Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus dan tanda klinik
biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob


Bacterioides atau kuman campuran

Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses parafaring, abses
submandibular dan angina ludovici.

Infeksi leher dalam biasa ditemukan pada anak maupun orang dewasa. Namun presentasi,
progresivitas dan penatalaksanaannya sangat berbeda dalam dua kelompok usia tersebut.
Keterlambatan dalam diagnosis atau lebih buruk lagikesalahan diagnosis dapat mengakibatkan
terjadinya mediastinitis dan kematian. Bahkan di era antibiotic modern, telah dilaporkan angka
kematian mencapai 40%.

Obstruksi jalan napas dan penyebaran infeksi ke mediastinum adalah komplikasi yang paling
sulit penanganannya dari infeksi ruang submandibular. Insisi dan drainase secara dini harus
selalu dipertimbangkanpada pasien, bahkan dalam kasus-kasus yang tampaknya tidak kritis.

Abses leher dalam masih dihubungkan dengan angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi
bila disertai komplikasi. Meskipun ada peningkatan dalam hal perawatan gigi dan hygiene
rongga mulut, tapi baru-baru ini dikemukakan prevalensi yang bermakna dari infeksii leher
dalam yang disebabkan oleh infkesi gigi lebih dari 40%. 76-1909-1

Anatomi

Rongga leher dalam dibentuk oleh lempang fascia dimana memisahkan leher menjadi nyata dan
ruangan potensial. Tedaoat 2 pembagian fascia yang ada, fasia servikal superfisial dan fasia
servikal dalam. Fascia supervisial terletak di dalam dermis menyelimuti otot yang bertanggung
jawab dalam ekspresi wajah. Di dalamnya termasuk superficial musculoaponeurootic system
(SMAS) dan terbentang dari epicranium sampai ke aksila dan dada. Rongga dalam pada lapisan
ini berisi lemak, neurovascular dan sistem limfatik.
Fasia servikal dalam menyelimuti rongga leher dalam dan dibagi menjadi 3 lapisan, superfisial,
tengah dan dalam. Lapisan superficial dari fascia servikal dalam adalah fascia yang melekat dan
mengelilingi leher. Fascia ini melekat pada otot sternocleidomastoideus, trapezius, otot mastikasi
dan submandibular dan kelenjar parotis. Secara superior dibatasi oleh nuchal ridge, mandibular,
zygomatikus, mastoid dan tulang hyoid. Inferior dibatasi oleh klavikula, sternum, scapula, hyoid
dan acromion. Fascia superficial dari fascia servikal dalam ini berperan dalam fasia yang
menutupi otot disgatrikus dan sampai ke lateral selubung arteri karotis. Dalam perjalanannya dari
tulang hyoid ke bagian ramus mandibular, fascia ini juga membungkus bagian anterior dari otot
disgatrikus dan membentuk dari permukaan dari rongga submandibular. Secara lateral fascia ini
mendefiniskan raung parotis dan masticator.

Bagian lapisan tengah servikal fascia memiliki 2 divisi, bagian otot dan visceral. Bagian otot
mengelilingi otot sternohyoid, sternothyroid, tyrohyoid dan omohioid dan adventisia pembuluh
darah ebsar. Bagian visceral mengelilingi oto-otot konstriktor faring dan esophagus untuk
membuat fascia bucofaringeal dan dinding anterior ruang retrofaringeal. Kedua pembagian ini
berkontribusi dalam pembentukan selubung karotis. Lapisan tengah juga menyelimuti laring,
trakea dan kelenjar tiroid. Fascia ini menempel pada pangkal terngkorak pada posisi superior dan
memajang hingga serendah pericardium melalui selubung karotis.

Lapisan dalam fascia servikal dalam dibagi menjadi 2 bagian, prevertebral dan alar. Pembelahan
prevertebral melekat pada aspek anterior dari batang vertebra dan meluas secara lateral ke
prosesus transversa vertebra. Pembagian alar terletak pada bagian lapisan prevertebra dan
visceral dari alpisan tengah dan mendefinisikan perbatasan ruang posterior retrofiring. Lapisan
ini mengelilingi otot-otot leher yang dalam dan berkontribusi pada selubung karotis. Di posterior
bagian otot lapisan tengah fascia serviks dalam bergabung dengan divisi alar pada level vertebra
toraks 1-2 (T1-T2).

Ruangan peritonsil
Ruangan ini berbatasan dengan tonsil pada medial dan otot superior konstriktor pada bagian
lateral. Anterior dan posterior polar tonsil membentuk sisa dari ruangan ini. Abses peritonsiler
merupakan abses leher dalam yang paling sering ditemukan dan lanjutan dari infeksi tonsil.
Pasien yang sudah diangkat tonsilnya kehilangan ruangan ini namun masih dapat terjadi
patologis pada daerah peritonsiler. Abses peroitonsiler dapat menyebar ke raung parafaring jika
tidak diobati dengan benar.

Abses Leher dalam

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya membuka mulut dan leher, harus
dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam

Abses Peritonsil (Quinsy)

Etiologi dari abses ini karena adanya komplikasi tonsillitis akut atau adanya infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.

Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu
infiltrasi dan supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tapak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di
bagian inferior. Pada stadium permulaan (stadium infiltrate). Selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil kea rah kontralateral.

Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi papda
m.pterygoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan , mungkin dapat terjadi
aspirasi.

Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang hebat,
biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah
(regurgitasi), mulut bau (fetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato
voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar
submandibular dengan nyeri tekan.

Pada pemeriksaan fisik kadang sulit memeriksa seluruh faring karena trismus. Pada pallatum
mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak dendrites dan
terdorong kea rah tengah, depan dan bawah

Terapi pada stadium iniflitrasi diberikan antibiotic golongan peniciliin atau klindamicin, dan obat
simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin leher.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak atau pada
pertengan garis yang meghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terkahir pada posisi yang
sakit. Kemudian pasien di anjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama
tindakan drainase abses maka di sebut tonsilektomi “a chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4
hari sesudah drainase abses, di sebut tonsilektomi “a bede” dan bila tonsilektomi 4-6 mingngu
sesudah drainase bases makan di sebut tonsilek tomi “a froid”. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang yaotu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Abses submandibular

Anatomi

Ruang submandibular berbatasan inferior dengan lapisan superfisial dari fascia servikal dalam
yang membentang dari hyoid ke mandibula, bagian lateral berbatasan dengan batang mandibular
dan secara superior dengan mukosa permukaan mulut. Ruangan ini memiliki 2 pembagian,
sublingual dan submaksilaris, yang dipisah oleh otot milohioid. Ruangan sublingual terdapat
kelenjar submandibular, nervus hipoglosus dan duktus whaarton. Ruangan sublingual ini
berhubungan dengan submaksila dengan bagian posterior dari otot milohioid, dari sinilah pus
dapat di pantau.

Infeksi pada ruangan submandibular dapat disebabkan trauma oral, sialadenitis submaksilaris
atau sublingual atau adanya abses gigi dari gigi di mandibular.

Pada kasus Ludwig angina didapatkan inflamasi dan selulitis dari ruangan submandibular,
biasanya mulai dari ruangan sumaksilaris dan menyebar ke sublingual lewat lempeng fascia,
bukan secara limfatik. Ruangan submandibular meluas dengan selulitis atau abses, permukaan
mulut menjadi indurasi, lidah terdorong ke atas belakang menyebabkan obstruksi jalan napas.
Ludwig angina tidak membutuhkan adanya abses fokal. Gejalanya berupa terjadi secara bilateral,
berliur, trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibular dan dispneu atau gangguan napas
karena sumbatan oleh lidah. Hal ini dapat mengancam jiwa dan memerlukan trakeostomi untuk
kontrol jalan napas. Sebelum antibiotic, mortalitas dari Ludwig angina 50%. Dengan adanya
antibiotic modern dan terapi bedah, tingkat mortalitas kurang dari 5%.

Infeksi ruang submandibular dapat menyebar ke ruang parafaring atau retrofiring.

Ruang submandibular terdiri dari ruang sublingual dan ruang submakasila. Ruang sublingual
dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi
atas ruang submental dan raung subamaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan raung sublingual ke dalam ruang
submandibular dan membagi ruang submandibular atas ruang submental dan ruang submaksila
saja. Abses dapat terbentuk di raung submandibular atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.

Infeksi dapat bersumber dari gigi, sadar mulut, faring, kelenjar air liur aau kelenjar limfa
submandibular. Mungkin juga sebagian kelanjutan infkesi ruang leher dalam lain. Kuman
penyebab biasanya campuran kuman anaerob dan aerob. Namun penyebab abses ini yang paling
sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan
periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal.
Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ika, pembuluh darah dan pembuluh limfe. Yang
paling sering terjadi adalah perkontinuitatum karena adanya celah ataur aung diantara jaringan
yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.

Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses
gingiva, thrombosis sinus kavernosus, abses labial dan abses fasial. Perjalanan infeksi pada
rahang bawah dapat membentuk abses sublingual, submental, abses submandibular, abses
submaseter dan angina ludovici. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah
linea milohioid yang terletak di aspek dalam mandibular, sehingga jika molar kedua atau ketiga
terinfeksi dan membentuk abses, pus akan menyebar ke ruang submandibular dan dapat meluas
ke ruang potensialleher yang paling sering menyebar ke mediastinum.

Organisme penyebab yang lazim ditemukan seperti Sterptococcus viridans, Staphylococcus


epidermidis, Staphylococcus aureus, grup A Streptococcus Bertahemolitikus (Streptococcus
pyogenes), Bacteroides, Fusobacterium dan Peptostreptococcus spesies. Hasil kultur kadang-
kadang menunjukan suatu Neisseria, Pseudomonas, Escherichia dan Haemophilus sp. Proporsi
Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus atau MRSA terkait infeksi ruang leher dalam secara
signifikan meningkat di beberapa wilayah Amerika Serikat. MRSA lebih cenderung menginfeksi
pasien dengan usia yang lebih muda, tapi abses dengan lokasi edial sangat kecil kemungkinannya
untuk infeksi MRSA dan methicillin-sensitive Staphylococcus aureus.

Infeksi leher dalam lebih sering datang dengan kekuhan demam, bengkak pada leher, odinofagia,
disfagia, sakit tenggorokan dan penurunan intake oral. Gejala-gejala ini biasanya muncul selama
kurang lebih 3-5 hari. Kadang disertai agitasi, batuk, degidrasi, drooling, mendengkur, stridor,
tortikolis dan leher kaku. Hal penting yang perlu ditanyakan dalam riwayat penyakit termasuk
durasi dan perkembangan gejala, infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi sebelumnya,
tindakan yang melibatkan leher misalnya tindakan gigi, intubasi, terapi antibiotic sebelumnya,
factor risiko MRSA dan kemungkinan immunocompromise

Computed tomography atau CT-Scan dengan kontras IV paling sering dilakukan untuk
membedakan antara limfadenitis dan abses pada infeksi leher dalam. Sering terjadi
ketidakmampuan menemukan pus pada saat melakukan tindakan pada yang dipastikan abses dari
CT-scan. Kontur dinding bases yang bergelombang merupakan indicator yang lebih baik adanya
pus

Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibular dan atau di bawah
lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering dilakukan.

Menejemen infeksi leher dalam masih menjadi masalah karena kompleksnya anatomi leher,
etiologi mikrobanya beragam dan komplikasi yang mengancam nyawa. Penggunaan antibiotic
yang tidak sesuai, steroid dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dapat menyamarkan tanda
infeksi dan mengubah gejala klinis, menjadi lebih sulit didiagnosis dan perjalanan penyakit lebih
lama, penyembuhan terhambat dan terjadi komplikasi.

Terapi utama pada infeksi leher dalam terdiri dari kontrol jalan napas, pemberian antibiotic dan
drainase bedah. Pengamanan jalan napas merupakan hal yang wajib pada infeksi ruang
submandibular. Pada pasien dengan pembengkakan submandibular bilateral, obstruksi jalan
napas dapat terjadi karena lidah menekan atap dari mulut dan ke dinding faring posterior atau
bisa juga karena keterlibatan dari ruang servikal anterior akibat edema laring. 82764777

Terapi antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anerob harus diberikan secara
parenteral. Lebih dari 2/3 infeksi leher dalam merupakan organisme yang memproduksi
betalaktamase. Antimikroba yang paling berefikasi adalah kombinasi golongan penisilin dan
betalaktamase inhibitor (amoxicillin/ clavulanate, ticarcilin/clavulanate, piperacilin/tazobactam),
cefoxitin, carbapenem atau klindamicin. Golongan makrolid atau ketolid ditambah
metronidazole sebaiknya di tambahkan untuk pasien dengan alergi penilisin.

Evaluasi abses dapat dilakukan dalam anestesi local untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi
atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Pasien di rawat inap
sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.

Komplikasi abses leher jarang terjadi tetapi dapat membawa angka kesakitan yang tinggi dan
kematian. Hal ini biasanya terkait dengan keterlambatan dalam diagnosis atau pengobatan.
Penderita dengan abses atau ancaman terjadinya komplikasi terutama terhadap jalan napas, abses
yang tampak pada ruang fascia kepala leher dan pada keadaan yang tidak membaik setelah
pemberian antibiotika parenteral 48 jam. Keberhasilan terapi bedah tergantung pada visualisasi
yang bagus, control pembuluh darah yang memadai, insisi luas dan drainase terbuka.

Obstruksi jalan napas dan kematian bisa terjadi. Penyebaran infeksi sepanjang danger space
cepat dapat menyebabkan mediastinitis. Meskipun komplikasi ini jarang, tetap bisa terjadi jika
ada keterlambatan dalam penatalaksanaan abses leher. Pada analisis multivariate, keterlibatan
dari ruang servikal anterior merupakan suatu factor independen untuk memprediksi komplikasi
yang mengancam nyawa salah satunya sumbatan jalan napas. Keterlibatan ruang servikal
anterior yang terjadi sering kali berhubungan dengan infeksi pada kedua tempat yaitu di daerah
ruang submandibular dan faring lateral. Kedua ruang ini memiliki hubungan pada sebelah
inferior dengan ruang servikal anterior yang merupakan jalan masuknya infeksi ke ruang itu. Di
dalam ruang servikal anterior terdapat laring, kelenjar tiroid, trakea dan seofagus setinggi
servikal. Tempat ini memiliki peran penting untuk menentukan adanya sumbatan jalan napas
juag penyebaran infeksi ke mediastinum anterior.

Angina Ludovici (Ludwig Angina)

Angina ludovici ialah infeksi pada ruang submandibular berupa selulitis dengan tanda khas
berupa pembengkakan seluruh ruang submandibular, tidak membentuk abses, sehingga keras
pada perabaan submandibular. Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh
kuman anaerob atau aerob. Gejala yang timbul adalah nyeri tenggorok dan leher, disertai
pembengkakan di daerah submandibular yang tampak hiperesmis dan keras saat perabaan. Dasar
mulut membangkak dan mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas
karena sumbatan jalan napas.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala dan tanda
klinik. Pada pseudoangina ludovici terdapat fluktuasi. Untuk terapi diberikan antibiotic dengan
dosis tinggi, untuk kuman anaerob dan aerob secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi
yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus atau
jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di
bawah mandibular). Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi) untuk mencegah
kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.

Komplikasi yang sering terjadi adalah sumbatan jalan napas, penjalaran abses ke ruang leher
dalam lain dan mediastinum yang ketiga adalah sepsis.

Infeksi pada leher dalam sulit dikategorikan karena beberapa alas an, struktur anatomi yang
kompleks sehingga untuk menentukan lokalisasi infeksi pada region ini sulit. Lokasinya yang
terletak pada bagian leher dalam membuat diagnosis infeksi sulit karena sering kali tertutup oleh
jaringan lunak permukaan yang tidak terpengaruh sehingga sulit untuk di palpasi dan hamper
tidak mungkin untuk divisualisasikan. Jaringan yang superfisial harus di buka untuk
mendapatkan akses ke dalam leher dalam. Rongga pada leher dalam dikelilingi struktur yang
dapat terlibat dalam proses inflamasi. Gangguan neurologis, erosi vascular atau thrombosis dan
osteomyelitis adalah beberapa potensi skuele yang dapat terjadi dengan melibatkan saraf,
pembuluh darah, tulang dan jaringan lunak lain. Web

Anda mungkin juga menyukai