Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dry eye syndrome (sindroma mata kering) adalah penyakit multifaktorial dengan gejala
berkurangnya cairan air mata dan gangguan pada permukaan mata akibat perubahan permukaan
epitel sehingga menurunkan jumlah air mata dan sensitifitas permukaan mata dimana hal ini
menyebabkan reaksi inflamasi.1 Kondisi ini dapat menyebabkan berkurangnya fungsi visual,
perubahan jaringan secara kronis, kelainan struktur atau fungsi dari kelopak mata, kelenjar
penutup dan sekresinya, konjungtiva atau kornea. Komplikasi dry eye adalah risiko terjadinya
infeksi dan peradangan kronis sehingga mengakibatkan penurunan penglihatan.2

Sindroma mata kering (dry eye syndrome) pada populasi Asia lebih banyak dibandingkan
populasi kulit putih (Caucasian). Diperkirakan dari 5 miliyar penduduk Amerika berumur diatas
50 tahun menderita dry eye syndrome dan 25% diantaranya mengalami ketidak normalan pada
permukaan mata.2 Di Korea dari 1654 partisipan terdapat 33,2% penderita dry eye.3 Di Jepang
dari 3294 partisipan terdapat 21,6% pasien wanita dan 12,5% laki-laki.4

Faktor resiko dry eye syndrome meliputi usia lanjut, ras Asia, kehamilan, beberapa
penyakit seperti kekurangan vitamin A, infeksi hepatitis C, diabetes mellitus, infeksi HIV,
keratoplastik, isotretinoin, sarkoidosis, disfungsi ovarium, penyakit pada jaringan ikat, diet asam
lemak omega 3 dan omega 6, obat-obatan seperti antihistamin, antidepresan trisiklik,
penghambat serotonin secara selektif, diuretik, β-bloker, antikolinergik, ankiolitis, antipsikosis,
kontrasepsi oral, kemoterapi sistemik, terpapar laser, terapi radiasi, transplantasi stem sel
hematopoietik, merokok, alkohol, dan lingkungan dengan kelembaban rendah.5 Faktor resiko
lainnya adalah Reumatoid Artritis, penyakit Grave’s dan ketidaknormalan kelopak mata atau
permukaan mata.2 Selain itu, dry eye syndrome dapat diakibatkan oleh aktifitas visual seperti
membaca, menggunakan komputer, dan berkendara pada saat malam hari.6

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi

2.1.1 Kelenjar Lakrimal


Kelenjar lakrimal adalah kelenjar serosa dengan bentuk sebesar 20 x 12 x 5 mm,
strukturnya unik terdiri dari jaringan epitel dan limfoid. Fungsi kelenjar ini diatur oleh
saraf sekretomomotorik yang berasal dari superior salivary pontine nucleus. Serat post
ganglionik menuju ke cabang saraf maksilaris dan meninggalkannya lagi untuk
bergabung dengan cabang lakrimal dari saraf mata.8 Kompleks lakrimalis terdiri atas
glandula lakrimalis, glandulae lakrimalis aksesori, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan
duktus nasolakrimalis.7

Unit fungsional lakrimal (LFU) terdiri dari kelenjar lakrimal, permukaan mata
yang terdiri dari kornea, konjungtiva, kelenjar meibomian, serta saraf sensorik dan
motorik. LFU mengontrol sekresi komponen utama dari lapisan air mata, transparansi
kornea dan kualitas gambar yang diproyeksikan ke retina.9 Unit fungsi lakrimal
bertanggung jawab dalam regulasi, produksi, dan kesehatan lapisan air mata.10

2
2.1.2 Glandula lakrimalis terdiri atas struktur dibawah ini:7

1. Bagian orbita
Berbentuk kenari yang teretak didalam foss lakrimalis di segmen temporal atas
anterior dari orbita, dipisahkan dari bagian palpebra oleh kornu lateralis dari
muskulus levator palpebrae. Untuk mencapai bagian ini dari kelenjar secara bedah,
harus diiris kulit, muskulus orbikuaris okuli, dan septum orbitale.
2. Bagian Palpebrae
Bagian palpebrae yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal dari forniks
konjungtivae superior. Duktus sekretorius lakrimalis, yang bermuara kira-kira
sepuluh lubang kecil, menghubungkan bagian orbital dan palpebrae glandula
lakrimalis dengan forniks konjungtivae superior. Pembuangan bagian palpebrae dari
kelenjar memutuskan semua saluran penghubung dan dengan demikian mencegah
kelenjar itu bersekresi.
Glandula lakrimalis aksesori (glandula Krause dan Wolfring) terletk di dalam
substansia propia di konjungtiva palpebrae.
Air mata mengalir dari lakuna lakrimalis melalui punktum superior dan inferior dan
kanalikuli ke sakus lakrimalis, yang terletak di dalam fossa lakrimalis. Duktus
nasolakrimalis berlanjut kebawah dari sakus dan bermuara ke dalam meatus inferior
dari rongga nasal, lateral terhadap turbinatum inferior. Air mata diarahkan kedalam
punktum oleh isapan kapiler dan gaya berat dan berkedip. Kekuatan gabungan dari

3
isapan kapiler dan gaya berat berkedip. Kekuatan gabungan dari isapan kapiler dalam
kanalikuli, gaya berat dan dan kerja memompa dari otot Horner, yang merupan
perluasan muskulus orbikularis okuli ke titik di belakang sakus lakrimalis, semua
cenderung meneruskan aliran air mata ke bawah melalui duktus nasolakrimalis ke
dalam hidung.
3. Pembuluh Darah dan Limfe
Pasokan darah dari glandula lakrimalis bersal dari arteria lakrimalis. Vena yang
mengalir pergi dari kelenjar bergabung dengan vena oftalmika. Drenase lime menyatu
dengan pembuluh limfe konjungtiva untuk mengalir ke dalam limfonodus pra-
aurikula.
4. Persarafan
Pasokan saraf ke glandula lakrimalis adalah melalui:
a) Nervus lakrimalis (sensoris), sebuah cabang dari divisi trigeminus.
b) Nervus petrosus superfisialis magna (sekretoris), yang datang dari nukleus
salivarius superior.
c) Nervus simpatis yang menyertai arteria lakrimalis dan nervus lakrimalis.

4
2.2 Fisiologi
2.2.1 Sistem Sekresi Air Mata
Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimalis yang
terletak di fossa glandulae lacrimalis yang terletak di kuadran temporal atas
orbita. Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral
aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra
yang lebih kecil, masing-masing dengan sistem duktulus yang bermuara ke
forniks temporal superior. Persarafan kelenjar utama datang dari nucleus
lacrimalis di pons melalui nervus intermedius dan menempuh suatu jaras
rumit cabang maxillaris nervus trigeminus.
Kelenjar lakrimal assesorius, walaupun hanya sepersepuluh dari massa
kelenjar utama, mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar Krause dan
Wolfring identik dengan kelenjar utama, namun tidak memiliki ductulus.
Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama di forniks
superior. Sel-sel goblet uniseluler, yang juga tersebar di konjungtiva,
mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea
meibom dan zeis di tepian palpebra memberi lipid pada air mata. Kelenjar
Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang ikut membentuk tear film.
Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan
menyebabkan air mata mengalir melimpah melewati tepian palpebra (epifora).
Kelenjar lakrimal assesorius dikenal sebagai ”pensekresi dasar”. Sekret yang
dihasilkan normalnya cukup untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya
sel goblet, berakibat mengeringnya korena meskipun banyak air mata dari
kelenjar lakrimal.

Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 µm yang menutup


epitel kornea dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultra tipis ini adalah
1. Membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan
meniadakan ketidakteraturan minimal di permukaan epitel.
Tear film adalah komponen penting dari “the eye’s optical system”.
Tear film dan permukaan anterior kornea memiliki mekanisme untuk

5
memfokuskan refraksi sekitar 80%. Bahkan sebuah perubahan kecil
pada kestabilan dan volume tear film akan sangat mempengaruhi
kualitas penglihatan (khususnya pada sensitivitas pada kontras). “Tear
break up” menyebabkan aberasi optik yang akan menurunkan kualitas
fokus gambaran yang didapatkan retina. Oleh karena itu,
ketidakteraturan pada tear film preocular merupakan penyebab
munculnya gejala visual fatigue dan fotofobia.
2. Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva
yang lembut.
Pergerakan kelopak mata dapat menimbulkan gaya ± 150 dyne/cm
yang mempengaruhi tear film. Lapisan musin pada tear film dapat
mengurangi efek yang dapat mempengaruhi epitel permukaan. Pada
keratokonjungtivitis, perubahan lapisan musin menyebabkan epitel
permukaan semakin mudah rusak akibat gaya tersebut yang
menyebabkan deskuamasi epithelial dan menginduksi apoptosis.
3. Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan
mekanik dan efek antimikroba.
Permukaan okuler adalah permukaan mukosa yang paling sering
terpapar lingkungan. Bagian ini selalu terpapar suhu yang ekstrim,
angin, sinar UV, alergen dan iritan. Tear film harus memiliki stabilitas
untuk menghadapi paparan lingkungan tersebut. Komponen tear film
yang berfungsi untuk perlindungan adalah IgA, laktoferin, lisozim dan
enzim peroksidase yang dapat melawan infeksi bakteri maupun virus.
Lapisan lipid mengurangi penguapan komponen akuos akibat
perubahan lingkungan. Selanjutnya, tear flim dapat membersihkan
partikel, iritan dan alergen akibat paparan lingkungan.
4. Menyediakan substansi nutrien yang dibutuhkan kornea.
Karena kornea merupakan struktur yang avaskuler, epitel kornea
bergantung pada growth factors yang terdapat pada tear film dan
mendapat nutrisi dari tear film. Tear film menyediakan elektolit dan
oksigen untuk epitel kornea sedangkan glukosa yang dibutuhkan

6
kornea berasal dari difusi dari aqueous humor. Tear film terdiri dari
±25 g/mL glukosa, kira-kira 4% dari konsentrasi glukosa pada darah,
yaitu konsentrasi yang dibutuhkan oleh jaringan non-muskular.
Antioksidan yang terdapat pada tear film juga mengurangi radikal
bebas akibat pengaruh lingkungan. Tear film juga mengandung growth
factor yang penting untuk regenerasi dan penyembuhan epitel kornea.

2.2.2 Lapisan-Lapisan Tear Film


1. Lapisan Superfisial
Merupakan film lipid monomokuler yang berasal dari kelenjar meibom.
Diduga lapisan ini menghambat penguapan dan membentuk sawar kedap
air saat palpebra ditutup. Lapisan ini terdiri dari lipid polar dan non polar
yang menyebar ke seluruh permukaan mata saat mata berkedip.
Penyebaran lipid ini penting karena penumpukan lipid, khususnya lipid
nonpolar, dapat mengkontaminasi lapisan musin yang dapat
mengakibatkan lapisan ini tidak bisa dibasahi.
2. Lapisan akueosa tengah
Lapisan yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor dan minor,
mengandung substansi larut air (garam dan protein). Lapisan ini
mengandung oksigen, elektrolit dan banyak protein seperti growth factors,
yang berfungsi sebagai sumber nutrisi dan menyediakan lingkungan yang
cocok untuk epitel permukaan. Keadaan epitel permukaan bergantung

7
pada growth factors seperti EGF, HGF dan KGF. Immunoglobulin dan
protein lainnya seperti laktoferin, lisozim, defensin dan IgA, menjaga
pemukaan mata dari infeksi bakteri dan virus. Protein lain seperti
interleukin, meminimalkan inflamasi pada permukaan mata.
Kandungan elektrolit pada tear film, memiliki konsentrasi yang sama
dengan elektrolit serum dengan osmolaritas 300mOsm/L yang
mempertahankan volume volume sel epitel. Ion juga membantu proses
enzimatik dengan melarutkan protein. Osmolaritas yang tepat dibutuhkan
untuk mempertahankan potensial membran saraf, homeostasis seluler, dan
fungsi sekresi.

3. Lapisan musinosa
Terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea dan
konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein dan karenanya
relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi dengan
larutan berair saja. Musin diadsorpsi sebagian pada membran epitel
kornea dan oleh mikrovili ditambatkan pada sel-sel permukaan. Ini
menghasilkan permukaan hidrofilik baru bagi lapisan akueosa untuk
menyebar secara merata ke bagian yang dibasahinya dengan cara
menurunkan tegangan permukaan.

8
Fungsi lapisan ini sebagai surfaktan yang membantu air mata membasahi
epitel kornea yang bersifat hidrofobik. Lapisan ini juga berfungsi dalam
mempertahankan kejernihan penglihatan dan kekuatan refraksi.Lapisan
musin yang intak melindungi epitel dari ancaman lingkungan dan
meminimalkan pengaruh gaya yang muncul akibat mata yang berkedip.

Volume air mata normal diperkirakan 7 ± 2 µL di setiap mata. Albumin


mencakup 60% dari protein total air mata; sisanya globulin dan lisozim
yang berjumlah sama banyak. Terdapat IgA, IgG, dan IgE. Yang paling
banyak adalah IgA, yang berbeda dari IgA serum karena bukan berasal
dari transudat serum saja; IgA juga diproduksi oleh sel-sel plasma dalam
kelenjar lakrimal. Pada keadaan alergi tertentu, seperti konjungtivitis
vernal, konsentrasi IgE dalam cairan mata meningkat.
Lisozim air mata menyusun 21-25% protein total, bekerja secara sinergis
dengan gammaglobulin dan faktor antibakteri non-lisozim lain,
membentuk mekanisme pertahanan penting terhadap infeksi. Enzim air
mata lain juga bisa berperan dalam diagnosis berbagai kondisi klinis
tertentu, mis., hexoseaminidase untuk mendiagnosis penyakit Tay-Sachs.7

9
2.3 Disfungsi Tear Film
2.3.1 Abnormalitas kuantitas maupun kualitas tear film terjadi akibat
1. Perubahan jumlah tear film.
2. Perubahan komposisi tear film.
3. Penyebaran tear film yang tidak merata akibat permukaan kornea yang
irregular.

Perubahan jumlah dan komposisi tear film dapat terjadi karena defisiensi
aqueous, difisiensi musin atau sebaliknya kelebihan aqueous dan musin dan
atau abnormalitas lipid (disfungsi kelenjar meibom). Contohnya, peningkatan
osmolaritas tear film terlhat pada pasien dengan keratoconjunctivitis sicca
atau pada blefaritis dan pada orang yang menggunakan lensa kontak.
Penyebaran air mata yang tidak merata dapat terjadi bersamaan dengan
permukaan kornea atau limbus yang tidak rata (inflamasi, jaringan parut,
perubahan distropi) atau penggunaan lensa kontak yang tidak benar. Dapat
juga terjadi akibat gangguan pada kelopak mata akibat kelainan kongenital,
disfungsi kelopak mata neurogenik, atau disfungsi mekanisme berkedip.

2.4 Dry Eye/ Keratokonjungtivitis Sicca

2.4.1 Definisi
Dry eye syndrome (sindroma mata kering) juga biasa disebut keratokonjungtivitis
sicca atau sindroma disfungsi lapisan air mata didefinisikan oleh National Eye Institute
pada tahun 1995 merupakan sebuah gangguan lapisan air mata akibat defisiensi air
mata atau penguapan air mata yang berlebihan yang mana kondisi tersebut
menyebabkan kerusakan permukaan interpalpebral mata dan berhubungan dengan
gejala ketidaknyamanan mata.
Sedangkan menurut International Dry Eye Workshop pada tahun 2007
mendefinisikan dry eye syndrome sebagai penyakit multifaktorial pada lapisan air mata
dan permukaan mata dengan gejala ketidaknyamanan, gangguan ketajaman mata, dan
ketidakstabilan lapisan air mata dengan kerusakan potensial pada permukaan mata.

10
Kondisi tersebut disertai dengan hiperosmolaritas pada lapisan air mata dan inflamasi
pada permukaan mata (Perry, 2008).

2.4.2 Faktor Resiko


Faktor-faktor yang dapat memicu terhadap resiko terjadinya dry eye baik pada
wanita maupun pria dan beberapa diantaranya tidak dapat dihindari adalah (Asyari
Fatma, 2007) :
1) Usia lanjut. Dry eye dialami oleh hampir semua penderita usia lanjut, 75% di atas
65 tahun baik laki maupun perempuan.
2) Hormonal yang lebih sering dialami oleh wanita seperti saat kehamilan,
menyusui, pemakaian obat kontrasepsi, dan menopause.
3) Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye seperti: artritis
rematik, diabetes, kelainan tiroid, asma, lupus erythematosus, pemphigus,
Stevens-johnsons syndrome, Sjogren syndrome, scleroderma, polyarteritis
nodosa, sarcoidosis, Mickulick.s syndrome.
4) Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti antidepresan,
dekongestan, antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi oral, diuretik, obat-obat
tukak lambung, tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi umum.
5) Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak yang mengandung kadar
air tinggi akan menyerap air mata sehingga mata terasa perih, iritasi, nyeri,
menimbulkan rasa tidak nyaman/intoleransi saat menggunakan lensa kontak, dan
menimbulkan deposit protein.
6) Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap, polusi udara, angin,
berada diruang ber-AC terus menerus akan meningkatkan evaporasi air mata.
7) Mata yang menatap secara terus menerus sehingga lupa berkedip seperti saat
membaca, menjahit, menatap monitor TV, komputer, ponsel
8) Pasien yang telah menjalani operasi refraktif seperti Photorefractive keratectomy
(PRK), laser-assited in situ keratomileusis (LASIK) akan mengalami dry eye
untuk sementara waktu.

11
Gambar : Klasifikasi Dry Eye

2.4.3 Etiologi

Banyak diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi lebih dari satu
komponen film air mata atau berakibat perubahan permukaan mata yang secara sekunder
menyebabkan film air mata menjadi tidak stabil. Ciri histopatologik termasuk timbulnya
bintik-bintik kering pada kornea dan epitel konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel
goblet konjungtiva, pembesaran abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel,
dan penambahan keratinasi.

A. Kondisi ditandai hipofungsi kelenjar lakrimal


1. Kongenital
a. Dysautonomia familier (sindrom Riley-Day)
b. Aplasia kelenjar lakrimal (alakrima kongenital)
c. Aplasia nervus trigeminus
d. Dysplasia ectodermal

12
2. Didapat
a. Penyakit sistemik
i. Sindrom sjorgen
ii. Sklerosis sistemik progresif
iii. Sarkoidosis
iv. Leukimia, limfoma
v. Amiloidosis
vi. Hemokromatosis
b. Infeksi
i. Trachoma
ii. Parotitis epidemica
c. Cedera
i. Pengangkatan kelenjar lakrimal
ii. Iradiasi
iii. Luka bakar kimiawi
d. Medikasi
i. Antihistamin
ii. Antimuskarinik: atropin, skopolamin
iii. Anestetika umum: halothane, nitrous oxide
iv. Beta-adregenik blocker: timolol, practolol
e. Neurogenik-neuroparalitik (fasial nerve palsy)
3. Kondisi ditandai defisiensi musin
a. Avitaminosis A
b. Sindrom steven-johnson
c. Pemfigoid okuler
d. Konjungtivitis menahun
e. Luka bakar kimiawi
f. Medikasi-antihistamin, agen muskarin, agen Beta-adregenic blocker
4. Kondisi ditandai defisiensi lipid:
a. Parut tepian palpebral
b. Blepharitis

13
5. Penyebaran defektif film air mata disebabkan:
a. Kelainan palpebral
i. Defek, coloboma
ii. Ektropion atau entropion
iii. Keratinasi tepian palpebral
iv. Berkedip berkurang atau tidak ada
1. Gangguan neurologic
2. Hipertiroid
3. Lensa kontak
4. Obat
5. Keratitis herpes simpleks
6. Lepra
v. Lagophthalmus
1. Lagophthalmus nocturna
2. Hipertiroidi
3. Lepra
b. Kelainan konjungtiva
i. Pterygium
ii. Symblepharon
c. Proptosis

2.4.4 Manifestasi Klinis

Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang sensasi gatal atau
berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus berlebihan, tidak
mampu menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas, merah, sakit, dan sulit
menggerakkan palpebra. Pada kebanyakan pasien, ciri paling luar biasa pada pemeriksaan
mata adaah tampilan yang nyata-nyata normal. Ciri yang paling khas pada pemeriksaan
slitlamp adalah terputus atau tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior.
Benang-benang mukuskental kekuning-kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix
conjungtivae inferior. Pada konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal dan
mungkin menebal, beredema dan hiperemik.

14
Epitel kornea terlihat bertitik halus pada fissura interpalpebra. Sel-sel epitel
konjungtiva dan kornea yang rusak terpulas dengan bengal rose 1% dan defek pada epitel
kornea terpulas dengan fluorescein. Pada tahap lnjut keratokonjungtivitis sicca tampak
filamen-filamen dimana satu ujung setiap filamen melekat pada epitel kornea dan ujung
lain bergerak bebas. Pada pasien dengan sindrom sjorgen, kerokan dari konjungtiva
menunjukkan peningkatan jumlah sel goblet. Pembesaran kelenjar lakrimal kadang-kadang
terjadi pada sindrom sjorgen. Diagnosis dan penderajatan keadaan mata kering dapat
diperoleh dengan teliti memakai cara diagnostik berikut:

A. Tes Schirmer7
Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip Schirmer
(kertas saring Whatman No. 41) kedalam cul de sac konjungtiva inferior pada batas
sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang terpapar diukur 5
menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anestesi
dianggap abnormal.
Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama, yang
aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring itu. Tes Schirmer yang dilakukan
setelah anestesi topikal (tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal tambahan
(pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5 menit adalah abnormal.
Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata. Dijumpai hasil false
positive dan false negative. Hasil rendah kadang-kadang dijumpai pada orang normal, dan
tes normal dijumpai pada mata kering terutama yang sekunder terhadap defisiensi musin.

15
B. Tear film break-up time
Pengukuran tear film break-up time kadang-kadang berguna untuk
memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin mungkin
tidak mempengaruhi tes Schirmer namun dapat berakibat tidak stabilnya film air mata. Ini
yang menyebabkan lapisan itu mudah pecah. Bintik-bitik kering terbentuk dalam film air
mata, sehingga memaparkan epitel kornea atau konjungtiva. Proses ini pada akhirnya
merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas dengan bengal rose. Sel-sel epitel yang rusak
dilepaskan kornea, meninggalkan daerah-daerah kecil yang dapat dipulas, bila permukaan
kornea dibasahi flourescein.
Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik keras
berflourescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien berkedip. Film air mata
kemudian diperiksa dengan bantuan saringan cobalt pada slitlamp, sementara pasien
diminta agartidak berkedip. Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama
dalam lapisan flourescein kornea adalah tear film break-up time. Biasanya waktu ini lebih
dari 15 detik, namun akan berkurang nyata oleh anestetika lokal, memanipulasi mata, atau
dengan menahan palpebra agar tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan
defisiensi air pada air mata dan selalu lebih pendek dari normalnya pada mata dengan
defisiensi musin.

16
C. Tes Ferning Mata
Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti mukus konjungtiva dilakukan dengan
mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Arborisasi (ferning)
mikroskopik terlihat pada mata normal. Pada pasien konjungtivitis yang meninggakan
parut (pemphigoid mata, sindrom stevens johnson, parut konjungtiva difus), arborisasi
berkurang atau hilang.
D. Sitologi Impresi
Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada permukaan konjungtiva.
Pada orang normal, populasi sel goblet paling tinggi di kuadran infra-nasal. Hilangnya sel
goblet ditemukan pada ksus keratokonjungtivitis sicc, trachoma, pemphigoid mata
cicatrix, sindrom stevens johnson, dan avitaminosis A.
E. Pemulasan Flourescein
Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berflourescein adalah indikator baik
untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata mudah terlihat. Flourescein akan
memulas daerah-daerah tererosi dan terluka selain defek mikroskopik pada epitel kornea.
F. Pemulasan Bengal Rose
Bengal rose lebih sensitif dari flourescein. Pewarna ini akan memulas semua sel epitel
non-vital yang mengering dari kornea konjungtiva.

17
G. Penguji Kadar Lisozim Air Mata
Penurunan konsentrasi lisozim air mata umumnya terjadi pad awal perjalanan sindrom
Sjorgen dan berguna untuk mendiagnosis penyakit ini. Air mata ditampung pada kertas
Schirmer dan diuji kadarnya. Cara paling umum adalah pengujian secara spektrofotometri.
H. Osmolalitas Air Mata
Hiperosmollitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sicca dan pemakaian
kontak lens dan diduga sebagai akibat berkurangnya sensitivitas kornea. Laporan-laporan
menyebutkan bahwa hiperosmolalitas adalah tes paling spesifik bagi keratokonjungtivitis
sicca. Keadaan ini bahkan dapat ditemukan pada pasien dengan Schirmer normal dan
pemulasan bengal rose normal.
I.
Lactoferrin
Lactoferrin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar
lakrimal. Kotak penguji dapat dibeli dipasaran.

2. 4.5 Terapi
Pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan menahun dan
pemulihan pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus ringan, saat perubahan epitel
pada kornea dan konjungtiva masih reversibel.1 Air mata buatan adalah terapi yang kini
dsering digunakan. Salep berguna sebagai pelumas jangka panjang, terutama saat tidur.
Fungsi utama pengobatan ini adalah penggantian cairan. Pemulian musin adalah
tugas yang lebih berat. Tahun-tahun belakangan ini, ditambahkan polimer larut air dengan
berat molekul tinggi pada air mata buatan, sebagai usaha memperbaiki dan
memperpanjang lama pelembaban permukaan.agen mukomimetik lain termasuk Na-
hialuronat dan larutan dari serum pasien sendiri sebagai tetesan mata. Jika mukus itu
kental, seperti pada sindrom Sjorgen, agen mukolitik (mis, acetylcystein 10%) dapat
menolong.
•Topikal cyclosporine A
•Topikal corticosteroids
•Topikal/sistemik omega-3 fatty acids:
Omega-3 fatty acids menghambat sintesis dari mediator lemak dan memblok
produksi dari IL-1 and TNF-alpha. Pasien dengan kelebihan lipid dalam air mata

18
memerlukan instruksi spesifik untuk menghilangkan lipid dari tepian palpebrae.
Mungkin diperlukan antibiotika topikal atau sistemik. Vitamin A topikal mungkin
berguna untuk memulihkan metaplasia permukaan mata.
Semua pengawet kimiawi dalam air mata buatan akan menginduksi sejumlah toksisitas
kornea. Benzalkonium chlorida adalah peparat umum yang paling merusak. Pasien yang
memerlukan beberapa kali penetesan sebaiknya memakai larutan tanpa bahan pengawet.
Bahan pengawet dapat pula menimbulkan reaksi idiosinkrasi. Ini paling serius dengan
timerosal.
Pasien dengan mata kering oleh sembarang penyebab lebih besar kemungkinan terkena
infeksi. Blepharitis menahun sering terdapat dan harus diobati dengan memperhatikan
higiene dan memakai antibiotika topikal. Acne rosacea sering terdapat bersamaan dengan
keratokonjungtivitis sicca, dan pemgobatan dengan tetrasklin sistemik ada manfaatnya.
Tindakan bedah pada mata kering adalah pemasangan sumbatan pada punktum yang
bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu lebih lama (silikon), untuk menahan sekret
air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengn terapi
themal (panas), kauter listrik atau dengan laser.

2.4.6 Prognosis
Secara umum, prognosis untuk ketajaman visual pada pasien dengan sindrom mata kering
baik.

2.4.7 Komplikasi
Pada awal perjalanan keratokonjungtivitis sicca, penglihata sedikit terganggu. Dengan
memburuknya keadaan, ketidaknyamanan sangat menggangu. Pada kasus lanjut, dapat
timbul ulkus kornea, penipisan kornea, dan perforasi. Kadang-kadang terjadi infeksi
bakteri sekunder, dan berakibat parut dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat
menurunkan penglihatan. Terapi dini dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini.

19
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom mata kering adalah suatu gangguan pada permukaan mata yang ditandai
dengan ketidakstabilan produksi dan fungsi dari lapisan air mata. Angka kejadian
Sindroma Mata Kering ini lebih banyak pada wanita dan cenderung meningkat sesuai
dengan peningkatan usia. Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang
sensasi gatal atau berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi
mukus berlebihan, tidak mampu menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas,
merah, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra. Pada kebanyakan pasien, ciri paling luar
biasa pada pemeriksaan mata adaah tampilan yang nyata-nyata normal. Ciri yang paling
khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tiadanya meniskus air mata di tepian
palpebra inferior.
Kompleks lakrimalis terdiri atas glandula lakrimalis, glandulae lakrimalis
aksesori, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis. Air mata dihasilkan juga
oleh kelenjar air (kelenjar lakrimal). Lapisan ini berfungsi untuk membersihkan mata dan
mengeluarkan benda-benda asing atau iritan.
Banyak diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi lebih dari satu
komponen film air mata atau berakibat perubahan permukaan mata yang secara sekunder
menyebabkan film air mata menjadi tidak stabil. Pasien dengan mata kering paling sering
mengeluh tentang sensasi gatal atau berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah
gatal, sekresi mukus berlebihan, tidak mampu menghasilkan air mata, sensasi terbakar,
fotosensitivitas, merah, sakit, dan sulit menggerakkan palpebra.
Air mata buatan adalah terapi yang kini dianut. Salep berguna sebagai pelumas
jangka panjang, terutama saat tidur. Bantuan tambahan diperoleh dengan memakai
pelembab, kacamata pelembab bilik, atau kacamata berenang. Secara umum, prognosis
untuk ketajaman visual pada pasien dengan sindrom mata kering baik. Pada kasus lanjut,
dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea, dan perforasi. Kadang-kadang terjadi infeksi
bakteri sekunder, dan berakibat parut dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat
menurunkan penglihatan. Terapi dini dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini.

20

Anda mungkin juga menyukai