Anda di halaman 1dari 3

Defensive Medicine: Jawaban Dokter Amerika terhadap Kasus dr.

Ayu

Latar Belakang

Dipenjaranya dr. Ayu, Sp.OG merupakan kasus yang sangat hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Kasus
ini mendapatkan tanggapan yang sangat luas, baik di pembicaraan dari mulut ke mulut hingga di media
maya seperti Kompasiana. Kasus ini juga mendapatkan pandangan beragam, dari positif (masyarakat)
hingga negatif (para dokter).

Para dokter (dan koleganya) bereaksi sangat keras terhadap keputusan Makamah Agung ini.
Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa reaksi para dokter tersebut sangatlah berlebihan.
Reaksi tersebut berkisar dari pemakaian pita hitam sampai dengan izin tidak praktek tiga hari untuk
turun ke jalan. Hal yang menjadi perhatian dokter adalah keputusan Mahkamah Agung ini dapat
menjadi preseden bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan kasus serupa.

Defensive Medicine: Jawaban Dokter Amerika terhadap Kasus dr. Ayu

Dengan adanya hak pasien untuk menggugat dokter, para dokter menimbulkan reaksi tertentu. Reaksi
jangka pendek tersebut adalah hal-hal yang disebutkan di atas. Reaksi jangka panjangnya adalah
timbulnya dan diterapkannya Defensive Medicine atau Defensive Medical Decision Making
(selanjutnya kita sebut dengan DMDM).

Defensive medicine occurs when doctors order tests, procedures, or visits, or avoid high-risk patients or
procedures, primarily (but not necessarily or solely) to reduce their exposure to malpractice liability.

(Congressional Office of Technology Assessment, 1994)

Intinya, DMDM bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadi kasus hukum baik pidana maupun
perdata terhadap dokter. DMDM sendiri ada yang bersifat aktif dan bersifat pasif. DMDM aktif
meliputi permintaan prosedur tambahan. Sedangkan DMDM pasif meliputi menghindari pasien dengan
risiko tinggi untuk menimbulkan kasus hukum.

Active Defensive Medicine (ADM)

ADM meliputi tindakan-tindakan yang bersifat lebih untuk menghindari gugatan hukum. ADM dapat
berupa permintaan prosedur yang berlebihan dan pengkakuan informed consents (persetujuan tindakan
medis).

Kasus 1: Seorang pasien datang kepada dokter dengan keluhan nyeri dada. Dokter mendiagnosisnya
dengan kasus gangguan pencernaan. Dokter tersebut menyarankan untuk mengubah pola makan dan
memberinya obat. Akan tetapi, karena ekspresi pasien yang sedemikian rupa, dokter tersebut memiliki
pikiran lain untuk melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menghilangkan diagnosis banding
penyakit jantung, walaupun diagnosisnya sudah tepat dan pemeriksaan tersebut tidak diperlukan.

Pada kasus di atas, dokter tersebut telah melakukan defensive medicineuntuk menghindari gugatan
hukum. Setiap pemeriksaan memiliki spesifisitas dan sensitivitas masing-masing dan memang benar
apabila pemeriksaan tersebut dilakukan semua akan menyebabkan diagnosis yang lebih akurat. Akan
tetapi, semakin banyak pemeriksaan dilakukan maka pertambahan tingkat keakuratan berkurang,
sehingga proses menjadi tidak efisien alias cost effectiveness rendah. Akibatnya, biaya kesehatan akan
meningkat. Hal senada juga diungkapkan pada artikel ini. Selain itu, banyaknya pemeriksaan
akan mempengaruhi tingkat keselamatan pasien, terutama pada kasus yang dapat menimbulkan
disabilitas permanen dan juga peningkatan penggunaan alat pemeriksaan (demand) yang
mengakibatkan tarif pemeriksaan naik dan adanya pasien penting yang tidak terlayani. Di Amerika
Serikat, perilaku ini telah menghabiskan puluhan juta dollar.

Kasus 2: Seorang pasien kegawatan datang bersama keluarganya kepada dokter di ruang UGD. Pasien
tersebut telah mengalami shock hipovolemia dengan tampang tidak sadarkan diri dan tekanan darah
70/50 sehingga membutuhkan transfusi darah segera. Setelah pemeriksaan awal tersebut, dokter
melakukan inform-consent panjang lebar yang mencangkup hasil diagnosa, tindakan, dan alternatifnya
serta risiko yang ditimbulkan. Setelah inform-consent yang lama selesai, pasien tersebut meninggal
dunia akibat shock hipovolemia dan tindakan belum sempat dilakukan.

Pada kasus di atas, dokter tersebut telah melakukan defensive medicine dengan meminta aspek
medikolegal dari suatu tindakan. Aspek medikolegal yang diminta oleh dokter tersebut antara
lain inform-consent yang terdiri atas inform (pemeriksaan/tindakan yang dilakukan, tujuan, prosedur
serta risiko) dan consent. Dokter tersebut bersikukuh untuk aspek medikolegal yang lengkap sehingga
tidak dipersalahkan ketika berada di gugatan hukum. Dampak negatif dari hal ini sudah tampak pada
kasus. Hal ini diakibatkan oleh kasus dr. Ayu yang didasarkan fakta bahwa klausa emergensi pada
peraturan menteri yang jelas 'melempem' (tidak berefek) dibandingkan klausa malapraktik yang diatur
pada undang-undang kesehatan. Hal ini sebenarnya jelas karena di dalam hukum, peraturan yang lebih
tinggi (dalam hal ini UU Kesehatan) akan berprioritas jika bertentangan dengan peraturan di bawahnya
(Peraturan Menteri).

Passive Defensive Medicine (PDM)

PDM meliputi aspek menghindari pasien berisiko tinggi melakukan penuntutan. Hal ini bisa dilakukan
dengan menghindari secara langsung pasien dengan risiko tinggi dan menghindari bekerja di bagian
yang menangani pasien berisiko tinggi. Contoh kasus untuk menghindari secara langsung pasien
dengan risiko tinggi adalah sebagai berikut.

Kasus 3: (...dalam era BPJS,) dokter A mengatakan kepada pasien, "Jadi saya sudah menemukan bahwa
bapak sebaiknya saya kirim kepada dokter B karena ketiadaaan alat dan pemeriksaan di sini." Dokter A
berkata dalam hati, "...faktor risiko banyak, merokok iya, kurang olahraga iya, konsumsi alkohol iya
(...) dari pada saya disuruh tanggung jawab nantinya lebih baik saya berikan ke dokter lain saja."

Kasus 4: Seorang pasien datang kepada dokter B. Pada saat anamnesis, pasien mengaku berprofesi
sebagai *sensor*. Kemudian dokter tersebut berkata, "Maaf. Saya tidak melayani Anda karena
kurangnya alat pemeriksaan, Anda dapat pindah mencari dokter lain." Padahal dokter tersebut menolak
karena pasien tersebut terkenal dalam hal memperkarakan dokter.

Kasus 5: Seseorang jatuh di lapangan tidak sadarkan diri. Anda, seorang dokter yang tengah melintas,
melakukan pemeriksaan awal dan menemukan bahwa orang tersebut tidak bernapas dan tidak memiliki
nadi. Dokter tersebut kemudian berpikir jika dia memberikan bantuan (cardio-pulmonary resuscitation)
dan gagal, kemungkinan besar dia akan dituntut. Kemudian dokter tersebut hanya memanggil ambulans
tanpa melakukan resusitasi walaupun telah bersertifikat pelatihan kegawatan dalam cardio-respiratori.
Korban meninggal sesaat kemudian di perjalanan dengan ambulans.
PDM juga dapat dilakukan dengan menghindari bekerja di bagian yang menangani pasien berisiko
tinggi. Tempat yang dianggap berisiko tinggi antara lain Sp.OG (Kebidanan) dan Spesialis Bedah (dan
subbagiannya atau yang terkait). Hal ini menyebabkan penurunan peserta program pendidikan spesialis
tersebut dan berlanjut kepada kurangnya lulusan/jumlah dokter-dokter spesialis tersebut. Hal ini dapat
mengakibatkan banyak hal seperti lambatnya penanganan, turunnya konsentrasi
dokter, dan meningkatkan angka kematian akibat kurangnya kuantitas. (Saya adalah salah seorang yang
tidak mau mengambil spesialisasi bedah akibat hal di atas.)

Penutup

Akhir kata, praktik defensive medicine merupakan reaksi jangka panjang atas kasus tuduhan
malapraktik yang dilakukan oleh dokter. Defensive medicine memiliki pengaruh yang besar terhadap
tenaga kesehatan dan pasien. Penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila ada pihak-pihak
yang kurang sependapat dengan apa yang saya tulis. Terima Kasih.

Anda mungkin juga menyukai