Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Krisis
Hipertensi”. Penyusunan laporan kasus ini sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Adi Purnawarman,
Sp.JP(K)–FIHA atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga
laporan kasus ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Banda Aceh, Oktober 2017

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Krisis hipertensi adalah sejumlah kondisi kelainan klinis dengan atau tanpa
kelainan organ lain, yang disebabkan oleh hipertensi arterial, yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 120
mmHg.1 Krisis hipertensi diklasifikasikan menjadi hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi. Hipertensi menjadi penyebab kematian pada 1 juta orang
diseluruh dunia, dengan estimasi sebesar 70% dengan hipertensi ringan, 20%
dengan hipertensi sedang, dan 10% dengan hipertensi berat, dengan sebesar 1%
menjadi krisis hipertensi pada setiap jenis hipertensi.2
Prevalensi hipertensi di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan dari 6,7%
pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60
tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan
hampir 1-2 % akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ
target. Di Indonesia sendiri berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 menunjukkan bahwa diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1-2
% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Di
Indonesia sendiri berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 25,8 %.2,3
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan
organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap
pasien. Pada manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan gejala
angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Pada pasien dengan
krisis hipertensi dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit
kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa
hemiparesis atau paresis nervus cranialis.4
Prinsip pengelolaan krisis hipertensi yaitu menurunkan tekanan darah
dengan Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%.
Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan
sampai 160/110 mmHg. Pemberian obat-obatan oral kerja cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal. Terapi

2
hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral
secara tepat dan cepat. Pasien dirawat diruang intensif agar monitoring tekanan
darah bisa dikontrol dengan baik.1,5

3
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Krisis hipertensi adalah sejumlah kondisi kelainan klinis dengan atau tanpa
kelainan organ lain, yang disebabkan oleh hipertensi arterial, yang ditandai dengan
peningkatan tekadan darah sistolik ≥ 180 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 120
mmHg. 2,6

3.2 Epidemiologi
Hipertensi menjadi penyebab kematian pada 1 juta orang diseluruh dunia,
dengan estimasi sebesar 70% dengan hipertensi ringan, 20% dengan hipertensi
sedang, dan 10% dengan hipertensi berat, dengan sebesar 1% menjadi krisis
hipertensi pada setiap jenis hipertensi. Prevalensi hipertensi di Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan dari 6,7% pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi
65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30%
diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1-2 % akan berlanjut menjadi
hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Di Indonesia sendiri berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
hipertensi di Indonesia sebesar 25,8 %.2,3

3.3 Etiologi
Pada umumnya krisis hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Penyebab yang tersering adalah tidak adekuatnya pengobatan hipertensi
sebelumnya. Krisis hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan kardiak output
atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada beberapa factor yang
mempengaruhi terjadinya krisis hipertensi yaitu:

1. Genetik : respon neurologi terhadap stress atau kelainan ekskresi.


2. Obesitas : terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat.
3. Stress lingkungan

4
4. Hilangnya eksistensi jaringan dan atrerosklerosis pada orang tua serta
pelebaran pembuluh darah.

1.2.1. Klasifikasi

Krisis hipertensi meliputi 2 kelompok:

a. Hipertensi darurat ( emergency hipertensi)


Dimana selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainan/
kerusakan target organ yang progresif, sehingga tekanan darah harus
diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat mencegah/
membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
b. Hipertensi mendesak( urgency hipertensi)
Dimana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai
kelainan/kerusakan organ target yang progresif, sehingga pe nurunan
tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai
hari)

Tabel I : Hipertensi Emergensi ( darurat )


TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut
 perdarahan intra cranial, atau perdarahan subarakhnoid.
 hipertensi encefalopati
 diseksi aorta akut
 oedema paru akut
 Eklampsia
 Feokhromositoma
 funduskopi KW III atau IV
 insufisiensi ginjal akut
 infark miokard akut, angina unstabelsindroma, kelebihan
kathekolamin yang lain :
 sindrome withdrawal obat anti hipertensi
 cedera kepala hebat

5
 perdarahan setelah operasi pembuluh darah
 interaksi obat

Tabel II : hipertensi urgensi ( mendadak )


Hipertensi berat dengan tekanan diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan
minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan
pada tabel
 KW I atau II pada funduskopi
 hipertensi post operasi
 hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif
 hipertensi maligna
 tromboemboli serebri
 rebound hypertension setelah pengobatan dengan anti hipertensi
 penderita pasca transplantasi ginjal
 luka bakar yang luas.

3.4 Diagnosis
Diagnosis cepat dan tepat sangat dibutuhkan sehingga dapat mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit
hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan minum
obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit
yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi.
Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti sakit kepala, penurunan
kesadaran, hemiparesis dan kejang. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT-
scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri
dada atau perubahan status neurologis.1,2 Pada keadaan gagal jantung kiri dan
hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut
adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:

6
Gambar 2. Alur Diagnostik Hipertensi2

3.5 Tatalaksana
3.5.1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral
aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24
jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%.
Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai
160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan antihipertensi parenteral maupun oral bukan
tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral
antihipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.2,8

7
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi1,2
 Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai
dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit
kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia,
angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada
arteri renal bilateral).
 Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random
terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22%.
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam
hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering
terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
 Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan
memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam
penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup
dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg
secara oral dan meng- hasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan
diastolik secara signifikan. Secara umum la- betalol dapat diberikan mulai
dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian.
Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
 Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit
dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2mg
kemudian berikan 0,05-0,1mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah
yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7mg. Efek samping yang sering
terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.

8
 Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak
kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh
FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan
darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga
berhubungan dengan kejadian stroke.

3.5.2. Hipertensi Emergensi


A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung
pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-
obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan
intensif agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang
tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan
Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam
berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.7,8
B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi2
 Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada
hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan
intrakranial dan stroke iskemik akut. American Heart Association
merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada
hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan
di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah
harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah
tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP
dipertahankan > 130 mmHg.
 Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti
iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien
dengan hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung
dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah di-
lakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah
pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan

9
β-blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi
awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti
nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah
sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik
> 120 mmHg) dalam waktu 20 menit.
 Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan
proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan
masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas
namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau
tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari
potensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi
gagal ginjal.
 Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena
pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat
monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti
pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over
dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal.
Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan
darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator
arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-
blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidin terapi yang
terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagai dosis inisial
dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan
di atas.

Komplikasi
a. Komplikasi Hipertensi Urgensi
Pada hipertensi urgensi terjadi pelonjakan tekanan darah secara tiba-tiba,
tetapi tidak ada kerusakan pada organ-organ tubuh dan tekanan darah dapat

10
diturunkan dengan aman dalam waktu beberapa jam dengan obat anti-
hipertensi.
b. Komplikasi Hipertensi Emergensi
Hipertensi Emergensi terjadi ketika terjadi kerusakan organ akibat dari
tekanan darah sangat tinggi, ini dianggap sebagai darurat hipertensi. Ketika
hal tersebut terjadi, tekanan darah harus dikurangi segera untuk mencegah
terjadinya kerusakan organ. Kerusakan organ berhubungan dengan hipertensi
darurat dapat meliputi:
1. Perubahan status mental seperti kebingungan atau koma (ensefalopati).
2. Perdarahan ke dalam otak (stroke).
3. Gagal jantung
4. Nyeri dada (angina)
5. Serangan jantung
6. Oedem paru
7. Aneurisme
8. eklampsia (terjadi selama kehamilan).

3.6 Prognosis
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%), gagal ginjal (19%) dan
gagal jantung (13%). Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif
survival penderita hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian disebabkan oleh uremia
(19%), payah jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%), payah
jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Miocard (1%), diseksi aorta (1%).
Prognosa menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan
penaggulangan penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplantasi ginjal.
Whitworth melaporkan dari penelitiannya sejak tahun 1980, survival dalam 1 tahun
berkisar 94% dan survival 5 tahun sebesar 75%.4

Pencegahan

1. Disiplin minum obat anti hipertensi sebelum terjadi krisis hipertensi.


2. Berperan aktif dalam menjaga gaya hidup (berhenti merokok, berolahraga).

11
3. Penurunan berat badan pada penderita hipertensi yang gemuk melalui
perubahan pola makan dan olah raga.
4. Pembatasan intake garam hingga 4 – 6 gram per hari, makanan yang
mengandung soda kue, bumbu penyedap dan pengawet makanan.
5. Meningkatkan komsumsi lemak tak jenuh dan mengurangi konsumsi lemak
jenuh (daging sapi, kerbau, kambing, babi, susu, keju, dan kelapa).
6. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi (jeroan, kuning
telur, cumi-cumi, kerang, kepiting, coklat, mentega, dan margarin)
7. Meningkatkan intake makanan yang berserat tinggi seperti buah-buahan
(jambu biji, belimbing, jambu bol, kedondong, jeruk, pisang, nangka masak,
markisa, dan lain-lain), sayuran (daun bawang, kecipir muda, jamur segar,
bawang putih, daun dan kulit melinjo, dan lain-lain), ikan, agar-agar, dan
rumput laut)
8. Menghentikan kebiasaan merokok
9. Olah raga teratur
10. Hindari ketegangan mental dan stres

12
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan nyeri kepala yang


dirasakan sejak 4 hari SMRS dan sakit kepala dirasakan semakin lama semakin
memberat. Sakit kepala dirasakan seperti ditekan terutama di tengkuk. Keluhan ini
tidak disertai dengan mual, muntah, sesak nafas, dan rasa berdebar-debar. Pasien
memiliki riwayat hipertensi sejak 7 tahun yang lalu, namun pasien mengaku tidak
teratur minum obat. Riwayat nyeri dada dan diabetes mellitus disangkal oleh pasien.
Pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 190/110 mmHg.
Dari anamnesis didapatkan gejala klinis berupa nyeri kepala berat. Hal ini
sesuai dengan gejala klinis pada hipertensi urgensi yaitu adanya nyeri kepala, dapat
disertai dengan keluhan cepat lelah, berdebar-debar, atau sama sekali tidak ada
keluhan, namun didapatkan tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan
diastolik ≥ 110 mmHg tanpa disertai dengan kerusakan organ target.1,2
Penyebab pasien merasakan nyeri kepala terjadi akibat peningkatan
tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas
endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular,
deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi yang dapat
menyebabkan iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti nyeri kepala,
mual, menguap, pingsan dan sinkop.2,6
Tatalaksana yang diberikan pada kasus ini diberikan obat golongan selektif
β- blocker, yaitu bisoprolol yang dikombinasikan dengan amlodipin. Berdasarkan
teori, obat golongan β- blocker merupakan pilihan utama pada pasien yang
memiliki gangguan pembuluh darah jantung yang dikombinasikan dengan
golongan calcium channel blocker untuk mengoptimalkan kerja β- blocker,
terutama pada pasien yang tekanan darah tetap tinggi. Pada pasien ini juga
diberikan obat antitrombolitik, yaitu aspilet dan clopidogrel karena sesuai dengan
hasil pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan adanya segmen ST elevasi pada

13
lead V1, V2, dan V3 dan ST depresi pada lead II dan III untuk mencegah
terbentuknya trombus.1

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman


Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. 2015;1:1

2. Devicaesaria A. Hipertensi Krisis. Medisinus Journal. 2014; Vol. 27, No 3.

3. Muhadi. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi


Dewasa. 2016; CDK-236/ vol. 43 no.1.

4. Janke A, Candace D, Mcnoughton, Aeron M, Brody, Robert. Trends in the


Incidence of Hypertensive Emergencies in US Emergency Departments From
2006 to 2013. Journal of American Heart Association. 2017.

5. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redo J, Zanchetti A, Cifkova R, etc. 2013


ESH/ESC Guidelines for themanagement of arterial hypertension. Journal og
Hypertension. 2013.

6. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et


al.Harrison'sPrinciples ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008.

7. Kaplan NM. Primary hypertension. In: Clinical Hypertension. 9 ed.


LippincottWilliams &Wilkins; 2006: 50-104.

8. Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors
PromotingHypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am J
Hypertensi. 2010. 23:775-780.

15

Anda mungkin juga menyukai