Anda di halaman 1dari 26

Evlin Kohar

0401118141064

1. Apa saja penyakit yang bisa menyebabkan pucat?


Anemia (kekurangan darah), baik karena perdarahan, defisiensi besi, defisiensi vitamin
B12, defisiensi asam folat, penyakit kronis, dan lainnya.
2. Kemungkinan vitamin apa yang diberikan? Dan mengapa diberikan?
Vitamin yang dimaksud kemungkinan Vitamin C, hal ini berhubungan dengan
keluhan pucat sebagai gejala awal anemia, khususnya pada ADB. Pada ADB, dicirkan
dengan Ferritin kosong dan Hemoglobin rendah, dengan demikian pemberian vitamin C
bersifat asam yang membantu mempercepat absorbsi Fe sehingga kebutuhan Fe dalam
tubuh dapat terpenuhi. Pemberian asam folat juga dapat diberikan untuk meningkatkan
aktivitas eritropoiesis.
3. Apa indikasi dirujuk pada kasus?
-
4. Apa kandungan ikan, daging dan susu yang dibutuhkan untuk darah?
Dalam 100 gram daging sapi segar mengandung 201 kkal energi, 14 gram lemak, dan 2,8
mg zat besi. Sedangkan, Ikan sarden mengandung 2,5 mg zat besi per 100 gram.
Kebutuhan nutrisi:

5. Apa interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium pada kasus?


Pemeriksaan Normal Interpretasi dan Mekanisme
Hb: 4,6 g/dl 11,5-15,5 g/dl Menurun, karena ada gangguan
pembentukan hemoglobin akibat
defisiensi besi. Untuk membentuk heme,
dibutuhkan besi untuk bergabung dengan
protoporfirin IX
Ht: 20 vol% 35-45% Menurun, karena adanya anemia yang
mengakibatkan kurangnya jumlah sel
darah merah
RBC: 4.500.000- Menurun, karena defisiensi besi sehingga
3.370.000/mm3 5.100.000/mm3 eritropoiesis terganggu
WBC: 7.500/mm3 4.500-13.500/mm3 Normal, tidak ada tanda infeksi
Trombosit: 150.000-450.000/mm3 Menurun, karena gangguan pada
371.000/mm3 pembentukan hemoglobin.
DC: 0/1/4/64/12/9 0-1/0-3/5-11/34-64/25- Limfosit dan monosit sedikit tinggi
45/3-6
LED: 25 mm/jam, 0-20mm/jam Meningkat
MCV 57,9 fl 77-95 fl Mikrositik, karena adanya kehilangan
darah kronis mengakibatkan adanya
kompensasi untuk membentuk sel darah
merah untuk menutupi yang hilang,
hasilnya sel darah merah tersebut
ukurannya lebih kecil daripada
normalnya.
MCH 14 pg 25-35 pg Hipokrom, karena defisiensi besi
membuat kadar transferrin menurun
sehingga adanya kegagalan pengangkutan
besi ke eritroblas yang mengganggu
sintesis hemoglobin, sehingga produk sel
darah merahnya memiliki hemoglobin
yang lebih sedikit dari normalnya
MCHC 24g/dL 31-37g/dL Menurun

Fe Serum 14 Menurun

TIBC 364 Meningkat

Ferritin 11,65 Menurun


Gambaran darah tepi: Anisocytosis (-), Abnormal, karena anemia defisiensi besi
anemia hipokrom normokrom normositer, sehingga menyebabkan beberapa sel
mikrositer poikilocytosis (-) darah memiliki ukuran serta kandungan
hemoglobin yang bervariasi. Dan juga
kemungkinan karena anemia tersebut
sehingga sel darah merah menjadi lebih
rapuh yang menyebabkan variasi bentuk
pada apusan darah
Feses rutin, urin rutin Darah samar (-) Normal
normal

6. Aspek Klinis
a. DD

b. Penegakkan diagnosis
LI
c. Faktor resiko
- Perempuan
- Kurangnya asupan nutrisi
d. Tatalaksana dan edukasi
LI
e. Komplikasi
1) Gangguan jantung yang pada awalnya hanya berdebar, lama-lama jantung bisa
membesar. Jantung yang membesar lama-lama terganggu fungsinya, sehingga
terjadilah gagal jantung.
2) Gangguam kehamilan, kemungkinan tinggi terjadi lahir prematur & berat lahir
rendah.
3) Gangguan pertumbuhan & mudah kena infeksi, bila terjadi pada anak.
4) Cepat lelah, pucat, lemas, nafas cepat, sakit kepala, pusing atau pening.
5) Telapak kaki tangan dingin, sering sariawan, detak jantung cepat dan dada
berdebar.
f. Prognosis
Anemia defisiensi zat besi adalah gangguan yang mudah diobati dengan hasil yang
sangat baik, namun bisa buruk jika disebabkan oleh suatu keadaan yang
mendasarinya memiliki prognosis buruk, seperti neoplasia atau anemia defisiensi
besi yang berat disertai dengan komplikasi.

Learning Issues

A. Anemia Hipokrom Mikrositer Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk
sintesis hemoglobin, dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan
menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara
sedang berkembang termasuk Indonesia. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 2007 diperoleh prevalens ADB pada anak balita di Indonesia adalah 40-45%.
Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan
hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh
kembang yang terlambat, dan gangguan fungsi imun pada anak. Prevalens tertinggi
ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak sekolah, dan masa remaja karena
adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah,
penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang sehingga dapat menyebabkan
exudative enteropathy dan kehilangan darah akibat menstruasi. Data SKRT tahun 2001
menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita
berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%, serta 40,1% pada wanita hamil.
1. Etiologi
Bayi kurang dari 1 tahun
a. Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir
kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi,
pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.
b. Alergi protein susu sapi
Anak umur 1-2 tahun
a. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu
murni berlebih.
b. Obesitas
c. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis.
d. Malabsorbsi.
Anak umur 2-5 tahun
a. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis heme atau
minum susu berlebihan.
b. Obesitas
c. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis baik bakteri, virus ataupun
parasit).
d. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel / poliposis dsb).
Anak umur 5 tahun-remaja
a. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) dan
b. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.
2. Patogenesis
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. 3 tahap defisiensi besi, yaitu:
a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron depletion, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi, peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedagkan pemeriksaan lain untuk
mengetahui adanya kekuranganbesi masih normal.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari basil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum
menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity
(TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila
besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi dihaparkan mikrositosis dan
hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama
pada ADB yang lebih lanjut.
3. Manifestasi Klinis
Pada mayoritas anak dengan DB adalah asimtomatik dan teridentifikasi oleh
skrining laboratorium. Pucat merupakan tanda klinis terpenting pada DB namun
seringkali tidak terlihat sampai hemoglobin jatuh pada level 7-8 g/dL. Seringkali
terlihat pucat pada telapak tangan, lipatan telapak tangan, kuku atau konjungtiva. Pada
DB ringan sampai sedang (kadar hemoglobin 6-10 g/dL), mekanisme kompensasi
termasuk peningkatan level dari 2,3-difosfogliserat dan penggeseran kurva disosiasi
oksigen dapat sangat efektif sehingga gejala anemia selain iritabilita sedang sulit
terlihat. Saat hemoglobin jatuh <5 g/dL, iritabilita, anoreksia, letargi muncul, dan aliran
murmur sistolik sering terdengar, seiring turunnya hemoglobin, takikardi dan gagal
jantung tinggi output dapat terjadi.
DB mempunyai efek sistmeik non-hematologik. DB dan ADB mempunyai efek
penurunan fungsi neurokognitif pada balita. Terdapat hubungan ADB dan kecacatan
kognitif yang ireversibel. Terdapat beberapa studi yang menemukan peningkatan resiko
kejang, stroke, eksaserbasi restless leg syndrome kelak saat dewasa. Manifestasi lain
berupa pica, keinginan untuk memakan substansi non-nutritif, pagofagia, keinginan
untuk memakan es.
4. Diagnosis
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta rnemberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-
85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral
lebih aman, murah dan sama efektiinya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian
secara parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau
kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan
pencernaan.
Anamnesis
a. Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
b. Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh
terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar
c. Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah,
rambut
d. Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan
yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras,
gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai
usia 2 tahun (milkaholics)
e. Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh keluarga.
a. Bila kadar Hb <5/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
b. Pucat ditemukan bila kadar Hb <7g/dL
c. Tanpa organomegali
d. Dapat ditemukan koilonikia, glossitis, stomatitis angularis, takikardia, gagal
jantung, protein losing enteropathy
e. Rentan terhadap infeksi
f. Gangguan pertumbuhan
g. Penurunan aktivitas kerja
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah lengkap yang terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC
rendah. Red cell distribution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
b. Nilai RDW tinggi >14.5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%) pada
talasemia trait
c. Ratio MCV/RBC (Mentzer index) > 13 dan bila RDW index
(MCV/RBCxRDW) 220, merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan
jika kurang dari 220 merupakan tanda talasemia trait
d. Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, dan poikilositosis
e. Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin <12ng/mL
dipertimbangkan sebagai diagnostic defisiensi besi
f. Nilai retikulosit normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah
yang tidak adekuat
g. Serum transferrin receptor (STfR): sensitif untuk menentukan defisiensi besi,
mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia
penyakit kronik
h. Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) meningkat
i. Terapi besi (therapeutic trial): respons pemberian preparat besi dengan dosis 3
mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5–10 hari
diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 3% setelah 1 bulan
menyokong diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah terapi,
hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali untuk menilai keberhasilan terapi.
Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada.
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50g/dL (N: 80-180g/dL)
4. Saturasi transferrin <15% (N: 20 – 50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4. Tes yang paling
efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana
terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan,
a. Anemia tanpa perdarahan
b. Tanpa organomegali
c. Gambaran darah tepi mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target
d. Respon terhadapt pemberian terapi besi
5. Tatalaksana
Penanganan anak dengan anemia defisiensi besi yaitu :
a. Mengatasi faktor penyebab.
b. Pemberian preparat besi
Oral
1. Dapat diberikan secara oral berupa besi elemental dengan dosis 3 mg/kgBB
sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah makan dibagi dalam 2 dosis. Diberikan
sampai 2-3 bulan sejak Hb kembali normal.
Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous
suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi dengan menilai
kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2 g/dL
atau lebih. Bila respons ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.
Komposisi besi elemental:
a. Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental
b. Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental
c. Ferous sulfat: 20% merupakan besi elemental

Obat diberikan 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan malam; penyerapan
akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut kosong. Penyerapan akan lebih
sempurna lagi bila diberikan bersama asam askorbat atau asam suksinat. Bila
diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan akan berkurang
hingga 40-50%. Namun mengingat efek samping pengobatan besi secara oral
berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk
mengurangi efek samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan.
2. Pemberian vitamin C 2x50 mg/hari untuk meningkatkan absorbsi besi.
3. Pemberian asam folat 2x5-10 mg/hari untuk meningkatkan aktifitas eritropoiesis
4. Hindari makanan yang menghambat absorpsi besi (teh, susu murni, kuning telur,
serat) dan obat seperti antasida dan kloramfenikol.
5. Banyak minum untuk mencegah terjadinya konstipasi (efek samping pemberian
preparat besi)
Parenteral
 Iron dextran
 Iron sucrose
 Ferric gluconate
Dosis besar besi dapat diberikan pada satu waktu ketika menggunakan dekstran
besi. Iron sukrosa dan glukonat besi memerlukan dosis yang lebih sering pada beberapa
minggu. Beberapa pasien mungkin memiliki reaksi alergi terhadap zat besi IV, sehingga
dosis tes dapat diberikan sebelum infus pertama. Reaksi alergi yang lebih umum dengan
dekstran besi. Efek samping yang parah selain reaksi alergi yang langka dan termasuk
urtikaria (gatal-gatal), pruritus (gatal), dan otot dan nyeri sendi. (American Society of
Hematology).
Indikasi:
1. Adanya malabsorbsi
2. Membutuhkan kenaikan kadar besi yang cepat (pada pasien yang menjalani
dialisis yang memerlukan eritropoetin)
3. Intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral
4. Chronic blood loss
Transfusi
Transfusi diberikan apabila Hb  4 g/dL. Transfusi darah hanya diberikan sebagai
pengobatan tambahan bagi pasien ADB dengan Hb 6 g/dl atau kurang karena pada
kadar Hb tersebut risiko untuk terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi
gangguan fisiologis. Transfusi darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai
infeksi berat, dehidrasi berat atau akan menjalani operasi besar/ narkose. Pada keadaan
ADB yang disertai dengan gangguan/kelainan organ yang berfungsi dalam mekanisme
kompensasi terhadap anemia yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau penyakit
jantung hipertensif) dan atau paru (gangguan ventilasi dan difusi gas antara alveoli dan
kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi darah. Komponen darah berupa suspensi
eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap dengan tetesan lambat.

Cara mencegah anemia defisiensi besi


Pendidikan
Meningkatkan pengetahuan masyarakat :
1. Tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang tinggi dan absorpsi
yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging.
2. Kandungan besi dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi tetapi
penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Oleh karena itu pemberian ASI
ekslusif perlu digalakkan dengan pemberian suplementasi besi dan makanan tambahan
sesuai usia.
3. Penyuluhan mengenai kebersihan lingkungan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya infeksi bakteri / infestasi parasit sebagai salah satu penyebab defisiensi besi.
B. Eritropoesis
1. Definisi Eritropoesis
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini
berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada
sumsum tulang.
2. Struktur Eritrosit
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel-sel darah. Setiap milliliter darah
mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit (sel darah merah),yang secara klinis
sering dilaporkan dalam hitung sel darah merah sebagai 5 juta per millimeter kubik
(mm3). Eritrosit berbentuk lempeng bikonkaf,yang merupakan sel gepeng berbentuk
piringan yang dibagian tengah dikedua sisinya mencekung,seperti sebuah donat dengan
bagian tengah mengepeng bukan berlubang. dengan diameter 8 µm, tepi luar tebalnya 2
µm dan bagian tengah 1 µm. Komponen eritrosit terdiri atas:
a. Membran eritrosit
b. Sistem enzim, yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway: pyruvate
kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose 6-phosphate
dehydrogenase)
c. Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen.
3. Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum
tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepI. Asal sel
yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat
meghasilkan Unit pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit
(CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan
rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah
merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin.
Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah
dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik.
Bahan basofilik ini akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.
Proses destruksi eritrosit terjadi secara normal setelah masa hidup eritrosit habis
(sekitar 120 hari). Proses ini terjadi melalui mekanisme yang terdiri dari:
a. Fragmentasi
Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa bagian membrane
eritrosit sehingga menyebabkan isi sel keluar termasuk hemoglobin.
b. Lisis Osmotik
Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya kecenderungan
mendorong air dan Na dari daerah konsentrasi tinggi di interstisium ke daerah
dengan konsentrasi air rendah di plasma (atau konsentrasi protein plasma lebih
tinggi). Sehingga protein plasma dapat dianggap “menarik air” ke dalam plasma.
Hal ini dapat mengakibat lisis eritrosit yang disebabkan efek osmotik.
c. Eritrofagositosis
Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang dilakukan oleh monosit,
neutrofil, makrofag. Fagositosis eritrosit ini terutama terjadi pada eritrosit yang
dilapisi antibody. Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator adanya
AutoImun Hemolitic Anemia (AIHA).
d. Sitolisis
Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8, C9). Sitolisis ini
meruapakan indikator Peroxysimal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH).
e. Denaturasi Hemoglobin
Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk Heinz bodies. Eritrosit
dengan Heinz bodies akan cepat didestruksi oleh limpa. Heinz bodies melekat pada
membran permeabilitas membesar sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga.

4. Sel Seri Eritropoesis


a. Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda
dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin
yang halus. Dengan pulasan Romanowsky inti berwarna biru kemerah-merahan
sitoplasmanya berwarna biru. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron.
Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang
dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti.
b. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada
pewarnaan kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak
tampak, sitoplasma sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari
sitoplasma akan tampak menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukuran lebih kecil
dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.
c. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti
sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di
beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat
lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih
banyak, mengandung warna biru karena kandungan asam ribonukleat (ribonucleic
acid-RNA) dan merah karena kandungan hemoglobin, tetapi warna merah
biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa
normal adalah 10-20 %.
d. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti
sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun
masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan normal
adalah 5-10 %.
e. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan
inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA.
Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam
darah tepi. Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa
RNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada
stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom. Retikulum yang
terdapat di dalam sel ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi
sebenarnya retikulum ini juga dapat terlihat segai bintik-bintik abnormal dalam
eritrosit pada sediaan apus biasa. Polikromatofilia yang merupakan kelainan
warna eritrosit yang kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil pada eritrosit
sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosom ini. Setelah dilepaskan dari sumsum
tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian
sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 %
retikulosit.
f. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran
diameter 7-8 um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada
bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-
merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat
berubah bentuk selama beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120
hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa. Banyak dinamika
yang terjadi pada eritrosit selama beredar dalam darah, baik mengalami trauma,
gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di makan oleh Parasit.

Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan


terjadi di luar sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga
sebagai eritropoesis ekstra meduler.
5. Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis
Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya
keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat
penting, karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi
kenaikan jumlah eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah.
Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru
diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang
yang sehat. Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang
memadai dari besi, asam amino dan vitamin B tertentu.
a. Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone
eritropoetin ( EPO ) dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama
dalam produksi EPO. Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia ( kekurangan O2 ),
ginjal akan mempercepat pelepasan eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu
pembentukan EPO :
1) Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2) Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada
defisiensi besi )
3) Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia.

Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam
darah, sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan
penyaluran O2 ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah
normal, sekresi eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia
tidak mengaktifkan langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal
yang nantinya memberikan stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum
tulang.
Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal.
Hormone sex wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya
jumlah RBC pada wanita lebih rendah daripada pria.

C. Metabolisme besi
Besi merupakan unsur vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan
hemoglobin, dan merupakan komponen penting pada sistem enzim pernafasan. Pada
metabolisme besi perlu diketahui komposisi dan distribusi besi dalam tubuh, cadangan besi
tubuh, siklus besi, absorbsi besi dan transportasi besi.
1. Bentuk zat besi dalam tubuh.
Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu:
a. Zat besi dalam hemoglobin.
b. Zat besi dalam depot (cadangan) sebagai feritin dan hemosiderin.
c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
d. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin dan beberapa
enzim antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase.

Kompartemen zat besi dalam tubuh.


Dari tabel ini kelihatan bahwa sebagian besar zat besi terikat dalam hemoglobin
yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme
dalam jaringan - jaringan. Sebagian lain dari zat besi terikat dalam sistem
retikuloendotelial (RES) di hepar dan sumsum tulang sebagai depot besi (cadangan).
Sebagian kecil dari zat besi dijumpai dalam transporting iron bindingprotein
(transferin), sedangkan sebagian kecil sekali didapati dalam enzim - enzim yang
berfungsi sebagai katalisator pada proses metabolisme dalam tubuh. Fungsi - fungsi
tersebut diatas akan terganggu pada penderita anemia defisiensi besi.
Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa hemoglobin, dimana
zat besi digunakan secara terus - menerus. Sebagian besar zat besi yang bebas dalam
tubuh akan dimanfaatkan kembali (reutilization), dan hanya sebagian kecil sekali yang
diekskresikan melalui air kemih, feses dan keringat.
Paling banyak sisa besi di dalam tubuh di simpan dalam bentuk cadangan besi
(bentuk ferritin dan hemosiderin) yang berfungsi sebagai simpanan yang dapat
digunakan bila dibutuhkan. Anak anak mempunyai simpanan besi yang rendah
disebabkan karena besi digunakan untuk pertumbuhan dan volume darah. Francin, dkk
(2005) mengemukakan bentuk-bentuk konyugasi Fe adalah :
1. Hb mengandung ferro. Fungsi hemoglobin sebagai pertukaran CO2 dan O2 dari
paru-paru ke sel-sel jaringan. Hemoglobin terdapat dalam eritrosit.
2. Mioglobin terdapat di dalam sel-sel otot, mengandung fe bentuk ferro. Fungsinya
untuk proses kontraksi otot.
3. Transferin, mengandung Fe bentuk ferro. Berfungsi mentranspor Fe tersebut di
dalam plasma darah dari tempat penimbunan ke jaringan sel yang diperlukan.
4. Feritin adalah simpanan Fe mengandung bentuk ferri. Kalau Fe feritin diberikan
pada transfer untuk di ubah menjadi ferro yang berasal dari penyerapan usus,
kemudian ditimbun.
5. Hemosiderin adalah konjugat protein dengan ferri dan merupakan bentuk
simpanan zat besi. Jumlah simpanan zat besi di dalam tubuh orang dewasa
terdapat sekitar 3,5 gram dimana 70 % terdapat dalam hemoglobin, 25 %
merupakan cadangan besi yang terdiri dari feritin dan hemosiderin terdapat
dalam hati, limpa dan sum sum tulang.
2. Kebutuhan zat besi.
Kebutuhan zat besi dalam makanan setiap harinya sangat berbeda, hal ini
tergantung pada umur, sex, berat badan dan keadaan individu masing - masing.
Kebutuhan zat besi yang terbesar ialah dalam 2 tahun kehidupan pertama. Selanjutnya
selama periode pertumbuhan, kenaikan berat badan pada usia remaja dan sepanjang
masa produksi wanita.
Pada masa pertumbuhan diperlukan tambahan sekitar 0,5 - 1 mg / hari,
sedangkan wanita pada masa mensturasi memerlukan tambahan zat besi antara 0,5 - 1
mg / hari. Pada wanita hamil kebutuhan zat besi sekitar 3 - 5 mg / hari dan tergantung
pada tuanya kehamilan. Pada seorang laki laki normal dewasa kebutuhan besi telah
cukup bila dalam makanannya terdapat 10 - 20 mg zat besi setiap harinya.
Asupan zat besi yang masuk ke dalam tubuh kita kira-kira 10 – 20 mg setiap
harinya, tapi ternyata hanya 1 – 2 mg atau 10% saja yang di absorbsi oleh tubuh. 70%
dari zat besi yang di absorbsi tadi di metabolisme oleh tubuh dengan proses
eritropoesis menjadi hemoglobin, 10 - 20% di simpan dalam bentuk feritin dan sisanya
5 – 15% di gunakan oleh tubuh untuk proses lain. Besi Fe3+ yang disimpan di dalam
ferritin bisa saja di lepaskan kembali bila ternyata tubuh membutuhkannya.
Feritin merupakan salah satu protein kunci yang mengatur hemostasis besi dan
juga merupakan biomarker klinis yang tersedia secara luas untuk mengevaluasi status
besi dan secara khusus penting untuk mendeteksi defisiensi besi. Kadar feritin pada
laki - laki dan wanita berbeda, pada laki - laki dan wanita postmenopause kadar feritin
kurang dari 300ng/ml , pada wanita premonoupase kurang dari 200 ng/ml.

Distribusi normal komponen besi pada pria dan wanita (mg/kg)


Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa
3. Absorbsi besi
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non -
heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan
bioavailabilitasnya tinggi. Besi non - heme berasal dari sumber nabati, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung,
karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan
senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+)
yang dapat diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks.
Dikenal adanya mucosal block (mekanisme yang dapat mengatur penyerapan
besi melalui mukosa usus).
c. Fase Korporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel - sel yang
memerlukan, serta penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi setelah diserap
oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler
usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin.
Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis.

Absorbsi zat besi


Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus:
a. Regulator dietetik, absorbsi besi dipengaruhi oleh jumlah kandungan besi
dalam makanan, jenis besi dalam makanan (besi heme atau non heme),
adanya penghambat atau pemacu absorbsi dalam makanan.
b. Regulator simpanan, penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan
besi dalam tubuh.
c. Regulator eritropoetik, besar absorbsi besi berhubungan dengan kecepatan
eritropoesis. Mekanisme ini belum diketahui dengan pasti.
4. Pengangkutan dan Penyimpanan Besi

Pengangkutan dan Penyimpanan Besi


Besi diangkut dari sel mukosa usus ke dalam darah, kemudian berikatan
dengan protein pengangkut besi spesifik, transferin, suatu beta-globulin plasma.
Kapasitas transferin mengikat besi pada plasma normal adalah 240-360 mg/dL.
Transferin melekat ke reseptor di membran eritrosit yang sedang tumbuh dan
membebaskan besi ke dalam eritrosit untuk digabungkan ke hem di dalam
mitokondria. Sekitar 10-20% besi tubuh total disimpan sebagai ferritin, suatu molekul
bulat yang terdiri dari sebuah selubung apoferritin dan inti bagian dalam
ferioksihidroksida (membentuk 0,3-1,0 g). Apabila besi diserap di tengah kelebihan
simpanan ferritin, besi tersebut diendapkan di membran lisosom sebagai suatu
kompleks pseudokristalin. Besi amorf ini disebut sebagai hemosiderin.
Transport zat besi.
1. Transferin
Transferin adalah β1 globulin (protein fase akut negatif), merupakan
glikoprotein dengan berat molekul 79570 dalton, terdiri dari polypeptide rantai
tunggal dengan 679 asam amino dalam dua domain homolog. N-terminal dan C-
terminal masing - masing mempunyai satu tempat ikatan dengan Fe3+. Satu
molekul transferin mengikat 2 atom besi (Fe3+). Transferin akan berikatan
dengan reseptor transferin, setiap reseptor transferin mengikat 2 molekul
transferin.
Transferin terutama disintesis oleh sel parenkim hati, sebagian kecil di
otak, ovarium, dan limfosit T helper. Transferin mempunyai waktu paruh 8 - 11
hari. Transferin mempunyai 3 fungsi utama yaitu:
- Solubilisasi Fe3+, mengikat besi dengan afinitas tinggi
- Mengantar besi ke sel
- Berinteraksi dengan reseptor membran
Jumlah transferin dinyatakan dalam jumlah besi yang terikat disebut
sebagai Total Iron Binding Capacity (TIBC). Pada orang dewasa normal kadar
besi plasma kira - kira 18 μmol/L setara dengan 100 μg/dL. TIBC 56 μmol setara
dengan 300 μg/dL. Dengan demikian hanya sepertiga bagian dari transferin yang
berikatan dengan besi, sehingga masih tersedia cadangan yang cukup banyak
untuk berikatan dengan besi apabila terjadi kelebihan besi. Hal ini penting dalam
diagnosis gangguan metabolisme besi.
Besi (Fe3+) di dalam plasma yang berikatan dengan apotransferin (Tf), Fe
- Tf akan berikatan dengan reseptor transferin (TfR) pada permukaan sel.
Kompleks TfR dan Fe3+ - Tf bersama DMT 1 di clathin-coated pit, mengalami
invaginasi membentuk endosom. Pompa proton di dalam endosom akan
menurunkan pH menjadi asam (5,5) mengakibatkan ikatan antara Fe3+ dan
apotransferin terlepas. Apotransferin tetap berikatan dengan TfR di permukaan
sel, sedangkan Fe3+ yang dilepaskan akan keluar melalui DMT 1 mitokondria
dan disimpan. Besi dengan protoporfirin selanjutnya dipergunakan untuk
pembentukan heme. Besi yang berlebih akan disimpan sebagai feritin dan
hemosiderin. Akibat pH ekstrasel 7,4 ikatan antara apotransferin TfR di
permukaan sel akan terlepas. Apotransferin akan dilepaskan keluar dari sel
menuju sirkulasi dan berfungsi kembali sebagai pengangkut besi, sedangkan TfR
akan menjadi Truncated Transferin Receptor atau Soluble Transferin Receptor
(sTfR).

Siklus Transferin
a. Reseptor Transferin
Reseptor Transferin merupakan protein transmembran homodimer terdiri
dari 2 molekul monomer yang identik, terikat pada 2 ikatan sulfide pada
residu sitein 89 dan 92, terletak ekstraseluler. Tiap monomer mempunyai
berat molekul 90 kD, terdiri dari 780 residu asam amino dengan 3 domain,
yaitu protease - like domain (A) berikatan dengan aminopeptidase, apical
domain (B), dan helical domain (C). Setiap monomer mengikat 1 molekul
transferin yang telah mengikat 2 atom Fe3+. Setiap reseptor transferin
mengikat 2 molekul transferin. Hampir semua sel tubuh mengekspresikan
reseptor transferin.
b. Soluble Transferin Receptor (sTfR)
Dalam plasma STfR berada dalam bentuk kompleks dengan transferin,
memiliki berat molekul 320 kD. Kadar sTfR serum berkorelasi dengan
jumlah reseptor transferin yang diekspresikan pada permukaan sel. Kadar
sTfR tidak di pengaruhi oleh protein fase akut, kerusakan hati akut, dan
keganasan. Kadar sTfR menggambarkan aktivitas eritropoiesis sehingga
kadar sTfR dapat digunakan monitoring aktivitas eritropoiesis.
2. Feritin
Feritin adalah salah satu protein yang penting dalam proses metebolisme
besi di dalam tubuh. Sekitar 25 % dari jumlah total zat besi dalam tubuh berada
dalam bentuk cadangan zat besi (depot iron), berupa feritin dan hemosiderin.
Feritin dan hemosiderin sebagian besar terdapat dalam limpa, hati, dan sumsum
tulang. Feritin adalah protein intra sel yang larut didalam air, yang merupakan
protein fase akut. Hemosiderin merupakan cadangan besi tubuh berasal dari
feritin yang mengalami degradasi sebagian, terdapat terutama di sumsum tulang,
bersifat tidak larut di dalam air.
Pada kondisi normal, feritin menyimpan besi di dalam intraseluler yang
nantinya dapat di lepaskan kembali untuk di gunakan sesuai dengan kebutuhan.
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi pada orang sehat. Serum feritin < 12 ug/l sangat
spesifik untuk defisiensi zat besi, yang berarti bila semua cadangan besi habis,
dapat dianggap sebagai diagnostik untuk defisiensi zat besi.
Ferritin adalah kompleks protein yang berbentuk globular, mempunyai 24
subunit - subunit protein yang menyusunnya dengan berat molekul 450 kDa,
terdapat di semua sel baik di sel prokayotik maupun di sel eukaryotik. Pada
manusia, subunit - subunit pembentuk feritin ada dua tipe, yaitu Tipe L (Light)
Polipeptida dan Tipe H (Heavy) Polipeptida, dimana masing - masing memiliki
berat molekul 19 kD dan 21 kD. Tipe L yang disimbolkan dengan FTL berlokasi
di kromosom 19 sementara Tipe H yang disimbolkan dengan FTH1 berlokasi di
kromosom 11.
Feritin mengandung sekitar 23% besi. Setiap satu kompleks feritin bisa
menyimpan kira – kira 3000 - 4500 ion Fe3+ di dalamnya. Feritin bisa ditemukan
atau disimpan di liver, limpa, otot skelet dan sumsum tulang. Dalam keadaan
normal, hanya sedikit feritin yang terdapat dalam plasma manusia. Jumlah feritin
dalam plasma menggambarkan jumlah besi yang tersimpan di dalam tubuh kita.
Bila dilihat dari stuktur kristalnya, satu monomer feritin mempunyai lima helix
penyusun yaitu blue helix, orange helix, green helix, yellow helix dan red helix
dimana ion Fe berada di tengah kelima helix tersebut.
Besi bebas bersifat toxic untuk sel, karena besi bebas merupakan katalisis
melalui reaksi Fenton. Untuk itu, sel membentuk suatu mekanisme perlindungan
diri yaitu dengan cara membuat ikatan besi dengan feritin. Jadi feritin merupakan
protein utama penyimpan besi di dalam sel.

D. Metabolisme Hemoglobin
Sintesis heme terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi biokimia yang
bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci yang
bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam aminolevulinat sintase membentuk asam
aminolevulinat/ALA. Dalam reaksi ini glisin mengalami dekarboksilasi. Piridoksal fosfat
adalah koenzim untuk reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Dalam reaksi kedua
pada pembentukan hem yang dikatalisis oleh ALA dehidratase, 2 molekul ALA menyatu
membentuk pirol porfobilinogen. Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi
membentuk sebuah rantai linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P).
Gugus asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil. Kemudian dua
rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke gugus
vinil, membentuk protoporfirinogen Akhirnya, Jembatan metilen mengalami oksidasi
untuk membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin bergabung dengan Fe2+ untuk
membentuk heme. Masing- masing molekul heme bergabung dengan satu rantai globin
yang dibuat pada poliribosom, lalu bergabunglah tetramer yang terdiri dari empat rantai
globin dan heme nya membentuk hemoglobin. Pada saat sel darah merah tua dihancurkan,
bagian globin dari hemoglobin akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin.
Lalu sebagian besar biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke dalam
empedu. Sedangkan besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Pada
langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+) digabungkan ke dalam protoporfirin
IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase).
Peranan Fe pada Biosintesis Hemoglobin
Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+). Karena bersifat toksik di dalam tubuh, besi
bebas biasanya terikat ke protein. Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe 3+ ) oleh
protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi transferin.
Besi dioksidasi dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai
seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Besi dapat diambil dari simpanan
feritin, diangkut dalam darah sebagai transferin dan diserap oleh sel yang memerlukan
besi melalui proses endositosis diperantarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang
sedang membentuk hemoglobin). Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari
makanan, kelebihan tersebut disimpan sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang
membentuk kompleks dengan besi tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.
Daftar Pustaka

IDAI. 2013. "Anemia Defisiensi Besi pada Bayi dan Anak". http://www.idai.or.id/artikel/seputar-
kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak, diunduh pada 13 Desember 2016,
pukul 19.28 WIB

Abdulsalam, Maria, Albert Daniel. 2002. "Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia Defisiensi
Besi". Sari Pediatri 4:2.Jakarta: FK UI

IDAI. 2011. "Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Suplementasi Besi Untuk Anak". Jakarta:
Badan Penerbit IDAI

Bun, Richard, Klarissa Chrishalim. 2016. "Anemia Defisiensi Besi". Jakarta: FK Universitas Atmajaya

Anda mungkin juga menyukai