Anda di halaman 1dari 35

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311737347

Pergulatan Gerakan Mahasiswa & Kritik Terhadap Gerakan Moral - Buku


Indonesia Bergerak II

Book · July 2016

CITATION READS

1 16,184

1 author:

Arif Novianto
Universitas Gadjah Mada
14 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Resistance to Elite Consolidation: The Struggle of Oppose a Cement Factory Against Local Oligarchy in Pati Election View project

Kerja tak Terbayar di Media Sosial: Alienasi dan Eksploitasi Kerja yang Tersamarkan dalam Kapitalisme Digital View project

All content following this page was uploaded by Arif Novianto on 20 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


194
BAB 11
PERGULATAN GERAKAN
MAHASISWA DAN KRITIK
TERHADAP GERAKAN MORAL1
Arif Novianto

Pendahuluan
Pergulatan gerakan mahasiswa di Indonesia dilihat dari sejarahnya terus mengalami
pasang surut yang dipengaruhi oleh berubahnya rezim yang berkuasa, tatanan ekonomi-
politik dan ruang lingkup sistem pendidikan yang diterapkan. Peran gerakan mahasiswa
dalam dinamika perubahan kekuasaan di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup
penting, seperti pada masa perjuangan kemerdekaan, pada masa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan, masa jatuhnya Soeharto yang melahirkan era Orde Baru
dan juga pada masa reformasi yang melengserkan rezim Soeharto.
Mencuatnya gerakan mahasiswa dengan label heroism seperti agent of change, iron
stock & social control bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Labelisasi tersebut dalam
prosesnya adalah konstruksi yang dilakukan oleh rezim Soeharto pada masa Orde Baru
setelah sebelumnya rezim tersebut melakukan genosida terhadap intelektul kiri (komunis
dan soekarnois) dan pembantaian terjadap jutaan orang yang memiliki afiliasi (dan juga
diduga) dengan PKI serta melakukan penahanan tanpa pengadilan terhadap ratusan ribu
orang kiri. Konstruksi gerakan mahasiswa oleh penguasa adalah bagian dari upaya untuk

1Artikel ini dikembangkan dari diskusi MAP Corner-Klub MKP “Lumpuhnya Gerakan Mahasiswa”, 14
Mei 2013, dengan pemantik Eko Prasetyo (Social Movement Institute).
195
mempertahankan status-quo, sehingga bentuk progresif dari gerakan mahasiswa dilucuti
hingga memunculkan apa yang disebut sebagai gerakan moral.
Gerakan moral yang lahir dari rahim Orde ini, dalam menjalankan aktivismenya
selain labelisasi mereka juga dikonstruksi seperti koboy atau Resi2 (dalam konteks
kehidupan masyarakat jawa), yang tidak memiliki kepentingan kekuasaan dalam hati dan
kepala mereka. Mereka memainkan moralitas untuk mengingatkan penguasa, kadang
dibumbui dengan melakukan aksi, membuat pernyataan sikap, kampanye dan aksi
teatrikal. Sebagaimana seperti seorang Resi, mereka datang ketika keadaan sudah genting
dan dengan kekuatan moral, mencoba menjadi roda penggerak perubahan. Namun
gerakan tersebut cenderung hanya berangan-angan tentang perubahan emansipatif yang
transformatif untuk rakyat kelas bawah atau kaum marheins.
Sedangkan gerakan moral merupakan gerakan pemecah belah, itu karena gerakan
ini menolak membangun aliansi dengan organisasi atau gerakan sosial lain atas nama
kemurnian gerakan dan terhindar dari kepentingan politik lain (Aspinall, 2012). Artinya
gerakan ini menjadi penyokong status-quo dan bersifat regresif.

Apa Itu Gerakan Moral dan Gerakan Politik Progresif?


Dalam karyanya La Trahison des Clercs3, Julian Benda menggambarkan cendikiawan
sebagai sosok manusia ideal yang berprinsip “kerajaanku bukan di bumi ini”. Artinya
para cendikiawan dikonstruksi sebagai manusia yang tidak memiliki kepentingan duniawi.
Para cendikiawan yang terlibat dalam dunia perpolitikan, bagi Julian Benda dilihat sebagai
wujud dari “Penghianatan Intelektual”. Thesis Benda dalam karyanya tersebut kurang
lebih ingin mengatakan bahwa para cendikiawan ideal zaman dulu adalah moralis yang
kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa.

2 Menurut penulis pengandaian yang pas untuk menyebut gerakan moral ini adalah gerakan a la Koboy,
dibanding dengan a la Resi sebagaimana yang disebutkan oleh Arief Budiman (1983). Itu karena gerakan
yang dilakukan oleh Resi cenderung hanya dengan saran, masukan atau kritik kepada penguasa tanpa dia
melakukan gerakan aksi. Itu berbeda dengan gerakan koboy yang tidak hanya dengan kritik tapi juga
seringkali dengan melakukan aksi pertempuran, sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan moral
mahasiswa selama ini. Tapi baik Resi dan Koboy mereka sama-sama menolak bergerak bersama kelompok
lain dan bergerak tidak untuk mendapatkan kekuasaan.
3 Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Penghianatan Kaum Intelektual”

196
Karya Julian Benda tentang “Penghianatan Kaum Intelektual” ini merupakan
pondasi dari gerakan moral di Indonesia. Para pioner kekuatan moralitas ini seperti So
Hoe Gie dan Soe Hok- djin (Arief Budiman), dua orang saudara yang kuliah di
Universitas Indonesia dan juga mahasiswa angkatan 66’ yang lain seringkali mengutip
karya Julian Benda tersebut sebagai pondasi gagasan moralitas mereka (Soekito, 1983).
Soe Hok Gie dan Arief Budiman melontarkan ide dan gagasan terhadap artikulasi
gerakan moral mereka dalam seri tulisan di koran sejak awal 1967 (Maxwell, dalam
Aspinall, 2012: 166). Mereka berdua merupakan bagian dari pimpinan aktivis mahasiswa
angkatan 66’ dan dengan lantang menuntut Soekarno mundur dan mendukung
pembrangusan kaum kiri serta naiknya militer pro-Soeharto.
Membedakan apa itu gerakan moral dan apa itu gerakan politik progresif tanpa
melihat latar belakang sejarah terbentuknya kedua gerakan tersebut dan faktor idiologis
dari keduanya, maka akan sulit untuk membedakannya serta akan cenderung mendistorsi
pemaknaan kedua gerakan tersebut. Sunyoto Usman dalam artikel jurnal yang berjudul
“Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Moral ataukah Gerakan Politik?” (1999) 4 mencoba
membedakan antara gerakan moral dan gerakan politik, namun analisanya tidak mampu
menjawab pertanyaan tentang kepada siapa wacana gerakan moral itu bertuan, siapa atau
kelompok mana yang diuntungkan oleh wacana kekuatan moral tersebut dan benarkah
wacana tersebut mampu mendorong perubahan struktural dan emansipasif untuk kelas
yang tersubordinasi dalam kerangka negara Orba dan paska-reformasi, telah membuat
argumennya menjadi mengambang, karena salah menafsirkan.

Perdebatan Idiologis dengan Analisa Kelas Sosial


Melihat pemaparan diatas, gerakan moral juga merupakan gerakan politik, namun
bersifat regresif, sehingga gerakan politik yang bersifat regresif ini kemudian disebut
sebagai gerakan moral. Sedangkan gerakan politik progresif adalah lawan dari gerakan
moral. Gerakan politik progresif adalah gerakan yang berdasar pada pembebasan sosial

4 Sunyoto Usman mengartikan gerakan moral sebagai gerakan yang meletakan energi mahasiswa hanya
sebagai pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak bisa memainkan peran sesuai dengan
tuntutan sektor publik, gerakan tersebut hanya untuk meluruskan. Sedangkan gerakan politik dimaknai
sebagai gerakan riil dalam percaturan politik yaitu dengan masuk lembaga eksekutif atau legislative atau
lebih tepatnya menjadi politisi professional.
197
yang bersifat emansipatif dari relasi kuasa yang timpang di antara kelas berkuasa dengan
kelas tertindas. Artinya gerakan politik progresif tidak bisa dipisahkan dengan
keberpihakan pada kelas bawah yang tersubordinasi dan tertindas. Gerakan politik
progresif oleh karena itu berdiri berdampingan dengan rakyat atau membangun aliansi
dengan organisasi lain dengan kepentingan yang sama. Mereka memiliki alternatif lain
dari sistem yang telah ada.
Pembedaan secara tegas antara gerakan moral dengan gerakan politik progresif
menjadi sangat penting agar tidak terjadi pendistorsian. Batasan dari gerakan moral ini
dapat dibagi menjadi 4 batasan: pertama, gerakan moral menolak membangun aliansi
dengan gerakan rakyat atau politik massa. Hal tersebut dilakukan atas nama kemurnian
gerakan dan agar terhindar dari kepentingan politik. Kedua, dalam gerakan moral berdalih
tidak ada ambisi dan kepentingan pribadi ataupun kelompok terhadap kekuasaan.
Mereka hanya memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini dan tidak meminta
sumbangsih dari perjuangannya tersebut. Ketiga, gerakan moral dalam melakukan
gerakannya lebih berupa tuntutan koreksi dan peringatan. Mereka menolak adanya
radikalisasi gerakan yang dianggap dapat mengancam stabilitas. Keempat, gerakan moral
mengkonstruksi diri mereka sebagai resi, agent of change, tulang punggung negara,
intelektual pembaharu, roda perubahan dan juga konstruksi heroism yang lainnya.
Konstruksi superioritas mahasiswa tersebut dilakukan oleh regim Orba dengan
melakukan depolitisasi identitas dan untuk membedakannya dengan Pemuda yang
konstruksi pemaknaannya merupakan para nasionalis pejuang kemerdekaan, penentang
penjajahan, memiliki keberanian yang kuat dan lebih dekat dengan komunisme atau akar
gerakan kiri di Indonesia5.
Dari batasan gerakan moral tersebut, maka gerakan moral memang menjadi
arena yang selaras dengan idiologi kelas menengah yang memang merupakan mayoritas
dari mahasiswa. Pengetahuan dan intelektualisme mereka merupakan produk dari relasi
produksi kapitalisme yang bertransformasi mendukung hirarki pengetahuan diantara
masyarakat. Memang mahasiswa ini menjadi kelompok yang lebih maju dan memiliki
ruang untuk merespon berbagai persoalan sosial dan politik. Dengan kekuatan moral

5 Pertarungan kata dan diskursus paska proses kontra-revolusi atau paska peristiwa 65 dapat dilihat secara
lebih jauh dari karya Elisabeth Jackson “Warring Words”: Students and State in New Ordes Indonesia, 1966-1998.
198
mereka juga tidak jarang melakukan aksi massa dan berbagai bentuk protes yang lain.
Tuntutan politis mereka juga mengarah ke tendensi pembebasan sosial dan pembelaan
terhadap kelas bawah, seperti tentang kedaulatan, nasionalisasi aset, menentang
pencabutan subsidi, menolak intervensi asing, kebijakan pro-rakyat, atau tentang
pembelaan moral terhadap kesewenang-wenangan organ negara.
Namun gerakan moral tersebut mengalami keterputusan antara wacana dan
orientasi perjuangan praksis. Mereka memisahkan diri dengan rakyat, tidak punya basis
massa, menolak membangun aliansi, tidak memiliki alternatif lain dari sistem yang telah
ada, menempatkan diri sebagai kelas yang lebih superior, bersifat spontanitas, dan
konservatif. Itulah yang membuat gerakan moral ini bersifat regresif, karena gerakan
progresif dan pembebasan sosial mereka berada diatas awan, tidak membumi bersama
rakyat kecil.
Dalam gerakan moral ini tidak bersifat menekan tapi lebih menuntut dan
memperingatkan atau bersifat top-down. Keadaulatan dilihat tidak berada ditangan
rakyat dan mereka menunggu kebaikan hati pemerintah. Ruang demokrasi yang dicita-
citakan oleh kekuatan moral ini adalah tentang kebebasan privat yang tidak mengancam
aspek sosial ekonomi mereka tetapi abai terhadap pengekangan dan penghisapan kelas
bawah. Itulah yang membuat gerakan moral ini dikonstruksi oleh regim Orba, karena
mereka yang digunakan untuk mendapatkan konsesus dari rakyat dalam membangun
pondasi otoritarianisme orba (yang dilakukan gerakan mahasiswa angkatan 66). Artinya
gerakan moral ini tidak akan mengancam status-quo, walaupun pada titik tertentu
memerahkan telinga penguasa.
Melihat pembedaan secara tegas antara batas-batas gerakan moral dan gerakan
politik progresif ini, maka kemudian untuk melihat pembedaan tersebut dalam studi
kasus, maka penulis akan melakukan pembabakan perubahan-perubahan ekonomi-politik
Indonesia. Dimulai dari era kolonial, kemerdekaan, berdirinya Soeharto, dan era
reformasi, untuk berupaya menjawab tentang gerakan mana yang lebih maju? kapan dan
mekanisme apa yang memunculkan gerakan moral? serta gerakan apa yang mampu
benar-benar mendorong perubahan transformatif didalam kehidupan rakyat? dan
gerakan mana yang malah memukul mundur arah transformatif tersebut?

199
Gerakan Pelajar Pada Era Kolonial dan Awal Kemerdekaan
Pada era kolonial di abad akhir ke-19, terjadi pergeseran diskursus kebijakan di negeri-
negeri kolonial terhadap negeri jajahan hampir disegala penjuru dunia, dimana aspek
tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat kolonial mulai diperhitungkan. Di
Hindia-Belanda, kebijakan politik etis dijalankan pada awal abad-20 tidak terlepas dari
tekanan yang menguat di negeri Belanda yang didorong oleh partai-partai berdasar aliran
agama yang menekankan kewajiban moral serta bangkitnya sosialisme sekuler di Belanda
dan tempat-tempat yang lain. Namun bagi kelompok liberal, politik etis ini menjadi
tumpuan terhadap perubahan situasi politik pemerintahan di negeri kolonial, karena tidak
mengganti badan-badan usaha kapitalis melainkan melengkapinya (Werteim dalam Li,
2012: 77). Politik Etis ini dijalankan juga dilatar belakangi kebutuhan Belanda untuk
memperoleh tenaga-tenaga menengah lokal yang diperlukan untuk perluasan ekonomi
kolonial yang semakin diperluas sampai kedesa-desa.
Kebijakan politik etis ini telah melahirkan kaum-kaum terpelajar, walaupun masih
didominasi oleh kelas-kelas atas. Kemunculan kaum terpelajar terdidik bumiputera ini
turut mendorong berkembangnya organisasi-organisasi sosial dan masuknya idiologi-
idiologi radikal. Muncul Sarikat Priyayi pada tahun 1906 yang didirikan oleh Tirto Adhi
Soerjo, termasuk juga Thamrin Mohamad Thabrie dan R.A.A. Prawiradiredja. Pada 1908
dimotori oleh pelajar dari STOVIA (sekolah kedokteran di Batavia) antara lain E.
Douwes Dekker dan Wahidin Soediro Hoesodo terbentuklah Boedi Oetomo. Namun
Berdirinya Sarikat Priyayi dan Boedi Oetomo tidak mampu membawa perubahan berarti
dalam kehidupan masyarakat Hindia-Belanda. Dua organisasi tersebut masih terjebak
dalam enclave6 kolonial yaitu hanya mencakup kalangan Priyayi dan Bangsawan.
Pada tahun 1909 berdiri Syarikat Dagang Islam (SDI) yang basisnya diluar
enclave kolonial. Keanggotaan SDI ini mencakup para pedagang kecil hingga besar,
kaum buruh diperkotaan, buruh tani hingga guru-guru islam. Pada 1912, SDI berubah
nama menjadi Syarikat Islam (SI) dan pada 1919 mengklaim memiliki anggota sebanyak

6 Enclave dapat diartikan sebagai suatu unit wilayah, budaya dan sosial berbeda yang bersanding namun
seolah-olah berada diwilayah asing.
200
2.000.000 orang, menjadikan SI sebagai organisasi terbesar bahkan di dunia waktu itu
(Lane, 2014: 44). Perkembangan pesat SI tak bisa dilepaskan dari keanggotaan SI yang
mewakili masyarakat pribumi berbeda dengan Sarikat Priyayi dan Boedi Oetomo yang
membatasi diri pada kalangan Priyayi dan Bangsawan.
Pengikut SI terdiri dari oerang-orang yang disatukan oleh agama dan profesi dan
bersifat sangat heterogen. SI telah menyatukan kaum modernis dan tradisionalis, santri
dan abangan serta Jawa non-Jawa yang tengah merasakan krisis akibat kolonialisme dan
mereka menginginkan perubahan mendalam. Bagi mayoritas penduduk Eropa di tinggal
di Indonesia, kehadiran SI jelas begitu mengancam dengan potensi-potensi gerakan
mereka (McVey, 2010: 16). Di tengah berbagai polemik dan kekhawatiran seputar
kebangkitan SI, seorang pemimpin buruh Belanda, Hendricus Josephus Franciscus Marie
Sneevliet tiba ke Indonesia di tahun 1913. Pada 1914 atas prakarsanya bersama 60 orang
sosial demokrat mendirikan ISDV (Indische Social Democratiche Vereeniging atau
Perkumpulan Sosial Demokrat Hindia) (ibid).
ISDV mulai bekerjasama dengan SI (Sarekat Islam) pada tahun 1916 untuk
mematahkan isolasi dirinya dan untuk mempercepat yang disebut sebagai perjuangan
antifeodal dan antikolonial (Tornquist, 2011: 59). Paham marxisme mulai merasuk dalam
pergerakan di Hindia-Belanda dan menjadi pegangan politik masyarakat bumiputera.
Pada masa itu banyak anggota dari SI yang beranggota ganda dengan juga ikut ISDV
seperti Semaoen, Darsono, Alimin dan Tan Malaka yang merupakan tokoh di kedua
organisasi yang sebenarnya berlainan paham itu (Kasenda, 2014: 143-144).
Pada tanggal 23 Mei 1920, ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI). Berubahnya ISDV menjadi PKI membuat anggota-anggota ISDV seperti
Semaoen juga menjadi anggota PKI. Ketika SI mengadakan konggres pada bulan
Oktober 1921, diputuskan tentang adanya “disiplin partai” yang membuat anggota SI
dilarang menjadi anggota partai politik lain. Akibatnya anggota SI yang juga merupakan
anggota PKI dikeluarkan dari SI.
Masuknya paham politik progresif ke Indonesia di awal abad ke-20 tak bisa
dilepaskan dari gerakan yang dilakukan oleh Sneevliet ini dan juga oleh para mahasiswa
Indonesia yang belajar diluar negeri. Para mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar
negeri dari beasiswa-beasiswa politik etis, melalui perkenalannya dengan Eropa mereka
201
menyadari kekurangan bangsanya: tingkat pendidikan, pengetahuan dan ilmu, terutama
teknologi, dan peradaban pada umumnya. Itulah yang turut membuat mereka belajar ide-
ide gerakan perjuangan kemerdekaan (Toer, 1985: 106).
Pada tahun 1908, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda
membuat organisasi bernama Indische Vereeniging. Kemudian pada tahun 1925 di samping
menggunakan nama dalam bahasa Belanda, juga digunakan nama Perhimpunan
Indonesia. Perhimpunan Indonesia juga menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi
internasional. Di antara oganisasi tersebut adalah: Liga Penentang Imperialisme dan
Penindasan Kolonial, Komunis Internasional (Komintern), dll. Pada kongres keenam
Liga Demokratik Internasional untuk Perdamaian pada bulan Agustus 1926 di Perancis,
Moh. Hatta menyatakan tuntutan kemerdekaan Indonesia (Sartono dalam Suharsih &
Kusuma, 2007: 72).
Merasa khawatir dengan meningkatnya radikalisasi lulusan universitas-universitas
di negeri belanda ini, setelah 1926 pemerintah mengurangi jumlah beasiswa ke luar
negeri. Sebagai gantinya, mereka mengembangkan sekolah tinggi hukum di Batavia,
Institut Teknologi di Bandung, dan Sekolah Kedokteran di Batavia dan Surabaya
(Ingleson, 2015). Kebijakan politik etis ini cukup membebani keuangan pemerintah
kolonial. Peningkatan pajak terhadap penduduk bumiputra semakin dipacu untuk
menutupi anggaran pemerintah kolonial. Keadaan tersebut telah membuat peningkatan
penderitaan masyarakat. Hal tersebut telah membuat meningkatnya radikalisasi gerakan
selain ditopang dengan pengetahun gerakan progresif dari kelas terpelajar.
Pada November 1926 sampai Januari 1927 PKI melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mendirikan pemerintahan sendiri
yang merdeka, tindakan balasan represi pemerintah kolonial telah menghancurkan
kekuatan gerakan rakyat. Sekitar 13.000 orang Indonesia yang terlibat dalam perjuangan
merebut kemerdekaan yang berafiliasi dengan PKI di tangkap. Pemerintah jajahan
memilih untuk tidak melarang PKI sebagai organisasi yang mengancam keamanan dan
ketertiban. Hukuman yang dianggap lebih sesuai adalah menangkap para pemimpinnya
dan membuang mereka tanpa proses peradilan di tempat terpencil dan berbahaya yaitu
Boven Digoel, Papua (Kasenda, 2014: 158-159). Keadaan tersebut memaksa PKI
bergerak dari bawah tanah.
202
Represi dari pemerintah kolonial membuat motor gerakan menjadi kosong
sedangkan proses radikalisasi di akar rumput tengah mencari-cari kendaraan gerakan.
Gagasan tentang “Indonesia” dan “kemerdekaan” mulai menyebar luas ditengah
masyarakat. Para mahasiswa Indonesia banyak yang membuat study club, diantaranya
adalah Soekarno yang mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung pada 1925. Pada
penghujung tahun 1926, Soekarno menulis artikel dengan judul “Nasionalisme, Islam
dan Marxisme” yang menyerukan persatuan dari partai-partai atau gerakan yang beraliran
nasionalis, islam dan partai kiri dalam perjuangan melawan kolonialisme untuk mencapai
Indonesia Merdeka. Soekarno bersama dr. Tjipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mrs. Iskaq
Tjokrohadisurjo, Mr. Budiarto dan Mr. Sunario (merupakan mantan Perhimpunan
Indonesia) membentuk Perserikatan Nasional Indonesia dengan tujuan untuk mencapai
Indonesia merdeka.
Para pelajar Indonesia yang membawa alat politik baru, mereka bergerak bersama
rakyat itulah yang membuat pemerintah kolonial kelabakan. Para pemimpin politik
(seperti Soekarno dan para pimpinan PKI) selama massa 1920an – 1930an harus keluar
masuk penjara dan pembuangan akibat aktivitas politik progresif yang dilakukan.
Keadaan tersebut jelas berbeda dengan para pelajar Indonesia yang bergerak diluar
aktivitas politik massa yang radikal dengan gagasan Indonesia merdeka. Atau para pelajar
Indonesia yang memilih hanya untuk berseru dan menempati posisi-posisi ahli di
birokrasi kolonial Hindia-Belanda.
Kekuasaan Belanda dihancurkan oleh Jepang pada 1942, tapi pergerakan
antikolonial, pergerakan dan revolusi nasional telah menciptakan gagasan-gagasan
tentang struktur politik, metode-metode perjuangan dan kepemimpinan untuk mengisi
kekosongan segera setelah kekalahan Jepang (Lane, 2015: 51). Seluruh struktur dan
metode revolusi terbangun menjadi pondasi kuat untuk mengisi kekosongan politik di
depan. Front-front persatuan, partai politik, organisasi-organisasi pemberontakan
bersenjata, Koran, selebaran, konfrensi, kongres, rapat akbar, aksi, revolusi, dan merdeka
menjadi hal-hal yang akrab dengan rakyat dan pelajar progresif.
Pada masa penjajahan Jepang, semua organisasi pelajar dibubarkan dan banyak
perguruan tinggi ditutup. Para pemuda serta pelajar dimasukan kedalam Seinendan-
Keibondan (Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA). Dalam organisasi
203
tersebut mereka didik untuk menunjang politik fasisme seperti latihan militer untuk
membela kepentingan ekonomi-politik Jepang. Jumlah masyarakat yang terdidik secara
formal waktu itu hanya ada tujuh puluh sembilan mahasiswa yang lulus di Hindia selama
1940, ketika diperkirakan total populasi koloni itu tujuh puluh juta. Jumlah lulusan
pendidikan tinggi antara 1924 dan 1940 adalah 532, hanya 230 di antaranya yang
penduduk pribumi (Wal 1963, dalam Aspinall, 2012: 157).. Karena kondisi yang sangat
represif itu, mahasiswa dan pemuda memilih melakukan kegiatan berkumpul dan
berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah kemerdekaan
adalah Asrama “Angkatan Baru Indonesia” (Menteng 31), Asrama “Fakultas
Kedokteran” dan Asrama “Indonesia Merdeka” (Kebon Sirih). Para pemuda inilah yang
berperan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia setelah fasisme Jepang kalah perang.

Kemerdekaan dan Revolusi Nasional: Keluar dari Politik dan


Kebudayaan Kolonial
Pada 17 Agustus 1945 negara Indonesia diproklamirkan, melalui perang gerilya selama
hampir empat tahun terjadi perjuangan untuk menggagalkan upaya Belanda untuk
kembali menjajah Indonesia. Belanda mengakui kekalahannya dengan menandatangani
pengakuan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949.
Pemerintah Hatta saat itu juga menyerah pada Belanda dengan menjanjikan Belanda
untuk mengembalikan seluruh kekayaan kolonial, perkebunan-perkebunan yang telah
mereka curi, pertambangan, berjanji memberikan izin dagang dan jalur pelayaran pada
Belanda serta janji untuk melucuti mereka yang revolusioner, sehingga menyebabkan
bentrokan bersenjata dikalangan gerakan kemerdekaan dan pembantaian besar-besaran
di Madiun pada 1948, ribuan aktivis dan pejuang sayap kiri dibunuh dan dipenjara (Lane,
2014: 52).
Peran para mahasiswa dari perguruan tinggi pada masa revolusi kemerdekaan
(1945-1949) tidak begitu signifikan, walaupun para pemimpin menonjol di pemerintahan
adalah lulusan perguruan tinggi. Sebaliknya, banyak siswa sekolah menengah dan santri
dari pesantren berpartisipasi langsung dalam perjuangan fisik untuk membebaskan
Indonesia dari penjajahan Belanda, seperti yang dilakukan banyak orang muda dari

204
berbagai pelosok desa. Citra pemuda revolusioner, atau remaja, dengan rambut panjang,
gaya pribadi gagah, dan komitmen perjuangan yang tak henti-hentinya melawan Belanda
menjadi salah satu simbol abadi revolusi (Jackson, 2005; Aspinall, 2012).
Pada periode demokrasi parlementer tahun 1950-an, dan rezim Demokrasi
Terpimpin berikutnya (1959- 65), Indonesia perlahan mulai mengembangkan sektor
pendidikan tinggi yang lebih besar dan lebih beragam. Pada tahun 1960, sudah ada lebih
dari 135 institusi pendidikan tinggi, dengan sekitar 60.000-70.000 siswa. Namun, banyak
pengamat telah mencatat bahwa tahun 1950 dan awal 1960-an adalah periode
ketenangan politik relatif di kampus-kampus, dengan kebanyakan mahasiswa yang
hedonistik, elitis, dan apolitis (Aspinall, 2012: 159). Meningkatnya jumlah mahasiswa
secara tajam banyak diisi oleh kalangan kelas atas, itulah yang membuat idiologi borjuis
melekat pada para mahasiswa tersebut. Sedangkan gerakan revolusi nasional yang sudah
terbangun dan berjejalin sejak perjuangan kemerdekaan didominasi oleh para pemuda
nasionalis dan marxis yang radikal.
Gejala politik “aliran” cukup menguat yang membuat setiap masyarakat bisa
menjadi anggota salah satu organisasi politik atau kelompok-kelompok afiliasinya. Partai
dan basis massa yang berafiliasi dalam aliran berkembang diantara jalinan dua gejala
(Lane, 2014: 56). Pertama, adanya kekosongan organisasi sosial dikarenakan penindasan
kolonial. Yang kedua, adalah kebutuhan proses pembangunan bangsa agar memiliki isian
ekonomi-politik yang nyata: kemerdekaan tak akan berarti apa-apa bagi rakyat bila
terpisah dari perjuangan untuk memperbaiki kehidupan material dan peningkatan
kekuatannya, sebagaimana dibandingkan dengan hari-hari saat mereka masih menjadi
“subyek”. Sisa-sisa ekonomi-politik kolonial, sisa-sisa feodalisme dan sisa-sisa
kebudayaan kolonial mencoba untuk terus dihanguskan dalam revolusi nasional
Indonesia. Bagi masyarakat kecil atau kelas proletar kemerdekaan secara politik juga
harus ditunjang kemerdekaan secara ekonomi yaitu untuk mencapai kesejahteraan, dan
perjuangan tersebut membutuhkan organisasi massa, kampanye politik dan advokasi.
Begitu pula bagi borjuis dan borjuis kecil, mereka juga memperjuangkan kemerdekaan,
walaupun pada satu sisi selaras dengan perjuangan kelas proletar dan disisi yang lainnya
cenderung berseberangan.

205
Pada masa revolusi nasional, Mahasiswa mulai dilirik oleh partai-partai politik
sebagai calon potensial untuk membangun massa konstituen dengan menciptakan
organisasi petani, buruh, perempuan, seniman dan kelompok-kelompok lainnya. Politik
aliran juga merangsek ke gerakan mahasiswa, ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
yang terbentuk pada 5 Februari 1947 afiliasinya dengan Partai islam modernis yaitu
Masyumi, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri tanggal 23
Maret 1954 berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI) dibentuk pada 1956 yang memiliki kedekatan dengan PKI
dan juga ada Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang terbentuk pada 1955 yang
berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Politik aliran benar-benar terlihat ketika dilaksanakannya pemilihan umum
demokratis di tahun 1955, bagaimana rakyat sampai level desa begitu antusias memilih.
Ada empat aliran yang terlibat dalam pemilu 1955, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
memenangkan 22,3 persen suara, Masjumi dengan 20,9 persen, Nahdlatul Ulama (NU)
dengan 18,4 persen suara dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 16,4 persen
suara, sedangkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang terasing dari populasi massa hanya
mendapatkan 3 persen suara.
Pada tahun 1960an, organisasi mahasiswa yang menjadi dominan adalah GMNI
dan CGMI. Ini tidak terlepas dari afiliasi mereka kepada partai politik yang berkuasa saat
itu, yaitu PNI dan PKI. Pada awal 1960an GMNI memili jumlah anggota 77.000 orang
sedangkan CGMI sekitar 35.000 orang pada 1964an (Maxwell, 1997: 118). Arah gerak
revolusi nasional Indonesia semakin dipimpin oleh kaum kiri oleh kekuatan politik yang
dibangkitkan melalui mobilisasi proletariat dan petani. Lahirnya Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) 1960, membuat PKI bersama BTI (Barisan Tani Indonesia) dengan
slogannya “…tanah untuk penggarap…” telah berhasil menarik para kaum tani gurem dan
buruh tani untuk melakukan aksi-aksi sepihak terhadap tuan-tuan tanah yang tidak
melaksanakan mandat UUPA.
Gerakan dari kaum kiri ini jelas memperuncing politik aliran. Kelompok kanan
yang masih memiliki jalinan dengan enclave kolonial seperti para perwira militer KNIL
didikan Belanda, para tuan-tuan tanah, borjuis, intelektual didikan sistem pendidikan
kolonial yang buta perjuangan emansipatif dan kelompok enclave kolonial yang lain jelas
206
terancam oleh gerakan yang dilakukan oleh kaum kiri untuk mencapai revolusi nasional
Indonesia. Gerakan-gerakan diluar idiologi kiri mulai tersingkir hingga akhirnya
melakukan pemberontakan (PRRI /Persemesta) dan menepi bersama kekuatan TNI AD.
Gerakan mahasiswa memang menjadi lebih aktif secara politik, sebagian besar
melakukannya sebagai bagian dari gerakan politik nasional. Selama dua dekade pertama
kemerdekaan, mahasiswa menjadi kelompok penting secara politik, akan tetapi sebagai
bagian dari lembaga kolektif. Artinya mahasiswa tidak menjadi identitas otonom atau
sebagai penanda tunggal. Sebelum 1965-1966 istilah yang lebih politik digunakan adalah
“pemuda” (youth), bukan “mahasiswa”. Pemuda menjadi aktor utama pergerakan
nasional bahkan sejak masa kolonial dan pra-kemerdekaan. Pemuda mewakili sosok
populis, egaliter dan radikal serta pejuang sejati bersama rakyat untuk mencapai revolusi
nasional Indonesia.

Regim Orba, Mencuatnya Gerakan Moral & Pemberangusan


Gerakan Politik
Semua ini berubah setelah 1965- 66, ketika para pelajar anti-komunis memainkan peran
utama dalam membawa kejatuhan Presiden Soekarno dan rezimnya, kemudian
mendukung pembentukan rezim Orde Baru. Pemicunya adalah peristiwa Gerakan 30
September 1965, dimana terjadi pembunuhan enam jenderal TNI AD dan satu perwira
senior. Ketegangan politik aliran yang menguat, kemudian disambut oleh militer dengan
menuduh kaum kiri melakukan kudeta. Selama periode 1965-1967 terjadi kampanye
penghabisan gerakan kiri yaitu PKI dan kelompok Soekarnois7. Peran dari kelompok
mahasiswa anti-komunis disini cukup sentral dalam mendorong adanya konsesus-
konsesus pembenaran tidakan pembrangusan tersebut.
Pada 25 Oktober 1965 terjadi pertemuan di rumah Menteri Pendidikan Tinggi,
Brigjen Syarief Thayep dan dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

7 Berbagai sumber seperti dari Rossa, Sarwo Edie, Pram dan yang lain menjelaskan bahwa korban dari
pembantaian eksponen gerakan kiri pada 1965-1967 ini yaitu antara 500 ribu sampai 2 juta manusia
sedangkan puluhan ribu lainnya dipenjara dan dicap sebagai tapol (tahanan politik)
207
Berbagai aksi demonstrasi yang dipelopori oleh KAMI8 yang bekerja sama dengan TNI
AD dengan Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat yaitu Pembubaran PKI beserta ormas-
ormasnya, perombakan kabinet Dwikora dan turunkan harga sembako beriringan dengan
berbagai aksi pembunuhan dan penangkapan terhadap gerakan kiri telah membuat posisi
Soekarno dan kelompok kiri semakin terdesak (Lane, 2014; Aspinall, 2012). Aksi yang
dilakukan oleh KAMI dan sekutunya juga menjadi penting dalam memberikan legitimasi
sipil untuk militer dalam mengambil kekuasaan dan mendesak pembersihan kaum
komunis.
Dalam membangun konsesus politik untuk mendukung gerakan dari militer dan
penyingkiran kaum kiri, para mahasiswa juga menerbitkan Koran propaganda
sebagaimana yang dilakukan oleh militer, seperti koran “Angkatan 66”, “Angkatan Baru”
(diterbitkan oleh himpunan mahasiswa islam) dan “Harian Kami” yang terbit pada bulan
Juni 1966. Selain itu dua hari sebelum pidato Nawaksara dari Presiden Soekarno di
Sidang Umum MPRS yaitu pada 19 Juni 1966, terbit Koran dengan nama “Mahasiswa
Indonesia” di Bandung dengan slogannya Pembina Insan Pancasila (Raillon, 1985).
Pandangan dari Koran terbitan militer dan terbitan yang dikelola oleh KAMI
sangat anti-komunis dan anti-soekarnois. Gerakan-gerakan idiologis terbitan tersebut
berupaya menggiring pemahaman rakyat akan bahaya dari kaum kiri, selain proyek
desoekarnoisasi melalui penyerangan terhadap mitos-mitos dalam sosok Soekarno.
Kemenangan dari Militer yang disokong oleh para mahasiswa ini, membuat diberikannya
politik balas budi. Kalangan pemimpin mahasiswa sebagaimana pengakuan Arief
Budiman (1983: 157) terus mengadakan hubungan dengan pemimpin militer khususnya
Seoharto dalam menjalankan aksi-aksi demo. Disetujuinya TAP MPR RI No.
XXV/MPRS/1966 yang berisi pelarangan terhadap idiologi komunisme/ marxisme-
leninnisme membuat gerakan kiri semakin terhimpit9. Pada 12 Maret 1967, sidang MPRS
menunuk Soeharto sebagai Presiden Indonesia menggantikan Soekarno. Hal tersebut
menandai jaman baru, yaitu yang sering disebut sebagai era orde baru (orba).

8 Seperti yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang didalamnya ada Soe Hoe
Gie yang berafiliasi dengan PSI yang anti Soekarno dan anti PKI, namun pada masa berikutnya Soe Hoe
Gie menyesali keputusannya tersebut.
9 Untuk penjelasan lebih detail baca David Bourchier da Vedi R. Hadiz “Indonesian Politics an Society”.

208
KAMI dan Mahasiswa Elitis: Pergeseran dari Pemuda menjadi Mahasiswa
Kasus gerakan mahasiswa Indonesia pada 1960an memang mengalami perbedaan
dengan gerakan mahasiswa di Asia. Di kampus-kampus di banyak wilayah Asia, tahun
1960-an adalah periode tumbuh dan berkembangnya gerakan mahasiswa yang
dipengaruhi oleh idologi sosialis, komunis, dan politik kiri baru, dan hal tersebut
dikembangkan serta diwariskan pada generasi mahasiswa selanjutnya (Aspinall, 2012).
Sedangkan di Indonesia pada periode 1965-1967 terjadi pemberangusan gerakan kiri
dengan aktor para mahasiswa sayap kanan yang sangat anti-komunis dan anti-soekarnois
yang digawangi oleh KAMI dengan berselingkuh dengan militer.
Dalam konteks masyarakat agraris kecil dan miskin, mahasiswa pada masa itu di
Indonesia memang menjadi sebuah keistimewaan, karena sebagian kecil rakyat yang kaya
yang mampu mengakses pendidikan sampai jenjang Universitas. Apalagi mahasiswa dari
kampus paling elit seperti Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang kemudian menjadi basis KAMI. Para mahasiswa yang bergabung dengan
KAMI memang merupakan mahasiswa elit yang masih bersentuhan dengan enclave
kolonial. Banyak mahasiswa dari KAMI yang menjadi pemimpin organisasi memiliki latar
belakang HMI dan mahasiswa dari pihak Katolik dan Prostestan yang sejak lama
menentang PKI (ibid). Status ekonomi para mahasiswa elit tersebut memang memiliki
hubungan intim dengan para militer yang simpatik dengan kelompok Soeharto.
Gerakan yang dilakukan oleh para mahasiswa angkatan 66 dan militer pro-
Soeharto tersebut adalah bentuk dari gerakan kontra-revolusi. Itu karena gerakan
tersebut bukan saja melakukan penindasan massal terhadap jutaan orang dari organisasi
kiri, tetapi juga pemberangusan terhadap gerak roda revolusi nasional Indonesia.
Gerakan kontra-revolusi tersebut telah menghancurkan pondasi kapasitas gerakan tani,
gerakan buruh dan gerakan rakyat miskin untuk berorganisasi dan melakukan gerakan
politik untuk memperjuangkan hidup mereka, untuk kemudian para mahasiswa dengan
semena-mena datang dengan mengatas namakan diri mereka sebagai “atas nama rakyat”.
Gerakan mahasiswa yang dilakukan oleh angkatan 66 memang mendapatkan
keistimewaan dari militer pro-Soeharto untuk melakukan mobilisasi politik, sedangkan
disisi yang lainnya terjadi pembantaian besar-besaran. Metode gerakan yang dilakukan
mengadopsi apa yang dilakukan oleh gerakan mobilisasi massa untuk mencapai revolusi
209
nasional Indonesia, seperti dengan aksi massa, arak-arakan, pawai, kongres dan forum-
forum publik. Peran para mahasiswa anti-komunis dan anti-soekarnois ini diangkat oleh
penguasa baru sebagai agen penggerak perubahan. Mitos mahasiswa sebagai agen
perubahan menguat dan bahkan menggusur peran “pemuda” yang semasa revolusi
kemerdekaan digambarkan sebagai agen perubahan politik revolusioner.
Pembentukan penanda mahasiswa sebagai agen perubahan ini dilakukan melalui
berbagai terbitan buku, jurnal, Koran, seminar, majalah dan kepengaturan pemerintah
melalui alat represifnya. Seperti dimuat dalam terbitan-terbitan mahasiswa angkatan 66
yaitu koran “Angkatan 66”, “Angkatan Baru” dan “Mahasiswa Indonesia”. Soe Hok Gie
dan Arief Budiman melontarkan ide dan gagasan terhadap artikulasi gerakan moral
mereka dalam seri tulisan di koran sejak awal 1967 (Maxwell, dalam Aspinall, 2012: 166).
Para mahasiswa dan mantan mahasiswa yang mengartikulasikan posisi politik moral yang
pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an adalah mereka yang sangat mendukung
kenaikan militer pro-Soeharto berkuasa pada 1965- 66. Kekuatan moral berfikir bahwa
sarana untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap rezim baru, adalah melalui tuntutan
koreksi saja. Itu karena para pendukung pemikiran kekuatan moral merasa mereka
memiliki saham di Orde Baru, karena mereka dekat dengan para elit Orba yang saling
bekerja sama menjatuhkan Soeharto, sehingga menganggap melalui pernyataan moral
saja sudah cukup dan dapat merubah keadaan.
Aspinall (2012) melihat gerakan moral ini terbentuk salah satunya akibat dari
tindakan represif regim orba, sehingga membuat gerakan mahasiswa dipaksa menjadi
bersikap halus. Pondasi kelas sosial dari kelas atas dan tidak dimilikinya pemahaman
revolusioner seperti kaum kiri, memang telah membuat gerakan moral tersebut tidak
memiliki kapasitas menentang alat represif negara. Artinya gerakan moral ini muncul dan
berkembang biak, paska pembantaian pada peristiwa 65 yang membuat kaum mahasiswa
revolusioner dibunuh, ditangkap dan ditanamkan ketakutan-ketakutan.

Politik Massa Mengambang & Kerangkeng Potensi Gerakan


Progresif

210
Hancurnya gerakan kiri dan dibabatnya basis kelas rakyat, membuat metode gerakan
dikendalikan kelompok kanan, yang dalam tanda kutip berbeda dengan gerakan
perjuangan kelas dari kaum kiri. Lahirnya rezim Orde Baru juga membawa perubahan
fundamental terhadap sistem ekonomi dan politik Indonesia. Itulah mengapa gerakan
pembentuk regim orba ini adalah gerakan kontra-revolusi karena benar-benar
menghancurkan kapasitas revolusi nasional yang sudah terbentuk waktu perjuangan
melawan kolonial.
Gerakan kontra-revolusi pada masa orba selain melalui pembantaian juga
dilakukan dengan depolitisasi terhadap kehidupan rakyat. Ali Moertopo menggagas
konsep floating mass (massa mengambang) pada tahun 1972 dengan tujuan
penyederhanaan partai politik sehingga perhatian rakyat teralih dari isu politik ke usaha
pembangunan. Selain itu, akan terbentuk massa mengambang dan menjadikan Golkar
sebagai salah satu pelaku restrukturisasi politik. Ali Moertopo menyatakan bahwa di
bidang politik dwifungsi ABRI perlu diperkuat, artinya ABRI berperan rangkap sebagai
aparat keamanan dan kekuatan sosial politik. Ia menekankan bahwa ABRI akan
bertindak sebagai stabilisator, dinamisator dan penjaga kebijakan Orde Baru (Semma,
2008: 110). Ali Moertopo mengatakan bahwa:

“Rakyat di desa tidak perlu lagi menghabiskan waktu dan tenaganya yang
berharga untuk melibatkan dirinya dalam kancah perjuangan politik partai dan
golongan, tetapi menyibukkan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan,
sehingga didapatlah apa yang disebut sebagai ‘floating mass’ (massa mengambang)
yang tidak terikat secara permanen dalam keanggotaan sesuatu partai
politik.”(Lane, 2014: 88).

Pada akhirnya proses depolitisasi juga membelenggu aktivisme mahasiswa setelah


sebelumnya dari tahun 1966 – 1980an menjadi satu-satunya ruang politik yang diberi
kebebasan melakukan berbagai gerakan. Gerakan yang dilakukan oleh para mahasiswa
pada masa orde baru memang mengalami pasang surut dari bekerjasama dengan regim
kemudian menentangnya. Itu tak terlepas dari adanya generasi-generasi baru didalam

211
gerakan mahasiswa. Generasi baru paska-angkatan 66 ini yang kemudian memulai
gerakan menjadi oposisi rezim orba.
Pada tahun 1970 sampai 1972 muncul pemimpin gerakan mahasiswa yang
mengkritik pemerintahan Soeharto, akan tetapi tetap terbatas dalam parameter gerakan
moral. Gerakan protes mahasiswa pada masa itu lebih bersifat non-permanen.
Menyikapi persiapan penyelenggaraan Pemilu 1971, Arief Budiman bersama
kelompoknya melakukan gerakan yang disebut Golongan Putih (Golput). Gerakan ini
dimaksudkan untuk menghimpun orang-orang yang tidak ikut pemilu. Selain itu, dia juga
melakukan kritik terhadap aktivis mahasiswa yang mendukung pemilu dan bahkan
menyuarakan massa untuk mencoblos Golkar (Suharsih & Kusuma, 2007). Kelompok
golput ini aktif terutama di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.
Protes besar mahasiswa anti-pemerintah meningkat di tahun 1973-74 dan 1977-
78, namun tetap saja dalam koridor gerakan moral. Gelombang pertama bertepatan
dengan ketegangan serius dalam elit militer dan memuncak dengan apa yang disebut
Malari Affair pada tanggal 15 Januari 1974, ketika ada kerusuhan meluas di Jakarta.
Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 yang dipelopori dewan mahasiswa UI
(Universitas Indonesia), dimana terjadi gerakan protes mempertanyakan kedekatan
pemerintah dengan pengusaha etnik Tionghoa dan penolakan terhadap investor Jepang.
Namun gerakan tersebut kembali dapat diredam dengan ditangkapnya 18 tokoh gerakan
pada 19 Januari 1974.
Arief Budiman sebagai salah satu pemimpin gerakan mahasiswa melihat bahwa
sesudah 1974 ini orang tampaknya takut menyuarakan kritik. Lebih lanjut Arief Budiman
menambahkan:

Tetapi menarik sekali, bahwa pada tahun 1975, Kepala staf Kopkamtib
memperingatkan agar para mahasiswa jangan apatis. Beberapa akademis dan
cendikiawan malahan diundang untuk mendiskusikan cara-cara untuk lebih
menggiatkan lagi kegairahan para mahasiswa dan cendikiawan.... Fenomena
inipun bisa dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kultural atau
pendekatan struktural. Pemerintah tidak dapat merasa tenang jikalau tidak
memberikan kesempatan kepada Sang Resi untuk menyampaikan kritiknya.

212
Dengan pendekatan struktural hal ini bisa dijelaskan sebagai gejala dari
adanya kebutuhan akan informasi balik dari luar birokrasi (1983: 1962-1963).

Proses pembentukan penanda mahasiswa sebagai agen perubahan cukup


menguat dengan menganggap diri mereka sendiri sebagai “Sang Resi”. Potensi
mengancam status-quo yang tidak dimiliki oleh kekuatan moral tersebut, membuat
penguasa dengan halus seperti Guru yang menyuruh anak didiknya (karena mantan
KAMI dan masih ada ikatan dengan KAMI) untuk melakukan aksi protes sebagai feed-
back. Itulah bentuk regresif dari gerakan mahasiswa dengan kekuatan moralnya, yang
mengaku “atas nama rakyat” akan tetapi rakyat dibiarkan tidak memiliki kapasitas untuk
mengorganisir diri menjadi oposisi pemerintah bahkan mahasiswa dengan kekuatan
moral inilah yang juga turut melucuti kapasitas rakyat tersebut setelah peristiwa 1965.
Artinya gerakan mahasiswa pada waktu itu digunakan penguasa untuk mengisi
kekosongan oposisi politik karena gerakan yang mereka lakukan tidak radikal.
Upaya depolitisasi pemerintahan Soeharto terhadap gerakan mahasiswa juga
dilakukan dengan berusaha untuk memisahkan antara kehidupan mahasiswa dengan
politik secara represif (paksaan). Seperti diterbitkannya Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomer 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan
Kampus (NKK) dan setahun setelahnya juga dikeluarkan Surat Keputusan
No.37/U/1979 yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang
membuat pemerintah mengontrol dengan ketat kegiatan politik yang dijalankan oleh para
mahasiswa (Usman, 1999: 155-156). Melalui peraturan tersebut, ruang kampus yang
sebelumnya menjadi pusat pergerakan menjadi dibuat mengambang.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1973 – 1978 memang sudah menggunakan
metode-metode gerakan dan kampanye sebelum peristiwa 1965, namun gerakan tersebut
masih tidak menyoroti latar belakang terbentuknya rezim orba dan politik demonisasi
(pengiblisan) terhadap PKI , Soekarno dan kaum kiri. Gerakan yang terkerangkeng
dalam jeratan gerakan moral dengan landasan menentang bergerak bersama rakyat,
menolak menginisiasi pemogokan karena dianggap memicu kericuhan dan menghindari
politik kekuasaan tentang alternatif lain, membuat gerakan-gerakan ini mudah dipatahkan
dengan sedikit represi.
213
Gerakan Mobilisasi Massa: Gerakan Politik Meruntuhkan Regim
Orba
Efek lain dari NKK/BKK adalah terjadinya militerisasi di kampus-kampus. Meskipun
NKK/BKK membuat rektor bertanggung jawab terhadap berbagai pelarangan, juga
dibuat jalan untuk pengawasan rutin dari kehidupan mahasiswa oleh ABRI dan badan-
badan intelijen sipil. Di setiap Korem seorang petugas diberikan jabatan untuk
mengurusi kontak reguler dengan wakil rektor untuk urusan mahasiswa di setiap
universitas. Universitas menjadi tempat penting bagi operasi intelejen militer. Intel-intel
menghadiri seminar dan Resimen Mahasiswa—yang diatur melalui rektor oleh
komandan tentara—semakin berfungsi sebagai wadah yang tidak hanya berguna untuk
rekruitmen dan pelatihan calon tentara, tetapi juga sebagai jaringan intelijen di dalam
kampus untuk mengawasi aktivitas mahasiswa lainnya. Mahasiswa yang menjadi anggota
Resimen Mahasiswa (Menwa), berfungsi sebagai informan, mengumpulkan bukti dan
membuat daftar mahasiswa yang mengikuti demonstrasi. Militer juga menggunakan
penjahat paramiliter, termasuk anggota Menwa dan yang paling umum anggota Pemuda
Pancasila untuk mengintimidasi ataupun membubarkan aksi mahasiswa (Suharsih &
Kusuma, 2007: 90).
Gerakan mahasiswa yeng lebih progresif pada era akhir 1980an sampai 1998
mulai belajar dari kekalahan atau kesalahan gerakan sebelumnya paska 1965 yang
cenderung terjerembab dalam kekuatan moral. Gerakan moral ini yang membuat para
aktivis pergerakan mahasiswa terpisah dari kekuatan rakyat dan mereka tak memiliki basis
massa yang kuat dan luas (analisa Danial Indrakusuma, aktivis mahasiswa & tokoh pendiri
PRD). Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada tahun 1980an, melalui strategi
Live-in (hidup dan berjuang bersama rakyat)g erakan mahasiswa tersebut mampu
menggulingkan diktator Marcos, maka gerakan mahasiswa progresif di Indonesia pada
masa itu mencoba belajar dan menapaki keberhasilan strategi mahasiswa
Fhilipina. Namun tetap gerakan kekuatan moral masih mendominasi diskursus gerakan
mahasiswa.

214
Salah satu konflik yang menyita banyak perhatian adalah konflik di
Kedungombo. Dalam konflik tersebut terjadi mobilisasi massa yang cukup masif dari
berbagai jaringan aktivis untuk berjuang bersama rakyat di Kedungombo ini. Para aktivis
mahasiswa juga banyak yang terlibat didalamnya. Proyek Dam dan Irigasi Multiguna
Kedungomobo ini diinisiasi oleh pemerintah yang bekerjasama dengan Bank Dunia yang
memberi bantuan sebesar 156 juta dollar AS kepada pemerintah Indonesia untuk
membangun proyek tersebut. Setelah peristiwa Kedungombo ini, kemudian muncul
peristiwa Nipah di Madura yang terjadi karena unjuk rasa yang dilakukan petani di desa
Planggaran Barat yang kemudian ada penembakan yang dilakukan oleh aparat, kemudian
peristiwa-peritiwa lain yang melibatkan rakyat melawan negara seperti di Cimacan,
Blangunan, Talang Sari dan Way Kambas.
Menurut Edward Aspinall, advokasi yang dilakukan oleh mahasiswa terhadap
permasalahan rakyat menjadi ciri gerakan mahasiswa era 1990an. Advokasi tersebut
berupa “turun ke bawah” yakni bekerja sama dengan dan mendampingi kaum buruh dan
petani. Pada intinya, proses ini merupakan awal kemunculan suatu orientasi massa.
Pada proses radikalisasi tersebut terbentuk wadah-wadah organisasi revolusioner
paska- YMB yaitu seperti Forum Belajar Bebas (FBB) dengan aliran marxis akademiknya,
kemudian muncul organisasi yang berorientasi aksi seperti Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI); dari
para pemimpin dan aktivis SMID serta PPBI-lah yang berinisiatif membentuk PRD
(Lane, 2014: 214-215). PRD dibentuk pada 02 Mei 1994 dan menjalankan peran penting
dalam gerakan politik progresif di Indonesia pada masa itu.
Kemunculan PRD ini dapat dilihat sebagai konsolidasi dari berbagai organisasi
akar rumput dan para aktivis ditengah terus meningkatnya gerakan aksi massa yang
terjadi. Data dari Yayasan Insan Politika (YIP) menunjukan pelonjakan dalam jumlah
aksi protes setelah 1992 (protes mahasiswa, tidak memasukan aksi buruh dan petani)
yaitu pada 1993 ada 71 kali aksi protes dan pada tahun 1994 ada 111 kali aksi protes (ibid:
223). Data tersebut akan lebih besar lagi jumlah protes yang dimasukan jikalau aksi buruh
dan petani turut dimasukan serta sumber utamanya tidak hanya dari penelusuran
terhadap terbitan Koran di kota-kota besar semata.

215
Ketika melakukan aksi mendukung PDI Megawati, tigapuluh pemimpin dan
anggota PRD ditangkap dan dipenjara. Budiman Sudjatmiko sebagai ketua umum,
divonis 13 tahun penjara, sedangkan lainnya mendapat vonis beragam, antara 1,5 tahun
hingga 12 tahun (Miftahuddin, 2004: 85). Pelarangan PRD membuat para aktivisnya
tetap terus bergerak tapi di bawah tanah. Mereka juga membentuk berbagai wadah-
wadah baru non-permanen. Sedangkan proses radikalisasi yang dibentuk juga membuat
gerakan-gerakan dari organisasi mahasiswa seperti Senat Mahasiswa, BEM dan Dema
dari berbagai universitas juga mulai mengembangkan tuntutan mereka tidak hanya secara
moralitas semata. Akan tetapi metode gerakan dari organisasi intra kampus ini masih
tidak bergerak bersama rakyat. Ketika krisis ekonomi muncul pada 1997, gerakan
mahasiswa yang sebelumnya pasif kemudian turut melakukan gerakan-gerakan spontan.

Tabel 1
Potret fragmentasi aksi protes mahasiswa sebelum tragedi 12 Mei 1998
No Spektrum/ Organisasi Isu/ Wacana Strategi/ Sikap
Haluan
1 Radikal-Militan Forkot, KPRP, Tolak Soeharto, Penyebaran pamflet,
PRD Turunkan Soeharto, membangun jaringan
Cabut Dwifungsi yang luas, aksi jalanan,
ABRI, Cabut UU tidak mau dialog/
Politik, Bubarkan kompromi
MPR/ DPR,
Reformasi Total
2 Moderat- Senat, FKMSJ Turunkan harga, tolak Hati – hati, lamban,
Konservatif kekerasan, reformasi bersedia dialog (kecuali
damai, reformasi untuk UI dan UGM), aksi
rakyat, hapuskan KKN damai, aksi moral yang
murni
3 Moderat- Organisasi Muslim Turunkan harga, tolak Hati – hati, lamban,
reaktif-religius (LMMY, KAMMI, kekerasan, reformasi bersedia dialog, reaktif,

216
HMI) damai, reformasi untuk aksi damai dikampus
rakyat, hapuskan KKN dan Masjid, aksi moral
religius. Tidak turun
jalan menghindari
provokasi dan
kerusuhan
Sumber: Sutoro Eko dalam Suharsih & Kusuma, 2007: 99

Berbagai politik gerakan mobilisasi massa terus terjadi dengan eskalasi yang terus
meningkat. Akhirnya pada 21 Mei 1998, memaksa Soeharto mengundurkan diri dari
kursi Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Habibie disumpah untuk
menggantikannya sebagai Presiden. Namun gerakan dengan kesadaran yang lebih maju
dan radikal menolak pergantian pemimpin ke Habibie, karena Habibie adalah bagian dari
kroni-kroni Orba. Sedangkan kelompok gerakan mahasiswa konserfativ dan moderat
tetap mendukung transisi pemerintahan. Kelompok terakhir ini tetap menggunakan
metode lama yaitu gerakan moral.

Tabel 2
Potret Fragmentasi Gerakan Mahasiswa pada Periode Habibie
Gerakan Organisasi Isu Strategi Aksi
- Presiden Habibie - Mengutamakan gerakan
konstitusional dan moral dan intelektual daripada
- KAMMI
mendukungnya sebagai aksi massa jalanan
- HAMMAS
pemerintahan transisi - Reformasi dilakukan secara
- Forsal
- Hapuskan Dwifungsi ABRI damai tanpa kekerasan
Moderat - Forma
- Adili Soeharto
- HMI-DIPO
- Hapuskan KKN
- FKSMJ
- Mendesak pemilu dipercepat
yang harus jurdil dan
demokratis

217
- Menerima SI MPR secara
kritis
- Presiden Habibie tidak - Memadukan aksi massa
konstitusional jalanan dan intelektual sebagai
- Forkot - Tolak DPR/ MPR hasil metode gerakan
- Famred pemilu Orba - Membangun aliansi politik
- KB-UI - Menuntut dibentuk yang lebih luas dengan elemen
- Komrad Pemerintahan Presidium, masyarakat lainnya
- Forbes Komite Rakyat Indonesia, - Bersedia bentrok dengan
- Gempar Dewan Rakyat aparat jika terpaksa
- HMI-MPO - Tolak SI MPR dan hasil- - Cenderung tertutup
Radikal
- KOBAR hasilnya terhadap figur publik yang
- KPRP - Tolak pemilu yang tidak sejalan dengan mereka
- KMPPRL diselenggarakan pemerintahan untuk hadir dalam kegiatan

- DRMS Habibie mereka

- PRD - Hapuskan total Dwifungsi


ABRI
- Adili Soeharto dengan
“Pengadilan Rakyat”
- Reformasi total sekarang juga
Sumber: Munafrizal Manan, 2005: 182

Selama bulan Juni 1998, tercatat 274 kali demonstrasi, dengan isu utama “Sidang
Istimewa MPR, segera adili Soeharto, cabut Dwi-fungsi ABRI”. Aksi-aksi menuntut
perubahan politik dan ekonomi juga terjadi di daerah-daerah. Gerakan mahasiswa seperti
Forkot, Pamfred, komrad dan PRD yang lebih revolusioner dibanding gerakan lain, terus
menuntut dijalankannya reformasi total dan dijalankannya dewan rakyat untuk mengisi
kepemimpinan di pemerintahan. Ekskalasi massa memang terus meningkat.
Hingga akhirnya terjadi demobilisasi aksi massa menjelang dilaksanakannya
Sidang Umum Istimewa MPR pada November 1998. Itu adalah ketika terjadi deklarasi

218
Ciganjur yang dilakukan oleh Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Sultan
Hamengkubuwono pada 10 November 1998 di rumah Abdurrahman Wahid (Lane,
2014: 302)

Era Reformasi & Kepengaturan: Membonsai Watak Konfrontatif


Gerakan
Gerakan mahasiswa progresif dan gerakan kiri memang tidak mampu membawa
loncatan lebih maju kedepan yaitu untuk mencapai reformasi total dan pembentukan
dewan rakyat. Namun mereka telah mampu membawa perubahan berarti dalam kancah
demokratisasi di Indonesia setelah jatuhnya rezim otoritarian Soeharto. Dinamika politik
di pemerintahan memang mengalami perubahan, akan tetapi kesadaran massa untuk
mengorganisir diri dan mencapai kapasitas sebagaimana sebelum peristiwa 1965 untuk
memperjuangkan kelasnya belum benar-benar menjadi pondasi yang kuat.
Pada era reformasi liberalisasi pendidikan memang telah membuat
membludaknya jumlah perguruan tinggi dan para mahasiswanya. Pola-pola ‘liberalisasi’
sangat khas: menjadikan institusi pendidikan otonom, menanamkan logika kompetisi,
dan mereduksi peran negara dalam pembiayaan pendidikan (Collins, 2009). Data dari
Dikti menunjukan bahwa pada tahun 2015 di Indonesia ada 517 Universitas, 133
Institute, 2.361 Sekolah Tinggi, 230 Politeknik, dan 1.082 Akademi. Sedangkan jumlah
mahasiswanya ada 2.121.314 laki-laki dan 2.304.275 perempuan (Forlap Dikti, 2015).
Menjadi besarnya jumlah mahasiswa memang telah mereduksi posisi keistimewaan
sebagai mahasiswa di masyarakat. Selain itu jumlah mahasiswa yang masih di perguruan
tinggi yang hampir 4,5 juta tidak secara otomatis membuat mereka peduli terhadap
kehidupan rakyat disekitarnya dan bergerak secara politik.
Bagi freire (2011) pendidikan itu tidak akan pernah ada yang netral di dunia ini.
Netralitas pendidikan baginya adalah sebuah kenaifan, karena dibelakang netralitas yang
diumbar dan disuarakan pasti ada politisasi pendidikan dibelakangnya. Dalam proses
pendidikan, apa yang diajarkan adalah pengetahuan yang mengandung dominasi budaya
yaitu pengetahuan yang disusun melalui proses selektif yang memasukan kepentingan
tertentu dan membuang yang lainnya.

219
Pengebirian mahasiswa dari watak konfrontatifnya adalah melalui pembentukan
mahasiswa sebagai penanda pasif sebagaimana yang diharapkan penguasa. Ada degredasi
wacana, dimana kampus lebih sering mengadakan diskusi motivasi dibanding diskusi
idiologis gerakan. Tradisi intelektual hidup karena ada perdebatan, konfrontasi dan
wacana, sedangkan birokrasi kampus berupaya untuk menghilangkan tradisi tersebut,
karena jika tradisi itu hidup maka akan menjadi ancaman bagi oligarki kekuasaan.
Sistem pendidikan yang tidak membebaskan dan bias kelas sekarang ini tak bisa
dipisahkan dari peristiwa kejahatan kemanusian di tahun 1965-1967, kemudian disemikan
oleh kekuasaan otoriter orba hampir 32 tahun. Yang terjadi adalah dihancurkannya
kapasitas, tradisi dan kekuatan untuk mencapai revolusi Indonesia oleh kekuatan kontra-
revolusi. Benang merah perlawanan yang berjejaring semenjak hampir 300 tahun
perjuangan Indonesia untuk merdeka sampai 1965 harus diputus oleh peristiwa 65
tersebut. Kampus sebagai bagian dari otonomi negara, tidak bisa menghindar dari
kepentingan ekonomi-politik pemerintah yang berkuasa. Maka kapitalisasi kampus adalah
salah satu buah hasil gerakan kontra-revolusi paska-peristiwa 65, dimana pendidikan
menjadi dikomersialisasi, kurikulum yang bias kelas, mahasiswa menjadi sapi perah dan
tradisi intelektual yang mengarah ke pembebasan sosial untuk kaum yang bawah yang
tertindas dan tersubordinasi dibuat senyap. Maka pendidikan kaum tertindas
sebagaimana yang dilontarkan Paulo Freire (2011) yaitu pendidikan sebagai piranti yang
memerdekan dan menjadi alat perjuangan melawan penindasan dalam relasi yang
timpang, akan sulit terwujud dalam konteks berkuasanya oligark dipemerintahan
Indonesia saat ini.
Melihat keadaan tersebut, berharap bahwa semua mahasiswa memiliki tradisi
intelektual yang mengarah ke pembebasan sosial adalah sebuah kesalahan. Pengetahuan
dan intelektualisme mereka merupakan produk dari relasi produksi kapitalisme yang
bertransformasi mendukung hirarki pengetahuan diantara masyarakat. Para mahasiswa
ini sebagian besar adalah kelas menengah baru yang dihasilkan dari perkembangan
kapitalisme di Indonesia. Hal tersebut memang secara spontan membawa watak
mahasiswa menjadi watak moralis, karena itu selaras dengan idiologi kelas menengah.
Disenyapkannya tradisi intelektual organik yang membawa perjuangan emansipasif
membuat imajinasi perlawaan mereka bersifat reformis dengan metode kekuatan moral.
220
Alih-alih membawa perubahan transformatif, gerakan moral yang mereka perjuangkan
cenderung mengalami keterputusan antara wacana dan orientasi perjuangan praksis.

Yang Progresif dan yang Regresif: Dinamika Gerakan Organisasi Mahasiswa


Metode gerakan mahasiswa paska-reformasi memang berbeda-beda, akan tetapi
tradisi politik ekstra-parlementer atau politik jalanan menjadi strategi utama gerakan.
Disini penulis membagi kesadaran dan metode gerakan mahasiswa tersebut menjadi dua
sebagaimana yang sudah dijelaskan diawal, yaitu yang progresif dan yang regresif.
Gerakan politik progresif memang mengalami perkembangan pesat, namun mereka
masih terpecah-pecah dan belum mencapai titik temu dalam melakukan konsolidasi
gerakan. Perkembangan ekonomi-politik Indonesia telah membentuk kelas baru yang
lebih bertenaga dan lebih potensial untuk politik perubahan yang akan berinteraksi
dengan kepeloporan. Kondisi ekonomi, sosial dan demografi Indonesia yang juga
berkembang benar-benar akan menjadi landasan yang lebih menguntungkan bagi
aktivitas apapun yang bertujuan mengorganisasikan dan meradikalisasikan (kembali)
kelas-kelas tertindas (Lane, 2014: 450).
Disisi yang lain wacana kekuatan moral masih tetap menghegemoni organisasi-
organisasi kemahasiswaan terutama yang bertendensi moderat-reaksioner-relijius, seperti
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam), GEMA Pembebasan, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM
(Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), PMKI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Indonesia), HMDI (Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia), GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia). Gerakan mahasiswa yang bertendensi dengan aliran
agama ini memang sejak awal memiliki watak moralis sehingga kemudian klop dengan
metode gerakan moral ini. Memang ada beberapa anggota yang didalamnya yang
berpandangan progresif dan kemudian mereka cenderung keluar dari organisasi tersebut
disbanding memperbaiki organisasi dari dalam. Itu juga tak terlepas dari dilucutinya
konstruksi revolusioner yang ada dalam setiap agama tentang pembebasan sosial pada era
kontra-revolusi.
Gerakan mahasiswa ekstra-kampus dengan tendensi moderat-reaksioner-relijius
ini memang cukup menguat paska-reformasi. Mereka menguasai organisasi-organisasi
221
kemahasiswaan intra kampus seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), Senat
Mahasiswa, DEMA (Dewan Mahasiswa) dan juga Himpunan Mahasiswa (HIMA) di
berbagai fakultas dan jurusan di kampus-kampus. Keadaan tersebut membuat tendensi
reaksioner dengan metode kekuatan moral sangat melekat dalam arah gerakan mahasiswa
dari organisasi-organisasi tersebut. Namun dari segi tuntutan, kelompok moderat-
reaksioner-relijius yang bertendensi kanan ini banyak mengambil wacana-wacana politik
progresif, seperti: anti-komersialisasi pendidikan, nasionalisasi aset asing dan kedaulatan
negara dalam sektor pangan, ekonomi dan energi.
Mencuat dan menguatnya gerakan moderat-reaksioner-relijius ini tak bisa
dilepaskan dari kosongnya politik alternatif ketika kebijakan NKK/BKK dijalankan pada
1978-1979 dan meningkatnya jumlah mahasiswa serta kelas menengah-menengah baru di
Indonesia. Keadaan tersebut mendorong generasi mahasiswa yang terpotong ingatan
atau memori sejarahnya dari revolusi nasional Indonesia dan mencari-cari politik
alternatif dan dalam konteks gerakan tarbiyah islam, mereka mendapatkan wacana-
wacana politik mereka dalam gerakan tarbiyah ini. Menguatnya gerakan tarbiyah ini juga
dibarengi menguatnya pengaruh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di tingkat
pemerintah pusat setelah Pemilu 1992 (Husin, 2014: 101). Pada tahun 1997 banyak
mantan aktivis gerakan tarbiyah terutama dari HMI yang menjadi bagian dari Elit Orba.
Berdasarkan data dari Majalah Ummat, dua ratus dari lima ratus anggota DPR setelah
pemilu 1997 memiliki latar belakang gerakan tarbiyah (Aspinall, 2012: 173). Hal tersebut
mendorong senioritas dalam organisasi mahasiswa masih kuat. Organisasi digunakan
oleh senior organisasi untuk menjadi batu loncatan dan meraup dukungan dilingkaran
kekuasaan (Eko Prasetyo, diskusi MAP Corner-klub MKP UGM ---2014).
Untuk melihat bagaimana keterputusan antara wacana dengan orientasi
perjuangan praksis dalam metode gerakan moral ini, kita dapat menganalisis gerakan
yang dilakukan oleh BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa – Seluruh Indonesia) paska-
reformasi. Aliansi BEM SI ini digagas pada tahun 2007 ketika melakukan kongres di
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada 2-3 November 2015, disusul pertemuan
kedua pada 21-24 Desember 2007 di IPB (Huzin, 2014: 136). Pada awal berdirinya BEM
SI beranggotakan 37 Perguruan Tinggi di Indonesia.

222
Pada masa pemerintahan SBY-JK, BEM SI melakukan evaluasi besar-besaran
dengan membuat tuntutan “Tujuh Gugatan Rakyat” (Tugu Rakyat) dan melakukan aksi
nasional pada Mei 2008 di depan Istana Negara. Adapun poin dari “Tujuh Gugatan
Rakyat” tersebut adalah: 1) Nasionalisasi aset strategis bangsa; 2) Mewujudkan
pendidikan yang bermutu, terjangkau, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia; 3)
Tuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto beserta kroni-kroninya sebagai perwujudan
kepastian hukum di Indonesia; 4) Kembalikan kedaulatan bangsa pada sektor pangan,
ekonomi dan energi; 5) Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan
pokok bagi rakyat; 6) Tuntaskan reformasi birokrasi dan berantas mafia pendidikan; 7)
Selamatkan lingkunga Indonesia dan tuntut Lapindo Brantas untuk mengganti rugi
seluruh dampak dari Lumpur Lapindo (ibid). Melalui “Tujuh Gugatan Rakyat” tersebut
pemerintahan SBY-JK dianggap gagal.
Sedangkan pada masa pemerintahan Jokowi-JK yang terpilih di pilpres 2014
kemarin, setelah setahun masa kepemimpinan Jokowi-JK tersebut yaitu pada 28 Oktober
2015, BEM SI mengadakan “Sidang Rakyat”. Dalam Sidang Rakyat tersebut, masing-
masing perwakilan mahasiswa menyampaikan dakwaan terhadap Presiden Jokowi di 8
Bidang, yang meliputi Pendidikan, Ekonomi, Kesehatan, Hukum, Energi, Kemaritiman,
Lingkungan, dan Pangan. Sebelumnya pada 20 Oktober 2015 puluhan Presiden
Mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi berkeliling Kota Jakarta menggunakan Metro
Mini yang telah dipasang spanduk bertuliskan “Sidang Rakyat 28 Oktober 2015 di Istana
Negara”. Mereka hendak mengundang rakyat Indonesia untuk hadir dalam Sidang
Rakyat menuntut Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla karena telah gagal
dalam setahun kepemimpinannya (BEM SI, 20/10/2015).
Keanggotaan BEM SI pada tahun 2015 mencapai 121 Perguruan Tinggi. Pada
aksi “Sidang Rakyat” di depan Istana Negara pada 28 Oktober 2015 mereka
memobilisasi hampir 2000 mahasiswa. Dengan berbagai dakwaan, hasil “Sidang Rakyat”
tersebut menyatakan bahwa Jokowi Gagal dan Presiden Jokowi disuruh merealisasikan
poin-poin kegagalannya tersebut dalam 100 hari setelah putusan sidang rakyat diketuk.
BEM SI berharap putusan Sidang Rakyat yang dibacakan dapat segera direalisasikan
oleh Presiden dan apabila gagal terealisasi, Jokowi akan kami minta mundur
dari jabatannya sebagai Presiden (BEM SI, 28/10/2015).
223
Melihat gerakan dari BEM SI ini memang sepintas radikal dengan tuntutan yang
militan diiringi dengan strategi aksi mobilisasi massa. Namun gerakan tersebut masih
tetap gerakan dengan kekuatan moral yang merupakan paham pemecah belah gerakan.
Gerakan dari BEM SI ini masih terjebak dalam gerakan koreksi dan peringatan untuk
meminta kebaikan hati penguasa, bukan membangun kapasitas gerakan menekan
penguasa. Terminologi “Tujuh Gugatan Rakyat” dan “Sidang Rakyat”, tetapi tanpa
sedikitpun melibatkan gerakan rakyat yang diangkat oleh BEM SI adalah konstruksi
mahasiswa warisan dari rezim orde baru. Mahasiswa dibentuk oelh razim sebagai gerakan
yang tidak memiliki ambisi kekuasaan, menolak membangun aliansi dengan rakyat,
menganggap diri mereka sebagai agen perubahan atau resi sehingga dengan hanya
tuntutan koreksi sudah cukup karena ketika terjadi radikalisasi itu bisa membuat
kerusuhan.
Metode gerakan dari BEM SI cenderung bersifat regresif, mereka gagal melihat
siapa kawan yang harus dirangkul dan siapa musuh yang harus dilawan. Mereka masih
menganggap bahwa wacana pembebasan sosial bagi rakyat tertindas bisa dilakukan tanpa
melibatkan gerakan rakyat tertindas secara sadar. Selain itu permasalahan struktural
dalam tataran sistem yang timpang dilihat sebagai akibat personal dari penguasa tanpa
meletakan analisis terhadap kekuatan oligarki dan perkembangan kapitalisme. Sehingga
tuntutan mereka adalah bahwa Jokowi gagal, maka Jokowi harus turun dari kursi
kepresidenan, pertanyaannya kemudian setelah Jokowi turun siapa yang akan
menggantikannya? Jika penggantinya tetap dari lingkaran penguasa sekarang dan
merupakan bagian dari oligark, maka yang terjadi juga tetap saja. Mereka tidak punya
alternatif sistem lain dan alternatif relasi kuasa yang memihak upaya pembebasan sosial
bagi kelas bawah, dan itu membuat gerakan BEM SI bersifat regresif atau mundur.

Penutup
Setelah melakukan analisa pembedaan antara gerakan progresif dan gerakan regresif,
kemudian dilanjutkan pada pembabakan gerakan mahasiswa dari masa ke masa disana
dapat dilihat bahwa gerakan mahasiswa progresif adalah gerakan yang mampu
menggerakan atau mempelopori secara lebih maju upaya pembebasan sosial bagi kelas

224
tertindas. Walaupun kemudian gerakan pelopor tersebut dihadapkan dengan berbagai
permasalahan dan dialektika kebelakang ketika peristiwa kontra-revolusi yang melahirkan
rezim Orde Baru muncul.
Dalam pemaparan di tulisan ini penulis berupaya membuka kotak pandora
tentang sifat regresif dari gerakan mahasiswa yang mengedepankan kekuatan moral.
Yaitu bahwa gerakan moral ini merupakan paham pemecah belah gerakan yang
pondasinya mulai dibangun atas dasar kepentingan politik penguasa militer pro-Soeharto
untuk menciptakan konsesus-konsesus yang mendukung penghancuran basis kelas
tertindas yaitu kaum kiri dan soekarnois. Setelah itu dengan dukungan penguasa gerakan
moral dikonstruksi agar tidak memiliki kekuatan revolusioner salah satunya dengan
melucuti sifat radikal gerakan. Itulah yang membuat gerakan moral ini tak memiliki
potensi menciptakan tatanan yang emansipatif karena memisahkan diri dengan kekuatan
massa dan menganggap diri mereka superior serta seperti koboy.
Maka gerakan kepeloporan yang lebih maju yang memiliki potensi besar untuk
menciptakan tatanan yang emansipatif dengan idiologi pembebasan sosial adalah
gerakan-gerakan mahasiswa yang berwatak progresif. Dan di Indonesia saat ini, gerakan
mahasiswa progresif tersebut salah satunya ada pada FMN, LMND, PEMBEBASAN,
SMI, SEKBER, SEMAR UI dan juga gerakan mahasiswa progresif lainnya dengan
idiologi perjuangan kelas yang dipegang.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 1983. Old State, New SocietyL Indonesia’s New Order in Comparative
Historical Perspektive. Journal of Asian Studies 42, pp: 77-96.
Apinall, Edward. 2012. Indonesia: moral force politics and the struggle against authoritarianism , in
Weis, Meredith L & Aspinall, Edward (ed). Student Activism in Asia: Between Protest
and Powerlessness. London: University of Minnesota Press. pp. 153-180.
Aspinall, Edward. 2005. Opposing Suharto: Compromise, Resistance and Regime Change in
Indonesia. New York: Stanford University Press.
Bourchier, David & Vedi R Hadiz. 2005. Indonesian Politics and Society. London & New
York: RouledgeCurzon.

225
Budiman, Arief. 1983. Peranan Mahasiswa Sebagai Inteligensia, in Aswab & Natsir, Ismed
(ed). Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES. pp. 143-163.
Collins, Christopher dan Robert Rhoads. (2009). “The World Bank, Support for
Universities, and Asymmetrical Power Relations in International
Development”. Higher Education 59: 181-205.
Dahm, Bernhard. 1971. History of Indonesia in the Twentieth Century. : Greenwood Pub
Group.
Edman, Peter. 2007. Komunisme Ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah
Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965. Jakarta: Center for Information Analysis
Freire, Paulo. 2011. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Hieriej, Eric. 2012. Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan. Yogyakarta: Institute of
International Studies.
Husin, Lutfi Hamzah. 2014. Gerakan Mahasiswa Sebagai Kelompok Penekan: Keluarga
Mahasiswa UGM dari Masa Orde Lama hingga Paska-reformasi. Yogyakarta: PolGov.
Ingleson, John. 2015. Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920an-1930an. Tangerang:
Marjin Kiri.
Jackson, Elisabeth. 2005. “Warring Words”: Students and State in New Ordes Indonesia, 1966-
1998. Thesis of Doctor of Philosophy of the Australian National University.
Kasenda, Peter. 2014. Sukarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi
Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Lane, M. 2012. Malapetaka Di Indonesia; Sebuah Esei Renungan Tentang Pengalaman Sejarah
Gerakan Kiri. Jakarta: Djaman Baroe.
Lane, Max. 2014. Unfinished Nation. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe.
Li, Tania Murai. 2012. The Will to Improve:Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di
Indonesia. Tangerang: Marjin Kiri.
Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat Peristiwa
G30S dari Perspektif Lain. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Miftahuddin. 2004. Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani. Jakarta: Desantara.
Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elit. Yogyakarta: Resist Book.
Novianto, Arif. Kurniawan, Lukman & Wibawa, Samodra. 2015. Krisis Kapitalisme dan
Dinamika Gerakan Kiri Dalam Pemilu: Perbandingan Indonesia dan Yunani. Penelitian
bersama Pusat Studi Jerman UGM.
Raillon, Francois. 1985. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi
Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES.
Robinson, Richard & Vedi R Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets. London & New York: RouledgeCurzon.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra

226
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia
Indonesia dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Soekito, Wiratmo. 1983. Keterlanggaran Batas-batas Kultural, in Mahasin, Aswab & Natsir,
Ismed (ed). Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES. pp. 164-186.
Suharsih & Kusuma, Ignatius Mahendra. 2007. Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan
Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book.
Tornquist, Olle. 2011. Penghancuran PKI. Jakarta: Komunitas Bambu
Usman, sunyoto. 1999. Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik Ataukah Gerakan Moral.
Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, vol.3, no.2: pp.146-163.

Website
Bem Indonesia. 20 Oktober 2015. BEM Seluruh Indonesia Berkeliling Jakarta Undang Rakyat
Hadir Pada Sidang Rakyat 28 Oktober 2015.
http://bemindonesia.org/index.php/2015/10/21/bem-seluruh-indonesia-berkeliling-
jakarta-untuk-undang-rakyat-hadir-pada-sidang-rakyat-28-oktober-2015/ diakses pada
04 November 2015.
BEM Indonesia. 28 Oktober 2015. Sidang Rakyat di Depan Istana Putuskan Jokowi-JK
Gagal!. http://bemindonesia.org/index.php/2015/10/28/sidang-rakyat-di-depan-istana-
negara-putuskan-jokowi-jk-gagal/ diakses pada 04 November 2015.
Forlap Dikti. – 2015. Grafik Jumlah Mahasiswa Aktif* Berdasarkan Jenis Kelamin.
http://forlap.dikti.go.id/mahasiswa/homegraphjk diakses pada 01 November 2015.
Utama, Wisnu Prasetya. 01 Oktober 2015. Media dan Kebangkitan PKI.
http://geotimes.co.id/media-dan-kebangkitan-pki/ diakses pada 28 Oktober 2015.

227

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai