Anda di halaman 1dari 143

UNIVERSITAS INDONESIA

PERANCANGAN DAN OPTIMASI KOMPOR GAS-


BIOMASSA YANG BEREMISI GAS CO RENDAH
MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR PELET BIOMASSA DARI
LIMBAH BAGAS

SKRIPSI

RESIANA WINATA
0806456783

FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK KIMIA
DEPOK
JUNI 2012

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

PERANCANGAN DAN OPTIMASI KOMPOR GAS-


BIOMASSA YANG BEREMISI GAS CO RENDAH
MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR PELET BIOMASSA DARI
LIMBAH BAGAS

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

RESIANA WINATA
0806456783

FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK KIMIA
DEPOK
JUNI 2012

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang

dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

ii

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


HALAMAN PENGESAHAN

iii

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu
yang ditetapkan. Makalah yang berjudul “Perancangan dan Optimasi Kompor
Gas-Biomassa yang Beremisi Gas CO Rendah dengan Bahan Bakar Pelet
Biomassa dari Limbah Bagas” disusun secara sistematis untuk memenuhi mata
kuliah spesial skripsi, yang merupakan salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) di Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat selesai melalui bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis, ayahanda Wanto Winata dan ibunda Lie Mei Hwa, yang
selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan kepada penulis.
2. Ir. Dijan Supramono, M.Sc., selaku pembimbing seminar dan skripsi atas
bimbingan, pengarahan, saran, dan kritik membangun kepada penulis.
3. Eva Fathul Karamah, S.T., M.T., selaku pembimbing akademis dari penulis
selama empat tahun berkuliah di Departemen Teknik Kimia Universitas
Indonesia.
4. Prof. Dr. Widodo Wahyu Purwanto, DEA, selaku ketua Departemen Teknik
Kimia Universitas Indonesia.
5. Dr. Ir. Asep Handaya Saputra, M. Eng., selaku Kepala Laboratorium Energi
Berkelanjutan.
6. Ir. Yuliusman, M.Eng., sebagai koordinator mata kuliah spesial skripsi Teknik
Kimia Universitas Indonesia.
7. Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia yang
sudah mengajar dan memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis
selama empat tahun.
8. Adik, Reddy Febrianto Winata, dan cici sepupu, Silviana Stevanni sebagai
saudara yang dikasihi oleh penulis.

iv

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


9. Keluarga besar Winata dan keluarga besar Lie yang merupakan keluarga
tercinta dari orang tua penulis.
10. Gembala Sidang GSJA Anugerah, Pdt. Dwi Muryani, beserta dengan keluarga
besar GSJA Anugerah Serpong yang selalu memberikan dukungan kepada
penulis, dalam bentuk materiil maupun spirituil.
11. Karyawan Departemen Teknik Kimia UI, antara lain Mang Izal, Kang Jajat,
Mas Taufik, Mas Sri, Pak Masturo, dan Pak Mugeni yang merupakan
karyawan-karyawan yang sangat berkontribusi dalam membantu penelitian,
baik penelitian penulis maupun penelitian mahasiswa/i lainnya.
12. Pak Dudi (pihak yang melakukan manufaktur kompor) dan Pak Parlan (pihak
yang membantu modifikasi kompor), serta Pak Tahmid (karyawan Balai
Mekanisasi Pertanian Serpong) dan istri yang membantu dalam pembuatan
pelet biomassa untuk bahan bakar kompor.
13. Farah Inayati, sebagai rekan satu pembimbing dan satu topik penelitian, atas
semangat dalam mengusahakan selesainya skripsi ini tepat waktu, perjuangan
melakukan penelitian, dan tukar pikiran selama proses penulisan skripsi ini.
14. Henry Septian, atas kenangan baik, janji dan doanya yang senantiasa
memberikan semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
15. Lydia, atas bantuannya dalam memberikan limbah bagas yang dipergunakan
oleh penulis sebagai bahan bakar kompor gas-biomassa dalam penelitian.
16. Matius Wisnu, Dessy, Intan A., Y. M. Togar, dan Nur M. Arifin atas
bantuannya dalam meminjamkan laptop kepada penulis ketika laptop penulis
rusak sehingga penulisan skripsi tetap dapat berjalan, atas bantuannya dalam
hal transportasi, serta doa dan semangat yang diberikan.
17. Antoni Stefan dan Antonius Chrisnandy, atas bantuannya kepada penulis
dalam pembuatan gambar teknik tiga dimensi dari rancangan kompor gas-
biomassa dan bantuan dalam bentuk tenaga. Ucapan terimakasih yang spesial,
penulis berikan kepada koko Antoni Stefan atas bantuan dalam bentuk tenaga
dan transportasi untuk mengantarkan kompor ke tempat modifikasi.
18. Kenny Viriya, Haryo Wibisono, Habib, Santoso Wijaya, Antonius Erick,
David Santos, Ivan Merry, Illyin, Raditya, Fakhrian, dan Guntur, terimakasih

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


buat bantuan kalian yang sangat berarti terutama dalam hal tenaga dan
transportasi.
19. Kelompok kecil tercinta (Chakrita T., Ingrid C., dan Vania C.), atas segala doa
dan bantuannya, berbagai kenangan manis, serta pertumbuhan rohani yang
dialami bersama.
20. Catur N. V. N., Bernadet V., Lolyta R. N., Maylen R. V., Indriani M., dan
Tania D., atas segala dukungan sebagai para sahabat perempuan dari penulis.
21. Chandra Hadiwijaya, Marcho Rizal, Nirwanto Honsono, Sukha Adi Putra,
Andry Prasthio, Gregorius Stefanus, Eldo Marbun, dan Gabriel A. M., atas
segala dukungan dan bantuan sebagai para sahabat laki-laki dari penulis.
22. Agustina Rahayu, Glifanny R., Dessy C., dan Ichwan Agusta, sebagai rekan-
rekan satu pembimbing skripsi yang berjuang bersama mencapai kelulusan.
Terimakasih atas bantuan kalian.
23. Gina A., Maria S., dan teman-teman satu Laboratorium Energi Berkelanjutan
lainnya, atas kenangan-kenangan menikmati nge-lab bersama.
24. Teman-teman Rohani Kristen (ROHKRIS) Departemen Teknik Kimia seluruh
angkatan, khususnya angkatan 2008, atas semangat dan doa yang diberikan.
25. Seluruh teman Departemen Teknik Kimia 2008, angkatan yang tidak kenal
lelah berjuang bersama-sama menyelesaikan skripsi. Terimakasih buat
kenangan suka dan duka selama empat tahun masa perkuliahan.
26. Seluruh pihak, termasuk senior dan junior di Departemen Teknik Kimia,
teman-teman di Persekutuan Oikumene Fakultas Teknik, dan pihak lainnya.
Penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan di masa
mendatang. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Depok, 27 Juni 2012


Penulis

vi

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:

Nama : Resiana Winata


NPM : 0806456783
Program Studi : Teknik Kimia
Departemen : Teknik Kimia
Fakultas : Teknik
Jenis karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
”PERANCANGAN DAN OPTIMASI KOMPOR GAS-BIOMASSA YANG
BEREMISI GAS CO RENDAH MENGGUNAKAN BAHAN
BAKAR PELET BIOMASSA DARI LIMBAH BAGAS”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

vii

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Resiana Winata


Program Studi : Teknik Kimia
Judul : Perancangan dan Optimasi Kompor Gas-Biomassa yang
Beremisi Gas CO Rendah Menggunakan Bahan Bakar Pelet
Biomassa dari Limbah Bagas

Kompor biomassa konvensional yang ada saat ini masih memiliki


permasalahan dengan emisi gas CO yang tinggi dibandingkan kompor LPG. Pada
penelitian ini, dirancang suatu kompor gas-biomassa menggunakan prinsip Top-
Lit Up Draft Gasifier yang diharapkan menghasilkan emisi gas CO yang rendah
dengan membakar gas pirolisis dari pelet biomassa. Kompor memiliki diameter
dalam sebesar 15 cm, diameter luar 20 cm, tinggi reaktor gasifikasi 51 cm, dan
tinggi keseluruhan 95 cm. Kompor menggunakan pelet biomassa dari limbah
bagas yang mengandung volatile matter tinggi. Dengan memvariasikan rasio
antara laju alir udara sekunder dan udara primer, didapatkan emisi gas CO rata-
rata terendah, 16,4 ppm (dengan emisi gas CO maksimum yang diperbolehkan
adalah 25 ppm), yang terjadi pada rasio 11:1. Perbandingan antara nilai rasio
tersebut menunjukkan suhu api maksimum tertinggi yang dicapai adalah 544,44oC
pada rasio 6:1. Menggunakan Water Boiling Test, efisiensi termal tertinggi yang
dicapai adalah 55%, dimana waktu tersingkat untuk mendidihkan 1 L air adalah 6
menit. Api kompor berwarna kuning menunjukkan pembentukan jelaga.

Kata kunci: bagas; kompor gas-biomassa; Top-Lit Up Draft Gasifier; pelet


biomassa; volatile matter; Water Boiling Test

viii Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


ABSTRACT

Name : Resiana Winata


Study Program : Chemical Engineering
Title : Design and Optimization of Low CO Gas Emission
Biomass-Gas Stove Using Biopellet Fuel from Bagasse
Waste

Nowadays conventional biomass stoves still have a problem of having


high CO gas emission compared to LPG stoves. In this research, a biomass-gas
stove has been designed using Top-Lit Up Draft Gasifier principle, which had
been expected to have low CO gas emission by burning pyrolysis gas from
biopellets. The stove has 15 cm inner diameter, 20 cm outer diameter, 51 cm
gasification reactor height, and 95 cm overall height. The stove uses biopellet
made of bagasse waste, which have high volatile matters content. By varying the
ratio of secondary air flow to primary air flow, it was found that the lowest CO
gas emission, 16,4 ppm (with maximum CO gas emission allowable is 25 ppm),
occurred at the ratio of 11:1. Comparison of different values of the ratio shows
that the highest maximum flame temperature achieved was 544,44oC occurring at
the ratio of 6:1. Using Water Boiling Test, the highest thermal efficiency achieved
was 55%, which corresponds to the shortest time to boil 1 L of water (6 minutes).
The stove has yellow flame that indicates the formation of soot.

Keywords: bagasse; biomass-gas stove; biopellet; Top-Lit Up Draft Gasifier;


volatile matter; Water Boiling Test.

ix Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. ii


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah................................................................................ 7
1.2.1 Rumusan Masalah .............................................................................. 7
1.2.2 Pendekatan Masalah ........................................................................... 7
1.2.3 Hipotesis ............................................................................................ 8
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
1.4 Ruang Lingkup Masalah......................................................................... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10
2.1 Biomassa .............................................................................................. 10
2.1.1 Definisi Biomassa dan Pelet Biomassa.............................................. 10
2.1.2 Ketersediaan Biomassa di Indonesia ................................................. 11
2.1.3 Kandungan Biomassa ....................................................................... 13
2.1.4 Uji Analisis Karakteristik Bahan Bakar Biomassa............................. 16
2.1.5 Tahap-tahap Pembakaran Biomassa .................................................. 18
2.1.6 Gasifikasi sebagai Konversi Termal Biomassa .................................. 22
2.2 Kompor Biomassa .................................................................................. 28
2.2.1 Definisi Kompor Biomassa ............................................................... 28
2.2.2 Komponen-komponen Kompor Biomassa ......................................... 28
2.2.3 Perkembangan Berbagai Jenis Kompor Biomassa ............................. 29
2.2.4 Kompor Gas-Biomassa dengan Prinsip T-LUD Gasifier ................... 30
2.2.5 Faktor Pertimbangan Perancangan Kompor Gas-Biomassa ............... 37
2.3 Uji Performa dan Evaluasi Operasi Kompor ......................................... 44
2.3.1 Parameter Evaluasi Operasi Kompor ................................................ 44
2.3.2 Uji Efisiensi Termal dengan Metode WBT ....................................... 45
BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 47
3.1 Model Penelitian .................................................................................. 47

x Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


3.2 Variabel Penelitian ............................................................................... 48
3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................... 48
3.3.1 Tahap Perancangan Kompor ............................................................. 51
3.3.2 Tahap Preparasi Alat dan Bahan ....................................................... 54
3.3.3 Tahap Fabrikasi Kompor .................................................................. 55
3.3.4 Tahap Preparasi Bahan Bakar ........................................................... 55
3.3.5 Tahap Pengujian ............................................................................... 57
3.3.6 Tahap Analisa dan Evaluasi .............................................................. 60
3.4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian.............................................................. 60
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 61
4.1 Tahap Perancangan Kompor................................................................. 61
4.2 Tahap Fabrikasi Kompor ...................................................................... 68
4.3 Tahap Preparasi Bahan Bakar ............................................................... 72
4.4 Tahap Pengujian ................................................................................... 73
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 95
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 95
5.2 Saran .................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 97
LAMPIRAN .................................................................................................... 103

xi Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia ............................. 2


Gambar 2. 1 Pelet biomassa .............................................................................. 10
Gambar 2. 2 Skema proses produksi pelet biomassa ......................................... 11
Gambar 2. 3 Potensi biomassa di Indonesia ...................................................... 12
Gambar 2. 4 Pilihan utama teknologi metode pengubahan biomassa ................. 22
Gambar 2. 5 Skema proses pembakaran gas producer ...................................... 23
Gambar 2. 6 Skema Up Draft Gasifier.............................................................. 24
Gambar 2. 7 Skema Down Draft Gasifier ......................................................... 25
Gambar 2. 8 Skema Cross Draft Gasifier ......................................................... 26
Gambar 2. 9 Skema Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier .................................. 27
Gambar 2. 10 Wood-Gas Turbo Stove dengan konveksi alami yang terbuat dari
15 cm riser sleeve (kiri) dan Wood-Gas Turbo Stove dengan
konveksi paksa 3 W blower yang menghasilkan 3 kW api (kanan)
................................................................................................... 32
Gambar 2. 11 Champion T-LUD ND (Natural Draft) ....................................... 34
Gambar 2. 12 Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier ......................................... 35
Gambar 2. 13 SPRERI Gasifier Stove ............................................................... 36
Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian ................................................................. 50
Gambar 3. 2 Pressure pelletizer ........................................................................ 57
Gambar 3. 3 Gas Analyzer ................................................................................ 59
Gambar 4. 1 Hasil fabrikasi kompor gas-biomassa awal sebelum modifikasi .... 69
Gambar 4. 2 Hasil fabrikasi kompor gas-biomassa setelah modifikasi (dengan
centrifugal blower) ..................................................................... 71
Gambar 4. 3 Pelet bagas yang dibuat dalam penelitian ...................................... 72
Gambar 4. 4 Emisi gas CO terhadap waktu ....................................................... 77
Gambar 4. 5 Suhu api terhadap waktu............................................................... 85
Gambar 4. 6 Nyala api berwarna merah pada uji performa ke-2 ........................ 86
Gambar 4. 7 Warna nyala api kompor gas-biomassa dan kompor LPG ............. 89
Gambar 4. 8 Nyala api kompor gas-biomassa dalam penelitian ......................... 90
Gambar 4. 9 Suhu air terhadap waktu ............................................................... 92

xii Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Limbah biomassa di Indonesia .......................................................... 13


Tabel 2. 2 Analisis proximate biomassa ............................................................. 17
Tabel 2. 3 Analisis ultimate biomassa ................................................................ 18
Tabel 2. 4 Data Operasi dan Turunan untuk Bahan Bakar yang Dipilih dalam
Pengujian Wood-Gas Turbo Stove .................................................... 33
Tabel 3. 1 Kalor Spesifik dan Energi yang Diperlukan untuk Memasak Suatu
Makanan........................................................................................... 52
Tabel 4. 1 Perbedaan antara desain kompor gas-biomassa dan Belonio’s Rice
Husk T-LUD Gasifier ....................................................................... 68
Tabel 4. 2 Perhitungan moisture content dari biomassa bagas ............................ 73
Tabel 4. 3 Persentase massa char dan abu terhadap massa bahan bakar ............. 75
Tabel 4. 4 Hasil pengolahan data laju alir udara dan emisi gas CO .................... 78
Tabel 4. 5 Hasil pengolahan data suhu api ......................................................... 86
Tabel 4. 6 Hasil pengolahan data suhu air dan perhitungan efisiensi termal ....... 93

xiii Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A. 1 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Secara Umum .............. 103


LAMPIRAN A. 2 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Tampak Depan, Samping,
dan Atas ............................................................................ 104
LAMPIRAN A. 3 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Secara Detail ............... 105
LAMPIRAN B. 1 Data Emisi Gas CO ............................................................ 106
LAMPIRAN B. 2 Data Suhu Api .................................................................... 107
LAMPIRAN B. 3 Data Suhu Air..................................................................... 114
LAMPIRAN B. 4 Data Persentase Massa Char dan Abu................................. 119
LAMPIRAN C. 1 Data Konversi Satuan Laju alir Udara Primer dan Sekunder120
LAMPIRAN D. 1 Hasil Uji Karakterisasi Bahan Bakar Biomassa oleh BPPT . 121
LAMPIRAN E. 1 Perhitungan Udara Stoikiometrik ........................................ 122
LAMPIRAN E. 2 Perhitungan Efisiensi Termal Kompor Gas-Biomassa ......... 126

xiv Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu teknologi yang berperan penting sebagai penopang terbesar
pemanfaatan energi dalam rumah tangga adalah kompor. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kompor didefinisikan sebagai perapian untuk memasak yang
menggunakan minyak tanah, gas, atau listrik sebagai bahan bakar. Adapun di
Indonesia, pada umumnya masyarakatnya menggunakan kompor berbahan bakar
minyak tanah dan LPG untuk memasak. Kompor minyak tanah dan kompor LPG
memiliki keunggulan dalam hal efisiensi yang tinggi, emisi yang bersih, aplikasi
yang praktis, dan desain kompor yang modern sehingga banyak digunakan oleh
masyarakat di negara-negara berkembang. Akan tetapi, bahan bakar kompor-
kompor tersebut merupakan produk pengolahan minyak bumi dan gas alam yang
notabenenya merupakan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil termasuk sumber
energi tak terbarukan sehingga penggunaan bahan bakar kompor tidak dapat
selamanya bergantung pada bahan bakar tersebut. Apalagi, bahan bakar fosil tidak
hanya digunakan untuk kebutuhan bahan bakar kompor saja.
Adapun persediaan bahan bakar fosil yang dimiliki oleh Indonesia,
khususnya untuk minyak bumi, sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan
penduduknya yang amat bergantung terhadap BBM sebagai sumber energi.
Menurut www.kamase.com, berdasarkan laporan Department of Energy (DOE)
Amerika Serikat pada Oktober 2005, Indonesia sebenarnya sudah menjadi net-
importer bahan bakar minyak bumi sejak tahun 2004. Pada Gambar 1.1 dapat
dilihat bahwa mulai tahun 2004, terjadi titik potong antara volume produksi dan
konsumsi minyak bumi Indonesia, di mana setelah tahun 2004 volume produksi
minyak bumi lebih rendah dibandingkan volume konsumsi minyak bumi.

1 Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


2

Gambar 1. 1 Produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia


(www.kamase.com)

Apalagi, menurut ekonomi.kompasiana.com, dana yang dianggarkan untuk


subsidi BBM tahun 2011 melonjak dari Rp 92,79 triliun menjadi sebesar Rp
178,59 triliun akibat kenaikan harga minyak mentah dari US$ 80 (patokan dalam
APBN) menjadi US$ 113 per barel. Adapun anggaran pemerintah untuk subsidi
minyak tanah mencapai Rp 38 triliun pada tahun 2008 (IISD, n.d.).
Selain itu, konversi bahan bakar yang dilakukan oleh pemerintah dari
minyak tanah ke LPG dinilai gagal. Hal ini dikarenakan hingga saat ini program
pemerintah tersebut belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia,
terutama untuk kalangan menengah ke bawah. Apalagi sosialisasi program yang
kurang dan sulit untuk dimengerti oleh masyarakat tersebut, material konstruksi
komponen tabung gas yang kurang aman, dan proses distribusi yang kurang baik,
mengakibatkan banyaknya terjadi ledakan tabung LPG 3 kg yang menimbulkan
banyak kerugian. Menurut Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) sejak tahun
2008 hingga Juli 2010, di Indonesia telah terjadi kasus ledakan sebanyak 189 kali
dalam pemakaian tabung LPG rumah tangga (www.metro.news.viva.co.id).
Selain itu, pemenuhan kebutuhan LPG nasional tersebut pun sebenarnya
belum dapat disediakan oleh pemerintah sepenuhnya dari kilang gas dan minyak
yang dimiliki oleh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh jumlah permintaan LPG
yang lebih besar daripada jumlah penawarannya. Dengan demikian, pemerintah

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


3

masih harus melakukan impor LPG untuk memenuhi kebutuhan LPG nasional
tersebut, dimana pada tahun 2007 saja impor LPG telah mencapai angka 50.193
metrik ton (IISD, n.d.).
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan tersebut, Indonesia memerlukan
suatu energi alternatif terbarukan yang ketersediaannya besar di Indonesia untuk
menggantikan bahan bakar fosil tersebut, misalnya biomassa. Energi biomassa
adalah energi hijau dan merupakan sumber energi yang potensial di Indonesia
(Kong, 2010). Berdasarkan informasi dari www.energiterbarukan.net, Indonesia
diestimasi memproduksi 146,7 juta ton biomassa/tahun yang dapat disetarakan
dengan sekitar 470 GJ/tahun.
Sebagai Negara Agraris, Indonesia memiliki potensi bahan baku biomassa
yang tinggi dan mudah diperoleh, terutama yang berasal dari limbah pertanian.
Bagas sebagai salah satu biomassa yang berasal dari limbah pertanian, memiliki
potensi yang cukup besar di Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia tahun 2002 pada www.menlh.go.id, potensi bagas
nasional yang dapat tersedia dari jumlah seluruh luas tanaman tebu mencapai
39.539.944 ton per tahun. Potensi bagas yang cukup besar tersebut menunjukkan
bagas amat potensial dan tersedia secara ekonomis untuk dimanfaatkan sebagai
bahan bakar alternatif di Indonesia.
Meskipun persediaan biomassa yang dimiliki oleh Indonesia sangat
melimpah, tetapi kompor biomassa yang ada saat ini masih memiliki efisiensi
termal yang rendah dan emisi CO yang tinggi sebagai indikasi terjadinya
pembakaran yang tidak sempurna (Smith, 2000a, Bhattacharya, 2000). Seperti
telah diketahui, kandungan karbon yang tinggi memang merupakan karakteristik
dari bahan bakar padat dibandingkan bahan bakar non padat (Handayani, 2009).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) 2007, jumlah populasi
penduduk Indonesia yang menggunakan bahan bakar padat sebesar 72% dari
217.131 jumlah penduduk Indonesia dan kematian per tahun akibat dari polusi
udara di dalam ruangan tertutup mencapai 15.300 jiwa (Colbeck, 2010). Hal ini
disebabkan oleh peningkatan kadar gas CO yang melebihi ambang batas di
atmosfer mampu menyebabkan hemoglobin dalam darah cenderung mengikat CO
dibandingkan O2 sehingga beracun bagi tubuh dan mampu menyebabkan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


4

kematian. Oleh karena itu, perlu ditemukan suatu solusi untuk mengembangkan
kompor biomassa beremisi gas CO rendah sehingga permasalahan energi nasional
tentang ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis dan bahaya polusi
udara dalam ruangan terhadap kesehatan penduduk Indonesia dapat diatasi.
Penelitian mengenai pengembangan kompor biomassa untuk
menanggulangi permasalahan efisiensi termal dan emisi gas CO sebenarnya telah
banyak dilakukan, mulai dari kompor biomassa tradisional (traditional biomass-
fired stove) yang memiliki efisiensi termal sangat rendah, yakni berkisar antara 5-
20%, kompor biomassa dikembangkan (improved biomass-fired stove), kompor
biogas (biogas-fired stove), hingga kompor gas-biomassa (producer gas-fired
stove). Meskipun begitu, kompor gas-biomassa merupakan jenis kompor yang
paling potensial dikembangkan untuk menggantikan kompor yang menggunakan
bahan bakar tak terbarukan, seperti kompor LPG dan kompor minyak tanah,
karena memiliki efisiensi energi tinggi dan mampu meminimasi emisi gas
berbahaya dari kompor (termasuk gas CO) dengan cara membakar gas yang
dihasilkan dari pirolisis biomassa (Bhattacharya, & Salam, 2002).
Salah satu kompor gas-biomassa yang telah dirancang adalah Wood-Gas
Turbo Stove atau yang dikenal dengan Reed’s Wood-Gas Campstove. Kompor
tersebut memiliki efisiensi termal lebih besar dari 30% dan mampu menekan
emisi gas CO yang tinggi hingga konsentrasi gas CO pada ketinggian 80 cm di
atas kompor mencapai 22 ppm. Pada Wood-Gas Turbo Stove, aliran udara primer
dan sekunder bergerak secara konveksi alami pada rancangan awal, sedangkan
pada rancangan terbarunya, aliran udara primer dan sekunder bergerak secara
konveksi paksa namun daya berasal dari penggunaan satu fan yang sama (Reed, et
al., 2000).
Kemudian, SPRERI Gasifier Stove, kompor gas-biomassa yang telah
dievaluasi performanya dengan menggunakan biomassa dari jarak pagar. Kompor
tersebut mencapai efisiensi termal sebesar 31,10%, dan emisi gas CO sekitar 3-6
ppm yang diukur dengan jarak 1 m dari ketinggian kompor (Panwar, 2010).
Lalu, Anderson merancang Champion T-LUD ND (Natural Draft) Stove
yang memanfaatkan konveksi alami, baik untuk aliran udara primer maupun udara

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


5

sekunder. Kompor tersebut menghasilkan emisi gas CO sebesar 3,5 g/L (Roth,
2011).
Selanjutnya, Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier yang memanfaatkan
aliran konveksi paksa untuk udara primernya dan konveksi alami untuk udara
sekundernya. Kompor tersebut merupakan kompor gas-biomassa pertama dengan
pembakaran partikel halus limbah biomassa menggunakan prinsip T-LUD
Gasifier yang mampu menghasilkan gasifikasi yang sempurna, menghasilkan
nyala api biru yang konsisten, dan emisi yang rendah, menggunakan biomassa
dari sekam padi (Belonio, 2005).
Adapun kompor-kompor gas-biomassa tersebut menggunakan prinsip
Inverted Down Draft (IDD) atau Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier. Prinsip ini
pada dasarnya adalah memproduksi gas-gas yang dapat terbakar, terutama gas CO
dan asap hidrokarbon, melalui proses pirolisis pada suhu tinggi (udara primer
yang diperlukan dalam jumlah terbatas) untuk selanjutnya seluruh gas tersebut
dibakar sempurna di bagian atas dengan udara sekunder berlebih sehingga
dihasilkan emisi yang bersih. Jadi, bahan bakar dinyalakan mulai dari bagian atas
kompor sehingga timbul api di bagian atas (top lit). Api pada penyalaan awal
tersebut akan memicu pelet pada lapisan paling atas untuk mengeluarkan volatile
matter karena menerima panas dari api secara radiasi dan konveksi. Volatile
matter yang keluar terus-menerus dari biomassa tersebut menghalangi oksigen
(oksigen disuplai dari aliran udara primer yang bergerak ke atas) untuk
berpenetrasi ke partikel biomassa sehingga terjadilah pirolisis yang memproduksi
gas-gas pirolisis dan panas. Panas tersebut akhirnya membentuk api pirolisis di
sekitar partikel pelet biomassa ketika oksigen berpeluang berpenetrasi ke partikel
pelet biomassa. Zona dimana api pirolisis berada itulah yang disebut dengan zona
flaming pyrolisis. Posisi zona ini bergerak turun, sementara bahan bakar tetap
(fixed bed). Dengan demikian, api pirolisis tersebut akan bergerak ke bawah dan
terus-menerus menyebabkan biomassa mengeluarkan volatile matter-nya hingga
habis dan hanya tersisa char-nya saja. Sedangkan volatile matter yang keluar dari
biomassa tersebut selanjutnya akan bergerak ke atas, sama seperti aliran udara
primer (up draft), untuk dibakar dengan udara sekunder (Roth, 2011).

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


6

Meskipun kompor-kompor dengan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD)


Gasifier tersebut sudah cukup berhasil dalam menurunkan emisi gas CO, dimana
masih termasuk batas emisi gas CO yang diperbolehkan dalam atmosfer oleh
Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia sebesar 25 ppm (Supramono,
2009), namun masih memiliki beberapa kekurangan. Kekurangannya ialah
terutama pada masalah pergerakan aliran udara, optimasi teknik pembakaran, dan
karakteristik dari bahan bakar biomassa yang dipergunakan. Pada beberapa
kompor gas-biomassa seperti Wood-Gas Turbo Stove, pencampuran gas-udara
(turbulensi) masih kurang baik sehingga menimbulkan warna kuning pada api.
Hal ini mungkin disebabkan oleh aliran udara yang bergerak secara konveksi
alami sehingga amat bergantung pada aliran udara di lingkungan sekitarnya, dan
pengaturan udara primer dan sekunder belum dilakukan secara independen dari
dua sumber daya yang berbeda. Selain itu, masih ada char yang ikut terbakar yang
menandakan bahwa flaming pyrolisis dan glowing pyrolisis terjadi pada waktu
yang beririsan. Sedangkan masalah karakteristik biomassa, yaitu mengenai
optimasi dengan biomassa yang tepat (kandungan volatile matter tinggi) yang
belum dilakukan terhadap kompor (Reed, et al., 2000) dan penggunaan biomassa
dari jarak pagar yang memiliki kadar keabuan tinggi pada SPRERI Gasifier Sove
sehingga menimbulkan masalah tingginya emisi partikulat (Panwar, 2010).
Berdasarkan peluang yang tersedia tersebut, maka penelitian ini dilakukan
terutama untuk mengembangkan rancangan kompor gas-biomassa guna
memperbaiki kelemahan kompor gas-biomassa yang sudah ada dan mengoptimasi
performa kompor dengan memilih biomassa yang memiliki kandungan volatile
matter tinggi (sesuai dengan prinsip perancangan kompor), seperti bagas.
Tujuannya ialah untuk memperoleh kompor dengan nyala api biru seperti kompor
LPG dengan parameter yang digunakan adalah emisi gas CO yang serendah
mungkin. Oleh karena itu, dapat dirancang kompor gas-biomassa baru dengan
menggunakan prinsip serupa, yakni prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier,
dimana desain kompor yang menjadi acuan utama adalah desain Belonio’s Rice
Husk T-LUD Gasifier yang merupakan kompor gas-biomassa pertama yang
dinilai mampu menghasilkan nyala api biru secara konsisten dan memiliki emisi
yang rendah. Selain itu, kompor gas-biomassa tersebut harus dirancang dengan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


7

udara devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder)


mengalir secara konveksi paksa menggunakan blower yang independen agar
gasifikasi yang dicapai dapat lebih sempurna lagi sehingga dapat menghasilkan
nyala api biru. Adapun timbulnya warna biru pada nyala api disebabkan oleh
adanya radikal CH dan C2 yang tereksitasi. Radikal-radikal yang tereksitasi
tersebut mengemisikan gelombang elektromagnetik, dimana CH dan C2
mengemisikan gelombang hijau dan biru (Ballester, & Armingol, 2010).
Dengan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier, maka emisi gas CO
kompor dapat dikurangi hingga konsentrasi sangat rendah dan mampu
menghasilkan nyala api berwarna biru yang dapat disetarakan dengan kompor
LPG yang sekarang banyak digunakan. Dengan demikian, kompor gas-biomassa
dapat dikatakan sebagai interface antara kompor biomassa dan kompor LPG.

1.2 Perumusan Masalah


1.2.1 Rumusan Masalah
Masalah yang dirumuskan untuk diselesaikan dalam penelitian yang akan
dilakukan, antara lain:
 desain kompor gas-biomassa dengan prinsip Inverted Down Draft (IDD) atau
Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier yang mampu meminimasi emisi gas CO
sehingga mampu menghasilkan nyala api biru, dan
 mencapai performa kompor yang optimum dari kompor gas-biomassa melalui
penggunaan bahan bakar pelet biomassa dari limbah bagas yang memiliki
kandungan volatile matter tinggi.

1.2.2 Pendekatan Masalah


Hingga saat ini, para peneliti sudah tertuju pada penyelesaian masalah
dalam mengembangkan desain kompor biomassa yang mampu menurunkan emisi
gas CO, namun hasilnya tidak semua memuaskan. Mengacu pada emisi gas CO
yang dihasilkan oleh Wood-Gas Turbo Stove sebesar 22 ppm pada ketinggian 80
cm dan SPRERI Gasifier Stove sebesar 3-6 ppm pada ketinggian 1 m di atas
kompor, dimana kompor masih memiliki berbagai kelemahan yang harus
diperbaiki, antara lain ketidakstabilan warna api karena ketidaksempurnaan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


8

pencampuran gas-udara, serta desain kompor dan kandungan bahan bakar yang
belum mampu mengoptimasi proses gasifikasi (Reed, et al., 2000, Panwar, 2010).
Adapun Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier mampu mencapai emisi CO rendah
dan nyala api biru secara konsisten. Hasil tersebut diperoleh untuk kompor gas-
biomassa yang menggunakan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier. Maka,
penelitian sekarang berusaha merancang kompor gas-biomassa beremisi gas CO
rendah dengan prinsip yang sama dan mengoptimasi performanya dengan
biomassa yang mengandung volatile matter tinggi, seperti bagas.

1.2.3 Hipotesis
Melalui devolatilisasi dari biomassa yang menghasilkan gas-gas pirolisis
dengan bantuan udara primer terbatas (salah satunya gas CO) dan melalui
pembakaran sempurna gas-gas pirolisis tersebut di bagian atas dengan udara
sekunder berlebih, dimana pembakaran sempurna gas-gas pirolisis tersebut di
bagian atas harus terjadi lebih cepat dibandingkan pembakaran char dari pelet
biomassa yang terbentuk (Depner, & Jess, 1999), maka dapat diduga bahwa
rancangan kompor gas-biomassa akhir dalam penelitian ini memiliki nyala api
yang berwarna biru sebagai akibat emisi gas CO yang sangat rendah.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah merancang kompor gas-biomassa untuk
penggunaan rumah tangga yang beremisi gas CO rendah dan memiliki nyala api
biru seperti kompor LPG, dengan bahan bakar pelet biomassa dari limbah bagas.

1.4 Ruang Lingkup Masalah


Adapun ruang lingkup masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
 Perancangan kompor gas-biomassa dengan ukuran, bentuk, dan bahan
fabrikasi tertentu dengan menggunakan prinsip Top-Lit Up Draft (T-LUD)
Gasifier yang mayoritas diadopsi dari Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier.
 Bahan bakar yang digunakan adalah 100% biomassa dari limbah bagas yang
dikompakkan menjadi pelet dengan moisture content sebesar 10%;

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


9

 Penggunaan dua buah blower untuk sistem konveksi paksa aliran udara
devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder) secara
independen.
 Emisi gas CO serendah mungkin dijadikan sebagai parameter kuantitatif dan
pengamatan visual warna api dijadikan sebagai parameter kualitatif dari nyala
api biru yang diharapkan dari kompor gas-biomassa yang dirancang.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biomassa
2.1.1 Definisi Biomassa dan Pelet Biomassa
Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berasal dari derivat
ternak maupun tumbuhan (dapat ditanam ulang) dan dikenal sebagai energi hijau
(Kong, 2010). Biomassa merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai jenis
bahan organik dalam bentuk padat yang dapat digunakan sebagai bahan bakar,
seperti kayu, arang, kotoran hewan, limbah pertanian, dan limbah padat lainnya
yang dapat terbiodegradasi (Fisafarani, 2010).
Pelet telah diproduksi sejak seabad yang lalu dengan menggunakan panas
dan tekanan sehingga pelet berbentuk silindris, dapat diproduksi dari berbagai
macam materi untuk tujuan yang berbeda-beda. Keuntungan yang diperoleh dari
penggunaan pelet adalah densitasnya yang maksimal sekitar 40 lbs/ft3, mengalir
seperti cairan dan ideal dipergunakan untuk sistem yang otomatis, dapat
digunakan pada kompor dan boiler, dapat digunakan dalam aplikasi berskala kecil
maupun besar, mudah untuk ditangani, disimpan, dan ditransportasikan, serta
meningkatkan karakteristik pembakaran dari bahan baku yang dipergunakan
(www.pelheat.com). Penampilan fisik pelet biomassa dapat dilihat pada Gambar
2.1 di bawah ini.

Gambar 2. 1 Pelet biomassa


(www.pelheat.com)

Peletisasi biomassa merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan


penanganan, transportasi, pengubahan yang lebih mudah, dan penyimpanan
sewaktu-waktu (Erlich, 2005). Untuk menghasilkan pelet biomassa yang memiliki

10 Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


11

kualitas yang baik, tahapan prosesnya dideskripsikan dalam skema pada Gambar
2.2 sebagai berikut:

Reduksi Pengeringan Pencampuran Persiapan


Ukuran

Pembuatan
Pengemasan Pendinginan Pengayakan
Pelet

Gambar 2. 2 Skema proses produksi pelet biomassa


(www.pelheat.com)

Dalam penelitian ini, biomassa yang digunakan adalah 100% biomassa


yang berasal dari limbah bagas dan karakterisasi utama yang dilihat ialah
kandungan volatile matter yang tinggi (karena volatile matter dari biomassa
tersebutlah yang menjadi bahan bakar dari kompor gas-biomassa yang dirancang).
Untuk digunakan sebagai bahan bakar, limbah bagas dikompakkan dalam bentuk
pelet. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Erlich (2005) dengan
membandingkan antara pelet bagas berdiameter 6 mm dan 12 mm, semakin besar
ukuran diameter pelet bagas maka semakin tinggi tingkat kerapuhan dan semakin
tinggi char yang dihasilkan. Char yang tinggi akan membentuk lapisan tebal pada
char zone sehingga mencegah udara atau gas untuk melewatinya.

2.1.2 Ketersediaan Biomassa di Indonesia


Sumber daya biomassa di Indonesia sangat melimpah. Salah satu
penyebabnya adalah Indonesia yang termasuk negara beriklim tropis dengan
wilayah yang cukup luas. Berikut ini merupakan peta persebaran potensi biomassa
di Indonesia pada Gambar 2.3, dimana pada Pulau Jawa dan Sumatra, limbah dari
penggilingan tebu menempaatai persentasi dengan urutan tertinggi.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


12

Gambar 2. 3 Potensi biomassa di Indonesia


(ZREU, 2000)

Berdasarkan peta persebaran potensi biomassa di Indonesia tersebut, dapat


diamati bahwa salah satu sumber daya biomassa yang memiliki potensi yang
cukup tinggi di Indonesia adalah tebu. Potensi yang besar tersebut disebabkan
oleh fungsi tebu sebagai bahan baku utama industri pembuatan gula yang
jumlahnya cukup banyak di Indonesia terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini digunakan biomassa dari limbah bagas yang
merupakan limbah dari penggilingan tebu di pabrik gula.
Adapun jumlah limbah biomassa di Indonesia (termasuk bagas) per tahun
beserta dengan potensi energinya disajikan dalam Tabel 2.1 sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


13

Tabel 2. 1 Limbah biomassa di Indonesia

Jumlah Potensi Crude Oil


Rasio
Sumber Limbah LHV Energi Equivalent
Limbah Limbah
Biomassa (juta (MJ/kg) (juta (106
(%)
ton/tahun) GJ/tahun) toe/tahun)
Bagas 32 8,5 18,1 78,00 1,87
Daun dan
Tebu
Pucuk 30 1,3 15,81 20,55 0,49
Tebu
TKKS 27 12,9 8,16 105,26 2,53
Kelapa
Serat 15 6,7 11,34 75,98 1,82
Sawit
Tempurung 9 3,5 18,83 65,91 1,58
Pohon Limbah
- 2,8 - 46,45 1,11
Karet Kayu Karet
Serabut - 6,7 18,62 124,75 2,99
Kelapa
Tempurung 16 3 16,78 50,34 1,21
Sekam
23 13,5 12,69 171,32 4,11
Padi Padi
Jerami 40 49 10,9 534,10 12,82
Limbah
Ubi Kayu Cair Pabrik - 7,3 - 133,13 3,20
Tapioka
Industri Limbah
- 8,3 - 70,11 1,68
Kayu Kayu
JUMLAH 1.475,90 35,42

(FAO 1998; Febijanto 2007; Priyanto 2007; ZREU 2000)

2.1.3 Kandungan Biomassa


Menurut Kong (2010), terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan
sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan biomassa, yakni selain aspek
ketersediaan biomassa yang telah dibahas sebelumnya dan rantai suplai biomassa
ialah aspek nilai kalori dan kandungan dari biomassa tersebut (moisture content,
ash content, volatile matter, unsur klorin, dan sebagainya). Dengan mengetahui
kandungan yang dimiliki oleh suatu biomassa tertentu, maka dapat ditentukan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


14

jalur konversi termal (pembakaran langsung, pirolisis, gasifikasi, atau fermentasi)


yang paling cocok untuk jenis biomassa tersebut.
Misalnya, kadar air atau moisture content yang tinggi mengakibatkan
biomassa menjadi sulit terbakar karena dibutuhkan sejumlah kalor laten untuk
menguapkan air yang terkandung dalam biomassa tersebut dan kalor sensibel
untuk menaikkan suhu. Sedangkan, kadar abu atau ash content yang tinggi
berpengaruh terhadap perancangan garangan (grate) dari kompor. Hal ini juga
akan mengakibatkan timbulnya emisi partikulat yang tinggi dalam pembakaran
sehingga perlu penanganan khusus untuk abu dan partikulat yang dihasilkan.
Selain itu, abu bersifat inert sehingga mampu mengurangi efisiensi kalor yang
dihasilkan dari bahan bakar (Chigier, 1981). Volatile matter yang tinggi
menunjukkan bahwa biomassa tersebut lebih mudah menyala dan lebih cepat
terbakar (Fisafarani, 2010). Kandungan zat volatil ini dapat menguntungkan
dalam hal penyalaan biomassa karena kandungan zat volatil (campuran dari uap
dan gas yang keluar saat proses pirolisis dari biomassa) tersebut dapat melepaskan
kalo secara konveksi maupun radiasi, serta membentuk pori pada permukaan
ketika zat volatil lepas dari permukaan biomassa. Sedangkan, karbon tetap (fixed
carbon) yang tinggi menyebabkan semakin tinggi nilai kalori dari suatu biomassa.
Karbon tetap bertindak sebagai pembangkit utama panas selama pembakaran.
Biomassa merupakan produk reaksi fotosintetik dari karbon dioksida
denga air, yang terdiri dari karbon, oksigen, dan hidrogen, yang terdapat dalam
bentuk polimerik makroskopik kompleks. Oleh karena itu, selain kandungan-
kandungan biomassa yang telah diuraikan di atas, kandungan yang juga patut
diperhatikan adalah kandungan biopolimer dari biomassa yang terdiri dari
hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Jumlah kandungan dan sifat struktur dari ketiga
komponen biomassa tersebut menjadi penting untuk diketahui karena dalam
prinsip kompor gas-biomassa yang dirancang melibatkan proses pirolisis
biomassa. Pirolisis biomassa terbagi menjadi empat tahap, yaitu perubahan
moisture content, dekomposisi hemiselulosa, dekomposisi selulosa, dan
dekomposisi lignin.
Adapun hemiselulosa, selulosa, dan lignin memiliki komposisi yang
bervariasi untuk setiap spesies tumbuhan. Pada umumnya, dalam setiap basis

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


15

kering biomassa mengandung 20-40% berat hemiselulosa, 40-60% berat selulosa,


dan 10-25% berat lignin.Berdasarkan analisis menggunakan FTIR, spektrum infra
merah ketiga komponen biomassa tersebut mayoritas terdiri dari alkena, ester,
aromatik, keton, alkohol, dengan gugus fungsional, antara lain OH (3400-3200
cm-1), C=O (1765-1715 cm-1), C-O-C (1270 cm-1), C-O-(H) (~1050 cm-1), dan
lain-lain. Ketiga komponen tersebut memiliki perilaku pirolisis yang berbeda-
beda. Berikut ini merupakan uraian mengenai masing-masing ketiga komponen
tersebut:
a. Hemiselulosa [(C5H8O4)y]
Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula.
Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa, hemiselulosa
tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa
terdiri dari monomer gula berkarbon lima (C-5) dan enam (C-6). Dekomposisi
hemiselulosa terjadi paling mudah dan paling awal di antara komponen lainnya, di
mana dekomposisi terjadi pada suhu 220-315oC dengan menghasilkan CO dan
CO2 lebih tinggi, senyawa organik (C=O, C-O-C, dan sebagainya), dan sedikit
CH4 sebagai gas pirolisis yang dilepaskan (Tanto, 2011; Yang, 2007).

b. Selulosa [(C6H10O5)x]
Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang.
Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk dan terikat menjadi
bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah
unit glucan di dalam polimer yang disebut dengan derajat polimerisasi, di mana
pada umumnya terdapat sekitar 2.000-27.000 unit glucan dalam selulosa. Selulosa
terdekomposisi pada suhu pirolisis 315-400oC dengan melepaskan CO dan CO2
dalam jumlah sedikit, senyawa organik (C=O, C-O-C, dan sebagainya), dan
sedikit CH4, dengan hasil residu padatan yang paling rendah (Tanto, 2011; Yang,
2007).

c. Lignin [(C9H10O3(CH3O)0,9-1,7)y]
Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari unit phenylphropane
yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Lignin adalah material yang paling

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


16

kuat dalam biomassa. Lignin memiliki titik leleh yang cukup rendah, yaitu pada
suhu 140oC. Lignin bersifat sangat resisten terhadap degradasi, baik secara
biologi, enzimatis, maupun kimia. Lignin memiliki rasio C dan O serta rasio H
dan O yang lebih besar daripada fraksi karbohidrat lainnya dalam biomassa. Hal
inilah yang membuat lignin lebih potensial untuk proses oksidasi dibandingkan
dengan yang lainnya. Adapun lignin terdekomposisi pada suhu pirolisis 150-
900oC, di mana tidak ada CO dan senyawa organik yang dihasilkan sebagai gas
pirolisis, melainkan CH4 dalam jumlah tinggi, dengan residu padatan yang
dihasilkan paling tinggi dibandingkan dengan komponen biopolimer lainnya
(Tanto, 2011; Yang, 2007).

2.1.4 Uji Analisis Karakteristik Bahan Bakar Biomassa


Supaya pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar menjadi optimal,
perlunya untuk mengetahui karakteristik biomassa yang digunakan untuk
mendesain ruang bakar yang sesuai bagi proses pembakaran biomassa. Adapun
untuk mengetahui karakteristik dari suatu biomassa perlu dilakukan uji analisis.
Secara umum, metode untuk menganalisis kandungan biomassa diklasifikasikan
menjadi dua metode, yaitu analisis proximate dan analisis ultimate.
Analisis proximate merupakan analisis yang menunjukkan nilai kuantitatif
(dalam persen berat) dari fixed carbon, volatile matter, ash content, dan moisture
content dalam suatu biomassa. Analisis proximate terhadap biomassa yang
digunakan dalam penelitian ini penting untuk dilakukan, terutama guna
mengetahui kandungan volatile matter yang dimiliki oleh biomassa tersebut.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, prinsip kompor gas-biomassa yang dirancang
dalam penelitian ini adalah membakar volatile matter yang telah keluar dari
biomassa dan mengalami pirolisis menjadi gas. Oleh karena itu, pemilihan jenis
biomassa untuk bahan bakar kompor gas-biomassa didasarkan pada kandungan
volatile matter yang tinggi.
Analisis ultimate ialah analisis untuk menentukan berbagai macam
kandungan kimia berupa unsur-unsur, seperti karbon, hidrogen, oksigen, sulfur,
dan lain-lain dalam suatu biomassa. Analisis ini berguna untuk menentukan
jumlah udara yang diperlukan dalam suatu proses pembakaran dan komposisi dari

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


17

gas pembakaran. Tidak seperti analisis proximate yang dapat dilakukan dengan
peralatan sederhana, analisis ultimate harus dilakukan di laboratorium dengan
peralatan yang lengkap oleh ahli kimia yang terampil (Tanto, 2011).
Adapun analisis proximate dan ultimate untuk biomassa dari bagas yang
diperoleh dari literatur, dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Menurut hasil
karakterisasi biomassa yang dilakukan oleh Fisafarani (2010), bagas memiliki
kandungan hemiselulosa, selulosa, dan lignin secara berurutan sebesar 27,63%,
39,29%, dan 21,98% berdasarkan persentase berat keringnya. Sedangkan, hasil uji
karakterisasi bahan bakar biomassa dari bagas yang digunakan dalam penelitian
(analisis proximate, ultimate, dan nilai kalori) yang dilakukan oleh Balai Besar
Teknologi Energi yang terdapat di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Serpong, dapat dilihat pada LAMPIRAN.

Tabel 2. 2 Analisis proximate biomassa

Moisture Ash Volatile Fixed


Biomass Content Content Matter Carbon
%, adb %, adb %, adb %, adb
Straw 11.98 17.42 56.48 14.12
Rice Husk 7.78 21.84 57.05 13.33
Kamper Wood 15.52 1.21 68.22 15.05
Rubber Wood 10.85 4.29 69.76 15.1
Coconut Fiber 10.27 3.27 62.64 23.82
EFB 10.45 3.43 68.67 17.45
Bagasse 8.76 1.34 75.94 13.96

(Purwanto, 2010)

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


18

Tabel 2. 3 Analisis ultimate biomassa

C H N S O
Biomass
% adb
Straw 36.48 4.7 0.61 0.09 40.7
Rice Husk 35.18 4.46 0.15 0.01 38.36
Kamper Wood 45.67 5.74 0.12 Trace 47.26
Rubber Wood 45.62 5.57 0.72 0.04 43.76
Coconut Fiber 46.87 5.77 0.04 0.08 43.97
EFB 44.06 6.06 0.29 0.11 46.05
Bagasse 46.1 6.1 0.11 0.17 46.18

(Purwanto, 2010)

2.1.5 Tahap-tahap Pembakaran Biomassa


Untuk dapat mengontrol dan mengoptimasi suatu proses pembakaran,
pertama-tama hal yang perlu diketahui adalah kondisi-kondisi yang berpengaruh
terhadap pembakaran tersebut. Kondisi-kondisi yang dimaksud di sini adalah
terkait dengan setiap tahap yang berlangsung secara terpisah dan kronologis
seiring dengan kenaikan suhu dari material yang digunakan sebagai bahan bakar.
Berikut ini merupakan uraian secara rinci mengenai setiap tahap yang terjadi
dalam pembakaran biomassa:
a. Pengeringan
Dalam tahap ini, air yang terkandung dalam biomassa menguap. Seperti
diketahui dalam proses pengeringan, keberadaan air dalam suatu bahan bakar
padat terdiri dari dua bentuk, yaitu air bebas (air yang terdapat dalam pori-pori
pada permukaan luar suatu bahan bakar padat dan jenis air ini mudah untuk
menguap) dan air terikat (air yang berada di struktur permukaan dalam atau
internal dari bahan bakar padat, memiliki gaya ikat atau adhesi yang cukup kuat
dengan partikel bahan bakar padat tersebut, dan lebih sulit untuk menguap
sehingga memerlukan energi yang berlebih jika ingin menguapkan jenis air
tersebut). Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mengubah seluruh air menjadi
uap air bergantung pada moisture content yang dimiliki oleh biomassa yang
digunakan. Semakin rendah moisture content, semakin singkat waktu pengeringan
dan semakin besar energi yang dihasilkan untuk pembakaran.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


19

Menurut www.pellheat.com, target untuk moisture content dalam pelet


yang telah menjadi produk jadi sebaiknya di bawah 10%, karena jika lebih dari
10% maka membutuhkan energi yang lebih besar untuk membakarnya.
Sedangkan, menurut Roth (2011), moisture content 8-20% adalah yang terbaik
untuk pelet, meskipun pada kompor yang menggunakan sistem aliran konveksi
paksa (seperti kompor gas-biomassa yang dirancang dalam penelitian ini) masih
dapat membakar bahan bakar dengan moisture content hingga 30%. Berdasarkan
informasi-informasi yang diperoleh dari data literatur tersebut, dengan demikian
pelet bagas yang digunakan dalam penelitian ini diatur untuk memiliki moisture
content sebesar 10% agar tidak meningkatkan biaya untuk efisiensi pembakaran.

b. Devolatilisasi (Pirolisis)
Jika pengeringan partikel-partikel dalam biomassa telah selesai terjadi,
maka suhu akan meningkat. Ketika suhu naik dan panas diabsorpsi oleh partikel
biomassa, biomassa terdekomposisi melalui tahapan secara lengkap (dimulai dari
hemiselulosa, selulosa, dan lignin). Sebagai akibatnya, biomassa melepaskan
volatile matter dan menyisakan produk padatan (char). Adapun dalam proses
dekomposisi biomassa tersebut, sebenarnya antara pelepasan volatile matter atau
produk gas pirolisis dan pembentukan produk padatan (char) terjadi secara
terpisah. Bila dipandang dari sisi pelepasan volatile matter dari biomassa,
fenomena ini disebut dengan devolatilisasi. Sedangkan, dipandang dari sisi
pembentukan char, fenomena ini dikenal dengan nama karbonisasi (Roth, 2011).
Volatile matter sendiri diyakini berasal dari spesi turunan dari putusnya
ikatan -H2, -CH, -CH2, -CH3, dan -OH yang terdapat di sekeliling biomassa, di
mana spesi-spesi tersebut memiliki berat molekul yang ringan (Tanto, 2011) Pada
saat devolatilisasi terjadi, volatile matter mengalir keluar dari pori-pori partikel
biomassa sehingga oksigen dari luar tidak dapat berpenetrasi ke dalam partikel.
Oleh karena itu, fenomena devolatilisasi ini sering juga disebut dengan tahap
pirolisis (Borman, & Ragland, 1998). Pirolisis merupakan destruksi termal dari
material organik tanpa keberadaan oksigen (Demirbas, 2004).
Selanjutnya, produk gas pirolisis akan menyala dan membentuk api yang
mengelilingi sekitar partikel sebagai akibat dari oksigen yang berdifusi ke produk

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


20

gas pirolisis. Kemudian, api tersebut memberikan panas ke partikel sehingga


pelepasan volatile matter dari biomassa terulang kembali dan demikianlah
devolatilisasi terjadi terus-menerus hingga volatile matter dalam biomassa
tersebut habis dan hanya tertinggal padatan (char) biomassa saja.
Karena adanya energi panas yang dilepaskan seiring dengan pelepasan
volatile matter itulah, semakin banyak kandungan volatile matter, maka semakin
rendah suhu penyalaan yang dibutuhkan (Tanto, 2011). Apalagi, jika volatile
matter dalam jumlah banyak tersebut mengalami devolatilisasi, maka pada saat
volatile matter tersebut telah terbakar habis akan mengakibatkan porositas char
yang terbentuk semakin besar dan hal ini berperan dalam pembakaran char yang
terjadi selanjutnya. Membesarnya porositas char menyebabkan aliran udara yang
melewati partikel char menjadi semakin turbulen sehingga menimbulkan ulakan
(eddy) yang mempermudah oksigen berdifusi lebih lanjut ke permukaan internal
char (Singh, et al., 2009). Dengan demikian, pembakaran pun menjadi semakin
sempurna dan efisien. Adapun laju dari devolatilisasi dan produk pirolisis
bergantung pada suhu dan jenis bahan bakar (Borman, & Ragland, 1998; Tanto,
2011).

c. Pembakaran Gas
Biomassa mengandung komponen penyusun yang sangat kompleks
dimana volatile matter yang ada di dalamnya berbeda untuk setiap jenis
biomassanya. Berikut ini merupakan reaksi pembakaran sederhana dari volatile
matter yang seringkali terjadi pada proses pembakaran bahan bakar padat
(Fisafarani, 2010):
+ → QP = +242 kJ/mol (2.1)
+ → QP = +283 kJ/mol (2.2)
+ → + QP = +35,7 kJ/mol (2.3)
+ → + QP = -206 kJ/mol (2.4)
+ → + QP = +41,1 kJ/mol (2.5)

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


21

Diman QP sama dengan –ΔH (Glassman, 1996). Adapun panas yang dihasilkan
oleh reaksi eksotermis sangat penting dalam pelepasan volatile matter dan
penyalaan api pada char.

d. Pembakaran Padatan (Char) Biomassa


Tahap akhir dalam proses pembakaran suatu bahan bakar padat adalah
pembakaran char. Ketika devolatilisasi selesai terjadi, maka yang tersisa adalah
char dan abu saja. Char merupakan bahan residu yang kaya akan karbon namun
miskin akan oksigen dan hidrogen. Partikelnya memiliki patahan dan lubang yang
disebabkan oleh hilangnya gas dan volatile matter sehingga ukurannya membesar
dari sebelumnya. Oleh karena itu, pada umumnya char memiliki tingkat porositas
yang tinggi. Porositas untuk char yang berasal dari biomassa kayu adalah sekitar
0,9 (90% voids) dengan luas permukaan internalnya sekitar 10.000 m2/g.
Ketika volatile matter keluar dari biomassa dan meninggalkan char, terdapat
lubang-lubang yang menyebabkan char memiliki pori yang besar sehingga
oksigen dapat berdifusi melalui boundary layer yang terdapat pada sekitar lubang-
lubang berpori partikel dan masuk ke dalam partikel char tersebut. Oleh karena
itu, laju pembakaran char amat bergantung pada laju reaksi kimia, yakni reaksi
heterogen antara karbon dalam char dan oksigen yang terjadi pada permukaan
keduanya (gas-solid interface). Produk utama dari reaksi permukaan ini terutama
berupa gas CO. Selanjutnya, gas CO tersebut akan bereaksi di luar partikel untuk
membentuk CO2. Reaksi pembentukan CO2 tersebut sangat eksotermis sehingga
mampu meningkatkan suhu char 100-200oC di atas suhu gas luar. Tahap ini relatif
lebih lama dibandingkan devolatilisasi.
Adapun reaktivitas char bergantung pada jenis biomassanya, suhu gas,
tekanan, bilangan Reynold, karakteristik char (ukuran, porositas, luas permukaan,
dan lain-lain), dan konsentrasi oksigen. Konsentrasi oksigen dan laju difusi
oksigen tersebut melewati boundary layer dan masuk ke dalam partikel char juga
merupakan faktor penting dalam laju pembakaran char, selain laju reaksi kimia
yang telah dijelaskan (Borman, & Ragland, 1998; Tanto, 2011).

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


22

2.1.6 Gasifikasi sebagai Konversi Termal Biomassa


2.1.6.1 Definisi Gasifikasi
Gasifikasi merupakan salah satu proses pengubahan bertahap dari bahan
bakar padat dengan ketersediaan oksigen yang terbatas sehingga gas yang
dihasilkan masih berpotensi untuk terbakar, dimana hampir semua bahan organik
dari biomassa diubah menjadi gas bakar yang bersih dan netral (Faaij, 2006).
Posisi gasifikasi di antara berbagai malam jalur konversi biomassa dapat dilihat
pada Gambar 2.4 berikut ini.

Gambar 2. 4 Pilihan utama teknologi metode pengubahan biomassa


(Faaij, 2006)

Gasifier biomassa adalah suatu sistem yang mengubah biomassa padat


menjadi gas dan membakarnya dengan cara yang dapat dikontrol melalui
pengaturan suplai udara (Roth, 2011). Sistem tersebut memanfaatkan teknologi
gasifikasi untuk mengubah biomassa secara termokimia menjadi gas yang dapat
dibakar. Gasifikasi sebenarnya merupakan suatu bentuk pirolisis pada suhu tinggi
untuk mengoptimasi gas yang dihasilkan. Gas pirolisis yang dihasilkan disebut
dengan gas producer (merupakan campuran gas yang didominasi oleh gas CO,
H2, dan CH4, bersama dengan CO2 dan N2) (Demirbas, 2004). Teknologi
gasifikasi biomassa sendiri belum banyak dilakukan di Indonesia, namun

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


23

teknologi ini menawarkan kelebihan berupa efisiensi yang tinggi dan emisi yang
bersih (Agung, et al., 2010). Hal ini disebabkan oleh gas pirolisis yang dihasilkan
selanjutnya dibakar secara sempurna. Pada Gambar 2.5 berikut ini adalah skema
proses yang terjadi dalam suatu gasifier.

Gambar 2. 5 Skema proses pembakaran gas producer


(Roth, 2011)

2.1.6.2 Jenis Gasifier


Pada umumnya, ada dua jenis gasifier, yaitu fixed bed gasifier dan
fluidized bed gasifier. Adapun untuk kompor gas-biomassa yang dirancang dalam
penelitian, jenis fixed bed gasifier dianggap lebih sesuai untuk diterapkan dengan
susunan bahan bakar padat yang tetap.
a. Fixed Bed Gasifier
Fixed bed gasifier merupakan jenis gasifier yang memiliki garangan
(grate) yang dikonstruksikan untuk menopang bahan bakar dan mempertahankan
unggun bahan bakar dalam keadaan tetap atau tidak bergerak seperti fluida. Jenis
gasifier ini relatif mudah untuk didesain dan dioperasikan, namun memiliki
kapasitas yang terbatas. Oleh karena itu, fixed bed gasifier lebih banyak

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


24

digunakan untuk aplikasi skala kecil hingga sedang, dimana kalor yang diperlukan
mencapai 1 MW (Akudo, 2008).
1) Up Draft Gasifier
Pada jenis gasifier ini, udara disuplai dari bagian bawah. Api juga
dinyalakan dari bawah. Sedangkan, gas panas bergerak mengalir ke atas dan
kemudian keluar menuju atmosfer, sementara bahan bakar terus-menerus
bergerak ke bawah secara berkelanjutan sebagai akibat pirolisis volatile
matter. Karena gerakan yang berlawanan tersebut, jenis gasifier ini sering
disebut dengan Countercurrent Gasifier. Jenis gasifier ini memiliki kelebihan,
yaitu sederhana, suhu keluaran gas relatif rendah, efisiensi termal tinggi, dan
masih dapat melakukan pembakaran meskipun moisture content dari biomassa
mencapai 60%. Akan tetapi, jenis gasifier ini tidak cocok untuk diaplikasikan
pada kompor gas-biomassa yang dirancangan karena menghasilkan tar dan
asap hidrokarbon dalam kadar yang tinggi (Akudo, 2008; Belonio, 2005).
Skema Up Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.6 sebagai berikut.

Gambar 2. 6 Skema Up Draft Gasifier


(Belonio, 2005)

2) Down Draft Gasifier


Pada Down Draft Gasifier, udara disuplai dari atas secara kontinu dan
bergerak mengalir ke bawah sehingga membawa gas yang keluar untuk ikut
mengalir ke bawah menuju zona gasifikasi hot-char, menyalakan api, dan
membakar tar. Dengan demikian, emisi yang dihasilkan sangat bersih.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


25

Sementara itu, bahan bakar juga bergerak ke bawah, seperti gas pirolisis,
sehingga dikenal dengan Co-current Gasifier. Meskipun begitu, jenis gasifier
ini memiliki efisiensi keseluruhan yang lebih rendah serta penanganan yang
sulit untuk biomassa dengan moisture content dan kandungan abu yang tinggi
daripada Up Draft Gasifier. Pada jenis gasifier ini juga amatlah penting untuk
memperhatikan distribusi suhu tinggi yang merata di seluruh area dalam
reaktor gasifikasi. Oleh karena itu, Down Draft Gasifier terbatas hanya untuk
range daya kurang dari 1 MW (Akudo, 2008; Belonio, 2005). Skema Down
Draft Gasifier dapat dilihat pada Gambar 2.7 sebagai berikut.

Gambar 2. 7 Skema Down Draft Gasifier


(Belonio, 2005)

3) Cross Draft Gasifier


Pada jenis gasifier ini, udara mengalir dari samping reaktor gasifikasi
dan bergerak melewati bahan bakar bersama dengan gas pirolisis yang
dihasilkan. Zona pembakaran menyilang dalam reaktor dan berada dalam arah
menuju keluaran gas. Jenis gasifier ini dioperasikan secara kontinu dengan
penyalaan awal bahan bakar dapat dimodifikasi untuk meminimasi asap yang
dihasilkan (Belonio, 2005). Skema Cross Draft Gasifier dapat dilihat pada
Gambar 2.8 sebagai berikut.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


26

Gambar 2. 8 Skema Cross Draft Gasifier


(Belonio, 2005)

4) Inverted Down Draft atau Top Lit Up Draft (TLUD) Gasifier


Jenis gasifier ini dioperasikan secara batch sehingga pengisian bahan
bakar pada saat gasifier beroperasi tentunya dapat mengganggu proses
gasifikasi. Pada jenis gasifier ini, bahan bakar dinyalakan dari bagian atas
setelah reaktor gasifikasi diisi oleh bahan bakar tersebut. Bahan bakar tetap,
sedangkan zona flaming pyrolisis (zona dimana biomassa terdekomposisi
menjadi gas pirolisis dan char) yang bergerak menurun. Sedangkan, gas
pirolisis yang dihasilkan mengalir ke atas. Baik desain penyalaan awal yang
dilakukan di atas maupun gas pirolisis yang mengalir ke atas, tujuannya
adalah kemudahan aktivitas memasak dan efektivitas perpindahan kalornya
(Belonio, 2005; Roth, 2011). Skema Top-Lit Up Draft Gasifier dapat dilihat
pada Gambar 2.9 sebagai berikut.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


27

Gambar 2. 9 Skema Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier


(Belonio, 2005)

b. Fluidized Bed Gasifier


Fluidized Bed Gasifier dikembangkan untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi pada Fixed Bed Gasifier. Jenis gasifier ini cocok untuk kapasitas
yang besar, seperti untuk keperluan institusi atau skala industri, dimana biaya
yang diperlukan untuk peralatan ini sudah ditetapkan. Pada jenis gasifier ini,
bahan bakar mengalami pergerakan di dalam reaktor. Oleh karena itu,
diperlukan kipas (fan) bertekanan tinggi untuk mendorong pergerakan partikel
bahan bakar tersebut. Bahan bakar dimasukkan ke dalam reaktor gasifikasi
dan bercampur dengan cepat bersama material unggun dalam reaktor yang
mengalir seperti fluida. Dengan karakterisai turbulensi yang tinggi, pirolisis
terjadi dengan cepat dan menghasilkan gas pirolisis dalam jumlah banyak.
Kekurangan dari jenis gasifier ini adalah menghasilkan kandungan tar yang
tinggi, pembakaran karbon yang tidak sempurna, dan permasalahan dalam
pengisian bahan bakar (Akudo, 2008; Belonio, 2005).

2.1.6.3 Reaksi Gasifikasi


Berikut ini merupakan reaksi yang terjadi pada suatu proses gasifikasi
bahan bakar biomassa (Kythavone, n.d.):
a. Gasifikasi dengan oksigen
+ → (2.6)

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


28

b. Pembakaran dengan oksigen


+ → (2.7)
c. Gasifikasi dengan karbon dioksida
+ →2 (2.8)
d. Gasifikasi dengan uap air
+ → + (2.9)
e. Gasifikasi dengan hidrogen
+2 → (2.10)
f. Water-gas shift
+ → + (2.11)
g. Metanasi
+3 → + (2.12)

2.2 Kompor Biomassa


2.2.1 Definisi Kompor Biomassa
Kompor biomassa adalah sistem yang membakar bahan biomassa untuk
memproduksi kalor melalui pembakaran untuk penggunaan proses memasak
domestik atau tujuan perancangan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan
pemakai (Rizqiardihatno, 2008). Kompor gas-biomassa yang dirancang dalam
penelitian merupakan kompor biomassa yang dikembangkan untuk memiliki
karakteristik seperti kompor LPG, yaitu membakar gas untuk memperoleh emisi
yang rendah dan nyala api biru.

2.2.2 Komponen-komponen Kompor Biomassa


Pada umumnya, suatu kompor biomassa memiliki komponen-komponen
yang terdiri dari:
a. kotak api/ruang pembakaran, sebagai tempat proses pembakaran terjadi;
b. garangan (grate), untuk mendistribusikan udara ke bagian bawah bahan bakar
secara lebih merata sehingga meningkatkan performa kompor dan
keekonomisan bahan bakar, dimana dalam penelitian udara yang
didistribusikan melalui garangan adalah udara devolatilisasi (udara primer);

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


29

c. lubang panci (pot hole), sebagai tempat panci diletakkan yang didesain
sehingga gas buang tidak keluar melalui celah bawah panci;
d. cerobong (chimney), sebagai jalur keluar gas buang, dimana sirkulasi
cerobong (chimney draught) merupakan salah satu daya pendorong (selain
buoyancy force dan frictional force) terbentuknya aliran fluida (bergantung
pada perbedaan suhu antara fluida pada dasar cerobong dengan lingkungan
luar dan tinggi dari cerobong);
e. penghalang (baffle), sebagai penghalang lintasan aliran gas buang di bawah
panci untuk meningkatkan laju alir aliran gas buang sehingga laju perpindahan
kalor juga meningkat;
f. sambungan (connecting tunnels), untuk menyambungkan ruang-ruang dalam
kompor jenis multi-pot;
g. pengatur api (damper), untuk mengatur induksi udara dalam kompor sehingga
daya keluaran dapat diatur.
Komponen yang terdapat pada rancangan kompor gas-biomassa dalam penelitian,
antara lain ruang pembakaran (dalam rancangan kompor lebih tepat disebut
reaktor gasifikasi), garangan, lubang panci, dan penghalang. Beberapa
penambahan komponen dilakukan sebagai modifikasi, antara lain ruang char
(char chamber), blower untuk aliran udara secara konveksi paksa, dan burner
(zona pembakaran gas dengan udara sekunder).

2.2.3 Perkembangan Berbagai Jenis Kompor Biomassa


Kompor biomassa diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu antara lain
kompor biomassa tradisional (traditional biomass-fired stove), kompor biomassa
dikembangkan (improved biomass-fired stove), kompor biogas (biogas-fired
stove), dan kompor gas-biomassa (producer gas-fired stove).
Adapun kompor biomassa tradisional memiliki bentuk, ukuran, dan
material konstruksi yang variatif, serta efisiensi energi yang sangat rendah, yakni
berkisar antara 5-20% saja, dan emisi gas CO yang dihasilkan pun masih tinggi,
yaitu antara 13-426 g udara / kg bahan bakar kering.
Selanjutnya, kompor biomassa tradisional dikembangkan kembali untuk
meningkatkan efisiensi energinya dan meminimasi emisinya yang kemudian

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


30

disebut dengan improved biomass-fired stove, yang diaplikasikan melalui program


ICS (Improved Cook Stove) di negara-negara berkembang. ICS sendiri memiliki
pengerrtian, yakni suatu sistem yang membakar bahan biomassa untuk
memproduksi kalor melalui pembakaran untuk penggunaan proses memasak
domestik atau tujuan perancangan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan
pemakai (Barnes, 1994).
Sedangkan, kompor biogas merupakan kompor yang menggunakan biogas
sebagai bahan bakarnya, di mana biogas berasal dari limbah kotoran manusia atau
hewan yang difermentasi oleh bakteri anaerobik dalam ruang tertutup. Kompor
jenis ini cukup mampu mengurangi emisi gas CO dan gas berbahaya lainnya yang
dihasilkan dari pembakaran kompor secara signifikan.
Meskipun begitu, kompor gas-biomassa mampu meminimasi emisi gas
CO secara lebih efektif dan signifikan sekaligus memiliki efisiensi energi yang
tinggi untuk jenis kompor biomassa. Kompor ini memiliki sistem yang
memproduksi gas-gas pirolisis (oleh karena itu jenis kompor ini menggunakan
prinsip gasifier) untuk selanjutnya dibakar secara sempurna sehingga jenis
kompor ini tidak menghasilkan asap hitam dan tidak mengemisikan gas-gas
berbahaya seperti CO, H2, CH4, dan sebagainya (Bhattacharya, & Salam, 2002).

2.2.4 Kompor Gas-Biomassa dengan Prinsip T-LUD Gasifier


2.2.4.1 Pengertian Udara Primer dan Udara Sekunder
Udara yang masuk dari bagian bawah garangan (grate) disebut udara
primer. Udara primer berperan dalam tahap pertama dari sistem gasifikasi pada
kompor yang bertujuan memproduksi gas, yaitu devolatilisasi atau pirolisis. Udara
primer mempunyai pengaruh yang besar terhadap panas di dalam reaktor
gasifikasi, serta laju dan intensitas dari proses pirolisis. Semakin sedikit udara
primer yang tersedia, maka semakin sedikit gas pirolisis yang terbentuk.
Sedangkan, udara yang masuk ke bagian atas bahan bakar dan bereaksi dengan
volatile matter disebut udara sekunder. Udara sekunder berperan dalam tahap
kedua dari sistem gasifikasi pada kompor yang bertujuan membakar gas, yaitu
pembakaran sempurna gas pirolisis. Bila udara sekunder semakin ditingkatkan,
maka gas pirolisis akan terbakar secara sempurna. Adapun dengan adanya udara,

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


31

panas dapat berpindah ke sekitar sehingga dapat mempercepat penyalaan pada


bahan bakar padat (Roth, 2011; Tanto, 2011).

2.2.4.2 Mekanisme Kerja dari Prinsip T-LUD Gasifier


T-LUD Gasifier (disebut juga dengan Inverted Downdraft Gasifier)
merupakan salah satu prinsip gasifier, yang memiliki konsep penyalaan bahan
bakar pada bagian atas dari unggun pelet (top-lit). Panas yang dihasilkan
penyalaan bahan bakar bermanfaat untuk dekomposisi material organik dari bahan
bakar biomassa sehingga melalui pirolisis, biomassa dipisahkan menjadi volatile
matter (gas) dan char (padat). Adapun laju devolatilisasi yang menghasilkan
volatile matter tersebut dibantu oleh aliran udara devolatilisasi (udara primer) dari
bawah ke atas yang jumlahnya terbatas. Baik aliran udara primer maupun aliran
gas pirolisis, bergerak menuju ke bagian atas gasifier (up draft). Gas pirolisis
yang naik tersebut akan bercampur dengan aliran udara pembakaran (udara
sekunder) yang laju alirnya lebih besar daripada laju alir udara devolatilisasi
(udara primer) di bagian atas sehingga terjadi pembakaran sempurna yang
mengakibatkan emisi gas CO yang dicapai menjadi rendah.
Adapun pirolisis biomassa yang terjadi mulai dari susunan unggun pelet
paling atas terlebih dahulu menyebabkan terbentuknya lapisan char sehingga di
bagian atas terdapat char zone. Sementara itu, di bawah char zone terdapat
flaming pyrolysis zone. Kemudian, diikuti oleh ungasified fuel zone, yakni zona
bahan bakar yang belum mengalami proses konversi ke gas (Panwar, 2010).
Flaming pyrolysis memiliki pengertian bahwa peristiwa devolatilisasi dan
pembakaran gas-gas yang terdevolatilisasi terjadi secara simultan dan
berkelanjutan (Erlich, 2005). Menurut www.woodgas.com, kata “flaming”
tersebut menunjuk pada flaming combustion yang digunakan untuk
mendefinisikan pembakaran dengan visible flame. Flaming combustion tersebut
diikuti dengan glowing combustion, di mana pembakaran terjadi pada permukaan
char dari biomassa sehingga char berpijar. Pertama-tama, biomassa mengalami
pirolisis dan gas-gas pirolisis terbakar dalam flaming combustion, kemudian api
menghilang dan char yang terbentuk terbakar pada glowing combustion. Jadi,
sebenarnya pada prinsip tersebut, pembakaran sempurna gas (CO, H2, dan lain-

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


32

lain) yang terjadi lebih dahulu daripada pembakaran char di dalam kompor
mengakibatkan produk emisi dari pembakaran tidak sempurna, seperti CO, dapat
dikurangi hingga konsentrasi sangat rendah. Emisi CO yang sangat rendah
mampu menyebabkan nyala api biru sehingga kompor dengan prinsip ini
berpotensial untuk menggantikan kompor LPG (Panwar, 2010).
Wood-Gas Turbo Stove dirancang pada tahun 2000 menggunakan prinsip
T-LUD Gasifier, dimana rancangan dapat diperhatikan pada Gambar 2.10.

Gambar 2. 10 Wood-Gas Turbo Stove dengan konveksi alami yang terbuat dari 15 cm riser sleeve
(kiri) dan Wood-Gas Turbo Stove dengan konveksi paksa 3 W blower yang menghasilkan 3 kW
api (kanan)
(Reed, et al., 2000)

Wood-Gas Turbo Stove, kompor ini secara aplikatif telah dapat digunakan untuk
keperluan memasak indoor dan telah mampu meminimasi emisi gas CO hingga
22 ppm (pengukuran 80 cm dari atas kompor). Perancangan kompor tersebut
dilatarbelakangi oleh penggunaan bahan bakar gas yang lebih diminati karena
lebih bersih dibandingkan dengan bahan bakar padat. Adapun laju produksi gas
dan pemanasan dikontrol oleh ketersediaan udara devolatilisasi (udara primer)
yang mengalir dari bawah (Reed, et al., 2000). Meskipun begitu, bahan bakar
yang telah digunakan untuk uji operasi pada Wood-Gas Turbo Stove masih belum
memperhatikan kandungan volatile matter yang tinggi. Bahan bakar yang telah
digunakan, antara lain peanut shell pellets, coconut shell, palm nut shell, kayu
(wood pellets dan wood chips), dan batubara (coal). Hal tersebut dapat dilihat

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


33

pada data operasi dan turunan yang dihasilkan dari pengujian Wood-Gas Turbo
Stove yang disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2. 4 Data Operasi dan Turunan untuk Bahan Bakar yang Dipilih dalam Pengujian Wood-
Gas Turbo Stove

PEANUT
WOOD COCONUT PALM NUT WOOD
TEST FUEL SHELL COAL
PELLETS SHELL SHELL CHIPS
PELLETS
Test Date 5/25 5/9 4/22 4/27 4/26 4/28
FUEL DATA
Moisture Content 6,4 6,5 6,2 6 7,8 3,1
Fuel Wt. – g 500 500 305 150 180 260
Fuel Density-
0,58 0,64 0,48 0,26 0,265 1,69
g/cm3
RUN DATA
Volatile burn
30 41 19 13 15 37
time-min
Volatiles burned-g 490 410 215 130 150 150
Times to Boil-min 7,2 7,0 13,0 8,0 6,0 10,0
Charcoal yield-g 130,0 90,0 90,0 20,0 30,0 130,0
Water boiled-g 930,0 850,0 220,0 100,0 145,0 850,0
DERIVED DATA
Charcoal Yield-% 26,0 18,0 29,0 13,0 17,0 50,0
Boiling Efficiency 31,0 31,8 37,5 33,0 20,0 24,0
Average Intensity 2,1 2,5 2,8 2,5 2,5 2,4

(Reed, et al., 2000)

Batubara (coal) sebagai bahan bakar sebenarnya sangat membuang energi dan
menimbulkan polusi yang tinggi akibat kandungan C yang tinggi, sedangkan
penggunaan kayu sebagai bahan bakar masih berbenturan dengan masalah
deforestasi (Reed, et al., 2000; Achard, 2002). Oleh karena itu, untuk jenis bahan
bakar biomassa lainnya, Wood-Gas Turbo Stove masih membutuhkan optimasi
dan penyesuaian dengan keperluan penggunaannya. Selain itu, walaupun
pembakaran dalam kompor tersebut relatif bersih, namun kualitas pencampuran

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


34

gas-udara masih rendah akibat ketidakstabilan api sehingga terkadang api yang
timbul berwarna kuning. Selain itu, pada pengujian Wood-Gas Turbo Stove
diperoleh char yield 20-25% (basis massa kering), yang berarti bahwa masih ada
char yang terbakar dan hal ini tentunya memerlukan penanganan (Reed, et al.,
2000). Hal tersebut dapat terjadi karena berkaitan dengan reaktivitas dari char
yang terbentuk (Erlich, 2005). Pembakaran char yang mengandung C tinggi dapat
mengakibatkan meningkatnya emisi gas CO karena reaksi C menjadi CO
berlangsung cepat.
Kemudian, ada pula Anderson’s Juntos “Model B” T-LUD Gasifier yang
dibuat pada tahun 2004. Kompor tersebut memanfaatkan konveksi paksa, baik
untuk aliran udara primer maupun udara sekunder. Anderson juga merancang
kompor gas-biomassa dengan memanfaatkan aliran udara secara konveksi alami,
dimana kompor tersebut diberi nama Champion T-LUD ND (Natural Draft) yang
dimanufaktur oleh Servals Automation Pvt. Ltd, India. Kompor tersebut berhasil
memenangkan penghargaan sebagai kompor dengan pembakaran paling bersih di
antara sembilan jenis kompor biomassa lainnya pada Aprovecho Stove Camp
2005, dimana kompor tersebut menghasilkan emisi gas CO sebesar 3,5 g/L
dengan bahan bakar pelet dari biomassa kayu. Desain ruang gasifikasi dan
pembakaran berhasil diselesaikan pada akhir bulan Agustur tahun 2005 dan
kompor tersebut mulai diproduksi secara komersial di India pada tahun 2009.
Champion T-LUD ND (Natural Draft) dapat dilihat pada Gambar 2.11 sebagai
berikut (Roth, 2011).

Gambar 2. 11 Champion T-LUD ND (Natural Draft)


(Roth, 2011)

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


35

Selanjutnya, Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier yang memanfaatkan


aliran konveksi paksa untuk udara primernya dan konveksi alami untuk udara
sekundernya. Kompor tersebut merupakan kompor gas-biomassa pertama dengan
pembakaran partikel halus limbah biomassa menggunakan prinsip T-LUD
Gasifier yang mampu menghasilkan gasifikasi yang sempurna, menghasilkan
nyala api biru yang konsisten, dan emisi yang rendah, menggunakan biomassa
dari sekam padi (Belonio, 2005). Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier telah
diproduksi di Filipina dalam jumlah terbatas denganharga US$ 200 per unit. Hasil
rancangan secara fisik dari kompor tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Pengembangan kompor Belonio tersebut dilakukan secara komersial dengan
memproduksi kompor yang serupa dalam tiga jenis ukuran oleh Paul Olivier di
Vietnam pada tahun 2008 dengan bahan stainless steel dan diberi nama Belonio’s
Rice Hull T-LUD.

Gambar 2. 12 Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier


(Belonio, 2005)

N. L. Panwar dan N. S. Rathore (2008) awalnya merancang wood-gas


stove dengan 5 kW producer gas stove, dimana emisi gas CO yang dihasilkan
oleh kompor tersebut mencapai 1-3 ppm, namun diukur dengan jarak 1 m dari
ketinggian kompor menggunakan Gas Analyzer. Efisiensi termal dan suhu api
maksimum yang diperoleh sebesar 26,5% dan 736oC. Lalu, N. L. Panwar (2010)

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


36

melakukan evaluasi performa SPRERI Gasifier Stove menggunakan jarak pagar


sebagai bahan bakar, dimana kompor tersebut mampu mencapai efisiensi termal
sebesar 31,10% dan menekan konsentrasi emisi gas CO hingga 3-6 ppm diukur
dengan jarak 1 m dari ketinggian kompor menggunakan Gas Analyzer. Adapun
biomassa dari jarak pagar memiliki kandungan abu yang tinggi, yakni 15,23%,
dan kandungan abu tersebut melebur pada suhu 750oC sehingga tidak sesuai untuk
zona oksidasi pada kompor tersebut yang dapat mencapai suhu 900o-1000oC.
Kandungan abu yang tinggi dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya
karena emisi partikulat yang tinggi. Jarak pagar pun sebenarnya masih jarang
digunakan di Indonesia sebagai pelet biomassa untuk kompor (Suhartini, 2010)
dan lebih umum digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Suhu permukaan terluar
kompor tersebut pun masih mencapai suhu tinggi, yaitu sebesar 110oC, yang
berarti masih ada peluang untuk meminimasi kehilangan kalor (heat loss) yang
terjadi akibat adanya konduksi dan radiasi. Nyala api biru juga hanya muncul
ketika lima menit pertama pada penyalaan awal. Adapun Material konstruksi
SPRERI Gasifier Stove terbuat dari mild steel (IS 2062) dengan insulator dari
Insulite-7, skema kompor dapat dilihat pada Gambar 2.13. Harga untuk SPRERI
Gasifier Stove pun cukup mahal, yaitu sebesar US$ 22 (Panwar, 2010).

Gambar 2. 13 SPRERI Gasifier Stove


(Panwar, 2010)

Selain itu, di Indonesia, kompor gas-biomassa yang telah dibuat antara lain
kompor gas-biomassa yang juga diadopsi dari Belonio’s Rice Husk T-LUD

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


37

Gasifier, namun bahan bakar kompor berupa pelet biomassa dan wood charcoal
Kompor tersebut diberi nama MJ Biomass-Gas Stove, yang dimanufaktur oleh PT
Minang Jordanindo Approtech. Kompor tersebut hanya memiliki daya keluaran
sebesar 1 kW dengan sistem batch dalam pengisian bahan bakar (Roth, 2011).
Mahasiswa dari UNS, W. Agung, et al. (2011) juga mengadopsi kompor yang
didesain oleh Belonio tersebut. Di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah diproduksi
kompor gas-biomassa dengan prinsip T-LUD yang merupakan hasil karya
Muhammad Nurhuda dari Departemen Fisika Universitas Brawijaya, Malang,
yang terdiri dari dua model, yaitu bernama UB-02 dan UB-03-1 (Roth, 2011).
Kompor tersebut berhasil mencapai efisiensi lebih dari 50%. Menurut Nurhuda,
kunci keberhasilan dari kompor tersebut adalah pada gerak turbulen atau gerakan
mengaduk antara aliran gasifikasi terpanaskan dan aliran udara sekunder yang
menyebabkan pembakaran sempurna (www.fisika.ub.ac.id).

2.2.5 Faktor Pertimbangan Perancangan Kompor Gas-Biomassa


Menurut Belonio (2005), faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
perancangan kompor gas-biomassa, antara lain jenis reaktor (Down Draft, Up
Draft, Cross Draft, atau Top-Lit Up Draft Gasifier), cross sectional area dari
reaktor (semakin luas, semakin besar power output dari kompor, semakin banyak
bahan bakar yang digasifikasi dan dibakar), tinggi dari reaktor (menentukan
waktu yang dibutuhkan oleh gasifier untuk dapat beroperasi secara kontinu dan
banyaknya gas pirolisis yang dapat diproduksi untuk ketinggian kolom reaktor
tersebut, dimana semakin tinggi reaktor, semakin besar pressure draft yang
dibutuhkan untuk mengatasi resistansi dalam reaktor), ketinggian bahan bakar,
tekanan dan laju alir udara blower, jenis desain burner, insulasi dari reaktor,
lokasi penyalaan api bahan bakar, lokasi dan ukuran char chamber, dan
pertimbangan safety. Adapun pertimbangan lainnya diklasifikasikan berdasarkan
aspek tinjauannya. Pertimbangan tersebut, antara lain:
a. Material Konstruksi
Material konstruksi yang biasa digunakan untuk fabrikasi kompor
biomassa ada bermacam-macam sesuai dengan skala produksi yang diinginakan,
Material tersebut meliputi logam (metal stoves), tanah liat (clay stoves), dan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


38

keramik (fired-clay). Kompor logam dapat dibuat dari lembaran logam atau
cetakan besi. Pada umumnya, kompor logam diproduksi di pabrik karena
memerlukan pekerja ahli dan biaya produksinya tinggi karena rancangannya
rumit, dan memiliki kelemahan, yakni dapat mengalami korosi. Namun, masalah
korosi tersebut dapat dicegah dengan pelapisan (coating). Adapun, untuk kompor
tanah liat, kualitasnya bergantung pada komposisi. Kandungan tanah liat
mempengaruhi sifat plastisitas dan kohesi, sedangkan kandungan pasir dan
endapan pada kompor tanah liat mempengaruhi tingkat kekasaran bahan.
Sedangkan, kompor keramik memiliki kelemahan, yaitu perlunya ditambahkan
aditif untuk meningkatkan ketahanan termal dan tegangan mekanik (Handayani,
2009).
Bahan konstruksi yang dipilih untuk kompor gas-biomassa dalam
penelitian ini adalah mild steel dan refraktori jenis ceramic fiber. Mild steel
digunakan untuk reaktor gasifikasi dan dipilih karena logam bersifat konduktor
panas sehingga kalor dalam reaktor gasifikasi yang diterimanya mampu
dilepaskan dengan mudah untuk memanaskan (preheating) udara pembakaran
(udara sekunder) yang mengalir melalui anulus di kedua sisinya sehingga laju alir
udara tersebut meningkat. Sedangkan, refraktori jenis ceramic fiber dipilih
sebagai bahan insulator di bagian terluar kompor gas-biomassa untuk menghindari
terjadinya heat losses. Selain itu, udara pembakaran yang mengalir di sebelah
kanan dan kiri kompor juga dapat membantu upaya insulasi karena udara juga
bersifat isolator panas.

b. Teknik Pembakaran
Mekanisme gasifikasi dan pembakaran pada kompor gas-biomassa yang
dirancang dalam penelitian harus diperhatikan, dimana suplai udara devolatilisasi
(udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder) harus dalam proporsi yang
tepat dan distribusi yang merata untuk mencapai reaksi yang diinginkan dapat
berlangsung. Selain itu, kestabilan posisi api untuk berada tetap di bagian atas
kompor juga memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas CO yang
menjadi tujuan utama dari penelitian ini. Adapun kestabilan posisi api di atas
unggun pelet dipengaruhi oleh laju alir udara devolatilisasi (udara primer) gas

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


39

pirolisis yang mengalir ke atas. Besar laju alir superfisial udara devolatilisasi
(udara primer) dan gas tersebut ke atas harus sama dengan laju alir propagasi api
(flame speed) yang memberikan kalor ke bawah untuk mempertahankan posisi
stasioner api. Hal ini disebabkan oleh udara dan bahan bakar yang bercampur
dalam ruang pembakaran sebelum mendekati daerah nyala api sehingga api yang
terbentuk digolongkan premixed flame. Premixed flame dipengaruhi oeh beberapa
faktor, antara lain turbulensi, suhu, tekanan, komposisi campuran dan rasio
ekuivalen, serta jenis dan karakteristik bahan bakar (Turns, 1996). Oleh karena
itu, mempertahankan posisi api di atas unggun pelet merupakan salah satu
pekerjaan penting dalam penelitian untuk memperoleh kompor gas-biomassa yang
beremisi gas CO rendah menggunakan prinsip T-LUD Gasifier.

c. Mekanika Fluida
Selain itu, aspek mekanika fluida juga diperhatikan, misalnya mengatur
jalannya aliran udara (draft) dengan baik dan membuat turbulensi aliran yang
menyebabkan pencampuran bahan bakar-udara dalam ruang pembakaran menjadi
merata dan semakin sempurna karena aliran yang homogen sehingga
memperbesar perpindahan kalor secara konveksi yang terjadi (Bryden, 2002).
Masalah turbulensi aliran sebenarnya berkaitan erat dengan aliran konveksi.
Misalnya, dalam penelitian ini, preheat udara pembakaran gas-biomassa
menyebabkan suhu udara pembakaran meningkat sehingga densitasnya menjadi
rendah dan laju alir alirannya menjadi meningkat.
Aspek mekanika fluida lainnya adalah friksi, yang dapat menurunkan
besar laju alir fluida. Kehilangan friksi akan semakin meningkat dengan
meningkatnya laju alir (Lepeleire, 1981). Meningkatnya laju alir akibat
meningkatnya kehilangan friksi mengakibatkan turbulensi aliran pun meningkat
sehingga kesempurnaan pencampuran udara dan gas lebih homogen. Adapun laju
alir udara dan gas yang menurun dapat mengakibatkan terjadi ketidakstabilan
posisi api di atas unggun pelet, suhu api menurun, dan laju perpindahan kalor
secara konveksi menurun sehingga proses memasak menjadi kurang efektif.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


40

d. Perpindahan Kalor
1) Konveksi
Konveksi adalah perpindahan kalor melalui suatu medium (fluida)
yang disertai dengan perpindahan medium tersebut. Konveksi dibagi menjadi
dua, yaitu konveksi alami dan konveksi paksa. Konveksi alami disebabkan
oleh daya (buoyance force) yang dihasilkan oleh perbedaan massa jenis akibat
perbedaan suhu. Sedangkan, konveksi paksa disebabkan oleh daya dari
blower, fan, atau kondisi berangin yang menyebabkan timbulnya udara paksa.
Rumus dasar konveksi:
=ℎ ( − ∞) (2.13)
Perpindahan kalor konveksi bergantung pada viskositas fluida dan
sifat-sifat termal fluida (kalor spesifik, densitas). Hal ini dikarenakan
viskositas mempengaruhi profil laju alir dan laju perpindahan energi di daerah
dinding (Holman, 1981; Lepeleire, 1981). Konveksi merupakan perpindahan
kalor utama yang terjadi pada kompor, di mana terjadi pada daerah gas panas
dari api ke panci, aliran melewati cerobong, celah antara panci dan dinding,
dan lain-lain (Rizqiardihatno, 2008). Koefisien perpindahan kalor konveksi
merupakan fungsi dari jenis aliran (laminar atau turbulen), driving force untuk
aliran (buoyancy, dan lain-lain), laju alir aliran, bentuk geometri, dan sifat
fisik dari fluida yang mengalir (Lepeleire, 1981).
Adapun, sistem yang digunakan dalam kompor gas-biomassa dalam
penelitian ini adalah sistem konveksi paksa dengan menggunakan dua buah
blower secara independen. Perhitungan konveksi paksa melibatkan bilangan
Nusselt yang merupakan fungsi dari bilangan Reynold dan bilangan Prantdl,
di mana faktor jenis aliran dan bentuk geometri perlu diperhatikan (Holman,
1981).

2) Konduksi
Konduksi adalah perpindahan energi panas dari daerah yang memiliki
suhu lebih tinggi ke daerah bersuhu lebih rendah melalui transfer molekular
pada material padat yang dapat menghantarkan panas (bersifat konduktor).
Mekanismenya ketika kalor dikenai pada permukaan salah satu sisi benda

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


41

padat/logam, maka atom-atom di permukaan akan mentransfer kalor yang


diterimanya ke atom-atom lain didekatnya. Begitu seterusnya sampai akhirnya
kalor diterima atom-atom pada sisi-sisi lainnya (Holman, 1981). Laju
perpindahan kalor secara konduksi berbanding lurus dengan gradien suhu
normal dan dinyatakan oleh Persamaan Fourier:

=− (2.14)

Adapun perpindahan kalor konduksi terjadi pada daerah dari panci ke


isi panci, kalor hilang lewat dinding, penyimpanan kalor dalam pelet, panci,
dan badan kompor (Rizqiardihatno, 2008). Oleh karena itu, dalam
perancangan kompor penting untuk diperhatikan sifat fisik berupa nilai
konduktivitas termal dari bahan panci, bahan dinding ruang pembakaran
kompor, dinding terluar kompor, dan pelet biomassa (Reed, 1981). Untuk
bahan panci dan dinding ruang pembakaran kompor, semakin besar
konduktivitas termalnya, maka semakin baik karena perpindahan kalor secara
konduksi yang terjadi semakin besar sehingga memasak dengan panci tersebut
menjadi lebih cepat dan preheating udara pembakaran melalui kalor yang
dilepaskan dari dinding ruang pembakaran juga semakin efektif. Sedangkan
untuk dinding terluar kompor, sebaiknya digunakan bahan dengan
konduktivitas termal rendah sehingga dapat berfungsi sebagai insulator untuk
menghindari heat losses. Adapun konduktivitas termal untuk biomassa
bergantung pada konstituen utamanya, seperti moisture content, hemiselulosa,
selulosa, dan lignin (Lepeleire, 1981).
Kalor yang hilang melalui perpindahan konduksi juga berperan penting
dalam analisis quenching distance, yakni jarak atau diameter kritikal untuk api
menjadi padam. Dalam analisis quenching dengan menggunakan neraca
energi, besar kalor yang dihasilkan dari reaksi sama dengan besar kalor yang
hilang secara konduksi melalui dinding ruang pembakaran (Turns, 1996).

3) Radiasi
Radiasi merupakan perpindahan kalor tanpa adanya medium sehingga
tidak ada transfer momentum maupun transfer massa yang dapat dianalogikan.
Radiasi termal dapat didefinisikan sebagai energi yang dipancarkan oleh

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


42

permukaan suatu bahan yang panas, dalam bentuk gelombang elektromagnetik


(Holman, 1981). Menurut hukum Stefan, radiasi adalah pancaran energi dari
suatu sumber kalor dan dinyatakan oleh rumus:
= (2.15)
Perpindahan kalor secara radiasi dapat berlangsung di dalam kompor
antara api yang menyala di atas dengan char dari biomassa yang terbentuk
sehingga memungkinkan untuk char yang terbentuk juga berpijar. Selain itu,
perpindahan kalor secara radiasi juga dapat berlangsung pada permukaan
terluar kompor yang panas atau bersuhu tinggi ke lingkungan di sekitarnya
sehingga terjadi heat loss. Kedua contoh radiasi pada kompor tersebut tidak
menguntungkan sehingga harus diminimasi pada desain kompor yang
dirancang dalam penelitian. Namun, ada pula radiasi yang menguntungkan,
seperti kalor yang dipancarkan api yang berpindah secara radiasi ke
permukaan bawah panci sehingga dapat mempercepat proses memasak
(Lepeleire, 1981).

e. Kinetika Reaksi
Sebelum memahami bagaimana penurunan emisi gas CO dapat terjadi
melalui pembakaran fase gas sehingga desain kompor gas-biomassa mampu
mencapai emisi gas CO yang rendah, hal yang perlu dipahami adalah kinetika
reaksi dari pembentukan gas CO dan CO2 yang merupakan gas polutan hasil
pembakaran yang terjadi dalam kompor. Untuk CO, gas ini biasanya dihasilkan
ketika udara pembakaran yang tersedia kurang dari jumlah stoikiometrik yang
seharusnya (µ < 1, di mana µ = udara aktual/udara stoikiometrik) (Ndiema,
Mpendazoe, & Williams, 1998).
Pertama-tama, selama penyerangan awal oksigen terhadap hidrokarbon,
gas CO terbentuk melalui mekanisme reaksi yang cepat (fast reaction) pada
daerah sempit pada zona reaksi dan reaksi yang berlangsung bersifat eksotermis.
Sementara itu, gas CO yang terbentuk kemudian dikonversi menjadi CO2 melalui
mekanisme reaksi yang lambat (slow reaction) pada daerah luas pada zona reaksi,
memerlukan waktu tinggal (residence time) yang cukup lama untuk mencapai

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


43

pembakaran sempurna. Pada umumnya, dalam pembakaran terdapat dua jalur


pembentukan yang terjadi (Sugiyanto, 2010), yaitu:

+ → , ∆H298K = -110,53 kJ/mol (2.16)

+ → , ∆H298K = -393,52 kJ/mol (2.17)

Reaksi tersebut bersifat eksotermis dan berjalan lambat (slow reaction) sehingga
akan lebih menguntungkan apabila suhu reaksi tinggi. Suhu yang semakin tinggi
akan semakin mempercepat laju reaksi konversi gas CO menjadi CO2. Oleh
karena itu, apabila desain kompor yang dirancang buruk, maka hal tersebut sangat
memungkinkan emisi gas CO yang dihasilkan menjadi signifikan sekalipun udara
berlebih dalam jumlah besar. Dengan demikian, pemahaman tentang kinetika
reaksi tersebut berpengaruh terhadap aspek perancangan kompor.
Yang kedua, karena proses pembakaran melalui unggun pelet setelah
reaksi awal, O2 dikonsumsi dalam jumlah sangat banyak sehingga CO2 direduksi
melalui reaksi Boudouard sebagai berikut:
+ →2 (2.18)
di mana reaksi bersifat endotermis (Ndiema, 1998).
Menurut Makino (1992), untuk memperoleh reaksi yang sempurna menuju
pembentukan CO2, ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu kecukupan waktu
tinggal reaksi untuk reaksi CO ke CO2, kecukupan oksigen untuk
menyempurnakan reaksi oksidasi, dan suhu reaksi yang cukup tinggi untuk
memperbesar kinetika reaksi oksidasi. Untuk memperpanjang waktu tinggal, dua
hal dapat dilakukan, yakni meneliti efek kedalaman chimney dan memasang hood
di ata bibir kompor (Sugiyanto, 2010). Adapun berdasarkan uraian kinetika reaksi
gas CO dan CO2 di atas, maka untuk mengurangi emisi gas CO memang dapat
dilakukan dengan memperhatikan suhu reaksi yang sesuai dan konsentrasi O2
dalam udara yang digunakan untuk pembakaran dalam perancangan kompor.
Suhu reaksi yang sesuai, di mana diperlukan suhu yang tinggi untuk reaksi
konversi gas CO menjadi CO2 sehingga emisi gas CO dapat dikurangi.
Sedangkan, untuk waktu tinggal, pada kompor gas-biomassa yang dirancang
dalam penelitian tidak berdampak signifikan terhadap konversi gas CO menjadi
CO2 karena posisi api yang berada di atas menghalangi gas CO untuk keluar ke

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


44

atmosfer dan membakar gas CO tersebut. Kemudian, konsentrasi O2 dalam udara


yang tinggi atau dengan kata lain jumlah udara berlebih mampu meminimasi
reaksi Boudouard yang terjadi karena O2 tidak habis terkonsumsi pada awal reaksi
yang menyebabkan CO2 tidak digunakan untuk dikonversi kembali menjadi CO
melalui reaksi tersebut.

2.3 Uji Performa dan Evaluasi Operasi Kompor


2.3.1 Parameter Evaluasi Operasi Kompor
Berikut ini merupakan parameter yang pada umumnya digunakan sebagai
ukuran dalam evaluasi performa suatu kompor gas-biomassa (Belonio, 2005):
a) Waktu start up
Parameter ini merupakan waktu yang diperlukan untuk menyalakan bahan
bakar sehingga gas-gas pirolisis diproduksi, diukur dari penyalaan awal
dengan pembakaran potongan kertas hingga timbulnya gas-gas pirolisis yang
dihasilkan.
b) Waktu operasi
Parameter ini merupakan durasi waktu sejak gas-gas pirolisis timbul hingga
tidak nampak lagi gas tersebut diproduksi (berhentinya produksi gas
ditunjukkan dengan padamnya api karena volatile matter dalam bahan bakar
habis dan hanya tinggal char saja).
c) Total waktu operasi
Parameter ini merupakan hasil penjumlahan waktu start up dan waktu operasi.
d) Laju konsumsi bahan bakar (Fuel Consumption Rate/FCR)
Parameter ini merupakan jumlah bahan bakar biomassa yang diperlukan
dibagi dengan waktu operasi
e) Laju gasifikasi spesifik (Specific Gasification Rate/SGR)
Parameter ini merupakan jumlah bahan bakar biomassa yang diperlukan per
satuan waktu per satuan luas reaktor gasifikasi.
f) Laju zona pembakaran (Combustion Zone Rate/CZR)
Parameter ini merupakan waktu yang dibutuhkan untuk zona pembakaran
bergerak menurun di sepanjang reaktor, dimana tinggi reaktor dibagi dengan
waktu operasi didapatkan laju zona pembakaran.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


45

g) Waktu pendidihan
Parameter ini merupakan waktu yang diperlukan untuk mendidihkan sejumlah
air dengan massa tertentu, diukur sejak panci diletakkan di atas kompor
hingga air mencapai suhu 100oC.
h) Kalor sensibel
Parameter ini merupakan jumlah energi kalor yang dibutuhkan untuk
meningkatkan suhu air, dihitung sebelum dan sesudah air mencapai suhu
100oC.
i) Kalor laten
Parameter ini merupakan jumlah energi kalor yang dibutuhkan untuk
menguapkan air (mengubah wujud air dari cair menjadi uap).
j) Energi kalor yang masuk (Heat Energy Input)
Parameter ini merupakan jumlah energi kalor yang terdapat di dalam bahan
bakar.
k) Efisiensi termal
Parameter ini merupakan perbandingan antara jumlah energi kalor yang
dibutuhkan untuk mendidihkan dan menguapkan air terhadap jumlah energi
kalor yang terdapat di dalam bahan bakar.
l) Daya yang masuk (Power Input)
Parameter ini merupakan jumlah energi yang disuplai ke kompor berdasarkan
jumlah bahan bakar yang dikonsumsi.
m) Daya yang keluar (Power Output)
Parameter ini merupakan jumlah energi yang dilepaskan oleh kompor untuk
memasak.
n) Persentase char yang diproduksi
Parameter ini merupakan perbandingan antara jumlah char yang diproduksi
terhadap jumlah bahan bakar yang digunakan.

2.3.2 Uji Efisiensi Termal dengan Metode WBT


Metode WBT yang dikembangkan oleh VITA (Volunteers in Technical
Assistance), Amerika Serikat. Secara garis besar, metode WBT menghasilkan
rasio perbandingan kalor yang dihasilkan oleh bahan bakar terhadap kalor yang

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


46

diterima oleh air untuk menaikkan suhunya dan menguapkannya (Rizqiardihatno,


2008). Metode tersebut sangat sederhana dan mudah diaplikasikan, serta data
yang dibutuhkan pun relatif singkat namun menunjukkan hasil yang relatif akurat.
Secara umum, WBT dilakukan dalam tiga tahap.
Tahap pertama disebut uji high power (cold start), di mana penguji
menggunakan kompor pada suhu ruang dan sejumlah bahan bakar untuk
mendidihkan sejumlah air dalam sebuah panci standar. Untuk pengujian tahap
berikutnya digunakan panci yang baru.
Tahap kedua disebut uji high power (hot start), di mana air dididihkan
dengan kompor yang telah panas dengan tujuan untuk mengidentifikasi perbedaan
daya guna kompor ketika dingin dan ketika panas.
Kemudian, tahap ketiga adalah uji low power (simmering), di mana
penguji menggunakan panci dan air yang telah dididihkan pada tahap kedua.
Dengan menggunakan sejumlah bahan bakar, air yang telah mendidih tersebut
dipanaskan selama 45 menit dan suhu air harus tetap terjaga sekitar 3oC di bawah
titik didih. Tujuan dari tahap ketiga ini ialah menguji kemampuan kompor untuk
memanaskan air dengan menggunakan bahan bakar seminimal mungkin
(Handayani, 2009; Suhartini, 2010). Perhitungan efisiensi termal kompornya
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
× ( ) ×( ) × ( ) ×( ) ×
= (2.19)
×

dengan M massa air, cp1 kalor jenis air, M1 massa bejana, cp2 kalor jenis bejana,
M2 massa air terevaporasi, HL kalor laten penguapan, dan HC kalor pembakaran
(Rizqiardihatno, 2008; Handayani, 2009).
Dengan demikian, parameter efisiensi termal dalam perancangan kompor
gas-biomassa dapat diukur secara kuantitatif melalui metode WBT ini. Adapun
pengukuran efisiensi termal dengan metode WBT perlu dilakukan karena
berkaitan dengan sisi aplikatif kompor gas-biomassa. Yang dimaksud sisi aplikatif
di sini adalah alangkah baiknya apabila kompor gas-biomassa yang dirancang
dalam penelitian ini tidak hanya baik dari segi kesehatan pengguna, yakni dengan
emisi gas CO yang rendah, tetapi juga dengan efisiensi termal yang tinggi mampu
digunakan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk memasak dengan lebih cepat.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Model Penelitian


Eksperimen dalam penelitian bertujuan untuk mendapatkan dimensi,
bentuk, dan ukuran kompor gas-biomassa dengan menggunakan prinsip Top-Lit
Up Draft (T-LUD) Gasifier, serta hasil uji operasi kompor tersebut yang mampu
mencapai emisi gas CO rendah. Top-Lit Up Draft (T-LUD) Gasifier yang
digunakan sebagai prinsip dari perancangan kompor dalam penelitian ini
merupakan jenis gasifier yang sesuai dengan karakteristik biomassa yang
memiliki volatile matter tinggi, di mana kompor yang dirancang diperuntukan
bagi pelet biomasssa dari limbah bagas dan kayu karet. Prinsip tersebut
memanfaatkan perpindahan kalor dari api ke pelet di bawahnya sehingga pelet
mengalami flaming pyrolisis terlebih dahulu dibandingkan glowing pyrolisis.
Sebagai akibatnya, terjadi peristiwa devolatilisasi yang menyebabkan pelepasan
volatile matter dan pembentukan char dari biomassa. Volatile matter yang
dilepaskan oleh pelet tersebut kemudian dibakar dengan udara devolatilisasi
(udara primer) dalam jumlah terbatas sehingga menghasilkan gas pirolisis yang
selanjutnya mengalami proses pembakaran karena berkontakan dengan udara
pembakaran (udara sekunder). Dengan demikian, dimensi, bentuk, dan ukuran
kompor gas-biomassa dirancang untuk memaksimalkan pembakaran fasa gas dan
meminimalkan pembakaran fasa padat dari biopellet sehingga diperoleh emisi CO
seminimal mungkin pada saat uji operasi kompor dilakukan.
Penelitian dimulai dengan perancangan kompor yang mencakup
perhitungan desain yang diadaptasi dari literatur (Belonio, 2005, Rizqiardiahatno,
2008), serta pembuatan desain dua dimensi dari kompor. Setelah perancangan,
tahap berikutnya adalah fabrikasi kompor dengan bahan konstruksi yang
dikehendaki, yakni dengan menggunakan lembaran mild steel untuk dinding
gasification reactor, aluminium untuk dinding kompor bagian terluar, ceramic
fiber sebagai insulator bagi dinding kompor bagian terluar, dan stainless steel 314
untuk grate kompor. Kemudian, tahap berikutnya adalah tahap preparasi alat dan
bahan yang diperlukan untuk preparasi pelet biomassa dan uji operasi dari kompor

47 Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


48

gas-biomassa. Dalam tahap preparasi pelet biomassa tersebut, bahan biomassa


yang digunakan direduksi ukurannya dan dikeringkan hingga moisture content
10%. Lalu, bahan biomassa tersebut digunakan untuk membuat bahan bakar
biomassa yang berupa pelet dengan cara mencetak dna menekannya dengan alat
pressure pelletizer. Adapun biomassa yang dibentuk menjadi pelet dalam
penelitian ini berasal dari limbah bagas. Selanjutnya, barulah dilakukan pengujian
yang utama, yaitu mengukur emisi CO dengan Gas Analyzer. Pengukuran suhu
api dalam range waktu tertentu dengan menggunakan termokopel juga dilakukan
untuk memperoleh profil suhu kompor dan mengetahui kecenderungan
pemerataan api dyang dihasilkan oleh bahan bakar yang berpengaruh terhadap
aspek perpindahan kalor dalam penggunaan kompor untuk memasak. Lalu,
variabel lainnya yang diuji adalah efisiensi termal dengan Water Boiling Test.
Adapun batasan emisi gas CO yang diharapkan pada kompor gas-
biomassa dalam penelitian ini adalah lebih kecil sama dengan 25 ppm, di mana
batasan tersebut merupakan batasan emisi gas CO yang diberikan oleh
Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia.

3.2 Variabel Penelitian


Variabel yang terdapat dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga jenis:
a. Variabel terikat, antara lain:
 emisi gas CO dalam satuan ppm;
 suhu api;
 suhu air dan efisiensi termal.
b. Variabel bebas, yakni rasio antara laju alir devolatilisasi (udara primer) laju
alir udara pembakaran (udara sekunder).
c. Variabel kontrol, yakni waktu.

3.3 Tahapan Penelitian


Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pra-penelitian dan penelitian
yang diuraikan dalam diagram alir penelitian pada Gambar 3.1. Tahap pra-
penelitian merupakan tahap awal di mana peneliti melakukan studi literatur
tentang materi-materi yang berkaitan dengan judul dan tujuan penelitian.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


49

Selanjutnya, tahap penelitian yang merupakan inti dari eksperimen yang


dilakukan meliputi perancangan kompor, fabrikasi kompor yang dilakukan
dengan bantuan pihak lain, preparasi alat dan bahan, preparasi bahan bakar,
pengujian emisi gas CO, suhu, dan efisiensi termal sebagai variabel-variabel yang
menjadi parameter performa operasi dari kompor gas-biomassa yang dirancang,
serta analisa dan evaluasi hasil hingga pembuatan kesimpulan untuk menguji
hipotesis.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


50

Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


51

3.3.1 Tahap Perancangan Kompor


Tahap perancangan kompor difokuskan pada perhitungan dimensi, bentuk,
dan komponen kompor sesuai dengan ukuran dan spesifikasi yang diinginkan,
pembuatan gambar dari dimensi kompor, serta penentuan bahan untuk konstruksi
kompor. Prosedur untuk tahap perancangan kompor:
a. Menyiapkan dan memutuskan konsep rancangan kompor gas-biomassa yang
dipilih berdasarkan identifikasi rancangan-rancangan kompor gas-biomassa
pada berbagai literatur yang sudah ada dan diaplikasikan. Mendesain dimensi
dan bentuk kompor, beserta komponen-komponen kompor. Rancangan dibuat
sesuai dengan pertimbangan fungsi dan optimasi dari rancangan kompor
dengan melakukan modifikasi, dan sebagainya.
b. Mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk perhitungan rancangan
kompor gas-biomassa. Jika ada data yang tidak didapatkan, maka dapat
melakukan pendekatan dengan menyamakan dan menggunakan data dari
literatur yang tersedia.
c. Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, melakukan perhitungan
berdasarkan langkah-langkah perhitungan yang diuraikan beserta rumus yang
diberikan oleh Belonio (2005), yaitu antara lain:
1) Menentukan jumlah daya yang diperlukan oleh kompor gas-biomassa yang
dirancang. Jumlah daya yang diperlukan oleh kompor diestimasi dari
jumlah energi yang diperlukan untuk memanaskan sejumlah air.
Perhitungan jumlah daya yang diperlukan tersebut dilakukan berdasarkan
data dan rumus (Belonio, 2005) sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


52

Tabel 3. 1 Kalor Spesifik dan Energi yang Diperlukan untuk Memasak Suatu Makanan

Total Energi yang


Kalor Spesifik
Makanan Diperlukan
(Kkal/kg.oC)
(Kkal/kg)*
Beras 0,42-0,44 79,3
Daging 0,48-0,93 56,5
Sayuran 0,93 74,5
Air 1,0 72
o
* Pada perbedaan suhu 72 C

×
= (3.1)

di mana,
Qn = energi yang diperlukan, Kkal/jam
Mf = massa makanan, kg
Es = energi spesifik, Kkal/kg
T = waktu memasak, jam

2) Menentukan kebutuhan jumlah bahan bakar yang disuplai sesuai dengan


jumlah energi yang diperlukan dengan menggunakan rumus berikut:

= (3.2)
×

di mana,
FCR = laju konsumsi bahan bakar, kg/jam
Qn = energi yang diperlukan, Kkal/jam
HVf = nilai kalor dari bahan bakar, Kkal/kg
ξg = efisiensi gasifier stove, %

3) Menghitung ukuran combustion chamber dari kompor, yakni diameter dan


tinggi dari gasification reactor. Berikut ini adalah rumus yang digunakan:
, ,
= (3.3)

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


53

di mana,
D = diameter dari reaktor, m
FCR = laju konsumsi bahan bakar, kg/jam
SGR = laju gasifikasi spesifik dari bahan bakar, kg/m2.jam
×
= (3.4)

di mana,
H = tinggi dari reaktor, m
SGR = laju gasifikasi spesifik dari bahan bakar, kg/m2.jam
T = waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi bahan bakar, jam
ρrh = densitas dari bahan bakar yang digunakan, kg/m3

4) Menghitung jumlah udara dan jumlah draft yang diperlukan untuk proses
gasifikasi dari bahan bakar biomassa yang digunakan.
× ×
= (3.5)

di mana,
AFR = laju alir udara devolatilisasi (udara primer), m3/jam
ε = rasio ekuivalen, 0,3 sampai 0,4
FCR = laju konsumsi bahan bakar, kg/jam
SA = udara stoikiometrik dari bahan bakar, kg udara/kg biomassa
ρa = densitas udara, 1,25 kg/m3

= ( )
(3.6)

di mana,
Vs = laju alir superfisial gas, m/s
AFR = laju alir udara devolatilisasi (udara primer), m3/jam
D = diameter dari reaktor, m

5) Menghitung tinggi bagian api dengan menggunakan rumus


(Rizqiardihatno, 2008):

= × (3.7)

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


54

di mana, adalah konstanta, yang besarnya 75 mm/kW0,4 untuk kompor


dengan garangan, dan P adalah daya keluaran.

6) Menghitung tinggi total ruang pembakaran (jumlah tinggi bagian bahan


bakar ditambah dengan tinggi bagian api).

d. Menentukan bahan, bentuk, dan ukuran garangan (grate).


e. Menentukan bentuk dan ukuran lubang untuk udara devolatilisasi (udara
primer), lubang untuk udara pembakaran (udara sekunder), lubang untuk api,
dan jarak antar lubang-lubang tersebut.
f. Menentukan besar gap yang optimal untuk peletakan panci atau wajan,
dengan mempertimbangkan penggunaan secara umum.
g. Mengkombinasikan hasil perhitungan secara manual untuk memperoleh
desain kompor yang optimum. Penentuan dimensi, bentuk, dan ukuran
kompor tidak hanya mutlak ditentukan dengan menggunakan rumus, tetapi
juga secara eksperimental dengan menggunakan prinsip similarity terhadap
penelitian-penelitian sebelumnya berdasarkan referensi yang tersedia.
h. Membuat gambar teknik dari kompor rancangan dua dimensi sesuai dengan
hasil penentuan dan perhitungan yang diperoleh.

3.3.2 Tahap Preparasi Alat dan Bahan


Dalam tahap ini, prosedur yang dilakukan ialah menentukan dan
menyediakan berbagai alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian
mencakup:
a. Menentukan dan menyediakan alat dan bahan untuk tahap preparasi bahan
bakar.
 Alat: Oven, cetakan pelet, pressure pelletizer, gunting, blender, crusher
dan alat penepung
 Bahan: Limbah bagas (ampas tebu) yang diperoleh dari limbah industri
gula Sugar Group.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


55

b. Menentukan dan menyediakan alat dan bahan untuk tahap pengujian.


 Alat: Kompor gas-biomassa hasil fabrikasi, termokopel jenis K yang
dihubungkan dengan Data Logger Temperature, Gas Analyzer,
anemometer, Personal Computer, alat pencatat waktu (timer), gelas ukur,
neraca digital, bunsen, kaki tiga, korek api, panci berdiameter 17 cm,
sarung tangan anti panas, masker, goggle, penjepit besi, exhaust fan.
 Bahan: Bahan bakar pelet biomassa dari limbah bagas yang telah dibuat
dengan diameter seragam sebesar 1,5 cm dan panjang 3 cm, etanol 90%,
air.

3.3.3 Tahap Fabrikasi Kompor


Prosedur tahap fabrikasi kompor dilakukan oleh pihak di luar dan juga
dengan bantuan dari pihak di dalam Departemen Teknik Kimia Universitas
Indonesia. Pihak luar yang mengerjakan fabrikasi dan modifikasi kompor gas-
biomassa, antara lain Bapak Dudi (profesional di bidang fabrikasi alat
laboratorium, termasuk kompor) dan Bapak Parlan (karyawan Laboratorium
Teknik Mesin Politeknik Negeri Jakarta. Sedangkan pihak dalam Departemen
Teknik Kimia Universitas Indonesia sendiri yang turut membantu memberi
informasi dan membantu pemasangan alat, seperti dimmer lamp, yaitu Pak
Wanizal dan Pak Jajat.

3.3.4 Tahap Preparasi Bahan Bakar


Tahap preparasi bahan bakar merupakan tahap persiapan sedemikian rupa
untuk biomassa yang digunakan sehingga dapat diuji, dianalisis, dan dapat
dilakukan proses peletisasi (Fisafarani, 2010). Prosedur umum tahap preparasi
bahan bakar tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Rizqiardihatno, 2009,
Fisafarani, 2010):
a. Menyediakan bahan baku biomassa yang telah disiapkan sebelumnya untuk
digunakan dalam penelitian, dimana biomassa yang digunakan adalah bagas.
b. Mereduksi ukuran biomassa yang masih kasar dan tidak beraturan dengan
memotongnya dengan gunting dan menghancurkannya dengan blender atau
crusher, dan sejenisnya hingga menjadi halus.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


56

c. Mereduksi ukuran biomassa kembali dengan menghancurkannya hingga


berukuran seperti tepung menggunakan mesin penepung.
d. Mengeringkan bahan yang telah dihaluskan tersebut dengan oven hingga
moisture content mencapai 10%. Untuk mengetahui besar moisture content
dalam biomassa sebelum dikeringkan dan berapa lama waktu pengeringan
dalam oven yang diperlukan untuk mencapai moisture content 10%, maka
dilakukan prosedur sebagai berikut:
1) Menimbang massa wadah yang digunakan untuk menimbang dengan
menggunakan neraca digital dan mencatat besar massa hasil timbangan.
2) Memasukkan biomassa yang telah dihaluskan ke dalam wadah, kemudian
menimbang kembali untuk mendapatkan besar massa wadah dan
biomassa, di mana biomassa yang ingin digunakan sebanyak 10 gram.
3) Menyalakan oven dengan menyambungkan kabel oven ke sumber arus
listrik, mengatur suhu sebesar 105oC, serta mengatur pemerataan panas api
atas dan bawah.
4) Setelah itu, memindahkan biomassa yang telah ditimbang tersebut ke tray
oven, lalu memasukkannya ke dalam oven.
5) Memutar tombol oven untuk mengatur waktu pengeringan yang
diinginkan dan di saat bersamaan dengan pemutaran tombol, menyalakan
timer atau stopwatch, di mana interval waktu pengeringan yang diinginkan
adalah selama 5 menit.
6) Setiap 5 menit, mematikan pengatur waktu oven agar suplai panas
berhenti, kemudian mengambil tray oven yang berisi biomassa yang telah
dikeringkan selama 5 menit tersebut dan memindahkannya kembali ke
wadah yang digunakan di awal.
7) Selanjutnya, menimbang massa wadah dan biomassa tersebut dan
mencatat besar massa yang diperoleh.
8) Setelah itu, biomassa dapat dipindahkan kembali ke tray oven dan
dimasukkan kembali dalam oven untuk mengulangi pengeringan selama 5
menit, dan begitu seterusnya langkah 1-7 dilakukan selama 25 menit
hingga data moisture content yang diperoleh menunjukkan perubahan
yang tidak signifikan atau cenderung konstan.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


57

9) Berdasarkan data yang diperoleh, membuat plok grafik moisture content


terhadap waktu. Lalu, dengan melakukan interpolasi untuk moisture
content 10%, maka dapat diperoleh waktu yang diperlukan untuk
mengeringkan biomassa menggunakan oven selama waktu tersebut.
e. Memasukkan biomassa ke pencetak pelet untuk ukuran diameter pelet 1,5 cm
dan panjang pelet 3 cm.
f. Menekan hingga terbentuk bahan bakar pelet biomassa yang kompak
menggunakan alat pressure pelletizer yang dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3. 2 Pressure pelletizer

3.3.5 Tahap Pengujian


Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu pengujian emisi gas CO dan pengujian
efisiensi termal, yang digabung menjadi prosedur berikut ini (Belonio, 2005;
Handayani, 2009; Rizqiardihatno, 2008):
a. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk tahap pengujian.
b. Menyiapkan dan menimbang air sebanyak 1 L atau setara 1 kg air (suhu
ambien). Mengukur massa awal (M) dan kalor jenis (cp1).
c. Memasukkan air tersebut ke dalam panci berdiameter 17 cm yang sudah
diketahui massa (M1) dan kalor jenisnya (cp2). Kemudian, mengukur juga
massa panci dan air atau menjumlah dari pengukuran masing-masing.
d. Menyiapkan dua buah termokopel, dimana satu termokopel untuk mengukur
suhu api dan satu termokopel yang lain untuk mengukur suhu air. Kemudian,
menghubungkan termokopel tersebut dengan Data Logger Temperature dan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


58

Personal Computer. Melakukan kalibrasi pengukuran suhu oleh termokopel


dengan cara meletakkannya pada api bunsen.
e. Menyiapkan kompor pada suhu ruang.
f. Menimbang dan memasukkan pelet bagas yang telah dipreparasi dan
dikeringkan ke dalam reaktor gasifikasi sebanyak 1,4 kg.
g. Mencelupkan potongan-potongan kertas dalam etanol 90% dan
meletakkannya pada lapisan paling atas dari bahan bakar pelet. Setelah itu,
menyalakan api dengan cara menyulut potongan-potongan kertas di atas pelet
bahan bakar tersebut dengan korek api. Adapun pelet biomassa yang
dibutuhkan untuk satu kali operasi sebanyak FCR atau Fuel Consumption
Rate hasil perhitungan pada tahap perancangan kompor gas-biomassa (W).
Nilai kalor pembakaran (HC) juga telah diketahui.
h. Menyiapkan dan menjalankan alat pengukur waktu pada skala 00:00 untuk
menghitung waktu start up, dimana alat pengukur waktu tersebut dimatikan
pada saat gas pirolisi mulai dihasilkan dan lidah api stabil mulai terbentuk.
i. Mengatur dan mengukur laju alir udara devolatilisasi (udara primer) dan
mengukur laju alir udara pembakaran (udara sekunder) yang ditentukan.
Pengaturan laju alir putar blower dilakukan dengan memutar dimmer lamp
yang disambungkan dengan blower kompor, sedangkan pengukuran laju alir
udara menggunakan anemometer. Menetapkan laju alir udara devolatilisasi
(udara primer) dan mengukur laju alir udara pembakaran (udara sekunder)
hingga lidah api stabil dan tidak asap yang banyak keluar.
j. Meletakkan panci yang berisi air dan termokopel yang telah dicelupkan ke
dalamnya di atas kompor. Meletakkan termokopel yang lain ke bagian tengah
dalam api yang terbentuk.
k. Menekan tombol run pada software Advantech Data Logger Temperature
yang ter-install pada Personal Computer. Lalu, menyiapkan dan menjalankan
alat pengukur waktu kembali pada skala 00:00 yang menandakan dimulainya
waktu operasi dari kompor gas-biomassa. Lalu, mendidihkan air.
l. Menyalakan dan mengukur besar emisi gas CO menggunakan Gas Analyzer
seperti pada Gambar 3.3 setiap 2 menit hingga api mulai meredup dan
pembakaran gas pirolisis hampir berakhir.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


59

m. Menghentikan run dari software Advantech Data Logger Temperature dan


mengambil data suhu api dan air yang terekam setiap 10 detik. Ketika air
mencapai suhu didihnya yang terlihat pada suhu yang terekam, mencatat
waktu didih.
n. Mematikan alat pengukur waktu dan mencatat waktu operasi yang didapatkan
dan kemudian menyalakan alat pengukur waktu kembali untuk menghitung
waktu pembakaran char yang diperlukan.
o. Menimbang massa air akhir dan menghitung massa air menguap (M2) yang
merupakan selisih massa air awal dengan massa air akhir. Kalor laten
penguapan (HL) telah diketahui.
p. Setelah pembakaran char (glowing combustion) selesai dan kompor menjadi
dingin, mengambil seluruh sisa bahan bakar (char dan abu) untuk kemudian
ditimbang dan menghitung persentasenya terhadap massa bahan bakar awal.

Gambar 3. 3 Gas Analyzer

q. Menghitung efisiensi termal dengan rumus 2.19 yang digunakan pada metode
Water Boiling Test.
r. Mengulangi prosedur di atas dengan mendinginkan kompor hingga kembali
pada suhu ruang untuk rasio antara laju alir udara devolatilisasi (udara primer)
dan laju alir udara pembakaran (udara sekunder) divariasikan.
Keterangan: (Pada kompor gas-biomassa, komponen yang dibakar ialah volatile
matter-nya, maka char yang tersisa dapat dimanfaatkan untuk karbon aktif (yang

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


60

dapat berguna sebagai adsorben atau untuk biochar yang berguna sebagai bahan
penyubur tanah.)

3.3.6 Tahap Analisa dan Evaluasi


Analisa dan evaluasi hasil penelitian dilakukan setelah data penelitian
telah diperoleh dan diolah dengan perhitungan manual maupun komputer. Hal-hal
yang perlu dianalisa dan dievaluasi, antara lain mengenai perancangan kompor
(mulai dari dimensi, bentuk, ukuran, material konstruksi, dan lain-lain), serta
grafik-grafik yang diperoleh [grafik emisi gas CO terhadap waktu, grafik suhu air
terhadap waktu, dan grafik suhu air terhadap waktu pada berbagai rasio laju alir
udara devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara sekunder), dan
efisiensi termal. Perbandingan hasil variasi variabel bebas yang dilakukan, serta
kelebihan, kekurangan, dan kinerja optimum dari desain kompor dan performa
yang dicapai dari pengujian dengan pelet bagas juga menjadi agenda untuk
dianalisa dan dievaluasi.

3.4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


61

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah berupa hasil perhitungan
dimensi, bentuk, dan ukuran kompor gas-biomassa dengan prinsip Top-Lit Up
Draft (T-LUD) Gasifier, serta data-data yang didapatkan dari uji performa
kompor tersebut berupa data emisi gas CO, suhu, dan sebagainya. Adapun
pembahasan dan analisis hasil penelitian akan dilakukan secara rinci sesuai
dengan metode penelitian yang sudah diuraikan pada BAB III METODE
PENELITIAN.

4.1 Tahap Perancangan Kompor


Bentuk kompor gas-biomassa yang dirancang ditetapkan berbentuk
silinder berongga. Bentuk tersebut lebih dipilih untuk digunakan bagi kompor
gas-biomassa daripada bentuk kubus berongga berdasarkan pertimbangan
distribusi udara dan gas pirolisis di dalam rongga bentuk itu sendiri. Dengan
bentuk silinder berongga, distribusi udara dan gas pirolisis akan bergerak lebih
bebas dan lebih merata dibandingkan kubus karena bentuk tersebut tidak memiliki
sudut-sudut yang mampu mempengaruhi arah aliran dari udara dan gas tersebut.
Dengan demikian, proses gasifikasi bahan bakar dalam kolom reaktor menjadi
seragam (Belonio, 2005).
Adapun berikut ini merupakan uraian perhitungan dengan menggunakan
rumus-rumus dari literatur yang dilakukan untuk mendapatkan dimensi dan
ukuran kompor gas-biomassa, terutama diameter dan tinggi reaktor gasifikasi.
a. Jumlah daya yang diperlukan oleh kompor diestimasi dari jumlah energi yang
diperlukan untuk memanaskan 1 L air atau setara dengan 1 kg air (Mf) dalam
waktu 5 menit. Adapun energi spesifik untuk air pada Tabel 3.1 sebesar 1,0
kkal/kg.oC dikali dengan perubahan suhu yang terjadi sebesar 72oC yakni,
selisih suhu air mendidih (100oC) dengan suhu lingkungan (diasumsikan
28oC) sehingga diperoleh Es sebesar 75 kkal/kg. Perhitungan jumlah daya
yang diperlukan tersebut dilakukan berdasarkan data dan rumus pada
persamaan 3.1 (Belonio, 2005). Dengan demikian, diperoleh:

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


62

× 1 × 72 ⁄ × ( 60 ⁄ )
= = = 864 ⁄
5
=1
Sedangkan, menurut Reed (2000), jumlah daya yang diperlukan oleh kompor
gas-biomassa berkisar antara 1-3 kW. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka desain kompor gas-biomassa dalam penelitian menggunakan nilai
maksimum dari jumlah daya yang diperlukan, yaitu sebesar 3 kW (sama
dengan tiga kali jumlah daya yang diperlukan untuk memanaskan 1 kg air
selama 5 menit). Adapun daya yang lebih besar dipilih dengan tujuan
mendesain kompor gas-biomassa yang dapat digunakan dalam waktu operasi
yang lebih lama, mengingat sistem kompor gas-biomassa ini beroperasi secara
batch, dimana pengisian bahan bakar akan mengganggu proses gasifikasi yang
sedang berlangsung. Oleh karena itu, dipilih kapasitas maksimum sehingga
pengguna tidak perlu direpotkan dengan pengisian bahan bakar yang terlalu
sering.
=3 = 2.581,15 ⁄
b. Untuk menentukan kebutuhan jumlah bahan bakar yang disuplai sesuai
dengan kebutuhan energi, data yang digunakan antara lain, jumlah daya yang
diperlukan, nilai kalori bahan bakar, dan efisiensi kompor gas-biomassa.
Jumlah daya yang diperlukan sebesar 2.581,15 kkal/jam (diperoleh dari
perhitungan sebelumnya). Nilai kalori bahan bakar merupakan nilai kalori
rata-rata dari dua jenis biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar untuk
kompor dalam penelitian ini, di mana kompor gas-biomassa yang dirancang
digunakan untuk dua penelitian, yaitu uji performa dengan pelet biomassa dari
bagas dan pelet biomassa dari kayu karet. Berdasarkan hasil uji karakterisasi
bahan bakar biomassa yang digunakan dalam penelitian oleh Balai Besar
Teknologi Energi yang terdapat di Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Serpong, nilai kalori (HHV/High Heating Value) untuk
bagas sebesar 3.913 kal/g (16.379 kJ/kg) dan nilai kalori (HHV/High Heating
Value) untuk kayu karet sebesar 3.771 kal/g (15.784,7 kJ/kg). Adapun nilai
kalori yang digunakan dalam perhitungan merupakan LHV atau Low Heating
Value, yang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
= − 3.240 ( ⁄ ) (Napitupulu, 2006) (4.1)
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


63

Dengan demikian, didapatkan LHV untuk bagas sebesar 13.139 kJ/kg dan
LHV untuk kayu karet sebesar 12.544,7 kJ/kg sehingga LHV rata-rata untuk
kedua biomassa tersebut adalah sebesar 12.841,8 kJ/kg (3.069,2 kkal/kg).
Kemudian, efisiensi dari kompor gas-biomassa yang dirancang (yang
merupakan sebuah reaktor gasifikasi) diasumsikan sebesar 60%, mendekati
efisiensi kompor LPG. Maka, dengan menggunakan rumus berikut ini
diperoleh:
2.581,15 ⁄
= = = 1,4 ⁄
× 3.069,2 ⁄ × 0,6
c. Selanjutnya, perhitungan yang dilakukan adalah menghitung ukuran reaktor
gasifikasi dari kompor, yakni diameter dan tinggi dari reaktor gasifikasi.
Untuk menghitung diameter dan tinggi dari reaktor gasifikasi diperlukan data
SGR atau Specific Gasification Rate, yaitu jumlah bahan bakar biomassa yang
digunakan per satuan waktu per satuan luas penampang reaktor gasifikasi.
Nilai SGR untuk bagas dan kayu karet tidak berhasil diperoleh dari studi
literatur. Dalam literatur, justru diperoleh SGR untuk sekam padi sebesar 110-
210 kg/m2.jam, di mana Belonio’s rice husk stove menggunakan SGR 90
kg/m2.jam dengan FCR sebesar 1,5 kg/jam (Belonio, 2005). Oleh karena itu,
nilai rata-rata SGR untuk bagas dan kayu karet diasumsikan sebesar 80
kg/m2.jam dengan FCR sebesar 1,4 kg/jam. Waktu yang diperlukan untuk
mengoperasikan reaktor gasifier atau membakar seluruh bahan bakar
biomassa, dari bagas atau kayu karet yang digunakan, diasumsikan selama 1,3
jam. Lalu, densitas untuk bagas adalah 122,5 kg/m3 dan densitas untuk kayu
karet adalah 290,67 kg/m3 (Fisafarani, 2010) sehingga densitas rata-rata untuk
kedua biomassa tersebut sebesar 206,58 kg/m3. Berikut ini merupakan
perhitungan diameter dan tinggi kompor berdasarkan rumus yang didapatkan
dari literatur:
, ,
1,27 1,27 × 1,4 ⁄ℎ
= = = 0,1491 = 14,91
80 ⁄ . ℎ
≈ 15

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


64

× 80 ⁄ . ℎ × 1,3
= = = 0,5034 = 50,34
206,58 ⁄
≈ 51
d. Perhitungan berikutnya adalah menghitung jumlah udara yang diperlukan
untuk proses gasifikasi dari bahan bakar biomassa yang digunakan, yang
disebut dengan AFR atau Air Flow Rate. Variabel ini sangat penting karena
erat kaitannya dengan penentuan spesifikasi dari blower yang akan digunakan
untuk menggasifikasi bahan bakar biomassa. Rasio ekuivalen ( ) yang
merupakan perbandingan antara jumlah udara aktual dan jumlah udara
stoikiometrik berdasarkan Belonio (2005) sebesar 0,3-0,4. Untuk kompor gas-
biomassa yang dirancang ini, perhitungan menggunakan rasio ekuivalen
minimum, yaitu sebesar 0,3. Sedangkan, nilai SA atau Stoichiometric Air
diperoleh dengan melakukan perhitungan persamaan reaksi terlebih dahulu, di
mana uraian perhitungannya untuk masing-masing bagas dan kayu karet dapat
dilihat pada LAMPIRAN. Dari hasil perhitungan, diperoleh pendekatan rata-
rata SA untuk bagas dan kayu karet sebesar 6,01 kg udara per kg biomassa.
Sedangkan, densitas air sebesar 1,25 kg/m3 (Belonio, 2005).
× ×
=

0,3 × 1,4 ⁄ × 7,394 ⁄


=
1,25 ⁄
= 2,484 ⁄
Kemudian, untuk menghitung superficial velocity ( ), yakni laju alir alir
udara dalam unggun bahan bakar, dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
4 4 × 2,484 ⁄
= = = 114,656 ⁄ = 0,039 ⁄
( ) (0,15 )
e. Selanjutnya, menghitung tinggi bagian api dengan menggunakan rumus
(Rizqiardihatno, 2008) sebagai berikut, di mana adalah konstanta yang
besarnya 75 mm/kW0,4 untuk kompor dengan garangan seperti kompor dalam
penelitian ini, dan adalah daya keluaran atau sama dengan , yaitu sebesar
3 kW sehingga:
⁄ ⁄ , ⁄
= × = 75 × (3 ) = 116,4 = 11,64
≈ 12
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


65

f. Menghitung tinggi total ruang pembakaran (jumlah tinggi bagian bahan bakar
ditambah dengan tinggi bagian api).
Tinggi unggun bahan bakar dalam reaktor gasifikasi didapatkan melalui
persamaan:
4 × 4 × 1,4 ⁄
= = =
× × ( ) 122,5 ⁄ × (0,15 )
= 0,647 = 64,7 ≈ 65
4 × 1,4 ⁄
= = 0,273 = 27,3
290,67 ⁄ × (0,15 )
≈ 27
Dengan demikian, tinggi unggun bahan bakar rata-rata adalah sekitar 46 cm,
ditambah dengan 12 cm (tinggi bagian api) sehingga tinggi total ruang
pembakaran menjadi 58 cm. Adapun reaktor gasifikasi dirancang dengan
tinggi 51 cm sehingga desain tinggi tersebut perlu ditambah 7 cm lagi,
termasuk penutup bagian atas sebesar 2 cm untuk lubang keluar flue gas.
Selain tinggi total ruang pembakaran, bagian bawah kompor gas-biomassa
juga ditambahkan tingginya sebesar 30 cm untuk keperluan penempatan blower,
di mana blower untuk udara devolatilisasi (udara primer) diletakkan di bagian atas
dari blower untuk udara pembakaran (udara sekunder). Maka, tinggi total kompor
adalah 88 cm.
Adapun blower untuk udara devolatilisasi (udara primer) diarahkan
langsung ke arah garangan (grate) karena berfungsi sebagai pensuplai udara untuk
mengalirkan panas dan volatile matter yang keluar dari biomassa ke bagian atas
kompor. Sedangkan, blower untuk udara pembakaran (udara sekunder) berada di
bagian bawah, di mana udara mengalir di kedua sisi kompor gas-biomassa melalui
anulus dengan diameter 2,5 cm (Belonio, 2005) sehingga total diameter dalam
ditambah dengan diameter anulus menghasilkan diameter luar sebesar 20 cm.
Udara pembakaran (udara sekunder) yang melalui kedua sisi kompor
tersebut juga berguna sebagai insulator panas untuk menghindari heat loss
berlebih. Apalagi, kompor gas-biomassa yang dirancang ini belum begitu
berfokus pada efektivitas perpindahan kalor dan penggunaan material insulator
yang baik untuk mencegah terjadinya heat loss. Selain itu, udara pembakaran
(udara sekunder) yang melalui anulus tersebut juga mengalami pemanasan
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


66

(preheating) karena menerima panas dari dinding luar reaktor gasifikasi secara
radiasi dan konveksi Hal ini berguna untuk memperoleh suhu api yang tinggi dan
efisiensi bahan bakar yang dikonsumsi. Setelah melalui anulus, udara akan masuk
ke melalui lubang-lubang di silinder bagian dalam (reaktor gasifikasi) yang
terletak di bagian selimut silinder atas untuk bercampur dengan gas pirolisis yang
terbentuk dan juga panas yang dibawa mengalir ke atas bersama udara
devolatilisasi (udara primer). Dengan demikian, terbentuklah api yang dihasilkan
oleh pembakaran sempurna dari gas pirolisis yang terbentuk. Diameter untuk
lubang udara sekunder tersebut adalah sebesar 1,3 cm atau setara dengan 0,5 in
(Belonio, 2005).
Kemudian, pada kompor juga dirancang ruang untuk mengumpulkan char
dan abu hasil pembakaran yang disebut dengan char chamber. Char chamber
tersebut dirancang berada pada kedua sisi kompor dekat dengan garangan (grate),
di mana antara garangan (grate) dan char chamber terdapat pintu fleksibel yang
terbuat dari plat, yang dapat ditutup dan dibuka untuk mengeluarkan char dan abu
tersisa. Adapun char chamber berbentuk kubus dengan ukuran sisi sebesar 15 cm.
Garangan (grate) dibuat melengkung seperti berbentuk dome agar char dan abu
tidak jatuh ke bawah yang merupakan tempat diletakkannya blower untuk udara
devolatilisasi (udara primer), melainkan terdorong ke samping di mana terdapat
pintu yang terhubung dengan char chamber sehingga memudahkan pengeluaran
limbah char dan abu. Char dan abu dalam jumlah banyak dengan frekuensi waktu
yang sering mengenai blower pun tidak baik, apalagi bila char dan abu
mengembun pada material blower, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
korosi dan membuat blower tersebut menjadi cepat rusak (Belonio, 2005).
Lalu, bagian atas dibuat fleksibel untuk memudahkan aktivitas
memasukkan bahan bakar ke dalam reaktor gasifikasi. Pada bagian atas tersebut,
terdapat lubang flue gas yang berjumlah 87 lubang dengan diameter sebesar 0,5
cm atau setara dengan 0,1875 in, di mana menurut Belonio (2005), lubang untuk
flue gas berkisar antara 3/18-1/4 in. Selain itu, dibuat pula pemegang terbuat dari
besi pada bagian atas yang dibuat fleksibel tersebut untuk memudahkan
pemasangan dan pembukaannya, serta pertimbangan safety dari paparan panas

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


67

(panas berpindah secara konduksi pada material padat seperti logam), terutama
setelah kompor beroperasi.
Berdasarkan hasil perhitungan dimensi dan ukuran dari kompor, deskripsi
rancangan kompor gas-biomassa secara detail dapat dilihat pada LAMPIRAN A.
Walaupun mayoritas rancangan kompor mengadopsi dari Belonio’s Rice Husk T-
LUD Gasifier, namun hasil rancangan kompor gas-biomassa memiliki beberapa
perbedaan desain dibandingkan dengan Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier.
Adapun perbedaan desain keduanya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini:

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


68

Tabel 4. 1 Perbedaan antara desain kompor gas-biomassa dan Belonio’s Rice Husk T-LUD
Gasifier

Perbedaan Kompor Gas-Biomassa Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier


Berbentuk tidak melengkung tetapi
Berbentuk melengkung
Garangan (grate) diberi sudut kemiringan tertentu dan
seperti dome
bersifat fleksibel
Konveksi paksa dengan Konveksi alami dari aliran udara di
Aliran udara sekunder
blower melalui anulus lingkungan sekitar
Lubang udara Pada dinding dalam (reaktor
Pada dinding luar burner
sekunder gasifikasi)
Fleksibel dengan
Pada penutup terdapat lubang udara
Desain penutup menggunakan plat, pada
sekunder sehingga berfungsi juga
fleksibel di bagian atas penutup tidak ada lubang
sebagai burner
udara sekunder
2, di kedua sisi reaktor
1, di bawah garangan (grate) dengan
Jumlah, letak, dan gasifikasi dengan bentuk
bentuk balok berukuran 30 cm x 22,4
ukuran char chamber kubus berukuran 15 cm x 15
cm x 16 cm
cm x 15 cm
Jumlah blower yang
2 blower 1 blower
dipergunakan
Ukuran tinggi kompor 95 cm ±106 cm
Dominasi mild steel,
Reaktor gasifikasi menggunakan
insulator menggunakan
stainless steel, permukaan luar
ceramic fiber dengan
Material konstruksi menggunakan lembaran galvanized
dinding terluar di-cover
kompor iron. Insulator yang digunakan adalah
dengan aluminium.
abu sekam padi yang dicampur dengan
Garangan terbuat dari
semen.
stainless steel 314.

(Belonio, 2005; Winata, 2012)

4.2 Tahap Fabrikasi Kompor


Fabrikasi awal dari rancangan kompor gas-biomassa dilakukan oleh pihak
luar Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia. Kompor gas-biomassa
dibuat dengan material konstruksi yang digunakan adalah dari mild steel,
termasuk reaktor gasifikasi di bagian dalam juga terbuat dari mild steel. Pada
silinder bagian luar, sekelilingnya dipasang insulator berupa ceramic fiber dan
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


69

kemudian ditutup dengan lembaran aluminium. Sedangkan, garangan (grate)


kompor terbuat dari stainless steel 314 agar tidak cepat mengalami korosi karena
bagian yang akan selalu berkontakan dengan char dan abu hasil pembakaran.
Namun, pada kompor gas-biomassa hasil fabrikasi tahap awal pada
Gambar 4.1 masih ada sedikit kekurangan. Ketika dilakukan uji coba (trial),
ternyata kedua blower yang digunakan, baik untuk udara devolatilisasi (udara
primer) maupun udara pembakaran (udara sekunder), tidak mampu memberikan
suplai udara yang cukup terutama untuk melewati unggun bahan bakar dimana
laju alir udara yang terukur hampir nol. Dengan demikian, pemilihan alat
pendorong udara atau blower termasuk hal yang penting untuk diperhatikan.

Gambar 4. 1 Hasil fabrikasi kompor gas-biomassa awal sebelum modifikasi

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


70

Awalnya, kompor gas-biomassa sebelum dimodifikasi menggunakan jenis


axial blower seperti kipas (fan) yang banyak digunakan pada CPU komputer.
Namun, daya dorong blower tersebut kurang mampu untuk melewati hambatan
berupa tekanan yang diberikan oleh susunan unggun pelet dan juga porositas kecil
dalam reaktor gasifikasi akibat susunan unggun pelet yang rapat sehingga udara
sudah cukup sulit untuk melewati unggun pelet tersebut. Oleh karena itu, blower
tersebut diganti dengan centrifugal blower yang bertekanan Menurut Belonio
(2005) dan Rizqiaradihatno (2009), daya dorong yang dihasilkan oleh jenis
blower tersebut cukup besar untuk dapat melewati hambatan dan mampu
mencegah sebagian aliran terpantul kembali. Centrifugal blower yang digunakan
untuk udara devolatilisasi (udara primer) adalah centrifugal blower berdiameter 2
in dengan spesifikasi 220 V dan 1 A, sedangkan untuk udara pembakaran (udara
sekunder) adalah centrifugal blower berdiameter 2,5 in dengan spesifikasi 220 V
dan 1,6 A. Sebagai akibatnya, beberapa desain dimodifikasi termasuk
pemasangan pipa fleksibel, penutupan lubang yang tidak diperlukan, serta
penambahan tinggi kompor di bagian bawah sebesar 7 cm sehingga total tinggi
kompor menjadi 95 cm. Adapun modifikasi kompor gas-biomassa dilakukan oleh
karyawan Laboratorium Teknik Mesin Politeknik Negeri Jakarta. Hasil modifikasi
dari kompor gas-biomassa dapat dilihat pada Gambar 4.2 sebagai berikut.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


71

Gambar 4. 2 Hasil fabrikasi kompor gas-biomassa setelah modifikasi (dengan centrifugal blower)

Selain hal tersebut, kekurangan lainnya adalah penutup bagian atas


kompor dimana terdapat lubang-lubang untuk flue gas, setelah dilakukan beberapa
modifikasi, pada akhirnya belum dapat digunakan. Hal ini terkait dengan total
luas lubang flue gas tersebut dan total luas lubang untuk udara udara sekunder.
Perbandingan kedua total luas tersebut harus dilakukan percobaan secara khusus
sehingga dapat memenuhi quenching distance untuk pembakaran dalam kompor
gas-biomassa dalam penelitian. Quenching distance adalah jarak atau diameter
kritikal untuk api menjadi padam (Turns, 1996). Adapun pada kompor gas-
biomassa dalam penelitian total luas lubang flue gas (17,07 cm2) lebih kecil
daripada total luas lubang udara sekunder (31,84 cm2) sehingga api tidak dapat
keluar melalui lubang-lubang flue gas. Oleh karena itu, perlu dilakukan percobaan
secara khusus untuk menentukan diameter lubang yang tepat sehingga diperoleh
total luas lubang yang tepat pula. Kekurangan tersebut akan diteliti dan diperbaiki
oleh peneliti selanjutnya.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


72

4.3 Tahap Preparasi Bahan Bakar


Pada tahap ini, biomassa yang digunakan, yaitu limbah bagas, dipotong
dan dihaluskan hingga seukuran tepung (sekitar 2 mesh) dengan menggunakan
mesin penghancur. Setelah dihaluskan, biomassa dimasukkan ke cetakan pelet dan
kemudian ditekan dengan menggunakan pressure pelletizer sehingga memiliki
bentuk silindris yang kompak. Tujuan dari pembentukan biomassa menjadi pelet
adalah untuk reduksi volum dan meningkatkan karakteristik bahan bakar. Pelet
biomassa dari limbah bagas yang dicetak dalam penelitian dapat dilihat hasilnya
pada Gambar 4.3 berikut ini:

Gambar 4. 3 Pelet bagas yang dibuat dalam penelitian

Adapun dalam tahap preparasi bahan bakar ini, salah satu langkah yang
penting untuk dilakukan adalah mengatur moisture content dari biomassa.
Moisture content dalam biomassa yang terlalu tinggi mampu menyebabkan bahan
bakar menjadi sulit terbakar, waktu penyalaan lama, dan efisiensi pembakaran
menjadi rendah (Fisafarani, 2010). Adapun moisture content dapat diketahui
dengan melakukan pengeringan biomassa pada oven dengan suhu 105oC (W.
Agung, et al., 2010; Lubwama, 2010) yang berlangsung dalam selang waktu
tertentu. Adapun prosedur pengeringan dapat dicermati pada BAB 3 METODE
PENELITIAN Sub Bab 3.3 Tahapan Penelitian. Berikut ini merupakan data yang
diperoleh dari hasil pengeringan sampel biomassa bagas sebanyak 10,001 g dan
hasil pengolahannya disajikan dalam Tabel 4.2 sebagai berikut.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


73

Tabel 4. 2 Perhitungan moisture content dari biomassa bagas

mwadah mwadah+biomassa mbiomassa


t (detik ke-) Moisture Content (%)
(g) (g) (g)
0 14,1754 24,176 10,001 12,414
300 23,234 9,059 1,824
600 23,155 8,980 0,935
900 23,123 8,947 0,571
1200 23,083 8,908 0,126
1500 23,072 8,896 0

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh moisture content


dalam biomassa bagas yang digunakan dalam penelitian sebesar 12,41%. Padahal,
biomassa yang diinginkan untuk dijadikan sebagai bahan bakar pelet bagi kompor
gas-biomassa adalah biomassa dengan moisture content sebesar 10%. Oleh karena
itu, biomassa bagas tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu. Adapun waktu
yang diperlukan untuk mengeringkan biomassa bagas tersebut hingga memiliki
moisture content sebesar 10% dapat dihitung dengan melakukan interpolasi data
moisture content pada detik ke-0 dan detik ke-300 sehingga diperoleh waktu
pengeringan selama 69 detik.
Sedangkan, menurut hasil uji karakterisasi bahan bakar biomassa yang
digunakan dalam penelitian oleh Balai Besar Teknologi Energi yang terdapat di
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, diperoleh moisture
content sebesar 11,20% (basis persentase massa kering).

4.4 Tahap Pengujian


Dalam tahap ini, performa operasi dari kompor gas-biomassa yang telah
dirancang dan difabrikasi akhirnya diuji. Variabel utama yang diuji adalah emisi
gas CO, karena kompor gas-biomassa dalam penelitian memang dirancang dengan
tujuan untuk mengatasi masalah polusi dalam dapur rumah tangga akibat emisi
gas CO yang berlebih dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Emisi gas CO
diukur menggunakan Flue Gas Analyzer E-Instrument Type E4400-S yang
mampu mengukur gas CO hingga 8000 ppm. Kemudian, variabel yang lain yang
diuji adalah suhu api dan efisiensi termal (suhu air digunakan untuk mengukur
efisiensi termal dari kompor gas-biomassa). Suhu tersebut diukur menggunakan
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


74

termokopel yang dihubungkan dengan Advantech Data Logger Temperature.


Adapun tahap pengujian ini dilakukan di Laboratorium Energi Berkelanjutan
Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia.
Tahapan pengujian performa kompor ini dimulai dengan menimbang
massa bahan bakar pelet biomassa sebanyak 1400 g, kemudian bahan bakar
tersebut dimasukkan ke dalam reaktor gasifikasi pada kompor gas-biomassa.
Penutup kompor yang digunakan hanya bagian dalam saja, bagian luar tidak
dipergunakan karena alasan seperti yang telah diuraikan pada tahap fabrikasi
kompor. Selanjutnya, penyalaan awal dilakukan dengan menggunakan potongan-
potongan kertas yang telah dicelupkan ke dalam etanol. Potongan-potongan kertas
tersebut dimasukkan ke dalam reaktor gasifikasi dan diletakkan di atas susunan
pelet paling atas. Setelah itu, dilakukan penyulutan dengan menggunakan korek
api sehingga terbentuk api. Api tersebut perlahan mulai membentuk bara dan
membakar susunan pelet paling atas sehingga volatile matter dari susunan pelet
biomassa paling atas tersebut mulai keluar. Lalu, blower mulai dinyalakan dan
diatur laju alirnya meningkat secara perlahan. Laju alir udara perlu diatur hingga
mendapatkan nyala api yang cukup stabil (lidah api yang terbentuk stabil).
Adapun waktu yang diperlukan dari penyalaan, gas mulai diproduksi hingga
blower mulai dinyalakan disebut dengan start up time, dimana dalam penelitian
ini start up time berkisar antara 2-5 menit. Sedangkan, waktu yang diperlukan dari
sejak blower dinyalakan hingga gas-gas pirolisis dari biomassa habis diproduksi
dan api mulai mati disebut dengan operating time. Operating time dalam
penelitian berkisar antara 30-50 menit, termasuk waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan laju alir udara devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran
(udara sekunder) yang mampu membentuk lidah api yang stabil (sekitar 5-10
menit). Dengan demikian, total operating time dapat mencapai 35-55 menit.
Kemudian, proses pembakaran dilanjutkan dengan pembakaran char (glowing
combustion) yang berlangsung lebih lama, yakni sekitar 40-60 menit.
Adapun setelah pembakaran char berakhir, char dan abu yang bersisa
ditimbang massanya. Data pada Tabel 4.3 berikut ini merupakan hasil perhitungan
persentase massa dari char dan abu yang dihasilkan dari pembakaran kompor gas-
biomassa dalam penelitian, dimana persentase char dan abu tersebut sangatlah

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


75

kecil, yakni berkisar antara 2-6%. Jika dibandingkan dengan Belonio’s Rice Husk
T-LUD Gasifier yang menghasilkan char dan abu hingga 16,9-35% dan Wood
Gas Turbo Stove 13-50% dengan variasi bahan bakar, nilai persentase tersebut
sangatlah kecil. Hal ini sebenarnya tidak mengherankan karena kandungan abu
(ash content) dan karbon tetap (fixed carbon) yang dimiliki oleh bahan bakar
biomassa yang digunakan (bagas) dalam penelitian relatif rendah, yaitu sebesar
1,32% dan 14,33%, sedangkan volatile matter dalam bagas tersebut mencapai
73,16% (basis massa kering) (lihat LAMPIRAN). Dengan demikian, pemilihan
karakteristik bahan bakar yang dipergunakan memang merupakan salah satu
faktor penting dalam mengoptimasi performa suatu kompor.

Tabel 4. 3 Persentase massa char dan abu terhadap massa bahan bakar

Uji Kapasitas Massa bahan Massa


ke- loading bakar (kg) char+abu (%)
1 Penuh 1,4 2,32
2 Penuh 1,4 2,88
3 Penuh 1,4 2,64
4 Penuh 1,4 6,04

4.4.1 Pengujian Emisi Gas CO


Pengambilan data dalam pengujian emisi gas CO dilakukan sebanyak lima
kali operasi. Meskipun begitu, data yang diambil hanya data pada empat operasi
karena terdapat satu operasi yang data suhu apinya menunjukkan malfungsi dari
termokopel yang digunakan sehingga suhu api yang terukur sangat rendah,
bahkan tidak mencapai suhu 100oC. Dalam penelitian, pengambilan data emisi gas
CO dilakukan sejak pengaturan udara telah mencapai api stabil hingga api
meredup dalam satu kali operasi.
Adapun operasi kompor gas-biomassa dilakukan dengan variasi rasio
antara laju alir udara devolatilisasi (udara primer) dan udara pembakaran (udara
sekunder). Laju alir udara devolatilisasi (udara primer) berfungsi untuk membantu
proses devolatilisasi berlangsung secara kontinu hingga volatile matter dalam
biomassa habis. Laju alir udara devolatilisasi (udara primer) menentukan seberapa
banyak volatile matter yang bereaksi tak sempurna dengan udara menjadi CO dan
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


76

menjadi driving force pengeluaran volatile matter karena panas yang dihasilkan
dari reaksi pembentukan CO yang bersifat eksotermis tersebut (Sugiyanto, 2010).
Sedangkan, gas-gas hasil pembakaran tak sempurna dengan udara devolatilisasi
(udara primer) terbatas, yang bergerak ke atas bersama aliran udara devolatilisasi
(udara primer) adalah bahan bakar yang sesungguhnya. Gas-gas tersebut
selanjutnya dibakar dengan sempurna setelah mengalami kontak dengan udara
pembakaran (udara sekunder) dan api di bagian atas reaktor gasifikasi dari
kompor gas-biomassa. Oleh karena itu, udara pembakaran (udara sekunder)
berperan sebagai salah satu faktor penting untuk pembakaran sempurna dari gas
pirolisis yang naik sehingga dihasilkan emisi yang bersih dengan kadar emisi gas
CO yang rendah. Dengan demikian, laju alir udara pembakaran (udara sekunder)
inilah yang menentukan kesempurnaan reaksi konversi CO menjadi CO2.
Data emisi gas CO yang diperoleh dari hasil uji performa kompor gas-
biomassa dapat dilihat pada LAMPIRAN B. Data emisi gas CO tersebut diplot
terhadap waktu sehingga menghasilkan grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4.4
berikut ini:

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


77

96

72
Emisi Gas CO (ppm)

48

24

0
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39
Waktu (detik)

Uji Performa (Running 1) Uji Performa (Running 2) Uji Performa (Running 3) Uji Performa (Running 4)

Gambar 4. 4 Emisi gas CO terhadap waktu

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


78

Adapun berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh, rasio antara


udara pembakaran (udara sekunder) dan laju alir udara devolatilisasi (udara
primer) secara berurutan mulai dari uji performa ke-1 hingga uji performa ke-4,
antara lain 15:1, 6:1, 11:1, , dan 21:1. Hubungan yang terdapat pada rasio antara
kedua laju alir udara tersebut dengan rata-rata dan standar deviasi emisi gas CO
yang dihasilkan dapat diamati pada data yang disajikan dalam Tabel 4.4 sebagai
berikut:

Tabel 4. 4 Hasil pengolahan data laju alir udara dan emisi gas CO

Rasio
Laju alir Laju alir Laju Emisi Standar
Uji udara
udara udara alir gas CO deviasi
ke- sekunder
primer sekunder udara rata-rata emisi gas
dan udara
(m3/s) (m3/s) total (ppm) CO (ppm)
primer
1 0,00038 0,00557 0,00595 15 16,33 6,51
2 0,00029 0,00172 0,00201 6 33,61 19,83
3 0,00019 0,00212 0,00231 11 16,4 16,10
4 0,00010 0,00212 0,00222 21 26,10 22,95

Data di atas menunjukkan bahwa emisi gas CO rata-rata terendah


diperoleh pada rasio antara laju alir udara devolatilisasi (udara primer) dan laju
alir udara pembakaran (udara sekunder) sebesar 15:1. Namun, data pada uji
performa ke-1 hanya memberikan tiga titik dalam grafik emisi gas CO terhadap
waktu pada Gambar 4.5, dimana data yang jumlahnya terbatas tersebut tentunya
masih memiliki tingkat keakuratan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh
pengukuran emisi gas CO dilakukan dalam rentang waktu yang berbeda
dibandingkan data pada uji performa yang lain (lihat Gambar 4.5). Pada uji
performa ke-1, emisi gas CO diukur per 5 menit, sedangkan emisi gas CO pada uji
performa ke-2 hingga ke-5 diukur per 2 menit. Oleh karena itu, penyimpangan
yang terjadi pada data di uji performa ke-1 ini juga cukup signifikan. Hal tersebut
dapat dilihat dari nilai standar deviasi emisi gas CO yang diperoleh sebesar 6,51
ppm) sehingga data tersebut termasuk data yang kurang dapat merepresentasikan
hubungan antara rasio udara dan emisi gas CO secara akurat dan presisi.
Meskipun begitu, emisi gas CO pada uji performa ke-1 akan tetap dianalisis.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


79

Analisis untuk uji performa ke-1, dilakukan dengan membandingkan hasil


uji performa ke-1 dan uji performa ke-3, dimana kedua uji performa tersebut
menunjukkan bahwa emisi gas CO rata-rata yang dihasilkan hampir sama, yaitu
16,33 ppm dan 16,4 ppm. Perbandingan laju alir udara total (udara primer dan
sekunder) antara kedua uji performa tersebut menunjukkan bahwa laju alir total
pada uji performa ke-1 mencapai dua kali laju alir total pada uji performa ke-3.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya produksi panas yang
dihasilkan dari devolatilisasi dapat ditingkatkan dengan secara bersamaan dengan
meningkatkan laju alir udara total. Suhu nyala api rata-rata uji (lihat LAMPIRAN)
performa ke-3 lebih tinggi dibandingkan uji performa ke-1. Hal ini menunjukkan
bahwa panas eksotermis yang dihasilkan pada uji performa ke-1 kemungkinan dua
kali lebih kecil daripada panas eksotermis yang dihasilkan pada uji performa ke-3.
Meskipun laju alir udara devolatilisasi (udara primer) pada uji performa ke-1
tinggi sehingga panas eksotermis yang dihasilkan dari reaksi pembentukan CO
juga tinggi, namun laju alir udara pembakaran (udara sekunder) yang juga tinggi
menyebabkan panas eksotermis tersebut diserap untuk memanaskan udara.
Dengan demikian, kemungkinan banyaknya gas CO yang dihasilkan dari
pembakaran volatile matter yang dihasilkan pada uji performa ke-1 dua kali lebih
besar daripada yang dihasilkan pada uji performa ke-3. Meskipun begitu,
diperkirakan bahwa pada uji performa ke-1, turbulensi yang dihasilkan lebih
besar karena laju alir udara total yang lebih besar sehingga pencampuran udara-
bahan bakar lebih merata. Oleh karena itu, emisi gas CO yang dihasilkan pun
hampir sama.
Selanjutnya, data yang perlu diperhatikan adalah data pada uji performa
ke-2, ke-3, dan ke-4, dimana ketiga data tersebut dapat dibandingkan karena
memiliki laju alir total yang hampir sama. Adapun berdasarkan rata-rata dan
standar deviasi emisi gas CO yang terdapat pada Tabel 4.4, di antara ketiga uji
performa tersebut, emisi gas CO rata-rata terendah dan terbaik untuk kesehatan
pengguna kompor dicapai pada uji performa ke-3, yakni sebesar 16,4 ppm.
Walaupun jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chiang,
et al. (2000), dimana konsentrasi rata-rata tertinggi CO dalam dapur rumah tangga
terjadi selama periode memasak menggunakan kompor LPG (waktu 24 jam rata-

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


80

rata) adalah 0,1-13,9 ppm, sebenarnya emisi gas CO kompor gas-biomassa dalam
penelitian ini masih lebih besar daripada emisi gas CO kompor LPG.
Adapun pada uji performa ke-3 tersebut, emisi gas CO relatif rendah,
dimana tingkat penyebaran data emisi gas CO cukup merata. Hal ini berarti laju
alir udara devolatilisasi (udara primer) yang disuplai juga cukup merata dan udara
pembakaran (udara sekunder) tersedia cukup untuk pembakaran sempurna gas-gas
pirolisis. Dengan demikian, laju alir udara devolatisasi (udara primer) yang
optimal dan mendekati stoikiometrik didapatkan pada uji performa ke-3 ini, yaitu
sebesar 0,02 m/s atau 0,00019 m3/s, dimana rasio antara laju alir udara
pembakaran (udara sekunder) dan laju alir udara devolatilisasi (laju alir udara
primer) pada uji performa tersebut sebesar 11:1. Laju alir udara devolatilisasi
(udara primer) yang mendekati stoikiometrik untuk reaksi pembentukan CO dari
pembakaran volatile matter dari biomassa sehingga konsentrasi gas CO yang
dihasilkan untuk direaksikan selanjutnya dengan udara pembakaran (udara
sekunder) juga mendekati stoikiometrik untuk reaksi pembentukan CO menjadi
CO2 (konsentrasi gas CO tidak terlalu kecil atau tidak terlau berlebih
dibandingkan konsentrasi udara sekunder). Selain itu, reaksi pembentukan CO
yang berlangsung dengan sebagaimana mestinya menghasilkan panas yang cukup
juga untuk mendukung proses devolatilisasi berjalan dengan baik dan
menghasilkan volatile matter dalam jumlah yang cukup.
Kemudian, nilai rasio berikutnya mulai dari yang memiliki emisi gas CO
rata-rata terendah secara berurutan adalah rasio udara 21:1 pada uji performa ke-4
dengan emisi CO rata-rata sebesar 26,10 ppm dan 6:1 pada uji performa ke-2
sebesar 33,61 ppm. Meskipun begitu, bila diamati lebih detail data emisi gas CO
pada LAMPIRAN, pada uji performa ke-2 sebenarnya emisi gas CO mayoritas
rendah bila dibandingkan dengan uji performa ke-4. Hal tersebut ditunjukkan
dengan standar deviasi emisi gas CO yang ada, dimana pada uji performa ke-2
didapatkan emisi gas CO rata-rata sebesar 33,61 ppm, tetapi standar deviasinya
justru sebesar 19,83 ppm. Hal tersebut berarti bahwa penyimpangan data emisi
gas CO yang terjadi pada rasio ini cukup besar atau dapat dikatakan bahwa data
yang diperoleh memiliki tingkat penyebaran yang kurang merata.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


81

Adapun grafik emisi gas CO terhadap waktu yang terbentuk pada Gambar
4.5 untuk uji performa ke-2 menunjukkan bahwa emisi gas CO kompor gas-
biomassa menjadi tinggi pada awal dan akhir operasi. Hal ini disebabkan oleh
nyala api yang masih belum stabil di awal operasi sehingga asap timbul akibat
gas-gas pirolisis (terdiri dari CO, H2, dan lain-lainya) yang terbentuk dari hasil
pembakaran tak sempurna, masih belum terbakar secara sempurna bersama
dengan udara pembakaran (udara sekunder). Nyala api yang belum stabil tersebut
menunjukkan proses gasifikasi yang belum berjalan dengan baik (W. Agung, et
al., 2010). Sedangkan, emisi gas CO di akhir operasi meningkat akibat nyala api
yang perlahan meredup menunjukkan api akan segera mati dan pembakaran
sempurna gas pirolisis segera berakhir. Pada saat itu pula proses pembakaran di
dalam kompor dilanjutkan oleh pembakaran char (glowing combustion). Pada
tahap pembakaran tersebut, kandungan karbon yang tinggi dalam char akan
terkonversi menjadi gas CO melalui suatu reaksi eksotermik. Sementara itu, gas
CO yang dihasilkan tersebut cenderung membutuhkan waktu tinggal yang lebih
lama untuk terkonversi menjadi CO2. Karena reaksi tersebut merupakan reaksi
eksotermik, maka reaksi konversi akan lebih menguntungkan apabila terjadi pada
suhu tinggi sehingga peningkatan suhu mampu mempercepat kinetika reaksi
(Sugiyanto, 2010). Akan tetapi, di akhir operasi, dimana api telah meredup dan
mulai memasuki tahap pembakaran char, suhu api yang tinggi tidak tersedia lagi.
Oleh karena itu, emisi gas CO di akhir operasi menjadi tinggi.
Adapun emisi gas CO yang tinggi yang dihasilkan oleh kompor gas-
biomassa pada uji performa ke-2 tersebut, disebabkan oleh laju alir udara
devolatilisasi (udara primer) pada uji performa ke-2 dibandingkan dengan laju alir
udara devolatilisasi (udara primer) pada uji performa ke-3 dan ke-4. Seperti
diketahui, bahwa semakin besar laju alir udara devolatilisasi (udara primer), maka
semakin besar laju pirolisis sehingga adanya kemungkinan volatile matter yang
dikonversi menjadi gas pirolisis cukup banyak (Yang, Sharifi, & Swithenbank,
2004). Sebagai akibatnya, CO yang dihasilkan dari reaksi juga cukup banyak,
akan tetapi hal tersebut tidak didukung oleh laju alir udara pembakaran (udara
sekunder) yang cukup besar. Dari data pada Tabel 4.4, dapat dilihat bahwa laju
alir udara pembakaran (udara sekunder) pada uji performa ke-2 lebih kecil

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


82

daripada laju alir udara pembakaran (udara sekunder) pada uji performa ke-3 dan
ke-4. Oleh karena itu, udara yang ada tidak menyediakan oksigen yang cukup
untuk reaksi pembakaran sempurna CO menjadi CO2, dimana konsentrasi CO
tinggi namun konsentrasi udara rendah. Padahal, untuk mencapai pembakaran
sempurna diperlukan udara yang berlebih (Turns, 1996).
Sedangkan, grafik emisi gas CO terhadap waktu untuk uji performa ke-4
(lihat Gambar 4.4) justru terlihat tidak stabil, dimana terdapat beberapa puncak
emisi gas CO yang tinggi. Grafik emisi gas CO terhadap waktu yang cenderung
tidak stabil dan berfluktuasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh susunan pelet
yang sedikit berubah akibat zona flaming pyrolisis yang bergerak turun terus-
menerus hingga seluruh susunan pelet hanya menyisakan char. Susunan pelet
yang berubah menyebabkan kemampuan pemerataan udara devolatilisasi (udara
primer) yang mengalir ke atas melewati susunan pelet juga berubah karena
porositas yang juga berubah (terkait dengan channeling effect). Sebagai akibatnya,
suplai udara devolatilisasi (udara primer) menjadi tidak stabil. Hal ini diperburuk
dengan desain kompor yang kurang menimbulkan turbulensi sehingga
kesempurnaan pencampuran udara dan gas pirolisis juga menjadi kurang
homogen. Meskipun begitu, analisis tersebut tidak dapat dibuktikan secara
konkret karena fenomena pirolisis yang terjadi di dalam kompor tidak dapat
diamati secara langsung, apalagi kompor didesain sebagai fixed bed gasifier,
dimana susunan pelet seharusnya tidak berubah.
Selain hal tersebut, analisis grafik emisi gas CO terhadap waktu untuk uji
performa ke-4 memperlihatkan bahwa emisi gas CO pada uji performa ini tinggi,
dengan emisi gas CO rata-rata sebesar 26,10 ppm dan standar deviasi emisi gas
CO sebesar 22,95 ppm. Hal ini disebabkan oleh udara devolatilisasi (udara
primer) yang disuplai terlalu kecil, dimana laju alir udaranya paling rendah
dibandingkan uji performa lainnya. Sebagai akibatnya, gas CO yang dihasilkan
dari pembakaran tak sempurna sangat banyak karena reaksinya kekurangan udara.
Ditambah lagi, hal tersebut tidak diimbangi dengan udara pembakaran (udara
sekunder) yang disuplai, dimana laju alir udara pembakaran (udara sekunder)
terlalu berlebih sehingga berpengaruh terhadap suhu api, dimana suhu menjadi
menurun drastis. Pada akhirnya, suhu yang terlalu rendah tersebut tidak cukup

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


83

untuk menyediakan suhu yang tinggi untuk membantu reaksi konversi CO ke CO2
agar berlangsung lebih cepat sehingga gas CO pada uji performa ke-4 ini
terakumulasi dan keluar menuju atmosfer lingkungan dalam konsentrasi yang
tinggi. Hubungan antara emisi gas CO dan suhu api akan dibahas pada pembahasa
pengujian suhu api.
Adapun pengaruh laju alir udara devolatilisasi (udara primer) terhadap
emisi gas CO yang dihasilkan dapat terlihat lebih jelas jika dibandingkan antara
uji performa ke-3 dan ke-4 yang memiliki laju alir udara devolatilisasi (udara
primer) yang berbeda namun laju alir udara pembakaran (udara sekunder) yang
sama. Emisi gas CO pada uji performa ke-3 lebih rendah daripada pada uji
performa ke-4, tetapi laju alir devolatilisasi (udara primer) pada uji performa ke-3
lebih tinggi daripada pada uji performa ke-4. Hal ini disebabkan oleh semakin
tinggi laju alir udara devolatilisasi (udara primer), maka akan semakin tinggi laju
devolatilisasi atau laju pirolisis (Yang, Sharifi, & Swithenbank, 2004). Namun,
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) tidak boleh terlalu tinggi daripada
flame speed karena dapat menyebabkan api mati (blow off) secara tiba-tiba (Turns,
1996), dimana api yang terbentuk pada kompor gas-biomassa dalam penelitian ini
termasuk premixed flame (bahan bakar bercampur dengan oksidan sebelum
mendekati daerah nyala). Pada uji performa ke-4, laju alir udara devolatilisasi
(udara primer) yang rendah mengakibatkan gas-gas pirolisis yang dihasilkan
menjadi lebih sedikit jumlahnya karena laju pirolisis yang juga menjadi semakin
rendah. Gas-gas pirolisis yang sedikit tersebut berkontakan dengan udara
pembakaran (udara sekunder) dalam jumlah banyak sehingga konsentrasi udara
pembakaran (udara sekunder) terhadap gas-gas pirolisis menjadi terlalu berlebih.
Sebagai akibatnya, gas menjadi dingin dan menyebabkan suhu api menjadi
menurun sehingga konversi gas CO menjadi CO2 membutuhkan waktu yang lebih
lama. Dengan demikian, akumulasi gas CO dalam gas buang mengalami
peningkatan. Sedangkan, pada uji performa ke-3 tidaklah demikian, karena baik
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) maupun udara pembakaran (udara
sekunder) sama-sama tersedia dalam jumlah yang mendekati stoikiometrik untuk
reaksi yang terjadi.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


84

4.4.2 Pengujian Suhu Api


Selain emisi gas CO, variabel yang diuji berikutnya adalah suhu api. Suhu
api diukur setiap 10 detik, dimana grafik suhu api terhadap waktu dapat dilihat
pada Gambar 4.5. Sementara itu, suhu api maksimum untuk masing-masing uji
operasi dengan rasio laju alir udara devolatilisasi (udara primer) dan laju alir
udara pembakaran (udara sekunder) yang berbeda dapat diamati pada Tabel 4.5.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


85

640

560

480

400
Suhu Api (oC)

320

240

160

80

0
0 150 300 450 600 750 900 1050 1200 1350 1500 1650 1800 1950 2100 2250 2400
Waktu (detik)

Uji Performa (Running 1) Uji Performa (Running 2) Uji Performa (Running 3) Uji Performa (Running 4)

Gambar 4. 5 Suhu api terhadap waktu

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


86

Tabel 4. 5 Hasil pengolahan data suhu api

Uji Suhu api Suhu api


ke- maksimum rata-rata
(oC) (oC)
1 489,81 224,45
2 544,44 427,94
3 428,13 342,35
4 248,14 221,45

Dari data di atas, suhu maksimum tertinggi diperoleh pada saat uji
performa ke-2. Pada suhu tersebut, terlihat jelas peningkatan suhu api terkait
dengan peningkatan produksi jelaga (soot) dimana warna nyala api cenderung
kuning hingga merah. Warna nyala api pada saat uji performa ke-2 tersebut dapat
diamati secara jelas pada Gambar 4.6 berikut ini:

Gambar 4. 6 Nyala api berwarna merah pada uji performa ke-2

Lalu, suhu maksimum tertinggi berikutnya secara berurutan adalah uji


performa ke-1, ke-3, dan ke-4. Meskipun begitu, bila dilihat dari grafik yang
terbentuk pada Gambar 4.5 dan nilai rata-rata suhu api yang didapatkan,
sebenarnya suhu api lebih stabil pada uji performa ke-3 daripada uji performa ke-
1. Terkait dengan emisi gas CO yang dihasilkan, terlihat bahwa bila suhu api
rendah maka emisi gas CO rata-rata yang dihasilkan semakin tinggi. Penyebabnya
adalah reaksi CO menjadi CO2 bersifat eksotermis dan memerlukan waktu tinggal
yang lama sehingga untuk mempercepat waktu reaksi dibutuhkan kondisi operasi

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


87

berupa suhu yang tinggi untuk meningkatkan kinetika reaksi. Salah satunya
dengan meningkatkan suhu api. Oleh karena itu, bila suhu api rendah, CO yang
banyak tersebut tidak terkonversi menjadi CO2 dan terakumulasi dalam gas buang
sehingga pada pengukuran emisi gas CO yang dilakukan, diperoleh emisi gas CO
yang tinggi. Berdasarkan penjelasan hubungan suhu api dan emisi gas CO
tersebut, dapat dipahami bahwa suhu api merupakan salah satu faktor penting
yang patut diperhatikan untuk mencapai emisi gas CO yang rendah, walaupun
masih ada faktor lainnya, yaitu kecukupan waktu tinggal dan kecukupan oksigen.
Perbandingan antara suhu api rata-rata antara uji performa ke-2, ke-3, dan
ke-4 yang memiliki laju alir udara total hampir sama menunjukkan bahwa suhu
api uji performa ke-2 > uji performa ke-3 > uji performa ke-4. Suhu api pada uji
performa ke-3 tinggi karena udara aktual yang tersedia merupakan udara yang
mendekati stoikiometrik sehingga suhu api yang dicapai juga maksimum
(Glassman, 1996). Suhu api yang tinggi pada uji performa ke-2 dibandingkan uji
performa ke-3 diduga banyaknya karena banyaknya volatile matter dan gas CO
yang dihasilkan pada uji performa ke-2 sehingga walaupun emisi gas CO pada uji
performa ke-2 lebih tinggi, panas eksotermis yang dihasilkan tetap lebih besar
pada uji performa tersebut.
Sedangkan, rendahnya suhu api pada uji performa ke-4 diprediksi karena
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) yang terlalu rendah sehingga panas
eksotermis yang dihasilkan juga rendah. Selain itu, laju alir udara sekunder yang
berlebih pada uji performa ke-4 juga menyebabkan suhu api menjadi rendah. Jadi,
hal yang turut berpengaruh terhadap besar suhu api adalah laju alir udara
pembakaran (udara sekunder). Suhu api maksimum dapat dicapai ketika udara
mencapai udara stoikiometrik, dimana rasio ekuivalen sama dengan satu
(pembakaran sempurna) (Glassman, 1996). Namun, laju alir udara pembakaran
(udara sekunder) yang terlalu tinggi mampu menyebabkan suhu api menurun. Hal
ini disebabkan oleh terlalu besarnya jumlah udara pembakaran (udara sekunder)
yang disuplai ke dalam reaktor gasifikasi sehingga konsentrasi gas-gas pirolisis
yang dibakar menjadi relatif lebih kecil karena adanya konsentrasi N2 yang cukup
signifikan terikut di dalam udara tersebut. Seperti diketahui, konsentrasi gas inert
yang cukup signifikan dapat menurunkan suhu api (W. Agung, et al., 2010,

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


88

Borman, & Ragland, 1998). Adapun suhu api yang tinggi menunjukkan proses
pembakaran yang lebih baik, nyala yang lebih stabil, dan efisiensi konversi energi
yang lebih tinggi. Meskipun begitu, suhu api yang terlalu tinggi mengindikasikan
peluang untuk terbentuknya jelaga (soot) meningkat. Hal ini disebabkan oleh
terbentuknya jelaga (soot) dalam api yang semakin tinggi mengakibatkan semakin
meningkatnya dominasi perpindahan kalor secara radiasi sehingga suhu api
semakin meningkat. Oleh karena itu, suhu api maksimum perlu dibatasi untuk
memastikan tidak terjadinya pembentukan jelaga (soot).
Adapun pembentukan jelaga (soot) dapat terjadi karena kurang meratanya
pencampuran antara udara pembakaran (udara sekunder)-gas pirolisis sehingga
menyebabkan api yang seharusnya termasuk premixed flame menjadi partially
premixed flame. Semakin meningkatnya partially premixed flame tersebut, maka
pembentukan jelaga (soot) semakin meningkat. Nyala api dapat berubah dari
warna kuning menjadi biru dengan cara mengurangi efek terjadinya partially
premixed flame tersebut. Jadi, pada umumnya pembentukan jelaga (soot) terjadi
karena kurang cukupnya udara yang tersedia untuk membakar bahan bakar. Selain
itu, terlalu tingginya laju alir udara devolatilisasi (udara primer) mampu
menyebabkan gas pirolisis dikelilingi oleh N2 yang terlalu banyak jumlahnya
sehingga menghalangi udara pembakaran (udara sekunder) untuk berpenetrasi ke
gas pirolisis. Dengan demikian, emisi jelaga (soot) ditentukan melalui kompetisi
yang terjadi antara laju pembentukan jelaga (soot) dengan laju oksidasi yang
terjadi dalam api. Proses pembentukan jelaga (soot) sendiri terdiri dari beberapa
tahap, antara lain pembentukan spesies prekursor, soot particle inception,
pertumbuhan permukaan dan aglomerasi partikel yang menyebabkan partikel
jelaga (soot) saling menyatu dan menjadi semakin besar dalam api, dan oksidasi
jelaga (soot) dimana emisi produk oksidasi disini mampu membahayakan
kesehatan manusia (Jr Goldstein, et al., 2002).
Selain suhu api, hal yang diamati pula dan terkait dengan suhu api tersebut
adalah warna nyala api. Luminositas nyala api akan meningkat seiring dengan
meningkatnya rasio ekuivalensi dan produksi jelaga (soot). Nyala api pun semakin
terang jika kandungan volatile matter yang dimiliki oleh bahan bakar biomassa
semakin tinggi (Lu, et al., 2008). Jadi, warna nyala api sebenarnya merupakan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


89

perpaduan antara partikel volatile matter, jelaga (soot) yang terbentuk, dan udara
yang bercampur. Perbandingan antara luminositas nyala api pada kompor gas-
biomassa dalam penelitian dan kompor LPG dapat dilihat pada Gambar 4.7
sebagai berikut.

Gambar 4. 7 Warna nyala api kompor gas-biomassa dan kompor LPG


(Belonio, 2005)

Sebenarnya, warna nyala api tersebut menunjukkan bahwa terdapat fenomena di


dalam api dimana secara spontan api mengemisikan gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang tertentu. Gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang tertentu tentunya memiliki spektrum yang tertentu pula, dimana
partikel-partikel yang berpengaruh terhadap hal tersebut diklasifikasikan menjadi
tiga, antara lain solid bodies (seperti abu, char, jelaga/soot, dan lain-lain) yang
dengan black bodies spectral, molekul gas pada suhu tinggi, dan spesies
tereksitasi yang dihasilkan oleh beberapa reaksi kimia, dimana spesies tersebut
mencapai state dasarnya dengan mengemisikan cahaya atau terang dengan
intensitas tertentu (chemiluminescence). Untuk radiasi termal, solid bodies dan
molekul gas mengemisikan gelombang elektormagnetik dengan panjang
gelombang pada range gelombang VIS-IR dan IR, sedangkan chemilunescence
pada range gelombang UV dan VIS. Spektrum chemilunescence sendiri
merupakan hasil radikal yang tereksitasi, dimana radikal-radikal yang utamanya
berperan sebagai pengemisi pada api, antara lain OH*, CH*, C2*, dan CO2*.
Radikal OH* mengemisikan spektrum gelombang UV sehingga cenderung
berwarna kuning hingga merah, sedangkan CH* dan C2* mengemisikan spektrum
gelombang hijau dan biru, dimana intensitasnya masing-masing dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


90

rasio ekuivalen, turbulensi, karakteristik bahan bakar, ataupun tekanan (Ballester,


2010). Jadi, api yang terbentuk pada kompor gas-biomassa dalam penelitian ini
dengan warna nyala kuning hingga merah diperkirakan karena adanya
pembentukan jelaga (soot), kandungan volatile matter yang tinggi dalam bahan
bakar (biomassa dari limbah bagas), dan adanya kemungkinan spektrum yang
diemisikan dari radikal OH* dalam jumlah signifikan. Adapun warna nyala api
dari kompor gas-biomassa dalam penelitian lebih detail dapat dilihat pada Gambar
4.8 sebagai berikut:

Gambar 4. 8 Nyala api kompor gas-biomassa dalam penelitian

4.4.2 Pengujian Efisiensi Termal


Pengujian berikutnya adalah efisiensi termal. Pengujian ini sebenarnya
dilakukan secara simultan dengan pengukuran emisi gas CO dan pengukuran suhu
api. Metode yang digunakan adalah Water Boiling Test (WBT) seperti yang telah
dijelaskan dalam BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sub Bab 2.3 Uji Performa dan
Evaluasi Operasi Kompor dan BAB 3 METODE PENELITIAN Sub Bab 3.3
Tahapan Penelitian. Pada metode ini, air dengan massa tertentu dipanaskan dan

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


91

diukur suhunya per satuan waktu. Pada penelitian ini, massa air yang dipanaskan
sebanyak 1 kg atau setara dengan 1 L air. Pada akhir eksperimen (pada saat uji
operasi selesai), massa air tersebut ditimbang kembali. Adapun grafik suhu air
dapat diamati pada Gambar 4.9 berikut ini, sedangkan data Water Boiling Test
(WBT) dan nilai efisiensi termal yang diperoleh dari kompor gas-biomassa dapat
dilihat pada Tabel 4.6 sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


92

150

120

90
Suhu Air (oC)

60

30

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400
Waktu (detik)

Uji Performa (Running 1) Uji Performa (Running 2) Uji Performa (Running 3) Uji Performa (Running 4)

Gambar 4. 9 Suhu air terhadap waktu

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


Tabel 4. 6 Hasil pengolahan data suhu air dan perhitungan efisiensi termal

Suhu Waktu
Uji Volum Suhu awal Efisiensi
maksimum air pendidihan
ke- air (L) air (oC) termal (%)
(oC) (menit)
1 1 25,03 100,13 9,33 41
2 1 27,41 101,89 6,17 49
3 1 42,74 101,88 6,5 38
4 1 24 141 6 55

Dari data di atas, suhu air maksimum dan nilai efisiensi termal tertinggi
terjadi pada uji performa ke-4. Meskipun suhu api rata-rata dan suhu api
maksimum pada uji performa ke-4 tidak tinggi, namun efisiensi termal yang
diperoleh justru paling tinggi. Dalam hal ini dapat dilihat peranan jelaga (soot)
yang terbentuk pada api yang mampu meningkatkan perpindahan kalor secara
radiasi. Radiasi yang tinggi tidak hanya diberikan api ke panci, tetapi adanya
kemungkinan api yang tinggi menyebabkan radiasi panas dari api langsung ke air
pun terjadi. Sebagai akibatnya, waktu yang diperlukan untuk mendidihkan 1 L air
pada uji performa ke-4 ini juga paling singkat.
Pada uji performa ke-2, efisiensi termalnya termasuk efisiensi termal
tertinggi dibandingkan uji performa yang lain. Hal ini wajar karena suhu api rata-
rata dan suhu api maksimumnya juga tinggi sehingga panas yang diberikan api ke
panci juga lebih besar dibandingkan uji performa yang lain. Apalagi, efek radiasi
yang diberikan oleh jelaga (soot) yang terbentuk membantu laju perpindahan
kalor semakin cepat, terutama radiasi. Meskipun begitu, seharusnya uji performa
ke-2 tersebut memiliki efisiensi termal paling tinggi daripada uji performa ke-4
bila ditinjau dari suhu api. Hal ini mungkin terjadi karena memang efek radiasi
akibat pembentukan jelaga (soot) yang terlalu dominan atau adanya kemungkinan
laju alir gas yang tinggi mengaami kontak dengan panci sehingga timbul friksi
yang meningkatkan efektivitas perpindahan kalor dari api ke panci pada uji
performa ke-4 dibandingkan uji performa ke-2.
Pada uji performa ke-1 dan ke-3, dapat dilihat dengan suhu api rata-rata
dan suhu api maksimum yang lebih rendah daripada suhu api pada uji performa
ke-2, namun mampu mencapai suhu air maksimum yang tidak berbeda jauh

93 Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


94

dengan suhu air maksimum pada uji performa ke-2. Walaupun efisiensi termalnya
lebih rendah daripada uji performa ke-2, namun dapat diperkirakan hal tersebut
disebabkan oleh efek radiasi yang rendah akibat tidak banyaknya jelaga (soot)
yang terbentuk. Dengan demikian, diprediksi kemungkinan perpindahan kalor
secara konveksi lebih dominan. Dominasi perpindahan kalor secara konveksi
tersebut menunjukkan baiknya performa pembakaran yang terjadi pada kedua uji
performa kompor gas-biomassa ini. Oleh karena itu, kedua uji performa dikatakan
lebih sehat dan sekaligus lebih aman bagi pengguna untuk keperluan memasak di
dapur karena emisi gas CO yang rendah dan efek radiasi jelaga (soot) yang
rendah.
Dengan demikian, efisiensi termal dari kompor gas-biomassa dalam
penelitian telah dihitung menggunakan persamaan 2.19 dan hasilnya berada pada
range 39-55%. Bila dibandingkan dengan efisiensi gasifikasi yang dirancang pada
perhitungan desain awal kompor, dimana efisiensi dirancangn sebesar 60%, maka
dapat diperhatikan bahwa masih terjadi kehilangan kalor (heat loss) pada kompor
gas-biomassa yang dirancang, yang dapat diperbaiki pada penelitian berikutnya.
Meskipun begitu, efisiensi termal tersebut tergolong cukup baik, dimana
memerlukan waktu 6-9,33 menit untuk mendidihkan 1 L air. Sedangkan,
Belonio’s Rice Husk T-LUD Gasifier membutuhkan waktu 7,93-8,67 menit untuk
mendidihkan 1 L air atau dengan efisiensi termal sebesar 12,3-13,3% (Belonio,
2005) dan Wood-Gas Turbo Stove membutuhkan waktu 6-13 menit atau efisiensi
termal sebesar 20-37,5% dengan variasi bahan bakar (Reed, et al., 2000).

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari pengolahan data yang diperoleh
dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan:
1. Rancangan akhir dari dimensi kompor biomassa yang dimanufaktur:
 Tinggi keseluruhan = 95 cm
 Diameter keseluruhan = 20 cm
 Tinggi reaktor gasifikasi = 51 cm
 Diameter reaktor gasifikasi = 15 cm
2. Untuk kompor gas-biomassa dengan bahan bakar pelet biomassa dari limbah
bagas, emisi rata-rata gas CO yang dihasilkan dari setiap pengujian bervariasi
dari 16,33 ppm hingga 37,38 ppm.
3. Suhu api maksimum tertinggi yang berhasil dicapai oleh kompor gas-
biomassa dalam penelitian adalah sebesar 544,44oC.
4. Kompor gas-biomassa yang dihasilkan memiliki efisiensi termal berkisar
antara 39-55%, lebih daripada efisiensi termal yang dimiliki oleh kompor
biomassa tradisional yang hanya sekitar 5-20%.
5. Persentase massa char dan abu tersisa dalam satu kali operasi kompor gas-
biomassa dalam penelitian termasuk rendah, yakni berkisar antara 2,32-6,04%.
6. Dari hasil perancangan dan optimasi kompor gas-biomassa, didapatkan
kondisi terbaik dengan mempertimbangkan rendahnya emisi CO, yaitu kondisi
laju alir udara devolatilisasi (udara primer) sebesar 1,90 m3/s dan laju alir
udara pembakaran (udara sekunder) sebesar 22,23 m3/s, dimana emisi gas CO
rata-ratanya sebesar 16,4 ppm. Hal ini memenuhi syarat ambang batas CO di
atmosfer menurut Kementerian Tenaga Kerja I ndonesia, yaitu 25 ppm.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran dari penulis untuk
penelitian berikutnya yang akan dilakukan di masa yang akan datang, antara lain:

95 Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


96

1. Aspek desain yang meningkatkan turbulensi pada kompor perlu dilakukan


untuk mencapai pencampuran udara-bahan bakar gas pirolisis yang maksimal.
Jadi, desain burner perlu diperbaiki, serta distribusi laju alir udara primer dan
sekunder patut diperhatikan.
2. Penentuan ukuran lubang untuk aliran gas buang dari kompor perlu diteliti
lebih lanjut untuk memperoleh kompor dengan api yang baik seperti pada
kompor LPG, dimana hal ini terkait dengan quenching distance.
3. Penggunaan bahan konstruksi yang tahan panas dan insulasi yang baik patut
dipertimbangkan karena berkaitan erat dengan aspek efektivitas perpindahan
kalor yang terjadi dan aspek safety bagi pengguna kompor tersebut.
4. Supaya dapat mengamati bentuk api dan karakter penyebarannya pada
kompor, serta proses pembakaran pelet biomassa yang terjadi di dalam
kompor secara lebih detail diperlukan sebuah celah khusus yang transparan
untuk melihatnya, namun tidak mengganggu sistem pembakaran. Alternatif
lain dapat dipilih dengan menggunakan berbagai jenis peralatan flame imaging
(Ballester, J., & Hernandez, R., 2008).
5. Penggunaan pelet biomassa dengan ukuran diameter yang lebih kecil dan lebih
besar dapat dilakukan pada penelitian berikutnya untuk melihat pengaruh
ukuran diameter pelet biomassa terhadap fenomena pembakaran yang terjadi
dan emisi gas CO yang dihasilkan.
6. Untuk penelitian berikutnya, aspek portabilitas dan aspek komersialisasi
kompor di masa depan perlu dipertimbangkan, terutama menyangkut dimensi
dan ukuran normal kompor yang digunakan untuk rumah tangga pada
umumnya, kemudahan penggunaan, serta analisis keekonomian dari kompor
gas-biomassa tersebut.
7. Ketersediaan peralatan untuk keperluan penelitian pada laboratorium-
laboratorium di Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia patut
diperhatikan dan dicari solusinya mengingat peralatan yang tersedia sangat
terbatas, sedangkan jumlah mahasiswa/i sangat banyak. Dalam penelitian
selanjutnya yang bertujuan untuk memperbaiki penelitian ini dan terkait
dengan pelet biomassa, alangkah baiknya jika memiliki mesin pencetak pelet
biomassa otomatis.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


97

DAFTAR PUSTAKA

Achard, F., et al. (2002). Determination of deforestation rates of the world’s


humid tropical forests. Science, 297, 999-1002.

Akudo, C. O. (2008). Quantification of Tars and Particulates from A Pilot Scale,


Downdraft Biomass Gasifier. Master of Science Thesis in Biological and
Agricultural Engineering, Faculty of The Louisiana State University and
Agricultural and Mechanical College.

Anonim. Biomassa. http://www.energiterbarukan.net. 18 April 2011. 15:00 WIB.

Anonim. 2010 ini, 78 Kasus Ledakan Tabung Gas Terjadi.


http://www.metro.news.viva.co.id. 9 Juni 2012. 20:30 WIB.

Anonim. Kompor. http://istilahkata.com/kompor.html. 9 Juni 2012. 21:00 WIB.

Anonim. Subsidi BBM Diganti dengan Penghapusan Pajak Kendaraan.


http://ekonomi.kompasiana.com. 18 April 2011. 15:30 WIB.

Ballester, J., & Hernandez, R. (2008). Flame Imaging as Diagnostic Tool dor
Industrial Combustion. Combustion and Flame 155: 509-528.

Ballester, J., & Armingol, T. G. (2010). Diagnostic Techniques for The


Monitoring and Control of Practical Flames. Progress In Energy and
Combustion Science 36: 375-411.

Barnes, DF., et al. (1994). What Makes People Cook with Biomass Cookstove?-A
Comparative International Review of Cookstoves Programs. The World
Bank Publication (1994).

Belonio, Alexis T. (2005). Rice Husk Gas Stove Hand Book. Philippines:
Department of Agricultural Engineering and Environmental Management
College of Agricultural Central Philippine University Iloilo City.

Bhattacharya, S.C., et al. (2000). Emissions from biomass energy use in some
selected Asian countries. Energy 25(2):169-188.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


98

Bhattacharya, S. C. & Salam, P. Abdul (2002). Low greenhouse gas biomass


options for cooking in the developing countries. Biomass and Bioenergy
22(4): 305-317.

Borman, Gary L, & Ragland, Kenneth W. (1998). Combustion Engineering.


United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Bryden, M., et al. (2002). Design Principles for Wood Burning Cook Stove.
Aprovecho Research Center Publication.

Chiang, et al. (2000). The Influence of An Architectural Design Alternative


(Transoms) on Indoor Air Environment in Conventional Kitchens in
Taiwan. Building and Environment 35: 579-585.

Chigier, Norman. Energy, Combustion, and Environment. United States of


America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Colbeck, I., et al. (2010). The state of indoor air quality in Pakistan—a review.
Environ Sci Pollut Res 17:1187–1196.

Demirbas, A. (2004). Combustion characteristics of different biomass fuels.


Progress in Energy and Combustion Science 30(2): 219-230.

Depner, H., & Jess, A. (1999). Kinetics of nickel-catalyzed purification of tarry


fuel gases from gasification and pyrolysis of solid fuels. Fuel 78(12):
1369-1377.

Erlich, C., Öhman, M., et al. (2005). Thermochemical characteristics of sugar


cane bagasse pellets. Fuel 84(5): 569-575.

Faaij, Andre (2006). Modern Biomass Conversion Technologies. Mitigation and


Adaptation Strategies for Global Change 11: 343–375.

Fisafarani, Hanani. Identifikasi Karakteristik Sumber Daya Biomasa dan


Pengembangan Pelet Biomasa di Indonesia. Skripsi, Program Sarjana
Fakultas Teknik UI. Depok. 2010.

Handayani, N. Perancangan Kompor Biomassa untuk Masyarakat Urban dengan


Prinsip Pre Heating Bahan Bakar dan Udara Masuk Menggunakan Panas
Gas Buang. Skripsi, Program Sarjana Fakultas Teknik UI. Depok. 2009.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


99

Glassman, Irvin. (1996). Combustion (3rd ed.). The United States of America:
Academic Press.

Holman, J.P. (1981). Heat Transfer. Singapore: McGraw Hill Book Company.

Huboyo, H. S., Budisulistiorini, S. H., & Hidayat, A. Analisis Emisi Karbon


Monoksida (CO) dan Distribusi Aliran Gas Pembakaran pada Udara
dalam Ruang Dapur Rumah Tangga Menggunakan Model Computational
Fluid Dynamics (CFD). Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas
Teknik UNDIP, Semarang.

International Institute for Sustainable Development (IISD). Panduan Masyarakat


tentang Subsidi Energi di Indonesia.

Jr Goldstein, L., Fassani, F. L., & Santos, A. A. B. (2002). Experimental Study of


Secondary Air Diffusion Effects on Soot Concentration Along A Partially
Premixed Acetylene/Air Flame. Elsevier Science Ltd.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. Background Paper


Analisis Kebijakan Persaingan dalam Industri LPG Indonesia.

Kong, G.T. Peran Biomassa bagi Energi Terbarukan. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. 2010.

Lepeleire, G. De, et al. (1981). A Woodstove Compendium. The Netherlands:


Eindhoven University of Technology.

Lu, Gang, et al. (2008). Impact of Co-firing Coal and Biomass on Flame
Characteristics and Stability. Fuel 87: 1133-1140.

Lubwama, Michael. (2010). Technical Assessment of The Functional and


Operational Performance of A Fixed Bed Biomass Gasifier Using
Agricultural Residue. Master of Science Thesis Energy Technology, KTH
School of Industrial Engineering and Management Division of Heat and
Power Technology, Stockholm.

Makino, A. (1992). Drag coefficient of a slowly moving carbon particle


undergoing combustion. Combustion Science and Technology. Vol. 81.
pp. 169-192.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


100

Martono, R.W.A. Bahan Bakar Nabati: What, and Whose, Costs?


http://www.kamase.org. 25 Februari 2011. 19:15 WIB.

Napitupulu, F. H. Pengaruh Nilai Kalor (Heating Value) Suatu Bahan Bakar


terhadap Perencanaan Volume Ruang Bakar Ketel Uap Berdasarkan
Metode Penentuan Nilai Kalor Bahan Bakar yang Dipergunakan. Jurnal
Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 1, Departemen Teknik Mesin FT
USU.

Ndiema, C. K. W., Mpendazoe, F. M., & Williams, A. (1998). Emission of


pollutants from a biomass stove. Energy Conversion and Management
39(13): 1357-1367.

Panwar, N. L., & Rathore, N. S. (2008). Design and Performance Evaluation of a


5 kW Producer Gas Stove. Biomass and Bioenergy 32:1349–1352.

Panwar, N.L. (2010). Performance Evaluation of Developed Domestic Cook


Stove. Waste Biomass Valor 1:309–314.

PelHeat. Biomass Pellet Production Guide. http://www.pelheat.com. 9 Juni 2012.


21:15 WIB.

Purwanto, W.W., et al. (2010). The Identification of Biomass Resources


Characteristics and Bio-pellet Potency in Indonesia. The 1st International
Seminar on Fundamental & Application Chemical Engineering, ISFAChE
2010, September 3-4, 2010, Bali.

Reed, T.B. (1981). Biomass Gasification: Principles and Technology. U.S.A:


Park Ridge, New Jersey.

Reed, T.B. (2002). Flaming Pyrolysis Defined. http://www.repp.org. 19 Juni


2011. 15:00 WIB.

Reed, T.B., et al. (2000). Testing and Modeling The Wood-Gas Turbo Stove,
Presented at the Progresss in Thermochemical Biomass Conversion
Conference, Sept. 17-22, 2000, Tyrol, Austria.

Reed, T.B., & Desrosiers, R. The Equivalence Ratio: The Key To Understanding
Pyrolysis, Combustion And Gasification of Fuels.
http://www.woodgas.com. 19 Juni 2011. 15:30 WIB.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


101

Rizqiardihatno, R.F. Perancangan Kompor Biomassa Berefisiensi Tinggi dan


Ramah Lingkungan dengan Prinsip Heat Recovery untuk Masyarakat
Urban. Skripsi, Program Sarjana Fakultas Teknik UI. Depok. 2008.

Roth, Christa. (2011). Micro-gasification: Cooking With Gas From Biomass (1st
ed.). GIZ HERA – Poverty-oriented Basic Energy Service.

Singh, et al. (2009). Biobriquettes-an Alternative Fuel for Sustainable


Development.

Smith, K.R., et al. (2000a). Greenhouse implications of household stoves: an


analysis for India. Annu Rev Energy Environ 25:741–763.

Sugiyanto, A. Studi Awal Pola Aliran dalam Chimney sebagai Dasar Usaha
Mengurangi Emisi CO pada Kompor Briket Batubara. Skripsi, Program
Sarjana Fakultas Teknik UI. Depok. 2010.

Suhartini, Sri. (2010). Uji Coba Rekayasa Kompor Berbahan Bakar Biji Jarak.
http://digilib.its.ac.id. 17 Juni 2011. 14:00 WIB.

Supramono, D., et al. (2009). Designing Biomass Pellet Stove of High Efficiency
and Environmental Friendly Using Heat Recovery Principle. International
Seminar on Sustainable Biomass Production and Utilization: Challenges
and Opportunities.

Surjadi, Eko. (2012). Kaji Eksperimental Performa Tungku Gasifikasi Biomassa


Tipe Top Lit Up-Draft pada Berbagai Kombinasi Ukuran Biomassa dan
Kecepatan Udara Primer Awal. Teknik Mesin, Fakultas Teknologi
Industri Universitas Surakarta.

Tanto, M. Ers H. Y.. Pengaruh Penggunaan Briket Bio-Batubara Subbituminous,


Briket Biomassa dan Pellet Biomassa sebagai Promotor terhadap Waktu
Nyala pada Kompor Briket Batubara. Skripsi, Program Sarjana Fakultas
Teknik UI. Depok. 2011.

Turns, S.R. (1996). An Introduction to Combustion: Concepts and Applications.


The United States of America: McGraw-Hill, Inc.

W. Agung, Wusana, et al. (2010). Perancangan dan Uji Kinerja Reaktor


Gasifikasi Sekam Padi Skala Kecil. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
UNS.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


102

Yang, H., et al. (2007). Characteristics of hemicellulose, cellulose and lignin


pyrolysis. Fuel 86(12-13): 1781-1788.

Yang, Y. B., Sharifi V. N., & Swithenbank, J. (2004). Effect of air flow rate and
fuel moisture on the burning behaviours of biomass and simulated
municipal solid wastes in packed beds. Fuel 83(11-12): 1553-1562.

ZREU (Zentrum fur Rationell Energieanwendung and Umwelt GmbH), (2000).


Biomass in Indonesia-Business.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


103

LAMPIRAN

LAMPIRAN A. 1 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Secara Umum

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


104

Lanjutan

LAMPIRAN A. 2 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Tampak Depan, Samping, dan Atas

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


105

Lanjutan

LAMPIRAN A. 3 Rancangan Kompor Gas-Biomassa Secara Detail

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


106

Lanjutan

LAMPIRAN B. 1 Data Emisi Gas CO

Tabel B1. Data emisi gas CO

Emisi
CO Emisi CO (ppm)
Waktu Waktu
(ppm)
(detik ke-) (detik ke-)
Running Running Running Running
1 2 3 4
0 16 0 75 11 3
300 10 120 46 26 18
600 23 240 14 5 16
360 26 6 19
480 36 9 23
600 25 4 22
720 28 12 79
840 12 10 26
960 15 24 14
1080 5 57 15
1200 7 42
1320 26 19
1440 30 24
1560 44 16
1680 48 93
1800 52 34
1920 56 12
2040 60 9
2160 12
2280
2400

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


107

LAMPIRAN B. 2 Data Suhu Api

Tabel B2. Data suhu api

Waktu Suhu Api (oC)


(detik ke-) Running 1 Running 2 Running 3 Running 4
0 13,098 48,948 234,177 136,679
10 12,894 448,224 235,164 138,397
20 12,872 544,437 237,497 141,746
30 12,852 524,24 265,647 144,241
40 26,691 450,158 296,935 150,81
50 13,31 465,598 313,143 149,025
60 26,347 475,552 293,209 152,759
70 27,342 475,075 289,939 153,329
80 130,971 468,863 294,214 160,778
90 175,145 457,482 300,867 157,901
100 191,4 459,999 323,404 160,018
110 199,312 475,675 353,977 165,566
120 204,048 491,827 358,603 163,513
130 240,616 498,361 385,668 169
140 400,783 501,337 387,863 166,673
150 438,036 499,541 372,635 168,158
160 383,483 503,117 374,377 172,457
170 428,687 506,441 373,244 171,38
180 489,806 509,924 382,893 172,786
190 387,101 512,308 377,613 176,411
200 284,758 509,89 370,687 175,523
210 257,864 505,653 363,031 178,904
220 251,004 500,67 367,377 177,761
230 241,552 500,514 346,121 178,879
240 265,25 501,781 369,95 180,061
250 261,912 504,325 345,762 181,288
260 250,836 506,65 351,076 182,551
270 253,53 505,259 350,879 189,262
280 247,626 490,674 315,684 184,682
290 238,211 493,448 347,583 189,891
300 247,875 494,618 340,011 190,133
310 250,592 493,123 332,957 188,278
320 264,658 496,907 330,589 193,457
330 258,732 501,466 330,768 189,935
340 237,676 485,366 323,84 191,6

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


108

Lanjutan

Waktu Suhu Api (oC)


(detik ke-) Running 1 Running 2 Running 3 Running 4
350 223,151 473,982 322,598 199,322
360 216,172 467,769 329,468 190,83
370 219,351 466,206 316,685 194,851
380 222,791 466,381 307,703 193,707
390 221,899 465,262 310,117 194,761
400 222,954 465,921 308,313 196,4
410 224,067 465,216 321,111 197,206
420 225,023 465,713 288,693 203,355
430 225,312 426,262 311,628 199,687
440 225,958 456,95 313,1 200,33
450 226,78 418,553 321,737 202,656
460 228,139 445,317 349,648 203,605
470 230,869 441,496 321,544 204,955
480 234,066 445,184 332,105 209,67
490 236,287 473,919 363,063 211,619
500 237,081 499,751 359,097 206,299
510 236,4 524,806 357,986 205,895
520 236,237 489,572 356,711 209,415
530 235,791 430,095 365,665 210,991
540 236,56 406,726 372,666 208,433
550 237,345 395,836 362,613 209,393
560 237,822 391,893 366,249 212,208
570 237,713 390,052 378,016 210,668
580 239,007 387,345 363,761 212,181
590 239,529 380,943 381,845 214,419
600 240,508 397,329 359,166 213,748
610 241,177 386,62 357,623 214,888
620 241,692 391,677 355,061 214,598
630 241,999 401,433 362,551 215,241
640 237,572 394,335 356,472 216,06
650 233,288 403,873 362,312 216,417
660 231,796 401,651 388,596 219,019
670 237,183 407,085 370,688 221,41
680 231,963 414,338 356,168 222,332
690 233,649 420,539 360,743 222,921
700 235,427 439,276 361,758 223,242
710 231,371 445,758 362,745 227,408
720 223,853 411,512 363,212 221,398

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


109

Lanjutan

Waktu Suhu Api (oC)


(detik ke-) Running 1 Running 2 Running 3 Running 4
730 233,526 448,797 368,13 221,464
740 241,668 412,72 367,359 223,119
750 225,089 419,026 378,28 224,159
760 225,152 412,784 388,037 224,801
770 224,73 392,053 383,972 225,38
780 239,295 384,857 371,424 225,676
790 246,07 394,155 383,42 227,517
800 245,222 398,114 394,709 226,536
810 244,934 406,638 402,14 227,057
820 239,058 413,641 391,879 227,69
830 243,657 410,701 395,755 226,732
840 241,946 422,386 393,602 230,805
850 244,974 435,082 406,007 229,128
860 245,81 436,855 428,131 230,951
870 245,02 440,82 425,851 227,4
880 245,463 434,298 405,495 228,316
890 216,973 435,158 404,204 235,72
900 243,403 438,182 415,008 229,316
910 245,428 436,922 399,443 229,381
920 219,927 437,457 392,32 230,263
930 220,154 437,023 383,494 231,403
940 234,343 433,584 375,497 232,471
950 218,899 431,192 375,796 229,527
960 228,992 429,542 380,833 230,21
970 217,556 426,954 378,466 231,039
980 217,103 428,354 385,028 235,216
990 216,823 428,054 380,172 234,971
1000 214,286 424,816 378,205 235,291
1010 210,504 424,827 315,409 238,354
1020 212,896 424,223 378,547 235,588
1030 209,615 429,211 372,856 236,629
1040 208,835 430,488 373,984 237,996
1050 207,154 436,118 387,875 238,153
1060 206,521 430,685 396,544 237,712
1070 203,294 429,192 390,386 231,868
1080 201,905 429,359 419,044 235,312
1090 219,52 451,35 392,199 236,819
1100 218,773 434,033 400,215 234,62

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


110

Lanjutan

Waktu Suhu Api (oC)


(detik ke-) Running 1 Running 2 Running 3 Running 4
1110 204,004 433,929 308,081 234,902
1120 195,916 458,367 276,865 235,029
1130 214,763 463,136 352,918 235,599
1140 197,421 462,214 322,283 235,882
1150 212,295 460,81 318,761 238,535
1160 211,375 450,394 314,54 237,906
1170 210,589 451,546 320,059 236,877
1180 209,565 444,861 330,199 236,881
1190 208,662 427,449 327,578 237,328
1200 427,484 319,622 237,941
1210 449,275 335,883 237,28
1220 463,663 293,389 236,986
1230 466,386 330,321 245,524
1240 427,483 331,587 238,168
1250 427,435 326,4 238,469
1260 427,124 346,166 239,351
1270 446,523 360,971 238,739
1280 458,977 332,494 239,026
1290 451,355 333,886 239,572
1300 452,904 336,552 239,437
1310 451,593 333,462 239,715
1320 460,536 336,226 242,568
1330 463,078 294,498 243,007
1340 451,722 353,246 246,15
1350 455,096 336,595 243,26
1360 435,723 344,781 242,966
1370 417,619 341,395 243,428
1380 456,858 333,92 243,596
1390 442,272 328,13 243,928
1400 424,228 315,3 235,588
1410 417,969 308,916 238,356
1420 412,222 299,357 244,671
1430 411,8 291,863 244,245
1440 449,393 295,979 244,54
1450 447,476 290,459 244,507
1460 427,945 286,056 244,456
1470 409,42 282,107 244,516
1480 449,398 278,268 244,44

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


111

Lanjutan

Waktu Suhu Api (oC)


(detik ke-) Running 1 Running 2 Running 3 Running 4
1490 411,274 272,769 245,76
1500 408,362 265,164 245,126
1510 412,255 261,31 245,293
1520 430,518 260,563 248,142
1530 419,091 259,744 245,652
1540 405,707 254,666 245,775
1550 389,401 252,824 245,565
1560 380,842 252,86 246,732
1570 385,766 246,671 246,368
1580 386,583 245,394
1590 359,112 243,889
1600 354,92 244,334
1610 370,31 243,324
1620 406,278 244,543
1630 372,017 243,07
1640 309,259 243,172
1650 299,128 243,024
1660 289,361 245,826
1670 274,998 244,108
1680 263,398 245,666
1690 287,526 245,814
1700 253,82 244,49
1710 249,86 244,541
1720 244,882 242,524
1730 239,46 243,463
1740 226,946 243,218
1750 217,848 242,869
1760 242,659
1770 242,621
1780 242,527
1790 241,25
1800 242,341
1810 240,976
1820 240,791
1830 242,052
1840 239,974
1850 237,491
1860 237,566

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


112

Lanjutan

Waktu Suhu Api (oC)


(detik ke-) Running 1 Running 2 Running 3 Running 4
1870 237,126
1880 236,877
1890 236,531
1900 236,575
1910 236,466
1920 237,118
1930 235,788
1940 235,567
1950 236,757
1960 235,856
1970 236,817
1980 233,765
1990 233,367
2000 233,308
2010 227,961
2020 232,706
2030 232,789
2040 231,7
2050 238,293
2060 234,095
2070 232,707
2080 230,798
2090 231,039
2100 230,238
2110 230,181
2120 229,899
2130 229,76
2140 230,681
2150 227,872
2160 221,658
2170 222,864
2180 218,159
2190
2200
2210
2220
2230
2240

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


113

Lanjutan

Waktu Suhu Api (oC)


(detik ke-) Running 1 Running 2 Running 3 Running 4
2250
2260
2270
2280
2290
2300
2310
2320
2330
2340
2350
2360
2370
2380
2390
2400
2410
2420
2430
2440
2450
2460
2470
2480
2490
2500
2510
2520
2530
2540
2550
2560
2570
2580
2590
2600

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


114

Lanjutan
LAMPIRAN B. 3 Data Suhu Air

Tabel B3. Data suhu air

Suhu Air(oC) Waktu Suhu Air (oC)


Waktu
Running Running Running (detik Running Running
(detik ke-)
1 2 3 ke-) 4 5
0 25,027 27,412 42,738 0 34 24
10 25,885 27,654 42,591 120 54 52
20 27,217 12,22 45,862 240 57 75
30 27,286 13,624 41,717 360 62 102
40 27,234 19,486 44,587 480 65 119
50 27,327 35,843 48,738 600 66 122
60 27,214 41,076 46,839 720 71 124
70 27,208 42,08 51,755 840 74 128
80 27,298 41,08 53,486 960 73 126
90 27,2 45,106 56,658 1080 80 125
100 28,96 45,409 54,575 1200 77 131
110 29,866 52,97 57,85 1320 79 129
120 16,801 52,346 57,254 1440 79 129
130 33,923 60,033 63,966 1560 79 130
140 34,278 54,927 60,851 1680 80 141
150 20,169 59,209 66,258 1800 81 138
160 22,755 62,831 67,774 1920 80 138
170 25,55 64,038 68,118 2040 79 133
180 31,588 65,646 70,112 2160 77 112
190 26,609 68,159 75,666 2280 76
200 30,544 69,187 72,084 2400 77
210 30,892 72,853 70,177 81
220 37,889 76,654 75,869
230 51,071 75,747 76,03
240 41,93 75,876 71,47
250 47,249 79,207 80,292
260 41,433 82,996 81,468
270 62,872 82,505 81,923
280 48,417 83,879 82,222
290 54,221 87,875 83,635
300 55,161 87,214 84,584
310 56,651 90,573 84,664
320 73,02 92,858 85,417
330 75,095 94,186 85,831
340 70,119 95,569 83,806
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


115

Lanjutan

Suhu Air(oC) Waktu Suhu Air (oC)


Waktu
Running Running Running (detik Running Running
(detik ke-)
1 2 3 ke-) 4 5
350 71,07 99,2 85,611
360 73,213 99,562 83,627
370 83,044 101,695 83,03
380 85,397 101,475 82,675
390 87,044 101,886 101,051
400 88,631 101,771 99,054
410 90,738 101,78 88,049
420 92,224 101,207 83,235
430 94,075 87,025 81,451
440 95,9 101,415 81,116
450 97,421 81,157 92,741
460 98,729 101,027 101,677
470 99,574 100,922 88,813
480 99,729 101,031 81,521
490 99,695 79,468 101,185
500 99,664 89,083 101,204
510 99,67 101,81 84,239
520 99,93 100,224 84,179
530 99,751 99,793 86,774
540 99,751 98,824 89,868
550 99,825 98,775 83,902
560 100,037 99,366 83,742
570 99,923 94,321 84,091
580 99,983 99,298 83,573
590 99,926 88,265 88,541
600 100,002 95,383 83,911
610 99,982 88,182 81,117
620 84,453 96,582 82,759
630 100,125 94,819 90,5
640 96,755 85,657 80,241
650 98,426 90,951 94,74
660 97,899 89,451 85,074
670 93,334 88,748 101,548
680 95,027 88,041 81,42
690 91,68 89,055 100,269
700 84,167 98,404 98,648
710 82,832 98,724 94,045

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


116

Lanjutan

Suhu Air(oC) Waktu Suhu Air (oC)


Waktu
Running Running Running (detik Running Running
(detik ke-)
1 2 3 ke-) 4 5
720 82,555 77,904 98,118
730 89,344 99,05 83,844
740 96,614 77,723 87,295
750 82,498 78,614 83,106
760 84,223 78,333 84,951
770 82,495 78,348 86,16
780 96,403 78,432 82,026
790 99,839 78,518 84,844
800 93,55 78,35 84,385
810 96,58 95,083 81,422
820 93,972 78,162 81,058
830 97,774 78,124 88,102
840 99,493 77,859 81,267
850 99,872 80,743 80,99
860 96,433 78,148 80,893
870 99,977 80,058 93,602
880 98,427 78,072 80,692
890 74,103 77,848 82,703
900 98,89 78,61 80,95
910 99,8 78,133 83,33
920 79,524 78,172 86,036
930 79,617 78,094 85,607
940 79,804 77,904 84,263
950 79,827 78,199 98,283
960 99,45 78,607 89,901
970 79,429 78,9 88,281
980 79,501 78,777 85,334
990 79,839 78,553 85,274
1000 79,628 78,689 81,883
1010 79,351 77,756 84,971
1020 80,926 79,304 78,833
1030 80,456 78,121 80,959
1040 80,502 77,756 101,522
1050 80,64 81,074 97,723
1060 85,188 78,16 97,587
1070 80,854 77,558 81,317
1080 80,466 77,902 81,295

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


117

Lanjutan

Suhu Air(oC) Waktu Suhu Air (oC)


Waktu
Running Running Running (detik Running Running
(detik ke-)
1 2 3 ke-) 4 5
1090 97,729 78,546 101,88
1100 97,694 79,97 86,161
1110 86,945 80,292 100,885
1120 78,636 96,597 101,359
1130 97,235 80,962 81,001
1140 84,18 97,542 81,278
1150 90,779 97,684 81,206
1160 89,475 94,335 81,896
1170 95,08 95,968 80,941
1180 94,842 89,434 84,184
1190 94,501 77,582 89,487
1200 78,705 88,655
1210 89,356 82,883
1220 91,619 89,994
1230 97,194 81,935
1240 76,073 81,959
1250 77,11 82,883
1260 90,843 82,313
1270 87,037 81,146
1280 94,476 80,723
1290 86,505 81,02
1300 93,364 90,368
1310 90,764 81,182
1320 97,024 97,119
1330 97,325 81,137
1340 92,62 86,463
1350 94,1 81,192
1360 82,123 87,362
1370 97,301 89,341
1380 79,866 86,918
1390 76,188 86,764
1400 91,306 87,177
1410 92,954 86,993
1420 76,437 86,782
1430 74,685 86,157
1440 93,236 85,765
1450 97,498 86,759

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


118

Lanjutan

Suhu Air(oC) Waktu Suhu Air (oC)


Waktu
Running Running Running (detik Running Running
(detik ke-)
1 2 3 ke-) 4 5
1460 84,075 85,992
1470 75,455 86,497
1480 97,635 85,793
1490 75,914 85,142
1500 74,818 84,25
1510 76,985 84,19
1520 91,759 84,163
1530 97,682 84,277
1540 97,046 84,03
1550 76,407 82,799
1560 76,428 82,58
1570 91,053 83,091
1580 83,421
1590 75,677
1600 83,813
1610 75,211
1620 76,323
1630 92,952
1640 72,59
1650 76,157
1660 80,008
1670 78,879
1680 76,776
1690 82,795
1700 76,569
1710 80,314
1720 76,764
1730 77,785
1740 76,169
1750 75,591

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


119

Lanjutan

LAMPIRAN B. 4 Data Persentase Massa Char dan Abu

Tabel B4. Data persentase massa char dan abu

Uji Massa char+abu


Massa wadah (mg) Massa wadah+char+abu (mg)
ke- mg kg
1 66.349,2 98.837,5 32.488,3 0,032
2 66.349,2 106.627,3 40.278,1 0,040
3 66.349,2 103.302,9 36.953,7 0,037
4 66.349,2 150.878,1 84.528,9 0,084

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


120

LAMPIRAN C. 1 Data Konversi Satuan Laju alir Udara Primer dan Sekunder

Adapun data laju alir udara primer dan sekunder yang diperoleh dari hasil
pengukuran menggunakan anemometer adalah dalam satuan m/s. Laju alir kedua
udara tersebut diukur dalam keadaan dingin atau dalam kondisi ambien. Oleh
karena itu, laju alir udara diukur pada saluran penarikan udara dari masing-masing
blower. Untuk mengkonversi laju alir kedua udara tersebut ke satuan m3/s, maka
laju alir udara yang terukur harus dikali dengan luas penampang saluran masing-
masing blower tersebut. Adapun penampang saluran berbentuk lingkaran, dimana
untuk udara primer, penampang berdiameter 11 cm atau 0,11 m, sedangkan untuk
udara sekunder, penampang berdiameter 13 cm atau 0,13 m. Maka, luas
penampang masing-masing blower tersebut dapat dihitung sebagai berikut:
a. Udara primer
( ) 3,14 × (0,11 )
= = = 0,0095
4 4
b. Udara sekunder
( ) 3,14 × (0,13 )
= = = 0,0133
4 4
Dengan demikian, hasil perkalian laju alir udara terukur dan luas penampang di
atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel C1. Data konversi satuan udara primer dan sekunder

Laju alir Laju alir udara Laju alir


Uji Laju alir udara
udara primer sekunder udara primer
ke- 3 sekunder (m3/s)
terukur (m/s) terukur (m/s) (m /s)
1 0,04 0,42 0,00038 0,00557
2 0,03 0,13 0,00028 0,00172
3 0,02 0,16 0,00019 0,00212
4 0,03 0,86 0,00028 0,01141
5 0,01 0,16 0,00010 0,00212

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


121

LAMPIRAN D. 1 Hasil Uji Karakterisasi Bahan Bakar Biomassa oleh BPPT

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


122

LAMPIRAN E. 1 Perhitungan Udara Stoikiometrik

1. Penentuan Komposisi Biomassa


Seperti telah dijelaskan sebelumnya, biomassa terdiri dari biopolimer,
yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, dimana pada kompor gas-biomassa
yang dirancang dalam penelitian ini ketiga komponen biopolimer dari
biomassa tersebut akan terdekomposisi pada suhu tertentu secara pirolisis.
Oleh karena itu, untuk menentukan komposisi biomassa, hal pertama yang
harus dilakukan adalah menentukan rumus kimia kandungan ketiga komponen
biopolimer tersebut. Berikut ini diuraikan penentuan rumus kimia untuk
masing-masing komponen tersebut:
a. Selulosa: (C6H10O5)a

b. Hemiselulosa: (C5H8O4)b

c. Lignin: (C9H10O3(CH3O)0.9-1.7)c  0.9 – 1.7 diambil nilai 1

Basis nilai untuk a, b, dan c di atas digunakan nilai 100, dengan variasi nilai
tersebut menurut referensi1 antara 60-1000.
Maka, rumus kimia disederhanakan menjadi CxHyOz sehingga untuk
biomassa dari limbah bagas didapatkan nilai x = 594, y = 900, dan z = 395
atau dengan kata lain rumus kimia bagas adalah C594H900O395 dengan Mr =
14.361,1 g/mol. Sedangkan, untuk biomassa dari limbah kayu karet
didapatkan nilai x = 649, y = 989, dan z = 438 atau dengan kata lain rumus
kimia bagas adalah C649H989O438 dengan Mr = 15.799,4 g/mol. Adapun nilai
x, y, dan z yang merupakan subskrip pada rumus kimia biomassa untuk C, H,
dan O diperoleh dengan mengalihkan setiap angka subskrip rumus empiris
komponen biomassa dengan persentasi kandungan komponen tersebut dalam
biomassa. Setelah dikalikan, kemudian angka subskrip untuk C, H, dan O bagi
masing-masing komponen (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dijumlahkan,
dimana angka subskrip untuk C dalam selulosa dijumlahkan dengan angka
subskrip untuk C dalam hemiselulosa dan lignin, dan begitu juga seterusnya
untuk H dan O.

1
en.wikipedia.com/biomass
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


123

Lanjutan

2. Persamaan Reaksi Pembakaran


Prinsip dari kompor gas-biomassa yang dirancang adalah gasifikasi,
dimana udara yang digunakan terbatas untuk menghasilkan gas-gas dari
pembakaran tidak sempurna, yang kemudian dikonversi kembali menjadi
emisi gas yang lebih bersih dengan pembakaran sempurna. Meskipun begitu,
untuk perhitungan udara stoikiometri (udara yang diperlukan untuk mencapai
pembakaran sempurna), reaksi pembakaran diasumsikan sebagai berikut:
aCxHyOz + bO2 + cN2  dCO2 + eH2O + fO2 + gN2

a. Seluruh biomassa terbakar sempurna sebab udara yang diperlukan


pada pembakaran sempurna (tanpa produk gas CO dan H2) merupakan
udara yang maksimum. Jadi, jika terjadi pembakaran tidak sempurna,
maka udara aktual yang dibutuhkan kurang dari udara maksimum
tersebut dan rasio ekuivalen lebih kecil daripada 1.
b. Komposisi udara ialah Oksigen 21% dan Nitrogen 79%.
c. Ekses udara adalah 25% (diambil dari literatur, dimana pada literatur
disebutkan 25%-30%)
.

Fuel Type of furnace or burner % excess air

Mazout Large boilers (power plant) 15 – 20

Typical industrial boilers 20 – 30


Solar Heating equipment 10 – 15
Industrial boilers 10 – 15
Natural
Register burners 5 – 10
gas
Dual-fuel burners 7 – 12
Bagasse All types 25 – 30

Dengan demikian, koefisien reaksi pembakaran untuk komponen dari masing-


masing biomassa:

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


124

Lanjutan

 Bagas
1C594H900O395 + 776,88O2 + 2.922,53N2  594CO2 + 450H2O +
310,75O2 + 2.922,53N2
 Kayu Karet
1C653H996O443 + 846,56O2 + 3.184,69N2  649CO2 + 494,5H2O +
338,63O2 + 3.184,69N2
Kemudian, dengan basis penggunaan bahan bakar sebesar 1,4 kg atau 1400 g
selama 1 jam, maka
1400
( )= = = 0,098
14.361,1 ⁄
Secara stoikiometrik, maka kesetimbangan mol dan massa yang dihasilkan
untuk bagas:

Massa molekul relatif / Mr Jumlah mol / n Massa / m


Molekul
(g/mol) (mol) (g)
O2 32 75,734 2.423,484
N2 28 284,904 7.977,303
CO2 44,01 57,906 2.548,455
H2O 18,02 43,868 790,333
O2 tersisa 32 30,294 969,394

Sedangkan, maka kesetimbangan mol dan massa yang dihasilkan untuk kayu
karet:
Massa molekul relatif / Mr Jumlah mol / n Massa / m
Molekul
(g/mol) (mol) (g)
O2 32 75,015 2.400,471
N2 28 282,198 7.901,549
CO2 44,01 57,508 2.530,949
H2O 18,02 43,818 789,427
O2 tersisa 32 30,006 960,188

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


125

Lanjutan

3. Penentuan Udara Stoikiometrik


Adapun udara stoikiometrik dihitung berdasarkan rasio antara massa
total udara yang diperlukan untuk pembakaran sempurna dan massa bahan
bakar yang digunakan sesuai dengan basis yang digunakan. Dengan demikian,
( ) ( , , )
S = = =
,

7,429 ⁄
( ) ( , , )
S = = =
,

7,359 ⁄
sehingga SA rata-rata yang diperlukan sebesar 7,394 kg udara/kg biomassa.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


126

Lanjutan
LAMPIRAN E. 2 Perhitungan Efisiensi Termal Kompor Gas-Biomassa

Adapun perhitungan efisiensi termal kompor diukur dengan menggunakan


persamaaan 2.19, yang merupakan persamaan umum yang biasa digunakan pada
metode Water Boiling Test (WBT). Akan tetapi, untuk kompor gas-biomassa yang
hanya memanfaatkan volatile matter dari biomassa sebagai bahan bakarnya, maka
persamaan 2.19 tersebut dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

× ( ) ×( − )+ × ( ) ×( − )+ ×
=
× ×% ×

dengan M massa awal air, cp1 kalor jenis air, M1 massa bejana, cp2 kalor jenis
bejana, M2 massa air terevaporasi (yakni, selisih massa air awal dengan massa air
tersisa), HL kalor laten penguapan, Tb suhu panci yang diasumsikan sama dengan
suhu air maksimum, Ta suhu lingkungan yang diasumsikan sama dengan suhu
awal air, HC nilai kalori pembakaran dari volatile matter atau gas pirolisis dalam
satuan kJ/Nm3, ρgas densitas volatile matter atau gas pirolisis dalam satuan
kg/Nm3, dan W massa bahan bakar per jam.
Adapun variabel-variabel yang bersifat umum, datanya diperoleh
berdasarkan literatur yang digunakan (Akudo, 2008, Lubwama, 2010,
Rizqiardihatno, 2009). Berikut ini data-data yang diperoleh dari literatur tersebut:

M (massa awal air) 1 kg


Cp (air) 4,186 kJ/kg.K
M1 (massa air menguap) 0,18 kg
Cp (panci) 0,902 kJ/kg.K
HL (kalor laten air) 2260 kJ/kg
HC volatile matter 3300 kJ/Nm3
W (massa bahan bakar) 1,4 kg
%volatile matter 0,7316
Densitas volatile matter 1 kg/m3

Selain data-data di atas, data densitas gas pirolisis untuk bagas tidak berhasil
diperoleh sehingga data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan, dimana

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


127

Lanjutan

pada literatur (Akudo, 2008), terdapat data 1/densitas untuk biomassa dari
woodchips. Oleh karena itu, untuk mendapatkan 1/densitas untuk bagas, dilakukan
ekstrapolasi dengan menggunakan data tersebut. Berikut ini ekstrapolasi yang
dilakukan:

Massa biomass yang Total volum syngas


Uji ke- dikonsumsi (kg) (Nm3)
1 6,5 7,65
2 9,75 10,2
3 9,75 10,84
4 9,75 9,56
5 6,5 7,01
6 6,5 7,27

Kemudian, data tersebut diplot menjadi grafik total volum syngas terhadap massa
bahan bakar yang dikonsumsi sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

Volum Syngas terhadap Massa Biomassa


12
y = 0,889x + 1,53
10
Volum Syngas (Nm3)

R² = 0,924
8
Volum Syngas terhadap
6 Massa Bahan Bakar
4
Linear (Volum Syngas
2 terhadap Massa Bahan
0 Bakar)
0 5 10 15
Massa Bahan Bakar (kg)

Setelah mendapatkan persamaan di atas, maka dengan memasukkan massa bahan


bakar bagas yang digunakan sebesar 1,4 kg sehingga diperoleh volum syngas
sebesar 2,77 Nm3. Kemudian, volum syngas dibagi dengan massa bahan bakar
sehingga diperoleh 1/densitas sebesar 1,98 Nm3/kg.
Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012


128

Lanjutan

Sedangkan, data-data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan


dan telah diolah antara lain:

Massa Massa air Suhu Suhu Suhu Suhu


Uji
air sisa, menguap panci panci lingkungan lingkungan
ke-
kg (M2), kg (Tb), oC (Tb), K (Ta), oC (Ta), K
1 0,45 0,55 100,13 373,13 25,03 298,03
2 0,22 0,78 101,89 374,89 27,41 300,41
3 0,5 0,5 101,88 374,88 42,74 315,74
4 0,6 0,4 81 354 34 307
5 0,12 0,88 141 414 24 297

Pada akhirnya, dengan memasukkan data-data tersebut ke dalam


persamaan, maka diperoleh efisiensi termal sebesar 41% untuk uji performa ke-1,
49% untuk uji performa ke-2, 39% untuk uji performa ke-3, 55% untuk uji
performa ke-4.

Universitas Indonesia

Perancangan dan..., Resiana Winata, FT UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai