Anda di halaman 1dari 36

I can’t hear you

One Shoot / Brothership

Cast : Park Chanyeol ||

Baekhyun

Summary :

Diam adalah duniaku.

Aku menemukan diriku yang

sudah hidup sangat lama

dengan ketenangan yang

pekat. Membuatku tak ingin

mengerti apapun kecuali cinta,

karena menurut semua buku

yang kubaca cinta itu indah,

cinta tak butuh apapun untuk

membuatnya tetap indah.

Aku percaya itu.

Sampai suatu ketika dimana

Cintaku menyakiti semua

orang…

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Aku tak bisa mendengar

apapun.

Tidak hari ini, tidak besok,

atau kapan pun. Aku tahu itu,


aku benar-benar tahu.

***

Pagi ini seperti pagi-pagi

sebelumnya, Byun Baekhyun,

adik laki-lakiku ke kamar

untuk mengajak sarapan pagi.

Dan sama seperti biasanya dia

menunjukkan wajah

jengkelnya tepat setelah dia

membuka pintu kamarku.

“Cepat keluar! Apa kau tak

bisa melihat jam?!” aku

melihat mulutnya yang

bergerak cepat. Dia marah

lagi.

Aku mencoba membayangkan

seperti apa suaranya saat

marah. “hah, pasti lucu”

fikirku. Aku tersenyum simpul,

kemudian mengambil ranselku

dan segera berlari kecil

menyusul adik yang sudah

pergi dari tadi.

Pagi ini menu masakan ibu

seperti biasanya, telur rebus


dan madu. Aku tak

menyukainya, tapi ibu terus

saja memaksa. Agar aku cepat

besar, katanya. Padahal aku

sudah sangat besar, aku

sekarang sudah ditingkat dua

sekolah menengah atas di

sekolah luar biasa di kotaku.

Bahkan aku jauh lebih tinggi

dari adik.

Ibu menepuk bahuku pelan

saat aku memasukkan tetesan

madu terakhir ke mulutku. Aku

menatap bibir ibu yang

bergerak. “ayo berangkat,

kalian hampir terlambat” dia

tersenyum manis setelahnya.

Aku menjawab dengan gerakan

tangan ku, aku

mempelajarinya di sekolah.

“oke” begitulah artinya.

Ibu menepuk pelan celana ku

yang panjang dan

mengambilkan tas ransel ku.

Aku mengecup pipinya sekilas


kemudian berlari menghampiri

adik yang sudah berdiri gusar

di depan pintu.

***

Hidupku baik-baik saja, aku

memiliki ibu yang baik dan

menyayangi ku dan seorang

adik laki-laki yang sangat

cantik, baekhyun,ya dia

benar-benar cantik.

Sedangkan aku, aku sangat

besar dan tinggi, Ibu bilang

ayah yang mewariskan tubuh

tingginya pada ku sedangkan

adik kecil dan cantik seperti

ibu. Aku juga sering melihat

beberapa teman laki-laki dan

perempuan adik datang

kerumah dengan seikat bunga

atau sekotak coklat. Dia

sering kedatangan tamu,

walaupun aku akan langsung

di suruh untuk tetap di

kamar. Namun aku sering

mencuri pandang dari pintu


kamar yang tertutup

setengah. Adik bahagia, aku

suka melihatnya tersenyum.

Aku melirik jam saku yang ibu

berikan saat ulangtahunku

tahun lalu, sudah jam 07:00

“pantas saja adik berjalan

begitu cepat. Dia pasti hampir

terlambat”.

Beberapa menit kemudian,

kami sampai di sekolah ku

terlebih dahulu karena sekolah

adik berbeda gedung dengan

sekolah ku walaupun masih

satu yayasan. Adik sekolah di

sekolah normal seperti anak

lainnya. Dia di tingakat awal

di sekolah menengah atas.

Aku baru saja akan

mengucapkan maaf dan sampai

jumpa namun adik berlalu

begitu saja tanpa melihatku.

Aku tak habis akal, aku

mengejar adik dan berlari di

depannya. kakiku jauh lebih


panjang dari adik, jadi

dengan mudah aku bisa

mengejarnya. Saat jarak kami

sudah tak begitu jauh, aku

berhenti dan kemudian

menggerakkan tanganku

“maaf membuat mu terlambat,

sampai jum..” aku belum

selesai mengucapkannya saat

sesuatu menggesek lenganku

dan membuatku terjatuh di

jalanan yang kasar.

Aku melihat adik menatapku

sinis.

Aku menjulurkan tangan agar

dia bisa membantuku berdiri,

lengan ku benar-benar sakit.

Namun adik tetap mematung,

aku hampir menangis saat

melihat bibirnya “Bodoh!”. Dia

menatapaku lagi dengan sudut

matanya, kemudian pergi

begitu saja.

Dengan susah payah aku

berdiri, aku membeku disana


untuk beberapa saat, melihat

adik dan motor yang

menabrakku itu memasuki

gerbang sekolah mereka.

“ Adik … dia pasti masih

marah” aku merasakan pipi ku

basah.

***

Nadaku terdengar

sederhana…

Tidak seperti mereka, tentu

saja.

Aku tak punya apapun yang

bisa ku pakai untuk

menunjukkan cinta ku

padamu,

Seperti yang mereka lakukan

Aku tak punya seikat bunga

ataupun sekotak coklat

Nadaku masih sederhana…

Tidak seperti mereka yang

mampu memuji mu

Yang bisa menyanyikan lagu-

lagu indah di telinga mu

Nada ku masih sederhana…


Seperti cintaku yang ku bagi

seutuhnya padamu

Seperti cintaku yang tak kau

pahami meskipun aku sudah

lelah berteriak

Cintaku yang bisu…

Cintaku yang hanya untuk mu

Jemariku masih menari lembut

di tuts piano sebelum tepukan

pelan ibu membuyarkan

lamunanku yang terbang

entah kemana. Segelas coklat

panas kesukaanku ibu

letakkan di meja kecil di

samping piano tua kami. Kata

ibu piano itu warisan dari

nenek, ibu sangat menyayangi

piano itu. Ibu bilang suara

yang di keluarkannya juga

indah, aku sering

menghabiskan hampir seluruh

waktu luangku di depan piano

itu. Walaupun aku tak tau

bagaimana suara pianon itu

terdengar, aku akan tetap


berlatih dan ibu akan

mengajariku bagaimana cara

merasakannya buka

mendengarnya.

Ibu bilang permainan piano ku

bagus, aku tersenyum tipis

kemudian merebahkan kepala

kebahu mungilnya yang kini

sudah duduk di bangku di

sampingku. Aku mainkan

sebuah lagu untuknya, aku

tak tahu itu lagu apa. Aku

hanya membiarkan jemariku

bergerak di atas tuts-tuts itu

dan memainkan nada-nada

yang terfikirkan. Aku ingin

agar ibu bisa merasakan

betapa aku mencintainya

melalui lantunan nada dari

hatiku.

Aku mengangkat kepalaku saat

dia mencoba melihat wajahku

“ibu mencintaimu, tetaplah

menjadi anak baik” dia

mengatakannya dengan
lembut. Aku bisa merasakan

itu.

Aku meraih tubuh ibu dan

memeluknya erat, lengan-

lengan besarku

menenggelamkan tubuh ibu

yang kecil, kemudian aku

menepuk bahunya berkali-kali

mencoba menyampaikan

perasaanku yang tak bisa

terucap.

Ibu adalah wanita yang

sempurana, dia menakjubkan.

Aku tak tahu apakah ada

wanita yang lebih dahsyat dari

ibuku di luar sana. Dia

seorang single parent, karena

ayah telah meninggal saat aku

masih sangat kecil. Aku tak

pernah melihat ayah, tak tahu

bagaiman wajahnya. Hanya

sebuah photo usang dirinya

yang menyadarkanku kalau

aku mempunyai seorang ayah.

Walaupun aku sering cemburu


karena saat pembagian nilai di

akhir semester semua teman-

teman ku di dampingi

ayahnya, sedangkan aku

tidak. Dan saat ibu meilihatku

menangis di pojok kelas, dia

akan menenangkakn ku dan

itu membuatku berfikir “aku

tak butuh seorang ayah, saat

ada seseorang yang lebih dari

ayah disisiku”.

Ibu melepaskan pelukanku

perlahan, matanya membulat

seketika kemudian dia

menyeka pipiku yang entah

sejak kapan dibasahi air

mata.

“jangan menangis” dia

tersenyum dan memelukku

lagi.

Ibu selalu membuatku tenang,

dia masih saja menganggapku

anak kecilnya. Ibu akan

sangat mengkhawatirkanku

dimanapun dan kapanpun. Dia


akan setia menghapus setiap

jejak airmata yang menempel

di pipiku saat aku merasa

sendiri dan dikucilkan. Bahkan

ibu masih sering

menidurkanku. Dia

mencintaiku, tentu. Dia tak

pernah menganggap aku anak

remajanya, dia membuatku

mencintainya seperti seorang

anak kecil hingga saat ini.

Senja yang indah dengan piano

tua, dengan pelukan ibu dan

segelas coklat hangat. Aku

hampir ingin menangis lagi,

namun mataku entah mengapa

sedikit terganggu dengan

bayangan samar di pojok

ruangan.

“ Adik ”

Aku mungkin salah, mata itu..

matanya sedih.

***

Pagi ini adik tidak kekamarku

seperti biasanya, aku juga


tak melihat dia di meja makan.

“dimana adik ?” aku

menggerakkan tanganku

terlalu cepat, ibu tak bisa

melihatnya. Aku melakukannya

lagi lebih perlahan.

“adik sedang sakit, dia ada

dikamarnya” ibu menatapku

dengan mata lelahnya.

Ibu pasti tidak tidur semalam,

ibu pasti menjaga adik.

Bagaimana mungkin aku tidak

tahu kalau adik sakit.

Ibu mentapku maklum,

kemudian ibu memberikan

semangkuk bubur dan segelas

susu vanila untuk kuberikan

pada adik. Senyumku

mengembang, aku buru-buru

memberitahu ibu “aku akan

merawat adik , aku akan bolos

sekolah hari ini” namun ibu

menatapku sedih saat

membaca gerakan tanganku.

“jangan bolos sayang, masih


ada waktu. Berikan sarapan

untuk adik. Setelah itu pergi

lah kesekolah. Kau bisa

merawat adik nanti.” Ibu

menjawabku dengan perlahan

agar aku bisa membaca

bibirnya.

Aku mengangguk pelan.

Pintu kamar adik tidak

terkunci, aku membukanya

perlahan.

Adik yang sedang tidur

membelakangi arah pintu

bergerak perlahan lalu

menatapku dengan pandangan

yang tak ku mengerti. Dia

diam saja, aku masih bingung

dengan sikapnya namun

kemudian aku melangkah

perlahan kedepan lalu

memberikan bubur dan susu

itu agar adik bisa langsung

memakannya.

Adik bergeming.

Ku pandangi wajah adik yang


sendu, wajahnya yang cantik

jadi pucat sekali. Terlihat

beberapa helai rambutnya

basah oleh keringat. Tubuh

adik jadi terlihat semakin

kecil dengan baju tidurnya

yang kebesaran, aku benar-

benar ingin meraihnya dalam

pelukanku. Aku tak bisa

melihat adik sakit seperti ini.

Namun aku tak bisa

mengatakan apapun, karena

tangan ku sedang memegang

bubur dan susu. Aku hanya

tersenyum lebar, kemudian

mengambil tempat di sisi

ranjang adik. Aku

menempatkan segelas susu itu

di meja di samping lampu tidur

dan semangkuk bubur itu di

pahaku.

“aku akan menyuapinya, dia

mungkin sangat lelah” fikirku.

Aku mengaduk bubur itu

perlahan, meniup nya sesaat


agar tak terlalu panas

kemudian mengarahkan sendok

yang terisi bubur itu kepada

adik.

Adik bergeming.

Aku gelagapan dengan sendok

yang masih ku pegang “apa

sakit adik separah itu? dia

tidak menyadari keberadaan

ku” fikiran ku kacau karena

takutnya.

Akhirnya aku memberanikan

diri memegang bahu adik

dengan tangannku yang

bebas. Kakak mentapku

kemudian, sinar dari matanya

membuat jantungku berdetak

lebih cepat dari sebelumnya.

“apa adik…”

Adik menepis tanganku dengan

kasar, seketika aku terjatuh

bebas dengan semangkuk

bubur yang langsung

mengotori celana ku.

Aku menatap adik yang sudah


berdiri dihadapanku dengan

bingung.Dia mungkin

mengerti, karena setelahnya

dia maju selangkah dan

menunduk tepat di depan

wajahku.

Aku seperti ingin menampar

wajahku sendiri saat melihat

bibirnya“AKU MEMBENCI MU!”

Tanganku saling bertautan

untuk meredam getar

ketakutan. Semua tenagaku

menguap seiring perkataan

adik, bahkan aku tak lagi

mampu mengangkat kepalaku.

“kenapa?…kenapa adik

membenciku” pertanyaan itu

berputar-putar di kepalaku.

Aku masih menatap lekat-

lekat bubur yang mengotori

celana ku saat adik

memajukan satu jarinya untuk

mengangkat daguku.

“Kau membuat hari-hariku

kacau!”
“Kau mencuri perhatian ibu

dariku!”

“Kau membuat ku di ejek

teman-temanku!” dia menarik

nafas sesaat.

“Kau… kau seharusnya tak

pernah lahir!”

Aku merasa seperti dunia

runtuh di hadapanku. Aku

menutup mataku saat itu

juga, memeluk kedua lenganku

yang bergetar semakin hebat.

Adik tak berhenti sampai

disitu, dia kemudian

mengoyangkan bahuku dengan

kasar mencoba agar aku

membuka mataku. Kini aku

yang bergeming, aku tak akan

membuka mataku, aku tak

ingin melihat adik yang

tersakiti olehku lebih lama

lagi. “aku bodoh! tak ada

yang pernah menginginkanku.

Adik benar, aku seharusnya

tak lahir di dunia ini!”


Adik masih menggoyangkan

bahuku, dia memegang

lenganku kuat-kuat.

Namun sedetik kemudian

lengannya mengendur diganti

sebuah tangan yang

memegangku dengan lembut.

Ibu!.

Ibu menuntunku untuk

berdiri. Aku bisa melihat ibu

memarahi adik, walaupun aku

tak tahu apa yang mereka

bicarakan. Aku tak bisa

melihatnya. Mereka berdebat

cukup lama, sampai disaat

dimana ibu yang paling baik

hati yang pernah ku kenal di

dunia ini menampar adik.

Aku mengejang.

Aku memegang lengan ibu

untuk menyadarkannya.

Seketika ibu terduduk di

hadapanku dan menangis

disana, secepatnya aku meraih

ibu dalam pelukanku. Beberapa


detik kemudian, ibu sudah

membuat lengan baju

sekolahku basah oleh

airmatanya. Aku terus

memeluk ibu, menepuk

punggunnya agar dia berhenti

menangis meskipun aku tahu

kalau sejak tadi air mataku

pun tak berhenti.

Sesaat aku mencuri pandang

ke tempat adik berdiri. Dia

tidak ada disana.

Adik pergi!.

***

Entah seperti apa cerita

bahagia sebenarnya.

Apakah bahagia itu benar-

benar ada?

Hari beranjak gelap, suasana

saat ini juga suram dengan

bunyi gerimis yang terdengar

sayup-sayup dari kamarku.

Aku masih memandangi pot-

pot bunga lyly kami yang ada

di teras rumah dari balik


jendela di kamar. Perlahan

aku menghapus jejak kabut di

kaca jendela akibat hujan

malam ini.

“apa yang salah?”

“apa setidak penting itukah

aku bagi adik ?”

Semua yang terjadi pagi tadi

masih begitu jelas

diingatanku, membuat seluruh

rongga didadaku sesak. Aku

sedih sekali, bukan… bukan

karena adik membenci ku. Aku

sedih karena aku kurang

memberi perhatian pada adik,

aku hanya memikirkan diriku

sendiri sedangkan aku tak

pernah tahu kalau ada satu

hati disana yang menahan

perasaanya hingga sampai

sesakit itu.

Aku jahat!.

***

Adik belum pulang.

Jam di ruang keluarga


menunjukkan pukul 11 malam.

Sejak setengah jam tadi ibu

tak beranjak dari meja

telepon, beberapa kali ibu

membuka buku telepon dan

menelepon seseorang namun

sesaaat kemudian ibu menutup

teleponnya dan melakukan hal

seperti sebelumnnya lagi,

berulang-ulang kali. Aku tak

bisa melihat apa yang sedang

ibu bicarakan yang ku tau

adalah ibu sangat cemas,

bahunya naik turun saat

menunggu jawaban dari

seberang dan kemudian bahu

itu jatuh lemas saat mendapat

jawaban yang tak di

harapkan.

Aku berjalan perlahan ke

tempat ibu, kusentuh lembut

lengannya yang akan menekan

tombol di telepon itu lagi. Aku

menggeleng perlahan saat ibu

menatapku dengan matanya


yang membengkak.

“kita cari adik bersama, ayo”

aku menggerakkan tanganku

tepat di depan wajah ibu.

Ibu mengangguk kemudian

memelukku sekilas.

Kami menyusuri malam dengan

sebuah payung yang ku

pegang untuk memayungi aku

dan ibu dan satu payung lagi

yang masih tertututp untuk

nanti akan dipakai adik.

Hujan tidak begitu deras, tapi

cukup membuat adik yang

keluar dari pagi tadi pasti

basah kuyup. Aku tak bisa

membayangkan bagaimana

nasib adik di luar sana dengan

baju yang dia pakai dari

pagi,pasti sudah sangat basah

sekarang. Oh Tuhan, adik

juga tidak tahan dingin. Dia

bisa sangat sakit.

Membayangkan itu saja sudah

membuatku takut.
Aku melirik ibu sekilas, ibu

hanya memakai baju rumah

seadanya untung saja tadi

aku masih bisa memaksa ibu

untuk memakai jaket. Karena

sekarang ibu terlihat begitu

kedingan.

Maaf ibu, ini salahku

***

Adik!

Aku melihat kakak. Dia ada di

sebuah tempat makan di

pinngir jalan itu. Oh Tuhan!

bajunya kering, untung saja.

Aku menarik tangan ibu dan

menunjukkan tempat dimana

adik berada dengan tangan ku

yang satu lagi, payung yang

kupegang untuk memayungi

kami sudah terbang entah

kemana. Aku melihat wajah ibu

cerah seketika, dan

secepatnya ibu menuntunku

menyeberangi jalan.

Kami tiba di tempat makan itu


dengan baju yang basah. Aku

melihat wajah adik yang

terkejut saat kedatangan

kami namun aku tak begitu

perduli, kupeluk dia dengan

erat seperti sudah sangat

lama aku tak melihatnya.Aku

tersenyum sangat lebar,

sampai rahangku sakit.

Namun adik menepis tanganku

dari tubuhnya, aku

sempoyongan dan terjatuh di

lantai yang dingin. Sejurus

kemudian ibu membantuku

berdiri.

“kenapa? Kau masih marah?”

aku bertanya dengan

tanganku yang bergetar

karena menahan tangis.

“aku tak bermaksud..” di

memukul tanganku yang

sedang menyampaikan

perasaan padanya.

Oh tuhan!

“Tak bisakah kau mengerti?


AKU MEMBENCI MU!” dia

membuka bibirnya sangat

lebar, aku tahu jika aku bisa

mendengar suaranya. Pasti

terasa lebih menyakitkan.

“ adik , maaf…” dia memukul

tangan ku lagi, aku melihat

ibu ingin menahannya namun

adik tak berhenti, dia

memegang bahuku dengan

kuat dan dia menangis saat

itu juga.Aku benar-benar

terkejut di buatnya. Adik tak

pernah menangis, aku tak

pernah melihat dia menangis

entah untuk alasan apapun.

apa kesalahanku separah itu?

“Kenapa kau merebut

semuanya dari ku?” dia

menyeka air matanya sesaat.

Wajah itu!

Wajah cantik adik basah oleh

air mata.

“aku tidak..” di menepis

tangan ku dengan kuat, aku


merasa aku hampir terjatuh.

Namun kemudian adik

memegang tanganku erat lalu

menatap mataku dengan..

dengan tatapan sendu yang

mengikis hatiku. “Kau cacat!.

Kau bukan kakakku!”

Dia melepaskan tangan ku,

seketika tubuhku merosot dan

terduduk di lantai. Aku

menangis sejadi-jadinya.

Namun dengan sudut mataku

aku bisa melihat ibu menampar

adik lagi.

Apa kau membenciku sedalam

itu? kenapa kau tak

membunuh ku saja?

Aku tak tau lagi apa yang

terjadi, karena sesaat mataku

mengabur karena tertutup air

mata yang seperti tak bisa

berhenti. Kenapa? Pertanyaan

itu tak pernah ku tahu apa

jawabannya, karena sekarang

adik berbalik badan dan akan


pergi lagi.Aku tak ingin adik

pergi lagi,aku tak mau ibu

menangis seperti tadi lagi.

Jika adik ingin aku pergi, aku

akan pergi kemanapun adik

mau.

Aku berlari menyusul adik,

saat aku yakin bisa menggapai

tangannya aku memegang

lengan adik yang kini sudah

basah oleh air hujan dengan

kuat. Dia berusaha melawan,

namun dengan kekuatan yang

entah darimana aku

memeluknya erat. Aku

membenamkan wajahku di

lekuk lehernya, bahunya naik

turun begitu juga denganku.

Aku menangis sejadi-jadinya,

berusaha semampuku untuk

mengungkapkan apa yang

ingin sekali keluar dari

bibirku. Aku melepaskan

pelukanku, namun aku masih

memegang kedua lengan adik.


“bunuh aku” aku tak

menggerakkan tanganku,

hanya bibirku yang bergerak.

Aku tak tahu pasti apakah

adik melihatnya atau tidak,

tapi aku manangkap sorotan

berbeda dari matanya.

“Maaf” bibirku bergerak lagi

meskipun tanpa suara.

“Aku sayang baekhyun”

Aku memegang wajah kecil

adik diantara tanganku. Aku

menatap langsung kedua mata

adik yang mulai bengkak.

Tidak, jangan menangis

kumohon. Aku menyeka pipi

adik dengan kedua ibu jariku.

Maaf.

Aku memeluknya lagi lebih

erat. Adik diam saja, namun

aku merasakan dia menangis di

bahuku. Bahunya bergerak

naik turun namun kemudian

bahu itu melemah. Adik

terjatuh bebas kesamping


tepat di sisi jalan.

Adik menangis sesenggukan,

dia menutup matanya dengan

kedua tangnnya yang pucat.

Aku melihat ibu berlari kearah

kami. Dia mengayun-ayunkan

tangannya dengan gusar,

sesekali kakinya tertendang

kerikil kecil. Aku masih

memandangi ibu dengan aneh,

saat kemudian aku sadar apa

maksud ibu.Aku melihat adik

dengan cepat, sebuah truk

sedang melaju kearah kami

dengan lampunya yang

berkedip-kedip. Aneh, truk itu

seperti tak terkendali.

Melihat keadaan yang

genting, aku segera menarik

adik dan mendorongnya ke

bahu jalan. Kakak terkejut

tapi segera menyadari

keadaan.

Aku senang adik baik-baik

saja.
Baru saja aku ingin ketempat

adik, namun kaki ku

tersangkut di besi yang

mencuat dari jalan yang

mungkin baru di perbaiki. Aku

menarik kakiku dengan

gemetar. Sesekali aku melirikk

truk yang tak terkendali

tadi.Truk itu sudah berhenti

tepat disisi jalan lainnya,

terlihat beberapa kendaraanya

di belakangnya menjadi macet.

Untunglah.

Aku masih sibuk menarik

kakiku saat…

BRUKK!

Semua menghitam..

***

Seperti inikah bahagia?

Mengapa sedih dan bahagia

terasa sama?

Aku menagkap sebuah cahaya

kecil yang menyilaukan

mataku.

Ibu!
Adik!

Mereka sedang menangis

dihadapanku, aku ingin sekali

menggerakkan tanganku

untuk bertanya. Tapi

tanganku sakit sekali, tidak

maksudku semua bagian

tubuhku sakit. Hatiku juga.

Adik memandang wajahku

dengan sendu, air matanya

jatuh satu-satu dipipiku. Aku

merasa kalau lengannya

sedang memeluk tubuhku,

memelukku dengan sangat

kuat. Aku mengangkat

tanganku keatas untuk

menyeka air mata adik,

namun seketika aku terkejut

melihat tanganku merah,

merah karena darah.

Aku terkejut bukan main, tapi

kemudian ibu memegang

tanganku dengan lembut.

Aku melihat ibu mulai gusar

dan berbicara pada semua


orang yang ada disana.

kenapa ramai sekali?

Aku tak perduli dengan darah

atau apapun itu, aku

mengangkat tanganku lagi

untuk menyeka airmata adik

walaupun aku akhirnya hanya

meninggalkan becak darah di

wajahnya yang cantik.

Aku menggerakkan tanganku

dengan susah payah “maaf”

Adik menggeleng pelan.

“ maafkan adik, adik

mencintai kakak”

Aku tersenyum.

***

EPILOG

Dear, Baekhyun

Maaf.

Satu kata yang ingin ku

ucapkan

Maksudku benar-benar ingin

ku ucapkan dengan bibirku

dengan sebuah suara yang

keluar dari sana.


Aku tahu, kau ‘mungkin’ lelah

dengan aku yang bodoh ini.

Aku tahu, kau ‘mungkin’ tak

mengharapkan aku.

Aku tahu, kau ‘mungkin’

benar-benar membenciku.

Tapi, tak apakan jika aku

menganggap itu ‘mungkin’

Karena aku tak sanggup

berfikir bahwa semua itu

memang kenyataanya..

Aku tahu kau menyayangiku

walaupun aku tak tahu

bagaimana itu terdengar.

Kau tahu, entah berapa kali

aku memohon pada Tuhan agar

aku bisa mendengar suaramu,

satu kali saja.

Entah berapa kali aku

menangis dalam doa ku agar

kau bisa mendengar suaraku

sekali saja,

Sehingga aku bisa bertanya

seperti apa suaraku

terdengar.
Ku harap kau terus

tersenyum,

Kau tahu… senyummu sangat

indah

Aku mencintaimu, adik.

With love,

Chanyeol

Baekhyun melipat surat di

tangnnya dengan hati-hati,

kemudian memasukkannya

kembali kedalam kotak kayu

milik chanyeol, kakaknya.

Entah sejak kapan surat itu di

tulis chanyeol, baekhyun pun

tak tahu.

“maafkan adik, beristirahlah

dengan tenang kak” dia

menghapus tetesan air yang

mengaliri pipinya,Sejurus

kemudian dia menatap penutup

kotak itu, ada sebuah tulisan

di atasnya.

“I can’t hear you. But i’ve

loved for you”

***
End

Anda mungkin juga menyukai