Anda di halaman 1dari 63

REFERAT

RJPO dan AIRWAY MANAGEMENT

PEMBIMBING :

Mayor Laut (K) dr. I Wayan S, Sp.An

DISUSUN OLEH :

Vania Kwanda 2017.04.200.348

Vina Lidya S 2017.04.200.349

Vita Sarlita 2017.04.200.350

Vivi Arviandini 2017.04.200.351

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

RJPO dan AIRWAY MANAGEMENT

Judul referat “RJPO dan AIRWAY MANAGEMENT” telah diperiksa dan


disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Anesthesi RSAL dr Ramelan
Surabaya.

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

Mayor Laut (K) dr. I Wayan S, Sp.An

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................1

DAFTAR ISI..........................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................5

BAB 2 RJPO dan AIRWAY MANAGEMENT...........................................................................8

2.1 Basic Life Support...............................................................................................8

2.2 Definisi Resusitasi Jantung Paru..........................................................................8

2.3 Indikasi Resusitasi Jantung Paru........................................................................10

2.4 Kontraindikasi Resusitasi Jantung Paru.............................................................14

2.5 Resusitasi Jantung Paru.....................................................................................20

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015.....................................................27

2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi Jantung Paru...................................................29

2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi Jantung Paru..........................29

2.9 Komplikasi Resusitasi Jantung Paru...................................................................29

2.10 Airway Management.........................................................................................30

2.11 Pengertian Airway Management......................................................................32

2.12 Anatomi Jalan Nafas.........................................................................................34

2.13 Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas................................................................35

2.14 Pengkajian Jalan Nafas......................................................................................37

2.15 Teknik Mengeluarkan Benda Asing...................................................................39

2.16 Pengelolaan Jalan Nafas....................................................................................41

2.17 Algoritma Airway Management........................................................................43

2.18 Algoritma Difficult Airway Management...........................................................46

BAB 3 Kesimpulan..............................................................................................................0

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................3

3
BAB 1
PENDAHULUAN

Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi


di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi
jantung paru otak (RJPO) atau cardiopulmonary cerebral resuscitation
(CPCR). Menurut American Heart Association tindakan resusitasi jantung
paru mempunyai hubungan erat dengan rantai kehidupan (chain of
survival), karena bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan
dilakukannya RJPO maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar
untuk dapat hidup kembali.
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti, sirkulasi darah dan
transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ
tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang
berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Meskipun
pendekatan yang optimal untuk CPR dapat bervariasi, tergantung pada
penyelamat, korban, dan sumber daya yang tersedia, tantangan
mendasar adalah bagaimana melakukan RJP secara dini dan efektif.
Mengingat tantangan ini, mengetahui adanya arrest dan tindakan cepat
oleh penyelamat terus menjadi prioritas dari 2015AHA Guidelines for CPR
and ECC.
Basic life support bukan merupakan suatu tindakan tunggal
melainkan terdiri dari evaluasi dan intervensi. Evaluasi cardiac arrest,
pernapasan, dan resusitasi jantung paru. Pada konsensus AHA 2005
membahas mengenai semua aspek deteksi dan penanganan cardiac
arrest. Konsensus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar dengan prinsip
ABC (airway, breathing, and circulation), namun kembali dilakukan
konsensus pada tahun 2010, dan terjadi perubahan prinsip menjadi CAB
(circulation, airway and breathing). Tahun 2015 pun dilakukan konsensus
yang merupakan consensus terbaru mengenai resusitasi jantung paru.
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan.
Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien
tersebut mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau

4
kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang
cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan
ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain.
Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam
kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila
terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak
permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian.
Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan
menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan
kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang
buruk bagi pasien tersebut. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa
kelalaian dalam memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari
27 pasien yang sedang dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest).
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk
yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan
studi tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung
sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan
mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan
jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus
(18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang
didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak.
Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah
sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal. Menurut
Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari
tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas,
pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus.
Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan
napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan
beberapa langkah.
Berikut adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1)
anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan

5
penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik
(seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan
ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat darurat
terjadi.
Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat
darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien dan penatalaksanaan
jalan nafas (airway management) perlu dilakukan. Selain itu referat ini
juga bertujuan untuk mengintegrasikan ilmu resusitasi dengan praktek
dunia nyata dalam rangka meningkatkan hasil dari RJP.

6
BAB 2
RJPO dan AIRWAY MANAGEMENT

2.1 Basic Life Support


Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat
darurat medik yang bertujuan untuk:

a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi


b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari
korban yang mengalami henti jantung atau henti jantung melalui
RJPO sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen
dengan kekuatan sendiri secara normal.

Resusitasi mencegah agar sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen.


Aspek dasar dalam BHD meliputi pengenalan (recognition) secara cepat
henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response
system(activation), resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation), dan
defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated External
Defibrillator (AED).Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan
jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BHD. Tindakan ini dilakukan
tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan
cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan
terarah.

a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi


emergency response system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung
secara tiba-tiba, pertama kali yang dilakukan penolong adalah harus
mengenali bahwa penderita telah mengalami henti jantung,
berdasarkan pada tidak adanya atau berkurangnya respon napas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita
dan memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih
maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency
response system (dengan menghubungi nomor darurat yang
7
tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system semua
penolong harus segera memulai RJP.

b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam
mengecek nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan
waktu yang lama untuk mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri
femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak
menemukannya. Bagi penolong yang tidak terlatih, pijat jantung
dimulai jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa
meraba adanya denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru yang Dini


1) Kompresi Dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan
bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan
menciptakan aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan
intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Hal ini
menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan
otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran
darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung
harus mendapatkan kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat
dan cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus
mencapai paling sedikit 100-120 x/menit dengan kedalaman
kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) dan tidak lebih dari 2.4 inchi
(6 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil paru
dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk
memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh

8
sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba
untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi
selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang
diberikan tiap menit.
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk
bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan
anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan
harus dilakukan di bagian tengah tulang dada. Pada bayi
kedalaman kompresi adalah 1,5 inci.
2) Penyelamatan pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC
2015 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum
ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun
hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada memulai
dengan dua ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik,
namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada.
Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus
diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin,
sedangkan memposisikan kepala, mengambil penutup untuk
pertolongan napas dari mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-
mask memakan banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi
daripada dua ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang
terlatih harus memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke
mulut atau melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi, sebagai berikut:
 Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
 Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
 Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2

9
 Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube,
combitu, atau laryngeal mask airway (LMA)) telah dipasang
selama RJP dengan dua orang penyelamat, berikan napas
setiap 6 detik tanpa menyesuaikan napas dengan kompresi.
Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk memberikan
ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED


Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrillator)
(bila AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke
penderita untuk memasang dan menggunakan AED.Penolong lalu
memberikan RJP berkualitas tinggi.
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus
segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua
mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED (atau
defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit).AED harus
digunakan secepat mungkin dan kedua penyelamat harus
memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi:
 Nyalakan AED
 Ikuti petunjuk
 Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan)

10
11
2.2 Definisi Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi juga dapat disebut reanimasi, hal ini mengandung arti
harafiah menghidupkan kembali, yang mencakup usaha-usaha untuk
mencegah suatu episode henti jantung yang dapat berlanjut menjadi
kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary
Resucitation (CPR) merupakan suatu usaha dalam kedokteran gawat
darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi yang
mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih mempunyai
harapan hidup.

2.3 Indikasi Resusitasi Jantung Paru


Indikasi RJP adalah pada orang yang tidak sadar, tidak bernapas
atau bernapas tidak normal (gasping), sebagaimana yang sering terjadi
pada henti jantung. Penilaian aktivitas listrik jantung dengan rapid "rhythm
strip" dapat memberikan analisis yang lebih rinci dari jenis serangan
jantung, serta menunjukkan pilihan tambahan pengobatan.
Henti jantung disebebkan karena inisiasi spontan dari aritmia
nonperfusi, kadang-kadang disebut sebagai aritmia ganas. Contoh aritmia
nonperfusi paling umum adalah ventricle fibrillation (VF), pulseless
ventricle tachycardia (VT), pulseless electrical activity, asystole, pulseless
bradycardia.
Meskipun defibrilasi cepat telah terbukti meningkatkan kelangsungan
hidup untuk VF dan irama pulseless VT, RJP harus dimulai sebelum irama
diidentifikasi dan harus dilanjutkan sementara defibrillator sedang
dipersiapkan. Selain itu, RJP harus segera kembali dilakukan setelah
defibrillatory shock sampai nadi berdenyut kembali. Hal ini didukung oleh
penelitian yang menunjukkan bahwa "jeda preshock" pada RJP
memberikan hasil yang lebih rendah dalam keberhasilan defibrilasi dan
pemulihan pasien.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,
inhalasi asap/ uap/ gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat
listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya.

12
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka
pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan
berakibat henti jantung. Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada
dan napas tidak normal (gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung
Paru.
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat.
Sebaliknya akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika
tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung terminal akibat usia
lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab
kardial yaitu gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan
kontraktilitas otot jantung (decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran
darah koroner terhenti, aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma
pada jantung atau pada sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk
penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat, hipovolemia berat,
hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner
terhenti, miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan
terjadi irama ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP
habis akan menjadi asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot
jantung menurun. Selama periode hipoperfusi, miokard mungkin rusak.

2.4 Kontraindikasi Resusitasi Jantung Paru


Kontraindikasi absolute terhadap RJPO adalah DNR (Do Not
Resuscitate) yang merupakan permintaan seseorang untuk tidak
diresusitasi apabila terjadi henti jantung. Kontraindikasi relatif terhadap
RJP adalah bergantung pada penilaian klinisi bahwa dengan resusitasi
yang dilakukan akan sia-sia secara medis.
13
2.5 Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi jantung paru (RJP) selalu mengintegrasikan kompresi
dada dan penyelamatan napas dengan tujuan untuk mengoptimalkan
sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penyelamat dan korban bisa
mempengaruhi keoptimalan dari komponen RJP.

2.5.1 Penyelamat
Semua orang bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa
korban serangan jantung.Keterampilan dan aplikasi RJP bergantung pada
pelatihan, pengalaman, dan konfidensi penyelamat.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP.Semua penyelamat,
terlepas dari tingkat pelatihan yang pernah dijalani, harus memberikan
kompresi dada pada semua korban serangan jantung. Karena pentingnya
tindakan tersebut, kompresi dada harus menjadi tindakan RJP paling awal
untuk semua korban tanpa memandang usia.Jika mampu melakukan,
penyelamat juga sebaiknya menambahkan ventilasi setelah kompresi
dada. Penyelamat terlatih yang bekerja sama harus berkoordinasi dalam
melakukan kompresi dada dan ventilasi secara kompak dalam tim.

2.5.2 Korban
Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba,
yang penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang
dihasilkan oleh kompresi dada merupakan hal yang mutlak untuk
14
dilakukan.Sebaliknya, serangan jantung pada anak-anak yang paling
sering terjadi karena asfiksia, yang membutuhkan ventilasi dan
penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.Oleh karena itu,
bantuan pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak
dibandingkan orang dewasa pada serangan jantung.
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung
membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang
ditunjukkan dalam chain of survival, yang meliputi:

a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari


emergency response system
Aktivasi kegawatdaruratan yang cepat dan inisiasi RJP
membutuhkan pengenalan cepat akan terjadinya serangan jantung.
Serangan jantung membuat seseorang tidak responsif. Pernapasan
tidak ada atau tidak normal. Agonal gasps (napas terengah yang
mengancam nyawa) biasa terjadi pada tahap permulaan dari
serangan jantung mendadak dan dapat terjadi salah penafsiran
dengan pernapasan normal.
Deteksi denyut nadi sendiri sering tidak dapat diandalkan bahkan
ketika dilakukan oleh penolong terlatih, dan mungkin memerlukan
waktu yang lebih lama. Akibatnya, tim penyelamat harus mulai RJP
segera jika korban dewasa tidak responsif dan tidak bernapas atau
tidak bernapas secara normal (yaitu, hanya terengah-engah).
Panduan tentang "look, listen and feel for breathing" untuk membantu
pengenalan akan obstruksi jalan napas tidak lagi dianjurkan.
Petugas kegawatdaruratan harus dan bisa membantu memberikan
penilaian dan arah untuk memulai RJP. Seorang profesional
kesehatan dapat menggabungkan informasi tambahan untuk
membantu pengenalan akan terjadinya suatu henti jantung.

15
b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
Inisiasi cepat dari kompresi dada yang efektif adalah aspek
fundamental dari resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan
probabilitas pasien untuk hidup dengan memberikan sirkulasi jantung
dan otak. Tim penyelamat harus melakukan kompresi dada untuk
semua pasien serangan jantung, tanpa melihat tingkat keterampilan
penyelamat, karakteristik korban, atau sumber daya yang tersedia.
Penyelamat harus fokus pada pemberian RJP berkualitas tinggi:
 Memberikan penekanan dada dari tingkat yang memadai
(setidaknya 100-120x / menit)
 Memberikan kompresi dada dengan kedalaman yang memadai
o Dewasa: kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak
lebih dari 2,4 inci (6 cm)
o Bayi dan anak: kedalaman setidaknya sepertigaanterior-
posterior (AP) diameter dada atau sekitar 1,5 inci (4 cm) pada
bayi dan sekitar 2 inci (5 cm) pada anak-anak.
 Memungkinkan dada untuk mengembang secara penuh setelah
setiap kompresi
 Meminimalkan interupsi saat kompresi
 Menghindari ventilasi berlebihan
Jika ada beberapa penyelamat, sebaiknya kompresi dilakukan
setiap 2 menit perorang.
Pembukaan jalan napas (dengan head tilt – chin lift atau jaw
thrust) diikuti dengan bantuan napas buatan dapat meningkatkan
oksigenasi dan ventilasi. Namun, manuver ini bisa sulit dilakukan
dan ada interupsi karena kompresi dada, terutama untuk
penyelamat tunggal yang belum terlatih. Dengan demikian,
penyelamat yang tidak terlatih boleh memberikan Hands-OnlyCPR
(kompresi tanpa ventilasi), dan penyelamat yang mampu boleh
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan dengan
kompresi dada. Ventilasi harus diberikan jika korban memiliki risiko
tinggi terjadinya asfiksia (misalnya pada bayi, anak, atau korban
tenggelam).

16
Setelah advanced airway terpasang, petugas kegawatdaruratan
dapat memberikan ventilasi dengan rate normal, yaitu 1 napas
setiap 6 detik (10 napas per menit) dan kompresi dada dapat
dilakukan tanpa interupsi.
c. Defibrilasi yang cepat
Probabilitas korban selamat dapat menurun dengan meningkatnya
interval antara henti jantung dan defibrilasi. Defibrilasi dini tetap
merupakan terapi utama untuk ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel
takikardia tanpa nadi (pulseless VT).
Salah satu faktor penentu keberhasilan defibrilasi adalah efektivitas
kompresi dada. Defibrilasi dapat memberikan outcome yang baik jika
interupsi (untuk penilaian irama, defibrilasi, atau perawatan lanjutan)
pada kompresi dada dikurangi seminimal mungkin.
d. Advanced life support yang efektif
e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi
Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan
rangkaian tersebut diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan
hidup pada penderita henti jantung sebesar 50%.Akan tetapi, pada
sebagian besar sistem kegawatdaruratan, rata-rata kelangsungan
hidupnya rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan
untuk meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan mengecek
kembali semua komponen dari chain of survival dan memperkuat
komponen yang lemah.Komponen chain of survival yang satu
bergantung dengan komponen yang lainnya, dan kesuksesan dari
setiap komponen bergantung dari keefektifan komponen sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan,
pengalaman, dan kemampuan. Status penderita henti jantung dan
responnya terhadap RJP juga bervariasi. Tantangannya adalah
bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini seefektif dan mungkin
untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan napas
buatan dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi.

17
Karakteristik penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi
yang optimal dari komponen RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti
jantung. Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong,
tanpa melihat telah mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan
kompresi dada pada setiap penderita henti jantung. Karena sangat
penting, kompresi dada harus menjadi tindakan awal pada RJP untuk
setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah terlatih harus
berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan
ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba,
sebagai akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang
dihasilkan dari kompresi dada menjadi sangat penting. Berlawanan
dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak seringkali karena
asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi dada
untuk hasil yang optimal. Dengan demikian napas buatan pada henti
jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk
dewasa.

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015

18
Gambar 2.2 panduan resusitasi jantung paru AHA 2015

a. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus


Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan
aspek yang penting dalam resusitasi henti jantung.RJP
meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup penderita dengan
memberikan sirkulasi pada jantung dan paru.Penolong harus
melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti jantung,
tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau
sumber daya yang tersedia.AHA Guidelines for CPR and ECC
2015 mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini
mencakup:
 Kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 x/menit
 Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inci (5 cm) dan tidak lebih
dari 2.4 inci (6 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari
diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan
bayi (sekitar 1,5 inci (4cm) pada bayi dan 2 inci (5cm) pada
anak-anak).Batas antara 1,5 hingga 2 inci tidak lagi digunakan
pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak
lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for
CPR and ECC.
 Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang
lengkap setiap kali selesai kompresi.
 Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada.
 Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-
ventilasi yaitu 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak
termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC
2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan napas buatan
sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan, kompresi dada
dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling
sedikit 100-120 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi.

19
Napas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6
detik (sekitar 10 napas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus
dihindari.

b. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B


Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-
Circulation berubah menjadi Compression-Airway-Breathingpada
orang dewasa, anak – anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang
baru lahir). Hal ini untuk menghindari penghambatan pada
pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan
jalan napas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang
memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh
penolong yang seorang diri.
Serangan jantung terjadi sebagian besar pada orang dewasa dan
penyebab paling umum adalah ventricular fibrillation atau pulseless
ventricular tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling
penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan
defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada
seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk
memberikan napas buatan, mencari alat pembatas (barrier
devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai
emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu
untuk segera memulai kompresi dada. Hal ini berarti tidak ada lagi
"look, listen, feel", sehingga komponen ini dihilangkan dari
panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan
dimulai sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar
(yaitu hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau
sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti
jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh
orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal
tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu

20
urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan. Memulai
pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak
penolong untuk memulai RJP.
c. Penekanan pada kompresi dada
Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun
AHA mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008.Untuk penolong
yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban
dewasa yang pingsan didepan mereka. Jika penyelamat tidak
terlatih dalam melakukan RJP, Hands Only CPR bisa dilakukan
pada korban dewasa yang mendadak kolaps dengan penekanan
"push hard and fast".Hands Only CPR (hanya dengan kompresi)
lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan
lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon.
Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang
sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.
d. Kecepatan kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100-120 kali/ menit.
Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP
sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan
Return of Spontaneous Circulation (ROSC) dan fungsi neurologis
yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per
menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta
lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk
membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan
analisis AED (Automated External Defibrillator).
Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak
dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan
kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata
kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai
kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya
pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada

21
meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP
tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering
(atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang
diberikan per menit.
e. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan
tidak lebih dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan
dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen
dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi
menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan
intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.Kompresi
menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.
f. Identifikasi pernapasan agonal oleh petugas medis
kegawatdaruratan(Dispatcher Identification of Agonal Gasps)
Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan
baik untuk mengidentifikasi antara pernapasan normal dengan
pernapasan agonal, selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk
memulai RJP jika korban tidak bernapas atau sulit
bernapas.Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk
memulai RJP jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang
tidak normal.Pengecekan pernapasan dilakukan secara cepat
sebelum aktivasi emergency response system.
g. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan
pemberian tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan
trakea kearah posterior dan menekan esophagus ke vertebra
servikal.Penekanan krikoid dapat menghambat inflasi lambung dan
mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi dengan
bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi
direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan

22
krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat
terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah lagi,
tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong
yang terlatih. Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam
beberapa keadaan tertentu (misalnya dalam usaha melihat pita
suara selama intubasi trakea).

h. Aktivasi Emergency Response System


Aktivasi Emergency Response System seharusnya dilakukan
setelah penilaian respon penderita dan pernapasan, namun
seharusnya tidak ditunda.Menurut panduan tahun 2005, aktivasi
segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban
yang tidak merespon.Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak
merasakan nadi dalam 10 detik, RJP harus segera dimulai dan
menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.
i. Tim resusitasi
Langkah – langkah algoritma BLS sejak dahulu dipresentasikan
dalam keadaan di mana hanya ada satu penyelamat. Pada AHA
2015 lebih difokuskan untuk memberikan RJP dalam suatu timagar
resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya, satu penolong
mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan
penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga
membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu
pernapasan dan penolong keempat mempersiapkan defibrilator

23
Tabel 2.1 ringkasan komponen BLS pada dewasa, anak-anak dan
bayi (termasuk RJP pada neonatus).

24
2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi
Resusitasi melibatkan spektrum yang luas dari pihak individu dan
kelompok. Pihak individu adalah korban, anggota keluarga, penyelamat,
dan penyedia layanan kesehatan. Pihak kelompok adalah masyarakat,
petugas medis kegawatdaruratan, organisasi keselamatan publik, sistem

25
EMS, rumah sakit, kelompok sipil, dan pembuat kebijakan di tingkat lokal,
dan negara.
Karena hubungan dari chain of survival saling bergantung satu sama
lain,strategi resusitasi yang efektif membutuhkan pihak individu dan
kelompok untuk bekerja secara terpadu danfungsi sebagai system of
care.Fondasi untuk RJP yang suksesadalah penilaian kembali tantangan
yang ada dari masing – masing komponen chain of survival.Dengan
demikian individu dan kelompok harus bekerjabersama-sama, berbagi ide
dan informasi, untuk mengevaluasi danmeningkatkan sistem resusitasi.
Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah komponen penting di dalam
suatu tim.
Peningkatkan perawatanmembutuhkan penilaian kinerja. Hanya
melalui proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa
ditingkatkan.Prosesnya meliputi evaluasi secara keseluruhan dari tindakan
resusitasi dan outcome yang didapatkan, patokan dengan feedback dari
seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis untuk mengetetahui
kekurangan yang ada.

2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi


Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah
satu dari berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan
yang efektif; ada orang lain yang mengambil alih tanggung jawab;
26
penolong terlalu capek sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi;
pasien dinyatakan mati; setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian
diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit
yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan bahwa fungsi
serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit-1 jam terbukti tidak ada
nadi pada normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang
otak, fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara
pasti/irreversible.
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak
ada pernapasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil
yang menetap selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien
hipotermik, dibawah efek barbiturat, atau dalam anestesi umum.
Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik jantung
(asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJPO
dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah titik akhir
yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.

2.9 Komplikasi
Komplikasi RJP adalah fraktur iga atau sternum karena kompresi
dada (jarang) dan gastric insufflation karena bantuan respirasi buatan
menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke mulut, bag valve mask) yang
bisa menyebabkan muntah, dengan kemungkinan aspirasi atau gangguan
jalan napas; insersi ventilasi invasif bisa mencegah hal ini.

2.10 Airway Management


2015 AHA Guidelines adalah untuk merekomendasikan inisiasi
kompresi dada sebelum ventilasi (CAB bukan ABC).Perubahan ini
mencerminkan bukti yang berkembang tentang pentingnya penekanan
dada dan fakta bahwa persiapan untuk memberikan jalan napas
membutuhkan waktu lebih.
Pola pikir ABC memperkuat gagasan bahwa kompresi harus
menunggu sampai ventilasi telah dimulai.Pola pikir ini dapat terjadi bahkan
27
ketika lebih dari 1 penyelamat hadir karena "jalan napas dan pernapasan
sebelum ventilasi" begitu mendarah daging dalam banyak
penyelamat.Penekanan baru pada CAB membantu memperjelas bahwa
manuver jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan efisien sehingga
gangguan dalam kompresi dada diminimalkan dan kompresi dada harus
mengambil prioritas dalam resusitasi orang dewasa.

2.11 Pengertian Airway Management


Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka.
Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera
melapangkan saluran pernapasan dengan tujuan untuk menjamin
jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin
kecukupan oksigenasi jaringan (American Society of
Anesthesiologists, 2013).
Menurut Bingham (2008), airway management adalah prosedur
medis yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk
memastikan jalur nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar.
Hal ini dilakukan dengan membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi
jalan napas yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda
asing, atau bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung
yang teraspirasi.

2.12 Anatomi Jalan Nafas


Keberhasilan pengelolaan jalan nafas diantaranya intubasi,
ventilasi, krikotirotomi dan anestesi regional untuk laring memerlukan
pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.

28
Gambar 2. Anatomi jalan nafas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring
(pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian
anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring
(gambar 1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang
memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan
masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung,
mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke
posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan
orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat
menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen
dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2) : tiroid, krikoid,
epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

29
2.13 Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas

2.13.1 Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat


sumbatan :
a. Obstruksi total
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total,
sehingga tidak ada udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi
perubahan yang akut berupa hipoksemia yang menyebabkan
terjadinya kegagalan pernafasan secara cepat. Sementara kegagalan
pernafasan sendiri menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi
kardiovaskuler dan menyebabkan pula terjadinya kegagalan SSP
dimana penderita kehilangan kesadaran secara cepat diikuti dengan
kelemahan motorik bahkan mungkin pula terdapat renjatan (seizure).
Bila tidak dikoreksi dalam waktu 5 – 10 menit dapat mengakibatkan
asfiksia (kombinasi antara hipoksemi dan hipercarbi), henti nafas dan
henti jantung.

30
b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini
udara masih dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang
lebih sedikit. Bila tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak.
Hal yang perlu diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena
Check Valve yaitu udara dapat masuk, tetapi tdk keluar.

2.13.2 Obstruksi jalan nafas berdasarkan penyebab:


Keadaan yang harus diwaspadai adalah :
a) Trauma

Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan,


gantung diri, atau kasus percobaan pembunuhan. Lokasi
obstruksi biasanya terjadi di tulang rawan sekitar,
misalnya aritenoid, pita suara dll.
1. Trauma maksilofasial
Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme
pengelolaan airway yang agresif. Contoh mekanisme
penyebab cedera ini adalah penumpang/pngemudi
kendaraan yang tidak menggunakan sabuk pengaman
dan kemudian terlempar mengenai kaca depan dan
dashboard. Trauma pada daerah tengah wajah dapat
menyebabkan fraktur-dislokasi dengan gangguan pada
nasofaring dan
orofaring.
2. Trauma leher
Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat
menyebabkan kerusakan pada laring atau trakhea yang
kemudian meyebabkan sumbatan airway atau
perdarahan hebat pada sistem trakheobronkial
sehingga sebegra memerlukan airway definitif. Cedera
leher dapat menyebabkan sumbatan airway parsial
karena kerusakan laring dan trakea atau penekanan
pada airway akibat perdarahan ke dalam jaringan lunak
di leher.
3. Trauma laringeal
Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang
terjadi, tetapi hal ini daat menyebabkan sumbatan airway
akut.

b) Benda asing yang dapat tersangkut pada:

 Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui
tanda-tanda sebagai berikut, yakni secara progresif
terjadi stridor, dispneu, apneu, disfagia, hemopsitis,
pernafasan dengan otot-otot nafas tambahan, atau
dapat pula terjadi sianosis.
 Trakea
Benda asing di dalam trakea tidak dapat dikeluarkan,
karena tersangkut di dalam rima glotis dan akhirnya
tersangkut dilaring dan menimbulkan gejala obstruksi
laring
 Bronkus
Biasanya akan tersangkut pada bronkus kanan, oleh
karena diameternya lebih besar dan formasinya dilapisi
oleh sekresi bronkhus.

2.14 Pengkajian Jalan Nafas


LOOK:
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami
penurunan kesadaran, atau sianosis. Lihat juga apakah ada
penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Kaji adanya
deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris jalan
nafas seperti darah, muntahan, dan gigi yang tanggal.
 Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara
berarti airway bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala.
Penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia
 Agitasi memberi kesan adanya hipoksia
 Nafas cuping hidung
 Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut
 Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang merupakan bukti adanya gangguan airway.

LISTEN:
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
 Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda
asing
 Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas
jalan napas setinggi larings (Stridor inspirasi) atau setinggi
trakea (stridor ekspirasi)
 Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi
faring
 Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk,
pasien yang membutuhkan napas pendek untuk bicara
menandakan telah terjadi gagal napas
FEEL:
 Aliran udara dari mulut/ hidung
 Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea
untuk menentukan apakah terjadi deviasi dari midline.
Palpasi apakah ada krepitasi

2.15 Teknik Mengeluarkan Benda Asing


Manajemen jalan napas merupakan keterampilan yang harus dimiliki
oleh para dokter dan petugas kesehatan lainnya utamanya yang bekerja
di ruang emergensi. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian,
mempertahankan dan melindungi jalan napas dengan memberikan
oksigenasi dan ventilasi yang efektif (Pro. Dr. dr. I Made Bakta, 2016).

A. Teknik mengeluarkan benda asing pada pasien dewasa sadar


a. Manuver Heimlich/Abdominal Thrust (hentakan pada perut),
langkah - langkah sebagai berikut:
1) Langkah 1
1. Memastikan pasien/korban tersedak, tanyakan”
apakah anda tersedak ?”
2. Jika pasien/korban mengiyakan dengan bersuara
dan masih dapat bernafas serta dapat batuk,
mintalah pasien/korban batuk sekeras mungkin
agar benda asing dapat keluar dari jalan napas
3. Bila jalan napas pasien/korban tersumbat, dia tidak
dapat berbicara, bernapas, maupun batuk dan
wajah pasien/korban kebiruan (sumbatan total).
Penolong harus segera melakukan langkah
berikutnya.

Gambar 1. Cocking
2) Langkah 2
1. Bila pasien/korban berdiri penolong berdiri di
belakang pasien/korban, bila pasien/korban
duduk penolong berlutut dan berada di
belakang pasien/korban.
2. Letakkan satu kaki di antara kedua tungkai
pasien/korban

Gambar 2. Abdominal Thrust


3) Langkah 3
1. Lingkarkan lengan anda pada perut pasien/korban
dan cari pusar
2. Letakkan 2 jari di atas pusar
3. Kepalkan tangan yang lain
4. Tempatkan sisi ibu jari kepalan tangan pada
dinding abdomen di atas dua jari tadi
5. Minta pasien/korban membungkuk dan
genggam kepalan tangan anda dengan tangan
yang lain
6. Lakukan hentakan ke arah dalam dan atas
(sebanyak 5 kali )
7. Periksa bilamana benda asing keluar setiap 5 kali
hentakan
8. Ulangi abdominal thrust sampai benda asing
keluar atau pasien/korban tidak sadar.
Gambar 3. Heimlich manuver

Apabila korban hamil/obesitas :


1. Letakkan tangan di bawah ketiak korban
2. Lilitkan tangan di dada korban
3. Tempatkan ibu jari di tenggah tulang dada
4. Raih kepalan tangan dengan tangan yang lain dan
dorong ke belakang.
5. Lanjutkan sampai benda itu di keluarkan

A. Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Pasien


Dewasa Tidak Sadar
a. Langkah 1
Posisikan pasien/korban terlentang di alas yang datar dan
keras.
b. Langkah 2
1) Buka jalan napas pasien/korban dengan head tilt-chin
lift
2) Periksa mulut pasien/korban untuk melihat bilamana
tampak benda asing.
3) Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah
mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu
dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk
yang disilangkan dan menekan gigi atas dan
bawah. Kegagalan membuka nafas dengan cara
ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan
jalan nafas di daerah faring atau adanya henti
nafas (apnea)

Gambar 4. Cross Finger

4) Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda


asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan
manual dengan sapuan jari (finger sweep).

Gambar 5. Finger Sweep


b. Langkah 3
1. Evaluasi pernapasan pasien/korban dengan melihat,
mendengar dan merasakan
2. Bila tidak ada napas, lakukan ventilasi
3. Bila jalan napas tersumbat, reposisi kepala dan
lakukan ventilasi ulang
c. Langkah 4
Bila jalan napas tetap tersumbat, lakukan 30 kompresi dada
(posisi tangan untuk kompresi dada sama dengan RJP
dewasa)
d. Langkah 5
Ulangi langkah 2-4 sampai ventilasi berhasil (ventilasi
berhasil bila terjadi pengembangan dinding dada)
e. Langkah 6
 Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi ketika jalan napas
bebas
 Jika nadi tidak teraba, perlakukan sebagai henti
jantung, lanjutkan RJP 30:2
 Jika nadi teraba, periksa pernapasan
 Jika tidak ada napas, lakukan bantuan napas 10-
12x/menit (satu tiupan tiap 5-6 detik) dengan
hitungan satu ribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu,
tiup. Ulangi sampai 12 kali.
 Jika nadi dan napas ada, letakkan pasien/korban pada
posisi recovery
 Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan
tiap beberapa menit

B. Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Anak


Dibawah 1 tahun
Berikut langkah-langkah manuver tepukan punggung dan hentakan
dada pada bayi:
1. Back Blows
 Posisikan bayi atau anak dengan posisi kepala
mengarah ke bawah supaya gaya gravitasi
dapat membantu pengeluaran benda asing
 Penolong berlutut atau duduk, dapat menopang
bayi di pangkuannya dengan lebih aman saat
melakukannya.
 Untuk bayi, topang kepala dengan
menggunakan ibu jari di satu sisi rahang dan
rahang yang lain menggunakan satu atau dua
jari dari tangan yang sama. Jangan sampai
menekan jaringan lunak dibawah rahang,
karena akan menyebabkan sumbatan jalan
napas kembali.
 Lakukan 5 hentakan back blows secara kuat
dengan menggunakan telapak tangan di tengah
punggung. Tujuan tindakan tersebut untuk
mengupayakan sumbatan benda asing terlepas
setelah satu hentakan.
 Bila gagal, di lakukan tindakan selanjutnya yaitu
chest thrust pada bayi.

Gambar 6. Tepukan Punggung (back blow) pada anak


dibawah 1 tahun

2. Chest thrust
 Tindakan tersebut di lakukan dengan memposisikan
bayi dengan kepala di bawah dan posisi telentang.
Tindakan ini akan lebih aman bila penolong
meletakkan punggung bayi di lengan yang bebas
serta menopang ubun-ubun dengan tangan
 Topang peletakkan bayi pada lengan dengan
menggunakan bantuan paha penolong
 Identiikasi daerah yang akan di lakukan tekanan
(bagian bawah sternum). Kemudian lakukan chest
thrust. Tindakan ini mirip dengan kompresi dada
pada bantuan hidup dasar, namun lebih lambat dan
lebih menghentak sebanyak 5 kali. Bila benda asing
belum keluar tindakan di ulang kembali dari awal.

Gambar 7. Chest thrust untuk Anak dibawah 1 tahun

2.16 Pengelolaan Jalan Nafas


a. Manajemen jalan nafas tanpa alat
Jalan nafas yang lapang atau paten merupakan kondisi
esensial untuk oksigenasi dan ventilasi yang adekuat dan
merupakan prioritas utama dalam tatalaksana jalan napas.
Pasien sadar akan menggunakan otot jalan nafas dan reflek
protektif untuk melindungi dari kemungkinan aspirasi benda
asing, cairan lambung, maupun sekret. Pada pasien dengan
sakit berat daya tahan atau kesadaran menurun, mekanisme
proteksi jalan nafas dapat berkurang bahkan menghilang.
Obstruksi jalan nafas atas pada pasien yang tidak sadar
kebanyakan di sebabkan oleh jatuhnya lidah dan epligotis ke
bagian posterior setinggi faring dan laring. Sumbatan ini
diakbatkan oleh hilangnya tonus otot submandibula yang
menopang lidah secara langsung dan epiglotis secara tidak
langsung.
Tindakan yang di lakukan untuk melapangkan-membuka
jalan nafas adalah manuver Chin lift (tindakan mengangkat
dagu), manuver Jaw Thrust (tindakan mengangkat sudut
rahang), manuver Head Tilt (tindakan menekan dahi). Letakkan
pasien pada posisi terlentang pada alas yang keras atau
selipkan papan kalau pasien di atas kasur. Jika tonus otot
menghilan, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis akan
menyumbat laring. Untuk menghindari hal ini dapat di lakukan
tindakan atau manuver head tilt-chin lift di mana tindakan ini di
lakukan dengan cara satu tangan penolong mendorong dahi ke
bawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati, sehingga hidung mengadap ke atas dan
epiglotis terbuka (Pro. Dr. dr. I Made Bakta, 2016).
Gambar 8. Jaw thrust dan Head tilt manuver

Gambar 9. Chin lift manuver

b. Manajemen jalan nafas dengan alat


Hilangnya tonus otot jalan napas bagian atas
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh ke belakang ke arah
dinding posterior faring. Mengubahh posisi kepala atau jaw
thrust merupakan teknik yang sering di gunakan untuk
membebaskan jalan napas. Untuk mempertahankan jalan
napas lapang, jalan napas buatan dapat di masukkan melalui
mulut atau hidung untuk membuat adanya aliran udara antara
lidah dengan dinding faring bagian posterior. Pasien yang sadar
dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang
jalan napas buatan bila refleks laring masih intak. Pemasangan
oral airway kadang di fasilitasi dengan penekanan reflek jalan
napas dan kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah.
1) Oropharyngeal Airway (OPA)
OPA atau guedel’s airway berbentuk S yang
berguna untuk menahan lidah yang menutup dinding
posterior faring sehingga udara dapat mengalir dan
penghisapan dapat di lakukan melalui mulut. Sangat
efektif untuk pasien napas spontan tetapi terdapat
gangguan relfeks batuk. OPA di gunakan dengan ukuran
yang sesuai. Cara mengukur dengan meletakkan salah
satu ujungnya di sudut mulut dan ujung lainnya harus
mencapai sudut mandibula. OPA pada dewasa pada
umumnya berukuran small (80 mm/oropharyngeal airway
no 3), medium (90 mm/oropharyngeal airway no 4) dan
large (100 mm/oropharyngeal airway no 5) (Pro. Dr. dr. I
Made Bakta, 2016).
Setelah pemasangan OPA, lakukan
pemantauan pada pasien. Jagalah agar kepala dan
dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk
menjaga patensi jalan napas. Lakukan penyedotan
berkala di dalam mulut dan faring bila ada sekret,
darah atau muntahan (Mary E. 2000)..
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :
o Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat
menyumbat laring dan menyebabkan trauma
pada struktur laring.
o Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan
dengan tepat dapat menekan dasar lidah dari
belakang dan menyumbat jalan napas.
o Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari
terjadinya trauma jaringan lunak pada bibir dan
lidah.
Gambar 10. Oropharyngeal Airway

2) Nasopharyngeal Airway (NPA)


NPA adalah pipa karet elastik berbentuk seperti
terompet tanpa cuff yang dapat dimasukkan melalui
lubang hidung masuk ke dalam faring. Di gunakan pada
pasien intoksikasi atau kesadaran menurun yang tidak
dapat menggunakan OPA. Efektif pada keadaan trauma,
trismus atau pengalang lain yang menyulitkan masuknya
OPA. NPA yang sesuai dengan pasien harus di ukur
mulai dari ujung hidung hingga telinga dan kira-kira 2-4
cm lebih panjang dari OPA. NPA sebaiknya tidak di
gunakan pada pasien dengan gangguan perdarahan
adanya resiko episstasis. Juga tidak di gunakan pada
patah tulang basis cranii. Setiap pipa yang di masukkan
melalui hidung harus di lubrikasi (Pro. Dr. dr. I Made
Bakta, 2016).

Gambar 11. Nasopharyngeal Airway

3) Face Mask
Penggunaan face mask dapat memasilitasi
pengaliran oksigen atau gas anestesi dari sistem
pernapasan ke pasien dengan pemasangan face mask
yang rapat. Lingkatan dari face mask di sesuaikan dari
bentuk muka pasien. Orificium face mask dapat di
sambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor.
Tersedia berbagai model face mask. Face mask yang
transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan
muntahan. Face mask yang di buat dari karet berwarna
hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk
muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai untuk
mengaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu
terus dipegang. Beberapa macam face mask untuk
pediatrik di desain untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas
yang bebas dan face mask yang rapat/tidak bocor.
Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya
ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling
face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang
tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan
yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan
napas.
Bila face mask di pegang dengan tangan kiri,
tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi
dengan tekanan positif dengan memeras breating bag.
Face mask di pasang di muka pasien dan sedikit ditekan
pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari
tengah dan jari manis menarik mandibula, jangan pada
jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat
terjadi obstruksi jalan napas. Jari kelingking ditempatkan
di bawah sudut rahang dan di gunakan untuk jaw thrust
manuver yang paling penting untuk dapat melakukan
ventilasi pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan
untuk mendapatkan jaw thrust yang adekuat dan face
mask yang rapat. Karena itu di perlukan seorang asisten
untuk memompa bag. Obstruksi selama ekspirasi dapat
di sebabkan karena tekanan kuar dari face mask atau
efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit
memasang face mask rapat kemuka. Ventilasi tekanan
normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah
masuknya udara ke lambung.
Kebanyakan jalan napas pasien dapat di
pertahankan dengan face mask dan oral atau nasal
airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama
dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang
saraf trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak adanya
tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan,
hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask
supaya tidak bocor. Bila face mask dan ikatan masker
digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
di rubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan
pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari
aberasi kornea (Morgan G.E et al, 2006).

Gambar 12. Clear adult face mask


Gambar 13. Teknik satu tangan face mask

Gambar 14. Teknik dua tangan face mask

4) Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA memiliki kelebihan istimewa dalam
menentukan penanganan kesulitan jalan napas di
bandingkan combtitude. Ada 4 tipe LMA yang biasa di
gunakan :
1. LMA yang dapat di pakai ulang
2. LMA yang tidak dapat di pakai ulang
3. ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk
memasukkan pipa nasogastrik dan dapat di
gunakan ventilasi tekanan positif
4. Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi
intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang
sulit.

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar,


yang di akhir proksimal dihubungkan dengan konektor
berukuran 15 mm, dan di bagian distal terdapat balon
berbentuk elips yang dapat di kembangkan lewat pipa.
Balon di kempiskan dulu, kemudian di beri pelumas dan
masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di
muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi
yang lebih dalam di bandingkan untuk memasukkan oral
airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah,
perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan
(Gambar 16). Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah
di bagian superior, sinus pyriforme di lateral dan
spincther oesophagus bagian atas di inferior. Jika
esofagus terletak di rim balon, distensi lambung atau
regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi
mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa
pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya
dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik,
kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang
ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena
penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan
penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan
LMA dengan penglihatan secara langsung dengan
laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga,
sebagian balon di kembungkan sebelum insersi dapat
sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA
melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap di
pertahankan pada tempatnya sampai refleks jalan napas
pasien pulih kembali. Ini biasanya di tandai dengan batuk
atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang
dapat di pakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet
silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran
(Gambar 17).
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain
face mask atau TT (Gambar 18). Kontraindikasi untuk
LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya
kehamilan, hernia hiatal) atau komplians paru rendah
(misalnya penyakit restriksi jalan napas) yang
memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30
cm H2O. Secara tradisional, LMA di hindari pada pasien
dengan bronchospasme atau resistensi jalan napas
tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa
karena tidak di tempatkan dalam trakea, penggunaan
LMA di hubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih
kurang dari pada dengan TT (Morgan G.E et al, 2006).
Gambar 15. Laryngeal Mask Airway
Gambar 16. Perhatian detil yang memperbaiki keberhasilan
LMA

Gambar 17. Ukuran volume cuff LMA


Gambar 18. Keuntungan dan kerugian LMA di bandingkan face mask
atau intubasi trakea

5) Esophageal Traceal Combitube (ETC)


Pipa kombinasi esofagus – trakea (ETC) terbuat
dari gabungan 2 pipa, masing-masing dengan konektor
15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih
panjang ujung distalnya di tutup. Pipa yang transparant
berukuran yang lebih pendek punya ujung distal terbuka
dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini biasanya
dipasangkan secara buta melalui mulut dan di masukkan
sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara gigi
atas dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk di
gembungkan, 100 ml untuk balon proksimal dan 15 ml
untuk balon distal, keduanya harus di kembungkan
secara penuh setelah pemasangannya. Pipa yang lebih
bening yang lebih pendek dapat di gunakan untuk
dekompresi lambung. Pilihan lain, jika ETC masuk ke
dalam trakea, ventilasi yang melalui pipa bening akan
langsung ke trakea. Meskipun pipa kombinasi masih
terdaftar sebagai pilihan untuk penangan jalan nafas
yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life
Support, biasanya jarang di gunakan oleh dokter
anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain
untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit
(Morgan G.E et al, 2006).

Gambar 19. Traceal Tube


Gambar 20. Penggunaan ETC

c. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Pengisapan Benda Cair


(suctioning)
Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair.
Pengisapan dilakukan dengan alat bantu pengisap (pengisap
manual atau dengan mesin). Pada penderita trauma basis cranii
di gunakan suction yang keras untuk mencegah suction masuk
ke dasar tengkorak (Ollerton, 2007).

d. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi


Metode bedah untuk manajemen jalan napas
mengandalkan membuat sayatan bedah dibuat di bawah
glotis untuk mencapai akses langsung ke saluran
pernapasan bagian bawah, melewati saluran pernapasan
bagian atas. Manajemen jalan napas bedah sering
dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana
Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau
kontraindikasi. Manajemen jalan napas bedah juga
digunakan ketika seseorang akan membutuhkan ventilator
mekanik untuk jangka waktu lama (Wilson WC.2007).
Metode bedah untuk manajemen jalan napas
termasuk cricothyrotomy dan trakeostomi. Cricothyrotomy
adalah sayatan dilakukan melalui kulit dan membran
krikotiroid untuk membangun jalan napas paten selama
situasi yang mengancam jiwa tertentu, seperti obstruksi
jalan napas oleh benda asing, angioedema, atau trauma
wajah besar. Cricothyrotomy hampir selalu dilakukan
sebagai jalan terakhir dalam kasus di mana Orotracheal
dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.
Cricothyrotomy lebih mudah dan lebih cepat untuk
dilakukan daripada tracheostomy, tidak memerlukan
manipulasi tulang belakang leher dan berhubungan dengan
komplikasi yang lebih sedikit (Ollerton, 2007).
Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari
kulit leher ke trakea. Sebuah tracheostomy di mana seseorang
akan perlu berada di ventilator mekanik untuk jangka waktu
lama. Keuntungan dari tracheostomy termasuk risiko kurang
dari infeksi dan kerusakan trakea seperti trakea stenosis
(Wilson WC.2007).
2.17 Algoritma Airway Management
2.18 Algoritma Difficult Airway Management
BAB 3

KESIMPULAN

Dalam perkembangannya, American Heart Association telah


membuat beberapa perubahan dalam panduan RJP, yang terdapat dalam
American Heart Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC 2015.
Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP
yang berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100-
120 kali/menit dan kedalamannya paling sedikit 5cm dan tidak lebih dari 6
cm pada dewasa dan anak-anak, serta 4cm pada bayi. AHA juga
menyarankan pemberian RJP hanya dengan tangan (hands only CPR)
atau RJP tanpa ventilasi dengan maksud untuk memudahkan penolong
yang tidak terlatih dalam menyelamatkan penderita henti jantung.

Dengan adanya panduan RJP tahun 2015 yang lebih ringkas ini
diharapkan dapat memacu penolong awam yang tidak terlatih untuk
menyelamatkan penderita yang mengalami henti jantung, sehingga rata-
rata kelangsungan hidup penderita yang mengalami henti jantung dapat
meningkat.

Setiap sistem, baik di rumah sakit atau di luar rumah sakit, harus
menilai kinerja dan menerapkan strategi untuk meningkatkan perawatan
dalam kasus-kasus serangan jantung. Resusitasi yang berhasil setelah
terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari tindakan yang
terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera henti jantung dan aktivasi
emergency response system, RJP awal dengan menekankan pada
kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced life support yang efektif,
perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi. Dengan melakukan
rangkaian tindakan tersebut secara benar, potensi dariChain of Survival
dapat dicapai secara penuh sehingga dapat meningkatkan kesehatan
masyarakat.
Dalam penanganan RJP ataupun dalam melakukan tindakan
anetshesi hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah jalan nafas,
Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah prosedur medis
yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan
jalur nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini
dilakukan dengan membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan
napas yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing,
atau bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang
teraspirasi.
Obstruksi jalan nafas terbagi menjadi 2 yaitu obstruksi total dan
parsial. Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas
(misalnya kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding
posterior faring. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi
dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan
menekan lidah dengan spatel lidah.

Untuk menghilangkan sumbatan pada jalan nafas agar jalan nafas


dapat terbuka sehingga udara dapat masuk ke paru-paru dilakukan
tatalaksana jalan nafas yang terdiri dari pengeluaran benda
asing/sumbatan dari saluran pernafasan menggunakan teknik heimlich
manuver dan abdominal thrust pada pasien sadar dan cross finger dan
finger sweep pada pasien tidak sadar; pengelolaan jalan nafas dengan
teknik manual yaitu head-tilt chin lift untuk pasien non trauma servikal dan
jaw thrust untuk pasien yang mengalami trauma servikal; pengelolaan
jalan nafas dengan bantuan alat sederhana yaitu Oropharyngeal airway
(OPA) dan Nasopharyngeal Airway; pengelolaan jalan nafas dengan alat
lanjutan yaitu bag valve mask, Laryngeal Mask Airway (LMA), combitube,
intubasi dengan ETT. Lalu jika prosedur invasif tersebut tidak berhasil,
maka akan dilakukan tindakan pembedahan untuk membuka jalan nafas,
yaitu dengan krikotiroidektomi dan trakeostomi. Manajemen jalan napas
bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana
Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for
Management of the Difficult Airway-An Updated Report by the American
Society of Anesthesiologists
Task Force on Management of the Difficult Airway. Jurnal American
Society of Anesthesiologists vol.118 no.2.

Bingham, Robert M.; Proctor, Lester T. 2008. Airway


Management.Pediatric Clinics of North America.55 (4): 873–886. Diakses
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18675024 pada 11 Oktober
2016
.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi
2nd ed. Jakarta:FKUI.

Manchini, Mary E. 2000. Prosedur Keperawatan Darurat.Jakarta: EGC.

Morgan GE et al. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York:


Lange Medical Book.

Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Emergency


Airway
Management in the Trauma Patient. NSW Institute of Trauma and Injury
Management.Diunduh dari http://www.itim.nsw.gov.au pada 11 Oktober
2016.

Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan


Gawat Darurat Napas. Jakarta: FK UI.

Wilson WC, Grande CM, Heyt DB. 2007. Trauma Emergency


Resuscitation Perioprative Anesthesia Surgical Management Volume 1.
New York: Informa Health Care

American Heart Association, 2015. Highlights of the 2015 American Heart


Association Guidelines for CPR and ECC. Guidelines CPR and ECC
2015, p. 28.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis Anestesiologi
2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed. 2000.


Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting RK,
editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins;
2006, p. 791-811.

Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation in the
lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-
8.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical


Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for


Management of the Difficult Airway-An Updated Report by the
American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of
the Difficult Airway. Jurnal American Society of Anesthesiologists
vol.118 no.2.

Bingham, Robert M.; Proctor, Lester T. 2008. Airway Management.


Pediatric Clinics of North America. 55 (4): 873–886.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd
ed. Jakarta: FKUI.

Manchini, Mary E. 2000. Prosedur Keperawatan Darurat.Jakarta: EGC

Morgan GE et al. 2006.Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange

Medical Book. Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines,

Emergency Airway

Management in the Trauma Patient.

Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan


Gawat Darurat Napas. Jakarta: FK UI.
Wilson WC, Grande CM, Heyt DB. 2007. Trauma Emergency Resuscitation
Perioprative Anesthesia Surgical Management Volume 1. New York: Informa
Health Care.

Anda mungkin juga menyukai