Oleh:
Kelompok 4
Yohana Elsa PS I14130002
Suci Larasati I14130024
Ribka Adelima I14130055
Adzra Izzati G I14130070
Sifay Febrika D I14130092
Melania Eriyani S I14144022
Nikita Debora P I14144023
Putri Ingga L I14144026
Asisten Praktikum:
Dena Aulia
Riska Amelia Mulyo
Latar Belakang
Tujuan
Tujuan Umum
Menganalisis situasi dan kebutuhan serta merumuskan rencana strategis
pembangunan bidang pangan dan gizi berbasis Pola Pangan Harapan di Kota
Bogor tahun 2014.
Tujuan Khusus
1. Menganalisis situasi pangan dan gizi, khususnya pada subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan, serta status gizi masyarakat
di Kota Bogor.
2. Menyusun kebutuhan dan target penyediaan pangan wilayah berdasarkan
PPH di Kota Bogor.
3. Menyusun strategi dan program pangan dan gizi wilayah sesuai dengan
situasi dan kebutuhan masyarakat serta potensi wilayah di Kota Bogor.
METODE
Desain Studi
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang telah tersedia dan
dapat di akses dari sumber resmi pemerintah Kota Bogor. Sumber data yang
digunakan berasal dari Kota Bogor Dalam Angka 2015. Data yang digunakan
terdiri dari keadaan umum wilayah, jumlah penduduk, laju pertumbuhan, data
produksi, dan data konsumsi pangan strategis, serta data mengenai kebijakan
daerah. Data tersebut diolah dan dianalisis untuk mendapatkan skor pola pangan
harapan (PPH) ketersediaan maupun skor pola pangan harapan (PPH) konsumsi di
Kota Bogor. Jenis dan sumber data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Analisis Data
Definisi Operasional
Distribusi pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran bahan pangan atau pangan kepada masyarakat, baik untuk
diperdagangkan atau tidak.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi suatu wilayah
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
Ketersediaan pangan adalah jumlah pangan yang disediakan di suatu wilayah
mencakup produksi, impor/ekspor, bibit/benih,bahan baku industri pangan
dan non pangan, penyusutan/tercecer dan yang tersedia untuk dikonsumsi
oleh masyarakat di wilayah tersebut.
Konsumsi pangan adalah banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun
beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.
NBM adalah penyajian data pangan dalam bentuk tabel yang dapat
menggambarkan situasi dan kondisi ketersediaan pangan untuk konsumsi
penduduk di suatu wilayah (negara/ propinsi/kabupaten-kota) pada waktu
tertentu (satu tahun).
Pangan adalah segala sumber yang berasal dari hayati maupun air yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia dari berbagai
sudut pandang.
Pola Pangan Harapan (PPH) adalah jumlah dan konsumsi pangan yang secara
agregat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi menurut kuantitas dan
kualitas maupun keberagamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial,
ekonomi, budaya, agama, daya terima dan cita rasa.
Skor PPH adalah angka yang menunjukkan mutu pangan secara kualitas dan
keragamannya yang dikonsumsi penduduk berdasarkan hasil survey
SUSENAS.
Ketersediaan Pangan
1. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan yang cukup merupakan komponen dari ketahanan
pangan. Adanya pangan yang cukup, seperti beras, pangan nabati, ternak, dan ikan
untuk memenuhi kebutuhan merupakan pengertian ketersediaan pangan (Suryana
2003 dalam Mun’im 2012). Ketersediaan pangan di suatu daerah sangat penting
diketahui agar kebutuhan pangan juga dapat terpenuhi. Berikut merupakan
analisis ketersediaan pangan Kota Bogor.
Angka kecukupan energi Kota Bogor pada tahun 2014 yang ditunjukkan
oleh Tabel 2 memiliki nilai total sebesar 86.8%. Persentase AKE tersebut
memiliki arti bahwa angka kecukupan energi di Kota Bogor tergolong kurang
(Kemenkes RI 1996). Perbaikan angka kecukupan gizi di Kota Bogor dapat
dilakukan dengan menambah ketersediaan dengan bahan pangan lain secara
seimbang. Bahan pangan lain yang ketersediaannya dapat ditambah dapat berasal
dari golongan umbi-umbian yang juga merupakan sumber energi, namun
ketersediaannya masih sedikit di Kota Bogor. Data angka kecukupan energi ini
dapat digunakan sebagai dasar dalam menganalisis ketersediaan pangan di Kota
Bogor secara kuantitatif.
Analisis ketersediaan pangan juga dapat dilakukan secara kualitatif
menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan
menunjukkan keberagaman berdasarkan sumbangan energi dari kelompok pangan
utama terhadap total energi. Semakin tinggi skor PPH suatu wilayah, maka
pangan wilayah tersebut semakin beragam. Selain itu, bila konsumsi yang
beragam ditambah dengan pembagian jumlah yang beribang dari pangan wilayah
tersebut, maka semakin baik kualitas zat gizinya. Pola Pangan Harapan dapat
ditentukan dari ketersediaan dan atau konsumsi pangan (Pusat PKKP BKP 2013).
Kualitas dan kuantitas ketersediaan pangan dapat membantu pemerintah dalam
menentukan kebijakan pangan di wilayah tersebut. Skor Pola Pangan Harapan
(PPH) ketersediaan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Skor PPH ketersediaan pangan Kota Bogor berdasarkan kelompok bahan
pangan
No Golongan pangan Skor PPH
1 Padi-padian 1.2
2 Umbi-umbian 0.4
3 Pangan hewani 7.2
4 Minyak dan lemak 0.0
5 Buah/biji bermiyak 0.0
6 Kacang-kacangan 10.0
7 Gula 0.0
8 Sayur dan buah 1.7
9 Lain-lain 0.0
Total 20.5
2. Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan, yang dinyatakan dalam UU No. 18 tahun 2012,
merupakan kemampuan untuk memproduksi pangan yang beraneka ragam yang
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
Abrar (2009) menyatakan bahwa suatu wilayah dikatakan mandiri pangan apabila
dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya minimal 90%. Kebutuhan dan
produksi pangan strategis Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kebutuhan dan produksi pangan strategis Kota Bogor
Kebutuhan Produksi Gap
Bahan pangan
(ton/tahun) (ton/tahun) (%)
Beras 73 896 5 301.1 -92.82
Jagung 319 765.0 139.81
Kedelai 3 569 0.0a -1.00
Daging sapi 989 3 122.5 215.72
Daging ayam 1 736 7 303.7 320.72
Telur 2 552 0.0a -1.00
Gula pasir 521 0.0a -1.00
Minyak goreng 8 093 0.0a -1.00
Cabai 8 771 0.0a -1.00
a
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf tidak ditemukan jumlah produksinya di Kota
Bogor. Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2015.
Distribusi Pangan
1. Sarana, Prasarana, dan Kelembagaan Distribusi Pangan
Kota Bogor memiliki luas wilayah sebesar 11 850 ha yang terdiri dari 6
kecamatan dan 68 kelurahan. Hapir semua jalan di wilayah Kota Bogor sudah
diaspal. Panjang jalan yang sudah diaspal mencapai 90.69% pada tahun 2014.
Jalan beton hanya sekitar 2.10% dan sisanya masih kerikil dan tanah. Kondisi
jalan di Kota Bogor didapatkan data jalan dengan kondisi baik mencapai 47.40%,
kondisi sedang mencapai 40.79%, dan sisanya sebesar 11.81% dalam kondisi
rusak ringan hingga berat. Dinas perdagangan bersama dengan dinas perindustrian
(Disperindag) mengatur proses distribusi termasuk pangan masuk atau keluar
Kota Bogor. Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor terlibat
dalam pelaksanaan arus transportasi termasuk mendukung terjadinya ditribusi
pangan di Kota Bogor.
Jumlah kendaraan bermotor yang mutasi masuk di Kota Bogor pada tahun
2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 121 unit,
sedangkan mutasi keluar mengalami peningkatan menjadi 127 unit. Terdapat 7
pasar di Kota Bogor dalam upaya melaksanakan transaksi jual beli yang
mengelola sebanyak 6 144 kios dan los. Kota Bogor merupakan salah satu kota
yang mengandalkan sektor perdagangan. Jumlah perusahaan perdagangan formal
pada tahun 2014 sebanyak 746 perusahaan. Jumlah tersebut terdiri dari 15 unit
perusahaan besar (dengan investasi di atas Rp 15 milyar), 369 unit perusahaan
kecil (dengan investasi Rp 50 juta hingga Rp 500 juta), dan 231 unit perusahaan
mikro.
Perdagangan melalui ekspor barang dan jasa di Kota Bogor pada tahun
2014 mengalami penurunan dibandingkan yang terlaksana pada tahun 2013.
Realisasi ekspor non migas di Kota Bogor mengalami penurunan pada tahun 2014
menjadi 121.10 juta US$ atau mengalami penurunan sekitar 43.47% dibandingkan
dengan realisasi ekspor non migas Kota Bogor pada tahun 2013.
Konsumsi Pangan
1. Kuantitas Konsumsi Pangan
Penilaian situasi konsumsi pangan dapat diterapkan baik di tingkat nasional
dan regional (propinsi dan kabupaten/kota), dengan menganalisis aspek kuantitas
konsumsi (BKP 2013). Penilaian aspek kuantitas konsumsi ditinjau dari volume
pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan.
Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat
memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal dengan Angka
Kecukupan Gizi (AKG).
Penilaian kuantitas konsumsi pangan masyarakat dapat dilakukan
menggunakan beberapa parameter, salah satunya yaitu Tingkat Konsumsi Energi
(TKE). Beberapa kajian menunjukkan bahwa bila konsumsi energi dan protein
terpenuhi sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan
beragam, maka zat-zat lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan. Penilaian
kuantitas konsumsi pangan di Kota Bogor menggunakan parameter AKE untuk
mengetahui apakah sudah melebihi standar atau masih di bawah standar
kecukupan yang diharapkan (BKP 2013). Berikut merupakan analisis kuantitas
konsumsi pangan Kota Bogor.
Gambar 1 Konsumsi energi per golongan pengeluaran Kota Bogor tahun 2011
Tabel 7 Skor PPH konsumsi pangan berdasarkan kelompok bahan pangan di Kota
Bogor tahun 2011
No Golongan pangan Skor PPH
1 Padi-padian 25.0
2 Umbi-umbian 0.6
3 Pangan hewani 23.7
4 Minyak dan lemak 5.0
5 Buah/biji bermiyak 1.0
6 Kacang-kacangan 4.7
7 Gula 1.1
8 Sayur dan buah 15.2
9 Lain-lain 0.0
Total 76.2
Skor PPH untuk konsumsi pangan di Kota Bogor tahun 2011 pada Tabel 7
sebesar 76.2. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan pangan di Kota Bogor
belum beragam. Suatu wilayah akan dikatakan memiliki konsumsi pangan yang
beragam apabila memiliki skor PPH > 90. Skor PPH per golongan bahan pangan
pada Tabel 7, menunjukkan bahwa ada beberapa golongan bahan pangan yang
konsumsinya sudah baik. Golongan bahan pangan tersebut yaitu padi-padian,
minyak dan lemak, dan buah/biji berminyak karena telah mendekati skor PPH
maksimal untuk golongan bahan pangan. Sedangkan golongan bahan pangan
lainnya masih jauh dari skor PPH maksimal untuk golongan bahan pangan.
Peningkatan skor PPH bahan pangan yang masih rendah dapat dilakukan dengan
menerapkan diversivikasi pangan.
Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu indikator derajat kesehatan suatu
masyarakat. Status gizi pada balita dapat dinilai dengan mengukur berat badan
(BB), tinggi badan (TB), dan mengetahui usianya yang kemudian dapat dilihat
melalui tiga indikator yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Masing-masing nilai dari
indikator tersebut kemudian di konversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore)
menggunakan baku antropometri balita WHO 2005 (Kemenkes RI 2013). Status
gizi pada tiap balita akan berbeda di tiap-tiap daerah. Berikut merupakan status
gizi balita di Kota Bogor dilihat dari tiga indikator tersebut.
1. Status Gizi Balita berdasarkan BB/U
Indikator status gizi berdasarkan BB/U memberikan indikasi masalah gizi
secara umum, dan tidak mengindikasikan masalah gizi yang bersifat kronis
ataupun akut. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa hal di
antaranya pendek, atau sedang menderita penyakit infeksi seperti diare dan lain-
lain (Kemenkes RI 2013). Status gizi balita Kota Bogor menggunakan indikator
BB/U dapat dilihat pada Gambar 2.
Determinan utama ketahanan pangan dan gizi pada suatu wilayah dapat
dilakukan dengan penentuan skala prioritas yang selanjutnya menjadi determinan
utama masalah ketahanan pangan dan gizi. Masalah pangan dan gizi merupakan
masalah yang kompleks sehingga penanganannya membutuhkan penyelesaian dari
berbagai faktor. Determinan masalah pangan dan gizi pada Kota Bogor
digambarkan dengan kerangka Unicef, dimana fokus permasalahan utama adalah
pada keadaan stunting . Faktor penyebab terdiri dari faktor langsung dan faktor
tidak langsung. Faktor langsung terdiri dari pola konsumsi makan yang tidak
seimbang dan adanya penyakit infeksi. Sedangkan untuk faktor tidak langsung
meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola asuh anak yang
kurang memadai, dan pelayanan kesehatan yang masih rendah. Kedua faktor
tersebut merupakan dampak dari masalah pokok yang terjadi diantaranya daya
beli yang rendah, akses pangan yang masih sulit, akses informasi yang terbatas,
akses pelayanan yang kurang memadai, kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi,
dan pendidikan yang rendah. Dimana semua permasalahan tersebut diawali dari
krisis ekonomi, politik, dan sosial.
Stunting, kurangnya konsumsi umbi-umbian, dan jalan yang rusak berat
merupakan masalah yang utama di Kota Bogor karena masalah tersebut dinilai
sangat penting. Teknologi yang tersedia untuk menyelesaikan masalah tersebut
tergolong sulit dan belum cukup tersedia di wilayah tersebut.Walaupun kondisi
sumber daya di daerah tersebut mendukung, namun masalah tersebut tergolong
penting untuk diperhatikan karena teknologi tidak mendukung diselesaikannya
masalah tersebut. Diagram causal model permasalahan gizi di Kota Bogor dengan
mengacu pada bagan Unicef dapat dilihat pada Gambar 5.
Peningkatan sanitasi
Peningkatan Perbaikan kesehatan
lingkungan dan
ketersediaan pangan lingkungan
pemberianPenurunan
ASI angka Perbaikan akses jalan Perbaikan pendidikan
kemiskinan
Gambar 6 Diagram objective tree permasalahan pangan dan gizi Kota Bogor
IPM (76.82)
Visi
Visi Kota Bogor selama lima tahun mendatang, dimulai dari tahun 2014
hingga 2019 adalah terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga Kota
Bogor yang mandiri dan berkelanjutan berbasis sumberdaya dan kearifan lokal
menuju masyarakat sehat sejahtera.
Misi
Upaya untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan, misi pemerintah Kota
Bogor adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan ketahanan pangan berbasis pada karakteristik wilayah dan
keragaman sumber pangan menuju kemandirian pangan
2. Meningkatkan kemandirian masyarakat untuk pemantapan ketahanan
pangan tingkat rumah tangga melalui pembentukkan Kawasan Rumah
Pangan Lestari
3. Memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat melalui kegiatan
promosi dan penyuluhan yang dilakukan oleh Kantor Ketahanan Pangan
Kota Bogor
4. Memperbaiki infrastruktur jalan dalam rangka optimalisasi akses pangan
dan kegiatan distribusi pangan strategis
5. Meningkatkan ketahanan pangan pada keluarga miskin melalui program
bantuan pangan bagi keluarga miskin
Program
Adapun program yang disusun menyesuaikan dengan visi dan misi yang
ingin dicapai di Kota Bogor terkait bidang pangan dan gizi dapat dilihat pada
Tabel 14.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS Kota Bogor] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2015. Kota Bogor dalam
Angka. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
Irawan B. 2002. Elastisitas konsumsi kalori dan protein di tingkat rumah tangga. J
Agro Ekon; 20(1):25-47.
[Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Pedoman
Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Kemenkes RI.
. 2005. Profil kesehatan Indonesia tahun 2005. Jakarta (ID):
Kemenkes RI.
Mun’im A. 2012. Analisis pengaruh faktor ketersediaan, akses, dan penyerapan
pangan terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan:
pendekatan partial least square path modeling. J Agro Ekon; 30(1):41-58.
[Pemkot Bogor] Pemerintah Kota Bogor. 2015. Potensi usaha [artikel]. [diunduh
pada 2016 Maret 27]. Tersedia pada http://kotabogor.go.id/index.php
/page/detail/120/potensi-usaha#.VvaNe9J97 Mw.
[Pusat PKKP BKP] Pusat Penganekaragaman Konsumsi Badan Ketahanan
Pangan. 2013. Pedoman Analisis Konsumsi Pangan Mandiri di Wilayah
P2KP. Jakarta (ID): Pusat Penganekaragaman Konsumsi Badan Ketahanan
Pangan.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.