TINJAUAN PUSTAKA.
Difteri merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang bernama
Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini dapat mengeluarkan toksin yang dapat merusak atau
menghancurkan jaringan atau organ pada tubuh manusia. Salah satu gejala difteri yang paling
sering ditemukan menyerang tenggorokan atau tonsil. Pada beberapa kasus pada daerah beriklim
rropis ditemukan gejala ulkus pada kulit.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva,
genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik. Gejala sistemik
muncul karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada daerah infeksi. Masa
inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun
carrier.
Difteri merupakan penyakit yang harus terdiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru
lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6
bulan. Oleh karena itu bayi diwajibkan untuk di vaksinasi, karena telah terbukti mengurangi
insidensi penyakit tersebut.
Walaupun difteri sudah jarang ditemukan, tetapi masih ada yang terkena penyakit
tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan
lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi. Sebanyak 50% penderita
difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak.
Dewasa ini, ditemukan pada beberapa daerah di Indonesia seperti Sumatera Barat, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Tangerang, dan lainnya, kasus difteri yang menimbulkan Kejadian Luar
Biasa (KLB) sehingga vaksinasi gencar digalakkan terutama pada daerah KLB. Oleh karena itu,
sosialisasi mengenai penyakit ini diperlukan untuk memberikan pengetahuan dan meningkatkan
kewaspadaan pada masyarakat akan bahaya serta pencegahan penyakit ini.
2.1. Etiologi
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius, dan mitis
namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menjelaskan penyebab
seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas
C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)
atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi
polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)
dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh
C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.
2.2. Patogenesis dan patofisiologis
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah
dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA,
diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim
translokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui
proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2
yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan sehingga sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi
kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal, bersama-sama dengan jaringan nekrotik
membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain
fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan
membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini dapat bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer
adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae
(kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah
sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan
serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun
1954, fokus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua
tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda
dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC.
2.3.1.1. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa
atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan
rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares
luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada
daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga terkadang terlambat untuk terdiagnosis.
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi
hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari
kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai
dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda
mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema
jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull
neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus
berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle
baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian
bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan
membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring
sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel
pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang nyata,
oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa
faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring
sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan
nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan
trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala
yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
Difteri kulit berupa tukak/ulkus dikulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang
ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat
keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau
stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering
terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal
atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi
toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik
tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan
untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek).
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak
berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih
keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila
diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common
cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan
oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis
membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.
Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing
dalam laring.
Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus.
2.6. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman
lain, obstruksi jalan nafas akibat membran atau edema jalan nafas, sistemik; karena efek
eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal.
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya
sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat
disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada
penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi
tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus
endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan
di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah
nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik,
dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh
steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.
Miokardiopati toksik. terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi
pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang
berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal
eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada
minggu kedua dan ketiga sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut
sampai dengan 1 minggu pertama, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6.
Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau
disfungsi sistem saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T
pada elektrokardiogram relatif merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau
disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blokade jantung derajat I, II dan III, disosiasi
atrioventrikuler, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara
tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat paralel dengan
keparahan mionekrosis. Disaritmia berat berimplikasi pada kematian. Penemuan histologik
paska-kematian dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut.
Yang bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran
permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis paralel dengan luasnya infeksi primer yang
multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia
dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior
dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati kranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor
dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran
akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan
terutama menyebabkan defisit motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot
proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi.
Pada 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ditemukan disfungsi pusat vasomotor yang
dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.
2.7. Pengobatan Dan Penatalaksanaan.
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat,
makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita
diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di
jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
B. Pengobatan Khusus
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan
adrenalin 1:1000. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji
kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila
ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti
tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau
100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2. Antibiotik
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau
bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam
4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari.
Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-
turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai
terapi.
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
hari.
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari
selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi.
2.8. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. Prognosis
difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya, keadaan
demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun
akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat
disebabkan oleh karena
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya
akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung
yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia
amegakariositik dan leukositosis > 25.000/prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri
2. 9. Pencegahan
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri
(D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah
bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.
Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan
pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.
Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis
0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,
kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 SASARAN
Sasaran penyuluhan ini adalah perwakilan anggota OSIS dari siswa-siswi SMK Negeri
1 Kubu yang berjumlah 40 orang dengan pertimbangan keterbatasan tempat yang tidak cukup
untuk menampung semua siswa-siswi di satu tempat.
1.2 STRATEGI
Strategi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat
pengetahuan tentang penyakit difteri di SMK Negeri 1 Kubu.
1.3 METODE
Penyuluhan akan dilakukan dengan metode ceramah, diskusi dan tanya jawab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik
Pada Anak, Difteri, 1-18
2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176