My Neuro's Case Fix
My Neuro's Case Fix
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. L
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 41 tahun
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sutoyo, Tanah Patah, Kota Bengkulu
Status : Menikah
Pekerjaan : IRT
NRM : 77.03.74
Tanggal Masuk : 28 April 2018
Tanggal Keluar : 4 Mei 2018
2
tidak ada masalah selama kehamilan. Keempat anaknya yang lain sehat, lahir secara
normal, ditolong oleh bidan, dan selama ia hamil tidak pernah menderita hipertensi.
Pasien rujukan dari RS Tiara Sella dan telah mendapatkan perawatan selama 5
hari.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien tidak memiliki kebiasaan mengonsumsi alkohol.
2. Status Internus
a. Kulit
- Warna : Sawo matang
3
- Turgor : Dalam batas normal
- Sianosis : (-)
- Ikterus : (-)
- Edema : (-)
- Anemia : (-)
b. Kepala
- Rambut : Hitam, distribusi merata
- Wajah : Simetris
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL (+/+), RCTL
(+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
- Hidung : Deformitas (-), deviasi septum nasi (-), rinnorhea (-/-)
- Telinga : Sekret (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tarik auricula (-/-)
- Mulut : Typhoid tongue (-), stomatitis (-), faring hiperemis (-), tonsil
(T1/T1)
c. Leher
- Inspeksi : Tidak ada kelainan
d. Thorax
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris saat stasis dan dinamis, tidak
terdapat perubahan warna kulit
4
tidak ada retraksi dinding dada
e. Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung, simetris, jejas (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar/ lien/ ginjal sulit di nilai
5
f. Ekstremitas
Atas : Akral hangat, CRT < 2’’, sianosis (-)
Bawah : Akral hangat, CRT < 2’’, sianosis (-), pitting edema (-/-)
6
N.IX, X (glosofaringeus, vagus)
Motorik : Dalam batas normal
Sensorik : Dalam batas normal
N.XI (aksesorius) : Kontraksi M. Sternokleidomastoideus dan M.
Trapezius kuat
N.XII (hipoglosus)
Menjulurkan lidah : Deviasi lidah (-)
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Tremor : (-)
3. Sistem Motorik
Trofik : Eutrofik (+/+)
Tonus : Eutonus (+/+)
Kekuatan otot : Dalam batas normal
Gerakan involunter : Tidak ada
4. Sistem Sensorik
Proprioseptif : (+)
Eksteroseptif : (+)
5. Fungsi Luhur
Dysarthria : (-)
Afasia : (-)
6. Fungsi Otonom
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : Dalam batas normal
Keringat : (+)
7. Refleks Fisiologis
Bisep : (+/+)
Trisep : (+/+)
Patella : (+/+)
Achilles : (+/+)
7
8. Refleks Patologis
Hoffman Tromer : (-/-)
Babinsky : (-/-)
Chaddok : (-/-)
Gordon : (-/-)
Schaefer : (-/-)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (23 April 2018)
Hemoglobin : 10,2 g/dL
Hematokrit : 29 %
GDS : 65 mg/dL
Ureum : 15 mg/dL
8
Hematokrit : 33 %
Ureum : 20 mg/dL
Proteinuria : Negatif
Reduksi : Negatif
Urobilin : Negatif
Bilirubin : Negatif
Ketonuria : Negatif
Epitel : Positif 1
9
Leukosit : 2-3 /Lpb
Silinder : Negatif
Kristal : Negatif
SGOT : 14 U/dL
SGPT : 21 U/dL
Hematokrit : 34 %
10
Kolesterol HDL : 62 mg/dL
Ureum : 19 mg/dL
SGOT : 25 U/dL
SGPT : 40 U/dL
Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan (24 April 2018)
11
Keterangan :
- Tak tampak soft tissue swelling extracranial.
- Girus, sulcus, dan fissura sylvii tak prominen.
- Batas white matter dan grey matter mengabur.
- Tak tampak lesi isodens, hipodens, atau hiperdens patologis di intraserebri
maupun intraserebeli. CT artefak hipodens menutupi midline brain stem.
- Sistema ventrikel dan cysterna tak melebar atau menyempit.
- Midline tak terdeviasi.
- Ganglia basalis, talamus, kapsula eksterna/ interna tak tampak kelainan.
- Sella dan parasella baik.
- Infratentorial : pons, serebelum, dan CPA tak tampak kelainan.
- Cavum orbita dan bulbus okuli tak tampak kelainan.
- SPN dan air cellulae mastoidea tampak normodens.
- Tak tampak discontinuitas pada neurocranium maupun viscerocranium yang
tervisualisasi.
Kesan:
- Edema cerebri. Tak tampak gambaran berniasi serebri maupun serebeli pada CT
Scan saat ini.
- Tak tampak masa.
F. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
Sejak 8 hari yang lalu, pasien mengeluhkan kedua matanya tidak dapat melihat,
terjadi secara tiba-tiba saat ia sedang menonton televisi di rumah. Sebelum pasien tidak
dapat melihat, pasien merasakan nyeri kepala belakang seperti tertimpa beban berat
disertai rasa panas yang menjalar hingga ke tengkuk. Keluhan mual dan muntah
disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal, pingsan disangkal. Riwayat hipertensi
dan DM disangkal.
Saat ini pasien sedang mengandung anak kelima dengan usia kehamilan 31
minggu. Setiap bulan pasien rutin memeriksakan kandungan ke bidan, menurut pasien
12
tidak ada masalah selama kehamilan. Keempat anaknya yang lain sehat, lahir secara
normal, ditolong oleh bidan, dan selama ia hamil tidak pernah menderita hipertensi.
Pasien rujukan dari RS Tiara Sella dan telah mendapatkan perawatan selama 5 hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dan primary survey stabil.
Pemeriksaan neurologi didapatkan kesadaran compos mentis, rangsang meningeal (-),
dan ditemukan disfungsi nervus optikus (visus ODS 0).
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 29 April 2018 ditemukan
peningkatan kolesterol total 238 mg/dL, trigliserida 789 mg/dL, kolesterol HDL 45
mg/dL, kolesterol LDL 86 mg/dL, dan asam urat 6,7 mg/dL. Pada pemeriksaan CT-Scan
kesan tampak edema cerebri.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Anopsia bilateral
H. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
- Monitoring tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan, temperatur) dan
perkembangan gejala pada pasien.
- Tirah baring di tempat yang datar.
Farmakologi
- IVFD RL 20 tpm
- Ranitidine 2x1 amp iv
- Metilprednisolone 3x125 mg iv
- Lapibal (Mecobalamin) 2x1 amp iv
13
- Hystolan (Isoxsuprine HCl) 2x10 mg po
- Clopidogrel 2x75 mg po
- Clobazam 1x10 mg po
- Levofloxacin 1x500 mg po
- KSR (kalium klorida) 3x600 mg po
J. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
K. FOLLOW UP
14
Ekstrimitas :
Reflek Fisiologis : Biseps (+/+), triseps (+/+), patella (+/+),
achilles (+/+)
Refleks Patologis : Babinski (-/-), Laseque (-), Kernig (-),
Brudzinsky I-II (-)
Fungsi Motorik : Tangan kanan 5 / tangan kiri 5
Kaki kanan 5 / kaki kiri 5
Assesment:
Diagnosis Klinik : Anopsia bilateral
Diagnosis Topis : Cortical blindness
Diagnosis Etiologi : Preeklampsia
Planning:
- Observasi vital sign dan status neurologis
- Tirah baring
- IVFD RL 20 tpm
- Ranitidine 2x1 amp iv
- Metilprednisolone 3x125 mg iv
- Lapibal 2x1 amp iv
- Hystolan 2x10 mg po
- Clopidogrel 2x75 mg po
- Clobazam 1x10 mg po
- Levofloxacin 1x500 mg po
- KSR 3x600 mg po
- Konsul mata
- Konsul obgyn : saat ini tidak ada tatalaksana khusus pada
kehamilan
29/04/2018 S: Nafas terasa sempit. Kedua mata tidak dapat melihat. Nyeri
05.00 WIB kepala belakang disertai rasa panas hingga tengkuk.
O: Keadan Umum : Tampak sakit sedang
15
Kesadaran : E4 M6 V5
TD : 130/80 mmHg
N : 80 kali/menit
P : 26 kali/menit
S : 36,5 o C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL
(+/+), RCTL (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), visus ODS 0, kaku
kuduk (-)
Jantung: BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : BU + normal, supel, timpani
Ekstrimitas :
Reflek Fisiologis : Biseps (+/+), triseps (+/+), patella (+/+),
achilles (+/+)
Refleks Patologis : Babinski (-/-), Laseque (-), Kernig (-),
Brudzinsky I-II (-)
Fungsi Motorik : Tangan kanan 5 / tangan kiri 5
Kaki kanan 5 / kaki kiri 5
Assesment:
Diagnosis Klinik : Anopsia bilateral
Diagnosis Topis : Cortical blindness
Diagnosis Etiologi : Preeklampsia
Planning:
- Observasi vital sign dan status neurologis
- Evaluasi kepala 300
- O2 nasal kanul 2 lpm
- IVFD RL 20 tpm
- Drip mecobalamin 1 amp/kolf per 24 jam
- Ranitidine 2x1 amp iv
- Metilprednisolone stop
16
- Dexamethasone 3x1 amp iv
- Clobazam stop
- Clopidogrel stop
- KSR 3x600 mg po
- Lapibal stop
- Hystolan stop
- Levofloxacin stop
- Cek urine rutin
- Konsul PDL : Diet rendah lemak, folavit 2x400 mcg po
- Konsul mata
- Pindah bangsal
30/04/2018 S: Kedua mata tidak dapat melihat. Pusing bila terjadi perubahan
07.00 WIB posisi tubuh. Kedua kaki terasa lemas.
O: Keadan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4 M6 V5
TD : 130/90 mmHg
N : 97 kali/menit
P : 18 kali/menit
S : 36,5 o C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL
(+/+), RCTL (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), visus ODS 0, kaku
kuduk (-)
Jantung: BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : BU + normal, supel, timpani
Ekstrimitas :
Reflek Fisiologis : Biseps (+/+), triseps (+/+), patella (+/+),
achilles (+/+)
Refleks Patologis : Babinski (-/-), Laseque (-), Kernig (-),
17
Brudzinsky I-II (-)
Fungsi Motorik : Tangan kanan 5 / tangan kiri 5
Kaki kanan 5 / kaki kiri 5
Assesment:
Diagnosis Klinik : Anopsia bilateral
Diagnosis Topis : Cortical blindness
Diagnosis Etiologi : Preeklampsia
Planning:
- Observasi vital sign dan status neurologis
- IVFD RL 20 tpm
- Drip Mecobalamin 1 amp/kolf per 24 jam
- Ranitidine 2x1 amp iv
- Dexamethasone 3x1 amp iv
- KSR 3x600 mg po
- Folavit 2x400 mcg po
- Konsul mata : citicoline 2x1 amp iv
18
Abdomen : BU + normal, supel, timpani
Ekstrimitas :
Reflek Fisiologis : Biseps (+/+), triseps (+/+), patella (+/+),
achilles (+/+)
Refleks Patologis : Babinski (-/-), Laseque (-), Kernig (-),
Brudzinsky I-II (-)
Fungsi Motorik : Tangan kanan 5 / tangan kiri 5
Kaki kanan 5 / kaki kiri 5
Assesment:
Diagnosis Klinik : Anopsia bilateral
Diagnosis Topis : Cortical blindness
Diagnosis Etiologi : Preeklampsia
Planning:
- Observasi vital sign dan status neurologis
- IVFD RL 20 tpm
- Drip Mecobalamin 1 amp/kolf per 24 jam
- Ranitidine 2x1 amp iv
- Dexamethasone stop
- Citicoline 2x1 amp iv
- KSR 3x600 mg po
- Folavit 2x400 mcg po
19
P : 16 kali/menit
S : 36,5 o C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL
(+/+), RCTL (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), visus ODS 1/~,
kaku kuduk (-)
Jantung: BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : BU + normal, supel, timpani
Ekstrimitas :
Reflek Fisiologis : Biseps (+/+), triseps (+/+), patella (+/+),
achilles (+/+)
Refleks Patologis : Babinski (-/-), Laseque (-), Kernig (-),
Brudzinsky I-II (-)
Fungsi Motorik : Tangan kanan 5 / tangan kiri 5
Kaki kanan 5 / kaki kiri 5
Assesment:
Diagnosis Klinik : Anopsia bilateral
Diagnosis Topis : Cortical blindness
Diagnosis Etiologi : Preeklampsia late onset (?)
Planning:
- Observasi vital sign dan status neurologis
- IVFD RL 20 tpm
- Drip Mecobalamin 1 amp/kolf per 24 jam
- Ranitidine 2x1 amp iv
- Citicoline 2x1 amp iv
- KSR 3x600 mg po
- Folavit 2x400 mcg po
- Paracetamol 2x500 mg po
20
03/05/2018 S: Kedua mata terasa silau bila terkena cahaya. Mata kiri terasa
07.00 WIB seperti ada yang mengganjal (-). Nyeri kepala (-), mual (-),
muntah (-).
O: Keadan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4 M6 V5
TD : 120/80 mmHg
N : 82 kali/menit
P : 16 kali/menit
S : 36,5 o C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL
(+/+), RCTL (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), visus ODS 1/~,
kaku kuduk (-)
Jantung: BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : BU + normal, supel, timpani
Ekstrimitas :
Reflek Fisiologis : Biseps (+/+), triseps (+/+), patella (+/+),
achilles (+/+)
Refleks Patologis : Babinski (-/-), Laseque (-), Kernig (-),
Brudzinsky I-II (-)
Fungsi Motorik : Tangan kanan 5 / tangan kiri 5
Kaki kanan 5 / kaki kiri 5
Assesment:
Diagnosis Klinik : Anopsia bilateral
Diagnosis Topis : Cortical blindness
Diagnosis Etiologi : Preeklampsia late onset (?)
Planning:
- Observasi vital sign dan status neurologis
- IVFD RL 20 tpm
- Drip Mecobalamin 1 amp/kolf per 24 jam
21
- Ranitidine 2x1 amp iv
- Citicoline 2x1 amp iv
- KSR 3x600 mg po
- Folavit 2x400 mcg po
- Paracetamol 2x500 mg po
22
Assesment:
Diagnosis Klinik : Anopsia bilateral
Diagnosis Topis : Cortical blindness
Diagnosis Etiologi : Preeklampsia late onset (?)
Planning:
- Rawat jalan
- Ranitidine 2x150mg po
- Mecobalamin 2x500mg po
- Citicoline 3x250mg po
- KSR 3x600 mg po
- Folavit 2x400 mcg po
- Paracetamol 2x500 mg po
- Konsul gizi sebelum pulang
- Kontrol ke poli saraf dan obgyn
23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan
duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat
pusat bicara manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih dari
85% orang kidal (Snell dkk, 2006).
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan
sebagian besar orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam kemampuan
penerimaan rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan (Snell dkk, 2006).
Gambar 2. Otak
24
2. Retina
Retina merupakan reseptor dari impuls penglihatan. Retina mewakili
perluasan ke depan dari otak, dan terdiri atas tiga lapisan neuron. Neuron pertama
mengandung fotoreseptor yaitu sel batang dan sel kerucut, neuron kedua mengandung
neuron bipolar dan neuron ketiga mengandung sel-sel ganglion. Sekitar satu juta
akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan serat retina ke papila atau kaput
saraf optikus, melewati lamina kribrosa dari sklera mata dan akhirnya mencapai
korpus genikulatum lateral dari talamus (Snell dkk, 2006).
3. Nervus Optikus
Nervus optikus meninggalkan orbita lewat kanalis optikus bersama-sama a.
Opthalmica masuk ke kranium. Di dalam orbita saraf ini dikelilingi oleh meningen
(duramater, arachnoid, piamater). Menigen menyatu dengan sklera, sehingga kavum
subarachnoid dengan liquor serebrospinalisnya meluas ke depan dari fossa kranii
media, melalui kanalis optikus sampai ke bola mata. Maka peningkatan tekanan
liquor serebrospinalis di dalam rongga kranium akan diteruskan ke bagian belakang
bola mata (Snell dkk, 2006).
Saraf pada kedua sisi kemudian bergabung membentuk kiasma optikum, di
sini serabut saraf yang berasal dari belahan nasal retina menyeberang ke kontra
25
lateral, sedangkan serabut dari belahan temporal retina tetap pada sisi yang sama.
Traktus optikus keluar dari sudut posterolateral khiasma optikum dan berjalan ke
belakang mengitari sisi lateral otak tengah, sampai ke korpus genikulatum lateral.
Sebelum traktus optikus mencapai korpus genikulatum lateral, sejumlah kecil serat
yaitu berkas pupilosensorik medial berlanjut ke kolikulus superior dan nukleus pada
area pretektal. Akson-akson sel saraf dari korpus genikulatum lateral berjalan ke
posterior sebagai radiatio optika dan berakhir pada korteks visual hemisfer cerebri/
korteks kalkarina (Snell dkk, 2006).
26
okulomotorius ke dalam orbita dan mempersarafi otot sfingter pupil (Snell dkk,
2006).
27
Gambar 6. Defek lapang pandang
1. Perubahan Fisiologis
Perubahan kornea. Perubahan fisiologis yang mempengaruhi kornea
kemungkinan besar terjadi karena retensi air. Hal ini menyebabkan penurunan
sensitivitas kornea, peningkatan ketebalan, kelengkungan kornea, dan intoleransi
terhadap lensa kontak. Oleh sebab itu, selama periode kehamilan sering dijumpai
sindrom mata kering akibat gangguan sel asinar lakrimal (Cheung dan Scott, 2018).
Peningkatan TIO. Peningkatan tekanan intraokular juga dapat bersifat
fisiologis selama kehamilan, khususnya pada mereka yang mengandung saat berusia
>30 tahun. Mekanisme yang mungkin terjadi ialah adanya peningkatan aliran sekresi
lakrimalis, penurunan tekanan vena episcleral, dan asosiasi umum yang terjadi selama
kehamilan. Biasanya tekanan intraokular akan kembali normal dua bulan pasca partus
(Cheung dan Scott, 2018).
28
Perubahan adneksa. Perubahan adneksa mata dapat dipengaruhi oleh
khloasma serta perubahan hormonal disekitar mata dan pipi. Selain itu, angioma
benign spider umumnya berkembang di wajah dan tubuh bagian atas. Kedua
perubahan ini akan kembali normal pasca partus. Ptosis unilateral juga sering terjadi
selama atau setelah kehamilan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh defek
aponeurosis levator akibat hormonal atau stres (Cheung dan Scott, 2018).
29
biasanya kembali ke tingkat normal dalam beberapa minggu pasca partus (Cheung
dan Scott, 2018).
Kebutaan kortikal terjadi sekitar 15 persen pada preeklampsia dan eklampsia.
Gejala klinis diawali dan/ atau disertai nyeri kepala, hiperefleksia, dan paresis.
Ketajaman penglihatan akan kembali dalam waktu yang bervariasi sekitar 4 jam
hingga 8 hari, meskipun skrotoma inferior bilateral dan defek lapang pandang
dilaporkan bertahan selama beberapa bulan pasca partum. Pada MRI mungkin
menunjukkan edema oksipital lobus fokal, termasuk edema bilateral dari nukleus
geniculate lateral, tampak lesi hiperdens pada T2WI (T2 weighted image).
Reversibilitas lesi ini terlihat di daerah parieto-oksipital pada gambaran pemeriksaan
radiologi selanjutnya (Cheung dan Scott, 2018).
Korioretinopati serosa sentral. Penurunan ketajaman penglihatan ataupun
kebutaan yang disebabkan oleh korioretinopati serosa sentral terjadi karena adanya
akumulasi cairan subretina yang mengarah ke ablasio retina. Meskipin korioretinopati
serosa sentral terjadi 10 kali lebih banyak dijumpai pada laki-laki, namun risiko akan
meningkat pada wanita hamil terutama trimester akhir. Gejala yang sering timbul
ialah adanya penurunan ketajaman penglihatan unilateral. Peningkatan kadar kortisol
endogen dianggap sebagai penyebab peningkatan permeabilitas di sawar darah retina,
khoriokapilaris, dan epitel pigmen retina. Eksudat subretina berserat putih ditemukan
pada 90 persen kasus terkait kehamilan dengan korioretinopati serosa sentral.
Korioretinopati serosa sentral biasanya hilang dalam beberapa bulan pasca partus
(Cheung dan Scott, 2018).
Gangguan vaskular oklusif. Kemungkinan besar retinopati Purtscher terjadi
akibat obstruksi arteriolar oleh agregasi leukosit yang diinduksi komplemen, dan
sering dilaporkan terjadi segera pasca partus. Hal ini terkait dengan preeklampsia,
eklampsia, pankreatitis, emboli cairan amnion, dan hiperkoagulabilitas. Gejala yang
sering timbul ialah kebutaan bilateral secara tiba-tiba pasca partus, adanya defek
lapang pandang yakni gambaran cotton-wool spots dengan atau tanpa perdarahan
intraretina (Cheung dan Scott, 2018).
30
3. Riwayat Penyakit Mata
Retinopati diabetik. Penelitian-penelitian telah menunjukkan kehamilan
menjadi faktor risiko independen dalam perburukan retinopati diabetikum. Diabetes
gestasional juga dilaporkan menjadi faktor penyebab peningkatan risiko terjadinya
retinopati diabetik. Faktor risiko lain yang dapat memperburuk retinopati diabetik
ialah hipertensi dengan atau tanpa preeklampsia/ eklampsia, riwayat diabetes sebelum
kehamilan, kontrol glikemia yang buruk selama kehamilan, normalisasi kadar glukosa
darah yang cepat selama kehamilan, dan perubahan aliran darah retina. Perawatan
standar untuk retinopati diabetikum adalah dengan operasi fotokoagulasi
menggunakan laser (Cheung dan Scott, 2018).
Para peneliti merekomendasikan bahwa wanita dengan diabetes yang
berencana untuk hamil harus menjalankan pemeriksaan fundus terlebih dahulu.
Selama kehamilan, pemeriksaan mata harus dilakukan pada trimester pertama dan
kontrol rutin sesuai jadwal. Pada mereka yang tidak menderita atau menderita
retinopati non proliferatif ringan-sedang harus memeriksakan diri setiap tiga sampai
12 bulan. Pasien dengan retinopati non proliferatif sedang-berat atau berat harus
memeriksakan diri setiap satu sampai tiga bulan. Mereka yang terdiagnosis diabetes
gestasional tidak memerlukan skrining retinopati (Cheung dan Scott, 2018).
Uveitis. Pada Uveitis kronik non infeksius, kehamilan tampaknua memberi
efek menguntungkan, dengan peningkatan insidensi yang lebih rendah. Hal ini terjadi
karena efek hormonal dan imunomodulator. Peningkatan terjadi pada trimester
pertama dan enam bulan pertama pasca partus (Cheung dan Scott, 2018).
Toksoplasmosis. Toksoplasmosis okular laten dapat aktif kembali selama
periode kehamilan, dengan risiko toksoplasmosis kongenital yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi TORCH (toxoplasma, rubella,
cytomegalovirus, herpes simplex virus) selama kehamilan. Spiramisin lebih
direkomendasikan dibandingkan pirimetamin sebagai pengobatan yang lebih aman,
dan memiliki efektivitas yang sama (Cheung dan Scott, 2018).
31
D. Laporan Kasus Serupa
1. Eklampsia Late Onset dengan Kebutaan Kortikal Bilateral
Seorang wanita kulit hitam sehat berusia 21 tahun, G3P1A1, dengan
kehamilan normal sebelumnya dan tidak ada riwayat hipertensi atau preeklampsia.
Selama antenatal, tekanan darah berkisar antara 98/62 mmHg sampai 130/80 mmHg
dan proteinuria negatif. Ia melahirkan bayi laki-laki yang sehat dengan berat 2.670
gram. Tekanan darah segera setelah melahirkan berkisar antara tekanan sistolik 120-
130 mmHg dan tekanan diastolik 60-70 mmHg. Setelah ± 1 jam pasca melahirkan
terjadi peningkatan tekanan sistolik yang berkisar antara 140-150 mmHg dan tekanan
diastolik 80-90 mmHg (Gold dkk, 2005).
Delapan hari pasca partus, pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat di daerah
frontal bilateral disertai pandangan kabur. Selama beberapa jam, berkembang menjadi
kebutaan kortikal bilateral akut. Evaluasi awal menunjukkan tekanan darah 169/99
tanpa proteinuria. Koreksi urine dalam 24 jam berikutnya menunjukkan adanya
proteinuria sebesar 0,28 gram. Computed axial tomography/ CT scan otak
menunjukkan lesi hipodens bilateral pada hemisfer serebri, sedangkan pada MRI
mengungkapkan sinyal T2 berubah difus pada distribusi posterior. Angiogram
serebral normal. Dua puluh jam setelah timbulnya gejala pasien mengalami
perubahan status mental dan kejang tonik-klonik sebanyak 2 kali, kemudian pasien
mendapatkan terapi fenitoin (dilantin) dan magnesium. Nyeri kepala dan penglihatan
pasien dengan cepat membaik dalam 48 jam kembali ke visus 20/20. Tekanan darah
tertinggi selama di rumah sakit mencapai 200/110 mmHg. Setelah mendapatkan
perawatan selama tiga hari pasien diperbolehkan pulang dengan terapi metoprolol
(Gold dkk, 2005).
32
Setelah satu bulan kemudian, ketajaman penglihatan pasien kembali normal, visus
ODS 20/20. Kebutaan kortikal merupakan komplikasi langkah pada preeklampsia.
Dalam kasus ini, kebutaan kortikal bersifat reversibel, yang kemungkinan besar
disebabkan oleh edema vasogenik daripada vasospasme (Do dkk, 2002).
33
Kebutaan kortikal. Patofisiologi kebutaan kortikal pada preeklampsia/
eklampsia belum jelas. Hal yang mungkin terjadi, akibat vasospasme serebral dan
cedera iskemik atau edema vasogenik karena peningkatan permeabilitas kapiler.
Temuan neuroimaging pada kebutaan kortikal berkisar pada temuan normal hingga
tipikal. Biasanya pada hasil CT Scan tampak lesi hipodens di lobus oksipital bilateral
dan MRI didapatkan lesi hiperdens pada T2-weighted. Lesi ini bersifat reversibel,
penglihatan akan kembali normal dalam 4 jam hingg 8 hari (Samra, 2012).
34
Gambar 7. CT scan Kranial: Infark Lobus Oksipital Bilateral (Lama) dengan
Konversi Hemorhagik Kecil (Baru)
35
Kebutaan kortikal merupakan kejadian langka, yang terjadi pada 1-3 persen
dari seluruh kasus eklampsia. Kebutaan dapat terjadi karena proses penyakit yang
mempengaruhi retina, korteks oksipital, atau nervus optikus. Hilangnya penglihatan
karena keterlibatan kortikal biasanya selalu bilateral, namun tidak dengan keterlibatan
retina. Kebutaan dapat terjadi dengan atau tanpa kejang, baik sebelum ataupun
sesudahnya. Kebutaan kortikal ditandai dengan refleks pupil intak dan temuan
funduskopi normal. Penglihatan biasanya dapat kembali dalam 4 jam hingga 8 hari
(Kathpalia dkk, 2018).
Etiologi yang mendasari terjadinya kebutaan adalah vasospasme yang
meningkatkan resistensi terhadapa aliran darah, hal ini berkaitan dengan hipertensi.
Vasospasme menghasilkan disparitas dalam aliran darah regional serebral yang
mempengaruhi sirkulasi posterior. Terjadi kegagalan dalam autoregulasi arteri
serebral posterior diikuti ekstravasasi cairan ke jaringan otak. Pembuluh darah
serebral posterior lebih rentan terhadap perubahan ini karena inervasi simpatis yang
kurang (Kathpalia dkk, 2018).
Grimes dkk pada tahun 1980 melaporkan kasus pertama yang menggunakan
CT Scan, menunjukkan lesi kortikal reversibel pada preeklampsia dengan kebutaan
kortikal. Temuan neuroimaging pada kebutaan kortikal berkisar dari normal hingga
temuan khas seperti lesi hipodens pada CT atau hiperensitas pada MRI T2-weighted.
Neuroimaging dilakukan untuk menentukan lesi, menilai prognosis, serta merupakan
pemeriksaan penunjuang baku pada kasus seperti ini. Manajemen preeklampsia
dengan atau tanpa kebutaan sama, yakni pemberian terapi magnesium sulfat, kontrol
tekanan darah, perawatan khusus pada pasien penurunan kesadaran, dan terminasi
kehamilan (Kathpalia dkk, 2018).
E. Edema Papil
Edema papil merupakan suatu kongesti noninflamasi diskus optikus yang
berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Edema papil dapat terjadi pada
berbagai usia, kecuali bayi karena fontanela belum tertutup dengan sempurna
(Indraswati dan Suhartono, 2008).
36
Arteri retina sentralis berjalan bersama dengan nervus optikus dan vena retina
sentralis. Pintu masuk ini sangat sensitif terhadap peningkatan tekanan intrakranial.
Rongga subarachnoid berhubungan dengan selaput nervus optikus. Oleh sebab itu bila
terjadi peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan tersebut akan diteruskan ke nervus
optikus, dimana reaksi selaput nervus optikus sebagai torniquet mengganggu transpor
aksoplasmik (Indraswati dan Suhartono, 2008).
Edema papil dapat dikelompokkan dalam 4 tipe berdasarkan klasifikasi Walsh
dan Hoyt’s, pertama edema papil awal merupakan suatu kondisi hiperemi papil,
pembengkakan papil, papil nervus optikus batas kabur, lapisan serabut saraf retina
peripapiler kabur, hilangnya pulsasi vena spontan. Kedua adalah perkembangan lengkap
yang terjadi akibat elevasi permukaan papil nervus optikus, tepi papil semakin kabur,
vena tampak lebih besar dan lebih hitam, perdarahan pada dan di sekitar papil
(peripapillary splinter hemorrhage) dan kadang terdapat lipatan koroid, bercak (cotton
wool spot) akibat infark lokal retina, lipatan retina yang melingkar (Paton’s line). Ketiga
adalah edema papil kronik yaitu terjadinya perdarahan yang lebih jelas, papil saraf optik
terobliterasi sempurna, hiperemi papil nervus optikus berkurang, terjadi eksudat keras
pada permukaan papil, shunt vena retina koroidal (shunt optociliar) mulai terlihat.
Keempat adalah edema papil lambat (atrofi), warna papil menjadi pucat atau abu-abu
kotor dan kabur, edema papil menurun, pembuluh-pembuluh darah retina menyempit,
perubahan pigmentasi dan lipatan-lipatan koroid yang menetap, shunt vena retina
koroidal (shunt optociliar) (Indraswati dan Suhartono, 2008).
Gambar 8. Edema papil berdasarkan klasifikasi Walsh dan Hoyt; (A) Awal,
(B) Lengkap, (C) Kronis, (D) Atrofi
37
Pada gambaran funduskopi terdapat pelebaran pembuluh darah dan berbelok-belok,
perdarahan retina (dot dan flame shaped), cotton wool spots, edema dan perdarahan
makula serta edema dan perdarahan papil (Indraswati dan Suhartono, 2008).
Penatalaksanaannya ialah dengan menurunkan tekanan intrakranial yakni :
1. Infus Manitol
Infus manitol 20% dengan dosis 1 g/kgBB selama 15 menit. Manitol bersifat
hipertonis, membuat gradasi osmotik plasma lebih tinggi dari jaringan otak
sehingga terjadi penyerapan cairan yang lebih cepat (Indraswati dan Suhartono,
2008).
2. Kontrol hiperventilasi
PCO2 yang rendah setelah hiperventilasi dapat menimbulkan vasokonstriksi
sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial. Pelaksanaannya harus disertai
monitoring ketat terhadap tekanan darah dan analisa gas darah karena dapat
menurunkan tekanan perfusi serebral (Indraswati dan Suhartono, 2008).
3. Drainase cairan serebrospinal
Drainase secara berkesinambungan dengan shunt lumboperitoneal atau
ventriculoperitoneal mengalirkan langsung cairan serebrospinal sehingga
menurunkan tekanan intrakranial (Indraswati dan Suhartono, 2008).
4. Pemberian obat-obatan
Golongan inhibitor karbonik anhidrase (acetazolamide) menurunkan produksi
cairan serebrospinal melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase yang
menyebabkan menurunnya transpor aktif natrium pada epitel koroid. Golongan
sedatif seperti propofol, barbiturat, ataupun etomidate menurunkan metabolisme
jaringan otak sehingga mencegah meluasnya area iskemik (Indraswati dan
Suhartono, 2008).
5. Terapi steroid
Steroid dapat mengurangi edema dengan menghambat enzim fospolifase sehingga
menghambat pembentukan prostaglandin maupun leukotrin, yang merupakan faktor
kimiawi dalam proses inflamasi. Dosis 40-60 mg perhari (oral) atau 6-12 mg
38
dexamethasone intravena dengan dosis diturunkan secara bertahap setelah 4 minggu
(Indraswati dan Suhartono, 2008).
6. Terapi pembedahan
Pembedahan untuk evaluasi massa/ tumor berdasarkan lokasinya, baik itu secara
kraniotomi, burr hole, kraniektomi, transfenoidal, atau transoral. Prosedurnya
secara partial removal, complete removal, atau internal decompression bergantung
pada jenis dan kondisi massa/ tumor tersebut (Indraswati dan Suhartono, 2008).
Pembedahan untuk lesi vaskular menggunakan dekompresi/ unrooding kanalis
optikus, pembedahan untuk aneurisma: ligasi, clipping, trapping, wrapping, atau
dengan endovascular technique (Indraswati dan Suhartono, 2008).
7. Radioterapi
Berperan penting dalam tatalaksana tumor ganas seperti astrocytoma,
meduloblastoma, dan germinoma serta beberapa tumor jinak seperti adenoma
pituitari dan kraniofaringioma (Indraswati dan Suhartono, 2008).
39
BAB IV
PEMBAHASAN
40
dalam beberapa hari hingga bulan (Kathpalia dkk, 2018). Sejalan dengan hasil pemeriksaan
CT Scan kepala tanpa kontras pada pasien ini, menunjukkan adanya edema serebri, namun
lesi pada lobus oksipitalis tidak ditemukan. Oleh sebab itu, pasien disarankan untuk
melakukan pemeriksaan MRI untuk mendeteksi lesi yang mungkin kecil, sehingga tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan CT Scan tanpa kontras.
Tatalaksanan pada pasien cukup baik, yakni dengan pemberian terapi steroid.
Terjadi perbaikan yang cukup signifikan pada pasien, saat masuk visus ODS pasien 0
kemudian setelah mendapatkan perawatan visus ODS berangsur membaik.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Cheung, Albert. Scott, Ingrid U. 2018. Ocular Changes During Pregnancy. American
Academy of Ophthalmology. 7 Mei 2018. https://www.aao.org/eyenet/article/ocular-
changes-during-pregnancy
2. Do, Diana V. dkk. Reversible Cortical Blindness in Preeclampsia. American Journal
of Ophthalmology. 7 Mei 2018. https://www.ajo.com/article/S0002-9394(02)01753-
1/fulltext
3. Galetovic, Davor. Dkk. 2005. Bilateral Cortical Blindness – Anton Syndrome: Case
Report. University Departement of Ophthalmology, Split, Croatia. 7 Mei 2018.
https://pdfs.semanticscholar.org/0b8d/c783c415b8759df935e24591d10204e3fe12.pdf
4. Gold, Katherine J. dkk. 2005. Case Report: Late-Onset Eclampsia Presents as
Bilateral Cortical Blindness. American Family Physician. 7 Mei 2018.
https://www.aafp.org/afp/2005/0301/p856a.html
5. Indraswati, Erni. Suhartono, Gatot. 2008. Sindroma Foster Kennedy. Jurnal
Oftalmologi Indonesia. 7 Mei 2018. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
05.ok-Tinj.%20Pust.%20dr.%20Erni%20I.pdf
6. Kathpalia, SK. Dkk. 2018. Reversible Blindness Associated with Preeclampsia – A
Report of Three Cases. Scholarena. http://article.scholarena.co/Reversible-Blindness-
Associated-with-Preeclampsia-A-Report-of-Three-Cases.pdf
7. Lutfi, Delfitri. dkk. 2010. Bilateral Optic Neuritis in Children Due to Multiple
Sclerosis. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 7 Mei 2018.
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-joibd1d5da871full.pdf
8. Samra, Khawla Abu. 2012. The eye and visual system in the preeclampsia/ eclampsia
syndrome: What to expect? Elsevier. 7 Mei 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3729391/
9. Snell, Richard S. dkk. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi
5. Jakarta: EGC
42
CASE REPORT
Disusun Oleh :
Lovina Falendini Andri
H1AP11016
Pembimbing :
dr. Iman Indrasyah, Sp.S