Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pit & Fissure Sealant merupakan salah satu bahan kedokteran gigi yang
digunakan untuk pencegahan karies dini, yang tersedia dalam bentuk material
baik resin maupun GIC dan ditempatkan pada pit dan fissure gigi.
Sejak tahun 1970, kasus kerusakan gigi karena karies di Amerika Serikat
telah menurun karena adanya kegiatan fluoridasi pada masyarakat. Akan tetapi
karena gigi posterior (molar dan premolar) memiliki permukaan oklusal luas
dengan pit dan fissure yang dalam, maka bagian tersebut menjadi sulit untuk
dibersihkan, meskipun dengan penyikatan gigi. Untuk mengatasi hal ini, maka
dibutuhkan suatu bahan untuk menutup permukaan pit dan fissure gigi untuk
mencegah penetrasi debri atau sisa makanan ke dalamnya. Pada tahun 1960 dan
pada awal 1970, penelitan tentang bahan ini dimulai dan generasi pertama dari
sealant telah dilahirkan dan disetujui oleh FDA (Federasi Dental Amerika).1
Konsep dari pit & fissure sealant dikemukakan pertama kali oleh Michael
Buonocore,dkk pada Eastman Dental Center di Rochester, New York.2
Tujuan utama dari penggunaan pit dan fissure sealant adalah memberi
perlindungan bagi pit dan fissure gigi terhadap bakteri. Bersamaan dengan
penggunaan fluoride sistemik dan topikal, penggunaan Pit dan Fissure Sealant
telah terbukti memberikan efek dan dukungan yang cukup baik pada pencegahan
karies. Fluoride telah dibuktikan cukup efektif dalam pencegahan karies pada
permukaan lunak dari gigi, tetapi kurang efektif untuk permukaan oklusal yang
dalam. Dengan penggunaan sealant, permukaan oklusal ini akan terlindung dari
perkembangan bakteri dengan cara membentuk suatu permukaan oklusal yang
halus sehingga permukaan akan tetap bersih dan mencegah adanya retensi
makanan dan debri pada pit dan fissure gigi.

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia


1 Universitas Indonesia
2

Bahan Pit dan Fissure Sealant dapat dikategorikan sesuai dengan metode
polimerisasinya. Terdapat 2 metode polimerisasi dari resin: polimerisasi kimia
dan polimerisasi dengan cahaya. Material sealant yang menggunakan cahaya
untuk berpolimerisasi memiliki beberapa keuntungan, salah satunya karena
memiliki working time yang lebih lama.
Material sealant yang baik harus memiliki beberapa syarat yaitu, mampu
bertahan dalam waktu yang cukup lama, memiliki nilai kelarutan yang rendah
pada lingkungan mulut, dan bersifat biokompatibel terhadap jaringan mulut.3
Beberapa material telah dianjurkan sejak 1967, mulai dari GIC, RMGIC, dan
resin.4 Akan tetapi, terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hampir
seluruh GIC sealant gagal dalam tingkat retensinya jika dibandingkan sealant
berbahan resin yang memiliki tingkat retensi sebesar 61%, sehingga material yang
sering dipakai di negara maju seperti Inggris adalah resin.5
Beberapa tipe dari material resin yang telah hadir pada saat ini adalah resin
memiliki filler, yang tidak memiliki filler, serta resin yang memiliki filler dan
melepaskan fluoride. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan
resin tersebut, tetapi tidak ada satu pun material yang bersifat lebih baik dari pada
yang lain.6
Keunggulan lain dari Pit dan fissure sealant adalah kemampuannya
melepaskan fluoride untuk meningkatkan ketahanan gigi terhadap karies. Fluoride
diketahui dapat membantu remineralisasi gigi terhadap karies, tetapi hal ini belum
dibuktikan secara klinis. Tidak ada perbedaan retensi yang ditemukan antara
sealant berfluoride dan sealant yang tidak berfluoride setelah satu tahun.7
Beberapa resin kedokteran gigi yang memerlukan polimerisasi monomer
secara in situ melalui proses fotoaktivasi harus diwaspadai, karena seringkali
proses polimerisasi dengan metode ini tidak sepenuhnya selesai sehingga
beberapa monomer dapat tidak terpolimerisasi secara lengkap dan keluar dari
resin yang sudah mengeras ke media di sekitarnya. Sasaki, dkk meneliti
peningkatan konsentrasi dari BPA pada saliva setelah restorasi oleh komposit
resin yang tersedia.8
Penelitian lain mengenai dampak toksik dari monomer yang terlepas juga
telah banyak dilakukan. Amir Azarpazhooh dan Patricia A. Main, melaporkan

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Universitas Indonesia


3

bahwa adanya monomer yang terlepas dari pit dan fissure sealant secara in vivo
memiliki potensi untuk mengikat reseptor estrogen dari sel dan mengganggu
kesehatan.9 W. Geurtsen (1998) menyatakan bahwa monomer resin yang tersisa
seperti BisGMA dapat berpotensi sitotoksik terhadap permanent 3T3 dan kultur
fibroblast primer manusia.10 Dong Xie,dkk (2007) meneliti bahwa monomer sisa
yang terlepas dari resin dapat berefek toksik jika berkontak terhadap jaringan
pulpa dan osteoblast.
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut dan masih sangat jarang terdapat
penelitian yang menggunakan Pit dan Fissure Sealant dalam keadaan utuh untuk
mengevaluasi efek toksik terhadap sel karena adanya monomer yang terlepas,
maka peneliti tertarik untuk mengetahui adanya hubungan antara lamanya
perendaman dalam air dengan peningkatan konsentrasi monomer yang terlepas
dari resin pit dan fissure sealant dan pengaruhnya terhadap sel hidup dilihat dari
efek sitotoksiknya. Efek toksik ditentukan berdasarkan viabilitas sel yang diukur
dengan MTT Assay.

1.2 Rumusan Masalah


• Apakah lamanya perendaman resin pit dan fissure sealant berpengaruh
terhadap viabilitas sel?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu
perendaman resin pit & fissure sealant dalam medium kultur selama 1 hari, 2 hari,
dan 7 hari terhadap viabilitas sel.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi mengenai tingkat
toksisitas dari resin Pit & Fissure Sealant yang dilihat dari viabilitas sel.

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai