PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran
Mengapa manusia perlu mengkaji metafisika? Manusia secara tidak sadar selalu
memiliki rasa ingin tahu tentang asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Setiap pengetahuan
yang diketahui oleh manusia membutuhkan penafsiran-penafsiran secara ilmu pengetahuan.
B. Fokus Bahasan
1
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini untuk memaparkan kajian metafisika yang merupakan
cabang ilmu filsafat yang mengkaji asal atau hakekat objek (fisik) di dunia secara mendasar.
Secara khusus tujuan penulisan ini untuk mengkaji:
D. Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan memberikan manfaat bagi seluruh pembaca guna menambah
wawasan pemikiran dalam memahami metafisika secara filsafati. Sepatutnya kajian keilmuan
atau wacana ilmiah yang merupakan pelajaran penting dikalangan perguruan tinggi.
E. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat,atau dalam bahasa arab falsafah adalah berpikir radikal, sistematis, dan
universal tentang segala sesuatu. Objek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada.
Segala yang ada merupakan bahan pemikiran filsafat. Filsafat merupakan usaha berpikir
manusia yang sistematis sehingga membentuk ilmu pengetahuan. Kata falsafah (Melayu),
philosophie (Belanda), philosophie (Jerman), philosophy (Inggeris), philosophie (Perancis)
berasal daripada kata bahasa Yunani, yaitu : Philien: mencintai, Sophia: kearifan,
kebijaksanaan, hikmat, kebenaran.1 Falsafah ialah perihal mencintai kearifan, kebijaksanaan,
hikmat, kebenaran melalui pemikiran yang mendalam. Berfalsafah merupakan puncak
ketuntasan berfikir, yaitu dengan belajar dan menyelidiki segala hal mencari kebenaran
hakiki. Kebenaran ialah perkara cita-cita tertinggi yang dapat dicapai melalui akal atau
kaedah berfikir. Dalam Islam, secara normatif berfikir amat penting dan dianjurkan untuk
mencapai hakikat sesuatu. Diskusi kajian filsafat mengandung aspek ontologi, epistemologi
dan aksiologi.
Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi
metafisika berasal dari bahasa Inggeris: metaphysics, Latin: metaphysica dari Yunani meta
physica (sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut alam)
atau physis (alam). Metafisika merupakan bagian Falsafah tentang hakikat yang ada di
sebalik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia.
Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan yang Ada (being),
Alam ini wujud atau tidak? Siapakah kita? Apakah peranan kita dalam kehidupan ini?.
Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan
yang tidak dapat diterangkan dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain
Untuk mendeskripkan secara lebih jelas posisi dan kedudukan metafisika, dapat
dikemukakan bahwa Ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia melewati 3 jenis tahapan
abstraksi yaitu fisika, matematika dan teologi.2 Abstraksi pertama – yaitu fisika, Manusia
berfikir ketika mengamati secara indrawi. Dengan berfikir, akal dan budi kita “melepaskan
diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan”. Dari
Abstraksi kedua – yakni matesis. Ini terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri dari
materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang
dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri
material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Sejajar dengan konsep tersebut 4 wilayah filsafat dibagi dalam tiga tingkatan.
Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-
prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan
prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi.
Pemilahan tersebut didasarkan pada dapat tidaknya diserap melalui perangkat inderawi suatu
obyek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui
indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap
indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi)
maupun kejiwaan (psikologi).
Disiplin filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena
pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi
tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi.5 Istilah metafisika dengan
sifatnya yang supra inderawi inilah memunculkan keengganan orang terhadap konsep –
konsep metafisika. Kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama,
metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua,
telaah filosofis terdapat unsur metafisik merupakan hal yang siginifikan dalam kajian filsafat. 6
Ini tentu sejajar dengan signifikansinya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari
segala ilmu.
5 Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001), hlm. 6.
6 Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum: filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta: kanisius, 1992) Hal.15.
5
menghasilkan obyek dalam kajian metafisika yang disebut dengan obyek partikular (materi)
dan obyek universal (ide)
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat
objek (fisik) di dunia. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala
struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu
‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?7 Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau
majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Secara garis besar,
pandangan filsafat terkait dengan pokok soal tersebut dapat dikelompokan antara monisme
dan pluraisme, yang baik monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistis ataupun
materialistis.8
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar
bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran
metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia.
Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar
dari segala yang ada. Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat
yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling
“tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang
sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin
ataukah tidak. Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus
menerus dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.9
Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi
teori tentang realita.
C. Tafsiran Metafisika
Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang
dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib
(supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan
alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir
7 Hunnex, MD. Chronological and Thematic Charts Of Philosophies and Philosopher (Michigan: academie Books, 1986)
hlm 15.
8 Anton Baker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 1992)
hlm 25-26.
9 Hamlyn, DW, “Metaphysics, History Of”, dalam Honderich, ed., 1993, h. 556 dalam makalah Sindung Tjahyadi,
Metafisika : Sebuah Kencan Singkat di Akhir Mei 2008, hlm 10
6
tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga paham yang
disebut paham naturalisme. Paham ini sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme.
Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang
bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat
dipelajari dan diketahui.10 Penganut faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa
dijelaskan menurut hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon.
Contoh: bola bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau
disodok oleh tongkat bilyard.
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan
Logos = Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah,
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik
yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstract.11sedangkan menurut Jujun S.
Suriassumantri dalam Pengantar Ilmu Dalam Persepektif mengatakan, ontology membahas
apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”.12
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory.
Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan13. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep
ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan
ma’lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-
usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu
penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu
saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang
dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang
benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi
epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang
10 Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Edisi Revisi (Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2006), hlm.26
11 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 134
12 Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat, dalam Ilmu dalam Persepektif dalam Amsal Bahtiar, Filsafat IIlmu, Edisin
Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011) h. 133.
13 Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006) hlm. 124
7
mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali
kebenarannya.
Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. Alfred, J. Ayer menyatakan
bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu
sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya, problem yang
diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan yang tidak
memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut. Dan Katsoff
menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism,
materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah
Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal yang
tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstien menyatakan terdapat
tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu;
1. Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat
dikatakan sebagai batas dari dunia.
2. Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup
untuk mengalami pengalaman kematian.
Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni
ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara
14 Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science. hlm. 517
15 Ibid
8
lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika,
misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh
paradigma keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah dan
membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari
hasil perenungan metafisik yang dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif,
hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-
kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis dan paradigma
baru untuk memecahkan masalah yang ada.
Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah
pada fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah
persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan epistimologi. Dalam metafisika yang
mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan yang diantaranya dijawab bahwa
hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka munculah paham materialism,
sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari pertanyaan bagaimanakah cara kita
memperoleh pengetahuan? Descartes telah menjelaskan bahwa kita memperoleh pengetahuan
melalui akal dan dari pemikiran tersebut maka munculah rasionalisme. Sedangkan John
Locke telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman,
maka ia telah melahirkan aliran empirisme. 16 Sedangkan berbagai perdebatan lainnya dalam
metafisika mengenai realitas, ada tidak dan lainnya sebagaimana telah dikemukan di dalam
telah melahirkan berbagai pandangan berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan
berbagai aliran pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika
pemahaman-pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah
epistimologi atau dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan illmu pengetahuan.
16 Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science. Hal. 305
9
para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama
sebagai kebenaran yang paling akhir.
Axiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu
pengetahuan bagi manusia17. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral?
Dengan demikian Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran
(ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu.
18 Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science. hlm. 516
10
pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.19 Metafisika mengajarkan pada
peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First Principle) sebagai kebenaran yang
paling akhir. Serta hal yang paling booming dalam dunia filsafat adalah bagaimana Descartes
mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika
kita menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito
ergo sum) Skeptis-Metodis Rene Descartes.20
Untuk memperoleh gambaran yang memadai atas falsafah metafisika dalam bingkai
pemikiran Islam maka perlu dilacak sejumlah wacana yang berkembang di kalangan pemikir-
pemikir muslim pada abad pertengahan. Lebih – lebih ketika masa-masa periode
pembentukan (formative Periode) khazanah intelektual dapat ditemukan pemikiran-pemikiran
yang memungkinkan dapat dijadikan sebuah refleksi untuk mendiskusikan falsafah metafisika
dalam pemikiran islam. Karena pemikiran metafisika merupakan ber-induk pada pemikiran
filsafat yang maka untuk menemukan narasi pemikiran metafisika dapat ditemukan diantara
pemikiran-pemikiran filsafat tokoh yang bersangkutan yang menyangkut Manusia (jiwa)
Alam (kosmologi) dan Yang ada (wujud).
A. Al-Kindi
Tentang filsafat al-Kindi21 memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai
bagian dari peradaban Islam. Ia berupaya menunjukkan bahwa filsafat dan agama
merupakan dua barang yang bisa serasi, ia menegaskan pentingnya kedudukan filsfat
dengan menyatakan bahwa aktifitas filsafat yang definisi nya adalah mengetahui hakikat
19 Ibid
21 Nama lengkap Abu Yusuf, Ya’kub Ibnu Ishak Al-Sabbah, Ibnu Imran, Ibnu Al-Asha’ath, Ibnu Kays, Al-Kindi. Belilau biasa
disebut Ya’kub. Lahir pada tahun 185 H (805 M) di Kufah. Al-Kindi berasal dari suku Arab y terpandang dan memainkan peran
utama dalam dunia pemikiran Islam.Al-Kindi memulai pelajarannya di Kufah, kemudian di Basrah, dan Baqhdad, Ibn Al-Nadim
seorang pustakawan yang terpercaya menyebutkan adanya 242 buah karya al-Kindi dalam bidang logika, metafisika, aritmatika, falak,
musik, astrologi, geometri, kedokteran, politik dan sebagainya.
11
sesuatu sejauh batas kemampuan manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan
kebenaran
B. Al-Farabi
Bagi al-Farabi 22
, filafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada
ilmu-ilmu lain, sebagaimana ilmu itu berlanjut pada metafisika. Menurut al-farabi bagian
metafisika ini secara lengkap dipaparkan oleh aristoteles dalam metaphysics yang sering
juga diacu dalam sumber-sumber Arab sebagai “book of letters”, karya ini terdiri atas
bagian utama yaitu:
22 Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad al-Farabi lahir di wasij, suatu desa di Farab (Transoxania), Khorasan, pada 257 H
(870 M). Ia berasal dari Turki dan orang tuannya adalah seorang jendral. Ia sendiri pernah menjadi hakim dari farab ia pernah ke
Baghdad, pusat ilmu pengetahuan waktu itu, di sana ia belajar pada abu Bishr matta bin Yunus, dan tinggal di Baghdad selama 20
tahun, kemudian ia pindah ke Alleppo dan tinggal di Istana Saif ad-Daulah guna memusatkan perhatian pda ilmu pengetahuan di
filsafat.
23 Al-farabi, Ihsa Al-Ulum, hal. 99
24 Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Rineka Cipta, 1993) hlm. 296
12
alam oleh Tuhan, dari tidak ada menjadi ada, menuut al-Farabi, hanya Tuhan saja yang
ada dengan sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya. Karena itu ia disebut wajib al-
Wujudu zatih.25
Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan
melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan
tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan
kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam
arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang
dzatnya adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya ( al-Qudrah) yang
menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.
Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-
Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan
dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal
Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang
wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud
II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama
dan selanjutnya dengan segala planet yang ada pada sistem tata surya.
25 Abd Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003) hlm. 63
26 Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung : Mizan,1997), hlm. 118
13
C. Al-Razi
Persoalan metafisika yang dibahas oleh al-Razi 27
seperti halnya yang ada pada
filsafat yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal yaitu: Tuhan, Jiwa
Unversal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut.
D. Ikhwan Al-Safa’
Setelah wafatnya al-Farabi, muncullah kalangan kelompok muslim yang
menyebutkan diri mereka sendiri dengan nama ikhwan al-Safa’ yang berarti saudara-
saudara (yang mementingkan kesucian batin atau jiwa). 28
Mereka berhasil menghasilkan
karya ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan judul Rasa’il
Ikwan al-Safa’, terdiri dari 52 risalah yang dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu
bidang matematika, fisika, risalah yang berbicara tentang jiwa manusia dan kelompok
risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lain nya seperti tentang Tuhan,
malaikat, jin dan setan.
27 Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, hidup pada 250-313 H/864-925 M. ia lahir, dewasa dan
wafat di Ray, dekat Teheran Persia. Al-Razi sangat luas ilmunya, cabang-cabang ilmu pengetahuan yang pernah dipelajarinya ialah
filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, sastra dan logika. Dengan demikian tidak mengherankan apabila ia dikenal sebagai seorang
yang ahli dalam medis, filsafat, dan kimia, di bidang kedokteran al-Razi cukup terkenal, karena karangannya di bidang kedokteran
menjadi buku pedoman atau sebagai buku teks kalangan kedokteran
28 Identitas para pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama para anggota mereka memang merahasiakan diri, menurut
informasi al-sifistani para pemuka mereka adalah Abu Sulaiman al-Busti, Abu Al-Hasan al-Zanjani, Abu Ahmad al-Nahrajuri, pusat
kegiatan mereka adalah kota basrah, sedang di Baghdad juga tedapat cabang dari kelompok rahasia itu, jamaa’at ikwan al-Safa’
terdiri dari empat kelompok yaitu al-Ikhwan al Abrar al-Ruhama, al-Ikhwan al-Akhyar al-Fudala, al-Ikhwan al-Fudala al-Kiram,
kelompok elit yang hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati
14
alam. Ikhwan al-safa’ juga menganut paham pencipataan alam dan Tuhan melalui cara
emanasi. 29
Ibnu Maskawaih
Menurut Ibnu Maskawaih 30
untuk membuktikan Tuhan itu dengan pengenalan,
jadi tidak dengan melalui rasional. Sebab pengenalan selain di dapat secara rasional juga
dapat dengan melalui penghayatan yang berupa penggalan kejiwaan. Sebagai bukti adanya
Tuhan ialah gerak-gerak yang lain itu timbulnya dari sumber gerak, sedangkan sumber
gerak itu timbul sendiri, adapun menurut teori pembahasan lama ialah tiap-tiap bentuk
berbuah pasti diganti dengan bentuk yang lain.31
Tentang jiwa manusia dan akhlak Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa tujuannya
untuk menulis itu adalah agar kita berhasil membangun bagi jiwa-jiwa kita suatu akhlak,
dengan akhlak itu muncul dari diri kita dengan mudah tanpa dibuat-buat perbuatan yang
indah. Baginya jiwa itu berasal dari akal aktif, jiwa bersifat rohani, karena itu jiwa mampu
menerima hal-hal yang bertentangan, sedangkan panca indra hanya dapat menangkap
sesuatu jika sesuatu itu sudah menempel pada benda.32
Ibnu Sina
Ar-Rais al-Husain bin Abdullah bin Ali Al-Hamadani di lahirkan pada tahun 980
M disebuah desa bernama afshanah.33 Dekat Bukhara yang saat ini terletak dipinggiran
selatan Rusia, Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran muslim paling populer sampai
saat ini di dunia barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna.
Sebagai seorang metafisikus Islam, Ibnu Sina berpendapat bahwa antara jiwa dan
badan memiliki perbedaan. Pengenalan dan perasaan manusia terhadap jiwa bersifat
langsung, karena pemikiran tidak memerlukan perantara di dalam mengenal dirinya. Ibnu
Sina seperti halnya al-Farabi berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (immateri)
yang berada dalam tubuh, wujud imateri yang tidak berada atau tidak langsung
mengendalikan tubuh disebut akal. Dengan demikian, jiwa manusia adalah wujud imateri
yang berada dalam tubuh manusia. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak dan
pengendali tubuh, ibnu Sina juga menjelaskan tiga macam jiwa di bumi yaitu 1) Jiwa
29 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafai dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2008) hal. 84
30 Ibnu Maskawaih dilahirkan di Ray (sekarang tenaran) nama lengkapnya abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ibnu maskawaih, ia
belajar dan mematangkan pengetahuannya di Baghdad.
31 Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta Rineka Cipta, 1993) hal. 304
32 Ibid, hal. 305
33 Muhsin Labib, Para Filosof (Jakarta: Al-Huda, 2005) hal. 118
15
tumbuh-tumbuhan, 2) Jiwa binatang, 3) jiwa manusia, pada jiwa tumbuh-tumbuan
terdapat potensi makan potensi menumbuhkan potensi mengembang biakkan. Pada jiwa
binatang, selain jiwa yang baru disebutkannya juga terdapat potensi menggerakkan dan
potensi menangkap, potensi khayal dan sebagainya. 34
Pada jiwa manusia, selain semua potensi yang telah disebutkan di atas juga
terdapat potensi berpikir praktis dan berpikir teoritis, kemampuan teoritis ini pada taraf
potensi disebut akal material dan setelah berkembang pada taraf berikutnya disebut akal
makalah. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Ia
juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama
memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke
sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang
berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah
Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib
wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya
sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin
wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang
terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan,
yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak
mempunyai fungsi -fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena
pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh
pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim).
Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan
“baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain
34 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta:UIPress, 1978) Hal. 63
16
Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa.
Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului
alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada
waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. 35
Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak
mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”.
Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan
sebagai berikut: Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan
yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Ibnu Sina berkata : “yang
wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat
wujud lain (wujud al muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi
wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru,
tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah
perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam
pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari
perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya
sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali. Ketiga, manakala perbuatan
Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan
“hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak
bebas.36
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang
paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah
dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia,
akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu
adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi
kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih – lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk
memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur
35 Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal.125
36 Ibid , hal.125-126
17
(keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini
dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena
ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab
pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan
(Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke
arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan. 37
Al-Ghazali
Tiga pendapat filosof-filosof muslim yang dikufurkan al-Ghazali 38
yang tertuang
dalam bukunya “tahafut al-Falasifah”, yakni pendapat bahwa alam itu azali atau qadim,
pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz iyyat, lalu ia juga mengkufurkan paham yang
mengingkari adanya kebangkitan tubuh di akhirat, itu berarti bahwa siapa saja yang
menganut, salah satu dari tiga paham tersebut menurut al-Ghazali jatuh ke dalam
kekafiran. Untuk paham yang pertama tentang paham qadim- nya alam menurut nya bila
alam tu diktakn qadim maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh
Tuhan. Jadi paham qadim nya alam membawa kepada kesimpulan bahwa alam itu ada
dengan sendirinya. Kedua tentang paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat. Paham
bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat bukanlah paham yang dianut oleh filosof
muslim tapi paham ini dianut oleh aristoteles, menurut al-Ghazali Tuhan mengetahui hal-
hal juz’i itu dengan pengetahuny tidak berubah, dan ini dapat dipahami seperti tidak
berubahnya pengetahuan tetapi sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat di pahami
dengan pengertian bahwa tuhan telah mengetahui halhal yang juz’i ketiga tentang paham
pengingkaran kebangkitan jasmani di alam kubur. Menurut al-Ghazali gambaran al-
Qur’an dan Hadis tentang kedua akhirat bukan megacu pada kehidupan yang bersifat
rohani saja, tapi pada jasmani juga, jasad-jasad di bangkitkan dan disatukan dengan jiwa-
jiwa manusia yang pernah hidup di dunia, untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat
rohani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat rohani – jasmani.
Menurut al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia
mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah - ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya.
Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak
37 Untuk mendapat gambaran lebih dalam berkaitan dengan pemikiran Ibnu Sina tentang roh lihat tulisan Harun Nasution
dalam buku Islam ditinjau dari berbagai aspek, bab IX dan bab X tentang Falsafah dan Mistisisme Islam.
38 Al-Ghazali hidup dari tahun 450 H / 105 M sampai degan tahun 505 H / 1111 M. ia lahir di desa Gazaleh dekat Tus. Ia berlajar
di Tus jurtan, di nisyapur, di nisyapur inilah ia dalam usai 20-28 tahun berguru dan bergaul denga imam al-Juwaini, di Baghdad ia
menjadi guru besar madrasah nizamiah Baghdad. Di Baghdad pula lah ia berupaya mempelajari filsafat dan menunjukkan
pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku “Maqa sid al-Falaisfah”, serta kemudian menunjukkan kemampuannya
mngkritis argument-argumen kaum filosofis. Untuk lebih lengkap konsepsi al ghozali berkaitan dengan falsafahnya dapat dibaca
dalam kitabnya muqaddimah tahafut al falasifah yang berjudul Maqassid al falasifah lil imam al ghozali yang ditahqiq oleh Dr.
Sulaiman D. Terbitan Darul Ma’arif Mesir. Cetakan Ke -2
18
bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan - pengetahuan intelektual
(al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr . Hal ini menunjukkan bahwa
esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang
mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena
keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-
Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang
berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa
dan bergerak dengan kemauan.Substansi yang pertama dinamakan badan ( al-jism) dan
substansi yang kedua disebut jiwa ( al-nafs). Jiwa ( al-Nafs) memiliki daya - daya sebagai
derivatnya dan atas dasar tingkatan daya daya tersebut.
1. Thales berpendapat air sebagai arche. Filsafat alam yang berusaha mencari asal (arche)
alam semesta yakni air.
2. Dalil Pembuktian Tuhan Ansellmus: Dalil ontologis: segala sesuatu di dunia ini tidak
ada yg sempurna, melainkan hanya memperlihatkan tingkatan-tingkatan (gradasi). Oleh
39 Secara prinsip pada hakekatnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang dapat dijadikan referensi untuk memperkaya
kajian falsafah metafisika islam. Akan tetapi cukup kiranya sebagai bahan diskusi untuk penulisan makalah ini.
Diyakini bahwa hampir semua pemikir dan tokoh-tokoh ulama islam sejak zaman sahabat, khalifah ar rasyidin, masa
khalifah muawiyah Abbasiyah bahkan ketika islam mengalami masa kegelapan dan kemunduran sekalipun masih
banyak pemikir-pemikir muslim yang terus berkarya dan berijtihad. Sampai dengan ketika islam dikatakan mengalami
era kebangkitan lagi pada abad 17 dan 18. bahkan sampai era kontemporer sekarangpun masih banyak kita temukan
sejumlah karya-karya monumental dikalangan pemikir muslim untuk merumuskan dan merekonstruksi pemikiran
falsafah metafisika islam. Untuk yang terakhir ini bisa kita sebut misalnya Fazlur Rahman(dengan segala karya yang
dihasilkannya), Sahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, al jabiri, Hasan Hanafi, dan lain-lain. Yang secara prinsip diskusi yang
mereka paparkan tentang konsep Tuhan, wahyu, konsep hakekat kenabian, hakekat ilmu dan sebagainya. Belum lagi
jika kita mengkaji peta pergerakan aliran-aliran dalam berbagai madzhab, baik itu madzhab teologi-tasawwuf,
madzhab fiqh dan sebagainya yang masing-masing mereka memiliki cara pandang yang sangat beragam untuk
membuat rumusan hal-hal yang bersifat eskatologis (ghoib). Ini dapat dimaklumi sebab konsepsi agama hakekatnya
adalah mengandung konsepsi relasi metafisis antara Tuhan (dengan segala ”wujud”nya) Manusia (dengan segala
fenomena) dan Alam (kosmos). Agama hakekatnya memiliki kewajiban memberikan rumusan yang jelas atas relasi-
relasi yang dibangun atas dasar keberadaan dari masing-masing entitas tersebut. Dan pemikiran manusia untuk
menemukan relasi ideal yang bersifat falsafi metafisis tiada pernah berhenti sampai kapanpun.
19
karena itu, tentu ada satu yang paling sempurna yang mengatasi semua
ketidaksempurnaan itu, yakni The Perfect Being.
3. Dalil Kosmologis menurut Aristoteles, Keteraturan alam semesta ini ditentukan oleh
gerak (motion). Gerak merupakan penyebab terjadinya perubahan (change) di alam
semesta. Akhirnya akal manusia tiba pada suatu titik yang ultimate, yaitu sumber
penyebab dari semua gerak, yaitu Unmoved Mover, Penggerak yang tadak digerakkan. 40
4. Dalil Teleologis (William Paley) Benda-benda di ruang alam semesta itu memiliki gerak
yg bertujuan (teleos), sehingga alam semesta ini merupakan karya seni terbesar yang
membuktikan adanya A Greater Intelligent Designer.
5. Dalil Etis (I.Kant), Dalam diri setiap manusia ada dua kecenderungan yang bersifat
niscaya, yaitu keinginan untuk hidup bahagia (happiness) dan berbuat baik. Kedua
kecenderungan itu akan dapat terwujud dalam kehidupan manusia apabila dijamin oleh 3
postulat, yaitu kebebasan kehendak (freewill), keabadian jiwa (immortality), dan Tuhan
(God) sebagai penjamin hukum moral (Law Giver) 41.
6. Plotinos: Semua pengada beremanasi dari to Hen (yang satu) melalui proses spontan dan
mutlak. To Hen beremanasi pada Nous (kesadaran), melimpah pada Psykhe (jiwa),
akhirnya melimpah pada materi sebagai bentuk yang paling rendah, yaitu Meion.
7. Karl Jaspers mengatakan; pertama Metafisika merupakan upaya memahami Chiffer;
simbol yang mengantarai eksistensi dan transendensi. Kedua Manusia adalah chiffer
paling unggul, karen banyak dimensi kenyataan bertemu dalam diri manusia. Ketiga
Manusia merupakan suatu mikrokosmos, pusat kenyataan; alam, sejarah, kesadaran, dan
kebebasan ada dlm diri manusia. Jadi Metafisika: berarti membaca chiffer, transendensi,
keilahian, sebagai kehadiran tersembunyi. Arti dari Chiffer adalah jejak, cermin, gema
atau bayangan transendensi. 42
8. Jp. Sartre yang mempelopori aliran filsafat eksistensialisme memberikan konsep pertama
L’etre en soi (Being-in-itself) yaitu keberadaan dalam diri yang bukan pasif dan bukan
pula aktif, tetapi memuakkan. Kedua Ctt: L’etre en soi keberadaan dlm diri yg bukan
aktif dan pasif, sifatnya memuakkan. L’etre pour soi; kesadaran mns utk diri, sifatnya
aktif, kebebasan dan berusaha mengobjekkan org lain. Dan ketiga, L’etre pour autrui;
keberaadaan untuk orang lain (sosial) 43
G. Penentang Metafisika Barat
40 Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka pelajar ,1998) hal. 7
41 Ibid, hal. 57
42 Ibid , 127
43 Ibid, 138
20
Dialektika keilmuan menjadi wacana yang sangat kental berkembang terus menerus di
barat sehingga ketika muncul pemikiran-pemikiran metafisika yang merupakan aliran filsafat
idealisme, akhirnya muncullah sejumlah tokoh dan pemikir yang menentang aliran ini yang
lebih mengedepankan paradigma filsafatnya pada aliran empirisme positivistik. Nilai pokok
Aliran ini adalah penentangan keras akan adanya konsep metafisika. Adapun penentang
Metafisika Barat bisa dikemukakan disini adalah: 44
1. David Hume:
Metafisika itu bersifat the Mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan
(inexpressible) ke dalam bahasa yang bersifat logis.
Ada 3 persoalan metafisika, yaitu: (1) Subject does not belong to the world; rather
it is a limit of the world. (2). Death is not an event in life, we do not live to
experience death. (3). God does not reveal Himself in the world.
Kesimpulan: “Sesutu yang tak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya
didiamkan saja”. (What we cannot speak about, we must pass over in silence!)
44 Para tokoh-tokoh ini umumnya adalah pemikir empirisme positvisme materialistic yang secara prinsip berseberangan
dengan pemikir rasionals, idealisme
45 Anton Bekker Ibid, Hal. 254
21
22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pertama Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau
hakekat objek (fisik) di dunia yang didasarkan pada faham Supranaturalisme, naturalisme,
dualistik serta paham-paham yang dilahirkannya.
Kedua, Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan mencari kebenaran yang paling akhir
untuk mendapatkan pengetahuan/fundamental ontologisnya dan Epistimoliginya sebagai cara
yang digunakan mendapatkan pengetahuannya.
Ketiga, Manfaat Metafisika, aksiology, dalam Ilmu untuk menelaah lebih jauh konsep
keilmuan yang selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru dalam menunjang kejayaan
manusia dalam berfikir dan menganalisis.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2007.
Siswanto, Joko. Metafisika Sistematik. Yogyakarta: Penerbit Taman Pustaka Kristen, 2004.
Psillos, Stathis. Ebook Philosophy of Science A-Z. Britain: Edinburg University Press, 2007.
Baker, Anton. Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
24