Anda di halaman 1dari 23

Definisi

 Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin darah dibawah normal sesuai usia dan jenis kelamin.

 Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.

Kriteria anemia menurut WHO:

NO KELOMPOK KRITERIA ANEMIA

1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl

2. Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl

3. Wanita hamil < 11 g/dl

4. Anak 6bln s/d 6 thn <11 g/dl

5. Anak 6 tahun s/d 14 tahun <12 g/dl

Klasifikasi anemia:

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi.

Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.

No Morfologi Sel Keterangan Jenis Anemia

1. Anemia makrositik - Bentuk eritrosit yang besar - Anemia Pernisiosa


normokromik dengan konsentrasi hemoglobin
- Anemia defisiensi folat
yang normal

2. Anemia mikrositik - Bentuk eritrosit yang kecil - Anemia defisiensi besi


hipokromik dengan konsentrasi hemoglobin
- Anemia sideroblastik
yang menurun

- Thalasemia
3. Anemia normositik - Penghancuran atau penurunan - Anemia aplastik
normokromik jumlah eritrosit tanpa disertai
- Anemia posthemoragik
kelainan bentuk dan konsentrasi
hemoglobin - Anemia hemolitik

- Anemia Sickle Cell

- Anemia pada penyakit kronis

Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan produksi sel darah merah
pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan
penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis).

1. Hipoproliferatif

Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia hipoproliferatif ini dapat disebabkan
karena:

a. Kerusakan sumsum tulang

Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia, limfoma), dan
aplasia sumsum tulang.

b. Defisiensi besi

c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat

Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal

d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya: interleukin 1)

e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid)

Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula ditemukan gambaran
eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua
keadaan tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.

Defisiensi besi Inflamasi

Fe serum Rendah Rendah


TIBC Tinggi Normal atau rendah

Saturasi transferin Rendah Rendah

Feritin serum Rendah Normal atau tinggi

2. Gangguan pematangan

Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang “rendah”, gangguan morfologi sel
(makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan
menjadi 2 macam yaitu:

a. Gangguan pematangan inti

Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari gangguan
pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi
metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.

b. Gangguan pematangan sitoplasma

Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik. Penyebab dari
gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada
thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik)

3. Penurunan waktu hidup sel darah merah

Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan ini akan didapatkan
peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum
ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan
eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai
anemia defisiensi besi.

Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada anemia hemolisis
kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan
karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti
splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat
terjadi secara episodik (self limiting).
Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit

Klasifikasi derajat defisiensi besi :

Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:

1. Deplesi besi (iron depleted state)


Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus,
dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter
lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.

Gambar 7:
Gambaran apus
sumsum tulang
penderita anemia
defisiensi besi
3. Anemia defisiensi
besi

Bila besi terus


berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin menurun
diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat
ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga menimbulkan
berbagai gejala.
Sintesis hemoglobin :

Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal dari siklus krebs
berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung membentuk
protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan besi membentuk senyawa heme.
Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin)
sehingga terbentuk rantai hemoglobin. Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit
tergantung susunan asam amino pada polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak
terdapat pada orang dewasa adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai α dan 2 rantai β). Tiap
sub unit mempunyai molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4
atom besi. Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2).

Gambar 6: pembentukan hemoglobin


Metabolisme besi (Fe):

Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita)
hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi fungsional, seperti
hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan 80 % dari total besi yang
terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh,
seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin.

Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:

1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari kandungan
besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari
kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum
sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi
(meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).

Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase:

o Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan
heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan
penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian
kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel
absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam
lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme
mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat
dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal
mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap
meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush
border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui
membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2).
Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri.
Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus,
sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui basolateral transporter
(ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero
menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin dalam
kapiler usus.

Gambar 4: proses absorbsi besi


o Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel
yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
o
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan
berikatan dengan suatu glikoprotein (β-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar
(transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan.
Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor
eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin
yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke
dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan
baku pembentukan hemoglobin.
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi-apoferitin) dan
hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan otot skelet. Pada
hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan
pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag
monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan
apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut
(hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin,
tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma,
bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.

Gambar 5: distribusi
besi dalam tubuh

Hematopoesis :
Proses
pembentukan sel-sel
darah matur dari sel
stem (sel induk) dalam
jaringan hemopoetik.

Hematopoesis prenatal:
o Fase mesoblastik : minggu kedua masa gestasi (yolk sac)
o Fase hepatik : minggu ke enam sampai bulan kedua gestasi.
Setelah bulan kedua hemopoesis di limpa.
o Fase mieloid : mulai bulan keempat “primitive” bone marrow merupakan lokasi
predominan hemopoesis.
Hemopoesis pada orang dewasa :
 Bone marrow terdapat pada bagian proksimal tulang panjang dan spongiosa vertebrae,
costae dan sternum (jaringan hemopoetik intramedular)
 Walaupun hepar dan lien secara normal tidak berpartisipasi dalam hemopoesis dewasa
tapi apabila terdapat kerusakan hebat pada BM maka hemopoesis ekstramedullar ini
aktif lagi .

Sel stem hemopoetik:


Sel induk dari semua sel darah matur. Secara morfologis dan sitokimia tidak dapat
dibedakan dengan sel progenitor (sel prekusor/bentuk blast sudah dapat dikenali dengan
mikroskop cahaya). Mayoritas dalam keadaan dormant dan hanya berjumlah 0,02% dari total
populasi sel sel berinti dalam BM.

Hemopoesis:

Eritropoesis,
Granulopoesis,
Limfopoesis,
Trombopoesis
Seri eritrosit :

Proeritroblast (rubiblast):

Inti : Besar, bentuk bulat,


warna merah dengan kromatin
halus, anak inti 2-3 buah

Sitoplasma: Biru, terdapat halo


disekitar inti

Basophilic erithroblast
(Prorubrisit) :

Inti : Bulat, kromatin mulai


kasar, anak inti tidak terlihat lagi

Sitoplasma : warna biru, lebih


pucat dari rubiblast

Polycromatic eritrobast (Rubrisit) :


Inti : lebih kecil dari inti prorubrisit, kromatin kasar dan menggumpal

Sudah terjadi pembentukan Hb.

Orthocromatic eritroblast (Metarubrisit) :

Inti : bulat, kecil, struktur kromatin paat, warna biru gelap

Sitoplasma : merah kebiruan

Polychromatopilic eritroblast (Eritrosit polikrom/Retikulosit):

Bentuk bulat dengan tepi rata, tidak ada inti dan sitoplasma kemerahan

Epidemiologi :

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik
maupun di masyarakat. Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa
bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan
dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB
juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang
tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri.
Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB . Angka kejadian anemia defisiensi besi
(ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak
balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.
Afrika Amerika latin Indonesia

Laki dewasa 6% 3% 16-50%

Wanita tidak hamil 20% 17-21% 25-48%

Wanita hamil 60% 39-46% 46-92%

Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah perdarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu,
pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.

Etiologi :

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun :

a. Saluran cerna : tukak peptik, ca lambung, ca colon, divertikulosis,

hemmoroid dan infeksi cacing tambang.

b. Saluran genitalia wanita : menoragia, metrorhagia

c. Saluran kemih : hematuria

d. Saluran napas : hemoptoe

2. Faktor nutrisi :

a. Akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan

b. Kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik.

3. Kebutuhan besi meningkat :

a. Prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan


4. Ganggguan absorpsi besi :

a. Gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.

Patogenesis anemia defisiensi besi :

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin


menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila
kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum
terjadi, keadaan ini disebut iron deficient eritropoesis. Selanjutnya timbul anemia
hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency anemia. Pada saat ini terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala
pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.

Gejala anemia defisiensi besi :

Digolongkan menjadi 3 golongan besar:


1. Gejala Umum anemia (anemic syndrome)
Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah, lesu, cepat
lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi penurunan Hb terjadi
secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu mencolok.
2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain:
 Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal)
 Atrofi papil lidah
 Cheilosis (stomatitis angularis)
 Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi pembentukan
web
 Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria
Kumpulan gejala anemia hipokrom-mikrositer, disfagia, dan atrofi papil lidah, disebut
Sindroma Plummer Vinson atau Paterson Kelly.
3. Gejala akibat penyakit dasar
Misalnya, anemia akibat cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan
kulit telapak tangan kuning seperti jerami dan gangguan BAB pada anemia karena Ca-
colon.
Pemeriksaan penunjang
 Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemogglobin mulai dari ringan
sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV <70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi
dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama.
Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Penigkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan
RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk
membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis ini
hasilnya sering tumpang tindih.

Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memaki angka <80fl, tapi pada penilitian ADB di Bagian
Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah <78fl memberi sensitivitas dan
sfesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV,MCH,MCHC dan RDW makin
meningkatkan spesifisitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit selalu dapat mengalami perubahan sebelum
kadar hemoglobin menurun.
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poiklilositosis.
Makin berat derajat anemia, makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis
berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan
mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips,
disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kdang dijumpai sel target. Leukosit dan
trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang
berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat
dijumpai pada ADB dengan dengan episode perdarahan akut.

 Kensentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)1,2,5


Kensentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat. TIBC menunjukkan
tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum
dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diganosis ADB, kadar besi serum menurun <50µg/dl, total
iron binding capacity (TIBC) meningkat >350µg/dl, dan saturasi transferin <15%. Ada juga memakai
saturasi transferin <16%, atau <18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal
yang sangat besar dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.

 Ferritin serum
Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik kecuali pada keadaan inflamasi dan
keganasan tertentu. Titik pemilah (cutt off point) untuk feritin aserum pada ADB diapakai angka
<12µg/l, tetapi ada juga yang memakai <15µg/l. untuk daerah tropik di mana angka infeksi dan
inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan oleh negara barat tampaknya haris dikoreksi. Pada
satu penilitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin serum <12µg/l dan <20µ/l
memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivtas
tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum <40mg/l, tanpa mengurangi spesifisitas
terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum
<20mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat inflamasi atau infeksi yang jelas seperti artritis
reumatoid, maka feritin serum 50-60µg/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin
serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB yang paling kuat oleh karena itu
banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak
terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi,
tetapi feritin serum di atas 100mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi. 1
 Protoporfirin
Protoporfirin merupakan bahan antara dalam pembentukan heme. Apabila sintesis heme terganggu,
misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal
adalah kurang dari momg/dl. Untuk defisiensi besi, protoporfirin bebas adalah lebih dari 100mg/dl.
Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam. 1
 Kadar reseptor transferin
Kadar reseptor transerin dalam serum meningkat pada defisiensi besi. Kadar normal dengan cara
immunologi adalah 4-9µg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama digunakan untuk membedakan
ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi bila dipakai rasio reseptor teransferin
dengan log feritin serum. Ratio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin anemia karena
penyakit kronik1
 Pemeriksaan sumsum tulang
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-
kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast.
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif
(butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung granula feritin
dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum
tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini
perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan ferritin serum yang lebih paraktis. 1
 Studi ferokinetik
Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua jenis studi
ferokinetik yaitu Plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan
plasma, dan erithrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur peredaran besi dari sumsum tulang ke
sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya
dipakai untuk tujuan penilitian.1
 Pemeriksaan penyakit penyebab
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi. Antara lain pemeriksaan feses
untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif misalnya teknik Kato-katz,
pemeriksaan darah samar feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain tergantung dari
dugaan penyebab defisiensi tersebut

2.6 Diagnosis
Pendekatan diagnostik berdasarkan tuntutan hasil laboratorium1
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang
ideal tapi memerlukan fasilitas dan keterampilan klinis yang cukup.
Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokrom mikrositer 1

2.6.1 Diagnosis kerja


Anemia defisiensi besi (ADB) yaitu anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoeisis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan

pembentukan haemoglobin berkurang.ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan


hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong. Anemia defisiensi besi
merupakan anemia yang paling sering dijumpai terutama di daerah tropik atau
negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi.
Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan
dampak kesehatan yang sangat merugikan dan dampak sosial yang sangat serius.1

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat
tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia
dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cutt off point anemia
tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap
kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah
menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.1

Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu
dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi
dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokrom mikrositer pada sediaan hapus darah tepi, atau MCV<80fl dan
MCH<31% dengan salah satu dari a,b,c, atau d:
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
 Besi serum <50mg/dl
 TIBC >350mg/dl
 Saturasi transferin: <15%, atau
b. Feritin serum <20mg/I, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan Biru Perusia (Perl’s stain) menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari
2g/dl

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi.
Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis
pemeriksaan tapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah
kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber
perdarahan yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar
20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.1

Untuk pasien dewasa, fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi,
anamnesis tengtang menstruasi sangat penting. Kalau perlu dilakukan pemeriksaan
genekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk
mencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakkan pemeriksaan hapusan
langsung (direct smear dengan eosin), tapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif seperti misalnya teknik Kato-Katz untuk menentukan beratnya
infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap sebagai
penyebab utama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang
sebagai penyebab utama jika ditemukan telur pergram feses (TPG) atau egg pe
rgram faces (EPG) >2000 pada perempuan dan > 4000 pada laki-laki. Dalam satu
penilitian lapangan ditemukan hubungn yang nyata antara derajat infeksi cacing
tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada
prempuan.1
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi
yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat. Anemia akibat cacing tambang
sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
pemeriksaan laboratorium disamping tanda-tanda defisiensi besi juga disertai
eosinofilia.1

Diagnosis banding :
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti:
1. Anemia akibat penyakit kronik
2. Thalasemia
3. Anemia sideroblastik

Anemia penyakit Anemia


Pemeriksaan lab ADB Thalasemia minor
kronik sideroblastik
MCV ↓ ↓ N/↓ ↓/N
Fe serum ↓ N ↓ N
TIBC ↑ N ↓ Normal/↑
Saturasi transferin ↓ ↑ ↓/N ↑
FEP ↑ N N/↑ N
Feritin serum ↓ ↑ N ↑

Penatalaksanaan :
1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila tidak dapat
menyebabkan kekambuhan.
2. Pemberian preparat besi:
 Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama
sulfas ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan
eritropoiesis hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat
lambung kosong (lebih sering menimbulkan efek samping) paling sedikit selama
3-12 bulan. Bila terdapat efek samping gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi)
pemberian dilakukan setelah makan atau osis dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk
meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama vitamin C 3x100 mg/hari.
 Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM).
Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi suntikan.
Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh dengan
pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang
pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi.
Dosis yang diberikan dihitung menurut formula:
Kebutuhan besi (mg) = {(15 – Hbsekarang ) x BB x 2,4} + (500 atau 1000)
3. Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C.
4. Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu:
 Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
 Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok
 Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya kehamilan
trimester akhir atau pre operasi

Dalam pengobatan, pasien dinyatakan memberikan respon baik apabila retikulosit naik pada
minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke 10, dan kembali normal pada hari ke 14
pengobatan. Diikuti dengan kenaikan Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2 gr/dl setelah 3-4 minggu
pengobatan

Komplikasi

 Anemia kekurangan zat besi mengurangi kinerja dengan memaksa otot tergantung,
pada tingkat yang lebih besar dari pada orang sehat, setelah metabolisme
anaerobik. Hal ini diyakini terjadi karena kekurangan zat besi yang mengandung
enzim pernafasan sebagai penyebab lebih utama daripada anemia.7

 Anemia yang parah dapat menghasilkan hipoksemia dan meningkatkan terjadinya


insufisiensi koroner dan iskemia miokard. Demikian pula, dapat memperburuk
status paru pasien dengan penyakit paru kronis.7

 Kerusakan struktur dan fungsi jaringan epitel dapat diamati pada pasien
kekurangan zat besi. Kuku menjadi rapuh atau longitudinal bergerigi dengan
perkembangan koilonychia (kuku sendok). Lidah dapat menunjukkan atrofi papila
lingual dan kelihatan mengkilap. Angular stomatitis dapat terjadi dengan celah di
sudut mulut. Disfagia mungkin terjadi bila memakan makanan padat, dengan
anyaman (webbing) dari mukosa pada persimpangan hipofaring dan esofagus
(Plummer-Vinson sindrom); ini telah dikaitkan dengan karsinoma sel skuamosa
daerah esofagus. Atrophic gastritis terjadi pada defisiensi zat besi dengan
kehilangan progresif sekresi asam, pepsin, dan faktor intrinsik dan pembentukan
antibodi terhadap sel parietal lambung. Vili usus kecil menjadi tumpul.7

 Itoleransi terhadap dingin berkembang pada satu dari lima pasien dengan anemia
kekurangan zat besi kronis dengan manifestasi gangguan vasomotor, nyeri
neurologik, atau mati rasa dan kesemutan.7

 Gangguan fungsi kekebalan dilaporkan pada pasien yang kekurangan zat besi, dan
ada laporan bahwa pasien rentan terhadap infeksi, namun bukti bahwa ini adalah
langsung disebabkan oleh kekurangan zat besi tidak meyakinkan karena adanya
faktor lain.7,8

 Anak-anak kekurangan zat besi mungkin menunjukkan gangguan perilaku.


Perkembangan neurologis akan terganggu pada bayi dan kinerja skolastik
berkurang pada anak usia sekolah. IQ anak-anak sekolah kekurangan zat besi
dilaporkan sebagai signifikan kurang dari rekan-rekan nonanemia. Gangguan
perilaku bermanifestasi sebagai gangguan defisit perhatian. Pertumbuhan
terganggu pada bayi dengan defisiensi besi.7,8

 Masalah jantung. Anemia kekurangan zat besi dapat menyebabkan detak jantung
yang cepat atau tidak teratur. Jantung harus memompa darah lebih banyak untuk
mengkompensasi kekurangan oksigen yang dibawa oleh darah. Hal ini
dapat menyebabkan pembesaran jantung atau gagal jantung.8

 Masalah selama kehamilan. Pada wanita hamil, anemia defisiensdi besi dikaitkan
dengan kelahiran prematur dan bayi berat badan lahir rendah. Tetapi kondisi ini
mudah dicegah pada wanita hamil yeng menerima suplemen zat besi sebagai
bagian dari perawatan pralahir mereka.

Pencegahan

Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat, maka diperlukan suatu tindakan pencegahan
yang padu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:

a) Pendidikan kesehatan:

- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya
dengan pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang
- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi
b) Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering dijumpai di daerah
tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan antihelmentik
dan perbaikan sanitasi

c) Suplimentasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan
anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.

d) Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makanan. Di negara barat
dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti dan bubuk susu dengan besi.

Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi umumnya baik. ADB merupakan satu gejala yang mudah diobati dengan hasil yang
sangat baik. Namun prognosis ADB yang baik dan diperburuk oleh karena kondisi penyakit yang mendasarinya
(underlying disease) seperti neoplasia

Anda mungkin juga menyukai