Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

 Latar Belakang
Kornea merupakan bagian media refraksi yang terletak di bagian anterior mata.
Sebuah kornea yang sehat, dengan lapisan air mata di atasnya, berperan penting dalam
menyediakan permukaan refraksi yang baik serta perlindungan mata. Bentuk kornea lebih
rata di tepi dan lebih terjal di bagian tengah, sehingga membentuk sistem optik asferis.
Kornea terdiri atas 5 lapisan, yaitu epitel, membrane Bowman, stroma, membrane
Descemet, dan endotel. Lapisan endotel tidak dapat melakukan regenerasi sehingga
kerusakannya menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan kornea.
Sebaliknya, lapisan epitel yang memiliki sifat regenerasi akan menyebabkan edema lokal
sesaat bila terjadi kerusakan.

Keratitis adalah keadaan peradangan kornea yang disebabkan oleh bermacam-


macam penyebab. Keratitis oleh karena infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, dan protozoa. Keratitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea
yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda.

Peradangan kornea jika tidak didiagnosis secara dini serta tidak ditangani dengan
cepat dan tepat dapat menimbulkan kerusakan pada kornea sampai dapat berlanjut
menjadi ulkus. Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya
infiltrat disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea dengan
kehilangan epitel juga sampai mengenai stromal kornea. Klasifikasi ulkus kornea dibagi
menjadi infeksius dan non-infeksius. Ulkus kornea infeksius disebabkan oleh bakteri,
jamur, parasit, dan virus. Sedangkan ulkus kornea noninfeksius disebabkan oleh penyakit
autoimun, neutrotropik, toksik, dan alergi.
BAB II
PEMBAHASAN

a) Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan avaskular, bersifat transparan, berukuran 1112 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Kornea merupakan sumber astigmatisme pada system
optik. Asupan nutrisi dan pembuangan produk metabolik terutama melalui humor akuos
di posterior dan lapisan air mata di anterior, dengan gradien oksigen yang menurun secara
anterior-posterior.

Kornea memiliki ujung-ujung saraf terbanyak, dengan pleksus subepitel dan


lapisan dalam stroma dimana keduanya dipersarafi oleh divisi pertama nervus
trigeminalis. Tebal kornea (0.6 – 1.0 mm) terdiri atas lima lapisan:
1) Epitel Epitel kornea merupakan lapis paling luar kornea dan berbentuk epitel
gepeng berlapis tanpa tanduk. Ini terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel
kira-kira 5% (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata
merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap
dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Lapisan
in berasal dari ectoderm pemukaan, daya regenerasi epitel cukup besar sehingga
apabila terjadi kerusakan, akan diperbarui dalam beberapa hari tanpa membentuk
jaringan parut. Bagian ujung saraf kornea berakhir pada epitel, sehingga setiap
gangguan epitel akan memberikan gangguan sensibilitas kornea berupa rasa sakit
atau mengganjal.
2) Membran Bowman Membran Bowman terletak di bawah epitel bersifat jernih
dan aselular. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai
daya generasi.
3) Stroma Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea, yang
merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril
kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup
seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serta kolagen ini bercabang. Di antara serat-serat kolagen ini
terdapat matriks. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan
kadang sampai 15 bulan. Bila terjadi gangguan dari susunan serat di dalam
stroma maka akan mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah dan kornea
terlihat keruh. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air dari bilik mata
depan. Kadar air di dalam stroma kurang leih 70%. Kadar air dalam stroma relatif
tetap yang diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel.
Apabila fungsi sel endotel kurang baik maka akan terjadi kelebihan kadar air
sehingga timbul sembab korena. 4. Membran Descemet
4) Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur dan
bening; terletak di bawah stroma dan mempunyai tebal kurang lebih 40 mm.
Lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh
darah.
5) Endotel Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20 – 40 mm melekat erat pada membran Descemet melalui taut.
Endotel dari kornea ini dibasahi oleh humor akuos. Lapisan endotel berbeda
dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya
endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan
seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak
lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem
pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan
kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari
kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membran
semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea,
jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan
kekeruhan pada kornea. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama
berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus
yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai
pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada
daerah limbus.

b) Fisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan
kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada
epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah
daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea
dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan
edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas
ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air
dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya
agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah
sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali
kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi
oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera
mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama
bila letaknya di daerah pupil.

c) KERATITIS
 Definisi
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel
atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis
parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.
 Etiologi
Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat
menyebabkan keratitis. Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata, benda
asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik
mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa
kontak yang kurang baik.
 Klasifikasi
Menurut lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi:
 Keratitis superfisialis, jika mengenai lapisan epitel dan membrane Bowman
a) Keratitis pungtata superfisialis Berupa bintik-bintik putih pada permukaan
kornea yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi virus antara
lain virus herpes, herpes zoster, dan vaksinia.
b) Keratitis flikten Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai
kecenderungan untuk menyerang kornea.
c) Keratitis sika Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya
sekresi kelenjar lakrimal atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
d) Keratitis lepra Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan
trofik saraf, disebut juga keratitis neuroparalitik.
e) Keratitis numularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multipel
dan banyak didapatkan pada petani.
 Keratitis profunda, jika mengenai lapisan stroma
a) Keratitis interstisial luetik atau keratitis sifilis kongenital
b) Keratitis sklerotikans
 Patofisiologi
Beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi
padakornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea, dry eyes, penggunaan
lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat
imunosupresif topikal maupun sistemik.
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan,
oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air
mata, lisosim epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan
epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap. Epitel merupakan barrier yang efisien
terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma,
struma yang avaskular dan lapisan Bowman mudah untuk mengalami infeksi dengan
organisme, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesikornea superfisial,
beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:
 Lesi pada kornea
 Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
 Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi pathogen
 Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen
akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea
 Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion, umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan
 Patogen akan menginvasi seluruh kornea.
 Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membaran Descement
yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimanahanya membran
descement yang intak.
 Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membran descement terjadidan
akuos humor akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan
indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala
penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.
 Tanda dan Gejala Umum
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di
seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis.
Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut
(sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah:
 Keluar air mata yang berlebihan
 Nyeri
 Penurunan tajam penglihatan
 Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
 Mata merah
 Sensitif terhadap cahaya.
Kornea adalah jaringan avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan
tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,
segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh
darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN),
yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu,
keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi
kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang
meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf
kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada
pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada
keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda
diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit
kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulent. Karena
kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea
umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat.

 Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang
umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat
infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan
keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya
pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai
kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh
virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat
penyakitpenyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi
imunosupresi khusus.
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih
mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulasan fluorescein dapat memperjelas lesi
epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian
biomikroskop (slit lamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak
tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan
perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang
menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini. Mayoritas kasus keratitis bakteri
pada komunitas diselesaikan dengan terapi empiris dan dikelola tanpa hapusan atau
kultur. Hapusan dan kultur sering membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang
tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan
pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh
mikroba endophthalmitis.
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya
cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai
panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk
mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam
perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur
dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah
yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan
sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran slit lamp. Biopsi kornea dapat
diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap pengobatan atau jika kultur telah
negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat mendukung suatu proses
infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di pertengahan atau dalam
stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan slit lamp
atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil
sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan
sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi.
Spesimen biopsi harus disampaikan ke laboratorium secara tepat waktu.

 KERATITIS BAKTERIAL
 Ciri-ciri khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat.
Destruksi corneal lengkap bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen
bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea dan
inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari penyakit ini.
Patogen Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah
Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,
Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur
(terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri
oportunistik, seperti Streptococcus alfa-hemolitikus, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan
ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan superfisial.

 Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak
dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi
proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba
atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri
memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur nonfimbriasi yang
membantu penempelan ke sel kornea.
Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi
dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal
dan menyebabkan nekrosis lamella stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi sitokin) di bilik posterior, menyalurkan
sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri
yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama
infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.
 Temuan Klinis
a) Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi
pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus
berbatas tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari
tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif
dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek
merambat ini menimbulkan istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial
kornea adalah yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam.
Kornea sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari
tepian depan ulkus kornea pneumokokus mengandung diplokokus berbentuk-
lancet gram-positif.

Ulkus Pneumokokus
b) Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di
tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya.
Lesi ini cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim
protcolitik yang dihasilkan organisme ini.
Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea.
Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan
berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan.
Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik untuk infeksi
P. aeruginosa.
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus
kornea Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan
lensa kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang
disebabkan organisme ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang
menghancurkan. Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa
kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan
florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi.
c) Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan
tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan
perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh S. pneumoniae.

 Terapi
 Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus.
Salep pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga
berguna sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu
pada keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus
di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal
dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau
dengan defek yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan
dosis loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh
aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya.
Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang
frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi
pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada kasus yang lebih
parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik anterior mata.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya
ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti
terapi kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob)
dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan
fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terhadap golongan fluoroquinolones
tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi
keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik
terhadap bakteri gram-positif dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada
uji invitro. Namun, fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA
untuk pengobatan keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan
mata yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari
satu agen mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-
tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat
diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi telah
meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman
perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus
keratitis gonokokal.
 Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati
beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan
peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula
termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan
sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko,
banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam
pengobatan keratitis bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi
kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati dengan kortikosteroid topikal
pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah diberhentikan dahulu
sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis
minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan.
Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi
dosis secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara
bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan
intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2
hari setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai.
 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya
penglihatan.
 Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan
dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
 Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
 Luas dan lokasi ulkus kornea
 Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen
 KERATITIS VIRUS
 Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering
ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan
adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus
herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes
simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata,
rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus
bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya
pada pasien-pasien atopik.
Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada
mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea
tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi
pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun.
Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke
atas.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau
ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion N. trigeminus,
dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus
herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara
lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar
matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa
kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua
jenis ini tidak dapat dibedakan.

 Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat
yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun
ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes
rekurens.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai
terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak,
keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks
ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Lesi Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan
proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan
menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran
bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea,
memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis
pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya
keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus
dimasukkan dalam diagnosis diferensial.
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit
dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah
keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun
semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam satu
dua hari.

Lesi dendritic Lesi geografik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan
umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk
lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah
lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan
uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis
disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai
bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan
vaskularisasi minimal.

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai
adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan
perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal.
Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi
bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar
adanya tanda – tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan
dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan
adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi
bakteri atau fungi sekunder.

Keratitis Diskiformis Lesi dengan Wessely Ring


 Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal.
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma.
Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga
akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena
manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada
yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya.
Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang
vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi
okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada
hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan
dapat merusak.
 Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.
 Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik
virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan
dapat menimbulkan keratitis kimiawi.
Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa
setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny
adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat
pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis
epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada
kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.
 Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah
idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir
jauh lebih efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan
trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada
mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada
orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif
(eczema herpeticum).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas
pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut
minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan
berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah
perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang
perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan,
penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan
replikasi virus.
 Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah,
infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid
topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga
sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar
memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil
kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi
atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat
padakeratitis herpes simplek.
 Pengendalian
Mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV Infeksi HSV
rekurens pada mata banyak dijumpai kirakira sepertiga kasus dalam 2 tahun
serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Begitu
ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah
demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat
dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.
 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.
Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala
sisa.
 Keratitis Virus Varisela Zoster
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada
zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak.
Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi
keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis
disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi.
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif
banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai
dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat
diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang
Nervus Nasosiliaris.

Keratitis Herpes Zoster pada cabang N. Nasosiliaris


Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh
dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip
dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit
infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit
stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadangkadang timbul keratitis
disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV.
Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering
berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang
timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh.
Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata.
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati
herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis
oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam
setelah timbulnya kemerahan.
Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin
diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin
diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun
demikian keadaan ini sembuh sendiri.
 KERATITIS FUNGI
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus
keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis
jamur.
 Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan :
1. Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang
hifa.
a. Jamur bersepta: Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b. Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida
albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
 Faktor Resiko
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular. Trauma umumnya
terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Faktor risiko lain untuk
keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi dan
meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan sistemik maupun topikal.
Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif
insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicella zoster atau
herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion.
Faktor predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah
jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan
graft, dan defek epitel persisten. Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi
terjadinya keratitis jamur, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi.

 Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-
agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon
antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak
meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan
berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap
ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen
jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen
dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup
parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
 Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
 Lesi satelit.
 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler
 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh.
 Plak endotel.
 Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
 Formasi cincin sekeliling ulkus.
 Lesi kornea yang indolen.

Keratitis Aspergilus Keratitis Candida


 Diagnosa Laboratorik
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan
diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop.
Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka
keberhasilan masing-masing ± 2030%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi
melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar.
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast
microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang
dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau
agar ekstrak maltosa.
 Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan
obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang
dihadapi bisa dibagi:
a. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Topikal Amphotericin B 1,0¬2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10
mg/ml, golongan Imidazole.
b. Jamur berfilamen.
Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (obat terpilih),
econazole 1% (obat terpilih).
c. Ragi (yeast).
Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole 1%, fluoconazol
2%
d. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan
juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis
anterior.

Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan
antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler
pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral
dan juga daerah sekitar tepi ulkus.

Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek
epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan
kadangkadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis
diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
 KERATITIS ACANTHAMOEBA
Acanthamoeba adalah protozoa yang hidup pada air yang terkontaminasi bakteri
dan materi organic. Infeksi kornea pada Acanthamoeba biasanya berhubungan dengan
pengunaan lensa kontak, termasuk lensa silicon hydrogel atau pemakaian berkepanjangan
lensa kontak keras untuk koreksi kelainan refraksi.
Pada orang yang tidak memakai lensa kontak, infeksi ini dapat terjadi akibat
kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi. Gejala awalnya adalah sakit yang
berlebih daripada penemuan klinis, mata merah, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas
adalah ulkus kornea yang indolen, cincin stroma, infiltrate perineural, tapi perubahan
hanya terbatas pada epitel.
Diagnosis dipastikan dengan kultur pada media yang khusus, agar nonnutrien
dengan E. coli di atas agar. Hasil yang lebih baik didapat melalui biopsy kornea dan
kerokan kornea untuk pemeriksaan histopatologik bentuk amoeba.Penanganan tahap awal
adalah debridement epitel. Terapi obat biasanya dimulai dengan propamidine isethionate
topical (solusio 1%) dan polyhexamethylene biguanida (solusio 0,01% - 0,02%) atau tetes
mata neomisin.

ULKUS KORNEA
 Definisi
Ulkus kornea merupakan peradangan kornea yang diikuti kerusakan
lapisan kornea, kerusakan dimulai dari lapisan epitel. Terbentuknya ulkus pada
kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase oleh sel epitel baru
dan sel radang. Ulkus bisa dalam keadaan steril (tidak terinfeksi mikroorganisme)
ataupun terinfeksi. Ulkus terbentuk oleh karena adanya infiltrat yaitu proses respon
imun yang menyebabkan akumulasi sel-sel atau cairan di bagian kornea.

Faktor yang dapat menyebabkan ulkus kornea secara umum antara lain :
 Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata (insufisiensi air
mata, sumbatan saluran lakrimal).
 Faktor eksternal, yaitu : luka pada kornea (erosio kornea), karena trauma,
penggunaan lensa kontak, luka bakar pada daerah muka.
 Kelainan-kelainan kornea yang disebabkan oleh : edema kornea kronik,
exposure-keratitis (pada lagophtalmus, bius umum, koma), keratitis karena
defisiensi vitamin A, keratitis neuroparalitik, keratitis superfisialis virus.
 Kelainan-kelainan sistemik, malnutrisi, alkoholisme, sindrom Stevens
Jhonson, sindrom defisiensi imun.
 Obat-obatan yang menurunkan mekaniseme imun seperti kortikosteroid,
IUD, anestetik lokal dan golongan imunosupresif.

Berdasarkan etiologinya ulkus kornea disebabkan oleh :


 Bakteri : Kuman yang murni dapat menyebabkan ulkus kornea adalah
streptokokus pneumoniae, sedangkan bakteri lain menimulkan ulkus
kornea melalui faktor-faktor pencetus diatas.
 Virus : herpes simplek, zooster, variola
 Jamur : golongan kandida, fusarium, aspergilus, sefalosporium
 Reaksi hipersensifitas : Reaksi terhadap stapilokokus (ulkus marginal),
TBC (keratokonjungtivitis flikten), alergen tak diketahui (ulkus cincin)
 Patofisiologi
Kornea adalah jaringan yang avaskuler, hal ini menyebabkan pertahanan
pada waktu peradangan tak dapat segera datang seperti pada jaringan lain yang
mengandung banyak vaskularisasi. Dengan adanya defek atau trauma pada
kornea, maka badan kornea, wandering cells, dan sel-sel lain yang terdapat pada
stroma kornea segera bekerja sebagai makrofag, kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi di perikornea.
Proses selanjutnya adalah terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel
plasma, leukosit polimorfonuklear, yang mengakibatkan timbulnya infiltrat yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas tak jelas dan
permukaan tidak licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel, infiltrasi,
peradangan dan terjadilah ulkus kornea. Ulkus kornea dapat menyebar ke
permukaan atau masuk ke dalam stroma. Kalau terjadi peradangan yang hebat,
tetapi belum ada perforasi ulkus, maka toksin dari peradangan kornea dapat
sampai ke iris dan badan siliar dengan melalui membrana Descemet, endotel
kornea dan akhirnya ke camera oculi anterior (COA). Dengan demikian iris dan
badan siliar meradang dan timbullah kekeruhan di cairan COA disusul dengan
terbentuknya hipopion (pus didalam COA). Hipopion ini steril, tidak mengandung
kuman.
Karena kornea pada ulkus menipis, tekanan intra okuler dapat menonjol ke
luar dan disebut keratektasi. Bila peradangan terus mendalam, tetapi tidak
mengenai membrana Descemet dapat timbul tonjolan pada membrana tersebut
yang disebut Descemetocele atau mata lalat. Bila peradangan hanya di permukaan
saja, dengan pengobatan yang baik dapat sembuh dengan tidak meninggalakan
sikatrik. Pada peradangan yang dalam penyembuhan berakhir dengan
terbentuknya sikatrik, yang dapat berbentuk nebula yaitu bercak seperti awan
yang hanya dapat dilihat di kamar gelap dengan cahaya buatan, makula yaitu
bercak putih yang tampak jelas di kamar terang, dan leukoma yaitu bercak putih
seperti porselen yang tampak dari jarak jauh.
Bila ulkus lebih dalam lagi bisa mengakibatkan terjadinya perforasi.
Adanya perforasi membahayakan mata oleh karena timbul hubungan langsung
dari bagian dalam mata dengan dunia luar sehingga kuman dapat masuk ke dalam
mata dan menyebabkan timbulnya endoftalmitis, panoftalmitis dan berakhir
dengan ptisis bulbi. Dengan terjadinya perforasi cairan COA dapat mengalir ke
luar dan iris mengikuti gerakan ini ke depan sehingga iris melekat pada luka
kornea yang perforasi dan disebut sinekia anterior atau iris dapat menonjol ke luar
melalui lubang perforasi tersebut dan disebut iris prolaps yang menyumbat fistel.

 Macam-macam Ulkus Kornea


Ulkus kornea dibedakan menjadi dua berdasarkan letaknya yaitu ulkus kornea sentral dan
marginal.
1) Ulkus kornea sentral meliputi:
a. Ulkus kornea oleh bakteri
Bakteri yang ditemukan pada hasil kultur ulkus dari kornea yang tidak ada
faktor pencetusnya (kornea yang sebelumnya betul-betul sehat) adalah :
o Streptokokok pneumonia
o Streptokokok alfa hemolitik
o Pseudomonas aeroginosa
o Klebaiella Pneumonia
o Spesies Moraksella

Sedangkan dari ulkus kornea yang ada faktor pencetusnya adalah bakteri patogen
opportunistik yang biasa ditemukan di kelopak mata, kulit, periokular, sakus
konjungtiva, atau rongga hidung yang pada keadaan sistem barier kornea normal
tidak menimbulkan infeksi. Bakteri pada kelompok ini adalah :

o Stafilokukkus epidermidis
o Streptokokok Beta Hemolitik
o Proteus
 Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokok, Bakteri kelompok ini yang sering
dijumpai pada kultur dari infeksi ulkus kornea antara lain :
o Streptokok pneumonia (pneumokok)
o Streptokok viridans (streptokok alfa hemolitik)
o Streptokok pyogenes (streptokok beta hemolitik)
o Streptokok faecalis (streptokok non-hemolitik)

Walaupun streptokok pneumonia adalah penyebab yang biasa terdapat pada


keratitis bakterial, akhir-akhir ini prevalensinya banyak digantikan oleh stafilokokus dan
pseudomonas. Ulkus oleh streptokokus viridans lebih sering ditemukan mungkin
disebabkan karena pneumokok adalah penghuni flora normal saluran pernafasan, sehingga
terdapat semacam kekebalan. Streptokok pyogenes walaupun seringkali merupakan
bakteri patogen untuk bagian tubuh yang lain, kuman ini jarang menyebabkan infeksi
kornea. Ulkus oleh streptokok faecalis didapatkan pada kornea yang ada faktor
pencetusnya. Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokus : Ulkus berwarna
kuning keabu-abuan, berbetuk cakram dengan tepi ulkus menggaung. Ulkus cepat
menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karen aeksotoksin yang dihasilkan
oleh streptokok pneumonia. Pengobatan : Sefazolin, Basitrasin dalam bentuk tetes, injeksi
subkonjungtiva dan intra vena.
 Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus
Infeksi oleh Stafilokokus paling sering ditemukan. Dari 3 spesies
stafilokokus Aureus, Epidermidis dan Saprofitikus, infeksi oleh Stafilokokus
Aureus adalah yang paling berat, dapat dalam bentuk : infeksi ulkus kornea
sentral, infeksi ulkus marginal, infeksi ulkus alergi (toksik). Infeksi ulkus kornea
oleh Stafilokokus Epidermidis biasanya terjadi bila ada faktor pencetus
sebelumnya seperti keratopati bulosa, infeksi herpes simpleks dan lensa kontak
yang telah lama digunakan.
Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus : pada awalnya
berupa ulkus yang berwarna putih kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas
tepat dibawah defek epithel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi
abses kornea yang disertai oedema stroma dan infiltrasi sel lekosit. Walaupun
terdapat hipopion ulkus sering kali indolen yaitu reaksi radangnya minimal.
Infeksi kornea marginal biasanya bebas kuman dan disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas terhadap Stafilokokus Aureus.

 Ulkus kornea oleh bakteri Pseudomonas


Berbeda dengan ulkus kornea sebelumnya, pada ulkus pseudomonas
bakteri ini ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Bakteri pseudomonas bersifat
aerob obligat dan menghasilkan eksotoksin yang menghambat sintesis protein.
Keadaan ini menerangkan mengapa pada ulkus pseudomonas jaringan kornea
cepat hancur dan mengalami kerusakan. Bakteri pseudomonas dapat hidup dalam
kosmetika, cairan fluoresein, cairan lensa kontak. Gambaran Klinis Ulkus kornea
oleh bakteri pseudomonas : biasanya dimulai dengan ulkus kecil dibagian sentral
kornea dengan infiltrat berwarna keabu-abuan disertai oedema epitel dan stroma.
Ulkus kecil ini dengan cepat melebar dan mendalam serta menimbulkan perforasi
kornea. Ulkus mengeluarkan discharge kental berwarna kuning kehijauan.
Pengobatan : gentamisin, tobramisin, karbesilin yang diberikan secara lokal,
subkonjungtiva serta intra vena.
b. Ulkus kornea oleh virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simpleks cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami
nekrosis di bagian sentral.

c. Ulkus kornea oleh jamur


Ulkus kornea oleh jamur banyak ditemukan, beberapa penyebabnya antara
lain: Penggunaan antibiotika secara berlebihan dalam jangka waktu yang lama atau
pemakaian kortikosteroid jangka panjang.
Fusarium dan sefalosporium menginfeksi kornea setelah suatu trauma
yang disertai lecet epitel, misalnya kena ranting pohon atau binatang yang terbang
mengindikasikan bahwa jamur terinokulasi di kornea oleh benda atau binatang yang
melukai kornea dan bukan dari adanya defek epitel dan jamur yang berada di
lingkungan hidup.
Infeksi oleh jamur lebih sering didapatkan di daerah yang beriklim tropik,
maka faktor ekologi ikut memberikan kontribusi. Fusarium dan sefalosporium
terdapat dimana-mana, ditanah, di udara dan sampah organik. Keduanya dapat
menyebabkan penyakit pada tanaman dan pada manusia dapat diisolasi dari infeksi
kulit, kuku, saluran kencing. Aspergilus juga terdapat dimana-mana dan merupakan
organisme oportunistik, selain keratitis aspergilus dapat menyebabkan endoftalmitis
eksogen dan endogen, selulitis orbita, infeksi saluran lakrimal.
Kandida adalah jamur yang paling oportunistik karena tidak mempunyai
hifa (filamen) menginfeksi mata yang mempunyai faktor pencetus seperti exposure
keratitis, keratitis sika, pasca keratoplasti, keratitis herpes simpleks dengan
pemakaian kortikosteroid. Pengobatannya dengan pemberian obat anti jamur
dengan spektrum luas, apabila memungkinkan dilakukan pemeriksaan laboratorium
dan tes sensitifitas untuk dapat memilih obat anti jamur yang spesifik.
2. Ulkus marginal
Ulkus marginal adalah peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat
atau dapat juga rektangular (segiempat) dapat satu atau banyak dan terdapat daerah
kornea yang sehat dengan limbus. Ulkus marginal dapat ditemukan pada orang tua dan
sering dihubungkan dengan penyakit rematik atau debilitas. Dapat juga terjadi ebrsama-
sama dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh Moraxella, basil Koch Weeks dan
Proteus Vulgaris.
Pada beberapa keadaan dapat dihubungkan dengan alergi terhadap makanan.
Secara subyektif ; penglihatan pasien dengan ulkus marginal dapat menurun disertai rasa
sakit, lakrimasi dan fotofobia. Secara obyektif : terdapat blefarospasme, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang sejajar dengan limbus. Pengobatan : Pemberian
kortikosteroid topikal akan sembuh dalam 3 hingga 4 hari, tetapi dapat rekurens.
Antibiotika diberikan untuk infeksi stafilokok atau kuman lainnya. Disensitisasi dengan
toksoid stafilokkus dapat memberikan penyembuhan yang efektif. Pembagian ulkus
marginal dibedakan menjadi :
o Ulkus cincin : merupakan ulkus kornea perifer yang dapat mengenai
seluruh lingkaran kornea, bersifat destruktif dan biasaya mengenai satu
mata. Penyebabnya adalah reaksi alergi dan ditemukan bersama-sama
penyakit disentri basile, influenza berat dan penyakit imunologik. Penyakit
ini bersifat rekuren. Pengobatan bila tidak erjad infeksi adalah steroid saja.
o Ulkus kataral simplek : letak ulkus peifer yang tidak dalam ini berwarna
abu-abu dengan sumbu terpanjang tukak sejajar dengan limbus. Diantara
infiltrat tukak yang akut dengan limbus ditepinya terlihat bagian yang
bening. Terjadi ada pasien lanjut usia. Pengobatan dengan memberikan
antibiotik, steroid dan vitamin.
o Ulkus Mooren : merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian
perifer kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adaya
kecenderungan untuk perforasi. Gambaran khasnya yaitu terdapat tepi
tukak bergaung dengan bagan sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu
yang agak lama. Tukak ini berhenti jika seluruh permukaan kornea
terkenai. Penyebabnya adalah hipersensitif terhadap tuberkuloprotein,
virus atau autoimun. Keluhannya biasanya rasa sakit berat pada mata.
Pengobatan degan steroid, radioterapi. Flep konjungtiva, rejeksi
konjungtiva, keratektomi dan keratoplasti.

 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Ulkus kornea menyebabkan nyeri, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan
peningkatan pembentukan air mata, yang kesemuanya bisa bersifat ringan. Pada kornea
akan tampak bintik nanah yang berwarna kuning keputihan. Kadang ulkus terbentuk di
seluruh permukaan kornea dan menembus ke dalam. Pus juga bisa terbentuk di belakang
kornea. Semakin dalam ulkus yang terbentuk, maka gejala dan komplikasinya semakin
berat.
Gejala lainnya adalah: gangguan penglihatan, mata merah, mata terasa gatal,
kotoran mata. Dengan pengobatan, ulkus kornea dapat sembuh tetapi mungkin akan
meninggalkan serat-serat keruh yang menyebabkan pembentukan jaringan parut dan
menganggu fungsi penglihatan. Penegakan diagnosis dari ulkus kornea juga ditemukan
tes fluoresin positif disekitar ulkus. Diagnosis banding ulkus kornea antara lain keratitis,
endoftalmitis dan sikatrik kornea.

 Komplikasi
Komplikasi dari ulkus kornea, antara lain:
 infeksi di bagian kornea yang lebih dalam (Endophtalmitis, Panophtalmitis)
 perforasi kornea (pembentukan lubang), Descemetocele.

 Penatalaksanaan
Ulkus kornea sembuh dengan dua cara : migrasi sel-sel epitel sekeliling ulkus
disertai dengan mitosis dan masuknya vaskularisasi dari konjungtiva. Ulkus superfisial
yang kecil akan sembuh dengan cara yang pertama, ulkus yang lebih besar dan dalam
biasanya akan mengakibatkan munculnya pembuluh darah untuk mensuplai sel-sel
radang. Leukosit dan fibroblas menghasilkan jaringan granulasi dan sikatrik sebagai hasil
penyembuhan.
Pengobatan umumnya untuk ulkus kornea adalah dengan sikloplegik, antibiotika
yang sesuai dengan topikal dan subkonjungtiva, dan pasien dirawat bila mengancam
perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat, dan
perlunya obat sistemik. Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan menghalangi hidupnya
bakteri dengan antibiotika, dan mengurangi reaksi radang dengan steroid. Secara umum
ulkus diobati sebagai berikut: Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga
akan berfungsi sebagai inkubator. Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari.
Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder. Debridemen sangat membantu
penyembuhan.
Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal kecuali bila
keadaan berat. Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat
terang, kecuali bila penyebabnya pseudomonas yang memerlukan pengobatan ditambah
1-2 minggu. Pada ulkus kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila dengan
pengobatan tidak sembuh dan terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan.

 Prognosis
Prognosis penderita ulkus kornea buruk karena komplikasi yang dapat terjadi
berupa perforasi kornea, endopthalmitis, panopthalmitis. Apabila sembuh maka akan
menyebabkan terbentuknya sikatriks kornea yang juga akan mengganggu penglihatan
penderita.

Anda mungkin juga menyukai