Anda di halaman 1dari 69

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi

4.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Lingga

Secara geografis Kabupaten Lingga tertetak di antara 0 o 00'- 1o 00'

Lintang Selatan dan 103° 39 '- 105° 00' Bujur Timur. Berdasarkan Undang-

undang Republik lndonesia nomor 31 tahun 2003 tentang pembentukan

Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Lingga mempunyai

luas wilayah daratan dan lautan mencapai 211,777 km2 dengan luas daratan

2.177,77 km2 (1%) dan lautan 209,654 km2 (99%), dengan batas wilayah sebagai

berikut:

Sebelah Utara : Berbatas Dengan Kecamatan Gatang Kota Batam, dan

Laut Cina Setatan


Sebelah Timur : Berbatas Dengan Laut Cina Selatan
Sebelah Selatan : Berbatas Dengan Laut Bangka da Setat Berhata
Sebelah Barat : Berbatas Dengan Laut lndragiri (Provinsi Riau)
Tabel 4.1. Pembagian dan Luas Wilayah Kabupaten Lingga
Jumlah
No Kecamatan Kelurahan Desa Luas Daratan (Km2)
1 Singkep Barat 1 8 337.10
2 Singkep 2 9 491.90
3 Lingga 1 17 609.51
4 Lingga Utara 1 7 283.21
5 Senayang 1 10 396.00
Jumlah 6 51 2117.72
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga Dalam Angka, 2009

Kondisi topografi Kabupaten Lingga adalah sebahagian besar adalah

berbukit-bukit. Berdasarkan data dari Badan Pertahanan Nasional (BPN),

terdapat 73.947 ha yang berupa daerah berbukit-bukit, sementara daerah

datarnya hanya sekitar 11.015 ha.


Klasifikasi kemiringan lahan di Kabupaten Lingga dapat diklasifikasikan

menjadi 6 kelas lereng, yaitu:

 Kelas 1, 0 – 2 %

 Kelas 2, 2 – 8 %

 Kelas 3, 8 – 15 %

 Kelas 4, 15 – 25 %

 Kelas 5, 25 – 40 %

 Kelas 6, > 40 %

Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Lingga pada umumnya adalah

podsolik merah kuning, litosol dan organosol. Adapun lapisan tanahnya

berstruktur remah sampai gumpal. Sedangkan lapisan bawahnya berselaput liat

dan teguh. Sementara untuk jenis batu-batuannya, batuan Pluton Asam (Acid

Pluton) yang berupa batuan sejenis granit tersebar pada kawasan Gunung Daik

di bagian barat Pulau Lingga, selain itu terdapat juga batuan endapan dari

Zaman Prateseiser yang tersebar di seluruh Pulau Lingga.


Gambar 4.1. Peta Kabupaten Lingga (Pemkab Lingga, 2012)
Tabel 4.2. Ketinggian Daratan Kabupaten Lingga menurut Kecamatan
No Kecamatan Tinggi (mdpl)
1 Singkep Barat 0 – 415
2 Singkep 0 – 519
3 Lingga 0 – 1.272
4 .Lingga Utara 0 – 800
5 Senayang 0 – 200
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga Dalam Angka, 2009

4.1.2. Keadaan Administrasi Kabupaten Lingga

Kabupaten Lingga terdiri 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Singkep Barat,

Kecamatan Singkep, Kecamatan Lingga, Kecamatan Lingga Utara dan

Kecamatan Senayang. Masing-masing kecamatan memiliki jumlah

kelurahan/desa yang berbeda-beda. Jumlah desa di kabupaten Lingga adalah 43

desa yang tersebar di setiap kecamatan. Sedangkan jumlah keseluruhan

kelurahan yang ada disana adalah 3 kelurahan. Total desa dan kelurahan ada 46

di Kabupaten Lingga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah

ini.

Di Kabupaten Lingga terdapat 5 kecamatan, 6 kelurahan dan 51 desa.

Kecamatan terluas adalah Kecamatan Lingga yaitu 609,51 km2 (29% dari total

luas daratan) yang terdiri dari 17 Desa dan 1 Kelurahan, kemudian Kecamatan

Singkep yaitu 491,90 km2 (23% dan total luas daratan) yang terdiri 9 Desa dan 2

Kelurahan (Tabel 3.1). Sedangkan nama-nama Desa/Kelurahan yang ada

dimasing-masing kecamatan secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.2.


Tabel 4.3. Jumlah Desa/Kelurahan tiap Kecamatan di Kabupaten Lingga
No Kecamatan Desa/Kelurahan
1 Singkep Barat Raya Posek Sungai Harapan
Bakong Sungai Buluh Jago
Marok Tua Sungai Raya
2 Singkep Dabo Kote Berhala
Dabo Lama Lanjut Tanjung Harapan
Berindat Marok Tua Batu Berdaun
Batu Kacang Sedamai
3 Lingga Daik Mentuda Keton
Pekajang Merawang Sei Pinang
Kelombak Panggak Bukit Langkap
Darat
Mapar Panggak Laut Kudung
Penuba Musai Kelumu
Selayar Kerandin Pekaka
4 .Lingga Utara Pancur Resun Duara
Bukit Harapan Sekanah Limbung
Teluk Linau
5 Senayang Temiang Putau Batang
Senayang
Mamut Pulau Medang Benan
Pasir Panjang Mensanak Batu Belubang
Rejai Tanjung Kelit
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga Dalam Angka, 2009

Tabel 4.4. Kecamatan, Nama ibukota kecamatan, Jumlah Desa, dan kelurahan di
Kabupaten Lingga tahun 2007
Nama Ibu Jumlah
No Kecamatan Kota Jumlah Desa Kelurahan Total
Singkep
1 Barat Kuala Raya 5 5
2 Singkep Dabo Singkep 5 1 6
3 Lingga Daik Lingga 17 1 18
4 .Lingga Utara Duara 6 6
5 Senayang Senayang 10 1 11
43 3 46
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga dalam Angka, 2009
4.1.3. Demografi

Penduduk merupakan faktor utama dalam perencanaan pengembangan

daerah. Diketahui berdasarkan database statistik terakhir dari Kabupaten Lingga

Dalam Angka Tahun 2009 bahwa jumlah penduduk Kabupaten Lingga adalah

sebesar 89.736 jiwa. Dari jumtah penduduk tersebut dilihat menurut jenis

kelaminnya terbagi menjadi 45.212 jiwa penduduk laki-laki dan 44.524 jiwa

penduduk perempuan. Adapun jumlah rumah-tangga tercatat sebanyak 27.519

rumah tangga.

Dilihat dari segi penyebaran penduduknya dapat dikatakan belum merata,

Kecamatan Singkep memiliki jumlah penduduk yang tertinggi di Kabupaten

Lingga yaitu sebesar 28,106 jiwa, diikuti Kecamatan Senayang sebesar 19,293

jiwa, dan Kecamatan Lingga sebesar 16.637 jiwa. Sementara kecamatan yang

berpenduduk terendah adalah Kecamatan Lingga Utara sebesar 10.445 jiwa dan

Kecamatan Singkep Barat sebesar 15.255 jiwa. Untuk kisaran umur dan status

perkawinan lainnya tertera pada Tabel 4.5

Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Kabupaten Lingga Tahun 2009

Penduduk (jiwa) Jumlah


No. Kecamatan laki-laki Perempuan Penduduk Jumlah KK
1 Singkep 7.681 7.574 15.255 4.803
Barat
2 Singkep 14.054 14.052 28.106 8.808
3 Lingga 8.434 8.203 16.637 4.955
4 Lingga Utara 5.749 5.196 10.445 3.191
5 Senayang 9.794 9.499 19.293 5.767
45.717 44.574 89.736 77.519
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga (2010)
Sebagai daerah yang sedang berkembang Kabupaten Lingga mengalami

pertumbuhan penduduk yang relatif cepat, hlt ini tertihat dari meningkatnya

jumlah penduduk dari tahun ke tahun, dimana jumlah penduduk Kabupaten

Lingga yang tertinggi pada tahun 2009 adatah sebesar 89.736 jiwa dari tahun

2005 adalah sebesar 83.680 jiwa. Jenis Kelamin laki-laki memiliki tingkat

perumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan jenis kelamin Perempuan untuk

lebih jelasnya dapat dilihat Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Lingga Tahun 2005-2009


Jenis Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
No Kelamin 2005 2006 2007 2008 2009
1 Laki-laki 43.581 44.351 44.871 44.505 45.212
2 Perempun 40.009 41.799 47.073 43.877 44.524
83.680 86.150 86.894 88.332 89.736
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga Dalam Angka, 2009

Gambar 4.2. Pemetaan Kepadatan Penduduk Kabupaten Lingga 2010


Gambar 4.3 Peta Sebaran Penduduk Kabupaten Lingga 2010

Gambar 4.4. Peta Sebaran Sex Ratio Kabupaten Lingga 2010

4.1.3.1. jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia


Bila kita ketompokkan jumlah penduduk Kabupaten Lingga Tahun 2009

menurut struktur umur maka diketahui bahwa kelompok penduduk usia balita

merupakan jumlah yang mendominasi kelompok jumlah penduduk menurut

struktur umur yaitu berjumlah 10.670 Jiwa, hal ini mengindikasikan bahwa tingkat

kelahiran penduduk di Kabupaten Lingga masih relatif tinggi. Sementara itu

ketompok usia remaja dan usia pendidikan tinggi juga merupakan kelompok

penduduk dengan jumlah tertinggi kedua setelah kelompok usia balita. Semakin

tinggi usia penduduk semakin kecil jumlah penduduknya. Kelompok usia antara

30 - 34 tahun berjumlah 9.399 dari jumlah penduduk Kabupaten, diikuti oleh

kelompok usia 34 - 39 berjumlah 7.634. Rincian penduduk menurut struktur umur

sebagaimana diuraikan dalam Tabel 4.7. memberikan gambaran bahwa di

Kabupaten Lingga penduduk usia sekolah dan penduduk usia produktif

merupakan jumlah penduduk yang terbesar.

Tabel 4.7. Jumlah Penduduk Menurut Struktur Umur Tahun 2009


No Kelompok Umur Penduduk (Jiwa)
1 0-4 10.620
2 5-9 8.672
3 10 - 14 8.400
4 15 - 19 7.541
5 20-24 8.851
6 25-29 9.871
7 30-34 9.399
8 34-39 7.634
9 40-44 5.692
10 45-49 4.260
11 50-54 3.123
12 55-59 7.198
13 60-64 1.384
14 65-69 918
15 70-74 636
16 75 keatas 537
89.736
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga Dalam Angka, 2009
Besarnya jumlah penduduk pada usia sekolah dan usia produktif ini

tentunya memberikan konsekuensi pada pemerintah daerah untuk dapat

meningkatkan pelayanan terhadap kebutuhan penduduk terutama dalam

pelayanan pendidikan dan membuka lapangan pekerjaan. Pengembangan

pariwisata daerah merupakan salah satu peluang atau potensi untuk membuka

lapangan pekerjaan bagi penduduk usia produktif di Kabupaten Lingga.

4.1.3.2. jumlah penduduk berdasarkan angkatan kerja

Tenaga kerja adalah modal dasar bagi geraknya roda pembangunan.

Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring

dengan berlangsungnya proses demografi. Angkatan kerja adalah penduduk

berumur 15 tahun keatas yang bekerja, sementara tidak bekerja atau yang

sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang berumur kurang dari 15 tahun

meskipun telah melakukan pekerjaan guna memenuhi suatu kebutuhan hidup

tidak dikategorikan sebagai angkatan kerja. Angkatan kerja merupakan bagian

dari aspek demografi penduduk yang mempunyai kecenderungan bertambah

atau menurun sejalan dengan perubahan yang di alami oleh penduduk itu

sendiri. Hal ini terjadi karena faktor alamiah seperti kelahiran, kematian maupun

perpindahan yang menyebabkan jadi bergesernya pola kependudukan secara

keseluruhan. Berdasarkan data yang di lansir oteh Badan Pusat Statistik, pada

tahun 2009 terdapat 57,76 persen penduduk angkatan kerja dan 42,74 persen

penduduk bukan angkatan kerja.

4.1.4. Sosial budaya

4.1.4.1. pendidikan

Tingginya status tingkat pendidikan penduduk suatu daerah, akan

membawa pengaruh positif bagi masa depan pembangunan daerah tersebut di

berbagai bidang kegiatan sosial ekonomi daerahnya. Oleh karenanya berhasil


atau tidaknya pembangunan suatu daerah sangat dipengaruhi pula oteh tingkat

pendidikan penduduknya.

Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk Kabupaten

Lingga sebagian besar tidak/belum sekolah/tidak tamat SD/sederajat yaitu

sebesar 42,07% atau 37.757 jiwa. Kemudian Tamat SD/sederajat yaitu sebanyak

33.528 jiwa atau 37,06% dari total. jumlah penduduk di Kabupaten Lingga,

SLTA/SMK/Sederajat sebesar 9,01 persen atau 8.086 jiwa, selanjutnya adalah

SLTP/Sederajat sebanyak 7.835 jiwa atau sebesar 8,73%. Hal ini menunjukkan

bahwa 70% lebih penduduk Kabupaten Lingga berpendidikan rendah (Tabet 8).

Tabel 4.8. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Lingga Tahun
2009
Tingkat Pendidikan Persentase
No Jumlah Penduduk (%)
Tidak / Belum Sekolah / Tidak Tarnat
1 SD/Sederajat 37.757 42,07
2 Tamat SD/Sederajat 33.258 37,46
3 SLTP/Sederajat 7.835 8.73
4 SLTA/SMK/Sederajat 8.086 9,01
5 Diploma I/II 1,777 1,47
6 Akademi/ Diploma I/II/ Sarjana Muda 772 0.86
7 Diploma lV/ 51 /52/53 1.159 1.29
89.736 100,00
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga Dalam Angka, 2009

4.1.4.2. kesehatan

Penyediaan fasilitas petayanan kesehatan yang bertujuan agar semua

lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara merata dan

murah, dengan harapan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang baik,

yang pada gilirannya memperoeh kehidupan yang sehat dan produktif.

Fasltitas kesehatan yang ada di Kabupaten Lingga adalah Rumah Sakit

(RS) sebanyak 1 buah yang terdapat di Kecamatan Lingga, Puskesmas skala

kecamatan secara merata sudah tersedia disetiap kecamatan, demikian pula


untuk fasititas Puskesmas Pembantu secara merata sudah tersedia di setiap

kecamatan. Untuk lebih jelasnya fasilitas kesehatan yang ada dapat lihat tabel 9.

Tabel 4.9. Fasilitas Kesehatan Kabupaten Lingga Tahun 2009


Puskesmas Puskesmas
No. Kecamatan RS Puskesmas Pembantu keliling Polindes
1 Singkep Barat - 1 7 1 7
2 Singkep - 2 4 3 4
3 Lingga 1 1 12 1 10
4 Lingga Utara - 1 6 - 6
5 Senayang - 2 7 2 18
1 7 36 7 45
Sumber : Kabupaten Lingga Dalam Angka, Tahun 2009

Sedangkan ketersediaan tenaga kesehatan seperti dokter spesialis 3

orang, dokter umum 18 orang, dokter gigi 10 orang, perawat 163 orang, perawat

gigi 6 orang, dan bidan 72 orang. .Jika kondisi ini dibandingkan dengan jumlah

penduduk dan sebaran wilayah yang terpencar, maka ketersediaan tenaga

kesehatan masih kurang.

4.1.4.3. agama

Pembangunan di bidang fisik harus diimbangi dengan pembangunan

dibidang mental spirituat, sehingga di harapkan akan ada keseimbangan dan

keserasian antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Kehidupan beragama yang

harmonis antara umat beragama di Kabupaten Lingga telah terjalin dengan

kokoh.

Penduduk Kabupaten Lingga mayoritas beragarna lstam, hal ini ditandai

dengan banyaknya tempat ibadah masjid dan mushola. Sedangkan tempat

peribadatan lainnya yaitu Gereja, Klenteng dan Vihara. Jumlah dan sebaran

rumah ibadah yang ada di Kabupaten Lingga dapat dilihat pada Tabet 4.10.
Tabel 4.10. Fasititas Peribadatan di Kabupaten Lingga Tahun 2009
Nama
No. Kecamatan Masjid Mushola Gereja Klenteng Vihara
1 Singkep Barat 43 1 4 4 -
2 Singkep 23 38 4 1 1
3 Lingga 22 7 2 5 2
4 Lingga Utara 34 4 2 2 1
5 Senayang 32 29 1 3 -
Total 154 79 13 15 4
Sumber: Lingga Datam Angka, Tahun 2009

4.1.4.4. perekonomian

Pertumbuhan ekonomi. merupakan suatu indikator makro yang dapat

menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lingga. Besarnya

pertumbuhan ekonomi di pengaruhi oteh beberapa sektor, haI ini dapat kita tihat

pada tabet 4.11.

Tabet 4.11. Kontributor Pembetukan PDRB Kabupaten Lingga menurut Lapangan Kerja
Usaha Tahun 2009
No Lapangan Usaha Kontribusi (%)

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 37,01


2 Pertambangan dan penggalian 1.82
3 lndustri pengolahan 14,73
4 Listrik, gas dan air bersih 0,72
5 Bangunan 9,12
6 Perdagangan, hotel dan restoran 72,00
7 Pengangkutan dan kornunikasi 9,88
8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 4,13
9 Jasa-jasa lain 5,09
100,00
Sumber: RPJMD Kabupaten Lingga Tahun 2011

Jika dilihat dari tabet 11 diatas menunjukkan bahwa sektor pertanian

memiliki peranan yang sangat besar dalam penciptaan nilai tambah pada

perekonomian Kabupaten Lingga datam kurun waktu empat tahun terakhir

dengan kontribusi diatas 37 persen. Subsektor yang memegang peranan penting

pada sektor ini adalah perikanan. Kemudian kontributor terbesar kedua adalah

sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 72,00 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa sektor ini masih menjanjikan untuk diminati oleh para

pedagang karena wilayah Kabupaten Lingga merupakan daerah persimpangan

atau transit perjalanan laut. Sub sektor perdagangan besar dan eceran

merupakan kontributor tersebar terhadap pembentukan nilai tambah di sector ini.

Sedangkan sektor yang paling kecil memberikan kontribusi pembentukan PDRB

adalah sektor listrik, gas dan air bersih yang hanya 0,77 persen.

Dari jenis pekerjaan yang ada di Kabupaten Lingga, wiraswasta adalah

yang paling banyak dijalani oleh penduduk Kabupaten Lingga. Dari Tabel 4.12.

menunjukkan penduduk yang bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 4.161 jiwa

atau 8,68% dari keseluruhan jumlah penduduk usia kerja di Kabupaten Lingga.

Kemudian diikuti oleh jenis pekerjaan sebagai Buruh/Nelayan Perikanan

sebanyak 3.989 jiwa atau 8,32% dari keseluruhan jumlah penduduk usia kerja di

Kabupaten Lingga.

Tabel 4.12. Jumlah Penduduk menurut Jenis Pekerjaan di Kabupaten Lingga


Tahun 2009 ( Penduduk usia kerja/Usia 15 tahun ke atas)
No Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase
1 Wiraswasta 4.161 8,68
2 Buruh 3.989 8,32
3 Nelayan 3.687 7,69
4 Buruh Harian Lepas 2.049 4,27
5 Karyawan Swasta 981 2,05
6 PNS 639 1,33
7 Guru 575 1,20
8 Karyawan Honorer 525 1,0
9 Petani/Pekebun 437 0,91
10 Pembantu Rumah Tangga 437 0,91
11 Lainnya 30.456 63,53
Total 47.936 100.00
Sumber: RPJMD Kabupaten Lingga Tahun 2011

4.1.5. Perikanan

Sebagaimana diketahui bahwa sebahagian besar kehidupan masyarakat

Kabupaten Lingga tergantung dari sektor pertanian terutama perikanan tangkap.


Kegiatan ini diusahakan oieh 9.235 Rumah Tangga perikanan (RTP) di tahun

2009 dan meningkat menjadi 9.697 RTP di tahun 2010. Jumlah dan jenis RTP

lain dapat dilihat pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan Kabupaten Lingga 2009-


2010
Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 9.235 9.697
2 Budidaya Laut 647 706
3 Budidaya Air Payau 113 214
4 Budidaya Air Tawar 82 85
5 Budidaya Rumput Laut 100 134
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Dalam memproduksi komoditi perikanan dibutuhkan sarana prasarana

perikanan sesuai dengan jenis kegiatan perikanannya. Misalnya sarana

prasarana perikanan tangkap terdiri dari alat dan armada penangkapan, untuk

kegiatan budidaya dibutuhkan wadah budidaya seperti keramba/kolam/tambak.

Untuk lebih jelasnya sarana prasaran perikanan yang ada di Kabupaten Lingga

pada tahun 2009-2010 dapat dilihat pada Tabet 4.14.

Tabel 4.14. Jenis dan Jumlah Sarana dan Prasarana Produksi perikanan
Kabupaten Lingga 2009-2010
Tahun/ Unit
No Peralatan
2009 2010
1. Penangkapan lkan 9.768 9.964
2. Kapal Motor 7.691 2.715
3. Motor Tempel 99 124
4. Perahu Tanpa Motor 1.745 2.391
5. Keramba 1.021 1.025
6. Kolam 2,7 2,8
7. Rumput Laut 29 -
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Jika dibandingkan produksi perikanan di Kabupaten Lingga tahun 2009

dan 2010, mengalami peningkatan. Produksi perikanan tangkap 19.245,945 ton

pada tahun 2009 meningkat menjadi 21.363,000 ton pada tahun 2010. Demikian

juga dengan budidaya laut dari 164,979 ton tahun 2009 menjadi 183,127 ton

pada tahun 2010. untuk lebih tengkapnya dapat dilihat pada Tabet 4.15.

Tabel 4.15. Hasil Produksi Perikanan Kabupaten Lingga 2009-2010


Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 19.245,946 21.363,000
2 Budidaya Laut 164,979 183,177
3 Budidaya Air Payau 2,886 3,031
4 Budidaya Air Tawar 6,412 6,733
5 Budidaya Rumput Laut 5.000 5.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Sejalan dengan nilai produksi diatas, maka nltai produksi perikanan

terbesar disumbangkan oleh kegiatan perikanan tangkap dan diikuti oleh

kegiatan budidaya laut. Secara rinci dapat dilihat pada Tabet 4.16.

Tabel 4.16. Nilai produksi perikanan Kabupaten Lingga 2009-2010


Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 360.861.480 393.339,014
2 Budidaya Laut 10.723.635 12.653,890
3 Budidaya Air Payau 72.15 75.76
4 Budidaya Air Tawar 76.944 80.8
5 Budidaya Rumput Laut 30.000 30.000
Sumber: Dinas Ketautan dan perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Jika dilihat dari kegiatan pemasaran, produksi perikanan di Kabupaten

Lingga lebih banyak dipasarkan untuk ekspor, yaitu mencapai 8.352,846 ton
pada tahun 2009 sedangkan yang dipasarkan antar pulau sebesar 6.604,576 ton

dian yang dipasarkan di pasar lokal hanya 4.467,801 ton.

4.2. Dampak Kegiatan Penambangan Bauksit terhadap Perairan

4.2.1. Aktivitas penambangan dan luasan bukaan lahan

Kegiatan penambangan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan

dari segi luasan bukaan lahan. Luasan bukaan lahan ini mempunyai pengaruh

besar terhadap kondisi lingkungan perairan di sekitarnya.

Beberapa jenis bahan tambang yang terdapat di wilayah kajian,

diantaranya adalah bijih bauksit, bijih besi, pasir kuarsa dan batuan andesit. Bijih

bauksit kini pada umumnya dieksport ke Singapura masih dalam kondisi mentah,

namun masih menyisakan pertanyaan apakah bijih tersebut diolah menjadi

bahan baku industri lainnya atau hanya sekedar dijadikan sebagai material tanah

urug. Demikian pula dengan bijih besi dan bijih bauksit yang juga masih dalam

kondisi mentah di ekport untuk memenuhi permintaan industri peleburan di Cina

(RRC). Sementara pasir kuarsa dan batuan granit (andesit) yang telah direduksi

ukurannya menjadi agregat di eksport ke Singapura sebagai bahan bangunan.

Sementara menurut Undang Undang No.4 tahun 2009, tentang

pertambangan, dalam pasal 8 dinyatakan bahwa semua bahan galian (tambang)

sebelum di eksport harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu didalam negeri.

Dengan demikian akan dapat memberikan nilai tambah dan mampu mensuport

kebutuhan bahan baku dalam negeri untuk industri-industri lainnya diluar sektor

pertambangan. Diantara jenis bahan tambang tersebut, bijih bauksit merupakan

primadona komoditi eksport bahan tambang dan paling dominan untuk

dieksploitasi baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga.

Sejak sepuluh tahun terakhir pada abad ke-20 ini, kondisi kawasan

kepulauan Bintan dan Lingga telah mengalami gejala alam amat penting
terutama yang berkaitan dengan peristiwa anomali ekstrem cuaca dan iklim yang

berdampak terhadap perubahan lingkungan sebagai akibat adanya percepatan

proses pelapukan, erosi dan sedimentasi baik di darat maupun perairan laut.

Proses tersebut akan semakin berpeluang besar dampaknya, ketika permukaan

lahan yang terbuka menjadi semakin luas. Dampak negatif dari perubahan luas

bukaan lahan ini akan menjadi lebih nyata ketika aktivitas manusia mulai

merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade tahun 1980 hingga

sekarang. Seperti aktivitas penambangan bauksit maupun bahan tambang

lainnya pemanfaatan lahan untuk perkebunan, pemukiman, perindustrian,

pelabuhan, merupakan aktivitas manusia yang dapat menimbulkan terjadinya

ancaman berupa degradasi lahan, akibat pelapukan, erosi, dan sedimentasi.

Gambar 4.5. Mekanisme pelapukan dan sedimentasi akibat perubahan bukaan


lahan di daratan yang berpengaruh hingga perairan laut

Sementara laju pelapukan dan sedimentasi tersebut merupakan fungsi

dari waktu perubahan luas bukaan lahan. Gambaran tentang perubahan luas

bukaan lahan sesungguhnya dapat dipantau melalui kenampakan dari citra

satelit secara periodik


4.2.2. Jumlah produksi penambangan

Gambar 4.6. Sampel bijih bauksit dari kepulauan Lingga

Secara megaskopik bijih bauksit berwarna coklat kemerahan, coklat

kekuning-kuningan, kuning kecoklatan. Pada umumnya, bijih bauksit bersifat

keras, berongga, dan fragmental dengan ukuran fragmen berkisar (1 mm - 1,5

cm). Komposisi fragmen dan matriks telah mengalami pelapukan secara intensif

dan pada umumnya menjadi mineral lempung dan oksida besi.

Sejarah aktivitas pertambangan bijih bauksit di daerah Kijang dimulai

pada tahun 1924, yakni sejak diketemukannya cebakan bauksit oleh sebuah

perusahaan Belanda, NV Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij

(NIBEM). Namun NIBEM baru mulai melaksanakan penambangannya pada

tahun 1935 hingga tahun 1942. Pada tahun 1942 hingga 1945, usaha

pertambangan tersebut diambil alih oleh pihak Pemerintah Jepang melalui

perusahaan Furukawa Co.Ltd. Sekitar tahun 1959, usaha pertambangan tersebut

kembali ditangani oleh NV Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij

(NIBEM). Setelah tahun 1959, kegiatan pertambangan bauksit ini diambil alih

oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan mendirikan PT Pertambangan

Bauoksit Indonesia (PERBAKI) yang kemudian dilebur menjadi PN

Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di lingkungan BPU PERTAMBUN.

Tahun 1968, BPU PERTAMBUN bersama-sama dengan PN, PT dan proyek-

proyek lainnya dalam lingkungan BPU PERTAMBUN dilebur kedalam PN Aneka


Tambang (Persero) yang selanjutnya berganti nama menjadi PT Aneka Tambang.

Tbk.

Semenjak paska penambangan bauksit oleh PT Aneka Tambang, kini

telah dilakukan kembali kegiatan inventarisasi dan evaluasi terhadap area bekas

tambang bauksit di wilayah PT Aneka Tambang dan pengamatan lapangan pada

perusahaanperusahaan tambang yang kini masih aktif. Perusahaan-perusahaan

pertambangan tersebut diantanya adalah: Perusahaan tambang granit PT. Bukit

Panglong di daerah Panglong (Kijang), CV Kijang Jaya dan PT Mitra Investindo

di daerah Galang Batang, Kecamatan Gunung Kijang, serta Perusahaan

tambang pasir PT Anyer Raja Utama dan PT Pulau Batu Mulia. Namun dengan

diterbitkannya Keputusan Kementrian Perdagangan Nomor 2 tahun 2007, yakni

kebijakan pemerintah tentang pelarangan ekspor pasir darat, sehingga produksi

penambangan pasir kini cenderung turun, karena hanya untuk memenuhi

kebutuhan di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya. Kini jumlah ijin usaha

pertambangan di Kabupaten Bintan meningkat kembali, secara keseluruhan

tercatat sebanyak 20 perusahaan, yang mencakup 3 (tiga) jenis komoditi bahan

tambang, yaitu pasir darat (6 perusahaan), granit (5 perusahaan) dan bouksit (9

perusahaan). Dari seluruh jumlah ijin usaha pertambangan tersebut, 3

perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan selebihnya 17 perusahaan sudah

dalam tahap eksploitasi (produksi) meskipun ada sebagian yang sudah tidak aktif

lagi.

Sedangkan jumlah ijin usaha pertambangan yang berada di Kabupaten

Lingga relatif lebih banyak dibandingkan yang berada di Kabupaten Bintan,

secara keseluruhan tercatat sebanyak 29 perusahaan yang mencakup 2 (dua)

komoditi bahan tambang, yaitu: bijih timah putih (9 perusahaan) dan bijih bauksit

(20 perusahaan). Dari seluruh jumlah ijin usaha pertambangan tersebut, 15


perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan selebihnya 14 perusahaan sudah

dalam tahap eksploitasi.

Jumlah produksi bauksit sejak tahun 2004-2008 seperti disajikan

pada Tabel 4.17.

Butuh Data:

DATA JUMLAH PRODUKSI BIJIH BAUKSIT 5 ATAU 10 TAHUN TERAKHIR DI

KABUPATEN LINGGA (tabel/grafik)

(SINGKEP, SINGKEP BARAT, LINGGA, LINGGA UTARA, SENAYANG)

BELUM ADA DATA

Besar dan kecilnya perubahan jumlah produksi bahan tambang akan

berpengaruh terhadap terjadinya perubahan tutupan lahan yang secara tidak

langsung merupakan fungsi dari terjadinya perubahan tingkat kekeruhan

perairan.

4.2.3. sistem dan metoda penambangan

Sistem penambangan yang diterapkan pada umumnya adalah sistem

tambang terbuka (surface mining) dengan metoda penambangan (open cash

dan/atau atau open pit) yang dilakukan secara berjenjang (benching). Aktivitas

penambangan dengan sistem tambang terbuka minimal terdiri dari 5 (lima)

tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan (development), dimulai sejak dari

pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan tanah penutup (stripping of

overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap penambangan terdiri dari

penggalian, pemuatan, pengangkutan dan penampungan menuju ke (stockpile).

Tahap pengolahan produk : seperti reduksi ukuran besar butir, pencampuran

(mixing) dan pencucian. Tahap pemasaran : pemuatan dan pengapalan. Tahap

terakhir adalah paska tambang (reklamasi). Sebagai gambaran tentang aktivitas


penambangan bijih bauksit diperlihatkan pada (Gambar 4.10), yaitu semenjak

tahap persiapan hingga tahap pemasaran produk dilakukan dengan bantuan

peralatan berat. Beberapa jenis alat berat, seperti bouldozer digunakan sebagai

alat gali dan alat dorong dalam pekerjaan stripping dan land clearing.

Gambar 4.7. Aktivitas penambangan bauksit

Sementara back hue disamping digunakan sebagai alat gali juga

sekaligus sebagai alat muat, whell loader digunakan sebagai alat muat, serta

dump truck digunakan sebagai alat angkut. Sedangkan di laut umumnya

digunakan tongkang yang ditarik oleh toughboat (Gambar 4.3).

Gambar 4.8. Foto aktivitas pengangkutan (pengapalan) bauksit

4.2.4. Sumber pencemar perairan

Pencemaran laut merupakan dampak yang sangat berbahaya bagi

kelangsungan hidup biota perairan, sumberdaya, kenyamanan (amenities)

ekosistem laut serta kesehatan manusia. Pencemaran kawasan pesisir pada

umumnya terjadi karena kegiatan pertambangan, pemusatan pemukiman


penduduk dan aktivitas lainnya di daerah pesisir. Aktifitas tersebut baik secara

langsung atau tidak langsung (melalui limbah buangannya) sering mengganggu

kehidupan ekosistem wilayah pesisir termasuk terumbu karang.

lndustri pertambangan merupakan industri yang tidak berkelanjutan

karena tergantung pada sumberdaya yang tidak terbarukan. Bagaimana dengan

dampak lingkungan yang akan di wariskan industri pertambangan, terutama

setelah beroperasi justru akan lebih memiskinkan masyarakat di sekitar area

pertambangan.

Kabupaten ini memiliki sumberdaya alam yang dapat diekploitasi seperti

timah, bauksit, kaolin, granit, pasir kwarsa dan batu pasir. Lndustri pertambangan

pada pasca operasi akan meninggatkan banyak warisan yang memiliki potensi

bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam

tambang (Acid Mine Drainage), dan Tailing.

 Lubang Tambang. Sebagian besar pertambangan mineral di lndonesia

ditakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan

meninggalkan lubang-.luban raksasa di bekas areal pertambangannya.

Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka

panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang

tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem

air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat

rembesan ke dalam air tanah seringkati tidak terpantau akibat lemahnya

sistem pemantauan perusahaan - perusahaan pertambangan tersebut.


 Air Asam Tambang. Air asam tambang mengandung logam-logam berat

berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air

asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk

menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan.

Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih


memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang

baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan

yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap

bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam

tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. sekali

terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.


 Tailing-Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang

sangat besar sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan

bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat

dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau

timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh mahluk

hidup logam-logam berat tersebut akan terakumutasi di dalam jaringan tubuh

dan dapat menimbutkan efek yang membahayakan kesehatan.

Sehingga beberapa masalah lingkungan yang dapat teridentifikasi

dengan adanya kegiatan penambangan tersebut, adalah:

a) Terganggunya ekosistem pesisir dilokasi penambangan oleh karena adanya

penggatian dan untuk pengembaliannya memerlukan waktu yang lama.


b) Mengakibatkan terjadinya gangguan ekosistem pantai secara tak langsung

dengan adanya perubahan kekeruhan yang ditimbulkan


c) Mengganggu kegiatan nelayan tangkap maupun budidaya.
d) Mengganggu estetika kawasan lingkungan bahari.

4.2.5. Pengaruh faktor kepedulian terhadap lingkungan perairan

Hampir semua aktivitas pertambangan berpotensi terjadinya perubahan

kualitas lingkungan perairan, mulai dari ketika pembukaan lahan, pembangunan

infrastruktur, penambangan, pengangkutan, penimbunan di stockpile hingga ke

pemasaran (pengapalan). Perubahan tersebut terutama jika turun hujan, dimana

tumpukan material lepas terangkut oleh air hujan dan mengalir melalui sungai

yang pada ujungnya bermuara ke perairan laut. Oleh karena itu, dalam

pengelolaan pertambangan perlu dilakukan secara baik dan benar, atau paling
tidak mempunyai kepedulian terhadap lingkungan di sekitarnya. Kepedulian

lingkungan tidak hanya dilakukan pada tahap paska tambang, melainkan

dilakukan semenjak awal perencanaan tambang sudah dipikirkan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa

sebagian besar usaha pertambangan baik di Kabupaten Bintan maupun di

Kabupaten Lingga masih kurang kepedulian terhadap lingkungan. Terutama

aktivitas penimbunan (stockpile) dan pemuatan di dermaga (jeti) tempat

pengapalan bahan tambang yang akan di eksport, yang pada umumnya tidak

dibuat benteng maupun kolam pengendapan. Ketika terjadi turun hujan,

sebagian material lepas (bijih bouksit) terbawa air hujan mengalir menuju ke laut,

sehingga dapat mengakibatkan air laut menjadi keruh sebagaimana diperlihatkan

pada gambar 4, dengan demikian dapat menimbulkan terjadinya perubahan

kualitas perairan yang berujung pada perubahan ekosistem perairan dan

degradasi lingkungan perairan.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep pengelolaan pertambangan

yang baik dan benar (Suyartono, 2003), adalah kaidah-kaidah yang harus

dijalankan dalam proses penambangan agar dapat memberikan keuntungan

maksimal dengan dampak minimal. Kegiatan pertambangan dituntut dan diawasi

untuk selalu menerapkan kaidah tersebut, terutama untuk menghindari kerugian

lingkungan baik disengaja maupun tidak disengaja dalam usaha mereka

mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya.

Melalui konsep tersebut diharapkan dapat dihindari terjadinya

pemborosan sumber daya, terlindunginya fungsi-fungsi lingkungan serta

keselamatan dan kesehatan para pekerja. Faktor kepedulian terhadap

lingkungan perlu dicanangkan sejak tahap awal perencanaan, pelaksanaan

penambangan hingga tahap penutupan dan paska tambang secara jelas yang

dilaksanakan secara konsekuen.


Setiap tahapan aktivitas penambangan selalu dituntut dan diawasi

kemungkinan dampak negatif terhadap fungsi-fungsi lingkungan, seperti

kawasan konservasi perairan terumbu karang dan fungsi-fungsi lingkungan

lainnya. Jika penambangannya dilakukan secara baik dan benar, niscaya dapat

dihindari terjadinya perubahan perairan dan / atau akan terlindunginya fungsi-

fungsi lingkungan.

Gambar 4.9. Foto perbedaan kekeruhan perairan air laut

Ijin usaha pertambangan di Kabupaten Lingga tercatat sebanyak 29

perusahaan pertambangan, yang terdiri dari 20 pertambangan bijih bauksit dan 9

pertambangan bijih timah putih. Berdasarkan SIUP tersebut tercatat 15

perusahaan yang berstatus ekplorasi dan 14 perusahaan berstatus tahap

eksploitasi. Sebagai gambaran tentang jumlah SIUP dan korelasinya terhadap

distribusi lokasi aktivitas penambangan di Kabupaten Bintan dan Kabupaten

Lingga diperlihatkan pada Gambar 5.1 Maraknya jumlah aktivitas penambangan

tersebut cenderung berpeluang besar kemungkinan akan terjadinya perubahan

tingkat kekeruhan perairan disekitarnya. Berdasarkan karakteristik cebakan baik

bijih bauksit maupun batuannya, sistem penambangan yang diterapkan pada

umumnya sistem tambang terbuka (surface mining) dengan metoda


penambangan (open cash/open pit) yang dilakukan dengan cara membuat

jenjang (benching).

Penerapan sistem tambang terbuka tersebut, relatif lebih berpeluang

terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan perairan sekitarnya,

dibandingkan dengan sistem tambang bawah tanah (underground mining).

Aktivitas penambangan jika tidak dikelola dengan baik dan benar berpotensi

terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan. Aktivitas penambangan selalu

berhubungan dengan sifat material lepas, pengoperasiannya mudah tercecer

dan terbawa aliran air menuju sungai dan bermuara di perairan. Tingkat

kekeruhan dipengaruhi baik oleh faktor internal.

Gambar 4.10. Peta Sebaran dan Jumlah Ijin Usaha Pertambangan


Kepulauan Lingga, Bintan, dan Singkep

4.2.6. Faktor-faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai


pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan

4.2.6.1. faktor iklim dan cuaca

Disamping itu, perubahan iklim seperti suhu udara, musim dan jumlah

curah hujan juga akan berpengaruh terhadap tingkat pelapukan batuan. Pada

suhu udara sekitar 20oC, komponen oksida logam dari bauksit, yakni : Al2O3,
Fe2O3, dan SiO2 akan mudah terlarut. Cebakan bauksit residual, disamping

terdiri dari Al2O3, Fe2O3, SiO2 dan TiO2 juga mengandung unsur K, Na, Ca, Mg

dan P dan S meskipun relatif kecil.

Pada musim hujan (basah) di daerah beriklim sub-tropis terjadi akumulasi

CO2 bebas, larutan dalam tanah menjadi lebih bersifat asam sehingga terbentuk

akumulasi Al2O3 (Ph : 4-9, kelarutan alumina) dan terlepasnya unsur besi (Fe)

Fe2O3 (Ph : < 3, Eh rendah), sehingga terjadi pengkayaan alumina. Namun

sebaliknya pada musim kemarau (kering), unsur alkali dalam larutan terjadi

substitusi dengan silika (Ph : <10, kelarutan silika). Pada daerah sub-tropis,

tambahan asam (humus) dan air hujan serta karbon dioksida (CO2) merupakan

reagen yang baik untuk mengubah batuan menjadi lempung melalui pelapukan

secara kimiawi. Karbon dan asam organik berkompeten melarutkan silikat dan

menghasilkan alkali karbonat yang mengandung silika. Karbon dioksida dalam

air hujan juga mampu melarutkan batugamping. Sementara terdapatnya bakteri

dalam larutan juga membantu proses pelapukan sehingga mengakibatkan

terjadinya redeposisi aluminium. Hal ini mengingat karena aluminium sulfat

dalam larutan terhidrolisa dan menghasilkan sulfat.

4.2.6.2. pengaruh faktor kondisi hidro-oceanografi

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa perubahan sifat fisik

maupun kimia perairan laut seperti penyebaran sedimen, perubahan salinitas,

kandungan zat hara maupun biota perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi

hidro-oceanografi lokal. Kondisi hidro-oceanografi tersebut meliputi kedalaman

air laut, pasang surut, gelombang dan angin yang merupakan penyebab utama

terjadinya arus atau gerakan massa air di perairan tersebut. Sejauhmana

pengaruh faktor tersebut terhadap pola dan sebaran kekeruhan maupun

perubahan kualitas perairan, faktor kondisi hidro-oceanografi mutlak diperlukan.

4.2.6.3. pengaruh faktor aktivitas lainnya


Perubahan kualitas perairan disamping karena pengaruh gejala alam juga

disebabkan oleh aktivitas manusia. Sementara perubahan kualitas perairan yang

disebabkan oleh gejala alam seperti sejak sepuluh tahun terakhir ini, kawasan

kepulauan Bintan dan kepulauan Lingga, Provinsi Kepualauan Riau, telah

mengalami gejala alam yang berkaitan dengan peristiwa anomali ekstrem dari

cuaca dan iklim yang berdampak pada perubahan lingkungan baik di darat

maupun di perairan laut. Namun dampak negatif perubahan lingkungan ini

cenderung lebih kuat ketika aktifitas manusia mulai merambah hutan,

peladangan yang dimulai sejak dekade tahun 1980, dan bahkan

kemungkinannya terjadi hingga sekarang. Disamping aktivitas penambangan,

aktivitas manusia lainnya seperti pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan,

pembangunan resort di pantai, pariwisata juga dapat berpengaruh terhadap

perubahan ekosistem perairan sekitarnya. Termasuk dalam hal ini, adalah

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.

4.3. Dampak Kegiatan Penambangan terhadap Kegiatan Budidaya Laut

4.3.1. Kegiatan budidaya laut dan potensi budidaya laut di perairan


Singkep Kabupaten Lingga

Kegiatan budidaya laut (marine culture) merupakan salah satu kegiatan

budidaya ikan untuk memanfaatkan potensi kekayaan laut secara produkif.

Sejak mulai diperkenalkannya teknologi budidaya laut melalui model Keramba

Jariong Apung (KJA) pada sekitar tahun 1978 di Indonesia, maka usaha

budidaya laut terus meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi ini didukung oleh

pemintaan pasar komoditi ikan laut di pasar local maupun ekspor. Beberapa

jenis ikan ikan laut yang ekonomis yang dapat dibudidayakan antara lain ikan

kerapu, kakap dan baronang (Sunyoto dan Mustahal, 2000).


Jenis budidaya laut yang ada di Kabupaten Lingga adalah KJA dan KJT

dengan jenis ikan yang dipelihara yaitu ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu

sunu dan ikan singarat. Hingga saat ini jenis yang dipelihara yang lebih dominan

adalah ikan kerapu sunu dan kerapu macan, dengan pakan ikan rucah yang

diberikan 2-3 kali/perhari. Untuk budidaya ikan kerapu sunu benih diperoleh dari

tangkapan alam sedangkan untuk ikan kerapu macan, kerapu tikus diperoleh dari

daerah lain yaitu dari Balai Budidaya laut Gondol Bali dan Balai Besar Budidaya

Laut Lampung.

Disamping itu budidaya rumput laut mulai dikembangkan yaitu di Pulau

Nuja dan Pulau Panjang. Untuk budidaya rumput laut jenis yang dipelihara

disesuaikan dengan kondisi perairan. Untuk perairan di Kabuapten Lingga

sebaiknya yang ditanam adalah jenis Eucema cottoni, karena jenis ini

pertumbuhannya lebih pesat dibandingkan jenis yang lain. Teknik penanaman

dengan metode rakit apung, beni diperoleh dari daerah Moro Tanjung Balai

karimun.

Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun

1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan

sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan

usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya

juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan

pantai (Ditjenkan Budidaya, 2004).

Sebagaimana diketahui bahwa sebahagian besar kehidupan masyarakat

Kabupaten Lingga tergantung dari sektor pertanian terutama perikanan tangkap.

Kegiatan ini diusahakan oieh 9.235 Rumah Tangga perikanan (RTP) di tahun

2009 dan meningkat menjadi 9.697 RTP di tahun 2010. Jumlah dan jenis RTP

lain dapat dilihat pada Tabel 4.18.


Tabel 4.18. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan Kabupaten Lingga 2009-
2010
Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 9.235 9.697
2 Budidaya Laut 647 706
3 Budidaya Air Payau 113 214
4 Budidaya Air Tawar 82 85
5 Budidaya Rumput Laut 100 134
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Dalam memproduksi komoditi perikanan dibutuhkan sarana prasarana perikanan

sesuai dengan jenis kegiatan perikanannya. Misalnya sarana prasarana

perikanan tangkap terdiri dari alat dan armada penangkapan, untuk kegiatan

budidaya dibutuhkan wadah budidaya seperti keramba/kolam/tambak. Untuk

lebih jelasnya sarana prasaran perikanan yang ada di Kabupaten Lingga pada

tahun 2009-2010 dapat dilihat pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19. Jenis dan Jumlah Sarana dan Prasarana Produksi perikanan
Kabupaten Lingga 2009-2010
Tahun/ Unit
No Peralatan
2009 2010
1. Penangkapan lkan 9.768 9.964
2. Kapal Motor 7.691 2.715
3. Motor Tempel 99 124
4. Perahu Tanpa Motor 1.745 2.391
5. Keramba 1.021 1.025
6. Kolam 2,7 2,8
7. Rumput Laut 29 -
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Jika dibandingkan produksi perikanan di Kabupaten Lingga tahun 2009

dan 2010, mengalami peningkatan. Produksi perikanan tangkap 19.245,945 ton

pada tahun 2009 meningkat menjadi 21.363,000 ton pada tahun 2010. Demikian

juga dengan budidaya laut dari 164,979 ton tahun 2009 menjadi 183,127 ton

pada tahun 2010. untuk lebih tengkapnya dapat dilihat pada Tabet 4.20.

Tabet 4.20. Hasil Produksi Perikanan Kabupaten Lingga 2009-2010


Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 19.245,946 21.363,000
2 Budidaya Laut 164,979 183,177
3 Budidaya Air Payau 2,886 3,031
4 Budidaya Air Tawar 6,412 6,733
5 Budidaya Rumput Laut 5.000 5.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Sejalan dengan nilai produksi diatas, maka nltai produksi perikanan

terbesar disumbangkan oleh kegiatan perikanan tangkap dan diikuti oleh

kegiatan budidaya laut. Secara rinci dapat dilihat pada Tabet 4.21.

Tabel 4.21. Nilai produksi perikanan Kabupaten Lingga 2009-2010


Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 360.861.480 393.339,014
2 Budidaya Laut 10.723.635 12.653,890
3 Budidaya Air Payau 72.15 75.76
4 Budidaya Air Tawar 76.944 80.8
5 Budidaya Rumput Laut 30.000 30.000
Sumber: Dinas Ketautan dan perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Jika dilihat dari kegiatan pemasaran, produksi perikanan di Kabupaten

Lingga lebih banyak dipasarkan untuk ekspor, yaitu mencapai 8.352,846 ton

pada tahun 2009 sedangkan yang dipasarkan antar pulau sebesar 6.604,576 ton

dian yang dipasarkan di pasar lokal hanya 4.467,801 ton.

4.3.2. Dampak kegiatan penambangan bauksit terhadap perairan yang


berpotensi sebagai sarana pengembangan budidaya laut

Budidaya laut merupakan salah satu usaha perikanan dengan cara

pengembangan sumber-dayanya dalam area terbatas baik di alam terbuka

maupun tertutup. Tempat untuk budidaya laut, demikian pula untuk air tawar,

harus mempunyai fasilitas alami tertentu, terutama persediaan air yang

sangat cukup, dengan suhu, salinitas dan kesuburan yang sesuai (BARDACH

et al. 1972 ). Dalam hal ini penting diperhatikan pula bahwa pengusaha

budidaya menjalankan pengawasan melalui pemilikan, hak sewa menyewa

atau cara lain untuk menjalankan pengawasan. Di Laut sistem demikian

menimbulkan masalah, karena orang masih mempunyai pandangan bahwa

laut adalah milik kita bersama.


Gambar 4.11. Peta Potensi Budidaya Laut Kabupaten Lingga

Sementara itu masalah penyediaan air bagi budidaya laut tidak sulit

dan bahkan tidak ada. Hal ini tentunya berbeda dengan budidaya air tawar

dan air payau yang dalam banyak hal harus memperhatikan tersedianya

sumber air seperti sungai, danau, atau pasang surut yang mengatur secara

alami keluar-masuknya air dari laut. Namun pertama-tama sangat diperlukan

adalah kualitas air yang cocok bagi kehidupan normal yang dibudidaya.

HICKLING ( 1962 ) menyebutkan misalnya bahwa dalam kolam ikan, air yang

bersifat netral atau basa nampak lebih produktif daripada air bersifat asam.

Air laut normal selalu bersifat basa dan kondisi demikian diperlukan bagi

kehidupan biota laut. Faktor-faktor lain yang mensifati kualitas air laut

antaranya adalah salinitas, suhu dan kandungan oksigen.

Dalam era pembangunan Indonesia sekarang ini, idustri berkembang

dengan pesat sementara penduduk pun bertambah dengan pesat pula.

Perkembangan industri telah membawa kita ke kehidupan yang lebih baik


daripada di masa-masa silam. Sementara itu pertambahan penduduk

memberikan persediaan tenaga kerja yang melimpah. Namun dibalik itu

dampak negatif sudah mulai terasa di beberapa sektor kegiatan, diantaranya

adalah budidaya laut. Industri di darat maupun di pantai telah menghasilkan

limbah yang tak terkendalikan sehingga menghasilkan pencemaran air yang

sebagian terbawa ke laut. Demikian pula pertambahan penduduk telah pula

menimbulkan pemukiman-pemukiman yang tak sehat, baik di kota maupun di

pantai. Dari kegiatan penduduk yang demikian dihasilkan pula limbah rumah

tangga yang ikut mencemari laut melalui sungai-sungai atau langsung.

Dari keadaan di atas maka persyaratan kualitas air untuk budidaya

laut ataupun budidaya air tawar yang dimasa silam tidak melibatkan banyak

parameter, sekarang harus dimasukkan pula berbagai jenis bahan pencemar

sebagai pertimbangan.

Setiap kegiatan penambangan baik itu penambangan Mangan, Emas,

Batu bara, Nikel dan Marmer serta lainnya pasti menimbulkan dampak positif

dan negatif bagi lingkungan sekitarnya. Dampak positifnya adalah

meningkatnya devisa negaradan pendapatan asli daerah serta menampung

tenaga kerja sedangkan dampak negatif dari kegiatan penambangan dapat

dikelompokan dalam bentuk kerusakan permukaan bumi, ampas buangan

(tailing), kebisingan, polusi udara, menurunnya permukaan bumi (land

subsidence), dan kerusakan karena transportasi alat dan pengangut berat.

Karena begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan

penambangan maka perlu kesadaran kita terhadap lingkungan sehingga

dapat memenuhi standar lingkungan agar dapat diterima pasar. Apalagi

kebanyakan komoditi hasil tambang biasanya dijual dalam bentuk bahan


mentah sehingga harus hati-hati dalam pengelolaannya karena bila para

pemakai mengetahui bahan mentah yang dibeli mencemari lingkungan, maka

dapat dirasakan tamparannya terhadap industri penambangan kita.

Sementara itu, harus diketahui pula bahwa pengelolaan sumber daya

alam hasil penambangan adalah untuk kemakmuran rakyat. Salah satu

caranya adalah dengan pengembangan wilayah atau community

development. Perusahaan pertambangan wajib ikut mengembangkan wilayah

sekitar lokasi tambang termasuk yang berkaitan dengan pengembangan

sumber daya manusia. Karena hasil tambang suatu saat akan habis maka

penglolaan kegiatan penambangan sangat penting dan tidak boleh terjadi

kesalahan.

4.4. Budidaya Laut

Sebagaimana diketahui bahwa sebahagian besar kehidupan masyarakat

Kabupaten Lingga tergantung dari sektor pertanian terutama perikanan tangkap.

Kegiatan ini diusahakan oieh 9.235 Rumah Tangga perikanan (RTP) di tahun

2009 dan meningkat menjadi 9.697 RTP di tahun 2010. Jumlah dan jenis RTP

lain dapat dilihat pada Tabel 4.22.

Tabel 4.22. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan Kabupaten Lingga 2009-


2010
Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 9.235 9.697
2 Budidaya Laut 647 706
3 Budidaya Air Payau 113 214
4 Budidaya Air Tawar 82 85
5 Budidaya Rumput Laut 100 134
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Dalam memproduksi komoditi perikanan dibutuhkan sarana prasarana

perikanan sesuai dengan jenis kegiatan perikanannya. Misalnya sarana


prasarana perikanan tangkap terdiri dari alat dan armada penangkapan, untuk

kegiatan budidaya dibutuhkan wadah budidaya seperti keramba/kolam/tambak.

Untuk lebih jelasnya sarana prasaran perikanan yang ada di Kabupaten Lingga

pada tahun 2009-2010 dapat dilihat pada Tabel 4.23.

Tabel 4.23. Jenis dan Jumlah Sarana dan Prasarana Produksi perikanan
Kabupaten Lingga 2009-2010
Tahun/ Unit
No Peralatan
2009 2010
1. Penangkapan lkan 9.768 9.964
2. Kapal Motor 7.691 2.715
3. Motor Tempel 99 124
4. Perahu Tanpa Motor 1.745 2.391
5. Keramba 1.021 1.025
6. Kolam 2,7 2,8
7. Rumput Laut 29 -
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Jika dibandingkan produksi perikanan di Kabupaten Lingga tahun 2009

dan 2010, mengalami peningkatan. Produksi perikanan tangkap 19.245,945 ton

pada tahun 2009 meningkat menjadi 21.363,000 ton pada tahun 2010. Demikian

juga dengan budidaya laut dari 164,979 ton tahun 2009 menjadi 183,127 ton

pada tahun 2010. untuk lebih tengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.24.

Tabet 4.24. Hasil Produksi Perikanan Kabupaten Lingga 2009-2010


Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 19.245,946 21.363,000
2 Budidaya Laut 164,979 183,177
3 Budidaya Air Payau 2,886 3,031
4 Budidaya Air Tawar 6,412 6,733
5 Budidaya Rumput Laut 5.000 5.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Sejalan dengan nilai produksi diatas, maka nltai produksi perikanan

terbesar disumbangkan oleh kegiatan perikanan tangkap dan diikuti oleh

kegiatan budidaya laut. Secara rinci dapat dilihat pada Tabet 4.25.

Tabel 4.25. Nilai Produksi Perikanan Kabupaten Lingga 2009 - 2010


Tahun
No Indikator
2009 2010
1 Penangkapan 360.861.480 393.339,014
2 Budidaya Laut 10.723.635 12.653,890
3 Budidaya Air Payau 72.15 75.76
4 Budidaya Air Tawar 76.944 80.8
5 Budidaya Rumput Laut 30.000 30.000
Sumber: Dinas Ketautan dan perikanan Kabupaten Lingga, 2011

Jika dilihat dari kegiatan pemasaran, produksi perikanan di Kabupaten

Lingga lebih banyak dipasarkan untuk ekspor, yaitu mencapai 8.352,846 ton

pada tahun 2009 sedangkan yang dipasarkan antar pulau sebesar 6.604,576 ton

dian yang dipasarkan di pasar lokal hanya 4.467,801 ton.

Jenis budidaya laut yang ada di Kabupaten Lingga adalah KJA dan KJT

dengan jenis ikan yang dipelihara yaitu ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu

sunu dan ikan singarat. Hingga saat ini jenis yang dipelihara yang lebih dominan

adalah ikan kerapu sunu dan kerapu macan, dengan pakan ikan rucah yang

diberikan 2-3 kali/perhari. Untuk budidaya ikan kerapu sunu benih diperoleh dari

tangkapan alam sedangkan untuk ikan kerapu macan, kerapu tikus diperoleh dari

daerah lain yaitu dari Balai Budidaya laut Gondol Bali dan Balai Besar Budidaya

Laut Lampung.

Disamping itu budidaya rumput laut mulai dikembangkan yaitu di Pulau

Nuja dan Pulau Panjang. Untuk budidaya rumput laut jenis yang dipelihara

disesuaikan dengan kondisi perairan. Untuk perairan di Kabuapten Lingga

sebaiknya yang ditanam adalah jenis Eucema cottoni, karena jenis ini

pertumbuhannya lebih pesat dibandingkan jenis yang lain. Teknik penanaman

dengan metode rakit apung, beni diperoleh dari daerah Moro Tanjung Balai

karimun.

Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun

1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan

sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan

usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya


juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan

pantai (Ditjenkan Budidaya, 2004).

Gambar 4.12. Peta Potensi Marikulture di Perairan Kabupaten Lingga (Pemkab


Lingga, 2012)

4.4.1. Rumput laut

Pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif

pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal :

1. produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam


2. tersedianya lahan untuk budidaya yang cukup luas serta
3. mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan (Departemen Kelautan dan

Perikanan, 2001).

Tabel 4.26. Produksi Rumput Laut Kabupaten Lingga 2011


Komoditas Produksi (ton/tahun) Nilai Produksi (Rp/tahun, juta)
Ikan karang 8.003 1.200.379
Ikan
Kakap/Bawal 37.155 1.411.875
Rumput laut 72.023 612.193
Jumlah 117.180 3.224.447
Sumber : Pemkab Lingga, 2011
Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam

divisio thallophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal

dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada

yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain

sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau

banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus

(duadua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama),

pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang

sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada

yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur

(calcareous}, lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut

(spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al, 1978).

4.4.2. Keramba Jaring Apung (KJA) dan KJT

Keramba jaring apung (KJA) merupakan budidaya laut yang potensial di

perairan Kabupaten Lingga. Pada tahun 2009 dan 2010 (2-3 tahun terakhir)

tingkat produktivita sektor budidaya laut lewat metode keramba jaring apung

mencapai 183,177 ton. Data produksi tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada

tabel 4.27.

Tabel 4.27. Nilai produksi KJA dan KJT Kabupaten Lingga 2009-2010
Tahun
No Indikator 2009 2010
1 Budidaya Laut 164,979 183,177
2 Budidaya Air Payau 2,886 3,031
3 Budidaya Air Tawar 6,412 6,733
4 Budidaya Rumput Laut 5.000 5.000
Sumber : Statistik Kabupaten Lingga Dalam Angka, 2011
Pengembangan budidaya ikan dengan karamba jaring apung atau

karamba jaring tancap perlu diketahui permasalahan dan kendala-kendala yang

dihadapi, sehingga dalam pengembangan kedepan tidak terjadi kegagalan dalam

usaha budidaya tersebut. Secara umum isu permasalahan yang dijumpai di

setiap lokasi adalah:

1. Belum tersedia benih yang cukup untuk budidaya, sehingga kebutuhan

benih masih tergantung dari daerah lain. untuk ikan kerapu macan dan

kerapu tikus diperoleh dari Lampung, Bali dan daerah lainnya.


2. Benih yang diperoleh dari daerah lain kondisinya sudah lemah karena

jauhnya jarak tempuh untuk sampai ke lokasi budidaya, sehingga tingkat

kematian cukup tinggi.


3. Ketersediaan pakan ikan yang sangat terbatas akibat ketergantungan

dengan ikan rucah sebagai pakan ikan budidava.


4. Masih rendahnya penguasaan teknologi budidaya dan motivasi masyarakat

terhadap budidaya KJA dan KJT


5. Tidak memliki modal untuk berusaha
6. Adanya musim-musim tertentu dimana kualitas air jelek, seperti

meningkatnya kekeruhan atau menurunnya kecerahan perairan akibat

fenomena alam maupun aktivitas daratan di pulau-pulau kecil sekitarnya.

Perikanan Budidaya adalah usaha manipulasi yang dilakukan oleh

manusia pada suatu perairan sebelum di panen (Rachman,A dan S. Tonnek.

2001). Perikanan budidaya laut baru dimulai awal tahun 1980-an sehingga

tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah. Produksi yang dicapai masih

belum optimal dibandingkan dengan potensi yang ada di perairan laut dan

pantai. Di sisi lain komoditi perikanan budidaya laut memiliki nilai ekonomis tinggi

di pasar local dan ekspor seperti ikan kerapu, baronang, kakap, kerang mutiara

dan rumput laut (Dahuri, 2001).


Perikanan budidaya dapat dilakukan dengan pemanfaatan

pengembangan budidaya melalui kegiatan pembenihan, penyiapan prasarana,

pembudidayaan, pembuatan pakan buatan dan industrinya, pengelolaan

kesehatan ikan dan lingkungan, industri pengolahan dan pemasaran hasil

budidaya (Rejeki, 2011).

4.5. Kualitas Air Perairan

Berbagai aktivitas ditakukan oleh masyarakat disepanjang perairan

Kabupaten Lingga, baik yang berada di sekitar wilayah pesisir maupun yang di

badan perairan itu sendiri antara lain berupa angkutan kapal ferry, pertambangan

dan industri lainnya selain itu ada juga berbagai kegiatan yang memanfaatkan

perairan secara langsung seperti kegiatan transportasi air dan perikanan.

Gambar 4.13. Pengukuran Parameter Kualitas Air

Dari pengukuran yang dilakukan terhadap beberapa parameter kunci,

diketahui bahwa kualitas perairan Kabupaten Lingga masih tergolong kedalam

kelompok baik, Pengukuran kualitas air dilakukan pada delapan titik yang ada di

Kabupaten Lingga kedelapan titik tersebut seperti dapat dilihat pada Tabel 4.28.

dan peta lokasi sampling dapat dilihat pada Gambar 4.13.

Hasil pengukuran parameter fisika, kimia, biologi, dan logam berat titik

sampling dapat dilihat pada Tabel 4.28 . Hasil menunjukkan bahwa tingkat

kualitas air dari batasan baku mutu tergolong optimal dari kategori parameter
kimia dan fisika. Pengukuran parameter logam berat didapatkan sebagian besar

nilai tidak terdefinisi atau tidak mendekati baku mutu air.


Gambar 4.14. Peta Pengambilan Sample di Pulau Selayar Kabupaten Lingga
4.5.1. Parameter kimia air dan unsur logam berat

Komponen parameter kimia air yang diamati hanya terbatas pada

parameter kimia air yang mencakup : DO, COD, nitrit, nitrat, amonium dan zat

organik (Tabel 4.28). Disamping itu juga dilakukan analisis terhadap kandungan

unsur logam berat seperti unsur : Cu, Pb, Zn, Fe, Cd, Cr dan Al. Seperti diketahui

bahwa kandungan unsur logam berat juga termasuk parameter yang diperlukan

dalam menilai perubahan kualitas perairan sebagaimana dipersyaratkan oleh

KLH. Hasil analisis unsur logam berat di wilayah kajian tersebut disajikan pada

Tabel 4.28 walaupun tidak semua unsur logam berat dianalisis, namun paling

tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam kajian ini.


Tabel 4.28. Data Pengamatan Parameter Kimia dan Logam Berat

Lokasi Pengambilan Sampel


No Parameter Satuan AL-1 AL-2 AL-3 AL-4 AL-5 AL-6 AL-7 AL-8 BAKU MUTU*
KIMIA
1 pH 7.13 7.22 7.0 7.21 7.16 7.22 7.00 7.10 7.0 - 8.5
2 Salinitas 32.30 32.00 30.00 31.80 32.00 32.00 32.00 31.50 C(33-34); M s/d 34
3 Oksigen mg/l 4.52 4.73 4.53 5.06 5.32 5.32 6.03 5.84 >5
4 BOD mg/l 34.53 33.68 44.21 15.13 12.73 14.04 13.83 16.17 20
5 COD mg/l 53.21 48.45 56.71 38.23 38.12 36.76 28.892 30.05
6 Nitrat (N-NO3) mg/l 0.0367 0.0461 0.0581 0.0387 0.0334 0.0403 0.0334 0.0323 0.008
7 Nitric mg/l ttd ttd 0.0003 ttd ttd ttd ttd ttd
8 Ammonia total mg/l 0.0015 0.0021 0.0034 0.0012 0.0008 0.0012 0.0008 0.0011 0.3
9 Fosfat (P-PO3) mg/l 0.0021 0.0018 0.0021 0.0019 0.0019 0.0018 0.0016 0.0018 0.015
10 Sulfida (H2S) mg/l ttd 0.0002 ttd ttd ttd ttd ttd ttd 0.01
11 Sianida (Cn) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd 0-5
12 Minyak mg/l 0.32 0.23 0.004 0.004 0.02 0.02 0.02 0.02 1
LOGAM
13 Raksa (Hg) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd 0.001
14 Kromium heksavalen mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd 0.005
15 Arsen (AS) mg/l ttd 0.0001 0.0002 ttd ttd ttd ttd ttd 0.012
16 Kadmium (Cd) mg/l 0.0015 0.0004 0.0016 0.0008 ttd ttd ttd ttd
17 Tembaga (Cu) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd
18 Timbal (Pb) mg/l 0.0062 0.0054 0.0071 ttd ttd 0.0044 0.0012 0.0008
19 Seng (Zn) mg/l 0.0011 0.0005 0.0006 ttd ttd 0.0002 0.0002 0.0004
Hasil pengukuran BOD perairan lokasi penelitian adalah 12,7 – 44,21

mg/l. Kisaran BOD lokasi penelitian menunjukkan nilai yang tinggi dengan

melewati nilai optimal baku mutu kualitas air yaitu 20 mg/l. Menurut Marganof

(2007) yang menyatakan bahwa BOD merupakan parameter yang dapat

digunakan untuk menggambarkan keberadaan bahan organik di perairan.

Nilai nitrat lokasi penelitian menunjukkan hasil berkisar antara 0,033 –

0,058 mg/l. Nilai nitrat tergolong melebihi batas standart baku mutu kualitas air

yaitu 0,008 mg/l. Tingginya nilai nitrat disebabkan salah satunya oleh limbah

domestik setempat. Menurut Marganof (2007), kandungan nitrogen yang tinggi di

suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari limbah domestik,

pertanian, peternakan dan industri.

Hasil pengukuran nilai COD pada lokasi penelitian berkisar antara 28,9 –

53,2 mg/l. Dalam kisaran baku mutu kualitas air, kisaran COD ini tergolong tinggi

dengan nilai di atas border (pembatas). Pada perairan yang belum tercemar

berat nilai COD berkisar antara 20 mg/l, sedangkan pada perairan tercemar nilai

COD di atas 20 mg/l atau mencapai 200 mg/l. Beberapa biota atau tumbuhan

memiliki toleransi berbeda terhadap tingginya nilai COD suatu perairan. Menurut

Boyd (1990) COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang

diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air .

Sedangkan menurut Effendy (2003) yang menyatakan bahwa keberadaan

bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan

industri. Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l,

sedangkan perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l/.


Salinitas lokasi penelitian berkisar antara 30.00 – 32.30 ppt. Kisaran ini

tergolong baik atau optimal untuk budidaya laut atau payau. Nilai salinitas masih

dalam rentang salinitas optimal pada baku mutu kualitas air. Menurut Prasetyarto

dan Suhendar (2010), tinggi rendahnya kadar garam (salinitas) sangat

tergantung kepada banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut,

makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut

akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut

tersebut maka salinitasnya akan tinggi.

Nilai pH hasil pengukuran menunjukkan hasil dengan kisaran 7.00 – 7.22.

Kisaran pH tergolong optimal karena masih pada kisaran baku mutu air 7.00 –

8.50. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) dalam Sirajuddin (2009) nilai pH yang

baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. Berkisar antara 7-9

dengan kisaran optimum 7,9 - 8,3. Lebih lanjut Luning (1990) menyebutkan

bahwa peningkatan nilai pH akan mempengaruhi kehidupan rumput laut dan

kecenderungan perairan memiliki tingkat keasaman yang tinggi disebakan

masuknya limbah orhanik dalam jumlah besar.

Dari beberapa parameter kimia dan logam lokasi penelitian, hanya nilai

salinitas, oksigen terlarut, dan pH yang memiliki karakteristik optimal sebagai

lokasi budidaya laut. Parameter pendukung seperti COD, BOD, fosfat, nitrat, dan

unsur lain mengindikasikan kondisi perairan yang telah tercemar dan

memungkinkan ketidaksesuaian lokasi sebagai lahan budidaya.

Unsur logam berat yang teridentifikasi terdapat di lokasi adalah kadmium,

seng, dan timbal pada batas nilai yang normal (di bawah baku mutu kualitas air).

Beberapa jenis logam berat lain seperti raksa, arsen, dan kromium tidak

teridentifikasi dalam sampel penelitian.


4.5.2. Parameter fisik perairan

Komponen parameter fisik air yang diamati dan akan digunakan sebagai

indikator dalam kajian ini, yakni : derajat keasaman (pH), temperatur, daya hantar

listrik (DHL), salinitas, total disolved solid (TDS), total suspended solid (TSS),

kekeruhan dan kecerahan. Hasil analisis terhadap sample air yang diambil di

lokasi wilayah kajian (Gambar 4.13 Kepulauan Lingga disajikan pada Tabel 4.29).

Tabel 4.29. Data Parameter Fisika Perairan Lokasi Penelitian


No Parameter Satuan Lokasi Pengambilan Sampel BAKU MUTU*
AL1 AL2 AL3 AL4 AL5 AL6 AL7 AL8
FISIKA
C(28-30); M(28-
o
1 Suhu C 30.0 29.5 29.5 29.5 28.5 29.0 29.0 29.0 32)
2 TDS 36.5 41.3 38.7 32.8 44.1 37.8 22.2 27.0
3 TSS mg/l 124.5 86.7 63.2 50.3 38.7 35.7 34.5 32.5 C=20; M=80; L=20
Sumber : Data Penelitian (2010)

Nilai parameter fisik hasil kajian menyimpulkan bahwa suhu perairan

relatif optimal dengan nilai relatif mendekati baku mut KLH yang telah ditentukan.

Nilai TSS perairan tergolong tinggi dan melampau batas baku mutu kualitas TSS

perairan laut .

Hasil pengukuran suhu pada lokasi penelitian menunjukkan kisaran suhu

permukaan laut 29,0 – 30oC. Kisaran suhu lokasi penelitian menunjukkan suhu

optimal atau masih dalam kisaran baku mutu kualitas air (28 – 32 oC). Menurut

Prasetyarto dan Suhendar (2010), keadaan suhu perairan laut banyak ditentukan

oleh penyinaran matahari dan pola suhu di perairan laut pada umumnya makin

ke bawah makin dingin. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1993) yang menyatakan

bahwa rumput laut tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan yang

memiliki kisaran suhu 260C-330C.

Parameter fisika perairan menunjukkan hanya nilai suhu permukaan laut

yang tergolong optimal sebagai lokasi budidaya laut sedangkan nilai TSS tidak
mengindikasikan nilai yang optimal atau dalam batas toleransi dikarena jauh

melampaui nilai baku mutu kualitas air sebagai kriteria lahan atau lokasi

budidaya laut.

4.5.3. Parameter biota perairan

4.5.3.1. identifikasi dan pencacahan biota perairan

Komponen biota perairan yang diamati dalam kajian ini, terbatas

pada 3 (tiga) komponen, yakni: phytoplaknton, zooplankton, dan nekton (ikan)

walaupun masih ada komponen lainnya seperti benthos. Meskipun demikian,

komponen-komponen tersebut merupakan refleksi dari keberadaan dan dinamika

lingkungan kimia-fisik perairan. Keberadaan ke-tiga komponen tersebut akan

saling berkaitan dalam rangkaian fungsi kehidupan yang tercermin di dalam

ekosistem perairan. Hasil analisis dan identifikasi plankton dan benthos dapat

dilihat pada Tabel 4.30.

Tabel 4.30. Data Hasil identifikasi dan pencacahan plankton di stasiun pengamatan
Stasiun Pengamatan
Organisme
AL1 AL2 AL3 AL4 AL5 AL6 AL7 AL8
Protozoa
Codonellopsis sp 346 0 0 0 1634 29412 0 0
Vorticella sp 0 0 21242 0 27778 0 0 44145
Zootamnion sp 0 0 0 11016 0 0 0 0
Tintinnopsis sp 0 0 0 0 1634 0 0 0
Copepoda
Nauplius (stadia) 346 1632 5719 6528 35131 147060 2448 8175
Calanus sp 0 816 0 408 817 26144 1632 1635
Corycaeous sp 346 0 817 0 1634 0 0 0
Oncaea sp 0 0 817 408 0 0 0 0
Microsetella sp 0 0 0 0 0 0 408 0
Oithona sp 0 0 0 0 1634 19608 1224 1635
Decapoda
Mysis (larva) 0 0 0 0 0 0 0 0
Copellata
Oikopleura sp 346 0 817 0 2451 0 408 1635
Pelecypoda
Larva 0 0 0 0 11438 0 0 1635
Jumlah Individu 1384 2448 29412 18360 84151 222224 6120 58860
Jumlah Taksa 4 2 5 4 9 5 5 6
Tabel 4.31. Data hasil identifikasi dan pencacahan benthos di stasiun pengamatan
Stasiun Pengamatan
Organisme
1 2 3 4 5 6 7 8
Protozoa
Ganiada sp 0 0 0 0 22 0 0 22
Paraonis sp 0 0 22 0 0 0 22 22
Notomastus sp 0 0 22 0 0 0 0 0
Arenicola sp 0 0 22 0 0 0 0 0
Maldane sp 0 0 22 0 0 44 0 0
Onophis sp 0 176 44 0 0 22 66 0
Magelona sp 0 0 0 22 0 22 0
Lumbrineris sp 0 0 0 22 22 22 66 0
Nephtys sp 0 0 0 0 22 0 0 0
Pista sp 0 0 0 0 0 22 0 0
Aricidae sp 0 0 0 0 0 22 0 0
Drilonereis sp 0 0 0 0 0 22 0 0
Cirratulus sp 0 0 0 0 0 22 0 0
Glycera sp 0 0 0 0 0 22 0 0
Potamilla sp 0 0 0 0 0 66 0 0
Aglaophamus sp 0 0 0 0 0 22 22 0
Prinospio sp 0 0 0 0 0 0 22 0
Crustaceae 0
Alpheus sp 0 0 0 22 0 0 0 0
Callianassa sp 0 0 0 22 0 0 0 0
Oratosquilla sp 0 0 0 0 0 0 22 0
F Raninidae sp 0 0 0 0 0 0 0 0
Sipuncula 0 0 0 0 0
Golfingia sp 0 0 0 0 0 44 0 0
Palecypoda
Tellina sp 0 0 0 0 0 22 0 0
Polymesoda sp 110 0 0 0 0 0 0 0
Yoldia sp 0 0 0 22 0 0 0 0
Barbatia sp 0 0 0 0 0 22 0 0
Nemertina
Tubulanus sp 0 0 0 22 0 0 0 0
Lineus sp 0 0 0 0 0 0 44 0
Echinodermata 0 0 0 0 0
Amphyoplus sp 0 0 0 22 0 0 0 22
Jumlah individu 110 176 132 154 66 374 286 66
Jumlah Spesies 1 1 5 7 4 13 9 3
4.5.3.2. keanekaragaman, keseragaman, indeks dominasi (ID), dan
kepadatan biota perairan

Hasil analisis biota perairan menunjukkan nilai keanekaragaman (H’),

keseragaman (E), indeks Dominansi (ID), dan kepadatan plankton maupun

bentos dapat dilihat pada tabel 4.32 berikut.

Tabel 4.32. Data Hasil Analisis Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Kepadatan, dan
Dominasi Plankton
Lokasi
Spesies 1 2 3 4 5 6 7 8
Codonellopsis sp 0.35 0.00 0.00 0.00 0.08 0.26 0.00 0.00
Vorticella sp 0.00 0.00 0.22 0.00 0.36 0.00 0.00 0.23
Zootamnion sp 0.00 0.00 0.00 0.30 0.00 0.00 0.00 0.00
Tintinnopsis sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00
Nauplius (stadia) 0.35 0.27 0.33 0.36 0.38 0.26 0.36 0.28
Calanus sp 0.00 0.37 0.00 0.04 0.04 0.25 0.35 0.10
Corycaeous sp 0.35 0.00 0.10 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00
Oncaea sp 0.00 0.00 0.10 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00
Microsetella sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
Oithona sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.21 0.32 0.10
Mysis (larva) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Oikopleura sp 0.35 0.00 0.10 0.00 0.10 0.00 0.18 0.10
Larva 0.00 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.00 0.10
Jumlah Individu 1384 2448 29412 18360 84151 222224 6120 58860
Jumlah Spesies 4.00 2.00 5.00 4.00 9.00 5.00 5.00 6.00
Indeks Keragaman (H’) 1.40 0.63 0.84 0.73 1.46 0.99 1.23 0.89
Indeks Keseragaman(E) 1.00 0.90 0.52 0.52 0.66 0.62 0.77 0.50
Indeks Dominasi (C) 0.25 0.02 0.56 0.49 0.30 0.48 0.28 0.58
Kelimpahan (Ind/ m2)
Sumber : Olah data penelitian, 2013

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’)

plankton tertinggi adalah 1,460 terdapat pada stasiun pengamatan 5. Nilai indeks

keanekaragaman dengan interval 1 – 2 menunjukkan bahwa sebagai bioindikator

pencemaran lingkungan, nilai H’ tersebut menunjukkan bahwa perairan tercemar

sedang (ringan) dan masih memungkinkan untuk pemanfaatan budidaya laut.

Sedangkan nilai di 1 > menunjukkan bahwa perairan dalam kondisi tercemar

berat.
Hasil analisis dan perhitungan indeks keanekaragaman (H’), indeks

keseragaman (E), indeks dominansi (ID), dan kepadatan benthos (K) dapat

dilihat pada tabel 4.32 berikut.

Tabel 4.33. Data Hasil Analisis Indeks Keanekaragaman, Keseragaman,


Kepadatan, dan Dominasi Benthos
Lokasi
Organisme
AL1 AL2 AL3 AL4 AL5 AL6 AL7 AL8
Protozoa
Ganiada sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.37 0.000 0.000 0.367
Paraonis sp 0.00 0.00 0.30 0.00 0.00 0.000 0.023 0.367
Notomastus sp 0.00 0.00 0.30 0.00 0.00 0.000 0.000 0.000
Arenicola sp 0.00 0.00 0.30 0.00 0.00 0.000 0.000 0.000
Maldane sp 0.00 0.00 0.30 0.00 0.00 0.247 0.000 0.000
Onophis sp 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.165 0.346 0.000
Magelona sp 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.000 0.023 0.000
Lumbrineris sp 0.00 0.00 0.00 0.27 0.37 0.165 0.346 0.000
Nephtys sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.37 0.000 0.000 0.000
Pista sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.000 0.000
Aricidae sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.000 0.000
Drilonereis sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.000 0.000
Cirratulus sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.000 0.000
Glycera sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.000 0.000
Potamilla sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.300 0.000 0.000
Aglaophamus sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.023 0.000
Prinospio sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000 0.023 0.000
Crustaceae
Alpheus sp 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.000 0.000 0.000
Callianassa sp 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.000 0.000 0.000
Oratosquilla sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000 0.023 0.000
F Raninidae sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000 0.000 0.000
Sipuncula
Golfingia sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.247 0.000 0.000
Palecypoda 0.00 0.00 0.00 0.000 0.000 0.000
Tellina sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.000 0.000
Polymesoda sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000 0.000 0.000
Yoldia sp 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.000 0.000 0.000
Barbatia sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.165 0.000 0.000
Nemertina
Tubulanus sp 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.000 0.000 0.000
Lineus sp 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000 0.292 0.000
Echinodermata
Amphyoplus sp 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.000 0.000 0.367
Jumlah individu 110 176 132 154 66 374 286 66
Jumlah Spesies 1 1 5 7 4 13 9 3
Indeks Keragaman 0.00 0.00 1.57 1.90 1.10 2.44 1.10 1.10
Indeks Keseragaman 0.00 0.00 0.98 1.00 0.79 0.94 0.50 1.00
Indeks Dominasi 1.000 1.000 0.222 0.143 0.333 0.093 0.161 0.006
2
Kelimpahan (Ind/ m )
Sumber : Olah data penelitian, 2013

Tabel 4.34. Analisis bio-indikator parameter plankton


Lokasi Rataan
Indikator AL1 AL2 AL3 AL4 AL5 AL6 AL7 AL8
138 244 2941 1836 8415 22222 612 5886
∑ Individu 4 8 2 0 1 4 0 0 52014.1
∑ Spesies 4 2 5 4 9 5 5 6 4.86
Keragaman (H’) 1.4 0.63 0.84 0.73 1.46 0.99 1.23 0.89 1.04
Keseragaman (E) 1 0.9 0.52 0.52 0.66 0.62 0.77 0.5 0.71
Dominasi (C) 0.25 0.02 0.56 0.49 0.3 0.48 0.28 0.58 0.34
Sumber : Olah data penelitian, 2013

Tabel 4.34. Analisis bio-indikator parameter benthos


Lokasi Rataan
Indikator AL1 AL2 AL3 AL4 AL5 AL6 AL7 AL8
∑ individu 110 176 132 154 66 374 286 66 185.43
∑ Spesies 1 1 5 7 4 13 9 3 5.71
Keragaman (H’) 0 0 1.57 1.9 1.1 2.44 1.1 1.1 1.16
Keseragaman (E) 0 0 0.98 1 0.79 0.94 0.5 1 0.60
Dominasi ( C ) 1.000 1.000 0.222 0.143 0.333 0.093 0.161 0.006 285.85
Sumber : Olah data penelitian, 2013

Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa plankton yang hidup di

lokasi penelitian tergolong sedang. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman 1,04

nilai keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang

dan kestabilan komunitas sedang, dan jika ditinjau dari segi lingkungan

mengindikasikan kondisi tercemar ringan. Sedangkan indeks keseragaman (E)

tergolong agak seimbang (pada kisaran 0,5 <E<0,75).

Hasil analisis kuantitatif pada biota benthos yang hidup di lokasi penelitian

tergolong sedang. Nilai rata-rata indeks keanekaragaman 1,04 nilai

keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan

kestabilan komunitas sedang, dan jika ditinjau dari segi lingkungan


mengindikasikan kondisi tercemar ringan. Sedangkan indeks keseragaman (E)

tergolong agak seimbang (pada kisaran 0,5 <E<0,75). Hasil analisis

menunjukkan kesamaan bobot dan pengaruh plankton dan benthos terhadap

kondisi kualitas air.

Menurut Shanon-Wiener, nilai indeks keanekaragaman dapat

diklasifikasikan seperti pada tabel berikut.

Tabel 4.35. Nilai dan klasifikasi indeks keanekaragaman menurut Shanon-Wiener


(Magurran, 1988)

Keanekaragaman tinggi,
penyebaran jumlah individu tiap
spesies tinggi dan kestabilan
komunitas tinggi
Keanekaragaman sedang,
penyebaran jumlah individu tiap
spesies sedang dan kestabilan
komunitas sedang
Keanekaragaman rendah,
penyebaran jumlah individu tiap
spesies rendah dan kestabilan
komunitas rendah

sedangkan klasifikasi kisaran nilai indeks keseragaman menurut Shanon-Wiener

(E) adalah :

 0 < E < 0,5 ; komunitas dalam kondisi tertekan

 0 < E < 0,75 ; komunitas dalam keadaan agak seimbang

 0 < E < 1 ; komunitas dalam keadaan seimbang

Indeks keanekaragaman plankton menunjukkan tingkat toleransi berbagai

macam jenis plankton yang hidup di suatu perairan. Semakin tinggi nilai indeks

keanekaragaman dan keseragaman suatu perairan menunjukkan bahwa

semakin besar pula daya dukung lingkungan air dari segi biota yang hidup di
dalamnya. Faktor lain adalah karena dengan tingginya kandungan dan

kepadatan plankton suatu perairan memiliki kemampuan besar dalam memicu

suatu rangkaian rantai makanan. Kriteria indeks keanekaragaman suatu perairan

adalah interval nilai :

1. 1 < tergolong sangat rendah (tercemar berat)

2. < 1,6 tergolong rendah (tercemar ringan)

3. < 2,0 tergolong sedang (tercemar ringan)

4. 2 < tergolong tinggi

4.6. Analisis Daya Dukung Lingkungan terhadap Kualitas Air dan


Kesesuaian Lahan Budidaya pada Lahan Bekas Penambangan
Bauksit di Pulau Selayar, Kecamatan Singkep, Kabupaten Lingga

4.6.1. Analisis kesesuaian lahan budidaya laut perairan Pulau Selayar,


Kecamatan Singkep, Kabupaten Lingga

Data yang digunakan dalam pembobotan dan skoring kesesuaian lahan

budidaya laut adalah data lapangan parameter fisika dan kimia. Data hasil

perhitungan dapat dilihat pada tabel Tabel 4.34 berikut.

Tabel 4.36. Data Parameter Fisika dan Kimia Perairan


Lokasi/Stasiun
No Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8
1 Salinitas (psu) 32.30 32.00 30.00 31.80 32.00 32.00 32.00 31.50
2 TSS (mg/l) 124.53 86.72 63.19 50.31 38.66 35.68 34.54 32.48
3 Suhu (0C) 30.00 29.50 29.50 29.50 28.50 29.00 29.00 29.00
4 Oksigen (mg/l) 4.52 4.73 4.53 5.06 5.32 5.32 6.03 5.84
5 pH 7.13 7.22 7.00 7.21 7.16 7.22 7.00 7.10
6 Arus (cm/det) 30.00 30.00 30.00 35.00 35.00 35.00 25.00 30.00
7 Kedalaman (m) 17.00 20.00 20.00 18.00 20.00 15.00 15.00 22.00
Sumber : Olah Data Penelitian 2010

Data parameter fisika dan kimia menunjukkan kondisi lokasi penelitian di

perairan Pulau Selayar, Kecamatan Singkep, Kabupaten Lingga. Hasil


menunjukkan kualitas air mempunyai pengaruh besar dalam menentukan lokasi

budidaya laut.

Dari data parameter fisika dan kimia yang didapatkan, berikutnya adalah

metode skoring dan pembobotan masing-masing nilai parameter perhitungan di

lokasi penelitian. Data parameter kualitas air dikonversi dalam bobot dan skor

sesuai metode skoring.

Menurut Pramono et al., (2005); Suryanto et al., (2005) dan Cornelia et

al., (2005) yang dimodifikasi oleh peneliti didalam melakukan metode scoring,

tahapan yang perlu dilakukan yaitu: pembobotan kesesuaian (Kes Bob.),

pembobotan parameter (Par Bob.), dan pembobotan skoring (score Bob.).


Tabel 4.37. Pembobotan dan Skoring Parameter
Lokasi I Lokasi II Lokasi III Lokasi IV Lokasi V Lokasi VI Lokasi VII Lokasi VIII
No Parameter Skor Bobot Skor Bobot Skor Bobot Skor Bobot Skor Bobot Skor Bobot Skor Bobot Skor Bobot
1 Salinitas (psu) 5.00 0.20 5.00 0.20 5.00 0.20 5.00 0.20 5.00 0.20 5.00 0.20 5.00 0.20 5.00 0.20
2 TSS (mg/l) 1.00 0.18 1.00 0.18 1.00 0.18 1.00 0.18 3.00 0.18 3.00 0.18 3.00 0.18 3.00 0.18
3 Suhu (0C) 5.00 0.15 5.00 0.15 5.00 0.15 5.00 0.15 4.00 0.15 5.00 0.15 5.00 0.15 5.00 0.15
4 Oksigen (mg/l) 3.00 0.15 3.00 0.15 3.00 0.15 4.00 0.15 4.00 0.15 4.00 0.15 5.00 0.15 4.00 0.15
5 pH 5.00 0.12 5.00 0.12 5.00 0.12 5.00 0.12 5.00 0.12 5.00 0.12 5.00 0.12 5.00 0.12
6 Arus (cm/det) 5.00 0.10 5.00 0.10 5.00 0.10 4.00 0.10 5.00 0.10 5.00 0.10 4.00 0.10 5.00 0.10
7 Kedalaman (m) 4.00 0.10 5.00 0.10 5.00 0.10 4.00 0.10 5.00 0.10 4.00 0.10 4.00 0.10 5.00 0.10
Jumlah 28.00 1.00 29.0 1.00 29.00 1.00 28.0 1.00 31.0 1.00 31.0 1.00 31.0 1.00 32.0 1.00
Sumber : Olah Data Penelitian 2010
4.6.2. Evaluasi penilaian kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya laut

Hasil pembobotan dan skoring parameter kualitas air setelah dianalisis

dan dievaluasi dapat dilihat pada tabel .

Tabel 4.38. Hasil Analisis dan Penilaian Nilai Parameter Kualitas Air
Bscore
No Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8
1 salinitas 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
2 TSS 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.54 0.54 0.54
3 suhu 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.60 0.60 0.75
4 Oksigen 0.45 0.45 0.45 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60
5 pH 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60
6 Arus 0.50 0.50 0.50 0.40 0.40 0.50 0.50 0.50
7 Kedalaman 0.40 0.50 0.50 0.40 0.40 0.50 0.50 0.40
Bscore 3.88 3.98 3.98 3.93 3.93 4.34 4.34 4.39
Indeks kes. 2.77 2.65 2.65 2.81 2.81 2.89 2.89 3.14
Kategori N1 N1 N1 N1 N1 N1 N1 N1
Sumber : Olah Data Penelitian 2010

Hasil analisis menunjukkan bahwa lokasi penelitian tergolong pada

kategori lahan N1 atau kurang sesuai untuk lokasi budidaya laut dikarenakan

nilai dan skoring pembobotan tidak memenuhi kriteria lahan sesuai untuk lokasi

budidaya laut.

Tabel 4.39. Evaluasi Penilaian Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Laut
No Indeks Kesesuaian Kriteria Kesesuaian Evaluasi / Kesimpulan
1 >4,4-5 S1 Sangat sesuai
2 >3,8-4,4 S2 Sesuai
3 >3,2-3,8 S3 Cukup sesuai
4 >2,6-3,2 N1 Kurang sesuai
5 ≤2,6 N2 Tidak sesuai
Sumber : Olah Data Penelitian 2010

Parameter kualitas air yang menjadi parameter skoring nilai dan kategori

lahan budidaya di perairan Pulau Selayar adalah parameter salinitas, TSS, suhu,

oksigen, pH, arus, dan kedalaman.

Untuk mendapatkan kelas kesesuaian maka dibuat matrik kesesuaian

perairan untuk parameter fisika, kimia dan biologi. Penyusunan matrik


kesesuaian perairan merupakan dasar dari analisis keruangan melalui skoring

dan faktor pembobot.

Tabel 4.10. Koordinat Pemilihan Lokasi untuk Kesesuaian Budidaya Laut


Koordinat Kelas /Kriteria
Lokasi Bujur (X) Lintang (Y) Keterangan
1 104,458 -0,31030 N1 Kurang Sesuai
2 104,458 -0,31156 N1 Kurang Sesuai
3 104,459 -0,31175 N1 Kurang Sesuai
4 104,460 -0,31317 N1 Kurang Sesuai
5 104,461 -0,31272 N1 Kurang Sesuai
6 104,462 -0,31260 N1 Kurang Sesuai
7 104,462 -0,31377 N1 Kurang Sesuai
8 104,463 -0,31236 N1 Kurang Sesuai
Sumber : Olah data penelitian 2013

Gambar 4.15. Peta Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Laut

Pemetaan kelas kesesuaian lahan. Pemetaan kelas lahan dilakukan

dengan program spasial. Untuk memetakan kawasan ketiga kelas lahan tersebut

dilakukan operasi tumpang susun (overlaying) dari setiap tema yang dipakai

sebagai kriteria. Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh

masing-masing coverage tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat


kepentingannya terhadap penentuan kesesuaian budidaya. Hasil akhir dari

analisis SIG melalui pendekatan indeks overlay model adalah diperolehnya

rangking (urutan) kelas kesesuaian lahan untuk budidaya tersebut.

Hasil skoring dan pembobotan di evaluasi sehingga didapat kelas

kesesuaian yang menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu bidang untuk

penggunaan tertentu. Tingkat kesesuaian dibagi atas empat kelas yaitu :


1. Kelas S1 : Sangat Sesuai
Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan

perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak

berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan

tidak akan menaikan masukan atau tingkat perlakukan yang diberikan.


2. Kelas S2 : Cukup Sesuai
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang berat untuk penggunaan

secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas atau keuntungan

terhadap lahan ini. Pembatas ini akan meningkatkan masukan atau tingkat

perlakuan yang diperlukan.


3. Kelas S3 : Kelas Hampir Sesuai
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk

penggunaan secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas

atau keuntungan terhadap lahan ini. Pembatas ini akan meningkatkan

masukan atau tingkat perlakuan yang diperlukan.


4. Kelas N1 : Tidak Sesuai Saat Ini
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk

penggunaan secara berkelanjutan sehingga menghalangi dan

menghambat beberapa kemungkinan untuk pemanfaatan.Tetapi hambatan

ini masih dapat diatasi atau diperbaiki dengan tingkat pengelolaan tertentu.

5. Kelas N2 : Tidak Sesuai (Not Suitable)


Daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala

kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.


Matrik kesesuaian perairan disusun melalui kajian pustaka dan diskusi

ekspert, sehingga diketahui variabel syarat yang dijadikan acuan dalam

pemberian bobot. Karena itu, variabel yang dianggap penting dan dominan
menjadi dasar pertimbangan pemberian bobot yang lebih besar dan variabel

yang kurang dominan.

4.6.3. Analisis daya dukung laut perairan bekas penambangan bauksit di


perairan Pulau Selayar Kecamatan Singkep Kabupaten Lingga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kesesuaian lahan sebagai

lokasi budidaya laut ditekan oleh penurunan kualitas air pada variabel nitrat,

fosfat, dan minyak yang mempunyai nilai di atas ambang batas. Tingginya nitrat

mengindikasikan bahwa lingkungan dalam kondisi tercemar oleh limbah pabrik,

perkebunan, atau peternakan.

Faktor-faktor yang dapat menentukan daya dukung lingkungan dalam

kondisi baik atau tidak antara lain, adalah ketersedian bahan baku dan energi,

akumulasi limbah dari aktivitas produksi (termasuk manajemen limbahnya) dan

tentu interaksi antar makhluk hidup yang ada di dalam lingkungan. Dengan kata

lain daya dukung harus mampu mencakup daya dukung lingkungan fisik, biologi

dan persepsi atau psikologis.

Hasil analisis biota perairan menunjukkan bahwa plankton dan benthos

sebagai bioindikator kondisi dan kualitas perairan berada pada ambang batas

rendah – sedang dengan nilai rata-rata tiap lokasi adalah 1,04 dan 1,16. Pada

klasifikasi Shanon-Wiener nilai tersebut masuk pada kriteria perairan yang

tercemar ringan dan keanekaragaman biota perairan sedang.

Daya dukung lingkungan adalah kapasitas atau kemampuan ekosistem

untuk mendukung kehidupan organisme secara sehat sekaligus

mempertahankan produktivitas, kemampuan adaptasi, dan kemampuan

memperbarui diri. Daya dukung lingkungan diartikan sebagai kemampuan

lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia (Sunu, 2001 : 6).

Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung

perikehidupan semua makhluk hidup yang meliputi ketersediaan sumberdaya


alam untuk memenuhi kebutuhan dasar atau tersedianya cukup ruang untuk

hidup pada tingkat kestabilan sosial tertentu disebut daya dukung lingkungan.

Keberadaan sumberdaya alam di bumi tidak tersebar merata sehingga

daya dukung lingkungan pada setiap daerah akan berbeda-beda. Oleh karena

itu, pemanfaatannya harus dijaga agar terus berkesinambungan dan tindakan

eksploitasi harus dihindari. Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup

harus dilakukan dengan cara yang rasional antara lain sebagai berikut :

1. Memanfaatkan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan hati-hati

dan efisien, misalnya : air, tanah dan udara.

2. Menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran).

3. Mengembangkan metode penambangan dan pemprosesan yang lebih

efisien serta dapat didaur ulang.

4. Melaksanakan etika lingkungan dengan menjaga kelestarian alam.

Pengertian (konsep) dan ruang lingkup daya dukung lingkungan menurut

UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya

dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain; sedangkan

pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk

melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan atau

dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya

adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan

dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di

daerah itu. Menurut Khanna et al. (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi

menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan

kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).


Daya dukung lingkungan/carrying capacity adalah batas atas dari

pertumbuhan suatu populasi, di mana jumlah populasi tersebut tidak dapat lagi

didukung oleh sarana, sumberdaya dan lingkungan yang ada. Atau secara lebih

singkat dapat dijelaskan sebagai batas aktivitas manusia yang berperan dalam

perubahan lingkungan. Konsep ini berasumsi bahwa terdapat kepastian

keterbatasan lingkungan yang bertumpu pada pembangunan (Zoer’aini, 1997).

Definisi daya dukung lingkungan/carrying capacity :

1. Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang

yang dapat didukung oleh suatu lingkungan;

2. Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan

tanpa merusak lingkungan tersebut;

3. Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam

periode jangka panjang tanpa membahayakan lingkungan tersebut;

4. Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh

suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut; Rata-rata kepadatan

suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok manusia di bawah

angka yang diperkirakan akan meningkat dan di atas angka yang

diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumberdaya.

Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam

sebuah lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat

tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal

tersebut.

Carrying Capacity/CC (kapasitas daya tampung) merupakan kemampuan

optimum lingkungan untuk memberikan kehidupan yang baik dan memenuhi

syarat kehidupan terhadap penduduk yang mendiami lingkungan tersebut.

Apabila kemampuan optimum telah terpenuhi, sedangkan populasi cenderung

meningkat maka akan terjadi persaingan dalam memperebutkan sumberdaya


(SD). Untuk mengurangi disparitas pemenuhan kebutuhan masing-masing

individu akan sumberdaya (SD) maka diperlukan sebuah teknologi yag dapat

membantu memperbesar kapasitas sumberdaya (SD). Adanya konsep Carrying

Capacity (CC) berdasarkan sebuah pemikiran bahwa lingkungan mempunyai

batas kapasitas maksimum guna mendukung pertumbuhan populasi penduduk

yang berbanding lurus dengan azas manfaatnya.

Kapasitas daya tampung (CC) dibedakan atas 4 (empat) tingkatan, yaitu :

1. CC Maksimum, apabila SD yang tersedia telah dimanfaatkan semaksimal

mungkin dan telah melebihi daya dukung SD dalam memenuhi kebutuhan

populasi penghuninya.

2. CC Subsistem, apabila pemanfaatan SD melebihi kapasitas daya tampung

SD akan tetapi populasi tidak optimum sehingga melebihi kebutuhan

populasi.

3. CC Suboptimum, apabila pemanfaatan SD yang ada berada di bawah rata-

rata kebutuhan populasi.

4. CC Optimum, apabila kapasitas daya tampung SD berada di bawah rata-

rata kebutuhan populasi.

Gambar 4.16. Carrying Capacity Indicator (Rolasisasi, 2007)


Daya dukung berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor

biofisik maupun sosial-budaya-ekonomi. Kedua kelompok faktor ini saling

mempengaruhi. Faktor biofisik penting yang menentukan daya dukung daya

dukung berkelanjutan ialah proses ekologi yang merupakan sistem pendukung

kehidupan dan keanekaragaman jenis yang merupakan sumberdaya gen.

Misalnya hutan adalah salah satu faktor ekologi dalam sistem pendukung

kehidupan. Hutan melakukan fotosintesis menghasilkan oksigen yang kita

perlukan untuk pernafasan kita. Apabila proses fotosintesis terhenti atau

menurun dengan drastis karena hutan atau tumbuhan pada umumnya habis atau

sangat berkurang, kandungan oksigen dalam udara akan menurun dan

kehidupan kita akan terganggu. Hutan juga mempunyai fungsi orologi yaitu

melindungi tata air dan tanah dari erosi. Kerusakan hutan akan mengakibatkan

rusaknya tata air dan terjadinya erosi tanah. Erosi tanah akan menurunkan

kesuburan tanah yang berarti menurunkan produksi dan menambah biaya

produksi, menyebabkan pendangkalan sungai, waduk dan saluran irigasi;

menurunkan produksi ikan dan memperbesar bahaya banjir.

Mahluk hidup secara keseluruhan merupakan sistem dalam daur materi.

Rusaknya daur materi akan mengakibatkan pencemaran. Dan lebih hebatnya

lagi , kerusakan daur materi akan mengancam kelangsungan hidup semua

mahluk hidup.

Dalam upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup (pengelolaan), akan

selalu ada kegiatan-kegiatan seperti kegiatan pemanfaatan (termasuk penataan

dan pemeliharaan), pengendalian, pemulihan dan juga pengembangan kawasan

lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya pelestarian yang

paling baik, karena dalam prosesnya akan selalu memperhatikan daya dukung
lingkungan sehingga dapat dijadikan modal pembangunan untuk generasi-

generasi selanjutnya.

Untuk itu, sebelum melakukan pengelolaan hendaknya ditentukan terlebih

dahulu nilai dari daya dukung lingkungan yang menjadi targetnya. Dalam

penentuan daya dukung suatu kawasan perlu diperhatikan setidaknya tiga aspek

utama, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Hal ini penting mengingat bahwa

interaksi antara kegiatan pengelolaan dengan ekosistem dari kawasan tersebut

akan tergambarkan dengan sangat kompleks, sehingga memerlukan pendekatan

yang multidimensi Proses perencanaan pembangunan dengan konsep daya

dukung mengandung pengertian adanya kemampuan dari alam dan sistim

lingkungan buatan untuk mendukung kebutuhan yang melibatkan keterbatasan

alam yang melebihi kemampuannya, yang secara tidak langsung dapat

menyebabkan degradasi atau kerusakan lingkungan. Keterbatasan fisik

lingkungan dapat ditoleransi jika terdapat kompensasi biaya untuk menghindari

resiko atau bahaya yang terjadi. Dengan demikian pembangunan hanya dapat

dilakukan pada tempat yang memiliki zona potensial. Selain aspek fisik, daya

dukung juga tergantung pada kondisi sosial, masyarakat, waktu dan tempat

(Suryanto, 2007).

Daya dukung lingkungan yaitu kemampuan sebidang lahan dalam

mendukung kehidupan manusia (Sumarwoto, 2001). Kemudian Notohadiprawiro

(1991) menjelaskan bahwa daya dukung tersebut dinilai menurut ambang batas

kesanggupan lahan sebagai suatu ekosistem untuk menahan keruntuhan akibat

dampak penggunaan. Pembahasan daya dukung meliputi : tingkat penggunaan

lahan, pemeliharaan mutu lingkungan, tujuan pengelolaan, pertimbangan biaya

pemeliharaan dan kepuasaan pengguna sumberdaya.

Implementasi daya dukung lingkungan dapat dilakukan dengan tiga cara :


1. Daya dukung lingkungan disusun pada level minimum sebagai aktivitas

baru yang dapat diakomodasikan sebelum terjadi perubahan yang nyata

dalam lingkungan yang ada. Misalnya : daya dukung untuk wilayah

pertanian, kehutanan dan kegiatan wisata.

2. Perubahan dapat diterima, tetapi pada level tertentu dibatasi agar tidak

mengalami proses degradasi serta sesuai dengan ketentuan standart. Cara

ini kemungkinan dapat lebih meluas dan relevan terutama untuk ambang

batas udara dan air. Contoh implementasi model ini adalah ijin

pembuangan limbah yang disesuaikan dengan kapasitas jaringan air.

3. Kapasitas lingkungan diterima sebagai aktivitas baru. Model ini dipakai

untuk manajemen sumberdaya. Cara ini kemungkinan tidak relevan

dengan kasus perkembangan kota, namun dapat relevan dalam kasus

drainase yang menyebar pada lahan pertanian basah (Suryanto, 2007).

Kemudian Notohadiprawiro (1991) menjelaskan bahwa tata ruang secara

umum memenuhi kriteria kesesuaian lahan, wawasan lingkungan dan wawasan

ekonomi bila diterapkan secara bersama-sama. Penggunaan lahan di bawah

kelayakan memang memenuhi kriteria kesesuaian (menghemat penggunaan

lahan), namun potensi ekonomi lahan tidak dimanfaatkan sepenuhnya.

Pemanfaatan yang melampaui ukuran kelayakan berarti melanggar kedua kriteria

tata guna lahan (kesesuaian dan wawasan lingkungan). Dalam hal ini

penggunaan lahan terpaksa disubsidi dengan bahan dan energi berupa

teknologi, sehingga lahan digunakan secara tidak efisien dan menjadi suatu

sistem yang mantap semu (metastable).


Gambar 4.17. Kemampuan, Daya Dukung, Kesesuaian, Kemanfaatan
danKelayakan Lahan Dalam Tata Guna Lahan

Setiap daerah memiliki karakteristik geografi yang berbeda-beda serta

ditambah dengan kegiatan manusia dengan berbagai kepentingannya,

sehingga daya dukung lingkungan akan sangat bervariasi. Di daerah yang

kondisi daya dukung lingkungannya masih relatif baik, sebagian masyarakat

masih kurang memperhatikan dampak lingkungan sehingga mengakibatkan

berkurangnya daya dukung lingkungan. Hal ini akan dapat berlaku

sebaliknya, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan

manusia akan berkurang. Perkembangan teknologi dan kemajuan industri

akan berdampak pada kualitas daya dukung lingkungan yang pada akhirnya

akan merusak lingkungan itu sendiri (Sunu, 2001: 10).

Lingkungan yang berada di sekitar kita sangat bervariasi, hal ini juga

menunjukkan bervariasinya kemampuan pendukung dari lingkungan tersebut.

Daya dukung tidak mutlak, melainkan dapat berkembang sesuai dengan

faktor yang mendukungnya, yaitu faktor geografi (iklim, perubahan cuaca,

kesuburan tanah, erosi); faktor sosial budaya dan iptek (Supardi, 1994).
Dalam UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga, merinci daya dukung lingkungan menjadi tiga,

yakni daya dukung lingkungan alam, daya tampung lingkungan binaan dan

daya tampung lingkungan sosial. Namun, UU ini tidak merinci lebih jauh

bagaimana daya dukung tersebut dapat diukur ataupun dihitung.

Anda mungkin juga menyukai