KEDOKTERAN
BAB. 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Dengan kesehatan
orang dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal, sehingga
dapat pula menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu setiap orang akan
selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka
akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali. Salah satunya
adalah dengan cara berobat pada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tetapi,
upaya penyembuhan tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan pelayanan yang
baik pula dari suatu sarana pelayanan kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan yang baik,
tidak cukup ditandai denganterlibatnya banyak tenaga ahli atau yang hanya memungut biaya
murah, melainkan harus didasari dengan suatu sistem pelayanan medis yang baik pula dari
sarana pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat segala hal
tentang riwayat penyakit pasien, dimulai ketika pasien datang, hingga akhir tahap pengobatan
di suatu sarana pelayanan kesehatan. Dalam dunia kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal
dengan istilah rekam medis.
Rekam medis berisi antara lain tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta
tindakan dan pelayanan lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien selama
menjalani perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.
Di setiap sarana pelayanan kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan
kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai
pendahuluan mengenai “informed concent locum tenens”, untuk kepentingan dokter
pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan
karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
Malpraktek tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum
profesional dalam bidang lainnya yang menjalankan prakteknya secara buruk, misalnya
profesi pengacara, profesi notaris. Hanya saja istilah malpraktek pada umumnya lebih sering
digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/ kedokteran. Begitu pula dengan istilah
malpraktek yang digunakan dalam skripsi ini juga dititikberatkan pada malpraktek bidang
kedokteran, karena inti yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan
rekam medis dalam pembuktian perkara pidana. Agar lebih terfokus serta tetap memiliki
keterkaitan dengan rekam medis, maka dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan
pidana yang dimaksud dalam tema skripsi ini, yaitu malpraktek di dalam bidang kedokteran.
Berkenaan dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan (kesengajaan/
kealpaan) para tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktek sesuai dengan standar
profesinya, saat ini masyarakat telah memenuhi pengetahuan serta kesadaran yang cukup
terhadap hukum yang berlaku, sehingga ketika pelayanan kesehatan yang mereka terima
dirasa kurang optimal bahkan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atau dianggap
telah terjadi malpraktek kedokteran, masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana
pelayanan kesehatan maupun kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas
kerugian yang mereka derita.
BAB.11.
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien
saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan
dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini
maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
Administrative malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga
perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk
menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.
Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat
dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam
ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider
baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub
ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige
daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum,
kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi
termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang
patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad
31 Januari 1919).
3.2. Malpraktek Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.
Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap
bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun,
materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang
dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi
disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke
Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini
sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia
berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR
yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-
Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan
tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan
medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak
perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang
motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis
Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk
menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ?
Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya,
karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat,
serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang
menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur,
adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri
sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung
terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga
untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk
diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk
dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang
disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada
ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran
hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang
lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat
lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April
2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum
positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga
referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang
relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er
besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus
malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi,
benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan
kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.
Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang
implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan.
RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis
yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat
dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta
peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
3.3 Aspek Hukum Malpraktek
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua
sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan,
dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan
yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya
untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik
medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama
sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat
dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga
medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai
sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat
ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat
akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90
KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik
sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2
pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal
360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah
jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang
dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik
medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau
hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan
pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional,
kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan
kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan
prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana.
Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat
malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan
idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat
malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure
pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang
melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam
hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang
mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan
unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran
maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian
karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi
dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim
dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum
dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal
terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan
komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya
kelalain pada dirinya.
Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan
perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat
luas (termasuk klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu
sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu "sesuai dengan tempat dan waktu",
sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela
berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan
agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan
pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan
tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak
untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang memiliki reputasi cukup baik. Jangan
hanya mempertimbangkan jarak dengan rumah sebagai dasar memilih tempat berobat.
Jangan ragu memilih di tempat yang jauh asalkan reputasinya bagus, meskipun di
dekat rumah anda ada layanan kesehatan tetapi belum jelas reputasinya.
Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada dokter yang ditunjuk untuk menangani
pasien. Jangan ragu untuk meminta dokter yang anda percayai kepada pihak
manajemen, apalagi jika anda merasa ragu dengan dokter yang menangani pasien
yang anda bawa.
Jangan takut untuk bertanya kepada dokter mengenai tindakan medis yang dilakukan.
Menurut UU Kesehatan, keluarga pasien berhak tahu apa saja tindakan medis yang
dilakukan dokter kepada pasien. Jangan ragu untuk bertanya mengenai diagnosa,
dasar tindakan medis dan apa manfaat dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
tersebut.
Jangan takut untuk bertanya kepada dokter obat yang diberikan kepada pasien.
Sebagai keluarga, anda berhak tahu dan dilindungi oleh UU Kesehatan. Hal ini karena
tidak jarang ada oknum dokter hanya mengejar komisi dari perusahaan distributor
obat sehingga memberikan obat yang lebih banyak atau bahkan tidak diperlukan
kepada pasien.
Kecelakaan (hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab (single cause),
melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause). Suatu kesalahan manusia
(human error) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan
active error, yang mungkin kita sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus / presipitasi.
Sementara itu terdapat faktor-faktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau yang
biasa kita sebut sebagai predisposisi, underlying factors, faktor kontribusi, dll.
Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera
dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan,
seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan
keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk.
Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem
yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis
active errors. Latent errors tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar
dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek
kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act
(active error), maka terjadilah accident. Dengan demikian perlu kita pahami bahwa penyebab
suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.
Dengan demikian alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang
tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistemik, organisatoris dan manajerial,
sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya, juga secara sistemik. Dalam
diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa
akar penyebab tersebut, yaitu:
1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat
dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberikan materi etika
kedokteran sebagai materi yang juga mencakup afektif – tidak hanya kognitif.
2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam
pelayanan kedokteran khususnya.
4. Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di Indonesia, yang
terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan
pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman
tersebut.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan.
Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah
praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para
profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana”
dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM).
BAB. IV
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini
dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya
bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary
relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum
yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan
jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di
berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan
hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan
pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini
masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media
massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya
karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik
medik ini.
Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat
meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau
melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya
lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga
mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan
memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun
1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu
lewat peradilan profesi ini.
Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari
keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga
saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau
gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan
pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang
dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar
kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa
malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
4.2. Saran
Terhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak
hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun
menempuh ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan
gantirugi secara perdata.