pangan tersebut diantaranya
minyak dan lemak, sayur, serta buah. Selain itu, kejadian stunting, gizi lebih, gizi
kurang, dan sangat kurus secara langsung dapat disebabkan oleh status infeksi
ditandai oleh adanya 13 529 kasus ISPA, 44 kematian akibat diare, 669 kasus
DBD, dan 180 kasus HIV. Akan tetapi, permasalahan yang akan menjadi fokus
pada penyelesaian masalah gizi di Kota Bogor ini akan berfokus pada segi
konsumsi yang dipengaruhi oleh ketersediaan beberapa bahan pangan seperti
minyak, sayur dan buah. Kualitas konsumsi pangan yang belum mencapai SPM
juga dapat disebabkan oleh masalah pada saat pendistribusian bahan pangan,
misalnya akibat jalan rusak dan juga akses pangan baik daya beli masyarakat
maupun ketersediaan bahan pangan yang berkelanjutan. Penerapan PHBS dan
pemberian ASI yang masih kurang dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
masyarakat mengenai hal tersebut yang tercermin dari lama sekolah yang relatif
singkat yaitu 9.82 tahun. Masalah yang mendasari memicu terjadinya masalah
terkait gizi yang terjadi di Kota Bogor yaitu masalah ekonomi dan politik. Hal ini
tercermin dari nilai Ideks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 76.82.

ANALISIS KEBUTUHAN DAN TARGET PENYEDIAAN


PANGAN WILAYAH DI KOTA BOGOR

Proyeksi Kebutuhan Pangan berdasarkan PPH

Pemerintah Kota Bogor berusaha memenuhi kebutuhan pangan penduduk


secara berkepanjangan, oleh karena itu pemerintah menganalisis kebutuhan
masyarakat di masa mendatang dengan melakukan beberapa upaya secara
bertahap, antara lain dengan mengetahui kebutuhan aktual penduduk daerah
tersebut kemudian mengestimasikannya, serta memproyeksikannya. Tahun dasar
yang digunakan dalam memproyeksikan kebutuhan pangan penduduk Kota Bogor
adalah tahun 2014 sedangkan tahun ideal yang digunakan adalah tahun 2019.
Penetapan tahun ini disesuaikan dengan rencana strategis Kota Bogor yang
berlaku selama lima tahun yaitu dari tahun 2014 hingga tahun 2019.
Proyeksi kebutuhan pangan di Kota Bogor menggunakan kelompok pangan
strategis. Kelompok bahan pangan strategis digunakan karena paling umum
dikonsumsi. Sebelum menentukan kebutuhan pangan strategis, perlu diketahui
terlebih dahulu proyeksi skor PPH (Pola Pangan Harapan), proyeksi konsumsi
energi menurut PPH, dan proyeksi konsumsi pangan penduduk menurut PPH
setiap golongan bahan pangan. Kegiatan proyeksi kebutuhan pangan penduduk
Kota Bogor dilakukan dengan mempertimbangkan laju pertambahan penduduk
Kota Bogor mulai dari tahun 2014 hingga tahun 2019. Hasil proyeksi kebutuhan
pangan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Proyeksi konsumsi pangan menurut PPH
Proyeksi konsumsi pangan (gram/kap/hari)
No Kelompok pangan
2014 2015 2016 2017 2018 2019
1 Padi-padian 279.0 281.8 284.7 287.5 290.3 293.2
2 Umbi-umbian 25.1 39.7 54.2 68.7 83.2 97.7
3 Pangan hewani 102.1 111.0 119.9 128.8 137.7 146.6
4 Minyak dan lemak 27.3 26.7 26.1 25.6 25.0 24.4
5 Buah/biji berminyak 10.8 10.6 10.4 10.2 10.0 9.8
6 Kacang-kacangan 25.3 27.1 28.9 30.6 32.4 34.2
7 Gula 12.7 16.0 19.4 22.7 26.0 29.3
8 Sayur dan buah 177.7 191.0 204.4 217.7 231.0 244.3
9 Lain-lain 26.1 36.9 27.7 18.4 9.2 0.0
Total pangan 706.1 740.8 775.5 810.2 844.9 879.5

Data pada Tabel 11 menggambarkan bahwa pada tahun 2014 konsumsi


pangan seluruh golongan belum memenuhi konsumsi pangan ideal. Pemerintah
Kota Bogor harus melakukan proyeksi perubahan konsumsi perkelompok pangan
penduduknya berdasarkan proyeksi konsumsi pangan gram/kap/hari sehingga
dapat tercapai konsumsi ideal pada tahun 2019. Pada tahun 2014 konsumsi
kelompok pangan minyak dan lemak serta buah/biji berminyak sudah mampu
memenuhi konsumsi ideal, sehingga pemerintah perlu meningkatkan konsumsi
dari bahan pangan lain melalui berbagai program agar secara keseluruhan pangan
mampu mencapai ideal pada tahun 2019.

Target Penyediaan Pangan Wilayah

Penyediaan pangan Kota Bogor diperoleh dengan menambahkan 10% dari


total kebutuhan pangan strategis penduduk Kota Bogor. Penambahan 10% yang
dilakukan bertujuan menjaga jumlah ketersediaan agar dapat mencukupi
kebutuhan pangan wilayah, dalam hal ini Kota Bogor. Penambahan sebesar 10%
mempertimbangkan kemungkinan bahan pangan tersebut tercecer atau rusak
selama proses distribusi pangan ke masyarakat. Target penyediaan pangan
menurut PPH tahun 2014 hingga tahun 2019 dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Target penyediaan pangan Kota Bogor tahun 2014-2019


Pangan Target penyediaan pangan (ton/tahun)
strategis 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Beras 102 855.5 105 718.2 108 649.6 111 651.3 114 724.7 117 871.5
Jagung 444 456.4 469.1 482 495.3 508.9
Kedelai 9 734.8 10 603.2 11 499.1 12 423.1 13 375.9 14 358.2
Dg. sapi 3 677.7 4 068.4 4 471.8 4 887.9 5 317.4 5 760.3
Dg.
6 457.3 7 143.4 7 851.6 8 582.4 9 336.3 10 114.1
ayam
Telur 9 492.2 10 500.8 11 541.9 12 616.1 13 724.4 14 867.6
Gula 4 751.4 6 097.5 7 489.2 8 927.8 10 414.4 11 950.3
Minyak
9 000.3 8 967 8 929.8 8 888.5 8 843.1 8 793.3
goreng
Tabel 12 menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan strategis
penduduk Kota Bogor pada tahun 2014 dan tahun 2019, pemerintah Kota Bogor
perlu menyiapkan atau menyediakan pangan strategis sesuai dengan jumlah yang
terdapat pada Tabel 12 sehingga dapat mencukupi kebutuhan penduduk Kota
Bogor. Jumlah tersebut diasumsikan pertambahan penduduk Kota Bogor
mengalami peningkatan 1.75% per tahun, dimulai dari tahun 2014 hingga tahun
2019. Penyediaan pangan strategis yang paling menonjol yang harus dilakukan
oleh pemerintah Kota Bogor adalah penyediaan gula pasir, dimana peningkatan
kebutuhan sejak tahun 2014 hingga tahun 2019 sebesar 7 198.9 ton/tahun,
sedangkan penyediaan bahan pangan strategis berupa minyak goreng harus
dikurangi, sebesar 206.9 ton/tahun.
Kota Bogor memiliki lahan pertanian terbatas, sehingga produksi untuk
memenuhi kebutuhan penduduk Kota Bogor juga terbatas. Kebutuhan pangan
strategis Kota Bogor tidak akan terpenuhi jika hanya mengandalkan kapasitas
produksi lahan. Gap antara jumlah produksi pangan strategis dan penyediaan
pangan strategis di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Gap penyediaan pangan


Pangan Gap penyediaan pangan (ton/tahun)
strategis 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Beras -97 554.3 -79 160.7 -60 835.9 -42 581.2 -24 398.3 -6 288.8
Jagung 320.9 3 376.1 6 430.9 9 485.4 12 539.6 15 593.4
Kedelai -9 734.8 -10 603.2 -11 499.1 -12 423.1 -13 375.9 -14 358.2
Dg. sapi 4 274.5 8 981.1 13 675.2 18 356.4 23 024.4 27 678.9
Dg.
849.3 4 846.8 8 822.2 12 775 16 704.7 20 610.5
ayam
Telur -9 492.2 -10 500.8 -11 541.8 -12 616.1 -13 724.4 -14 867.6
Gula -4 751.4 -6 097.5 -7 489.2 -8 927.8 -10 414.4 -11 950.3
Minyak
-7 539.3 46 712.2 100 967.7 155 227.2 209 490.8 263 758.8
goreng

Gap penyediaan pangan Kota Bogor pada Tabel 13 menunjukkan bahwa


hampir seluruh bahan pangan strategis di Kota Bogor harus dibantu
pemenuhannya melalui kegiatan impor baik dari kabupaten Bogor sebagai daerah
terdekat ataupun dari daerah lain. Hal ini disebabkan oleh kemampuan produksi
Kota Bogor yang belum dapat memenuhi kebutuhannya jika hanya mengandalkan
produksinya.
Satu-satunya komoditas yang gap penyediaannya membaik dari tahun ke
tahun adalah beras, hal ini menunjukkan Kota Bogor sudah mampu menyediakan
beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Kota Bogor dengan cukup
baik. Produksi beras di Kota Bogor ditunjang dengan luas lahan yang tersedia dan
dialokasikan untuk menanam padi-padian, yaitu sebesar 1 733 ha (Dinas Pertanian
2012).
Komoditas lain seperti daging sapi dan daging ayam merupakan dua jenis
pangan strategis yang memiliki gap penyediaan yang bernilai positif sejak tahun
dasar (tahun 2014). Hal ini menunjukkan Kota Bogor tidak lagi memerlukan
impor dari wilayah lain untuk memenuhi kebutuhan terhadap kedua jenis pangan
ini, karena dari segi produksinya sudah cukup bahkan berlebih.
RENCANA STRATEGI PEMBANGUNAN BIDANG PANGAN
DAN GIZI DI KOTA BOGOR TAHUN 2014-2019

Visi
Visi Kota Bogor selama lima tahun mendatang, dimulai dari tahun 2014
hingga 2019 adalah terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga Kota
Bogor yang mandiri dan berkelanjutan berbasis sumberdaya dan kearifan lokal
menuju masyarakat sehat sejahtera.

Misi

Upaya untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan, misi pemerintah Kota
Bogor adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan ketahanan pangan berbasis pada karakteristik wilayah dan
keragaman sumber pangan menuju kemandirian pangan
2. Meningkatkan kemandirian masyarakat untuk pemantapan ketahanan
pangan tingkat rumah tangga melalui pembentukkan Kawasan Rumah
Pangan Lestari
3. Memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat melalui kegiatan
promosi dan penyuluhan yang dilakukan oleh Kantor Ketahanan Pangan
Kota Bogor
4. Memperbaiki infrastruktur jalan dalam rangka optimalisasi akses pangan
dan kegiatan distribusi pangan strategis
5. Meningkatkan ketahanan pangan pada keluarga miskin melalui program
bantuan pangan bagi keluarga miskin

Program

Adapun program yang disusun menyesuaikan dengan visi dan misi yang
ingin dicapai di Kota Bogor terkait bidang pangan dan gizi dapat dilihat pada
Tabel 14.

Tabel 14 Program Kota Bogor tahun 2014-2019


Indikator
Program Tujuan Sasaran Kegiatan SKPD
Keberhasilan
Program Mening- 1. Masyarakat 1. Pengembangan Jumlah produksi 1. KKP
Pemberda- katkan 2. Usaha Kecil industri kecil pangan olahan 2. Dis-
yaan produksi Menengah produk pangan lokal pe-
Masyarakat pangan 2. Pengembangan rin-
dan Usaha olahan UKM produk dag
Kecil lokal pangan dengan
Menengah peningkatan
Produk kualitas produk
Pangan pangan
3. Pembinaan
kelompok
masyarakat
untuk olahan
pangan lokal
KRPL 1. Mening Ibu-ibu PKK 1. Optimalisasi Jumlah rumah KKP
Indikator
Program Tujuan Sasaran Kegiatan SKPD
Keberhasilan
(Kawasan katkan pemanfaatan pangan lestari
Rumah produk- lahan
Pangan si pekarangan
Lestari) pangan rumah tangga
rumah 2. Pengembangan
tangga Kebun Sekolah
2. Mening 3. Pengembangan
katkan Pangan Pokok
peman- Lokal
faatan
lahan
pekara-
ngan
Percepatan Mening 1. Masyarakat 1. Promosi makan Skor PPH KKP
Pengane- katkan 2. Ibu-ibu ikan, telur, Konsumsi
karagaman skor PKK buah, dan sayur
Konsumsi PPH 2. Peningkatan
Pangan konsum- pengetahuan
si mas- wanita tentang
yarakat konsumsi ane-
Kota ka ragam
Bogor pangan
Program Mening Jalan dan 1. Perbaikan jalan Persentase jalan 1. Dis-
perbaikan katkan jembatan menuju pusat rusak hub
jalan dan akses yang rusak distribusi pa- 2. KKP
jembatan distri- ngan, misal :
sebagai busi jalan menuju
akses pangan pasar, swalayan
distribusi 2. Perbaikan jem-
pangan batan peng-
hubung di
dalam wilayah
Kota Bogor dan
antar wilayah
Kota Bogor
dengan wi-
layah peng-hasil
pangan bagi
Kota Bogor
Program Meningk Warga miskin 1. Program beras Jumlah 1. Din-
peningka- atkan Kota Bogor miskin penduduk sos
tan ketaha- ketahan- 2. Program pem- miskin 2. Bu-
nan pang- an pang- berian susu ba- log
an keluar- an gi anak dari ke- 3. KKP
ga miskin keluarga luarga miskin
miskin

DAFTAR PUSTAKA
[BPS Kota Bogor] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2015. Kota Bogor dalam
Angka. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
Irawan B. 2002. Elastisitas konsumsi kalori dan protein di tingkat rumah tangga. J
Agro Ekon; 20(1):25-47.
[Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Pedoman
Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Kemenkes RI.
. 2005. Profil kesehatan Indonesia tahun 2005. Jakarta (ID):
Kemenkes RI.
Mun’im A. 2012. Analisis pengaruh faktor ketersediaan, akses, dan penyerapan
pangan terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan:
pendekatan partial least square path modeling. J Agro Ekon; 30(1):41-58.
[Pemkot Bogor] Pemerintah Kota Bogor. 2015. Potensi usaha [artikel]. [diunduh
pada 2016 Maret 27]. Tersedia pada http://kotabogor.go.id/index.php
/page/detail/120/potensi-usaha#.VvaNe9J97 Mw.
[Pusat PKKP BKP] Pusat Penganekaragaman Konsumsi Badan Ketahanan
Pangan. 2013. Pedoman Analisis Konsumsi Pangan Mandiri di Wilayah
P2KP. Jakarta (ID): Pusat Penganekaragaman Konsumsi Badan Ketahanan
Pangan.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai