Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHLAN
1.1 Latar Belakang
Bencana merupakan peristiwa yang biasanya mendadak (bisa perlahan) disertai
jatuhnya banyak korban dan bila tidak ditangani dengan tepat akan menghambat,
mengganggu dan merugikan masyarakat, pelaksanaan dan hasil pembangunan. Indonesia
merupakan super market bencana. Bencana pada dasarnya karena gejala alam dan akibat
ulah manusia. Untuk mencegah terjadinya akibat dari bencana, khususnya untuk
mengurangi dan menyelamatkan korban bencana, diperlukan suatu cara penanganan yang
jelas (efektif, efisien dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Ditingkat nasional ditetapkan
Bakornas-PBP (sekarang Banas), Satkorlak-PBP dipropinsi dan Satlak-PBP dikabupaten
kota. Unsur kesehatan tergabung didalamnya.
Dalam keadaan sehari-hari maupun saat terjadi bencana, penanganan pasien gadar
melibatkan pelayanan pra RS, di RS maupun antar RS, memerlukan penanganan terpadu
dan pengaturan dalam sistem.
Disadari untuk peran jajaran kesehatan mulai tingkat pusat hingga desa memerlukan
kesiapsiagaan dan berperan penting dalam penanggulangan bencana, mengingat dampak
yang sangat merugikan masyarakat. Untuk itu seluruh jajaran kesehatan perlu mengetahui
tujuan dan langlah-langkah kegiatan kesehatan yang perlu ditempuh dalam upaya
kesiapsiagaan dan penanggulangan secara menyeluruh.
Sebelumnya bertepatan pada acara puncak Hari Kesehatan Nasional ke – 36 pada
tanggal 15 November 2000 di Makasar dicanangkan konsep “Safe community” yang
dikenal dengan Deklarasi Makasar 2000. Konsep ini mengadopsi dari World Health
Organization (WHO) yang kemudian digunakan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia sebagai salah satu pilar untuk mencapai visi pembangunan kesehatan Indonesia
Sehat 2020, dengan hal ini diharapkan tercapai keterpaduan antara pemerintah dan
masyarakat dalam menciptakan keadaan sehat dan aman bagi bangsa dan negara (Safe
community) menghadapi gawat darurat sehari-hari maupun bencana dan terlaksananya
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) menuju “Indonesia Sehat
2020” dan “Safe community” (Kemenkes, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian safe community
2. Apa saja sistem penanggulangan gawat darurat terpadu
3. Bagaimana pedoman pengembangan pelayanan gawat darurat di rumah sakit
4. Apa saja tanggap darurat pada bencana
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari safe community
2. Untuk mengetahui sistem penanggulangan gawat darurat terpadu
3. Untuk mengetahui pedoman pengembangan pelayanan gawat darurat di rumah sakit
4. Untuk mengetahui tanggap darurat pada bencana
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Safe Community
Bencana merupakan peristiwa yang biasanya mendadak (bisa perlahan) disertai jatuhnya
banyak korban dan bila tidak ditangani dengan tepat akan menghambat, mengganggu dan
merugikan masyarakat, pelaksanaan dan hasil pembangunan. Indonesia merupakan super market
bencana. Bencana pada dasarnya karena gejala alam dan akibat ulah manusia. Untuk mencegah
terjadinya akibat dari bencana, khususnya untuk mengurangi dan menyelamatkan korban bencana,
diperlukan suatu cara penanganan yang jelas (efektif, efisien dan terstruktur) untuk mengatur
segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Ditingkat
nasional ditetapkan BNPB, BPBD Propinsi dan BPBD dikabupaten kota. Unsur kesehatan
tergabung didalamnya.
Dalam keadaan sehari-hari maupun bencana, penanganan pasien gadar melibatkan pelayanan
pra RS, di RS maupun antar RS. Memerlukan penanganan terpadu dan pengaturan dalam sistem.
Ditetapkan SPGDT-S dan SPGDT-B (sehari-hari dan bencana) dalam Kepres dan ketentuan
pemerintah lainnya. Disadari untuk peran jajaran kesehatan mulai tingkat pusat hingga desa
memerlukan kesiapsiagaan dan berperan penting dalam penanggulangan bencana, mengingat
dampak yang sangat merugikan masyarakat. Untuk itu seluruh jajaran kesehatan perlu mengetahui
tujuan dan langlah-langkah kegiatan kesehatan yang perlu ditempuh dalam upaya kesiapsiagaan
dan penanggulangan secara menyeluruh.
Hamurwono(2002) menyatakan bahwa Safe Community, (SC) adalah keadaan sehat dan aman
yang tercipta dari, oleh dan untuk masyarakat. Pemerintah dan teknokrat merupakan fasilitator dan
pembina. Pelayanan kasehatan di Indonesia beralih ke dan berorientasi pada paradigma sehat.
Untuk mencapai hal tsb. dicanangkan program Safe Community oleh Depkes pada HKN 36 ( Hari
Kesehatan Nasional ) di Makasar adalah gerakan agar masyarakat merasa sehat, aman dan
sejahtera dimanapun mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan profesi maupun
masyarakat. Gerakan ini juga terkandung dalam konstitusi WHO.
Mempunyai dua aspek, care dan cure, Care adalah adanya kerja-sama lintas sektoral terutama
jajaran non kesehatan untuk menata perilaku dan lingkungan di masyarakat untuk mempersiapkan,
mencagah dan melakukan mitigasi dalam menghadapi berbagai hal yang berhubungan dengan
kesehatan, keamanan dan kesejahteraan. Cure adalah peran utama sektor kesehatan dibantu sektor
lain terkait dalam upaya melakukan penanganan keadaan dan kasus-kasus gadar. Kemampuan
masyarakat melakukan pertolongan pertama yang cepat dan tepat pra RS merupakan awal
kegiatan penanganan dari tempat kejadian dan dalam perjalanan ke RS untuk mendapatkan
pelayanan yang lebih efektif di RS.
Melalui gerakan SC diharapkan dapat diwujudkan upaya-upaya untuk mengubah perilaku mulai
dari kelompok keluarga, kelompok masyarakat dan lebih tinggi hingga mencapai seluruh
masyarakat Indonesia. Gerakan ini harus dikembangkan secara sistematis dan berkesinambungan
dengan mengikutsertakan berbagai potensi. Gerakan ini ditunjang komponen dasar : Subsistem
komunikasi, transportasi, yankes maupun non kesehatan termasuk biaya yang bersinergi.
Syaiful (2002) menjelaskan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kepedulian masyarakat dan profesi kesehatan
dalam kewaspadaan dini kegadaran.
2. Terlaksananya koordinasi lintas sektor terkait dalam SPGDT, baik untuk keamanan dan
ketertiban (kepolisian), unsur penyelamatan (PMK) dan unsur kesehatan (RS, Puskesmas,
ambulans dll) yang tergabung dalam satu kesatuan dengan mewujudkan PSC.
3. Terwujudnya subsistem komunikasi dan transportasi sebagai pendukung dalam satu sistem,
SPGDT.
Fasilitas dan Peralatan yang diperlukan adalah:
1. Fasilitas yang disediakan harus dapat menjamin efektifitas bagi pelayanan kepada masyarakat
termasuk pelayanan UGD di RS dengan waktu pelayanan 24 jam.
2. Sarana dan prasarana, peralatan dan obat yang disiapkan sesuai dengan standard yang
ditetapkan Depkes.
3. Adanya subsistem pendukung baik komunikasi, transportasi termasuk ambulans dan
keselamatan kerja.
Kebijakan dan prosedur Safe community yaitu:
1. Tertulis agar dapat dievaluasi dan disempurnakan.
2. Ditetapkan kebijakan pelayanan kasus gadar pra RS, RS dan rujukannya termasuk adanya
perencanaan RS dalam penanganan bencana (Hospital disaster plan).
3. Ditetapkan adanya PSC ditiap daerah dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan
keselamatan kerja dan kegadaran sehari-hari.
Visi gerakan SC adalah :
Menjadi gerakan di masyarakat yang mampu melindungi masyarakat dalam keadaan kedaruratan
sehari-hari dan melindungi masyarakat dalam situasi bencana maupun atas dampak akibat
terjadinya bencana, sehingga tercipta perilaku masyarakat dan lingkungan sekitarnya untuk
terciptanya situasi sehat dan aman.
Misi gerakan SC yaitu :
1. Mendorong terciptanya gerakan masyarakat untuk menjadi sehat, aman dan sejahtera.
2. Mendorong kerja-sama lintas sektor dan program dalam gerakan mewujudkan
masyarakat sehat dan aman.
3. Mengembangkan standar nasional dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
4. Mengusahakan dukungan pendanaan bidang kesehatan dari pemerintah, bantuan luar negeri
dan bantuan lain dalam rangka pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan
terutama dalam keadaan darurat. Menata sistem pendukung pelayanan kesehatan pra RS dan
playanan kesehatan di RS dan seluruh unit pelayanan kesehatan di Indonesia.
Nilai dasar
1. SC meliputi aspek care (pencegahan, penyiagaan dan mitigasi),
2. Equity, adanya kebersamaan dari institusi pemerintah, kelompok/organisasi profesi
dan masyarakat dalam gerakan SC.
3. Partnership, menggalang kerja-sama lintas sektor dan masyarakat untuk mencapai tujuan
dalam gerakan SC.
4. Net working, membangun suatu jaring kerja-sama dalam suatu sistem dengan melibat
kan seluruh potensi yang terlibat dalam gerakan SC.
5. Sharing, memiliki rasa saling membutuhkan dan kebersamaan dalam memecahkan segala
permasalahan dalam gerakan SC.

Tujuan SC yaitu :
1. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam gerakan SC dan menata perilaku
masyarakat dan ingkungannya menuju perilaku sehat dan aman.
2. Membangun SPGDT yang dapat diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat.
3. Membangun respons masyarakat pada pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat melalui
pusat pelayanan terpadu antara lain PSC dan potensi penyiagaan fasilitas ke
sehatan serta peran serta masyarakat dalam menghadapi bencana.
4. Mempercepat response time kegadaran untuk menghindari kematian dan kecacadan
yang seharusnya tidak perlu terjadi.

2.2 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu


Menurut Depkes tahun 2006 dalam buku pedoman PPGD menyatakan sistem Penanggulangan
Gawat Terpadu adalah sistem yang merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan
didukung berbagai kegiatan profesi (multi disiplin dan multi profesi) untuk menyelenggarakan
pelayanan terpadu bagi penderita gadar baik dalam keadaan bencana maupun sehari-hari.
pelayanan medis sistem ini terdiri 3 subsistem yaitu pelayanan pra RS, RS dan antar RS dan
memiliki 8 komponen yaitu (Wirjoatmodjo, 2002):
1. Komponen/ Fase Deteksi
2. Komponen/ Fase Supresi
3. Komponen/ Fase Pra Rumah Sakit
4. Komponen / Fase Rumah Sakit
5. Komponen/Fase Rehabilitasi
6. Komponen Penanggulangan Bencana
7. Komponen Evaluasi/”Quality Control”
8. Komponen Dana
SPGDT bertujuan untuk tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu
bagi setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat darurat. Upaya pelayanan
kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya mencakup suatu rangkaian kegiatan yang
harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau cacat yang
mungkin terjadi (Depkes, 2006)..
Cakupan pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi :
a. Penanggulangan penderita ditempat kejadian;
b. Transportasi penderita gawat darurat dari tempat kejadian ke sarana kesehatan yang lebih
memadai;
c. Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk menunjang kegiatan penanggulangan penderita
gawat darurat;
d. Upaya rujukan ilmu pengetahuan, pasien dan tenaga ahli.
e. Upaya penanggulangan penderita gawat darurat ditempat rujukan (unit gawat darurat dan ICU).
f. Upaya pembiayaan penderita gawat darurat.
2.2.1 Fase Deteksi
Fase ini dapat dideteksi dimana sering terjadi kecelakaan seperti Kecelakaan Lalu Lintas
(KLL), derah bekerja di pabrik yang berbahaya, tempat olahraga/main anak sekolah yang tidak
memenuhi syarat, di daerah mana sering terjadi tindak criminal, gedung umum mana rawan terjadi
rubuh/konstruksi tidak sesuai dengan kondisi tanah, daerah mana rawan terjadi gempa.
2.2.2 Fase Supresi
Kalau kita dapat mendeteksi apa yang menyebabkan kecelakaan atau diaman dapat terjadi
bencana/korban missal mak kita dapat melakukan supresi :
 Perbaikan konstruksi jalan (Engineering)
 Pengetahuan peraturan lalu lintas (Enforcement)
 Perbaikan kualitas helm
 Pengetahuan undang-undang lalu lintas
 Pengetahuan peraturan keselamatan kerja
 Pengetatan peraturan keselamatan kerja
 Peningkatan patrol keamanan
 Membuat “Disaster Mapping” Dll

2.2.3 Sistem Pelayanan Medik Pra Rumah Sakit


Rosita,(2002) menjelaskan komponen Pra Rumah Sakit ( Luar Rumah Sakit ) meliputi:
1. Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Orang Awam dan Petugas
Kesehatan (Sub-Sistem Ketenagaan)
Pada umumnya yang pertama menemukan penderita gawat darurat ditempat musibah
adalah masyarakat yang dikenal dengan istilah orang awam. Oleh karena itu, sangatlah
bermanfaat sekali bila orang awam diberi dan dilatih pengetahuan dan keterampilan
dalam penanggulangan penderita gawat darurat.
a. Klasifikasi orang awam
Ditinjau dari segi peranan dalam masyarakat orang awam dibagi 2 (dua) golongan :
1) Golongan awam biasa antara lain seperti, guru, pelajar, ibu rumah tangga,
petugas hotel dan lain-lain.
2) Golongan awam khusus antara lain :
a) Anggota polisi
b) Petugas Dinas Pemadam Kebakaran
c) Satpam/hansip
d) Petugas DLLAJR
e) Petugas SAR (Search and Rescue)
f) Anggota pramuka (PMR)
Kemampuan penanggulangan penderita gawat darurat (Basic LifeSupport) yang
harus dimiliki oleh orang awam adalah:
a) Cara meminta pertolongan
b) Resusitasi kardiopulmoner sederhana
c) Cara menghentikan perdarahan
d) Cara memasang balut/bidai
e) Cara transportasi penderita gawat darurat
f) Tenaga perawat/ paramedic
Di samping pengetahuan dasar keperawatan yang telah dimiliki oleh prawat, mereka
memperoleh tambahan pengetahuan penanggulangan penderita gawat darurat
(Advance Life Suport) untuk melanjutkan pertolongan yang sudah diberikan.
b. Tenaga Medis (Dokter Umum)
Disamping pengetahuan medis yang telah dikuasai, dokter umum perlu mendapat
pengetahuan dan keterampilan tambahan agar mampu menanggulangi penderita
gawat darurat.
Dalam memasyarakatkan penanggulangan penderita gawat darurat yang penting
adalah :
 Semua pusat pendidikan penanggulangan penderita gawat darurat mempunyai
kurikulum yang sama
 Mempunyai sertifikat dan lencana tanda lulus yang sama
Dengan demikian instansi manapun yang menyelenggarakan pendidikan
penanggulangan penderita gawat darurat, para siswa akan mempunyai kemampuan
yang sama. Lencana akan memudahkan mereka memberikan pertolongan dalam
keadaan sehari-hari maupun bila ada bencana.
2. Upaya Pelayaan Transportasi Penderita Gawat Darurat (Sub-Sistem
Transportasi)
AGD 118, Basic Trauma And Cardiac Life Support menguraikan bahwa tujuan
transportasi adalah memindahkan menderita gawat darurat dengan aman tanpa
memperberat keadaan penderita ke sarana kesehatan yang memadai. Persyaratan yang
harus dipenuhi untuk transportasi penderita gawat darurat adalah:
1) Sebelum diangkat
a) Gangguan pernapasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi
b) Perdarahan telah dihentikan
c) Luka-luka telah ditutup
d) Patah tulang telah difiksasi
2) Selama perjalanan, harus dimonitor kesadaran, pernapasan, tekanan darah, denyut
nadi dan keadaan luka
3) Ambulans
Ambulans gawat darurat harus mencapai tempat kejadian 6-8 menit supaya dapat
mencegah kematian karena sumbatan jalan napas, henti napas, henti jantung, dan
perdarahan massif.
3. Upaya Pelayanan Komunikasi Medik untuk Penanggulangan Penderita Gawat
Darurat (Sub-Sistem Komunikasi)
Pada dasarnya pelayanan komunikasi di sektor kesehatan terdiri dari:
a. Komunikasi Kesehatan
Sistim komunikasi ini digunakan untuk menunjang pelayanan kesehatan di bidang
administratif.
b. Komunikasi Medis
Sistim komunikasi ini digunakan untuk menunjang pelayanan kesehatan di bidang
teknis-medis.
 Tujuan : untuk mempermudah dan mempercepat penyampaian dan penerimaan
informasi dalam menanggulangi penderita gawat darurat.
 Fungsi komunikasi medis dalam penanggulangan penderita gawat darurat
- Untuk memudahkan masyarakat dalam meminta pertolongan ke sarana
kesehatan (akses kedalam sistem gawat darurat).
- Untuk mengatur dan membimbing pertolongan medis yang diberikan di
tempat kejadian dan selama perjaanan ke sarana kesehatan yang lebih
memadai.
- Untuk mengatur dan memonitor rujukan penderita gawat darurat dari
puskesmas ke rumah sakit atau antar rumah sakit.
- Untuk mengkoordinir penanggulangan medis korban bencana
Jenis Komunikasi yang digunakan adalah:
1. Komunikasi tradisionil, seperti kentongan, beduk, trompet dll
2. Komunikasi modern, seperti telepon/ telepon genggam, radio, computer dll
Sarana komunikasi yang digunakan adalah berupa Sentral komunikasi (pusat
komunikasi). Fungsi Pusat komunikasi adalah untuk mengkoordinir penanggulangan
penderita gawat darurat mulai dari tempat kejadian sampai ke sarana kesehatan yang
sesuai yaitu dengan:
 Menerima dan menganalisa permintaan pertolongan
 Mengatur ambulans terdekat ke tempat kejadian
 Menghubungi rumah sakit terdekat untuk mengetahui fasilitas yang tersedia
(tempat tidur kosong) pada saat itu
 Mengatur / memonitor rujukan penderita gawat darurat
 Menjadi pusat komando dan mengkoordinir penanggulangan medis korban
bencana
2.2.4 Fase Rumah Sakit
Di Indonesia terdapat sekitar 982 Rumah Sakit dengan UGD nya dengan kualitas yang
bebeda-beda dan tidak ada kerjasama/koordinasi dalam penanggulanagn penderita gawat
darurat maupun penanggulangan bencana. Di suatu daerah sebaiknya kerja sama antar
rumah sakit dilakukan dengan “”Regionalisasi”, seperti urban, Trauma Center Level I
sebaiknya hanya satu dan biasanya adalah “Teaching Hospital” dimana ada pendidikan
specialis yang merupakan Recidency Service dan juga mempunyai tanggung jawab
melakukan (PPKK, 2003) :
 “Quality Assurance/Control
 Penelitian dalam bidang trauma maupun gawat darurat
 Melaksanakan Pelatihan ACLS dan ATLS
 Memonitor/mengatur rujukan penderita gawat darurat dll
2.2.5 Fase Rehabilitasi
Semua penderita yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus dilakukan
rehabilitasi secara mental maupun fisik sehingga mereka dapat kemabli berfungsi di
dalam kehidupan masyarakat.
2.2.6 SPGDT dalam Penanggulangan Bencana
Dalam penanggulangan bencana ada beberapa prinsip yang harus disepakati (Sudrajat,
2006):
 Penanggulangan bencana adalah eskalasi penanggulangan gawat darurat sehari-
hari
 Penanggulangan bencana tidak akan berhasil kalau penanggulanagn gawat darurat
sehari-hari buruk
 Bencana dapat terjadi di daerah “Urban” atau daerah “Rural”
Bencana dapat terjadi :
 Di rumah sakitnya sendiri
 Korban bencana di bawa ke UGD/RS
 Bencana dalam kota (Urban)
 Bencana di luar (Rural)
 Bencana di luar pulau (Regional)
 Bencana Nasional
 Bencana Huru-hara/Perang
Maka semua RS harus mempunyai “disaster plan” sesuai dengan keadaan di atas.
2.3 Pedoman Pengembangan Pelayanan Gawat Darurat di Rumah Sakit
2.3.1 Tujuan
Tujuan suatu unit gawat darurat (UGD) harus mampu memberikan pelayanan dengan
kualitas tinggi pada masyarakat dengan problem medis akut. Interpretasi nya adalah
harus mampu:
a. Mencegah kematian dan cacat
b. Melakukan rujukan
c. Menanggulangi korban bencana
Kriteria :
a. Unit Gawat Darurat harus buka 24 jam
b. Unit Gawat Darurat juga harus melayani penderita-penderita “false emergency”
tetapi tidak boleh mengganggu/ mengurangi mutu pelayanan penderita-penderita
gawat darurat.
c. Unit Gawat Darurat sebaiknya hanya melakukan “primary care”.
Sedangkan “definitive care” dilakukan di tempat lain dengan kerjasama yang
baik.
d. Unit Gawat Darurat harus meningkatkan mutu personalia maupun masyarakat
sekitarnya dalam penanggulangan penderita gawat darurat. Interpretasi nya,
mengadakan kursus-kursus untuk personalianya sendiri maupun penyuluhan
kepada masyarakat dalam penanggulangan penderita gawat darurat (PPGD).
e. Unit Gawat Darurat harus melakukan riset guna meningkatkan mutu/kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat sekitarnya.
2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi SPGDT
Ada beberapa hal yang mempengaruhi SPGDT pada penanggulangan bencana di
Rumah Sakit, yaitu:
1. Akses
 Telepon 118 untuk pertolongan GD Medik .
 Telepon 110 dan 113 untuk pertolongan kepolisian dan kebakaran.
Ketiga akses ini merupakan panduan yang dapat memberikan respons
bersama, baik untuk sehari-hari maupun bila terjadi bencana karena itu akses
ketiga nomor ini harus ditempatkan di dalam suatu ruangan. Adapun
tempatnya dapat dipilih di suatu RS, Polda/Polres, Pemda, dll. Sedangkan
untuk daerah rurai di Puskesmas, Polsek dll.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah saran hubungan antara :
1) Masyarakat (minta tolong) ke system/akses
2) Komunikasi antar lembaga/unit dalam SPGDT
 “Alarm Center” yang bertugas sebagai pusat komunikasi operasional
SPGDT
 Mempunyai kemampuan secara local, nasional maupun internasional
 Design dari alarm center
 Jenis alat komunikasi berupa radio, telpon, internet, dll
 Bahasa menggunakan “Ten Code”
Bila terjadi bencana dibentuk :
“Outside Command:”
“Onsite Command”
Kedua sistem komando ini mempunyai komunikasi dengan frekuensi yang
berbeda tetapi terkoordinasi. Secara nasional dikenal Crisis Center yang berada
di DEPKES dapat mempunyai fungsi di bawah koordinasi “Outside Command”
2.3.3 Penanggulangan Di Tempat Kerja
1. Awam/Awam Khusus
Penderita umumnya ditemukan oleh orang terdekat dapat dikategorikan sebagai awam
(guru sekolah, orang tua, supir sekretaris dll) atau awam khusus (petugas pemadam
kebakaran, pramuka, polisi, satpam dll) Kemampuan awam dan awam khusus dalam
hal :
 Cara meminta tolong
 Bantuan Hidup Dasar (BLS)
 Mengkontrol pendarahan
 Memasang pembalut dan bidai
 Transportasi
2. Paramedik I, II, III
Keberhasilan Paramedik AGD 118 sangat ditentukan oleh waktu tanggap
(Response Time). Penanggulangan terdiri atas assessment, resusitasi, ekstrikasi,
stabilisasi. Keempat komponen penanggulangan ini dilakukan secara simultan dengan
prioritas ABCDE dengan selalu memperhatikan tulang belakang.
Pengamanan “Airway” dan “C-Spine” serta memberikan “High Flow” 02,
mengatur posisi kepala penderita, penggunaan “Oropharyngeal Tube”, “Endotraceal
Tube”, serta tindakan “Cricothyroidotomy” sambil tetap menjaga “C-Spine”. Pada
kasus cedera toraks, paramedic dapat melakukan :Needlethoracocenthesis: sampai
pemasangan “Chest Tube”. Mengontrol pendarahan, mengatasi syok hipovolemik
dengan pemasangan jalur intravena, pemasangan PASG pada frkatur pelvis, pembalut
tekan, stabilisasi frkatur dengan traction splint, air splint.
Terhadap gangguan neurologis, paramedic dapat menilai pupil, tingkat kesadaran
dengan AVPU/Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma Score. Penggunaan obat-
obatan sesuai dengan protocol tetap. Stabilisasi penderita sampai siap untuk di
transportasi dengan prissip kerja “Do Not Further Harm”.
3. Transportasi
 Prinsip transportasi pra RS ialah untuk mengangkut penderita GD dengan cepat
dan aman ke RS/sarana yang sesuai, tercepat dan terdekat.
 Sarana angkutan umum ialah kedaraan darat:
- Tradisional
- Modern
- Khusus/medic disebut sebagi ambulan darat, terdiri atas ambulan gawat
darurat, ambulan transportasi dan ambulan mobile unit (pelayanan medik
bergerak).
 Kendaraan laut/air
- Tradisional
- Modern
- Khusus/medic disebut sebagai ambulan laut sungai
 Kendaraan udara
- “Fixed Wing”
- Helikopter (“Rotary Wing”)
 Kendaraan ambulan darat/khusus dapat difungsikan sebagia ambulan RS lapangan
dan triase lapangan pada keadaan korban masal atau bencana.
 Ambulan sepeda motor:
Merupakan kedaran khusus bagi paramedic penolong yang menuju ke lokasi
penderita GD mendahului roda empat. Ambulan sepeda motor ini harus
dilengkapi perlatan resusitasi dan stabilisasi yang “Portable” sesuia
kemampuan/daya angkut sepeda motor. Peralatan tersebut terutama ialah
“Airway” dan :Breathing” box, tabung oksigen kecil, bidai pneumatic atau vakum,
:Neck Collar”, peralatan bedah minor, kotak obat-obatan dan infuse, EKG,
peralatan “DC Shock” dengan batr ringan.
 Puskesmas keliling dapat ditingkatkan menjadi ambulan untuk pelayanan “Rural”
AGD 188.
Dalam menjalankan tugas fungsi transportasi, ambulan harus memenuhi
persyaratan :
- Kelayakan jalan kendaraan
- Kelengkapan, peralatan non medic
- Kelengkapan peralatan non medic
- Personal Paramedik yang mempunyai SIM dan mentaati tata tertib
operasionla yang dibuat oleh lembaga AGD 118.
4. Personil
Jenis personil yang diikutsertakan adalah:
 Dokter
 Paramedik Tingkat I, II, III
 Perawat
 Non Medik: Administrator, mekanik, pekarya dll.
 Paramedik
Merupakan personil mutlak harus mempunyai keterampilan dalam
penanggulangan penderita GD pra RS (dan kadang-kadang di UGD).
5. Organisasi
Keberhasilan penanggulangan penderita dengan keadaan yang berat sangat
bergantung pada pengembalian dan mempertahankan oksigenisasi jaringan tubuh,
sehingga dapat dipengaruhi oleh kecepatan memulai resusitasi.
Biasanya diperlukan waktu lebih dari 30 menit pada fase pra RS sebelum tiba di UGD
untuk tindakan pertolongan selanjutnya. Karena itu dibuthkan organisasi yang baik di
semua tingkat. Organsasi harus menjamin kesiapan pelayanan 24 jam per hari secra
terus-menerus.
6. Pendidikan dan Quality Improvement
Lembaga dari Pendidikan AGD adalah untuk:
 Mendidik petugas paramedic dari lulusan SPK/AKPER untuk menjadi
paramedic. Lama pendidikan 2-3 tahun (120-300 jam ditambah magang).
 Mendidik perawat di bidang P3K, resusitasi, stabilisasi, evakuasi darat, laut,
udara, dan mengemudi.
 Mendidik awam/awam khusus dalam bidang P3K dan cara meminta tolong.
 Menjalin hubungan dan “Fellowship” dengan luar negeri untuk pendidikan
“Paramedik”, kursus-kursus dll.
 Membantu pelaksanaan pendidikan ATLS/ACLS bagi dokter-dokter yang
bekerja di UGD atau lembaga-lembaga GD lainnya di seluruh Indonesia.
 Menyediakan sarana pendidikan dan perawatnya.
 “Quality Improvement” (Gugus Kendali Mutu), merupakan bagian yang khusus
mengikuti perkembangan SPGDT dengan memantau:
- Kesulitan-kesulitan
- Kesalahan-kesalahan
- Kegagalan-kegagalan
- Survey dan Registrasi (Trauma Registry and Morbidity Registry) Bagian
ini ditunjang oleh perpustakaan/Literatur dan group diskusi.
2.4 Tanggap Darurat Bencana
a. Pengertian
Tanggap darurat adalah upaya yang di lakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk
menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan
harta benda, evakuasi dan pengungsian (Masyarakat Penanggulangan Bencana
Indonesia, 2006). Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:
 Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber
daya;
 Penentuan status keadaan darurat bencana;
 Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
 Pemenuhan kebutuhan dasar;
 Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
 Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi, (Operational Plan) yang
merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana
Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.
1. Korban massal. Korban relatif banyak akibat penyebab yang sama dan perlu
pertolongan segera dengan kebutuhan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari
yang tersedia. Tanpa kerusakan infra struktur.
2. Bencana. Mendadak / tidak terencana atau perlahan tapi berlanjut, berdampak
pada pola kehidupan normal atau ekosistem, hingga diperlukan tindakan darurat dan
luar bi
asa untuk menolong dan menyelamatkan korban dan lingkungannya. Korban
banyak, dengan kerusakan infra struktur.
3. Bencana kompleks. Bencana disertai permusuhan yang luas, disertai ancaman
keamanan serta arus pengungsian luas. Korban banyak, kerusakan infra struktur,
disertai ancaman keamanan.
b. Masalah saat bencana
1. Keterbatasan SDM. Tenaga yang ada umumnya mempunyai tugas rutin lain
2. Keterbatasan peralatan / sarana. Pusat pelayanan tidak disiapkan untuk jumlah
korban yang besar.
3. Sistem Kesehatan. Belum disiapkan secara khusus untuk menghadapi bencana.

15
c. Fase pada Disaster Cycle (Wittiri, 2007)
1. Fase Impact / bencana. Korban jiwa, kerusakan sarana-prasarana, infra struktur, tata-
nan sosial sehari-hari.
2. Fase Acute Response / tanggap segera :
 Acute emergency response. Rescue, triase, resusitasi, stabilisasi, diagnosis,
terapi definitif.
 Emergency relief. Mamin, tenda untuk korban sehat.
 Emergency rehabilitation. Perbaikan jalan, jembatan dan sarana dasar lain untuk
pertolongan korban.
3. Recovery. Pemulihan.
4. Development. Pembangunan.
5. Prevention. Pencegahan.
6. Mitigation. Pelunakan efek bencana.
7. Preparedness. Kesiapan menghadapi bencana.
d. Perlindungan diri bagi petugas
1) Prinsip Safety.
 Do no further harm.
 Safety diri saat respons kelokasi. Alat pengaman, rotator selalu hidup, sirine
hanya saat mengambil korban, persiapan pada kendaraan, parkir 15 m dari lokasi
(ke bakaran : 30 m, perhatikan arah angin).
 Safety diri ditempat kejadian. Minimal berdua. Koordinasi dengan fihak terkait,
cara mengangkat pasien, proteksi diri.
 Safety lingkungan. Waspada bahaya yang mengancam.
2) Protokol Safety
 Khusus. Atribut, tanda pengenal posko-ambulans, perangkat komunikasi khusus
tim, jaring kerjasama dengan keamanan, hanya masuk daerah yang dinyatakan
aman. Pada daerah konflik hindari menggunakan kendaraan keamanan, ambil
jarak dengan petugas keamanan. Utamakan pakai kendaraan kesehatan / PMI.
 Umum. Koordinasi dengan instansi setempat, KIE netralitas, siapkan jalur
penyelamatan diri yang hanya diketahui tim, logistik cukup, kriteria kapan harus
lari.
e. Posko Pelayanan Gadar Bencana
1. Penyediaan posko yankes oleh petugas yang berhadapan langsung dengan
masyarakat. Perhatikan sarat-sarat mendirikan posko.

16
2. Penyediaan dan pengelolaan obat.
3. Penyediaan dan pengawasan makanan dan minuman.
2.5 Landasan Teori
Safe Community, (SC) adalah keadaan sehat dan aman yang tercipta dari, oleh dan untuk
masyarakat. Pemerintah dan teknokrat merupakan fasilitator dan pembina. Pelayanan
kasehatan di Indonesia beralih ke dan berorientasi pada paradigma sehat. Untuk mencapai
hal tsb. dicanangkan program Safe Community oleh Depkes pada HKN 36 di Makassar
adalah gerakan agar masyarakat merasa sehat, aman dan sejahtera dimanapun mereka berada
yang melibatkan peran aktif himpunan profesi maupun masyarakat. Gerakan ini juga
terkandung dalam konstitusi WHO.
Mempunyai dua aspek, care dan cure, Care adalah adanya kerja-sama lintas sektoral
terutama jajaran non kesehatan untuk menata perilaku dan lingkungan di masyarakat untuk
mempersiapkan, mencagah dan melakukan mitigasi dalam menghadapi berbagai hal yang
berhubungan dengan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan. Cure adalah peran utama
sektor kesehatan dibantu sektor lain terkait dalam upaya melakukan penanganan keadaan
dan kasus-kasus gadar. Kemampuan masyarakat melakukan pertolongan pertama yang cepat
dan tepat pra RS merupakan awal kegiatan penanganan dari tempat kejadian dan dalam
perjalanan ke RS untuk mendapatkan pelayanan yang lebih efektif di RS.
Melalui gerakan SC diharapkan dapat diwujudkan upaya-upaya untuk mengubah perilaku
mulai dari kelompok keluarga, kelompok masyarakat dan lebih tinggi hingga mencapai
seluruh masyarakat Indonesia. Gerakan ini harus dikembangkan secara sistematis dan
berkesinambungan dengan mengikutsertakan berbagai potensi. Gerakan ini ditunjang
komponen dasar : Subsistem komunikasi, transportasi, yankes maupun non kesehatan
termasuk biaya yang bersinergi.

17
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Definisi Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi
tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia.
3.2 Jenis-Jenis Bencana
Bencana dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Bencana alam (natural disaster)
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, dan tanah longsor.
a. APD yang digunakan petugas dalam penanggulangan bencana gempa bumi,
meliuputi :
 Masker
 Sarung tangan
 Helm Safety
 Kaca mata
 Sepatu boat
 Tali pengamanan
b. APD yang digunakan petugas dalam penanggulangan bencana tsunami, meliuputi :
 Pelampung
 Jas hujan
 Ban karet
 Tali pengamanan
c. APD yang digunakan petugas dalam penanggulangan bencana gunung meletus,
meliuputi :
 Masker
 Sarung tangan
 Helm Safety
 Kaca mata
18
 Sepatu boat
d. APD yang digunakan petugas dalam penanggulangan bencana banjir, meliuputi :
 Pelampung
 Jas hujan
 Ban karet
 Tali pengamanan
e. APD yang digunakan petugas dalam penanggulangan bencana tanah longsor,
meliuputi :
 Sarung tangan
 Helm Safety
 Sepatu boat
 Tali pengamanan
2. Bencana non alam
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi.
3. Bencana sosial
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
3.3 Tahap-Tahap Bencana
Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-disaster, tahap serangan atau
saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari ke-empat tahap
ini, tahap pra disaster memegang peran yang sangat strategis.
f. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat sebelum
terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli
sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu
dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan
kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah besarnya korban
saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan kepada masyarakat pada
tahap pra bencana.
g. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase) merupakan fase terjadinya
klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat tenaga mencoba ntuk

19
bertahan hidup. Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau
bahkan bulan. Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti.
h. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang pertama.Tahap
emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap emergensi,
hari-hari minggu pertama yang menolong korban bencana adalah masyarakat awam atau
awam khusus yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana.
Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban dengan
masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah ditolong dan
berlanjut ke masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul,
patah tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan
bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu ke
dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait dengan
kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal higiene. Masalah
kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit, malaria atau penyakit akibat
gigitan serangga.
i. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana
ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang
dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun
kembali adalah budaya. Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-
orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab. Dengan
melakukan rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap
kehidupan mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana. Situasi ini
seharusnya bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membangun kembali
Indonesia yang lebih baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih
memiliki daya saing di dunia internasional.
3.3 Tahapan dan kegiatan dalam manajemen bencana
Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.
1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a. Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan
analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman

20
bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak
terjadi bencana meliputi :
 perencanaan penanggulangan bencana;
 pengurangan risiko bencana;
 pencegahan;
 pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
 persyaratan analisis risiko bencana;
 pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
 pendidikan dan pelatihan; dan
 persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:
 Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna.
 Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
 Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi
stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana.5
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya
dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan
prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan,
dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

21
b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status darurat bencana
dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, dilakukan dengan
memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi pada
suatu daerah melalui upaya pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan darurat,
dan/atau evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan kebutuhan air bersih dan
sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial; dan
penampungan dan tempat hunian.
e. perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan memberikan prioritas
kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan yang dimaksud terdiri atas bayi, balita,
anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui;, penyandang cacat, dan
orang lanjut usia.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap darurat dibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan fase
sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan
pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.
3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.
3.4 Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana
Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 tahun 2007,
yaitu:

22
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam
penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan
tuntutan keadaan.
2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada
kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang
baik dan saling mendukung.
4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah
bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang
waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil
guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya
dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan
biaya yang berlebihan.
5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah
bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
secara etik dan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa
negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda
terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama
melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.
3.5 Asas-asas Dalam Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007 berasaskan:
1. kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam
penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan dan

23
penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud dengan “asas
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan
latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud dengan “asas
keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan
“asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan. Yang dimaksud
dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian
hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa
penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama
Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan
hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang
akan datang demi kepentingan bangsa dan negara.
8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan
teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara optimal sehingga mempermudah dan mempercepat
proses penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana,
maupun pada tahap pascabencana

24
3.6 Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana
Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan
dampak bencana, terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik maupun psikis.
Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat membantu untuk memberi pertolongan
pertama sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang memadai.
Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah memerlukan penilaian yang cepat
dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bisa menghindari kematian. Pada penderita
trauma, waktu sangatlah penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah
dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase.
Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada
penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life Support.
Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut kebutuhan perawatan dengan
memprioritaskan mereka yang paling perlu didahulukan. Paling sering terjadi di ruang gawat
darurat, namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan kesehatan di tempat
lain di mana pasien diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya. Tindakan ini dirancang
untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber daya tenaga medis dan
fasilitas yang terbatas.10
Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses triage
meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana kesehatan lainnya.
Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan
tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena status triage pasien dapat berubah.
Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging System) atau sistem triage
penuntun lapangan Star (Simple Triage and Rapid Transportasi)
Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang mengamati ventilasi,
perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompok korban seperti yang memerlukan
transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar
akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah
satu metode yang paling sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita menjadi 4
kategori :
1. Prioritas 1 – Merah
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang kritis keadaannya
seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan
tidak terkontrol, penurunan status mental
2. Prioritas 2 – Kuning

25
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita yang mengalami
keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran napas atau kerusakan alat gerak,
patah tulang tertutup yang tidak dapat berjalan, cedera punggung.
3. Prioritas 3 – Hijau
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga sebagai ‘Walking
Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan sendiri.
4. Prioritas 0 – Hitam
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah yang
dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai :
1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan tindakan dan
transport segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-
fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan tidak akan mengalami
ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang
leher, serta luka bakar ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera
maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas serta gawat darurat psikologis).
3.7 Pembentukan koordinasi tanggap darurat bencana
3.7.1 Tugas dan tanggung jawab unit organisasi
1. Ketua tanggap darurat bencana
a. Ketua tanggap darurat bencana adalah personil dengan kedudukan senior
peringkat pertama dalam komando tanggap darurat sesuai tingkat dan
kewewenangannya
b. Ketua bertugas :
 Mengaktifkan dan meingkatkan pos komando dan koordinasi tanggap
darurat bencana sesuai dengan jenis, lokasi dan tingkatan bencana.
 Menentukan lokasi titik wilayah pendampingan sesuai dengan hasil kajian
dan analisis tim assesmen.

26
 Membentuk posko pendampingan dan pelayanan di lokasi yang telah
ditentukan baik diwilayah pemukiman yang terkena bencana atau dilokasi
camp pengungsian
 Membuat rencana operasi pengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengendalikan operasi tanggap darurat bencana
 Melaksanakan komando dan pengendalian untuk pengarahan sumber daya
manusia, peralatan, logistic dan penyelamatan serta berwenang
memerintahkan gugus tugas yang terdiri dari unit kerja medis, SAR,
psikososial, logistic dan atau lembaga yang terkait dalam memfasilitasi
aksesibilitas penanganan tanggap darurat bencana
 Melaksanakan evaluasi melalui rapat koordinasi yang dilaksankan minimal
satu kali dala sehari untuk menyusun rencana kegiatan berikutnya
c. Dalam pelaksanaan tugasnya ketua posko tanggap darurat bertanggung jawab
kepada ppimpinan daerah/pimpina wilayah/pimpinan pusat melalui pimpinan
LPB/MDMC daerah/ wilayah/pusat
2. Wakil ketua
Wakil ketua tanggap darurat bencana adalah personil dengan kedudukan senior
peringkat kedua dalam komando tanggap darurat sesuai tingkat kewewenangannya.
a. Wakil ketua tanggap darurat bertugas :
 Membantu ketua tanggap darurat bencana dalam merencanakan
mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengendalikan komando tanggap
darurat bencana
 Memngkoordinir tugas-tugas kesecretariatan, humas dan rumah tang posko
3. Secretariat
Secretariat dipimpin oleh secretaries :
a. Secretaries bertugas untuk
 Secretaries bertugas untuk menyelenggarakan administrasi umum dan
pelaporan
 Menyediakan papan informasi dan data kondisi korban dan penyebaran
pengungsi, serta peta lokasi bencana
 Meng update informasi dan data terbaru sesuai hasil laporan dan evaluasi
 Membuat dan menyelenggarakan agenda rapat dan evaluasi secara rutin dan
berkala
b. Secretaries bertanggung jawab langsung kepada ketua tanggap darurat bencana

27
4. Kerelawanan
a. Satf kerelawanan dipimpin oleh coordinator yang bertugas :
 Mencukupi dan melayani kebutuhan akomodasi, konsumsi dan kesehatan
relawan yang bertugas disema unit kerja penanganan tanggap darurat bencana
yang terjadi
 Membuat data base relawan yang bertugas menangani tanggap darurat yang
terjadi
 Melayani kebutuhan administrasi relawan yang bertugas dilapangan
b. Coordinator kerelawanan bertanggung jawab langsung ketua tanggap bencana

28
DAFTAR PUSTAKA

 Seri Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) / General Emergency Life


Support (GELS) : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan
ketiga. Dirjen Bina Yanmed Depkes RI, 2006.
 Tanggap Darurat Bencana (Safe Community modul 4). Depkes RI, 2006.

29
30
31
32

Anda mungkin juga menyukai