PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS KEDOKTERAN
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................5
BAB 3 Kesimpulan..............................................................................................................0
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................3
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang
cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan
ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain.
Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam
kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila
terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak
permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian.
Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan
menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan
kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang
buruk bagi pasien tersebut. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa
kelalaian dalam memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari
27 pasien yang sedang dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest).
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk
yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan
studi tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung
sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan
mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan
jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus
(18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang
didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak.
Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah
sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal. Menurut
Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari
tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas,
pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus.
Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan
napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan
beberapa langkah.
Berikut adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1)
anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan
5
penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik
(seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan
ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat darurat
terjadi.
Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat
darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien dan penatalaksanaan
jalan nafas (airway management) perlu dilakukan. Selain itu referat ini
juga bertujuan untuk mengintegrasikan ilmu resusitasi dengan praktek
dunia nyata dalam rangka meningkatkan hasil dari RJP.
6
BAB 2
RJPO dan AIRWAY MANAGEMENT
b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam
mengecek nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan
waktu yang lama untuk mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri
femoralis) dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak
menemukannya. Bagi penolong yang tidak terlatih, pijat jantung
dimulai jika pasien tidak responsif dan napas tidak normal, tanpa
meraba adanya denyut karotis atau tidak.
8
sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba
untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi
selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang
diberikan tiap menit.
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk
bayi hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan
anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan
harus dilakukan di bagian tengah tulang dada. Pada bayi
kedalaman kompresi adalah 1,5 inci.
2) Penyelamatan pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC
2015 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum
ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun
hewan bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada memulai
dengan dua ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik,
namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada.
Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus
diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin,
sedangkan memposisikan kepala, mengambil penutup untuk
pertolongan napas dari mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-
mask memakan banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi
daripada dua ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang
terlatih harus memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke
mulut atau melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi, sebagai berikut:
Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
9
Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube,
combitu, atau laryngeal mask airway (LMA)) telah dipasang
selama RJP dengan dua orang penyelamat, berikan napas
setiap 6 detik tanpa menyesuaikan napas dengan kompresi.
Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk memberikan
ventilasi.
10
11
2.2 Definisi Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi juga dapat disebut reanimasi, hal ini mengandung arti
harafiah menghidupkan kembali, yang mencakup usaha-usaha untuk
mencegah suatu episode henti jantung yang dapat berlanjut menjadi
kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary
Resucitation (CPR) merupakan suatu usaha dalam kedokteran gawat
darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi yang
mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih mempunyai
harapan hidup.
12
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka
pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan
berakibat henti jantung. Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada
dan napas tidak normal (gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung
Paru.
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat.
Sebaliknya akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika
tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung terminal akibat usia
lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab
kardial yaitu gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan
kontraktilitas otot jantung (decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran
darah koroner terhenti, aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma
pada jantung atau pada sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk
penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat, hipovolemia berat,
hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner
terhenti, miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan
terjadi irama ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP
habis akan menjadi asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot
jantung menurun. Selama periode hipoperfusi, miokard mungkin rusak.
2.5.1 Penyelamat
Semua orang bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa
korban serangan jantung.Keterampilan dan aplikasi RJP bergantung pada
pelatihan, pengalaman, dan konfidensi penyelamat.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP.Semua penyelamat,
terlepas dari tingkat pelatihan yang pernah dijalani, harus memberikan
kompresi dada pada semua korban serangan jantung. Karena pentingnya
tindakan tersebut, kompresi dada harus menjadi tindakan RJP paling awal
untuk semua korban tanpa memandang usia.Jika mampu melakukan,
penyelamat juga sebaiknya menambahkan ventilasi setelah kompresi
dada. Penyelamat terlatih yang bekerja sama harus berkoordinasi dalam
melakukan kompresi dada dan ventilasi secara kompak dalam tim.
2.5.2 Korban
Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba,
yang penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang
dihasilkan oleh kompresi dada merupakan hal yang mutlak untuk
14
dilakukan.Sebaliknya, serangan jantung pada anak-anak yang paling
sering terjadi karena asfiksia, yang membutuhkan ventilasi dan
penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.Oleh karena itu,
bantuan pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak
dibandingkan orang dewasa pada serangan jantung.
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung
membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang
ditunjukkan dalam chain of survival, yang meliputi:
15
b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
Inisiasi cepat dari kompresi dada yang efektif adalah aspek
fundamental dari resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan
probabilitas pasien untuk hidup dengan memberikan sirkulasi jantung
dan otak. Tim penyelamat harus melakukan kompresi dada untuk
semua pasien serangan jantung, tanpa melihat tingkat keterampilan
penyelamat, karakteristik korban, atau sumber daya yang tersedia.
Penyelamat harus fokus pada pemberian RJP berkualitas tinggi:
Memberikan penekanan dada dari tingkat yang memadai
(setidaknya 100-120x / menit)
Memberikan kompresi dada dengan kedalaman yang memadai
o Dewasa: kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak
lebih dari 2,4 inci (6 cm)
o Bayi dan anak: kedalaman setidaknya sepertigaanterior-
posterior (AP) diameter dada atau sekitar 1,5 inci (4 cm) pada
bayi dan sekitar 2 inci (5 cm) pada anak-anak.
Memungkinkan dada untuk mengembang secara penuh setelah
setiap kompresi
Meminimalkan interupsi saat kompresi
Menghindari ventilasi berlebihan
Jika ada beberapa penyelamat, sebaiknya kompresi dilakukan
setiap 2 menit perorang.
Pembukaan jalan napas (dengan head tilt – chin lift atau jaw
thrust) diikuti dengan bantuan napas buatan dapat meningkatkan
oksigenasi dan ventilasi. Namun, manuver ini bisa sulit dilakukan
dan ada interupsi karena kompresi dada, terutama untuk
penyelamat tunggal yang belum terlatih. Dengan demikian,
penyelamat yang tidak terlatih boleh memberikan Hands-OnlyCPR
(kompresi tanpa ventilasi), dan penyelamat yang mampu boleh
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan dengan
kompresi dada. Ventilasi harus diberikan jika korban memiliki risiko
tinggi terjadinya asfiksia (misalnya pada bayi, anak, atau korban
tenggelam).
16
Setelah advanced airway terpasang, petugas kegawatdaruratan
dapat memberikan ventilasi dengan rate normal, yaitu 1 napas
setiap 6 detik (10 napas per menit) dan kompresi dada dapat
dilakukan tanpa interupsi.
c. Defibrilasi yang cepat
Probabilitas korban selamat dapat menurun dengan meningkatnya
interval antara henti jantung dan defibrilasi. Defibrilasi dini tetap
merupakan terapi utama untuk ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel
takikardia tanpa nadi (pulseless VT).
Salah satu faktor penentu keberhasilan defibrilasi adalah efektivitas
kompresi dada. Defibrilasi dapat memberikan outcome yang baik jika
interupsi (untuk penilaian irama, defibrilasi, atau perawatan lanjutan)
pada kompresi dada dikurangi seminimal mungkin.
d. Advanced life support yang efektif
e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi
Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan
rangkaian tersebut diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan
hidup pada penderita henti jantung sebesar 50%.Akan tetapi, pada
sebagian besar sistem kegawatdaruratan, rata-rata kelangsungan
hidupnya rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan
untuk meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan mengecek
kembali semua komponen dari chain of survival dan memperkuat
komponen yang lemah.Komponen chain of survival yang satu
bergantung dengan komponen yang lainnya, dan kesuksesan dari
setiap komponen bergantung dari keefektifan komponen sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan,
pengalaman, dan kemampuan. Status penderita henti jantung dan
responnya terhadap RJP juga bervariasi. Tantangannya adalah
bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini seefektif dan mungkin
untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan napas
buatan dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi.
17
Karakteristik penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi
yang optimal dari komponen RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti
jantung. Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong,
tanpa melihat telah mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan
kompresi dada pada setiap penderita henti jantung. Karena sangat
penting, kompresi dada harus menjadi tindakan awal pada RJP untuk
setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah terlatih harus
berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan
ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba,
sebagai akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang
dihasilkan dari kompresi dada menjadi sangat penting. Berlawanan
dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak seringkali karena
asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi dada
untuk hasil yang optimal. Dengan demikian napas buatan pada henti
jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk
dewasa.
18
Gambar 2.2 panduan resusitasi jantung paru AHA 2015
19
Napas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6
detik (sekitar 10 napas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus
dihindari.
20
urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan. Memulai
pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak
penolong untuk memulai RJP.
c. Penekanan pada kompresi dada
Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun
AHA mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008.Untuk penolong
yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban
dewasa yang pingsan didepan mereka. Jika penyelamat tidak
terlatih dalam melakukan RJP, Hands Only CPR bisa dilakukan
pada korban dewasa yang mendadak kolaps dengan penekanan
"push hard and fast".Hands Only CPR (hanya dengan kompresi)
lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan
lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon.
Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang
sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.
d. Kecepatan kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100-120 kali/ menit.
Jumlah kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP
sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan
Return of Spontaneous Circulation (ROSC) dan fungsi neurologis
yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per
menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta
lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk
membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan
analisis AED (Automated External Defibrillator).
Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak
dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan
kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata
kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai
kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya
pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada
21
meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP
tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering
(atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang
diberikan per menit.
e. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan
tidak lebih dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan
dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen
dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi
menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan
intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.Kompresi
menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.
f. Identifikasi pernapasan agonal oleh petugas medis
kegawatdaruratan(Dispatcher Identification of Agonal Gasps)
Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan
baik untuk mengidentifikasi antara pernapasan normal dengan
pernapasan agonal, selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk
memulai RJP jika korban tidak bernapas atau sulit
bernapas.Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk
memulai RJP jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang
tidak normal.Pengecekan pernapasan dilakukan secara cepat
sebelum aktivasi emergency response system.
g. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan
pemberian tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan
trakea kearah posterior dan menekan esophagus ke vertebra
servikal.Penekanan krikoid dapat menghambat inflasi lambung dan
mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi dengan
bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi
direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan
22
krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat
terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah lagi,
tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong
yang terlatih. Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam
beberapa keadaan tertentu (misalnya dalam usaha melihat pita
suara selama intubasi trakea).
23
Tabel 2.1 ringkasan komponen BLS pada dewasa, anak-anak dan
bayi (termasuk RJP pada neonatus).
24
2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi
Resusitasi melibatkan spektrum yang luas dari pihak individu dan
kelompok. Pihak individu adalah korban, anggota keluarga, penyelamat,
dan penyedia layanan kesehatan. Pihak kelompok adalah masyarakat,
petugas medis kegawatdaruratan, organisasi keselamatan publik, sistem
25
EMS, rumah sakit, kelompok sipil, dan pembuat kebijakan di tingkat lokal,
dan negara.
Karena hubungan dari chain of survival saling bergantung satu sama
lain,strategi resusitasi yang efektif membutuhkan pihak individu dan
kelompok untuk bekerja secara terpadu danfungsi sebagai system of
care.Fondasi untuk RJP yang suksesadalah penilaian kembali tantangan
yang ada dari masing – masing komponen chain of survival.Dengan
demikian individu dan kelompok harus bekerjabersama-sama, berbagi ide
dan informasi, untuk mengevaluasi danmeningkatkan sistem resusitasi.
Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah komponen penting di dalam
suatu tim.
Peningkatkan perawatanmembutuhkan penilaian kinerja. Hanya
melalui proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa
ditingkatkan.Prosesnya meliputi evaluasi secara keseluruhan dari tindakan
resusitasi dan outcome yang didapatkan, patokan dengan feedback dari
seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis untuk mengetetahui
kekurangan yang ada.
2.9 Komplikasi
Komplikasi RJP adalah fraktur iga atau sternum karena kompresi
dada (jarang) dan gastric insufflation karena bantuan respirasi buatan
menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke mulut, bag valve mask) yang
bisa menyebabkan muntah, dengan kemungkinan aspirasi atau gangguan
jalan napas; insersi ventilasi invasif bisa mencegah hal ini.
28
Gambar 2. Anatomi jalan nafas
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring
(pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian
anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring
(gambar 1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang
memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan
masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung,
mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke
posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan
orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat
menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen
dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2) : tiroid, krikoid,
epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.
29
2.13 Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas
30
b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini
udara masih dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang
lebih sedikit. Bila tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak.
Hal yang perlu diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena
Check Valve yaitu udara dapat masuk, tetapi tdk keluar.
Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui
tanda-tanda sebagai berikut, yakni secara progresif
terjadi stridor, dispneu, apneu, disfagia, hemopsitis,
pernafasan dengan otot-otot nafas tambahan, atau
dapat pula terjadi sianosis.
Trakea
Benda asing di dalam trakea tidak dapat dikeluarkan,
karena tersangkut di dalam rima glotis dan akhirnya
tersangkut dilaring dan menimbulkan gejala obstruksi
laring
Bronkus
Biasanya akan tersangkut pada bronkus kanan, oleh
karena diameternya lebih besar dan formasinya dilapisi
oleh sekresi bronkhus.
LISTEN:
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda
asing
Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas
jalan napas setinggi larings (Stridor inspirasi) atau setinggi
trakea (stridor ekspirasi)
Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi
faring
Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk,
pasien yang membutuhkan napas pendek untuk bicara
menandakan telah terjadi gagal napas
FEEL:
Aliran udara dari mulut/ hidung
Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea
untuk menentukan apakah terjadi deviasi dari midline.
Palpasi apakah ada krepitasi
Gambar 1. Cocking
2) Langkah 2
1. Bila pasien/korban berdiri penolong berdiri di
belakang pasien/korban, bila pasien/korban
duduk penolong berlutut dan berada di
belakang pasien/korban.
2. Letakkan satu kaki di antara kedua tungkai
pasien/korban
2. Chest thrust
Tindakan tersebut di lakukan dengan memposisikan
bayi dengan kepala di bawah dan posisi telentang.
Tindakan ini akan lebih aman bila penolong
meletakkan punggung bayi di lengan yang bebas
serta menopang ubun-ubun dengan tangan
Topang peletakkan bayi pada lengan dengan
menggunakan bantuan paha penolong
Identiikasi daerah yang akan di lakukan tekanan
(bagian bawah sternum). Kemudian lakukan chest
thrust. Tindakan ini mirip dengan kompresi dada
pada bantuan hidup dasar, namun lebih lambat dan
lebih menghentak sebanyak 5 kali. Bila benda asing
belum keluar tindakan di ulang kembali dari awal.
3) Face Mask
Penggunaan face mask dapat memasilitasi
pengaliran oksigen atau gas anestesi dari sistem
pernapasan ke pasien dengan pemasangan face mask
yang rapat. Lingkatan dari face mask di sesuaikan dari
bentuk muka pasien. Orificium face mask dapat di
sambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor.
Tersedia berbagai model face mask. Face mask yang
transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan
muntahan. Face mask yang di buat dari karet berwarna
hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk
muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai untuk
mengaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu
terus dipegang. Beberapa macam face mask untuk
pediatrik di desain untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas
yang bebas dan face mask yang rapat/tidak bocor.
Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya
ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling
face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang
tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan
yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan
napas.
Bila face mask di pegang dengan tangan kiri,
tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi
dengan tekanan positif dengan memeras breating bag.
Face mask di pasang di muka pasien dan sedikit ditekan
pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari
tengah dan jari manis menarik mandibula, jangan pada
jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat
terjadi obstruksi jalan napas. Jari kelingking ditempatkan
di bawah sudut rahang dan di gunakan untuk jaw thrust
manuver yang paling penting untuk dapat melakukan
ventilasi pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan
untuk mendapatkan jaw thrust yang adekuat dan face
mask yang rapat. Karena itu di perlukan seorang asisten
untuk memompa bag. Obstruksi selama ekspirasi dapat
di sebabkan karena tekanan kuar dari face mask atau
efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit
memasang face mask rapat kemuka. Ventilasi tekanan
normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah
masuknya udara ke lambung.
Kebanyakan jalan napas pasien dapat di
pertahankan dengan face mask dan oral atau nasal
airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama
dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang
saraf trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak adanya
tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan,
hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask
supaya tidak bocor. Bila face mask dan ikatan masker
digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
di rubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan
pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari
aberasi kornea (Morgan G.E et al, 2006).
KESIMPULAN
Dengan adanya panduan RJP tahun 2015 yang lebih ringkas ini
diharapkan dapat memacu penolong awam yang tidak terlatih untuk
menyelamatkan penderita yang mengalami henti jantung, sehingga rata-
rata kelangsungan hidup penderita yang mengalami henti jantung dapat
meningkat.
Setiap sistem, baik di rumah sakit atau di luar rumah sakit, harus
menilai kinerja dan menerapkan strategi untuk meningkatkan perawatan
dalam kasus-kasus serangan jantung. Resusitasi yang berhasil setelah
terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari tindakan yang
terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera henti jantung dan aktivasi
emergency response system, RJP awal dengan menekankan pada
kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced life support yang efektif,
perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi. Dengan melakukan
rangkaian tindakan tersebut secara benar, potensi dariChain of Survival
dapat dicapai secara penuh sehingga dapat meningkatkan kesehatan
masyarakat.
Dalam penanganan RJP ataupun dalam melakukan tindakan
anetshesi hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah jalan nafas,
Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah prosedur medis
yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan
jalur nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini
dilakukan dengan membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan
napas yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing,
atau bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang
teraspirasi.
Obstruksi jalan nafas terbagi menjadi 2 yaitu obstruksi total dan
parsial. Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas
(misalnya kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding
posterior faring. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi
dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan
menekan lidah dengan spatel lidah.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis Anestesiologi
2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation in the
lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-
8.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd
ed. Jakarta: FKUI.
Medical Book. Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines,
Emergency Airway