Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Batu kandung kemih merupakan manifestasi paling sering dari batu saluran kemih
bagian bawah. Data terakhir menunjukkan prevalensinya mencapai 5% dari semua
kasus batu saluran kemih. Batu kandung kemih di daerah non endemik biasanya
dijumpai pada orang dewasa dan biasanya berkaitan dengan proses penyakit yang
menyebabkan stasis urin atau adanya benda asing. (Schwartz and Stoller, 2000).
Di daerah endemik batu kandung kemih sering muncul pada anak-anak yang
memiliki kelainan anatomik mayor, pada daerah ini faktor diet dan sosial ekonomi
sangat berpengaruh terhadap pembentukan batu kandung kemih. (Benway and
Bhayani, 2016).

2.1.Batu Kandung Kemih Primer


Di Eropa dan Amerika Serikat, batu kandung kemih primer pada anak secara
praktis sulit ditemukan seiring dengan perkembangan industrialisasi dan
modernisasi diet sejak tahun 1900-an. (Schwartz and Stoller, 2000). Namun, batu
kandung kemih pada anak-anak masih sangat umum dijumpai di daerah endemik
seperti Afrika Utara, Asia Tengah, Balkans, India, Jepang, Thailand, dan
Indonesia. Hal penting yang perlu ditekankan dari istilah primer dalam konteks
batu kandung kemih adalah batu berkembang tanpa diikuti adanya faktor
fungsional anatomi atau infeksi.
Batu kandung kemih primer paling sering ditemukan pada anak-anak usia
kurang dari 10 tahun dengan puncak insiden pada usia 2-4 tahun. (Ali and Rifat,
2005) Laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 9:1.
Batu biasanya soliter dan setelah dibuang jarang muncul kembali. Amonium urat,
kalsium oksalat, asam urat, dan kalsium fosfat merupakan komponen tersering
pada batu kandung kemih. Predisposisi pembentukan batu kandung kemih

Universitas Sumatera Utara

4
berkaitan dengan faktor nutrisi dan sosial ekonomi. Anak-anak di daerah endemis
cenderung mengkonsumsi makanan sereal yang kurang mengandung protein
hewani dan kadar fosfat yang rendah. Defisiensi vitamin A juga dapat
menyebabkan degenerasi dari sel-sel urotelial yang dapat merangsang timbulnya
batu. Pasien dengan sosial konomi rendah dan sanitasi yang buruk sering terjadi
diare yang dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi dan supersaturasi urin
sehingga terbentuk batu di kandung kemih. (Benway and Bhayani, 2016)

2.2. Batu Kandung Kemih Sekunder


Batu kandung kemih sekunder umumnya ditemukan pada laki-laki dewasa dengan
usia lebih dari 60 tahun dan biasanya berkaitan dengan obstruksi dari saluran
kemih bagian bawah (Yasui et al, 2008). Batu kandung kemih dapat berkembang
secara de novo di kandung kemih atau maturasi dari nidus yang bermigrasi dari
saluran kemih bagian atas yang gagal dikeluarkan secara spontan. Batu kandung
kemih sekunder berkaitan dengan beberapa jenis kondisi sebagai berikut :
(Benway and Bhayani, 2016)

a. Bladder Outlet Obstruction


Bladder Outlet Obstruction (BOO) mengakibatkan tidak sempurnanya proses
pengeluaran urin dan menyebabkan retensi fragmen batu yang merupakan faktor
predisposisi paling sering pada pembentukan batu kandung kemih, pada kasus
non-neurogenic bladder dengan insiden 45% sampai 79% dari semua pasien yang
didiagnosis dengan batu kandung kemih (Benway and Bhayani, 2016)
Pada pria, obstruksi umumnya terjadi akibat pembesaran prostat jinak,
sedangkan pada wanita sering terjadi akibat adanya sistokel atau prolaps organ
pelvik. (Papatsoris et al, 2006). Striktur uretra, bladder neck contracture, dan
divertikel kandung kemih merupakan penyebab lain yang dapat mengganggu pola
miksi normal (Benway and Bhayani, 2016)
Komposisi batu yang menyebabkan obstruksi bervariasi sesuai dengan
letak geografis dan etnis. Di Eropa, didominasi oleh jenis batu struvit, kalsium
fosfat, dan asam urat, sedangkan di Jepang jenis batu asam urat jarang terjadi,

Universitas Sumatera Utara


tetapi jenis batu kalsium angka kejadiannya tinggi, mencapai 72% dari semua
jenis batu yang ditemukan. Kalsium oksalat umumnya ditemukan di Amerika
Serikat. (Yasui et al, 2008). Batu biasanya soliter, dengan kejadian mencapai 25%
sampai 30% pasien (Benway and Bhayani, 2016)

b. Neurogenic Bladder
Neurogenic bladder pada pasien cedera tulang belakang atau myelomeningocele
dapat meningkatkan risiko pembentukan batu kandung kemih. Pada dewasa
dengan cedera tulang belakang, risiko untuk batu kandung kemih dapat terjadi 3
bulan setelah cedera awal hingga rentan waktu 10 tahun dengan angka kejadian
15-30% pasien akan terbentuk satu batu di kandung kemih (Chen et al, 2001).
Setelah terbentuk satu batu, risiko pembentukan batu selanjutnya menjadi
empat kali lipat (Ord et al, 2003). Tingkat dan keparahan dari cedera tulang
belakang sangat berhubungan erat dengan risiko pembentukan batu kandung
kemih, terutama pada tahun pertama (Sugimura et al, 2008).
Pada penelitian sebelumnya dengan sampel 450 pasien menyebutkan
bahwa penggunaan kateterisasi intermiten dapat menurunkan secara signifikan
pembentukan batu kandung kemih, dengan risiko 0,2% lebih rendah dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan kateter terus-menerus dengan risiko sebesar 4%
(Ord et al, 2003, Mitsui et al, 2000). Selain itu, penggunaan kateterisasi intermiten
steril dikaitkan dengan penurunan 40 kali lipat risiko rawat inap akibat batu
kandung kemih (Ord et al, 2003). Hingga saat ini kateterisasi intermiten
dianjurkan sebagai manajemen kandung kemih pada pasien-pasien Neurogenic
Bladder. (Feifer and Corcos, 2008).

c. Infeksi Saluran Kemih


Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah episode bakteriuria signifikan (yaitu infeksi
dengan jumlah koloni > 100.000 mikroorganisme tunggal per ml) yang mengenai
saluran kemih bagian atas, bagian bawah atau keduanya.( Pierce AG et al. 2006)
Diagnosis infeksi saluran kemih biasanya ditegakkan berdasarkan urinalisa
dan dikonfirmasi dengan kultur urin. Infeksi saluran kemih dapat terkait dengan

Universitas Sumatera Utara


terjadinya batu kandung kemih pada 22-34 % kasus. Proteus sp. adalah
mikroorganisme yang paling sering dijumpai dari kultur urin. Proteus, dan
sebagian strain Pseudomonas dan E. Coli menghasilkan urease yang
menghidrolisis urea dan menghasilkan ammonia dan karbondioksida,
meningkatkan pH dan supersaturasi urin sehingga terjadi pengendapan kristal-
kristal magnesium ammonium fosfat. (Torricelli et al, 2012)

2.3. Patogenesis Pembentukan Batu Saluran Kemih


Pembentukan batu merupakan rangkaian kejadian yang komplek, melibatkan
beberapa fase yang meliputi keadaan saturasi kristal, nukleasi, pertumbuhan dan
agregasi kristal, inhibitor dan promotor Kristal (Basavaraj et al, 2007). Berikut ini
di uraikan pembentukan batu berdasarkan fisikokimia yaitu:

2.3.1. Keadaan Saturasi


Supersaturasi adalah keadaan dimana larutan mengandung lebih banyak material
sehingga tidak dapat larut yang seharusnya pada keadaan normal dapat larut.
Kadar supersaturasi garam dinyatakan dalam rasio antara produk aktivitas ion dan
produk yang terlarut. Titik dimana saturasi larutan tercapai dan mulai terjadi
kristalisasi disebut sebagai produk termodinamik. Urin mengandung inhibitor
kristalisasi dan dapat menahan konsentrasi kristal di atas keadaan termodinamik,
keadaan ini disebut keadaan metastable. Jika konsentrasi kristal terus bertambah
sampai keadaan terlarut tidak dapat dipertahankan, hal ini akan memicu
terbentuknya produk dalam urin. (Basavaraj et al, 2007). Pada urin yang normal
biasanya supersaturasi terjadi yang menyebabkan terbentuknya kristal kalsium
oksalat, tetapi perubahan dari kristaluria menjadi batu biasanya dapat dihindari
dengan adanya mekanisme kontrol biologik (Qiu et al, 2003).

2.3.2. Nukleasi, Pertumbuhan Kristal dan Agregasi


Nukleasi adalah fase pembentukan kristal solid dalam suatu larutan. Fase ini
penting dalam tahap pembentukan batu. Urin bukanlah larutan murni dan nukleasi
dalam urin sering terjadi pada permukaan kristal yang sudah terjadi sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara


Proses ini disebut nukleasi heterogen. Tempat terjadinya nukleasi heterogen di
dalam urin bisa berupa sel epitel, sel darah merah, debris, kristal urin dan bakteri
urin (Pearle et al, 2012).
Proses nukleasi dalam larutan murni disebut juga nukleasi homogen.
Pada nukleasi sekunder, deposit kristal baru terjadi pada permukaan kristal jenis
yang sama yang sebelumnya telah terbentuk. Kristalisasi merupakan fase awal
pembentukan batu saluran kemih. Batu terjadi akibat perubahan fase, dimana
garam yang tidak larut berkumpul menjadi satu dan transformasi ini dipengaruhi
oleh keadaan supersaturasi. Agregasi kristal dan penempelan kristal atau agregat
ke nidus seperti sel epitel ginjal merupakan proses penting dalam pembentukan
batu. Setelah proses nukleasi, pertumbuhan kristal adalah proses berikutnya yang
penting dalam terjadinya batu saluran kemih. Agregasi kristal besar yang tertahan
di duktus pengumpul dan protusi keluar menuju permukaan papilari juga memiliki
peran dalam pembentukan batu (Baumann et al, 2011).
Energi penggerak terjadinya kristalisasi adalah reduksi energi potensial
atom atau molekul ketika terjadinya ikatan satu sama lain. Beberapa atom atau
molekul pada larutan supersaturasi mulai membentuk kumpulan. Pertumbuhan
kristal dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk molekul, level supersaturasi, pH, dan
defek pada struktur kristal (Pearle et al, 2012). pH urine pada umumnya
mendekati normal tetapi dapat bervariasi diantara 4.4 dan 8 dalam rentang waktu
24 jam. Batu asam urat dan sistin terbentuk pada suasana urine yang asam, tetapi
batu kalsium oksalat dapat terbentuk pada suasana yang asam, netral, maupun
basa. Sedangkan batu kalsium fosfat dan magnesium ammonium fosfat terbentuk
pada suasana urine yang basa (Shaafie et al, 2012).
Pada proses ini kristal dalam larutan berkumpul dan membentuk partikel
yang lebih besar. Hal ini dipengaruhi oleh keseimbangan energi. Jarak antar
partikel yang dekat memiliki gaya tarik yang besar. Sebagai tambahan,
glikoprotein Tamm-Horsfall dan molekul lain dapat menjadi perekat antar
molekul (Pearle et al, 2012).
Batu saluran kemih memerlukan pembentukan kristal diikuti dengan
retensi dan akumulasi kristal tersebut di ginjal. Retensi atau stasis urin sebagai

Universitas Sumatera Utara


penyebab terbentuknya batu pada saluran kemih (Childs et al, 2013). Retensi
kristal dapat terjadi akibat asosiasi kristal dengan sel epitel yang melapisi tubulus
ginjal. Pembentukan kristal bergantung pada komposisi cairan tubulus. Retensi
kristal tergantung pada komposisi permukaan sel epitel tubulus ginjal (Pearle et al,
2012).

2.3.3. Inhibitor dan Promotor Pembentukan Kristal


Sitrat berperan sebagai inhibitor pembentukan batu kalsium oksalat dan kalsium
fosfat dengan berbagai mekanisme. Pertama, sitrat membentuk kompleks dengan
kalsium, menurunkan ketersediaan kalsium ionik untuk berinteraksi dengan
oksalat atau fosfat. Kedua, sitrat langsung menghambat presipitasi spontan
kalsium oksalat dan mencegah agglomerasi kristal kalsium oksalat. Terakhir, sitrat
mencegah nukleasi heterogen pada kalsium oksalat oleh urat mononatrium.
Aktivitas inhibitorik magnesium terjadi dengan cara membentuk kompleks
dengan oksalat, dimana menurunkan konsentrasi oksalat ionik dan supersaturasi
kalsium oksalat (Pearle et al, 2012).
Polianion, termasuk glikoaminoglikan, asam mukopolisakarida, dan RNA
terbukti menghambat nukleasi kristal dan pertumbuhannya. Diantara
glikosaminoglikan, heparin sulfat berinteraksi paling kuat dengan kristal kalsium
oksalat monohidrat. Dua glikoprotein urin, nefrokalsin dan glikoprotein Tamm-
Horsfall, adalah inhibitor agregasi kristal monohidrat kalsium oksalat yang poten.
Nefrokalsin adalah glikoprotein asam yang mengandung secara predominan asam
amino yang disintesa dalam tubulus ginjal proksimal dan duktus asendens. Dalam
larutan, nefrokalsin secara kuat menghambat pertumbuhan kristal monohidrat
kalsium oksalat (Pearle et al, 2012).
Protein Tamm-Horsfall diekspresikan oleh sel epitel ginjal pada duktus
asendens dan tubulus konvolusi distal sebagai protein yang menempel di
membran, yang dilepaskan ke dalam urin setelah pemotongan daerah penempelan
tadi dengan fosfolipase atau protease. Tamm-Horsfall adalah protein yang
berlimpah yang ditemukan dalam urin dan merupakan inhibitor agregasi kristal

Universitas Sumatera Utara


monohidrat kalsium oksalat potensial, tetapi tidak untuk pertumbuhan (Pearle et
al, 2012).
Osteopontin, atau uropontin, adalah glikoprotein fosforilasi asam yang
diekspresikan dalam matriks tulang dan sel epitel ginjal pada daerah duktus
asendens, loop of henle dan tubulus distal. Osteopontin telah menunjukan
menghambat nukleasi, pertumbuhan dan agregasi kristal kalsium oksalat
menurunkan ikatan kristal ke sel epitel ginjal in vitro. Bikunin adalah inhibitor
kuat kristalisasi kalsium oksalat, agregasi dan pertumbuhan in vitro, dan
ekspresinya telah ditunjukan meningkat pada model tikus ketika terpapar oksalat
(Pearle et al, 2012).
Formasi dari batu tersusun dari beberapa jenis seperti kalsium oksalat dan
kalsium fosfat merupakan proses kompleks yang membutuhkan beberapa faktor
seperti supersaturasi yang tinggi, pH urin yang mempengaruhi kristalisasi, dan
meningkatkan kristal yang memicu batu, pertumbuhan kristal, agregasi kristal,
dan retensi kristal. Telah dinyatakan bahwa peningkatan agregasi kalsium oksalat
merupakan satu dari faktor yang penting dan menunjukkan bahwa batu kalsium
oksalat mengeksresi kristal besar dan agregasi kristal daripada orang normal
(Pearle et al, 2012).

2.4. Jenis-jenis Batu Saluran Kemih


Kristal yang terdapat didalam urine sangat bervariasi, konsentrasi dari kristal-
kristal tersebut memicu terbentuknya batu saluran kemih. Batu tersebut dapat
murni berasal dari kalsium oksalat, kalsium fosfat, ataupun campuran (Marickar et
al, 2009). 75 % batu mengandung kalsium oksalat, 50% disertai kalsium hidroxil
fosfat (brushite atau kalsium hidroxiapatit), 10% terdiri dari magnesium
ammonium fosfat (struvit atau tripel fosfat), 5% terbentuk dari urat dan 1-2%
terbentuk dari sistin (Aggarwal et al., 2013, Alaya et al., 2010).

Universitas Sumatera Utara


2.5. Gejala Klinis Batu Kandung kemih
Gejala klinis yang paling umum dari batu kandung kemih adalah hematuria
makroskopik. Dapat disertai gejala lain berupa keluhan miksi terputus-putus,
frekuensi, urgensi, disuria, pancaran urin lemah, inkontinensia, dan nyeri perut
bagian bawah. Batu yang lebih besar cenderung menyebabkan lebih sedikit
gejala, hal ini karena gerakan batu minimal di dalam kandung kemih. Batu
kandung kemih jarang bersifat asimtomatik. (Benway and Bhayani, 2016)

2.6. Penanganan Batu Kandung Kemih


2.6.1. Vesikolitotomi

Vesikolitotomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu dari


kandung kemih dengan membuka kandung kemih arterior. Vesikolitotomi
sebelumnya dianggap sebagai gold standard untuk pengobatan batu kandung
kemih, tekhnik ini akhirnya mulai ditinggalkan dengan adanya teknik terbaru yang
non invasif. Vesikolitotomi, selain menyebabkan stres karena penggunaaan
kateter dalam jangka panjang, juga meningkatkan lama perawatan di rumah sakit,
serta adanya bekas insisi yang menganggu kosmetik. Akan tetapi, telah dilaporkan
tentang keberhasilan penanganan dengan vesikolitotomi suprapubis tanpa irigasi
dan tanpa kateter pada anak-anak setelah penutupan dua-lapis dengan sistostomi.
Sebagian besar pasien dapat rawat jalan dan tidak mengalami kesulitan buang air
kecil. Akan tetapi terdapat 7% pasien akhirnya membutuhkan pemasangan kateter,
termasuk satu pasien mengalami kebocoran dan infeksi luka operasi. (Rattan et
al, 2006).

2.6.2. Litotripsi
Pendekatan transuretral untuk pengobatan batu kandung kemih akhir-akhir ini
banyak digunakan karena pendekatan ini melalui saluran yang normal. Litotriptor
mekanik bisa digunakan tetapi kurang diminati karena tingginya kejadian cedera

Universitas Sumatera Utara


mukosa dan perforasi kandung kemih. Selain itu ketidakmampuan mengeluarkan
batu ukuran besar dengan angka kekambuhan batu yang tinggi.
Penelitian terbaru dilaporkan penggunaan laser holmium, litotriptor
elektrohidrolik, dan teknologi litoklas, berhasil diterapkan pada orang dewasa
maupun anak-anak. Akan tetapi, selain membutuhkan probe ganda, energi
elektrohidrolik terkait dengan kejadian komplikasi juga lebih tinggi termasuk
cedera mukosa dan hematuria. Sebuah Penelitian sebelumnya melaporkan 1,6%
kejadian perforasi kandung kemih dengan litotripsi elektrohidrolik, namun belum
ada laporan penelitian yang terbaru. (Lipke et al, 2004; Singh and Kaur, 2011).
Litotripsi menggunakan laser holmium sudah menjadi modalitas yang
banyak digunakan karena kemampuannya menghancurkan batu berukuran besar
dengan kerusakan kolateral yang minimal. Sebagian besar pasien yang menjalani
litotripsi dengan laser dapat bebas batu dengan satu kali prosedur tanpa
menyebabkan komplikasi besar. Sebagian lebih menyukai penggunaan laser side-
firing. karena lebih stabil dan mudah dalam melakukan maneuver sehingga waktu
operasi lebih singkat. (Lipke et al, 2004; Singh and Kaur, 2011).

Algoritma Penanganan Batu Kandung Kemih :

(Torricelli et al, 2012)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai