Anda di halaman 1dari 17

Nama : 1.

Retno Vanisa

2. Ramadhan Hadi Prasetyo

Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak PPh Badan

1. Pengertian Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan

Pengertian Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan Dalam Perhitungan SPT Tahunan PPh Badan

Pengertian Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan Dalam Perhitungan SPT Tahunan PPh Badan :

Pengertian Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak Badan memiliki dua pengertian, yaitu :

Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, adalah sebagai berikut :

Peredaran Bruto adalah penghasilan atau omzet atau penghasilan bruto dari usaha, tidak
termasuk :

penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (khusus untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi).

penghasilan selain dari usaha atau penghasilan luar usaha/penghasilan lain-lain.

penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.

penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan yang bukan objek pajak
penghasilan.

Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 digunakan untuk perhitungan PPh Badan sebagai berikut :

Peredaran Bruto dengan pengertian tersebut diatas digunakan untuk melihat apakah Peredaran
Bruto berjumlah tidak melebihi Rp.4.800.000.000,-

Apabila Peredaran Bruto Tahun Pajak berjalan berjumlah tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- ,
maka perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember Tahun
berikutnya dihitung sebagai PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu sebesar 1 % (mulai 1 Juli 2018 tarif pajak
sebesar 0,5 %) dari Peredaran Bruto tersebut diatas dengan Kode Jenis Setoran Pajak 411128-
420 (PPh Pasal 4 ayat 2).

Apabila Peredaran Bruto Tahun Pajak berjalan berjumlah melebihi Rp.4.800.000.000,- , maka
perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember Tahun berikutnya
dihitung sebagai PPh Pasal 25 yaitu berdasarkan perhitungan PPh Pasal 25 SPT Tahunan PPh
Badan tersebut diatas dengan Kode Jenis Setoran Pajak 411125-100 .

Contoh apabila peredaran usaha bruto Tahun Pajak 2017 jumlahnya Rp.1.200.000.000,00 (satu
milyar dua ratus juta rupiah), maka untuk masa pajak Januari sd Juni 2018, PPh Pasal 25
dihitung sebesar 1% x Peredaran Usaha Bruto dan masa pajak Juli sd Desember 2018 PPh Pasal
25 dihitung sebesar 0,5 % x Peredaran Usaha Bruto setiap bulan dan disebut dengan PPh Pasal 4
ayat 2 berdasarkan PP nomor 46 Tahun 2013 dan PP Nomor 23 Tahun 2018.

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan, adalah sebagai berikut :

Peredaran Bruto adalah Semua penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik
yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, meliputi :

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Final.

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Tidak Bersifat Final.

Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan.

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan digunakan untuk perhitungan PPh Badan sebagai berikut :

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
penghasilan digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan Badan yang terutang bagi
Wajib Pajak Badan yang tidak termasuk dalam Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013 dan PP Nomor
23 Tahun 2018.

Contoh apabila perdaran usaha bruto Tahun Pajak 2017 jumlahnya Rp.5.200.000.000,00 (lima
milyar dua ratus juta rupiah), maka untuk masa pajak Januari sd Desember 2018, PPh Pasal 25
dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2017.

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Artikel Tentang PPh Badan


Referensi :

Pasal 17 dan 31 E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tanggal 08 Juni 2018 Tentang PPh Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu

PP Nomor 46 Tahun 2013 Tanggal 12 Juni 2013 Tentang PPh Atas Penghasilan Dari Usaha Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

SE-66/PJ/2010 Tanggal 24 Mei 2010 Tentang Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat 1
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

Pengertian Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan Dalam Perhitungan SPT Tahunan PPh Badan
Untuk Tahun Pajak 2013

Pengertian Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2013 memiliki dua
pengertian, yaitu :

Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, adalah sebagai
berikut :

Peredaran Bruto adalah penghasilan dari usaha, tidak termasuk :

penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

penghasilan selain dari usaha atau penghasilan luar usaha/penghasilan lain-lain.

penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.

penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak/bukan objek pajak.

Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 digunakan untuk
perhitungan PPh Badan sebagai berikut :

Peredaran Bruto dengan pengertian tersebut diatas digunakan untuk melihat apakah Peredaran
Bruto Tahun Pajak 2012 berjumlah tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- atau melebihi.
Apabila Peredaran Bruto Tahun Pajak 2012 berjumlah tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- , maka
perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli sampai dengan Desember 2013 dihitung
sebagai PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu sebesar 1 % dari Peredaran Bruto tersebut diatas.

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan, adalah sebagai :

Peredaran Bruto adalah Semua penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik
yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, meliputi :

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Final.

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Tidak Bersifat Final.

Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
digunakan untuk perhitungan PPh Badan sebagai berikut :

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan Badan yang terutang bagi Wajib Pajak
Badan yang tidak termasuk dalam Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013 untuk masa pajak Januari
sampai dengan Desember 2013.

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan Badan yang terutang bagi Wajib Pajak
Badan yang termasuk dalam Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013 untuk masa pajak Januari sampai
dengan Juni 2013.

Cara perhitungan Pajak Penghasilan Badan dengan Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan
31E UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan adalah sama dengan perhitungan Pajak
Penghasilan Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2010, 2011 dan 2012.

Referensi :

Pasal 17 dan 31 E UU no.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)

PP Nomor 46 Tahun 2013 Tanggal 12 Juni 2013 Tentang PPh Atas Penghasilan Dari Usaha Yang
Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Surat Edaran Dirjend Pajak No.66/PJ./2010 tentang Penegasan atas pelaksanaan UU No.36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Pengertian Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan Dalam Perhitungan SPT Tahunan PPh Badan
Untuk Tahun Pajak 2010, 2011 dan 2012

Dalam perhitungan PPh Badan untuk SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2012, Tahun Pajak
2011, dan Tahun Pajak 2010 pengenaan tarif pajak Pasal 17 dan 31E UU No.36 Tahun 2008
adalah berdasarkan besarnya Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan yang bersangkutan.

Pengertian Peredaran Bruto/Omzet/Pendapatan tersebut adalah :

Semua penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari
Indonesia maupun luar Indonesia, meliputi :

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Final

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Tidak Bersifat Final

Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak

Penghasilan tersebut adalah penghasilan dari usaha pokoknya saja tidak termasuk penghasilan
luar usaha/penghasilan lain-lain.

Contoh :

Untuk Tahun Pajak 2012 PT.Maju Jaya Selalu memiliki kegiatan usaha sebagai berikut :

Peredaran Usaha Bruto/Pendapatan Bruto/Omzet Bruto dari Usaha Percetakan selama tahun
2012 adalah sebesar Rp.3.000.000.000,-

Peredaran Usaha Bruto/Pendapatan Bruto/Omzet Bruto dari Usaha Jasa Konstruksi selama
tahun 2012 adalah sebesar Rp.1.500.000.000,-

Pada bulan Mei Tahun 2012 PT.Maju Jaya Selalu mendapatkan Dividen dari PT.Muara Mesin
Abadi senilai Rp.1.000.000.000,- (penyertaan modal 40 %)

Maka peredaran usaha bruto/pendapatan bruto/omzet bruto PT.Maju Jaya Selalu untuk Tahun
Pajak 2012 adalah sebesar :

a. Peredaran Usaha Bruto Usaha Percetakan (non final) = 3.000.000.000

b. Peredaran Usaha Bruto Jasa Konstruksi (Final) = 1.500.000.000


c. Pendapatan dari Dividen (bukan objek pajak) = 1.000.000.000 +

Total Peredaran Usaha Bruto = 5.500.000.000

Referensi :

Pasal 17 dan 31 E UU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

Surat Edaran Dirjend Pajak No.66/PJ./2010 tentang Penegasan atas pelaksanaan UU No.36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

2.Pengertian Penerimaan Bantuan Atau Sumbangan Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak
Badan

Pengertian Penerimaan Bantuan Atau Sumbangan Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak Badan
dan Wajib Pajak Orang Pribadi

Pengertian Penerimaan Bantuan Atau Sumbangan Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak Badan
dan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah sebagai berikut :

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima merupakan objek pajak sepanjang
diterima dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau
hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Contoh bagi Wajib Pajak Badan:

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi.

PT Sahara Ban Jaya sebagai produsen Ban yang membutuhkan bahan baku utamanya berupa
karet.

PT Karet Makmur Sentosa adalah perusahaan yang mempunyai usaha penjualan karet.

Apabila PT Karet Makmur Sentosa memberikan sumbangan bahan baku berupa karet kepada PT
Sahara Ban Jaya, maka sumbangan bahan baku berupa karet yang diterima oleh PT Sahara Ban
Jaya merupakan objek pajak penghasilan.

Contoh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi.

Tukijo mempunyai usaha Kayu Lapis yang membutuhkan bahan baku utamanya berupa Kayu
Albasia.
Kresna Dipayana mempunyai usaha penjualan Kayu Albasia.

Apabila Kresna Dipayana memberikan sumbangan Kayu Albasia kepada Tukijo, maka sumbangan
Kayu Albasia yang diterima oleh Tukijo merupakan objek pajak penghasilan.

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Artikel Tentang PPh Badan

Artikel Tentang PPh Orang Pribadi

Artikel Tentang Pajak

Referensi :

Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

3.Objek Pajak Penghasilan PPh Wajib Pajak Badan Non Final

Objek Pajak Penghasilan PPh Wajib Pajak Badan Non Final

Yang menjadi objek pajak penghasilan non final bagi wajib pajak badan dalam pengisian SPT
Tahunan PPh Badan adalah sebagai berikut :

Untuk perusahaan dagang adalah penjualan bruto dan komisi penjualan.

Untuk perusahaan industri adalah penjualan bruto dan penjualan by product (barang sisa dalam
proses produksi).

Untuk perusahaan jasa angkutan adalah pendapatan bruto atau setoran sopir.

Untuk perusahaan bank adalah pendapatan bunga (pinjaman), provisi, administrasi lain, denda
keterlambatan angsuran, sewa safety box, pengelolaan wealth managemen dan penghasilan
lain sehubungan dengan usaha perbankan.

Untuk perusahaan jasa (hotel dll) penghasilan bruto jasa.

Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar
dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar
pengembalian tersebut merupakan penghasilan

Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

Dividen dengan syarat :

Dividen tidak berasal dari cadangan laba yang ditahan.

Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen kurang dari 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor

Firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan
berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak

Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak,
misalnya sewa mobil (kecuali tanah dan bangunan karena merupakan objek pajak penghasilan
final).

Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil
misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha
Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai
dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.

Keuntungan selisih kurs mata uang asing.

Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

Premi asuransi termasuk premi reasuransi.

Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai


ketentuan umum dan tata cara perpajakan .

Surplus Bank Indonesia.

Pendapatan Klaim Asuransi (Kebakaran, kehilangan dan lain-lain)

Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan tersebut diatas dan memenuhi syarat sesuai PP
(Peraturan Pemerintah) nomor 46 Tahun 2013 Tentang PPh Pasal 4 ayat 2 Final sebesar 1 % Atas
Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 Final sebesar 1 % x
Omzet setiap bulan.

Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan tersebut diatas dan tidak memenuhi syarat
sesuai PP (Peraturan Pemerintah) nomor 46 Tahun 2013 Tentang PPh Pasal 4 ayat 2 Final
sebesar 1 % Atas Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu atau dengan kata lain dikenakan
Pajak Penghasilan non final (Tarif Pajak Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
PPh) adalah :

Wajib Pajak Badan dengan peredaran usaha tahun sebelumnya melebihi Rp.4.800.000.000,00.
Wajib Pajak Badan berbentuk BUT (Bentuk Usaha Tetap).

Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial.

Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu satu tahun sejak beroperasi memperoleh
pendapatan lebih dari Rp.4.800.000.000,00

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Artikel Tentang PPh Badan

Artikel Tentang Pajak

Referensi :

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

PP 46 Tahun 2013 Tentang PPh Pasal 4 ayat 2 Final sebesar 1 % Atas Wajib Pajak dengan
Peredaran Bruto Tertentu

4.Objek Pajak Penghasilan PPh Pasal 4 (2) Final Untuk SPT Tahunan PPh Badan

Objek Pajak Penghasilan PPh Pasal 4 (2) Final Untuk SPT Tahunan PPh Badan

Yang menjadi objek pajak penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak Badan antara lain :

Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan

Penghasilan berupa diskonto SBI/SBN.

Penghasilan berupa bunga/diskonto obligasi.

Penghasilan berupa bunga surat utang negara,

Penghasilan berupa hadiah undian.

Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya yang diperdagangkan dibursa efek.

Penghasilan dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.

Penghasilan usaha penyalur/dealer/agen produk BBM.

Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan


Penghasilan dari usaha jasa konstruksi,

Penghasilan dari usaha real estate.

Penghasilan dari usaha persewaan tanah dan/atau bangunan.

Penghasilan dari perwakilan dagang asing.

Penghasilan dari usaha pelayaran/penerbangan asing.

Penghasilan dari usaha pelayaran dalam negeri.

Penghasilan dari penilaian kembali aktiva tetap

Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Penghasilan tertentu lainnya antara lain Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 dengan tarif pajak penghasilan sebesar 1 % dari omzet setiap
bulan (mulai 1 Juli 2018 diganti dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 dengan tarif pajak penghasilan
sebesar 0,5 % dari omzet setiap bulan).

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Artikel Tentang PPh Badan

Artikel Tentang PPh Pasal 4 Ayat 2

Referensi :

Pasal 4 (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tanggal 08 Juni 2018 Tentang PPh Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu

PP 46 Tahun 2013 Tanggal 12 Juni 2013 Tentang PPh Pasal 4 ayat 2 Final sebesar 1 % Atas Wajib
Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

5. Pengertian Penerimaan Hibah Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak
Orang Pribadi

Pengertian Penerimaan Hibah Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak
Orang Pribadi adalah sebagai berikut :
Harta hibahan bagi pihak yang menerima merupakan objek pajak apabila diterima bukan oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan Badan sepanjang diterima dalam
rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Contoh Hibah Sebagai Objek Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi antara lain :

Aditya memberikan rumah kepada kakak kandungnya, maka atas transaksi tersebut terdapat
objek pajak penghasilan, yaitu dianggap atas pemberian tersebut Aditya memperoleh
penghasilan karena merupakan transaksi penjualan sehingga dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Contoh Hibah Sebagai Objek Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan antara lain :

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT
Abadi Jaya Makmur adalah pemegang saham sebesar 90 % saham PT Bumi Banyumas Raya.
Apabila PT Bumi Banyumas Raya memberikan truk kepada PT Abadi Jaya Makmur, maka
sumbangan Truk yang diterima tersebut oleh PT Abadi Jaya Makmur merupakan objek pajak
penghasilan.

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Artikel Tentang PPh Badan

Artikel Tentang PPh Orang Pribadi

Artikel Tentang Pajak

Referensi :

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

6. Bantuan/Sumbangan Bukan Objek Pajak PPh

Pengertian Penerimaan Bantuan Atau Sumbangan Bukan Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak
Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah :

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang
diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau
hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud
dengan “zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai zakat.

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Artikel Tentang PPh Badan

Artikel Tentang PPh Orang Pribadi

Referensi :

Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

7. Pengertian Hibah Bukan Sebagai Objek Pajak PPh

Pengertian Penerimaan Hibah Bukan Sebagai Objek Pajak Penghasilan (PPh) Bagi Wajib Pajak
Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah :

Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh)
apabila diterima oleh :

Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat

Badan keagamaan

Badan pendidikan

Badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Sehingga apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut diatas, maka hibah yang diterima oleh
Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi merupakan objek pajak penghasilan (PPh).
Artikel Yang Perlu Diketahui :

Artikel Tentang PPh Badan

Artikel Tentang PPh Orang Pribadi

Artikel Tentang Pajak

Referensi :

Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)

8. Pengertian Badan Pendidikan Yang Menerima Harta Hibahan Bukan Sebagai Objek Pajak

Badan Pendidikan Yang Menerima Harta Hibahan Bukan Sebagai Objek Pajak adalah badan yang
memenuhi syarat sebagai berikut :

Badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan formal


tingkat taman kanak-kanak dan/atau tingkat dasar dan/atau tingkat menengah dan/atau
perguruan tinggi, yang tidak mencari keuntungan.

Badan tersebut wajib membukukan harta hibahan yang diterimanya berdasarkan nilai buku
pihak pemberi hibah atau nilai lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

Antara pemberi hibah dengan penerima hibah tidak ada hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan.

Kegiatan dari badan atau yayasan tersebut dalam kenyataannya tidak mencari keuntungan.

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Kamus Istilah Yang Digunakan Dalam Akuntansi, Bisnis, Ekonomi dan Pajak

Artikel Tentang PPh Badan

Referensi :

Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)
Keputusan Menteri Keuangan nomor 604/KMK.04/1994 Tanggal 21 Desember 1994 Tentang
Badan-Badan dan Pengusaha Kecil Yang Menerima Harta Hibahan Yang Tidak Termasuk Sebagai
Objek Pajak Penghasilan.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE-05/PJ.04/1995 tentang Badan-badan dan pengusaha
kecil yang menerima harta hibahan yang tidak termasuk sebagai objek penghasilan.

9. Pengertian Kurs dan Jenis Kurs

Pengertian Kurs

Pengertian Kurs adalah Nilai tukar antar mata uang suatu Negara atau Harga sebuah Mata Uang
dari suatu negara yang diukur atau dinyatakan dalam mata uang dari Negara lainnya.

Contoh Perhitungan Kurs :

1 $ (satu dolar Amerika Serikat) mempunyai nilai kurs terhadap rupiah = Rp.9.000,- (Sembilan
ribu rupiah)

Dapat diartikan bahwa apabila 1 $ (satu Amerika) ditukar dengan Rupiah maka yang menukar
tersebut akan mendapatkan Rp.9.000,- (Sembilan ribu rupiah). Atau sebaliknya apabila
Rp.9.000,- (Sembilan ribu rupiah) ditukar dengan dolar amerika maka akan mendapatkan 1 $
(satu dolar Amerika Serikat)

Jenis-Jenis Kurs antara lain :

Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara berkala dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

Saat ini Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan diterbitkan satu minggu sekali.

Kurs ini digunakan untuk menghitung besarnya dasar pengenaan pajak atau objek pajak serta
besarnya pajak yang terutang.

Jenis Pajak yang dihitung berdasarkan Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan antara lain :

PPh Pasal 21dan PPh Pasal 26 yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh penerima
penghasilan yang diterima dalam bentuk mata uang asing (Valuta Asing).

Bea Masuk, PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor dan PPnBM Impor yang dikenakan terhadap Impor
Barang yang biasanya menggunakan mata uang asing (Valuta Asing).
PPN yang dikenakan atas transaksi yang terjadi didalam negeri yang menggunakan mata uang
asing (Valuta Asing).

Contoh Penggunaan Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan adalah sebagai berikut :

CV.Angin Senja melakukan penjualan komputer dengan harga jual $ 1.000 dengan Nilai kurs
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan adalah $ 1 = Rp.14.000,-

Maka Harga Jual sebagai dasar pengenaan pajak adalah sebesar :

1.000 x Rp.14.000,00 = Rp.14.000.000,00

PPN : 10 % x Rp.14.000.000,00 = Rp.1.400.000,00

Kurs Realisasi

Nilai kurs berdasarkan nilai tukar di tempat penukaran mata uang asing atau tempat dimana
orang/perusahaan yang mempunyai mata uang asing/rupiah dapat menukarkan dengan mata
uang lain (misal di Money Changer atau Bank)

Nilai kurs ini digunakan untuk menghitung besarnya realisasi penerimaan dalam mata uang
rupiah atau sebaliknya.

Contoh penggunaan Kurs Realisasi adalah sebagai berikut :

CV.Angin Senja melakukan penjualan komputer dengan harga jual $ 1.000 dengan Nilai kurs
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan adalah $ 1 = Rp.14.000,00

Maka Harga Jual sebagai dasar pengenaan pajak adalah sebesar :

1.000 x Rp.14.000,00 = Rp.14.000.000,00

PPN : 10 % x Rp.14.000.000,00 = Rp.1.400.000,00

Apabila ternyata atas $ 1.000 tersebut ditukarkan dengan mata uang rupiah (kurs realisasi)
sebesar $ 1 = Rp. 14.500,00 sehingga diperoleh Rp.14.500.000,00 maka selisih tersebut
merupakan pendapatan atas selisih kurs yaitu Rp.500.000,00 (14.500.000 - 14.000.000)

Kurs Tengah Bank Indonesia (BI)

Kurs Tengah BI diterbitkan oleh Bank Indonesia setiap hari.

Nilai kurs ini digunakan juga untuk mencatat posisi kas, bank dan aktiva serta pasiva lain yang
dicatat atau diperoleh dengan mata uang asing pada Neraca per 31 Desember. Jadi pada tanggal
31 Desember posisi kas, bank dan aktiva serta pasiva lain yang berbentuk mata uang asing
dilakukan penilaian sesuai nilai kurs pada hari itu.

Artikel Yang Perlu Diketahui :

Kamus Istilah Yang Digunakan Dalam Akuntansi, Bisnis, Ekonomi dan Pajak

Artikel Tentang PPh Badan

Referensi :

PSAK 10 (Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh

Anda mungkin juga menyukai