Anda di halaman 1dari 15

PENENTUAN HARGA POKOK PRODUK BERSAMA DAN

PRODUK SAMPINGAN
TIU: Mahasiswa dapat menerapkan penentuan harga pokok produk bersama dan
produk sampingan
TIK : Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat
1. Menjelaskan akuntansi produk bersama dan produk sampingan.
2. Menjelaskan alokasi biaya bersama
3. Menjelaskan perlakuan produk sampingan
4. Menjelaskan sisa bahan, produk rusak, dan produk cacat (scrapt, spoiled goods
and defective work).
Akuntansi Produk Bersama dan Produk Sampingan (Joint Product and By
Product Accounting)
Produk bersama bisa diartikan produk yang diprodusir bersama dengan
menggunakan satu jenis bahan (satu kelompok biaya) tetapi hasil jadinya (produk
jadi) beberapa jenis. Produk sampingan sebetulnya mempunyai pengertian sama
dengan produk bersama. Yaitu barang jadi yang dihasilkan dari satu kelompok biaya
(bahan baku) perbedaan antara produk bersama dengan produk sampingan terletak
pada nilai produk jadinya.
Produk bersama mempunyai nilai yang relatif sebanding antara produk satu
dengan produk lainnya sedangkan produk sampingan nilai yang relatif lebih rendah
dibandingkan produk utama. Atau lebih kurang kedua pengertian produk tersebut
ditunjukkan sebagai berikut:
Kriteria Produk Bersama Produk Sampingan
Nilai jual Relatif tinggi Lebih rendah
Pembuatan produknya Tujuan utama Sampingan ( tidak bertujuan
memproduksi produk ini )
Harga pokok produksi Alokasi sebanding Seringkali tidak dibebani
biaya produksi
Contoh dari pengertian kedua produk tersebut:
1. Perusahaan Minyak Bumi
Minyak mentah adalah bahan untuk membuat premium, minyak solar, minyak
super dan minyak tanah.
a) Minyak tanah mentah adalah biaya bersama (joint cost)
b) Minyak solar, premium, super dan minyak tanah adalah produk bersama (joint
1
product), karena nilai dari keempatnya relatif sama dan pembuatannya
merupakan tujuan utama perusahaan
2. Perusahaan Sabun
a) Bahan sabun diolah akan menghasilkan sabun mandi, sabun cuci serta sisanya
(ampas) bisa dibuat zat pembersih alat dapur
b) Sabun mandi dan sabun cuci merupakan produk bersama
c) Zat pembersih alat dapur adalah produk sampingan karena nilainya relative
rendah dan bukan tujuan pertama perusahaan untuk memproduksi produk ini.
Apabila biaya bersama sudah bisa dibebankan (dialokasikan) ke masing-masing
produk bersama, kemudian timbul biaya tambahan sesudah itu, maka biaya
tambahan tersebut bisa langsung dihubungkan dengan per jenis produk. Biaya
semacam ini disebut biaya terpisah (separable cost)
Apabila digambarkan dalam skema, dapat dilihat gambar contoh perusahaan sabun
tersebut :
Hasil Utama Sampingan
Bahan, upah dan  Biaya Overhead Sabun mandi X
lain – lain Sabun mandi Y
 Biaya Overhead
(satu unit biaya)  Biaya Overhead Sabun cuci
Zat pembersih alat
Biaya bersama
dapur
(Joint cost)
Biaya terpisah Produk bersama Produk sampingan
(separable cost) (joint product ) ( by product )

Splitoff
Dari gambar 4 – 1 diketahui bahwa biaya bersama terjadi selama biaya tersebut
belum dibebankan ke masing – masing produk, pada saat biaya bersama dipisahkan
ke masing – masing produk (disebut masa pemisahan / split off). Apabila sesudah itu
terjadi tambahan biaya untuk memproses lebih lanjut, biaya ini disebut biaya terpisah
(separable cost) dan dibebankan langsung ke masing – masing produk.

Alokasi Biaya Bersama


Untuk membebankan biaya bersama ke masing – masing produk bisa digunakan
metode – metode:
a. Harga jual relative
2
b. Unit produk rata – rata
c. Rata – rata tertimbang
Contoh dari penggunaan metode pembebanan biaya bersama, kita misalkan PT
“Nomi” mengeluarkan biaya bersama sebesar Rp. 9.000.000,00. Produk bersama
berupa produk sabun “X” dan produk sabun “Y” dan sabun cuci (disingkat SX, SY
dan SC) masing – masing unit yang dibuat SX 30.000 unit SY = 40.000 SC =
20.000, harga jual per unit masing – masing SX = Rp. 200,00 – SY = Rp. 150,00 –
SC = Rp. 150,00.
1. Metode Harga Jual Relatif
Metode ini banyak digunakan untuk mengalokasikan biaya bersama kepada
produk bersama. Metode ini merupakan perwujudan biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam mengolah produk tersebut.
Contoh 1:
Dengan tidak mempertimbangkan adanya produk sampingan (dianggap tidak
ada) dan tidak ada biaya terpisah (separable cost). Alokasi biaya bersama dengan
metode relatif harga jual:
Persentase Alokasi Biaya
Jenis Produk Harga Jual Unit Produk Jumlah Penjualan
Relatif Bersama
(1) (2) (3) (4) (5)
(1x2)
Sabun X Rp. 200,00 30.000 Rp. 6.000.000 40% Rp. 3.600.000
Sabun Y Rp. 150,00 40.000 Rp. 6.000.000 40% Rp. 3.600.000
Sabun cuci Rp. 150,00 20.000 Rp. 3.000.000 20% Rp. 1.800.000
Rp. 15.000.000 100% Rp. 9.000.000

SX = x 100% =40%  40%xRp.9.000.000=Rp 3.600.000

SY = x 100% =40%  40%xRp.9.000.000=Rp 3.600.000

SC = x 100% = 20%  20%xRp.9.000.000=Rp. 1.800.000

Contoh 2:
Apabila timbul biaya terpisah misalnya produk “SX” = Rp. 2.000.000,00, produk
“SY” Rp. 2.000.000,00 tetapi produk SC tidak memerlukan, maka alokasi biaya

3
bersama dengan metode relative harga pasar ( dengan asumsi harga jual perunit sesudah
biaya terpisah SX – Rp. 300,00 – SY = Rp. 250,00
Jenis
Harga jual Unit Harga Jual Persentse Alokasi biaya
Produ Hasil Penjualan Biaya Terpisah
per unit Produksi Relatif Relatif bersama
k
(2) x (3) (4) – (5) (6) total x biaya
(1) (2) (3) (5)
(4) (6) (6) bersamaan (8)
SX Rp. 300 3.000 Rp. 9.000.000 Rp. 2.000.000 Rp. 7.000.000 38,89% Rp. 3.500.000
SY Rp. 250 40.000 Rp. 10.000.000 Rp. 2.000.000 Rp. 8.000.000 44,44% Rp. 4.000.000
SC Rp. 150 20.000 Rp. 3.000.000 - Rp. 3.000.000 16,67% Rp. 1.500.000
Rp. 18.000.000 100% Rp. 9.000.000
Dengan adanya biaya terpisah, maka relatif harga jurnal dihitung sesudah dikurangi
biaya terpisah.
2. Metode Unit Produksi Rata – rata
Dalam metode unit produksi rata – rata, maka biaya bersama dibebankan ke
produk berdasar jumlah unit yang diproduksi. Makin besar unit diproduksi makin
besar dibebani biaya produksi. Metode ini kurang tepat untuk digunakan bagi produk
yang hasil jualnya mempunyai perbedaan yang besar antara produk satu dengan
lainnya.
Contoh 3:
Dengan data yang ada pada perusahaan sabun PT “Nomi”, maka alokasi biaya
bersama metode unit produksi rata – rata sebagai berikut:
Jenis Persentase relative Alokasi biaya
Unit Produksi
Produk produksi rata – rata bersama
(2) : Total (2) (4)
(1) (2)
(3) (3) x Biaya bersama
SX 30.000 33,33% Rp. 3.000.000,00
SY 40.000 44,44% Rp. 4.000.000,00
SC 20.000 22,23% Rp. 2.000.000,00
90.000 100% Rp. 9.000.000,00
3. Metode Rata – rata Tertimbang
Metode rata – rata tertimbang adalah metode yang digunakan untuk
menyempurnakan metode unit produksi. Dalam metode rata – rata tertimbang, unit
diproduksi harus dicari bobotnya (timbangannya) sehingga pembagian biaya
bersama akan lebih tepat. Misalnya, untuk membuat produk SX, SY dan SC tersebut
diperlukan bahan SX = 0,6 liter, SY 0,3 liter dan SC = 1 liter. Maka alokasi biaya
bersama dengan metode rata – rata tertimbang, akan tampak sebagai berikut :

4
Unit Relatif produksi Alokasi Biaya bahan
Jenis Produksi Unit Produksi Persentase
Perimbang (4) (6)
(1) (2) (5)
(3) (2) x (3) (5) x biaya
SX 30.000 0,6 18.000 36% Rp. 3.240.000,00
SY 40.000 0,3 12.000 24% Rp. 2.160.000,00
SC 20.000 1,0 20.000 40% Rp. 3.600.000,00
90.000 50.000 100% Rp. 9.000.000,00
Perlakuan Produk Sampingan
Ada beberapa cara untuk memperlakukan produk sampingan, yaitu:
a. Diakui sebagai tambahan penjualan
b. Dikurangi pada harga pokok penjualan
c. Dikurangkan pada harga pokok produksi
d. Diakui sebagai pendapatan lain – lain.
Contoh :
Perusahaan minyak kelapa yang membuat produk minyak dengan kapasitas 100.000
liter per tahun. Disamping minyak, dihasilkan juga ampas minyak (jawa – blondo)
sebanyak 5.000 kg. Harga minyak per liter Rp. 1.000,00 dan ampas minyak Rp.
100,00 kg. Biaya produksi untuk minyak Rp. 60.000.000,00 biaya operasi Rp.
10.000.000,00 pendapatan bunga bank Rp. 2.500.000,00 tahun 2016 minyak yang
terjual 80.000 liter.
1. Produk sampingan diakui sebagai tambahan penjualan
LAPORAN RUGI LABA 2016
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00 Rp. 80.000.000,00
Penjualan ampas minyak 5.000 x Rp. 100,00 500.000,00
Jumlah Penjualan Rp. 80.500.000,00
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan 1 Januari Rp. -
Biaya produksi Rp. 60.000.000,00
Produk siap jual Rp. 60.000.000,00
Persediaan 31 Desember 2016 Rp. 12.000.000,00
Rp. 48.000.000,00
Laba Kotor Rp. 32.500.000,00
Biaya operasi ( 10.000.000,00 )
Pendapatan di Luar Operasi
Bunga Bank ( 2.500.000,00 )
Laba bersih Rp. 25.000.000,00

*) Biaya produksi per unit = = Rp. 600

5
Persediaan 31 Desember 2016=20.000(100.000–80.000)xRp. 600= Rp. 12.000.000

2. Dikurangkan pada harga pokok penjualan


LAPORAN RUGI LABA 2016
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00 Rp. 80.000.000,00
Harga Pokok Penjualan:
Persediaan 1 Januari Rp. -
Biaya produksi Rp. 60.000.000,00
Persediaan 31 Desember 2016 ( 12.000.000,00 )
Harga pokok penjualan Rp. 48.000.000,00
Penjualan produk sampingan ( 500.000,00 )
Harga pokok penjualan bersih Rp. 47.500.000,00
Laba Kotor Operasi Rp. 32.500.000,00
Biaya operasi ( 10.000.000,00 )
Pendapatan bunga 2.500.000,00
Laba bersih Operasi Rp. 25.000.000,00

3. Dikurangkan pada harga pokok produksi


LAPORAN RUGI LABA 2016
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00 Rp. 80.000.000,00
Harga Pokok Penjualan:
Persediaan 1 Januari Rp. -
Biaya produksi Rp. 60.000.000,00
Hasil produk sampingan ( 500.000,00 )
Biaya produksi bersih Rp. 59.500.000,00
Persediaan 31 Desember ( 11.900.000,00 )
Harga pokok penjualan Rp. 47.600.000,00
Laba Kotor Rp. 32.400.000,00
Biaya operasi ( 10.000.000,00 )
Pendapatan bunga 2.500.000,00
Laba bersih Rp. 24.900.000,00

*) Biaya produksi per unit = = Rp. 595

Persediaan 31 Desember 1982 = 20.000 x Rp. 595 = Rp. 11.900.000,00


4. Diakui sebagai pendapatan lain – lain

LAPORAN RUGI LABA 2016

6
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00 Rp. 80.000.000,00
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan 1 Januari Rp. -
Biaya produksi Rp. 60.000.000,00
Persediaan 31 Desember 2016 ( 12.000.000,00 )
Rp. 48.000.000,00
Laba kotor Rp. 32.000.000,00
Biaya operasi ( 10.000.000,00 )
Pendapatan Lain – lain :
Pendapatan bunga Rp. 2.500.000,00
Penjualan produk sampingan 500.000,00
Rp. 3.000.000,00
Laba bersih Rp. 25.000.000,00

Sisa Bahan, Produk Rusak dan Produk Cacat (Scrapt, Spoiled Goods and
Defictive Work)
TIK: Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat memahami scrapt
Sisa Bahan (Scrapt)
Pada perusahaan tertentu dimana pengolahan produknya menggunakan bahan
yang tidak berukuran khusus sering timbul adanya sisa bahan dari bahan baku karena
tidak bisa dihindari. Misalnya, perusahaan mainan anak dengan bahan kayu, dimana
kayu akan dipotong – potong sepanjang 50 cm dan bahan kayu berukuran bervariasi
seperti 120 cm, 80 cm dan sebagainya, maka akan timbul sisa bahan dan potongan –
potongan kayu.
Kadang kala sisa bahan bisa dijual dan menghasilkan tambahan pendapatan
cukup berarti. Atas hasil pendapatan sisa bahan, pengakuannya bisa dilakukan
dengan dua cara:
a. Disajikan langsung dalam laporan rugi laba sebagai laba lain – lain (other
income)
b. Di kreditkan ke rekening yang berhubungan dengan produksi:
1) Harga pokok proses, dikreditkan ke biaya overhead pabrik sesungguhnya
(overhead control)
2) Harga pokok pesanan, dikreditkan pada barang dalam (work in process)
pesanan yang berhubungan

1. Diakui sebagai laba lain – lain

7
Ada dua kemungkinan pencatatan untuk nengakui hasil pendapatan sisa bahan.
a) Apabila hasil sisa bahan tidak materiil, maka catatan dilakukan apabila sisa
bahan sudah laku :
Kas / piutang ………………… xxx
Laba dari penjualan sisa bahan ……………… xxx
b) Apabila hasil sisa bahan cukup material, maka catatan dilakukan:
 Diakui sebagai persediaan sisa bahan ketika diketahui ada sisa bahan di
kredit laba penjualan sisa bahan sejumlah perkiraan
 Disesuaikan apabila timbul perbedaan antara perkiraan dengan realisasi
Contoh 1 :
Perusahaan mempunyai sisa bahan, diperkirakan bernilai Rp. 50.000,00 dan laku
dijual kemudian dengan harga Rp. 550.000,00.
a. Pada saat mengetahui adanya sisa bahan
Persediaan sisa bahan ……………………. Rp. 500.000,00
Laba atau penjualan sisa laba …………………………….Rp. 500.000
b. Pada saat direalisasikan
Kas ………………………………………..Rp. 550.000,00
Persediaan sisa bahan ……………………………………Rp. 500.000,00
Laba atas penjualan sisa bahan ………………………….Rp. 50.000,00

2. Dikreditkan ke rekening produksi


Sesuai dengan metode proses produksinya, maka pencatatan akan dilakukan
seperti pada contoh 1 tersebut, hanya sebelah kredit dicatat pada rekening barang
dalam proses (untuk harga pokok pesanan) atau biaya overhead sesungguhnya
(untuk harga pokok proses). Jadi contoh tersebut dicatat:
a. Pada saat mengetahui adanya sisa bahan :
Persediaan sisa bahan ………………………….Rp. 500.000,00
Barang dalam proses / biaya overhead
Sesungguhnya ………………………………………Rp. 500.000,00

b. Pada saat direalisasikan :


8
Kas……………………………………………Rp. 550.000,00
Persediaan sisa bahan ………………………………Rp. 500.000,00
Barang dalam proses/biaya overhead
Sesungguhnya ……………………………………. Rp. 50.000,00
Sebagai alternative cara kedua, perusahan bisa menunggu sampai persediaan
sisa bahan terjadi (tanpa mengakui persediaan sisa bahan) dan dikreditkan ke
rekening tertentu setelah sisa bahan terjual.

Produk Rusak (Spoiled Goods)


Spoiled goods adalah produk yang rusak selama proses produksi. Ada dua
kemungkinan produk rusak dalam produksi: yaitu pertama: karena memang proses
produksinya selalu menimbulkan beberapa produk akan rusak atau disebut normal
terjadi dan kedua: karena sifat suatu pesanan yang menyebabkan produk rusak,
misalnya karena pesanan tersebut sulit dikerjakan atau disebut tidak normal.
Pada kemungkinan pertama, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi
(dimana produk itu lalu rusak) akan dibebankan pada seluruh produksi yang ada
melalui overhead yang dibebankan. Pada kemungkinan kedua biaya produk rusak
dibebankan pada pesanan tersebut.
Contoh:
a. Akuntansi untuk produk rusak normal terjadi
Untuk memberi gambaran yang jelas tentang produk rusak normal terjadi
diberikan contoh sebagai berikut:
PT “Yusa” membuat 100.000 unit produk dengan biaya produksi sebagai
berikut:
Bahan baku Rp. 100.000,00
Upah langsung Rp. 150.000,00
Overhead dibebankan Rp. 150.000,00
Dari jumlah produksi tersebut 5.000 unit rusak dan bisa dijual dengan harga total
Rp. 10.000,00.
1. Catatan pada saat produk dijual:
Barang dalam proses – Bahan baku Rp. 100.000,00
Barang dalam proses – upah langsung Rp. 150.000,00

9
Barang dalam proses – biaya overhead Rp. 150.000,00
Persediaan bahan baku Rp. 100.000,00
Hutang upah Rp. 150.000,00
Overhead dibebankan Rp. 150.000,00
2. Pada waktu diketahui produk rusak:
Produk rusak ……………………… Rp. 10.000,00
Overhead sesunggunya …………... Rp. 10.000,00
Barang dalam proses – bahan baku………… Rp. 5.000,00
Barang dalam proses – upah langsung …… Rp. 7.500,00
Barang dalam proses – overhead pabrik …… Rp. 7.500,00
Keterangan:
1. Harga pokok produksi per unit sebelum produk rusak (unit di produksi
100.000)
Total Per unit
Bahan baku Rp. 100.000,00 Rp. 1,00
Upah langsung Rp. 150.000,00 Rp. 1,50
Overhead pabrik Rp. 150.000,00 Rp. 1,50
Total Rp. 400.000,00 Rp. 4,00
2. Harga pokok produk yang rusak :
Bahan baku : 5.000 x Rp. 1,00 = Rp. 5.000,00
Upah langsung : 5.000 x Rp. 1,50 = Rp. 7.500,00
Overhead pabrik : 5.000 x Rp. 1,50 = Rp. 7.500,00
Total = Rp. 20.000,00
3. Harga pokok produk setelah produk rusak:
Total Per unit
Biaya produksi total 100.000 Rp. 400.000,00
Produksi rusak ( 5.000 ) ( 20.000,00 )
Total produk tidak rusak 95.000 Rp. 380.000,00

Biaya produksi per unit = = Rp. 4,00

Jadi dalam hal ini produk rusak normal yang terjadi tidak mempengaruhi nilai per
unit
b. Akuntansi untuk produk rusak tidak normal
Contoh berikut akan memperjelas perlakuan akuntansi untuk produk rusak karena

10
pesanan khusus.
PT “Clovis” menerima pesanan 11.000 pesanan barang “X” dengan jumlah biaya
produksi sebagai berikut:
Bahan baku ……………. Rp. 132.000,00
Upah langsung ………….. Rp. 110.000,00
Overhead dibebankan …….. Rp. 154.000,00
Total ………………….. Rp. 396.000,00
Setelah selesai produk diketahui rusak 1.000 unit dan produk rusak ini bisa
dijual Rp. 9.000,00
1. Catatan ketika produk dibuat:
Barang dalam proses – Bahan baku Rp. 132.000,00
Barang dalam proses – upah langsung Rp. 110.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead Rp. 154.000,00
Persediaan bahan Rp. 132.000,00
Hutang upah Rp. 110.000,00
Overhead pabrik Rp. 154.000,00
Catatan

Biaya produksi per unit = = Rp. 36,00

2. Catatan ketika timbul produk rusak :


Persediaan Produk rusak / kas ………… Rp. 9.000,00
Barang dalam proses – bahan baku………… Rp. 3.000,00
Barang dalam proses – upah langsung ……… Rp. 2.500,00
Barang dalam proses – overhead pabrik ……….. Rp. 3.500,00
Catatan :
Hasil penjualan produk rusak dibebankan secara proporsional

Bahan baku = x Rp.9.000,00=Rp. 3.000,00

Upah langsung = x Rp 9.000,00 =Rp. 2.500,00

11
Overhead pabrik = x Rp9.000,00 = Rp. 3.500,00

3. Biaya produksi setelah adanya produk rusak: = Rp. 38,70

Produk Cacat (Defictive Goods)


Produk cacat adalah produk yang rusak selama pengerjaan tetapi bisa diperbaiki
kembali dengan tambahan biaya tertentu agar menjadi normal (baik) kembali.
Perbedaan dengan produk rusak, adalah bahwa produk rusak tidak bisa diperbaiki
kembali, sedang produk cacat bisa diperbaiki kembali.
Akuntansi produk cacat adalah akuntansi biaya tambahan untuk memperbaiki
kembali. Ada dua perlakuan akuntansi:
a. Apabila produk cacat normal terjadi, maka biaya tambahan dibebankan ke
rekening overhead sesungguhnya
b. Apabila produk cacat tidak normal terjadi, maka dibebankan pada periode /
pesanan tertentu yang mengakibatkan produk cacat.
Contoh:
Pada suatu periode di dapat 100 produk cacat dari 5.000 pengerjaan produk,
biaya yang diperlukan: bahan Rp.10.000,00 upah langsung Rp.5.000,00 dan
overhead pabrik dibebankan Rp.5.000,00. Biaya produksi yang telah dikeluarkan
sebelum perbaikan produk rusak untuk bahan Rp.1.000.000,00, upah langsung
Rp.750.000,00 dan overhead pabrik Rp.750.000,00.
a. Apabila produk cacat normal terjadi
1. Mencatat biaya produksi:
Barang dalam proses – Bahan baku Rp. 1.000.000,00
Barang dalam proses – upah langsung Rp. 750.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead Rp. 750.000,00
Persediaan bahan Rp. 1.000.000,00
Hutang gaji dan upah Rp. 750.000,00
Overhead pabrik dibebankan Rp. 750.000,00

Catatan

12
Biaya produksi per unit = = Rp. 500,00

2. Mencatat perbaikan produk cacat:


Biaya overhead pabrik sesungguhnya ………… Rp. 20.000,00
Persediaan bahan …………… Rp. 10.000,00
Hutang gaji dan upah …………… Rp. 5.000,00
Overhead pabrik dibebankan ……….. Rp. 5.000,00
3. Mencatat produk jadi:
Persediaan barang jadi ………Rp. 2.500.000,00
Barang dalam proses – bahan baku…….. Rp. 10.000.000,00
Barang dalam proses – upah langsung ……Rp. 7.500.000,00
Barang dalam proses – overhead pabrik .. Rp. 7.500.000,00
b. Apabila produk cacat tidak normal terjadi:
1. Mencatat biaya produksi:
Barang dalam proses – Bahan baku Rp. 1.000.000,00
Barang dalam proses – upah langsung Rp. 750.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead Rp. 750.000,00
Persediaan bahan Rp. 1.000.000,00
Hutang gaji dan upah Rp. 750.000,00
Overhead pabrik dibebankan Rp. 750.000,00

Catatan

Biaya produksi per unit = = Rp. 500,00

2. Mencatat perbaikan produk cacat:


Barang dalam proses – Bahan baku Rp. 10.000,00
Barang dalam proses – upah langsung Rp. 5.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead Rp. 5.000,00
Persediaan bahan Rp. 10.000,00
Hutang gaji dan upah Rp. 5.000,00
Overhead pabrik dibebankan Rp. 5.000,00

13
3. Mencatat produk jadi:
Persediaan barang jadi ……Rp. 2.520.000,00
Barang dalam proses – bahan baku…………….. Rp. 1.010.000,00
Barang dalam proses – upah langsung ………… Rp. 755.000,00
Barang dalam proses – overhead pabrik ……….. Rp. 755.000,00
Catatan

Biaya produksi per unit = = Rp. 504,00

RINGKASAN :
Untuk kepentingan penentuan penghasilan dan perhitungan harga pokok
persediaan biaya bersama perlu dialokasikan kepada produk bersama. Tiga
metode alokasi biaya bersama kepada produk bersama adalah metode nilai
jual relatif, metode rata-rata biaya persatuan, metode rata-rata tertimbang.
Karena produk sampingan merupakan produk yang mempunyai nilai jual
yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk utamanya, maka
produk sampingan diakui sebagai 1. tambahan penjualan, 2.dikurangkan pada
harga pokok penjualan, 3. dikurangkan pada harga pokok produksi, 4.sebagai
pandapatan lain-lain.
SOAL 1
PT “Ayem” mempunyai data produksi untuk tiga produksinya sebagai berikut: Harga
jual produk A : Rp. 200,00, B : Rp. 225,00 dan C : Rp. 150,00 jumlah yang
diproduksi A : 1.500, B : 2.000, C : 1.000. Persediaan akhir A : 200 unit, B : 400 unit,
C : 300 unit. Bahan digunakan : A, 2 kg B : 3 kg, C : 1 kg. Biaya produksi bersama
Rp. 450.000,00.
Diminta :
Joint cost masing – masing produk dengan metode:
a. Rata – rata tertimbang
b. Relative harga jual
c. Unit produksi
d. Hitung nilai persediaan akhir masing – masing jenis, jika digunakan metode
relative harga jual.
14
SOAL 2
Sebuah perusahaan membuat dua jenis produk yaitu P dan Q. pada awal proses biaya
untuk masing – masing produk tidak bisa dipisahkan, biaya tersebut sebesar Rp.
5.000.000,00. Setelah masuk departemen (proses) berikutnya biaya yang terjadi
dibebankan langsung pada masing – masing produk. Biaya sesudah masa terpisah
(split off) tersebut sebesar P = Rp. 800.000,00, Q = Rp. 1.200.000,00 selama bulan
Mei 1983, diketahui hasil penjualan masing – masing P = Rp. 4.800.000,00 dan Q =
Rp. 7.200.000,00.
Diminta :
1. hitung joint cost untuk masing – masing produk dengan metode relatif harga jual
2. hitung laba kotor perjenis produk.
Daftar pustaka:
Drs Mulyadi M.Sc., 2009. Akuntansi biaya. Penerbit YKPN , Yogyakarta
Drs. Mas’ud Machfoedz, MBA, Akt. Akuntansi biayas. BPFE. Yogyakatra.
Ibnu Sugianto, bambang Suripto, 1993. akuntansi biaya, YKPN. Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai