Pembimbing :
Disusun Oleh :
WELA JAYANTI
08310321
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2014
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan paper ini
KOTA BINJAI
Dr.Irfan Indra , Sp. A atas segala bimbingan dan arahan sehingga paper ini dapat
Paper ini tidaklah sempurna, untuk itu penulis berharap saran dan kritikan
yang membangun untuk penyempurnaan paper ini. Semoga paper ini bermanfaat
Penulis
WELA JAYANTI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik.
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta
penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus
bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain
menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia
dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi
yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses tumbuh-
kembang anak dan kualitas hidup pasien(1).
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta
aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat,
menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan.
Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000
kematian akibat asma(2).
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab(2).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan
dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
pada malam hari atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan(3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa
pada banyak orang(4).
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional untuk
kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya(5).
Faktor genetik
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS
(2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada
lelaki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma
Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat
asma atau 1,6 per 100 ribu populasi(2).
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan
angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan
asma dalam waktu 12 bulan.(6).
2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia
tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan.
Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar
kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki
penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik(8).
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan
yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,
sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif(8).
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan.
Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding
fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil,
netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori,
ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada
saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke
arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi
transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2,
IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus
menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(8).
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat
asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit(8).
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid(8).
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus(1)
inflamasi
Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus
Faktor resiko
gejala
2.6. Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan
gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan
batuk dijumpai timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan
ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan
aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak
sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata(11).
2.9. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
Batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10).
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan
salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak
menjadi 3 derajat penyakit(10,11)
Parameter klinis Asma episodic Asma episodic Asma persisten
Kebutuhan obat, jarang sering (asma berat)
dan faal paru (asma ringan (asma sedang)
1.Frekuensi 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
serangan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang
tahun, tidak ada
remisi
3.Intensitas ringan sedang berat
serangan
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5.Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
aktivitas <3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan terganggu
kelainan (ditemukan
kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid
steroid inhalasi inhalasi
dosis Dosis ≥400 ụg/hari
100-200 ụg
8.Uji faal paru PEF/FEV1 PEF/FEV1 60- PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan >80% 80% Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal ≥20% ≥30% ≥50%
paru
(bila ada serangan
2.10.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3) (12,13)
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi
genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah : (10)
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk
bermain dan berolah raga.
2. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
3. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
4. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
5. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
· β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi
karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick(12).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM
harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin
tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. (14)
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
· 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
· 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
· 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
· > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12).
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak(12).
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
· Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
· Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
· Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari(12).
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat
ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.(14)
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 – 8 jam(12).
10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen
Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta :
Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI; 2005.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.