Digital - 20309048-S43082-Perancangan Dan PDF
Digital - 20309048-S43082-Perancangan Dan PDF
SKRIPSI
RESIANA WINATA
0806456783
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK KIMIA
DEPOK
JUNI 2012
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
RESIANA WINATA
0806456783
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK KIMIA
DEPOK
JUNI 2012
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
ii
iii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu
yang ditetapkan. Makalah yang berjudul “Perancangan dan Optimasi Kompor
Gas-Biomassa yang Beremisi Gas CO Rendah dengan Bahan Bakar Pelet
Biomassa dari Limbah Bagas” disusun secara sistematis untuk memenuhi mata
kuliah spesial skripsi, yang merupakan salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) di Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat selesai melalui bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis, ayahanda Wanto Winata dan ibunda Lie Mei Hwa, yang
selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan kepada penulis.
2. Ir. Dijan Supramono, M.Sc., selaku pembimbing seminar dan skripsi atas
bimbingan, pengarahan, saran, dan kritik membangun kepada penulis.
3. Eva Fathul Karamah, S.T., M.T., selaku pembimbing akademis dari penulis
selama empat tahun berkuliah di Departemen Teknik Kimia Universitas
Indonesia.
4. Prof. Dr. Widodo Wahyu Purwanto, DEA, selaku ketua Departemen Teknik
Kimia Universitas Indonesia.
5. Dr. Ir. Asep Handaya Saputra, M. Eng., selaku Kepala Laboratorium Energi
Berkelanjutan.
6. Ir. Yuliusman, M.Eng., sebagai koordinator mata kuliah spesial skripsi Teknik
Kimia Universitas Indonesia.
7. Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia yang
sudah mengajar dan memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis
selama empat tahun.
8. Adik, Reddy Febrianto Winata, dan cici sepupu, Silviana Stevanni sebagai
saudara yang dikasihi oleh penulis.
iv
vi
vii
ix Universitas Indonesia
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
masih harus melakukan impor LPG untuk memenuhi kebutuhan LPG nasional
tersebut, dimana pada tahun 2007 saja impor LPG telah mencapai angka 50.193
metrik ton (IISD, n.d.).
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan tersebut, Indonesia memerlukan
suatu energi alternatif terbarukan yang ketersediaannya besar di Indonesia untuk
menggantikan bahan bakar fosil tersebut, misalnya biomassa. Energi biomassa
adalah energi hijau dan merupakan sumber energi yang potensial di Indonesia
(Kong, 2010). Berdasarkan informasi dari www.energiterbarukan.net, Indonesia
diestimasi memproduksi 146,7 juta ton biomassa/tahun yang dapat disetarakan
dengan sekitar 470 GJ/tahun.
Sebagai Negara Agraris, Indonesia memiliki potensi bahan baku biomassa
yang tinggi dan mudah diperoleh, terutama yang berasal dari limbah pertanian.
Bagas sebagai salah satu biomassa yang berasal dari limbah pertanian, memiliki
potensi yang cukup besar di Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia tahun 2002 pada www.menlh.go.id, potensi bagas
nasional yang dapat tersedia dari jumlah seluruh luas tanaman tebu mencapai
39.539.944 ton per tahun. Potensi bagas yang cukup besar tersebut menunjukkan
bagas amat potensial dan tersedia secara ekonomis untuk dimanfaatkan sebagai
bahan bakar alternatif di Indonesia.
Meskipun persediaan biomassa yang dimiliki oleh Indonesia sangat
melimpah, tetapi kompor biomassa yang ada saat ini masih memiliki efisiensi
termal yang rendah dan emisi CO yang tinggi sebagai indikasi terjadinya
pembakaran yang tidak sempurna (Smith, 2000a, Bhattacharya, 2000). Seperti
telah diketahui, kandungan karbon yang tinggi memang merupakan karakteristik
dari bahan bakar padat dibandingkan bahan bakar non padat (Handayani, 2009).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) 2007, jumlah populasi
penduduk Indonesia yang menggunakan bahan bakar padat sebesar 72% dari
217.131 jumlah penduduk Indonesia dan kematian per tahun akibat dari polusi
udara di dalam ruangan tertutup mencapai 15.300 jiwa (Colbeck, 2010). Hal ini
disebabkan oleh peningkatan kadar gas CO yang melebihi ambang batas di
atmosfer mampu menyebabkan hemoglobin dalam darah cenderung mengikat CO
dibandingkan O2 sehingga beracun bagi tubuh dan mampu menyebabkan
Universitas Indonesia
kematian. Oleh karena itu, perlu ditemukan suatu solusi untuk mengembangkan
kompor biomassa beremisi gas CO rendah sehingga permasalahan energi nasional
tentang ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis dan bahaya polusi
udara dalam ruangan terhadap kesehatan penduduk Indonesia dapat diatasi.
Penelitian mengenai pengembangan kompor biomassa untuk
menanggulangi permasalahan efisiensi termal dan emisi gas CO sebenarnya telah
banyak dilakukan, mulai dari kompor biomassa tradisional (traditional biomass-
fired stove) yang memiliki efisiensi termal sangat rendah, yakni berkisar antara 5-
20%, kompor biomassa dikembangkan (improved biomass-fired stove), kompor
biogas (biogas-fired stove), hingga kompor gas-biomassa (producer gas-fired
stove). Meskipun begitu, kompor gas-biomassa merupakan jenis kompor yang
paling potensial dikembangkan untuk menggantikan kompor yang menggunakan
bahan bakar tak terbarukan, seperti kompor LPG dan kompor minyak tanah,
karena memiliki efisiensi energi tinggi dan mampu meminimasi emisi gas
berbahaya dari kompor (termasuk gas CO) dengan cara membakar gas yang
dihasilkan dari pirolisis biomassa (Bhattacharya, & Salam, 2002).
Salah satu kompor gas-biomassa yang telah dirancang adalah Wood-Gas
Turbo Stove atau yang dikenal dengan Reed’s Wood-Gas Campstove. Kompor
tersebut memiliki efisiensi termal lebih besar dari 30% dan mampu menekan
emisi gas CO yang tinggi hingga konsentrasi gas CO pada ketinggian 80 cm di
atas kompor mencapai 22 ppm. Pada Wood-Gas Turbo Stove, aliran udara primer
dan sekunder bergerak secara konveksi alami pada rancangan awal, sedangkan
pada rancangan terbarunya, aliran udara primer dan sekunder bergerak secara
konveksi paksa namun daya berasal dari penggunaan satu fan yang sama (Reed, et
al., 2000).
Kemudian, SPRERI Gasifier Stove, kompor gas-biomassa yang telah
dievaluasi performanya dengan menggunakan biomassa dari jarak pagar. Kompor
tersebut mencapai efisiensi termal sebesar 31,10%, dan emisi gas CO sekitar 3-6
ppm yang diukur dengan jarak 1 m dari ketinggian kompor (Panwar, 2010).
Lalu, Anderson merancang Champion T-LUD ND (Natural Draft) Stove
yang memanfaatkan konveksi alami, baik untuk aliran udara primer maupun udara
Universitas Indonesia
sekunder. Kompor tersebut menghasilkan emisi gas CO sebesar 3,5 g/L (Roth,
2011).
Selanjutnya, Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier yang memanfaatkan
aliran konveksi paksa untuk udara primernya dan konveksi alami untuk udara
sekundernya. Kompor tersebut merupakan kompor gas-biomassa pertama dengan
pembakaran partikel halus limbah biomassa menggunakan prinsip T-LUD
Gasifier yang mampu menghasilkan gasifikasi yang sempurna, menghasilkan
nyala api biru yang konsisten, dan emisi yang rendah, menggunakan biomassa
dari sekam padi (Belonio, 2005).
Adapun kompor-kompor gas-biomassa tersebut menggunakan prinsip
Inverted Down Draft (IDD) atau Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier. Prinsip ini
pada dasarnya adalah memproduksi gas-gas yang dapat terbakar, terutama gas CO
dan asap hidrokarbon, melalui proses pirolisis pada suhu tinggi (udara primer
yang diperlukan dalam jumlah terbatas) untuk selanjutnya seluruh gas tersebut
dibakar sempurna di bagian atas dengan udara sekunder berlebih sehingga
dihasilkan emisi yang bersih. Jadi, bahan bakar dinyalakan mulai dari bagian atas
kompor sehingga timbul api di bagian atas (top lit). Api pada penyalaan awal
tersebut akan memicu pelet pada lapisan paling atas untuk mengeluarkan volatile
matter karena menerima panas dari api secara radiasi dan konveksi. Volatile
matter yang keluar terus-menerus dari biomassa tersebut menghalangi oksigen
(oksigen disuplai dari aliran udara primer yang bergerak ke atas) untuk
berpenetrasi ke partikel biomassa sehingga terjadilah pirolisis yang memproduksi
gas-gas pirolisis dan panas. Panas tersebut akhirnya membentuk api pirolisis di
sekitar partikel pelet biomassa ketika oksigen berpeluang berpenetrasi ke partikel
pelet biomassa. Zona dimana api pirolisis berada itulah yang disebut dengan zona
flaming pyrolisis. Posisi zona ini bergerak turun, sementara bahan bakar tetap
(fixed bed). Dengan demikian, api pirolisis tersebut akan bergerak ke bawah dan
terus-menerus menyebabkan biomassa mengeluarkan volatile matter-nya hingga
habis dan hanya tersisa char-nya saja. Sedangkan volatile matter yang keluar dari
biomassa tersebut selanjutnya akan bergerak ke atas, sama seperti aliran udara
primer (up draft), untuk dibakar dengan udara sekunder (Roth, 2011).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pencampuran gas-udara, serta desain kompor dan kandungan bahan bakar yang
belum mampu mengoptimasi proses gasifikasi (Reed, et al., 2000, Panwar, 2010).
Adapun Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier mampu mencapai emisi CO rendah
dan nyala api biru secara konsisten. Hasil tersebut diperoleh untuk kompor gas-
biomassa yang menggunakan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier. Maka,
penelitian sekarang berusaha merancang kompor gas-biomassa beremisi gas CO
rendah dengan prinsip yang sama dan mengoptimasi performanya dengan
biomassa yang mengandung volatile matter tinggi, seperti bagas.
1.2.3 Hipotesis
Melalui devolatilisasi dari biomassa yang menghasilkan gas-gas pirolisis
dengan bantuan udara primer terbatas (salah satunya gas CO) dan melalui
pembakaran sempurna gas-gas pirolisis tersebut di bagian atas dengan udara
sekunder berlebih, dimana pembakaran sempurna gas-gas pirolisis tersebut di
bagian atas harus terjadi lebih cepat dibandingkan pembakaran char dari pelet
biomassa yang terbentuk (Depner, & Jess, 1999), maka dapat diduga bahwa
rancangan kompor gas-biomassa akhir dalam penelitian ini memiliki nyala api
yang berwarna biru sebagai akibat emisi gas CO yang sangat rendah.
Universitas Indonesia
Penggunaan dua buah blower untuk sistem konveksi paksa aliran udara
devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder) secara
independen.
Emisi gas CO serendah mungkin dijadikan sebagai parameter kuantitatif dan
pengamatan visual warna api dijadikan sebagai parameter kualitatif dari nyala
api biru yang diharapkan dari kompor gas-biomassa yang dirancang.
Universitas Indonesia
2.1 Biomassa
2.1.1 Definisi Biomassa dan Pelet Biomassa
Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berasal dari derivat
ternak maupun tumbuhan (dapat ditanam ulang) dan dikenal sebagai energi hijau
(Kong, 2010). Biomassa merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai jenis
bahan organik dalam bentuk padat yang dapat digunakan sebagai bahan bakar,
seperti kayu, arang, kotoran hewan, limbah pertanian, dan limbah padat lainnya
yang dapat terbiodegradasi (Fisafarani, 2010).
Pelet telah diproduksi sejak seabad yang lalu dengan menggunakan panas
dan tekanan sehingga pelet berbentuk silindris, dapat diproduksi dari berbagai
macam materi untuk tujuan yang berbeda-beda. Keuntungan yang diperoleh dari
penggunaan pelet adalah densitasnya yang maksimal sekitar 40 lbs/ft3, mengalir
seperti cairan dan ideal dipergunakan untuk sistem yang otomatis, dapat
digunakan pada kompor dan boiler, dapat digunakan dalam aplikasi berskala kecil
maupun besar, mudah untuk ditangani, disimpan, dan ditransportasikan, serta
meningkatkan karakteristik pembakaran dari bahan baku yang dipergunakan
(www.pelheat.com). Penampilan fisik pelet biomassa dapat dilihat pada Gambar
2.1 di bawah ini.
10 Universitas Indonesia
kualitas yang baik, tahapan prosesnya dideskripsikan dalam skema pada Gambar
2.2 sebagai berikut:
Pembuatan
Pengemasan Pendinginan Pengayakan
Pelet
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Selulosa [(C6H10O5)x]
Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang.
Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk dan terikat menjadi
bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah
unit glucan di dalam polimer yang disebut dengan derajat polimerisasi, di mana
pada umumnya terdapat sekitar 2.000-27.000 unit glucan dalam selulosa. Selulosa
terdekomposisi pada suhu pirolisis 315-400oC dengan melepaskan CO dan CO2
dalam jumlah sedikit, senyawa organik (C=O, C-O-C, dan sebagainya), dan
sedikit CH4, dengan hasil residu padatan yang paling rendah (Tanto, 2011; Yang,
2007).
c. Lignin [(C9H10O3(CH3O)0,9-1,7)y]
Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari unit phenylphropane
yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Lignin adalah material yang paling
Universitas Indonesia
kuat dalam biomassa. Lignin memiliki titik leleh yang cukup rendah, yaitu pada
suhu 140oC. Lignin bersifat sangat resisten terhadap degradasi, baik secara
biologi, enzimatis, maupun kimia. Lignin memiliki rasio C dan O serta rasio H
dan O yang lebih besar daripada fraksi karbohidrat lainnya dalam biomassa. Hal
inilah yang membuat lignin lebih potensial untuk proses oksidasi dibandingkan
dengan yang lainnya. Adapun lignin terdekomposisi pada suhu pirolisis 150-
900oC, di mana tidak ada CO dan senyawa organik yang dihasilkan sebagai gas
pirolisis, melainkan CH4 dalam jumlah tinggi, dengan residu padatan yang
dihasilkan paling tinggi dibandingkan dengan komponen biopolimer lainnya
(Tanto, 2011; Yang, 2007).
Universitas Indonesia
gas pembakaran. Tidak seperti analisis proximate yang dapat dilakukan dengan
peralatan sederhana, analisis ultimate harus dilakukan di laboratorium dengan
peralatan yang lengkap oleh ahli kimia yang terampil (Tanto, 2011).
Adapun analisis proximate dan ultimate untuk biomassa dari bagas yang
diperoleh dari literatur, dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Menurut hasil
karakterisasi biomassa yang dilakukan oleh Fisafarani (2010), bagas memiliki
kandungan hemiselulosa, selulosa, dan lignin secara berurutan sebesar 27,63%,
39,29%, dan 21,98% berdasarkan persentase berat keringnya. Sedangkan, hasil uji
karakterisasi bahan bakar biomassa dari bagas yang digunakan dalam penelitian
(analisis proximate, ultimate, dan nilai kalori) yang dilakukan oleh Balai Besar
Teknologi Energi yang terdapat di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Serpong, dapat dilihat pada LAMPIRAN.
(Purwanto, 2010)
Universitas Indonesia
C H N S O
Biomass
% adb
Straw 36.48 4.7 0.61 0.09 40.7
Rice Husk 35.18 4.46 0.15 0.01 38.36
Kamper Wood 45.67 5.74 0.12 Trace 47.26
Rubber Wood 45.62 5.57 0.72 0.04 43.76
Coconut Fiber 46.87 5.77 0.04 0.08 43.97
EFB 44.06 6.06 0.29 0.11 46.05
Bagasse 46.1 6.1 0.11 0.17 46.18
(Purwanto, 2010)
Universitas Indonesia
b. Devolatilisasi (Pirolisis)
Jika pengeringan partikel-partikel dalam biomassa telah selesai terjadi,
maka suhu akan meningkat. Ketika suhu naik dan panas diabsorpsi oleh partikel
biomassa, biomassa terdekomposisi melalui tahapan secara lengkap (dimulai dari
hemiselulosa, selulosa, dan lignin). Sebagai akibatnya, biomassa melepaskan
volatile matter dan menyisakan produk padatan (char). Adapun dalam proses
dekomposisi biomassa tersebut, sebenarnya antara pelepasan volatile matter atau
produk gas pirolisis dan pembentukan produk padatan (char) terjadi secara
terpisah. Bila dipandang dari sisi pelepasan volatile matter dari biomassa,
fenomena ini disebut dengan devolatilisasi. Sedangkan, dipandang dari sisi
pembentukan char, fenomena ini dikenal dengan nama karbonisasi (Roth, 2011).
Volatile matter sendiri diyakini berasal dari spesi turunan dari putusnya
ikatan -H2, -CH, -CH2, -CH3, dan -OH yang terdapat di sekeliling biomassa, di
mana spesi-spesi tersebut memiliki berat molekul yang ringan (Tanto, 2011) Pada
saat devolatilisasi terjadi, volatile matter mengalir keluar dari pori-pori partikel
biomassa sehingga oksigen dari luar tidak dapat berpenetrasi ke dalam partikel.
Oleh karena itu, fenomena devolatilisasi ini sering juga disebut dengan tahap
pirolisis (Borman, & Ragland, 1998). Pirolisis merupakan destruksi termal dari
material organik tanpa keberadaan oksigen (Demirbas, 2004).
Selanjutnya, produk gas pirolisis akan menyala dan membentuk api yang
mengelilingi sekitar partikel sebagai akibat dari oksigen yang berdifusi ke produk
Universitas Indonesia
c. Pembakaran Gas
Biomassa mengandung komponen penyusun yang sangat kompleks
dimana volatile matter yang ada di dalamnya berbeda untuk setiap jenis
biomassanya. Berikut ini merupakan reaksi pembakaran sederhana dari volatile
matter yang seringkali terjadi pada proses pembakaran bahan bakar padat
(Fisafarani, 2010):
+ → QP = +242 kJ/mol (2.1)
+ → QP = +283 kJ/mol (2.2)
+ → + QP = +35,7 kJ/mol (2.3)
+ → + QP = -206 kJ/mol (2.4)
+ → + QP = +41,1 kJ/mol (2.5)
Universitas Indonesia
Diman QP sama dengan –ΔH (Glassman, 1996). Adapun panas yang dihasilkan
oleh reaksi eksotermis sangat penting dalam pelepasan volatile matter dan
penyalaan api pada char.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
teknologi ini menawarkan kelebihan berupa efisiensi yang tinggi dan emisi yang
bersih (Agung, et al., 2010). Hal ini disebabkan oleh gas pirolisis yang dihasilkan
selanjutnya dibakar secara sempurna. Pada Gambar 2.5 berikut ini adalah skema
proses yang terjadi dalam suatu gasifier.
Universitas Indonesia
digunakan untuk aplikasi skala kecil hingga sedang, dimana kalor yang diperlukan
mencapai 1 MW (Akudo, 2008).
1) Up Draft Gasifier
Pada jenis gasifier ini, udara disuplai dari bagian bawah. Api juga
dinyalakan dari bawah. Sedangkan, gas panas bergerak mengalir ke atas dan
kemudian keluar menuju atmosfer, sementara bahan bakar terus-menerus
bergerak ke bawah secara berkelanjutan sebagai akibat pirolisis volatile
matter. Karena gerakan yang berlawanan tersebut, jenis gasifier ini sering
disebut dengan Countercurrent Gasifier. Jenis gasifier ini memiliki kelebihan,
yaitu sederhana, suhu keluaran gas relatif rendah, efisiensi termal tinggi, dan
masih dapat melakukan pembakaran meskipun moisture content dari biomassa
mencapai 60%. Akan tetapi, jenis gasifier ini tidak cocok untuk diaplikasikan
pada kompor gas-biomassa yang dirancangan karena menghasilkan tar dan
asap hidrokarbon dalam kadar yang tinggi (Akudo, 2008; Belonio, 2005).
Skema Up Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.6 sebagai berikut.
Universitas Indonesia
Sementara itu, bahan bakar juga bergerak ke bawah, seperti gas pirolisis,
sehingga dikenal dengan Co-current Gasifier. Meskipun begitu, jenis gasifier
ini memiliki efisiensi keseluruhan yang lebih rendah serta penanganan yang
sulit untuk biomassa dengan moisture content dan kandungan abu yang tinggi
daripada Up Draft Gasifier. Pada jenis gasifier ini juga amatlah penting untuk
memperhatikan distribusi suhu tinggi yang merata di seluruh area dalam
reaktor gasifikasi. Oleh karena itu, Down Draft Gasifier terbatas hanya untuk
range daya kurang dari 1 MW (Akudo, 2008; Belonio, 2005). Skema Down
Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.7 sebagai berikut.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
c. lubang panci (pot hole), sebagai tempat panci diletakkan yang didesain
sehingga gas buang tidak keluar melalui celah bawah panci;
d. cerobong (chimney), sebagai jalur keluar gas buang, dimana sirkulasi
cerobong (chimney draught) merupakan salah satu daya pendorong (selain
buoyancy force dan frictional force) terbentuknya aliran fluida (bergantung
pada perbedaan suhu antara fluida pada dasar cerobong dengan lingkungan
luar dan tinggi dari cerobong);
e. penghalang (baffle), sebagai penghalang lintasan aliran gas buang di bawah
panci untuk meningkatkan laju alir aliran gas buang sehingga laju perpindahan
kalor juga meningkat;
f. sambungan (connecting tunnels), untuk menyambungkan ruang-ruang dalam
kompor jenis multi-pot;
g. pengatur api (damper), untuk mengatur induksi udara dalam kompor sehingga
daya keluaran dapat diatur.
Komponen yang terdapat pada rancangan kompor gas-biomassa dalam penelitian,
antara lain ruang pembakaran (dalam rancangan kompor lebih tepat disebut
reaktor gasifikasi), garangan, lubang panci, dan penghalang. Beberapa
penambahan komponen dilakukan sebagai modifikasi, antara lain ruang char
(char chamber), blower untuk aliran udara secara konveksi paksa, dan burner
(zona pembakaran gas dengan udara sekunder).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
lain) yang terjadi lebih dahulu daripada pembakaran char di dalam kompor
mengakibatkan produk emisi dari pembakaran tidak sempurna, seperti CO, dapat
dikurangi hingga konsentrasi sangat rendah. Emisi CO yang sangat rendah
mampu menyebabkan nyala api biru sehingga kompor dengan prinsip ini
berpotensial untuk menggantikan kompor LPG (Panwar, 2010).
Wood-Gas Turbo Stove dirancang pada tahun 2000 menggunakan prinsip
T-LUD Gasifier, dimana rancangan dapat diperhatikan pada Gambar 2.10.
Gambar 2. 10 Wood-Gas Turbo Stove dengan konveksi alami yang terbuat dari 15 cm riser sleeve
(kiri) dan Wood-Gas Turbo Stove dengan konveksi paksa 3 W blower yang menghasilkan 3 kW
api (kanan)
(Reed, et al., 2000)
Wood-Gas Turbo Stove, kompor ini secara aplikatif telah dapat digunakan untuk
keperluan memasak indoor dan telah mampu meminimasi emisi gas CO hingga
22 ppm (pengukuran 80 cm dari atas kompor). Perancangan kompor tersebut
dilatarbelakangi oleh penggunaan bahan bakar gas yang lebih diminati karena
lebih bersih dibandingkan dengan bahan bakar padat. Adapun laju produksi gas
dan pemanasan dikontrol oleh ketersediaan udara devolatilisasi (udara primer)
yang mengalir dari bawah (Reed, et al., 2000). Meskipun begitu, bahan bakar
yang telah digunakan untuk uji operasi pada Wood-Gas Turbo Stove masih belum
memperhatikan kandungan volatile matter yang tinggi. Bahan bakar yang telah
digunakan, antara lain peanut shell pellets, coconut shell, palm nut shell, kayu
(wood pellets dan wood chips), dan batubara (coal). Hal tersebut dapat dilihat
Universitas Indonesia
pada data operasi dan turunan yang dihasilkan dari pengujian Wood-Gas Turbo
Stove yang disajikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Data Operasi dan Turunan untuk Bahan Bakar yang Dipilih dalam Pengujian Wood-
Gas Turbo Stove
PEANUT
WOOD COCONUT PALM NUT WOOD
TEST FUEL SHELL COAL
PELLETS SHELL SHELL CHIPS
PELLETS
Test Date 5/25 5/9 4/22 4/27 4/26 4/28
FUEL DATA
Moisture Content 6,4 6,5 6,2 6 7,8 3,1
Fuel Wt. – g 500 500 305 150 180 260
Fuel Density-
0,58 0,64 0,48 0,26 0,265 1,69
g/cm3
RUN DATA
Volatile burn
30 41 19 13 15 37
time-min
Volatiles burned-g 490 410 215 130 150 150
Times to Boil-min 7,2 7,0 13,0 8,0 6,0 10,0
Charcoal yield-g 130,0 90,0 90,0 20,0 30,0 130,0
Water boiled-g 930,0 850,0 220,0 100,0 145,0 850,0
DERIVED DATA
Charcoal Yield-% 26,0 18,0 29,0 13,0 17,0 50,0
Boiling Efficiency 31,0 31,8 37,5 33,0 20,0 24,0
Average Intensity 2,1 2,5 2,8 2,5 2,5 2,4
Batubara (coal) sebagai bahan bakar sebenarnya sangat membuang energi dan
menimbulkan polusi yang tinggi akibat kandungan C yang tinggi, sedangkan
penggunaan kayu sebagai bahan bakar masih berbenturan dengan masalah
deforestasi (Reed, et al., 2000; Achard, 2002). Oleh karena itu, untuk jenis bahan
bakar biomassa lainnya, Wood-Gas Turbo Stove masih membutuhkan optimasi
dan penyesuaian dengan keperluan penggunaannya. Selain itu, walaupun
pembakaran dalam kompor tersebut relatif bersih, namun kualitas pencampuran
Universitas Indonesia
gas-udara masih rendah akibat ketidakstabilan api sehingga terkadang api yang
timbul berwarna kuning. Selain itu, pada pengujian Wood-Gas Turbo Stove
diperoleh char yield 20-25% (basis massa kering), yang berarti bahwa masih ada
char yang terbakar dan hal ini tentunya memerlukan penanganan (Reed, et al.,
2000). Hal tersebut dapat terjadi karena berkaitan dengan reaktivitas dari char
yang terbentuk (Erlich, 2005). Pembakaran char yang mengandung C tinggi dapat
mengakibatkan meningkatnya emisi gas CO karena reaksi C menjadi CO
berlangsung cepat.
Kemudian, ada pula Anderson’s Juntos “Model B” T-LUD Gasifier yang
dibuat pada tahun 2004. Kompor tersebut memanfaatkan konveksi paksa, baik
untuk aliran udara primer maupun udara sekunder. Anderson juga merancang
kompor gas-biomassa dengan memanfaatkan aliran udara secara konveksi alami,
dimana kompor tersebut diberi nama Champion T-LUD ND (Natural Draft) yang
dimanufaktur oleh Servals Automation Pvt. Ltd, India. Kompor tersebut berhasil
memenangkan penghargaan sebagai kompor dengan pembakaran paling bersih di
antara sembilan jenis kompor biomassa lainnya pada Aprovecho Stove Camp
2005, dimana kompor tersebut menghasilkan emisi gas CO sebesar 3,5 g/L
dengan bahan bakar pelet dari biomassa kayu. Desain ruang gasifikasi dan
pembakaran berhasil diselesaikan pada akhir bulan Agustur tahun 2005 dan
kompor tersebut mulai diproduksi secara komersial di India pada tahun 2009.
Champion T-LUD ND (Natural Draft) dapat dilihat pada Gambar 2.11 sebagai
berikut (Roth, 2011).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Selain itu, di Indonesia, kompor gas-biomassa yang telah dibuat antara lain
kompor gas-biomassa yang juga diadopsi dari Belonio’s Rice Husk T-LUD
Universitas Indonesia
Gasifier, namun bahan bakar kompor berupa pelet biomassa dan wood charcoal
Kompor tersebut diberi nama MJ Biomass-Gas Stove, yang dimanufaktur oleh PT
Minang Jordanindo Approtech. Kompor tersebut hanya memiliki daya keluaran
sebesar 1 kW dengan sistem batch dalam pengisian bahan bakar (Roth, 2011).
Mahasiswa dari UNS, W. Agung, et al. (2011) juga mengadopsi kompor yang
didesain oleh Belonio tersebut. Di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah diproduksi
kompor gas-biomassa dengan prinsip T-LUD yang merupakan hasil karya
Muhammad Nurhuda dari Departemen Fisika Universitas Brawijaya, Malang,
yang terdiri dari dua model, yaitu bernama UB-02 dan UB-03-1 (Roth, 2011).
Kompor tersebut berhasil mencapai efisiensi lebih dari 50%. Menurut Nurhuda,
kunci keberhasilan dari kompor tersebut adalah pada gerak turbulen atau gerakan
mengaduk antara aliran gasifikasi terpanaskan dan aliran udara sekunder yang
menyebabkan pembakaran sempurna (www.fisika.ub.ac.id).
Universitas Indonesia
keramik (fired-clay). Kompor logam dapat dibuat dari lembaran logam atau
cetakan besi. Pada umumnya, kompor logam diproduksi di pabrik karena
memerlukan pekerja ahli dan biaya produksinya tinggi karena rancangannya
rumit, dan memiliki kelemahan, yakni dapat mengalami korosi. Namun, masalah
korosi tersebut dapat dicegah dengan pelapisan (coating). Adapun, untuk kompor
tanah liat, kualitasnya bergantung pada komposisi. Kandungan tanah liat
mempengaruhi sifat plastisitas dan kohesi, sedangkan kandungan pasir dan
endapan pada kompor tanah liat mempengaruhi tingkat kekasaran bahan.
Sedangkan, kompor keramik memiliki kelemahan, yaitu perlunya ditambahkan
aditif untuk meningkatkan ketahanan termal dan tegangan mekanik (Handayani,
2009).
Bahan konstruksi yang dipilih untuk kompor gas-biomassa dalam
penelitian ini adalah mild steel dan refraktori jenis ceramic fiber. Mild steel
digunakan untuk reaktor gasifikasi dan dipilih karena logam bersifat konduktor
panas sehingga kalor dalam reaktor gasifikasi yang diterimanya mampu
dilepaskan dengan mudah untuk memanaskan (preheating) udara pembakaran
(udara sekunder) yang mengalir melalui anulus di kedua sisinya sehingga laju alir
udara tersebut meningkat. Sedangkan, refraktori jenis ceramic fiber dipilih
sebagai bahan insulator di bagian terluar kompor gas-biomassa untuk menghindari
terjadinya heat losses. Selain itu, udara pembakaran yang mengalir di sebelah
kanan dan kiri kompor juga dapat membantu upaya insulasi karena udara juga
bersifat isolator panas.
b. Teknik Pembakaran
Mekanisme gasifikasi dan pembakaran pada kompor gas-biomassa yang
dirancang dalam penelitian harus diperhatikan, dimana suplai udara devolatilisasi
(udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder) harus dalam proporsi yang
tepat dan distribusi yang merata untuk mencapai reaksi yang diinginkan dapat
berlangsung. Selain itu, kestabilan posisi api untuk berada tetap di bagian atas
kompor juga memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas CO yang
menjadi tujuan utama dari penelitian ini. Adapun kestabilan posisi api di atas
unggun pelet dipengaruhi oleh laju alir udara devolatilisasi (udara primer) gas
Universitas Indonesia
pirolisis yang mengalir ke atas. Besar laju alir superfisial udara devolatilisasi
(udara primer) dan gas tersebut ke atas harus sama dengan laju alir propagasi api
(flame speed) yang memberikan kalor ke bawah untuk mempertahankan posisi
stasioner api. Hal ini disebabkan oleh udara dan bahan bakar yang bercampur
dalam ruang pembakaran sebelum mendekati daerah nyala api sehingga api yang
terbentuk digolongkan premixed flame. Premixed flame dipengaruhi oeh beberapa
faktor, antara lain turbulensi, suhu, tekanan, komposisi campuran dan rasio
ekuivalen, serta jenis dan karakteristik bahan bakar (Turns, 1996). Oleh karena
itu, mempertahankan posisi api di atas unggun pelet merupakan salah satu
pekerjaan penting dalam penelitian untuk memperoleh kompor gas-biomassa yang
beremisi gas CO rendah menggunakan prinsip T-LUD Gasifier.
c. Mekanika Fluida
Selain itu, aspek mekanika fluida juga diperhatikan, misalnya mengatur
jalannya aliran udara (draft) dengan baik dan membuat turbulensi aliran yang
menyebabkan pencampuran bahan bakar-udara dalam ruang pembakaran menjadi
merata dan semakin sempurna karena aliran yang homogen sehingga
memperbesar perpindahan kalor secara konveksi yang terjadi (Bryden, 2002).
Masalah turbulensi aliran sebenarnya berkaitan erat dengan aliran konveksi.
Misalnya, dalam penelitian ini, preheat udara pembakaran gas-biomassa
menyebabkan suhu udara pembakaran meningkat sehingga densitasnya menjadi
rendah dan laju alir alirannya menjadi meningkat.
Aspek mekanika fluida lainnya adalah friksi, yang dapat menurunkan
besar laju alir fluida. Kehilangan friksi akan semakin meningkat dengan
meningkatnya laju alir (Lepeleire, 1981). Meningkatnya laju alir akibat
meningkatnya kehilangan friksi mengakibatkan turbulensi aliran pun meningkat
sehingga kesempurnaan pencampuran udara dan gas lebih homogen. Adapun laju
alir udara dan gas yang menurun dapat mengakibatkan terjadi ketidakstabilan
posisi api di atas unggun pelet, suhu api menurun, dan laju perpindahan kalor
secara konveksi menurun sehingga proses memasak menjadi kurang efektif.
Universitas Indonesia
d. Perpindahan Kalor
1) Konveksi
Konveksi adalah perpindahan kalor melalui suatu medium (fluida)
yang disertai dengan perpindahan medium tersebut. Konveksi dibagi menjadi
dua, yaitu konveksi alami dan konveksi paksa. Konveksi alami disebabkan
oleh daya (buoyance force) yang dihasilkan oleh perbedaan massa jenis akibat
perbedaan suhu. Sedangkan, konveksi paksa disebabkan oleh daya dari
blower, fan, atau kondisi berangin yang menyebabkan timbulnya udara paksa.
Rumus dasar konveksi:
=ℎ ( − ∞) (2.13)
Perpindahan kalor konveksi bergantung pada viskositas fluida dan
sifat-sifat termal fluida (kalor spesifik, densitas). Hal ini dikarenakan
viskositas mempengaruhi profil laju alir dan laju perpindahan energi di daerah
dinding (Holman, 1981; Lepeleire, 1981). Konveksi merupakan perpindahan
kalor utama yang terjadi pada kompor, di mana terjadi pada daerah gas panas
dari api ke panci, aliran melewati cerobong, celah antara panci dan dinding,
dan lain-lain (Rizqiardihatno, 2008). Koefisien perpindahan kalor konveksi
merupakan fungsi dari jenis aliran (laminar atau turbulen), driving force untuk
aliran (buoyancy, dan lain-lain), laju alir aliran, bentuk geometri, dan sifat
fisik dari fluida yang mengalir (Lepeleire, 1981).
Adapun, sistem yang digunakan dalam kompor gas-biomassa dalam
penelitian ini adalah sistem konveksi paksa dengan menggunakan dua buah
blower secara independen. Perhitungan konveksi paksa melibatkan bilangan
Nusselt yang merupakan fungsi dari bilangan Reynold dan bilangan Prantdl,
di mana faktor jenis aliran dan bentuk geometri perlu diperhatikan (Holman,
1981).
2) Konduksi
Konduksi adalah perpindahan energi panas dari daerah yang memiliki
suhu lebih tinggi ke daerah bersuhu lebih rendah melalui transfer molekular
pada material padat yang dapat menghantarkan panas (bersifat konduktor).
Mekanismenya ketika kalor dikenai pada permukaan salah satu sisi benda
Universitas Indonesia
=− (2.14)
3) Radiasi
Radiasi merupakan perpindahan kalor tanpa adanya medium sehingga
tidak ada transfer momentum maupun transfer massa yang dapat dianalogikan.
Radiasi termal dapat didefinisikan sebagai energi yang dipancarkan oleh
Universitas Indonesia
e. Kinetika Reaksi
Sebelum memahami bagaimana penurunan emisi gas CO dapat terjadi
melalui pembakaran fase gas sehingga desain kompor gas-biomassa mampu
mencapai emisi gas CO yang rendah, hal yang perlu dipahami adalah kinetika
reaksi dari pembentukan gas CO dan CO2 yang merupakan gas polutan hasil
pembakaran yang terjadi dalam kompor. Untuk CO, gas ini biasanya dihasilkan
ketika udara pembakaran yang tersedia kurang dari jumlah stoikiometrik yang
seharusnya (µ < 1, di mana µ = udara aktual/udara stoikiometrik) (Ndiema,
Mpendazoe, & Williams, 1998).
Pertama-tama, selama penyerangan awal oksigen terhadap hidrokarbon,
gas CO terbentuk melalui mekanisme reaksi yang cepat (fast reaction) pada
daerah sempit pada zona reaksi dan reaksi yang berlangsung bersifat eksotermis.
Sementara itu, gas CO yang terbentuk kemudian dikonversi menjadi CO2 melalui
mekanisme reaksi yang lambat (slow reaction) pada daerah luas pada zona reaksi,
memerlukan waktu tinggal (residence time) yang cukup lama untuk mencapai
Universitas Indonesia
Reaksi tersebut bersifat eksotermis dan berjalan lambat (slow reaction) sehingga
akan lebih menguntungkan apabila suhu reaksi tinggi. Suhu yang semakin tinggi
akan semakin mempercepat laju reaksi konversi gas CO menjadi CO2. Oleh
karena itu, apabila desain kompor yang dirancang buruk, maka hal tersebut sangat
memungkinkan emisi gas CO yang dihasilkan menjadi signifikan sekalipun udara
berlebih dalam jumlah besar. Dengan demikian, pemahaman tentang kinetika
reaksi tersebut berpengaruh terhadap aspek perancangan kompor.
Yang kedua, karena proses pembakaran melalui unggun pelet setelah
reaksi awal, O2 dikonsumsi dalam jumlah sangat banyak sehingga CO2 direduksi
melalui reaksi Boudouard sebagai berikut:
+ →2 (2.18)
di mana reaksi bersifat endotermis (Ndiema, 1998).
Menurut Makino (1992), untuk memperoleh reaksi yang sempurna menuju
pembentukan CO2, ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu kecukupan waktu
tinggal reaksi untuk reaksi CO ke CO2, kecukupan oksigen untuk
menyempurnakan reaksi oksidasi, dan suhu reaksi yang cukup tinggi untuk
memperbesar kinetika reaksi oksidasi. Untuk memperpanjang waktu tinggal, dua
hal dapat dilakukan, yakni meneliti efek kedalaman chimney dan memasang hood
di ata bibir kompor (Sugiyanto, 2010). Adapun berdasarkan uraian kinetika reaksi
gas CO dan CO2 di atas, maka untuk mengurangi emisi gas CO memang dapat
dilakukan dengan memperhatikan suhu reaksi yang sesuai dan konsentrasi O2
dalam udara yang digunakan untuk pembakaran dalam perancangan kompor.
Suhu reaksi yang sesuai, di mana diperlukan suhu yang tinggi untuk reaksi
konversi gas CO menjadi CO2 sehingga emisi gas CO dapat dikurangi.
Sedangkan, untuk waktu tinggal, pada kompor gas-biomassa yang dirancang
dalam penelitian tidak berdampak signifikan terhadap konversi gas CO menjadi
CO2 karena posisi api yang berada di atas menghalangi gas CO untuk keluar ke
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
g) Waktu pendidihan
Parameter ini merupakan waktu yang diperlukan untuk mendidihkan sejumlah
air dengan massa tertentu, diukur sejak panci diletakkan di atas kompor
hingga air mencapai suhu 100oC.
h) Kalor sensibel
Parameter ini merupakan jumlah energi kalor yang dibutuhkan untuk
meningkatkan suhu air, dihitung sebelum dan sesudah air mencapai suhu
100oC.
i) Kalor laten
Parameter ini merupakan jumlah energi kalor yang dibutuhkan untuk
menguapkan air (mengubah wujud air dari cair menjadi uap).
j) Energi kalor yang masuk (Heat Energy Input)
Parameter ini merupakan jumlah energi kalor yang terdapat di dalam bahan
bakar.
k) Efisiensi termal
Parameter ini merupakan perbandingan antara jumlah energi kalor yang
dibutuhkan untuk mendidihkan dan menguapkan air terhadap jumlah energi
kalor yang terdapat di dalam bahan bakar.
l) Daya yang masuk (Power Input)
Parameter ini merupakan jumlah energi yang disuplai ke kompor berdasarkan
jumlah bahan bakar yang dikonsumsi.
m) Daya yang keluar (Power Output)
Parameter ini merupakan jumlah energi yang dilepaskan oleh kompor untuk
memasak.
n) Persentase char yang diproduksi
Parameter ini merupakan perbandingan antara jumlah char yang diproduksi
terhadap jumlah bahan bakar yang digunakan.
Universitas Indonesia
dengan M massa air, cp1 kalor jenis air, M1 massa bejana, cp2 kalor jenis bejana,
M2 massa air terevaporasi, HL kalor laten penguapan, dan HC kalor pembakaran
(Rizqiardihatno, 2008; Handayani, 2009).
Dengan demikian, parameter efisiensi termal dalam perancangan kompor
gas-biomassa dapat diukur secara kuantitatif melalui metode WBT ini. Adapun
pengukuran efisiensi termal dengan metode WBT perlu dilakukan karena
berkaitan dengan sisi aplikatif kompor gas-biomassa. Yang dimaksud sisi aplikatif
di sini adalah alangkah baiknya apabila kompor gas-biomassa yang dirancang
dalam penelitian ini tidak hanya baik dari segi kesehatan pengguna, yakni dengan
emisi gas CO yang rendah, tetapi juga dengan efisiensi termal yang tinggi mampu
digunakan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk memasak dengan lebih cepat.
Universitas Indonesia
47 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 3. 1 Kalor Spesifik dan Energi yang Diperlukan untuk Memasak Suatu Makanan
×
= (3.1)
di mana,
Qn = energi yang diperlukan, Kkal/jam
Mf = massa makanan, kg
Es = energi spesifik, Kkal/kg
T = waktu memasak, jam
= (3.2)
×
di mana,
FCR = laju konsumsi bahan bakar, kg/jam
Qn = energi yang diperlukan, Kkal/jam
HVf = nilai kalor dari bahan bakar, Kkal/kg
ξg = efisiensi gasifier stove, %
Universitas Indonesia
di mana,
D = diameter dari reaktor, m
FCR = laju konsumsi bahan bakar, kg/jam
SGR = laju gasifikasi spesifik dari bahan bakar, kg/m2.jam
×
= (3.4)
di mana,
H = tinggi dari reaktor, m
SGR = laju gasifikasi spesifik dari bahan bakar, kg/m2.jam
T = waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi bahan bakar, jam
ρrh = densitas dari bahan bakar yang digunakan, kg/m3
4) Menghitung jumlah udara dan jumlah draft yang diperlukan untuk proses
gasifikasi dari bahan bakar biomassa yang digunakan.
× ×
= (3.5)
di mana,
AFR = laju alir udara devolatilisasi (udara primer), m3/jam
ε = rasio ekuivalen, 0,3 sampai 0,4
FCR = laju konsumsi bahan bakar, kg/jam
SA = udara stoikiometrik dari bahan bakar, kg udara/kg biomassa
ρa = densitas udara, 1,25 kg/m3
= ( )
(3.6)
di mana,
Vs = laju alir superfisial gas, m/s
AFR = laju alir udara devolatilisasi (udara primer), m3/jam
D = diameter dari reaktor, m
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
q. Menghitung efisiensi termal dengan rumus 2.19 yang digunakan pada metode
Water Boiling Test.
r. Mengulangi prosedur di atas dengan mendinginkan kompor hingga kembali
pada suhu ruang untuk rasio antara laju alir udara devolatilisasi (udara primer)
dan laju alir udara pembakaran (udara sekunder) divariasikan.
Keterangan: (Pada kompor gas-biomassa, komponen yang dibakar ialah volatile
matter-nya, maka char yang tersisa dapat dimanfaatkan untuk karbon aktif (yang
Universitas Indonesia
dapat berguna sebagai adsorben atau untuk biochar yang berguna sebagai bahan
penyubur tanah.)
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah berupa hasil perhitungan
dimensi, bentuk, dan ukuran kompor gas-biomassa dengan prinsip Top-Lit Up
Draft (T-LUD) Gasifier, serta data-data yang didapatkan dari uji performa
kompor tersebut berupa data emisi gas CO, suhu, dan sebagainya. Adapun
pembahasan dan analisis hasil penelitian akan dilakukan secara rinci sesuai
dengan metode penelitian yang sudah diuraikan pada BAB III METODE
PENELITIAN.
Universitas Indonesia
× 1 × 72 ⁄ × ( 60 ⁄ )
= = = 864 ⁄
5
=1
Sedangkan, menurut Reed (2000), jumlah daya yang diperlukan oleh kompor
gas-biomassa berkisar antara 1-3 kW. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka desain kompor gas-biomassa dalam penelitian menggunakan nilai
maksimum dari jumlah daya yang diperlukan, yaitu sebesar 3 kW (sama
dengan tiga kali jumlah daya yang diperlukan untuk memanaskan 1 kg air
selama 5 menit). Adapun daya yang lebih besar dipilih dengan tujuan
mendesain kompor gas-biomassa yang dapat digunakan dalam waktu operasi
yang lebih lama, mengingat sistem kompor gas-biomassa ini beroperasi secara
batch, dimana pengisian bahan bakar akan mengganggu proses gasifikasi yang
sedang berlangsung. Oleh karena itu, dipilih kapasitas maksimum sehingga
pengguna tidak perlu direpotkan dengan pengisian bahan bakar yang terlalu
sering.
=3 = 2.581,15 ⁄
b. Untuk menentukan kebutuhan jumlah bahan bakar yang disuplai sesuai
dengan kebutuhan energi, data yang digunakan antara lain, jumlah daya yang
diperlukan, nilai kalori bahan bakar, dan efisiensi kompor gas-biomassa.
Jumlah daya yang diperlukan sebesar 2.581,15 kkal/jam (diperoleh dari
perhitungan sebelumnya). Nilai kalori bahan bakar merupakan nilai kalori
rata-rata dari dua jenis biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar untuk
kompor dalam penelitian ini, di mana kompor gas-biomassa yang dirancang
digunakan untuk dua penelitian, yaitu uji performa dengan pelet biomassa dari
bagas dan pelet biomassa dari kayu karet. Berdasarkan hasil uji karakterisasi
bahan bakar biomassa yang digunakan dalam penelitian oleh Balai Besar
Teknologi Energi yang terdapat di Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Serpong, nilai kalori (HHV/High Heating Value) untuk
bagas sebesar 3.913 kal/g (16.379 kJ/kg) dan nilai kalori (HHV/High Heating
Value) untuk kayu karet sebesar 3.771 kal/g (15.784,7 kJ/kg). Adapun nilai
kalori yang digunakan dalam perhitungan merupakan LHV atau Low Heating
Value, yang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
= − 3.240 ( ⁄ ) (Napitupulu, 2006) (4.1)
Universitas Indonesia
Dengan demikian, didapatkan LHV untuk bagas sebesar 13.139 kJ/kg dan
LHV untuk kayu karet sebesar 12.544,7 kJ/kg sehingga LHV rata-rata untuk
kedua biomassa tersebut adalah sebesar 12.841,8 kJ/kg (3.069,2 kkal/kg).
Kemudian, efisiensi dari kompor gas-biomassa yang dirancang (yang
merupakan sebuah reaktor gasifikasi) diasumsikan sebesar 60%, mendekati
efisiensi kompor LPG. Maka, dengan menggunakan rumus berikut ini
diperoleh:
2.581,15 ⁄
= = = 1,4 ⁄
× 3.069,2 ⁄ × 0,6
c. Selanjutnya, perhitungan yang dilakukan adalah menghitung ukuran reaktor
gasifikasi dari kompor, yakni diameter dan tinggi dari reaktor gasifikasi.
Untuk menghitung diameter dan tinggi dari reaktor gasifikasi diperlukan data
SGR atau Specific Gasification Rate, yaitu jumlah bahan bakar biomassa yang
digunakan per satuan waktu per satuan luas penampang reaktor gasifikasi.
Nilai SGR untuk bagas dan kayu karet tidak berhasil diperoleh dari studi
literatur. Dalam literatur, justru diperoleh SGR untuk sekam padi sebesar 110-
210 kg/m2.jam, di mana Belonio’s rice husk stove menggunakan SGR 90
kg/m2.jam dengan FCR sebesar 1,5 kg/jam (Belonio, 2005). Oleh karena itu,
nilai rata-rata SGR untuk bagas dan kayu karet diasumsikan sebesar 80
kg/m2.jam dengan FCR sebesar 1,4 kg/jam. Waktu yang diperlukan untuk
mengoperasikan reaktor gasifier atau membakar seluruh bahan bakar
biomassa, dari bagas atau kayu karet yang digunakan, diasumsikan selama 1,3
jam. Lalu, densitas untuk bagas adalah 122,5 kg/m3 dan densitas untuk kayu
karet adalah 290,67 kg/m3 (Fisafarani, 2010) sehingga densitas rata-rata untuk
kedua biomassa tersebut sebesar 206,58 kg/m3. Berikut ini merupakan
perhitungan diameter dan tinggi kompor berdasarkan rumus yang didapatkan
dari literatur:
, ,
1,27 1,27 × 1,4 ⁄ℎ
= = = 0,1491 = 14,91
80 ⁄ . ℎ
≈ 15
Universitas Indonesia
× 80 ⁄ . ℎ × 1,3
= = = 0,5034 = 50,34
206,58 ⁄
≈ 51
d. Perhitungan berikutnya adalah menghitung jumlah udara yang diperlukan
untuk proses gasifikasi dari bahan bakar biomassa yang digunakan, yang
disebut dengan AFR atau Air Flow Rate. Variabel ini sangat penting karena
erat kaitannya dengan penentuan spesifikasi dari blower yang akan digunakan
untuk menggasifikasi bahan bakar biomassa. Rasio ekuivalen ( ) yang
merupakan perbandingan antara jumlah udara aktual dan jumlah udara
stoikiometrik berdasarkan Belonio (2005) sebesar 0,3-0,4. Untuk kompor gas-
biomassa yang dirancang ini, perhitungan menggunakan rasio ekuivalen
minimum, yaitu sebesar 0,3. Sedangkan, nilai SA atau Stoichiometric Air
diperoleh dengan melakukan perhitungan persamaan reaksi terlebih dahulu, di
mana uraian perhitungannya untuk masing-masing bagas dan kayu karet dapat
dilihat pada LAMPIRAN. Dari hasil perhitungan, diperoleh pendekatan rata-
rata SA untuk bagas dan kayu karet sebesar 6,01 kg udara per kg biomassa.
Sedangkan, densitas air sebesar 1,25 kg/m3 (Belonio, 2005).
× ×
=
f. Menghitung tinggi total ruang pembakaran (jumlah tinggi bagian bahan bakar
ditambah dengan tinggi bagian api).
Tinggi unggun bahan bakar dalam reaktor gasifikasi didapatkan melalui
persamaan:
4 × 4 × 1,4 ⁄
= = =
× × ( ) 122,5 ⁄ × (0,15 )
= 0,647 = 64,7 ≈ 65
4 × 1,4 ⁄
= = 0,273 = 27,3
290,67 ⁄ × (0,15 )
≈ 27
Dengan demikian, tinggi unggun bahan bakar rata-rata adalah sekitar 46 cm,
ditambah dengan 12 cm (tinggi bagian api) sehingga tinggi total ruang
pembakaran menjadi 58 cm. Adapun reaktor gasifikasi dirancang dengan
tinggi 51 cm sehingga desain tinggi tersebut perlu ditambah 7 cm lagi,
termasuk penutup bagian atas sebesar 2 cm untuk lubang keluar flue gas.
Selain tinggi total ruang pembakaran, bagian bawah kompor gas-biomassa
juga ditambahkan tingginya sebesar 30 cm untuk keperluan penempatan blower,
di mana blower untuk udara devolatilisasi (udara primer) diletakkan di bagian atas
dari blower untuk udara pembakaran (udara sekunder). Maka, tinggi total kompor
adalah 88 cm.
Adapun blower untuk udara devolatilisasi (udara primer) diarahkan
langsung ke arah garangan (grate) karena berfungsi sebagai pensuplai udara untuk
mengalirkan panas dan volatile matter yang keluar dari biomassa ke bagian atas
kompor. Sedangkan, blower untuk udara pembakaran (udara sekunder) berada di
bagian bawah, di mana udara mengalir di kedua sisi kompor gas-biomassa melalui
anulus dengan diameter 2,5 cm (Belonio, 2005) sehingga total diameter dalam
ditambah dengan diameter anulus menghasilkan diameter luar sebesar 20 cm.
Udara pembakaran (udara sekunder) yang melalui kedua sisi kompor
tersebut juga berguna sebagai insulator panas untuk menghindari heat loss
berlebih. Apalagi, kompor gas-biomassa yang dirancang ini belum begitu
berfokus pada efektivitas perpindahan kalor dan penggunaan material insulator
yang baik untuk mencegah terjadinya heat loss. Selain itu, udara pembakaran
(udara sekunder) yang melalui anulus tersebut juga mengalami pemanasan
Universitas Indonesia
(preheating) karena menerima panas dari dinding luar reaktor gasifikasi secara
radiasi dan konveksi Hal ini berguna untuk memperoleh suhu api yang tinggi dan
efisiensi bahan bakar yang dikonsumsi. Setelah melalui anulus, udara akan masuk
ke melalui lubang-lubang di silinder bagian dalam (reaktor gasifikasi) yang
terletak di bagian selimut silinder atas untuk bercampur dengan gas pirolisis yang
terbentuk dan juga panas yang dibawa mengalir ke atas bersama udara
devolatilisasi (udara primer). Dengan demikian, terbentuklah api yang dihasilkan
oleh pembakaran sempurna dari gas pirolisis yang terbentuk. Diameter untuk
lubang udara sekunder tersebut adalah sebesar 1,3 cm atau setara dengan 0,5 in
(Belonio, 2005).
Kemudian, pada kompor juga dirancang ruang untuk mengumpulkan char
dan abu hasil pembakaran yang disebut dengan char chamber. Char chamber
tersebut dirancang berada pada kedua sisi kompor dekat dengan garangan (grate),
di mana antara garangan (grate) dan char chamber terdapat pintu fleksibel yang
terbuat dari plat, yang dapat ditutup dan dibuka untuk mengeluarkan char dan abu
tersisa. Adapun char chamber berbentuk kubus dengan ukuran sisi sebesar 15 cm.
Garangan (grate) dibuat melengkung seperti berbentuk dome agar char dan abu
tidak jatuh ke bawah yang merupakan tempat diletakkannya blower untuk udara
devolatilisasi (udara primer), melainkan terdorong ke samping di mana terdapat
pintu yang terhubung dengan char chamber sehingga memudahkan pengeluaran
limbah char dan abu. Char dan abu dalam jumlah banyak dengan frekuensi waktu
yang sering mengenai blower pun tidak baik, apalagi bila char dan abu
mengembun pada material blower, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
korosi dan membuat blower tersebut menjadi cepat rusak (Belonio, 2005).
Lalu, bagian atas dibuat fleksibel untuk memudahkan aktivitas
memasukkan bahan bakar ke dalam reaktor gasifikasi. Pada bagian atas tersebut,
terdapat lubang flue gas yang berjumlah 87 lubang dengan diameter sebesar 0,5
cm atau setara dengan 0,1875 in, di mana menurut Belonio (2005), lubang untuk
flue gas berkisar antara 3/18-1/4 in. Selain itu, dibuat pula pemegang terbuat dari
besi pada bagian atas yang dibuat fleksibel tersebut untuk memudahkan
pemasangan dan pembukaannya, serta pertimbangan safety dari paparan panas
Universitas Indonesia
(panas berpindah secara konduksi pada material padat seperti logam), terutama
setelah kompor beroperasi.
Berdasarkan hasil perhitungan dimensi dan ukuran dari kompor, deskripsi
rancangan kompor gas-biomassa secara detail dapat dilihat pada LAMPIRAN A.
Walaupun mayoritas rancangan kompor mengadopsi dari Belonio’s Rice Husk T-
LUD Gasifier, namun hasil rancangan kompor gas-biomassa memiliki beberapa
perbedaan desain dibandingkan dengan Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier.
Adapun perbedaan desain keduanya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini:
Universitas Indonesia
Tabel 4. 1 Perbedaan antara desain kompor gas-biomassa dan Belonio’s Rice Husk T-LUD
Gasifier
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4. 2 Hasil fabrikasi kompor gas-biomassa setelah modifikasi (dengan centrifugal blower)
Universitas Indonesia
Adapun dalam tahap preparasi bahan bakar ini, salah satu langkah yang
penting untuk dilakukan adalah mengatur moisture content dari biomassa.
Moisture content dalam biomassa yang terlalu tinggi mampu menyebabkan bahan
bakar menjadi sulit terbakar, waktu penyalaan lama, dan efisiensi pembakaran
menjadi rendah (Fisafarani, 2010). Adapun moisture content dapat diketahui
dengan melakukan pengeringan biomassa pada oven dengan suhu 105oC (W.
Agung, et al., 2010; Lubwama, 2010) yang berlangsung dalam selang waktu
tertentu. Adapun prosedur pengeringan dapat dicermati pada BAB 3 METODE
PENELITIAN Sub Bab 3.3 Tahapan Penelitian. Berikut ini merupakan data yang
diperoleh dari hasil pengeringan sampel biomassa bagas sebanyak 10,001 g dan
hasil pengolahannya disajikan dalam Tabel 4.2 sebagai berikut.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kecil, yakni berkisar antara 2-6%. Jika dibandingkan dengan Belonio’s Rice Husk
T-LUD Gasifier yang menghasilkan char dan abu hingga 16,9-35% dan Wood
Gas Turbo Stove 13-50% dengan variasi bahan bakar, nilai persentase tersebut
sangatlah kecil. Hal ini sebenarnya tidak mengherankan karena kandungan abu
(ash content) dan karbon tetap (fixed carbon) yang dimiliki oleh bahan bakar
biomassa yang digunakan (bagas) dalam penelitian relatif rendah, yaitu sebesar
1,32% dan 14,33%, sedangkan volatile matter dalam bagas tersebut mencapai
73,16% (basis massa kering) (lihat LAMPIRAN). Dengan demikian, pemilihan
karakteristik bahan bakar yang dipergunakan memang merupakan salah satu
faktor penting dalam mengoptimasi performa suatu kompor.
Tabel 4. 3 Persentase massa char dan abu terhadap massa bahan bakar
menjadi driving force pengeluaran volatile matter karena panas yang dihasilkan
dari reaksi pembentukan CO yang bersifat eksotermis tersebut (Sugiyanto, 2010).
Sedangkan, gas-gas hasil pembakaran tak sempurna dengan udara devolatilisasi
(udara primer) terbatas, yang bergerak ke atas bersama aliran udara devolatilisasi
(udara primer) adalah bahan bakar yang sesungguhnya. Gas-gas tersebut
selanjutnya dibakar dengan sempurna setelah mengalami kontak dengan udara
pembakaran (udara sekunder) dan api di bagian atas reaktor gasifikasi dari
kompor gas-biomassa. Oleh karena itu, udara pembakaran (udara sekunder)
berperan sebagai salah satu faktor penting untuk pembakaran sempurna dari gas
pirolisis yang naik sehingga dihasilkan emisi yang bersih dengan kadar emisi gas
CO yang rendah. Dengan demikian, laju alir udara pembakaran (udara sekunder)
inilah yang menentukan kesempurnaan reaksi konversi CO menjadi CO2.
Data emisi gas CO yang diperoleh dari hasil uji performa kompor gas-
biomassa dapat dilihat pada LAMPIRAN B. Data emisi gas CO tersebut diplot
terhadap waktu sehingga menghasilkan grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4.4
berikut ini:
Universitas Indonesia
96
72
Emisi Gas CO (ppm)
48
24
0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39
Waktu (detik)
Uji Performa (Running 1) Uji Performa (Running 2) Uji Performa (Running 3) Uji Performa (Running 4)
Universitas Indonesia
Tabel 4. 4 Hasil pengolahan data laju alir udara dan emisi gas CO
Rasio
Laju alir Laju alir Laju Emisi Standar
Uji udara
udara udara alir gas CO deviasi
ke- sekunder
primer sekunder udara rata-rata emisi gas
dan udara
(m3/s) (m3/s) total (ppm) CO (ppm)
primer
1 0,00038 0,00557 0,00595 15 16,33 6,51
2 0,00029 0,00172 0,00201 6 33,61 19,83
3 0,00019 0,00212 0,00231 11 16,4 16,10
4 0,00010 0,00212 0,00222 21 26,10 22,95
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
rata) adalah 0,1-13,9 ppm, sebenarnya emisi gas CO kompor gas-biomassa dalam
penelitian ini masih lebih besar daripada emisi gas CO kompor LPG.
Adapun pada uji performa ke-3 tersebut, emisi gas CO relatif rendah,
dimana tingkat penyebaran data emisi gas CO cukup merata. Hal ini berarti laju
alir udara devolatilisasi (udara primer) yang disuplai juga cukup merata dan udara
pembakaran (udara sekunder) tersedia cukup untuk pembakaran sempurna gas-gas
pirolisis. Dengan demikian, laju alir udara devolatisasi (udara primer) yang
optimal dan mendekati stoikiometrik didapatkan pada uji performa ke-3 ini, yaitu
sebesar 0,02 m/s atau 0,00019 m3/s, dimana rasio antara laju alir udara
pembakaran (udara sekunder) dan laju alir udara devolatilisasi (laju alir udara
primer) pada uji performa tersebut sebesar 11:1. Laju alir udara devolatilisasi
(udara primer) yang mendekati stoikiometrik untuk reaksi pembentukan CO dari
pembakaran volatile matter dari biomassa sehingga konsentrasi gas CO yang
dihasilkan untuk direaksikan selanjutnya dengan udara pembakaran (udara
sekunder) juga mendekati stoikiometrik untuk reaksi pembentukan CO menjadi
CO2 (konsentrasi gas CO tidak terlalu kecil atau tidak terlau berlebih
dibandingkan konsentrasi udara sekunder). Selain itu, reaksi pembentukan CO
yang berlangsung dengan sebagaimana mestinya menghasilkan panas yang cukup
juga untuk mendukung proses devolatilisasi berjalan dengan baik dan
menghasilkan volatile matter dalam jumlah yang cukup.
Kemudian, nilai rasio berikutnya mulai dari yang memiliki emisi gas CO
rata-rata terendah secara berurutan adalah rasio udara 21:1 pada uji performa ke-4
dengan emisi CO rata-rata sebesar 26,10 ppm dan 6:1 pada uji performa ke-2
sebesar 33,61 ppm. Meskipun begitu, bila diamati lebih detail data emisi gas CO
pada LAMPIRAN, pada uji performa ke-2 sebenarnya emisi gas CO mayoritas
rendah bila dibandingkan dengan uji performa ke-4. Hal tersebut ditunjukkan
dengan standar deviasi emisi gas CO yang ada, dimana pada uji performa ke-2
didapatkan emisi gas CO rata-rata sebesar 33,61 ppm, tetapi standar deviasinya
justru sebesar 19,83 ppm. Hal tersebut berarti bahwa penyimpangan data emisi
gas CO yang terjadi pada rasio ini cukup besar atau dapat dikatakan bahwa data
yang diperoleh memiliki tingkat penyebaran yang kurang merata.
Universitas Indonesia
Adapun grafik emisi gas CO terhadap waktu yang terbentuk pada Gambar
4.5 untuk uji performa ke-2 menunjukkan bahwa emisi gas CO kompor gas-
biomassa menjadi tinggi pada awal dan akhir operasi. Hal ini disebabkan oleh
nyala api yang masih belum stabil di awal operasi sehingga asap timbul akibat
gas-gas pirolisis (terdiri dari CO, H2, dan lain-lainya) yang terbentuk dari hasil
pembakaran tak sempurna, masih belum terbakar secara sempurna bersama
dengan udara pembakaran (udara sekunder). Nyala api yang belum stabil tersebut
menunjukkan proses gasifikasi yang belum berjalan dengan baik (W. Agung, et
al., 2010). Sedangkan, emisi gas CO di akhir operasi meningkat akibat nyala api
yang perlahan meredup menunjukkan api akan segera mati dan pembakaran
sempurna gas pirolisis segera berakhir. Pada saat itu pula proses pembakaran di
dalam kompor dilanjutkan oleh pembakaran char (glowing combustion). Pada
tahap pembakaran tersebut, kandungan karbon yang tinggi dalam char akan
terkonversi menjadi gas CO melalui suatu reaksi eksotermik. Sementara itu, gas
CO yang dihasilkan tersebut cenderung membutuhkan waktu tinggal yang lebih
lama untuk terkonversi menjadi CO2. Karena reaksi tersebut merupakan reaksi
eksotermik, maka reaksi konversi akan lebih menguntungkan apabila terjadi pada
suhu tinggi sehingga peningkatan suhu mampu mempercepat kinetika reaksi
(Sugiyanto, 2010). Akan tetapi, di akhir operasi, dimana api telah meredup dan
mulai memasuki tahap pembakaran char, suhu api yang tinggi tidak tersedia lagi.
Oleh karena itu, emisi gas CO di akhir operasi menjadi tinggi.
Adapun emisi gas CO yang tinggi yang dihasilkan oleh kompor gas-
biomassa pada uji performa ke-2 tersebut, disebabkan oleh laju alir udara
devolatilisasi (udara primer) pada uji performa ke-2 dibandingkan dengan laju alir
udara devolatilisasi (udara primer) pada uji performa ke-3 dan ke-4. Seperti
diketahui, bahwa semakin besar laju alir udara devolatilisasi (udara primer), maka
semakin besar laju pirolisis sehingga adanya kemungkinan volatile matter yang
dikonversi menjadi gas pirolisis cukup banyak (Yang, Sharifi, & Swithenbank,
2004). Sebagai akibatnya, CO yang dihasilkan dari reaksi juga cukup banyak,
akan tetapi hal tersebut tidak didukung oleh laju alir udara pembakaran (udara
sekunder) yang cukup besar. Dari data pada Tabel 4.4, dapat dilihat bahwa laju
alir udara pembakaran (udara sekunder) pada uji performa ke-2 lebih kecil
Universitas Indonesia
daripada laju alir udara pembakaran (udara sekunder) pada uji performa ke-3 dan
ke-4. Oleh karena itu, udara yang ada tidak menyediakan oksigen yang cukup
untuk reaksi pembakaran sempurna CO menjadi CO2, dimana konsentrasi CO
tinggi namun konsentrasi udara rendah. Padahal, untuk mencapai pembakaran
sempurna diperlukan udara yang berlebih (Turns, 1996).
Sedangkan, grafik emisi gas CO terhadap waktu untuk uji performa ke-4
(lihat Gambar 4.4) justru terlihat tidak stabil, dimana terdapat beberapa puncak
emisi gas CO yang tinggi. Grafik emisi gas CO terhadap waktu yang cenderung
tidak stabil dan berfluktuasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh susunan pelet
yang sedikit berubah akibat zona flaming pyrolisis yang bergerak turun terus-
menerus hingga seluruh susunan pelet hanya menyisakan char. Susunan pelet
yang berubah menyebabkan kemampuan pemerataan udara devolatilisasi (udara
primer) yang mengalir ke atas melewati susunan pelet juga berubah karena
porositas yang juga berubah (terkait dengan channeling effect). Sebagai akibatnya,
suplai udara devolatilisasi (udara primer) menjadi tidak stabil. Hal ini diperburuk
dengan desain kompor yang kurang menimbulkan turbulensi sehingga
kesempurnaan pencampuran udara dan gas pirolisis juga menjadi kurang
homogen. Meskipun begitu, analisis tersebut tidak dapat dibuktikan secara
konkret karena fenomena pirolisis yang terjadi di dalam kompor tidak dapat
diamati secara langsung, apalagi kompor didesain sebagai fixed bed gasifier,
dimana susunan pelet seharusnya tidak berubah.
Selain hal tersebut, analisis grafik emisi gas CO terhadap waktu untuk uji
performa ke-4 memperlihatkan bahwa emisi gas CO pada uji performa ini tinggi,
dengan emisi gas CO rata-rata sebesar 26,10 ppm dan standar deviasi emisi gas
CO sebesar 22,95 ppm. Hal ini disebabkan oleh udara devolatilisasi (udara
primer) yang disuplai terlalu kecil, dimana laju alir udaranya paling rendah
dibandingkan uji performa lainnya. Sebagai akibatnya, gas CO yang dihasilkan
dari pembakaran tak sempurna sangat banyak karena reaksinya kekurangan udara.
Ditambah lagi, hal tersebut tidak diimbangi dengan udara pembakaran (udara
sekunder) yang disuplai, dimana laju alir udara pembakaran (udara sekunder)
terlalu berlebih sehingga berpengaruh terhadap suhu api, dimana suhu menjadi
menurun drastis. Pada akhirnya, suhu yang terlalu rendah tersebut tidak cukup
Universitas Indonesia
untuk menyediakan suhu yang tinggi untuk membantu reaksi konversi CO ke CO2
agar berlangsung lebih cepat sehingga gas CO pada uji performa ke-4 ini
terakumulasi dan keluar menuju atmosfer lingkungan dalam konsentrasi yang
tinggi. Hubungan antara emisi gas CO dan suhu api akan dibahas pada pembahasa
pengujian suhu api.
Adapun pengaruh laju alir udara devolatilisasi (udara primer) terhadap
emisi gas CO yang dihasilkan dapat terlihat lebih jelas jika dibandingkan antara
uji performa ke-3 dan ke-4 yang memiliki laju alir udara devolatilisasi (udara
primer) yang berbeda namun laju alir udara pembakaran (udara sekunder) yang
sama. Emisi gas CO pada uji performa ke-3 lebih rendah daripada pada uji
performa ke-4, tetapi laju alir devolatilisasi (udara primer) pada uji performa ke-3
lebih tinggi daripada pada uji performa ke-4. Hal ini disebabkan oleh semakin
tinggi laju alir udara devolatilisasi (udara primer), maka akan semakin tinggi laju
devolatilisasi atau laju pirolisis (Yang, Sharifi, & Swithenbank, 2004). Namun,
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) tidak boleh terlalu tinggi daripada
flame speed karena dapat menyebabkan api mati (blow off) secara tiba-tiba (Turns,
1996), dimana api yang terbentuk pada kompor gas-biomassa dalam penelitian ini
termasuk premixed flame (bahan bakar bercampur dengan oksidan sebelum
mendekati daerah nyala). Pada uji performa ke-4, laju alir udara devolatilisasi
(udara primer) yang rendah mengakibatkan gas-gas pirolisis yang dihasilkan
menjadi lebih sedikit jumlahnya karena laju pirolisis yang juga menjadi semakin
rendah. Gas-gas pirolisis yang sedikit tersebut berkontakan dengan udara
pembakaran (udara sekunder) dalam jumlah banyak sehingga konsentrasi udara
pembakaran (udara sekunder) terhadap gas-gas pirolisis menjadi terlalu berlebih.
Sebagai akibatnya, gas menjadi dingin dan menyebabkan suhu api menjadi
menurun sehingga konversi gas CO menjadi CO2 membutuhkan waktu yang lebih
lama. Dengan demikian, akumulasi gas CO dalam gas buang mengalami
peningkatan. Sedangkan, pada uji performa ke-3 tidaklah demikian, karena baik
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) maupun udara pembakaran (udara
sekunder) sama-sama tersedia dalam jumlah yang mendekati stoikiometrik untuk
reaksi yang terjadi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
640
560
480
400
Suhu Api (oC)
320
240
160
80
0
0 150 300 450 600 750 900 1050 1200 1350 1500 1650 1800 1950 2100 2250 2400
Waktu (detik)
Uji Performa (Running 1) Uji Performa (Running 2) Uji Performa (Running 3) Uji Performa (Running 4)
Universitas Indonesia
Dari data di atas, suhu maksimum tertinggi diperoleh pada saat uji
performa ke-2. Pada suhu tersebut, terlihat jelas peningkatan suhu api terkait
dengan peningkatan produksi jelaga (soot) dimana warna nyala api cenderung
kuning hingga merah. Warna nyala api pada saat uji performa ke-2 tersebut dapat
diamati secara jelas pada Gambar 4.6 berikut ini:
Universitas Indonesia
berupa suhu yang tinggi untuk meningkatkan kinetika reaksi. Salah satunya
dengan meningkatkan suhu api. Oleh karena itu, bila suhu api rendah, CO yang
banyak tersebut tidak terkonversi menjadi CO2 dan terakumulasi dalam gas buang
sehingga pada pengukuran emisi gas CO yang dilakukan, diperoleh emisi gas CO
yang tinggi. Berdasarkan penjelasan hubungan suhu api dan emisi gas CO
tersebut, dapat dipahami bahwa suhu api merupakan salah satu faktor penting
yang patut diperhatikan untuk mencapai emisi gas CO yang rendah, walaupun
masih ada faktor lainnya, yaitu kecukupan waktu tinggal dan kecukupan oksigen.
Perbandingan antara suhu api rata-rata antara uji performa ke-2, ke-3, dan
ke-4 yang memiliki laju alir udara total hampir sama menunjukkan bahwa suhu
api uji performa ke-2 > uji performa ke-3 > uji performa ke-4. Suhu api pada uji
performa ke-3 tinggi karena udara aktual yang tersedia merupakan udara yang
mendekati stoikiometrik sehingga suhu api yang dicapai juga maksimum
(Glassman, 1996). Suhu api yang tinggi pada uji performa ke-2 dibandingkan uji
performa ke-3 diduga banyaknya karena banyaknya volatile matter dan gas CO
yang dihasilkan pada uji performa ke-2 sehingga walaupun emisi gas CO pada uji
performa ke-2 lebih tinggi, panas eksotermis yang dihasilkan tetap lebih besar
pada uji performa tersebut.
Sedangkan, rendahnya suhu api pada uji performa ke-4 diprediksi karena
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) yang terlalu rendah sehingga panas
eksotermis yang dihasilkan juga rendah. Selain itu, laju alir udara sekunder yang
berlebih pada uji performa ke-4 juga menyebabkan suhu api menjadi rendah. Jadi,
hal yang turut berpengaruh terhadap besar suhu api adalah laju alir udara
pembakaran (udara sekunder). Suhu api maksimum dapat dicapai ketika udara
mencapai udara stoikiometrik, dimana rasio ekuivalen sama dengan satu
(pembakaran sempurna) (Glassman, 1996). Namun, laju alir udara pembakaran
(udara sekunder) yang terlalu tinggi mampu menyebabkan suhu api menurun. Hal
ini disebabkan oleh terlalu besarnya jumlah udara pembakaran (udara sekunder)
yang disuplai ke dalam reaktor gasifikasi sehingga konsentrasi gas-gas pirolisis
yang dibakar menjadi relatif lebih kecil karena adanya konsentrasi N2 yang cukup
signifikan terikut di dalam udara tersebut. Seperti diketahui, konsentrasi gas inert
yang cukup signifikan dapat menurunkan suhu api (W. Agung, et al., 2010,
Universitas Indonesia
Borman, & Ragland, 1998). Adapun suhu api yang tinggi menunjukkan proses
pembakaran yang lebih baik, nyala yang lebih stabil, dan efisiensi konversi energi
yang lebih tinggi. Meskipun begitu, suhu api yang terlalu tinggi mengindikasikan
peluang untuk terbentuknya jelaga (soot) meningkat. Hal ini disebabkan oleh
terbentuknya jelaga (soot) dalam api yang semakin tinggi mengakibatkan semakin
meningkatnya dominasi perpindahan kalor secara radiasi sehingga suhu api
semakin meningkat. Oleh karena itu, suhu api maksimum perlu dibatasi untuk
memastikan tidak terjadinya pembentukan jelaga (soot).
Adapun pembentukan jelaga (soot) dapat terjadi karena kurang meratanya
pencampuran antara udara pembakaran (udara sekunder)-gas pirolisis sehingga
menyebabkan api yang seharusnya termasuk premixed flame menjadi partially
premixed flame. Semakin meningkatnya partially premixed flame tersebut, maka
pembentukan jelaga (soot) semakin meningkat. Nyala api dapat berubah dari
warna kuning menjadi biru dengan cara mengurangi efek terjadinya partially
premixed flame tersebut. Jadi, pada umumnya pembentukan jelaga (soot) terjadi
karena kurang cukupnya udara yang tersedia untuk membakar bahan bakar. Selain
itu, terlalu tingginya laju alir udara devolatilisasi (udara primer) mampu
menyebabkan gas pirolisis dikelilingi oleh N2 yang terlalu banyak jumlahnya
sehingga menghalangi udara pembakaran (udara sekunder) untuk berpenetrasi ke
gas pirolisis. Dengan demikian, emisi jelaga (soot) ditentukan melalui kompetisi
yang terjadi antara laju pembentukan jelaga (soot) dengan laju oksidasi yang
terjadi dalam api. Proses pembentukan jelaga (soot) sendiri terdiri dari beberapa
tahap, antara lain pembentukan spesies prekursor, soot particle inception,
pertumbuhan permukaan dan aglomerasi partikel yang menyebabkan partikel
jelaga (soot) saling menyatu dan menjadi semakin besar dalam api, dan oksidasi
jelaga (soot) dimana emisi produk oksidasi disini mampu membahayakan
kesehatan manusia (Jr Goldstein, et al., 2002).
Selain suhu api, hal yang diamati pula dan terkait dengan suhu api tersebut
adalah warna nyala api. Luminositas nyala api akan meningkat seiring dengan
meningkatnya rasio ekuivalensi dan produksi jelaga (soot). Nyala api pun semakin
terang jika kandungan volatile matter yang dimiliki oleh bahan bakar biomassa
semakin tinggi (Lu, et al., 2008). Jadi, warna nyala api sebenarnya merupakan
Universitas Indonesia
perpaduan antara partikel volatile matter, jelaga (soot) yang terbentuk, dan udara
yang bercampur. Perbandingan antara luminositas nyala api pada kompor gas-
biomassa dalam penelitian dan kompor LPG dapat dilihat pada Gambar 4.7
sebagai berikut.
Universitas Indonesia
diukur suhunya per satuan waktu. Pada penelitian ini, massa air yang dipanaskan
sebanyak 1 kg atau setara dengan 1 L air. Pada akhir eksperimen (pada saat uji
operasi selesai), massa air tersebut ditimbang kembali. Adapun grafik suhu air
dapat diamati pada Gambar 4.9 berikut ini, sedangkan data Water Boiling Test
(WBT) dan nilai efisiensi termal yang diperoleh dari kompor gas-biomassa dapat
dilihat pada Tabel 4.6 sebagai berikut:
Universitas Indonesia
150
120
90
Suhu Air (oC)
60
30
0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400
Waktu (detik)
Uji Performa (Running 1) Uji Performa (Running 2) Uji Performa (Running 3) Uji Performa (Running 4)
Universitas Indonesia
Suhu Waktu
Uji Volum Suhu awal Efisiensi
maksimum air pendidihan
ke- air (L) air (oC) termal (%)
(oC) (menit)
1 1 25,03 100,13 9,33 41
2 1 27,41 101,89 6,17 49
3 1 42,74 101,88 6,5 38
4 1 24 141 6 55
Dari data di atas, suhu air maksimum dan nilai efisiensi termal tertinggi
terjadi pada uji performa ke-4. Meskipun suhu api rata-rata dan suhu api
maksimum pada uji performa ke-4 tidak tinggi, namun efisiensi termal yang
diperoleh justru paling tinggi. Dalam hal ini dapat dilihat peranan jelaga (soot)
yang terbentuk pada api yang mampu meningkatkan perpindahan kalor secara
radiasi. Radiasi yang tinggi tidak hanya diberikan api ke panci, tetapi adanya
kemungkinan api yang tinggi menyebabkan radiasi panas dari api langsung ke air
pun terjadi. Sebagai akibatnya, waktu yang diperlukan untuk mendidihkan 1 L air
pada uji performa ke-4 ini juga paling singkat.
Pada uji performa ke-2, efisiensi termalnya termasuk efisiensi termal
tertinggi dibandingkan uji performa yang lain. Hal ini wajar karena suhu api rata-
rata dan suhu api maksimumnya juga tinggi sehingga panas yang diberikan api ke
panci juga lebih besar dibandingkan uji performa yang lain. Apalagi, efek radiasi
yang diberikan oleh jelaga (soot) yang terbentuk membantu laju perpindahan
kalor semakin cepat, terutama radiasi. Meskipun begitu, seharusnya uji performa
ke-2 tersebut memiliki efisiensi termal paling tinggi daripada uji performa ke-4
bila ditinjau dari suhu api. Hal ini mungkin terjadi karena memang efek radiasi
akibat pembentukan jelaga (soot) yang terlalu dominan atau adanya kemungkinan
laju alir gas yang tinggi mengaami kontak dengan panci sehingga timbul friksi
yang meningkatkan efektivitas perpindahan kalor dari api ke panci pada uji
performa ke-4 dibandingkan uji performa ke-2.
Pada uji performa ke-1 dan ke-3, dapat dilihat dengan suhu api rata-rata
dan suhu api maksimum yang lebih rendah daripada suhu api pada uji performa
ke-2, namun mampu mencapai suhu air maksimum yang tidak berbeda jauh
93 Universitas Indonesia
dengan suhu air maksimum pada uji performa ke-2. Walaupun efisiensi termalnya
lebih rendah daripada uji performa ke-2, namun dapat diperkirakan hal tersebut
disebabkan oleh efek radiasi yang rendah akibat tidak banyaknya jelaga (soot)
yang terbentuk. Dengan demikian, diprediksi kemungkinan perpindahan kalor
secara konveksi lebih dominan. Dominasi perpindahan kalor secara konveksi
tersebut menunjukkan baiknya performa pembakaran yang terjadi pada kedua uji
performa kompor gas-biomassa ini. Oleh karena itu, kedua uji performa dikatakan
lebih sehat dan sekaligus lebih aman bagi pengguna untuk keperluan memasak di
dapur karena emisi gas CO yang rendah dan efek radiasi jelaga (soot) yang
rendah.
Dengan demikian, efisiensi termal dari kompor gas-biomassa dalam
penelitian telah dihitung menggunakan persamaan 2.19 dan hasilnya berada pada
range 39-55%. Bila dibandingkan dengan efisiensi gasifikasi yang dirancang pada
perhitungan desain awal kompor, dimana efisiensi dirancangn sebesar 60%, maka
dapat diperhatikan bahwa masih terjadi kehilangan kalor (heat loss) pada kompor
gas-biomassa yang dirancang, yang dapat diperbaiki pada penelitian berikutnya.
Meskipun begitu, efisiensi termal tersebut tergolong cukup baik, dimana
memerlukan waktu 6-9,33 menit untuk mendidihkan 1 L air. Sedangkan,
Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier membutuhkan waktu 7,93-8,67 menit untuk
mendidihkan 1 L air atau dengan efisiensi termal sebesar 12,3-13,3% (Belonio,
2005) dan Wood-Gas Turbo Stove membutuhkan waktu 6-13 menit atau efisiensi
termal sebesar 20-37,5% dengan variasi bahan bakar (Reed, et al., 2000).
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari pengolahan data yang diperoleh
dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan:
1. Rancangan akhir dari dimensi kompor biomassa yang dimanufaktur:
Tinggi keseluruhan = 95 cm
Diameter keseluruhan = 20 cm
Tinggi reaktor gasifikasi = 51 cm
Diameter reaktor gasifikasi = 15 cm
2. Untuk kompor gas-biomassa dengan bahan bakar pelet biomassa dari limbah
bagas, emisi rata-rata gas CO yang dihasilkan dari setiap pengujian bervariasi
dari 16,33 ppm hingga 37,38 ppm.
3. Suhu api maksimum tertinggi yang berhasil dicapai oleh kompor gas-
biomassa dalam penelitian adalah sebesar 544,44oC.
4. Kompor gas-biomassa yang dihasilkan memiliki efisiensi termal berkisar
antara 39-55%, lebih daripada efisiensi termal yang dimiliki oleh kompor
biomassa tradisional yang hanya sekitar 5-20%.
5. Persentase massa char dan abu tersisa dalam satu kali operasi kompor gas-
biomassa dalam penelitian termasuk rendah, yakni berkisar antara 2,32-6,04%.
6. Dari hasil perancangan dan optimasi kompor gas-biomassa, didapatkan
kondisi terbaik dengan mempertimbangkan rendahnya emisi CO, yaitu kondisi
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) sebesar 1,90 m3/s dan laju alir
udara pembakaran (udara sekunder) sebesar 22,23 m3/s, dimana emisi gas CO
rata-ratanya sebesar 16,4 ppm. Hal ini memenuhi syarat ambang batas CO di
atmosfer menurut Kementerian Tenaga Kerja I ndonesia, yaitu 25 ppm.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran dari penulis untuk
penelitian berikutnya yang akan dilakukan di masa yang akan datang, antara lain:
95 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Ballester, J., & Hernandez, R. (2008). Flame Imaging as Diagnostic Tool dor
Industrial Combustion. Combustion and Flame 155: 509-528.
Barnes, DF., et al. (1994). What Makes People Cook with Biomass Cookstove?-A
Comparative International Review of Cookstoves Programs. The World
Bank Publication (1994).
Belonio, Alexis T. (2005). Rice Husk Gas Stove Hand Book. Philippines:
Department of Agricultural Engineering and Environmental Management
College of Agricultural Central Philippine University Iloilo City.
Bhattacharya, S.C., et al. (2000). Emissions from biomass energy use in some
selected Asian countries. Energy 25(2):169-188.
Universitas Indonesia
Bryden, M., et al. (2002). Design Principles for Wood Burning Cook Stove.
Aprovecho Research Center Publication.
Colbeck, I., et al. (2010). The state of indoor air quality in Pakistan—a review.
Environ Sci Pollut Res 17:1187–1196.
Universitas Indonesia
Glassman, Irvin. (1996). Combustion (3rd ed.). The United States of America:
Academic Press.
Holman, J.P. (1981). Heat Transfer. Singapore: McGraw Hill Book Company.
Kong, G.T. Peran Biomassa bagi Energi Terbarukan. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. 2010.
Lu, Gang, et al. (2008). Impact of Co-firing Coal and Biomass on Flame
Characteristics and Stability. Fuel 87: 1133-1140.
Universitas Indonesia
Reed, T.B., et al. (2000). Testing and Modeling The Wood-Gas Turbo Stove,
Presented at the Progresss in Thermochemical Biomass Conversion
Conference, Sept. 17-22, 2000, Tyrol, Austria.
Reed, T.B., & Desrosiers, R. The Equivalence Ratio: The Key To Understanding
Pyrolysis, Combustion And Gasification of Fuels.
http://www.woodgas.com. 19 Juni 2011. 15:30 WIB.
Universitas Indonesia
Roth, Christa. (2011). Micro-gasification: Cooking With Gas From Biomass (1st
ed.). GIZ HERA – Poverty-oriented Basic Energy Service.
Sugiyanto, A. Studi Awal Pola Aliran dalam Chimney sebagai Dasar Usaha
Mengurangi Emisi CO pada Kompor Briket Batubara. Skripsi, Program
Sarjana Fakultas Teknik UI. Depok. 2010.
Suhartini, Sri. (2010). Uji Coba Rekayasa Kompor Berbahan Bakar Biji Jarak.
http://digilib.its.ac.id. 17 Juni 2011. 14:00 WIB.
Supramono, D., et al. (2009). Designing Biomass Pellet Stove of High Efficiency
and Environmental Friendly Using Heat Recovery Principle. International
Seminar on Sustainable Biomass Production and Utilization: Challenges
and Opportunities.
Universitas Indonesia
Yang, Y. B., Sharifi V. N., & Swithenbank, J. (2004). Effect of air flow rate and
fuel moisture on the burning behaviours of biomass and simulated
municipal solid wastes in packed beds. Fuel 83(11-12): 1553-1562.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Emisi
CO Emisi CO (ppm)
Waktu Waktu
(ppm)
(detik ke-) (detik ke-)
Running Running Running Running
1 2 3 4
0 16 0 75 11 3
300 10 120 46 26 18
600 23 240 14 5 16
360 26 6 19
480 36 9 23
600 25 4 22
720 28 12 79
840 12 10 26
960 15 24 14
1080 5 57 15
1200 7 42
1320 26 19
1440 30 24
1560 44 16
1680 48 93
1800 52 34
1920 56 12
2040 60 9
2160 12
2280
2400
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
LAMPIRAN B. 3 Data Suhu Air
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
LAMPIRAN C. 1 Data Konversi Satuan Laju alir Udara Primer dan Sekunder
Adapun data laju alir udara primer dan sekunder yang diperoleh dari hasil
pengukuran menggunakan anemometer adalah dalam satuan m/s. Laju alir kedua
udara tersebut diukur dalam keadaan dingin atau dalam kondisi ambien. Oleh
karena itu, laju alir udara diukur pada saluran penarikan udara dari masing-masing
blower. Untuk mengkonversi laju alir kedua udara tersebut ke satuan m3/s, maka
laju alir udara yang terukur harus dikali dengan luas penampang saluran masing-
masing blower tersebut. Adapun penampang saluran berbentuk lingkaran, dimana
untuk udara primer, penampang berdiameter 11 cm atau 0,11 m, sedangkan untuk
udara sekunder, penampang berdiameter 13 cm atau 0,13 m. Maka, luas
penampang masing-masing blower tersebut dapat dihitung sebagai berikut:
a. Udara primer
( ) 3,14 × (0,11 )
= = = 0,0095
4 4
b. Udara sekunder
( ) 3,14 × (0,13 )
= = = 0,0133
4 4
Dengan demikian, hasil perkalian laju alir udara terukur dan luas penampang di
atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Hemiselulosa: (C5H8O4)b
Basis nilai untuk a, b, dan c di atas digunakan nilai 100, dengan variasi nilai
tersebut menurut referensi1 antara 60-1000.
Maka, rumus kimia disederhanakan menjadi CxHyOz sehingga untuk
biomassa dari limbah bagas didapatkan nilai x = 594, y = 900, dan z = 395
atau dengan kata lain rumus kimia bagas adalah C594H900O395 dengan Mr =
14.361,1 g/mol. Sedangkan, untuk biomassa dari limbah kayu karet
didapatkan nilai x = 649, y = 989, dan z = 438 atau dengan kata lain rumus
kimia bagas adalah C649H989O438 dengan Mr = 15.799,4 g/mol. Adapun nilai
x, y, dan z yang merupakan subskrip pada rumus kimia biomassa untuk C, H,
dan O diperoleh dengan mengalihkan setiap angka subskrip rumus empiris
komponen biomassa dengan persentasi kandungan komponen tersebut dalam
biomassa. Setelah dikalikan, kemudian angka subskrip untuk C, H, dan O bagi
masing-masing komponen (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dijumlahkan,
dimana angka subskrip untuk C dalam selulosa dijumlahkan dengan angka
subskrip untuk C dalam hemiselulosa dan lignin, dan begitu juga seterusnya
untuk H dan O.
1
en.wikipedia.com/biomass
Universitas Indonesia
Lanjutan
Universitas Indonesia
Lanjutan
Bagas
1C594H900O395 + 776,88O2 + 2.922,53N2 594CO2 + 450H2O +
310,75O2 + 2.922,53N2
Kayu Karet
1C653H996O443 + 846,56O2 + 3.184,69N2 649CO2 + 494,5H2O +
338,63O2 + 3.184,69N2
Kemudian, dengan basis penggunaan bahan bakar sebesar 1,4 kg atau 1400 g
selama 1 jam, maka
1400
( )= = = 0,098
14.361,1 ⁄
Secara stoikiometrik, maka kesetimbangan mol dan massa yang dihasilkan
untuk bagas:
Sedangkan, maka kesetimbangan mol dan massa yang dihasilkan untuk kayu
karet:
Massa molekul relatif / Mr Jumlah mol / n Massa / m
Molekul
(g/mol) (mol) (g)
O2 32 75,015 2.400,471
N2 28 282,198 7.901,549
CO2 44,01 57,508 2.530,949
H2O 18,02 43,818 789,427
O2 tersisa 32 30,006 960,188
Universitas Indonesia
Lanjutan
7,429 ⁄
( ) ( , , )
S = = =
,
7,359 ⁄
sehingga SA rata-rata yang diperlukan sebesar 7,394 kg udara/kg biomassa.
Universitas Indonesia
Lanjutan
LAMPIRAN E. 2 Perhitungan Efisiensi Termal Kompor Gas-Biomassa
× ( ) ×( − )+ × ( ) ×( − )+ ×
=
× ×% ×
dengan M massa awal air, cp1 kalor jenis air, M1 massa bejana, cp2 kalor jenis
bejana, M2 massa air terevaporasi (yakni, selisih massa air awal dengan massa air
tersisa), HL kalor laten penguapan, Tb suhu panci yang diasumsikan sama dengan
suhu air maksimum, Ta suhu lingkungan yang diasumsikan sama dengan suhu
awal air, HC nilai kalori pembakaran dari volatile matter atau gas pirolisis dalam
satuan kJ/Nm3, ρgas densitas volatile matter atau gas pirolisis dalam satuan
kg/Nm3, dan W massa bahan bakar per jam.
Adapun variabel-variabel yang bersifat umum, datanya diperoleh
berdasarkan literatur yang digunakan (Akudo, 2008, Lubwama, 2010,
Rizqiardihatno, 2009). Berikut ini data-data yang diperoleh dari literatur tersebut:
Selain data-data di atas, data densitas gas pirolisis untuk bagas tidak berhasil
diperoleh sehingga data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan, dimana
Universitas Indonesia
Lanjutan
pada literatur (Akudo, 2008), terdapat data 1/densitas untuk biomassa dari
woodchips. Oleh karena itu, untuk mendapatkan 1/densitas untuk bagas, dilakukan
ekstrapolasi dengan menggunakan data tersebut. Berikut ini ekstrapolasi yang
dilakukan:
Kemudian, data tersebut diplot menjadi grafik total volum syngas terhadap massa
bahan bakar yang dikonsumsi sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:
R² = 0,924
8
Volum Syngas terhadap
6 Massa Bahan Bakar
4
Linear (Volum Syngas
2 terhadap Massa Bahan
0 Bakar)
0 5 10 15
Massa Bahan Bakar (kg)
Lanjutan
Universitas Indonesia