Anda di halaman 1dari 29

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan


peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan
dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi
pompa jantung.

Gagal Jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang dihasilkan dari setiap gangguan
struktural atau fungsional pengisian ventrikel atau ejeksi darah. Manifestasi utama dari HF adalah
dyspnea dan kelelahan saat istirahat atau saat aktifitas yang disebabkan oleh kelainan struktur /
fungsi jantung, disertai tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki).

Epidemiologi

20 per 1000 individu berusia 65-69 tahun, > 80 per 1000 individu di antara mereka yang
berusia ≥85 tahun. Sekitar 5,1 juta orang di Amerika Serikat memiliki gejala gagal jantung.
Prevalensi gagal jantung meningkat menjadi 90-121 per 1.000 pada tahun 1994-2003. Kulit hitam
memiliki risiko tertinggi untuk gagal jantung. Dalam ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities)
studi, tingkat kejadian per 1.000 orang-tahun adalah terendah di antara perempuan berkulit putih
dan tertinggi pada laki-laki hitam dengan tingkat mortalitas 5 tahun lebih besar.

Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei
Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab
kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa
penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian
terbanyak di rumah sakit di Indonesia.2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi

1
darah, stroke tidak berdarahah atau infark menduduki urutan penyebab kematian utama, yaitu
sebesar 27 % (2002), 30%( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati urutan ke-5
sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005.

Etiologi

Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang
terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi tertentu,
bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik
ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya
masalah mekanik seperti regurgitasi katup berat, dan lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi
tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat
menyebabkan gagal jantung, tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung pada
orang-orang dengan penyakit jantung dasar.

Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation),
emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid
(hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure,
gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems),
intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.

Menurut penyebabnya gagal jantung dibagi berdasarkan :


1. Myocardial damage
a. Ischemic Heart Disease (IHD) difus atau regional
b. Miokarditis
Viral, demam rematik, bakterial, fungal.
c. Kardiomiopati

2
Kardiomiopati iskemik, kardiomiopati diabetik, kardiomiopati periapartal,
kardiomiopati hipertensi (HHD), idiopathic hypertrophic subortic stenosis.
2. Beban ventrikel yang bertambah
a. Beban Tekanan / Pressure Overload
- Hipertensi Sistemik
- Koarktasio Aorta
- Aorta Stenosis
- Pulmonal Stenosis
- Hipertensi pulmonal pada ppok atau hipertensi pulmonal primer
b. Beban Volume / Volume Overload
- Mitral Regurgitasi
- Aorta Regurgitasi
- Ventricular Septal Defect (VSD)
- Atrial Septal Defect (ASD)
- Patent Ductus Arteriosus (PDA)
c. Restriksi dan Obstruksi Pengisian Ventrikel
- Mitral Stenosis
- Triskupid Stenosis
- Tamponade Jantung
- Atrial Miksoma
- Kardiomiopati Restriktif
- Perikarditis Kontriktif
d. Kor pulmonal
e. Kelainan Metabolik
- Beri-beri
- Anemia Kronik
- Penyakit Tiroid
f. Kardiomiopati Toksik
3
- Alkohol
- Vincristin
- Bir, kokain
g. Trauma
- Miokardial Fibrosis
- Perikardial Kontriktif
h. Kegananasan
- Limfoma
- Rabdomiosarkoma

Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus


 Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis
mitral, dan penyakit perikardial.
 Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake)
garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut,
hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan
endokarditis infektif.

4
Klasifikasi
Kapasitas Klasifikasi New York Heart Association Penilaian Objektif
Fungsional

Class I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada


aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan,
palpitasi, sesak, atau nyeri anginal

Class II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan


aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat.
Aktivitas fisik biasa mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak,
atau nyeri anginal.

Class III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan


bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu
istirahat. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari biasanya
menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan nyeri anginal..

Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan


ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa
tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau sindroma angina dapat
dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan,
maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.

Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels: Nomenclature
and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown

5
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008

 Berdasarkan New York Heart Association (NYHA) diklasifikasikan menjadi 4 kelas


fungsional

1. Kelas I

Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak mempunyai batasan aktivitas fisik.

2. Kelas II

Pasien dengan penyakit jantung tetapi mempunyai sedikit batasan aktivitas fisik.

3. Kelas III

Pasien dengan penyakit jantung yang mempunyai batasan yang harus diperhatikan dalam aktivitas
fisik.

6
4. Kelas IV

Pasien dengan penyakit jantung yang tidak dapat melakukan berbagai aktivitas fisik yang
disebabkan dyspnea.

Berdasarkan American College of Cardiology and the American Heart Association, gagal jantung
telah diklasifikasikan menjadi beberapa tahap dan juga terapi yang diberikan yaitu antara lain :

1. Tahap A

Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak menunjukkan struktur

abnormal dari jantung .

2. Tahap B

Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak bergejala.

3. Tahap C

Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.

4. Tahap D

Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan standar.

7
Patofisiologi

Jantung kanan yang telah lemah, tidak kuat lagi memindahkan darah yang cukup banyak
dari susunan pembuluh darah venosa (vena kava, atrium, dan ventrikel kanan) ke susunan
pembuluh darah arteriosa (arteri pulmonalis). Oleh karena itu, darah akan tertimbun di dalam
ventrikel kanan, atrium kanan, dan di dalam vena kava sehingga desakan darah dalam atrium kanan
dan vena tersebut meninggi. Makin tinggi desakan darah dalam vena, vena makin mengembang
(dilatasi).

Dalam praktik, desakan venosa yang meninggi ini dapat dilihat pada vena jugularis
eksterna. Penimbunan darah venosa sistemik akan menyebabkan pembengkakan hepar atau
hepatomegali. Pada gagal jantung yang sangat, pinggir bawah hati dapat mencapai umbilikus. Hati
yang membengkak ini konsistensinya keras, permukaannya licin, dan sering sakit tekan terutama
pada linea mediana. Hepatomegali merupakan suatu gejala yang penting sekali pada gagal jantung
kanan. Timbunan darah venosa pada vena-vena di bagian bawah badan akan menyebabkan
8
terjadinya udem. Mula-mula udem timbul pada tempat mata kaki (pada anak yang sudah berdiri),
jadi pada tempat terendah, karena meningginya tekanan hidrostatis merupakan suatu faktor bagi
timbulnya udem. Mula-mula, udem timbul hanya pada malam hari, waktu tidur, dan paginya udem
menghilang.

Pada stadium yang lebih lanjut, udem tetap ada pada waktu siang hari, dan udem tidak
timbul pada mata kaki saja, tetapi dapat juga terjadi pada punggung kaki, paha, kulit perut, dan
akhirnya pada lengan dan muka. Akibat selanjutnya dari timbunan darah ini adalah asites, dan
asites ini sangat sering dijumpai pada anak yang menderita gagal jantung. Dapat juga terjadi
hidrotoraks, meskipun pada anak agak jarang dijumpai. Bila hidrotoraks, terlalu banyak akan
memperberat keadaan dispnea penderita.

Adanya kelemahan jantung kanan mula-mula dikompensasi dengan dilatasi dinding


jantung kanan, terutama dinding ventrikel kanan. Adanya dilatasi dinding ventrikel akan
menambah keregangan miokardium sehingga akan memperkuat sistole yang berakibat
penambahan curah jantung. Adanya dilatasi dan juga sedikit hipertrofi jantung akan menyebabkan
pembesaran jantung atau disebut kardiomegali.

Upaya penambahan curah jantung karena kelemahan juga dilakukan dengan menaikkan
frekuensi jantung (takikardi). Pada akhirnya kelemahan jantung kanan ini tidak dapat
dikompensasi lagi, sehingga darah yang masuk ke dalam paru akan berkurang dan ini tentunya
akan merangsang paru untuk bernapas lebih cepat guna mengimbangi kebutuhan oksigen,
akibatnya terjadi takipnea.

 Gagal Jantung Kiri


Jika darah dari atrium kiri untuk masuk ke ventrikel kiri pada waktu diastole mengalami
hambatan akan menyebabkan tekanan pada atrium meninggi sehingga atrium kiri mengalami
sedikit dilatasi. Makin lama dilatasi ini semakin berat sehingga atrium kiri, disamping dilatasi juga
mengalami hipertrofi karena otot atrium ini terus menerus harus mendorong darah yang lebih

9
banyak dengan hambatan yang makin besar. Oleh karena dinding atrium tipis, dalam waktu yang
relatif singkat otot atrium kiri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya untuk mengosongkan
atrium kiri. Menurut pengukuran, tekanan ini mencapai 24-34 mmHg, padahal tekanan normal
hanya 6 mmHg atau ketika ventrikel kiri tidak mampu memompa darah ke aorta (karena
kelemahan ventrikel kiri), darah tertumpuk di ventrikel kiri, akibatnya darah dari atrium kiri tidak
tertampung di ventrikel kiri, kemudian makin lama makin memenuhi vena pulmonalis dan
akhirnya terjadi udem pulmonum.
Pengosongan atrium kiri yang tidak sempurna ini ditambah meningginya tekanan
didalamnya, menyebabkan aliran di dalamnya, menyebabkan aliran darah dari paru ke dalam
atrium kiri terganggu atau terbendung. Akibatnya tekanan dalam vena pulmonales meninggi, dan
ini juga akan menjalar ke dalam kapiler di dalam paru, ke dalam arteri pulmonalis dan akhirnya ke
dalam ventrikel kanan.
Akhirnya atrium kiri makin tidak mampu mengosongkan darah, bendungan dalam paru
semakin berat, terjadilah kongesti paru. Akibatnya, ruangan di dalam paru yang disediakan untuk
udara, berkurang dan terjadilahsuatu gejala sesak napas pada waktu bekerja (dyspnoe d’effort).
Disini, ventrikel kanan masih kuat sehingga dorongan darah dari ventrikel kanan tetap
besar,sedangkan atrium kiri tetap tidak mampu menyalurkan darah, akibatnya bendungan paru
semakin berat sehingga akan terjadi sesak napas meskipun dalam keadaan istirahat (orthopnea).
Pada umumnya, adanya kongesti paru ini akan memudahkan terjadinya bronkitis sehingga anak
sering batuk-batuk.
Darah yang banyak tertimbun dalam ventrikel kanan menyebabkan ventrikel kanan
dilatasi, kemudian diikuti dengan hipertrofi, yang akibatnya akan terjadi kardiomegali. Dalam
rangka memperbesar curah jantung, selain jantung memperkuat sistol karena adanya keregangan
otot berlebihan, jantung juga bekerja lebih cepat, artinya frekuensi naik. Dengan demikian, terjadi
takikardi. Oleh karena yang lemah adalah atrium kiri dan atau ventrikel kiri maka disebut gagal
jantung kiri.

10
Gejala Klinis

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008

11
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2016

12
Gagal Jantung Kiri

Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal jantung kiri
terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan
kongesti pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katub aorta/mitral. Gagal ventrikel kiri paling
sering mendahului gagal ventriel kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru
akut. Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.

Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan
cairan terdorong ke jaringan paru. Dispnu dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli
yang mengganggu pertukaran gas. Mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan
insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.

Tabel 2. Gambaran klinis gagal jantung kiri

Gejala Tanda

- Penurunan kapasitas aktivitas - Kulit lembab

- Dispnea (mengi, orthopnea, PND) - Tekanan darah (tinggi, rendah atau


normal)
- Batuk (hemoptisis)
- Denyut nadi (volume normal atau
- Letargi dan kelelahan
rendah) (alternans/takikardia/aritmia)
- Penurunan nafsu makan dan berat badan
- Pergeseran apeks

13
- Regurgitasi mitral fungsional

- Krepitasi paru

- (± efusi pleura)

Gagal Jantung Kanan

Gagal jantung kanan disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat gagal jantung kiri yang
berlangsung cukup lama sehingga cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik di
kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura, dll. Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah
kongesti viscera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasikan semua
darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat
meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher,
asites, anoreksia, mual dan nokturia.

Tabel 3. Gambaran klinis gagal jantung kanan

Gejala Tanda

- Pembengkakan pergelangan kaki - Denyut nadi (aritmia takikardia)

- Dispnea (namun bukan orthopnea atau - Peningkatan JVP


PND)
- Edema
- Penurunan kapasitas aktivitas
- Hepatomegali dan ascites
- Nyeri dada
- Gerakan bergelombang parasternal

14
- S3 atau S4 RV

- Efusi pleura

Manifestasi Klinis

Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal.
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi
sistolik dan diastolic.

15
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, yang hingga
kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang
benar harus dikuasai, sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail.

Anamnesa
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah.
Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada gagal
jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia
dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien
beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang
semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan
besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh
akumulasi cairan pada jaringan intertisi al atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang
menjadi karakteristik cardiac dypnea.
Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance
paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia.
Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan
regurgitasi trikuspid.
Orthopnu Dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar, dan
biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.
Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan bantal
tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas
bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan seringkali
terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik

16
untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen
atau ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang umumnya
terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam
setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh
meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai
edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan
orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung,
pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak
menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut.
Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale) berhubungan erat
dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing sekunder akibat
bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing
lainnya.
Edema Pulmoner Akut
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya fungsi
jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk
atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai
sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner
akut dapat mematikan.
Respirasi Cheyne Stokes
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal
jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah. Respirasi
cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap kadar PCO2
arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada
gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan
hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat
17
dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas
sesaat.
Gejala Lainnya
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal. Anorexia,
nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan kembung adalah
gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari dinding usus dan/atau
kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada
kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan emosi
dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama pada pasien lanjut usia dengan
arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan
dapat memperberat keluhan insomnia.
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas sangatlah bervariasi.
Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin berkurang dengan
pengobatan jantung, menunjukkan sensitivitas dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut.
Walau orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala
tersebut tidak sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang dengan gagal jantung tidak
memiliki gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat
sangat spesifik, tapi tidak sensitif dan membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan
gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan apa penyebab gagal
jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi
tambahan mengenai profil hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan
prognosis adalah tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik.
Keadaan Umum Dan Tanda Vital
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki keluhan, kecuali
merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan
18
gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan
untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi
pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun.
Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik
arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non
spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer
mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga
diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.
Pemeriksaan Vena Jugularis Dan Leher
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan, dan secara
tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat
pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung dengan
satuan sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah
vena jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur
apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi
dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk
hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.
Pemeriksaan Paru
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari rongga
intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua
lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada
pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan
bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika
pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi
dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat.
Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya
adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena
sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel
19
(biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada
rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.
Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan informasi yang
berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal
(ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral)
linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus)
teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk
mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat
didengar dan teraba pada apex.
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi dapat
memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal kiri (right
ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan volume
overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi
hemodinamik yang berat. Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi
biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid
umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.
Pemeriksaan Abdomen Dan Ekstrimitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan gagal
jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat
sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi
karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase
peritenium.
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut,
biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan
terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan hipoksia
hepatoselular.

20
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau demikian tidaklah
spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer pada
pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan
paling sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih
beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema
yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang bertambah.
Kakeksia Kardiak
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat badan dan
kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti, kemungkinan besar faktor
penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik
rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan
rasa penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan
terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia
maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk.
Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi (EKG)

Electrocardiography tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya
merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder dalam
mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan ECG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal
jantung

Radiologi (foto thorax)

Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya
ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada
tampilan postanterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi
siltolik karena ukuran bias terlihat normal.

21
Foto toraks menunjukkan adanya kardiomegali. Namun kardiomegali bukan selalu berarti
adanya gagal jantung. Selain itu juga dapat menunjukkan adanya edema paru, atelektasis regional,
dan kemungkinan adanya penyakit penyerta seperti gambaran pneumonia.

Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi ventrikel
kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali. Kardiomegali mendukung
diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi vena lobus atas. Foto rontgen adalah
indicator penting untuk menentukan ukuran jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling
umum digunakan adalah CTR (cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter
tranversal jantung. CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter
transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan Negro). Rasio ini
meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai 60%. Metode ini tidak bisa dipakai
pada orang yang letak jantungnya mendatar (horizontal) atau vertical dan orang dengan
pericardium penuh lemak.
 Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kanan
Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:
1. Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan sampai ke atas.
2. Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm.
3. Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral.
4. Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor, bentuknya oval
atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut menghilang, sehingga
dinamakan vanishing lung tumor sebab bentuknya mirip tumor paru.
5. Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial.

 Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kiri


1. Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru
2. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang lurus
mendatar ke lateral
22
3. Batas hilus pulmo terlihat kabur
4. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal.
5. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan alveolar.

EKG
Elektrokardiografi dapat membantu menentukan tipe defek, adanya sinur takikardia,
pembesaran atrium dan hipertrofi ventrikel, tetapi tidak untuk menentukan apakah terdapat gagal
jantung atau tidak.

Echocardiography

Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini membantu
menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi. Kelemahan echocardiography adalah relative
mahal, hanya ada di rumah sakit dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin untuk
hipertensi pada praktek umum. Ekokardiografi dapat secara nyata menggambarkan stuktur
jantung, data tekanan, dan status fungsional jantung sehingga dapat mengetahui pembesaran ruang
jantung dan etiologi.

Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu
pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT-pro BNP (N Terminal protein
BNP. Kegunaan pemeriksaan BNP adalah untuk skrining penyakit jantung, stratifikasi pasien
dengan gagal jantung, deteksi left ventricular systolic dan atau diastolic dysfunction serta untuk
membedakan dengan dispnea. Berbagai studi menunjukkan kosentrasi BPN lebih akurat
mendignosis gagal jantung.

23
24
Penatalaksanaan

Obat untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut

Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Vasodilators

Nitroglycerin 20 µg/menit 40–400 µg/menit

Nitroprusside 10 µg/menit 30–350 µg/menit

Nesiritide Bolus 2 µg/kg 0.01–0.03 µg/kg per menita

25
Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Inotropes

Dobutamine 1–2 µg/kg per menit 2–10 µg/kg per menitb

Milrinone Bolus 50 µg/kg 0.1–0.75 µg/kg per menitb

Dopamine 1–2 µg/kg per menit 2–4 µg/kg per menitb

Levosimendan Bolus 12 µg/kg 0.1–0.2 µg/kg per menitc

Vasoconstrictors

Dopamine for hypotension 5 µg/kg per menit 5–15 µg/kg per menit

Epinephrine 0.5 µg/kg per menit 50 µg/kg per menit

Phenylephrine 0.3 µg/kg per menit 3 µg/kg per menit

Vasopression 0.05 units/menit 0.1–0.4 units/ menit

Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)

Dosis Awal Dosis Maksimal

Diuretics

Furosemide 20–40 mg qd or bid 400 mg/da

Torsemide 10–20 mg qd bid 200 mg/da

26
Dosis Awal Dosis Maksimal

Bumetanide 0.5–1.0 mg qd or bid 10 mg/da

Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da

Metolazone 2.5–5.0 mg qd or bid 20 mg/da

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors

Captopril 6.25 mg tid 50 mg tid

Enalapril 2.5 mg bid 10 mg bid

Lisinopril 2.5–5.0 mg qd 20–35 mg qd

Ramipril 1.25–2.5 mg bid 2.5–5 mg bid

Trandolapril 0.5 mg qd 4 mg qd

Angiotensin Receptor Blockers

Valsartan 40 mg bid 160 mg bid

Candesartan 4 mg qd 32 mg qd

Irbesartan 75 mg qd 300 mg qdb

Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd

β Receptor Blockers

Carvedilol 3.125 mg bid 25–50 mg bid

Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd

Metoprolol succinate CR 12.5–25 mg qd Target dose 200 mg qd

27
Dosis Awal Dosis Maksimal

Additional Therapies

Spironolactone 12.5–25 mg qd 25–50 mg qd

Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd

Kombinasi 10–25 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid


hydralazine/isosorbide
dinitrate

Dosis tetap 37.5 mg/20 mg (one tablet) tid 75 mg/40 mg (two tablets) tid
hydralazine/isosorbide
dinitrate

Digoxin 0.125 mg qd <0.375 mg/db

Non medikamentosa

Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja
jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar – benar dengan tirah baring ( bed rest
) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.

Sering tampak gejala – gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet
umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan
sebanyak 80 – 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.

Intervensi Mekanik dan Operasi

Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka


intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi
ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.
28
Prognosis

DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI .Jakarta : 2006.

Price, Sylvia A and Wilson, Lorraine M. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6 Volume
1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2006.

Sugeng dan Sitompul. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit FKUI. Jakarta : 2003.

ACCF AHA Guideline Management Heart Failure 2013

ESC Heart Failure 2012, 2016

Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Ed.1 : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia

29

Anda mungkin juga menyukai