Anda di halaman 1dari 30

REFARAT ILMU PENYAKIT ANAK

ASMA PADA ANAK

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepanitraan Klinik Senior (KKS)

Ilmu Penyakit Anak

Pembimbing :

Dr. Irfan Indra , Sp.A

Disusun Oleh :

WELA JAYANTI

08310321

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

RSUD .Dr.R.M. DJOELHAM KELAS –B KOTA BINJAI

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK

2014
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan

rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan paper ini

yang berjudul : “ASMA PADA ANAK” sebagai tugas mengikuti Kepanitraan

Klinik Senior (KKS) Ilmu Penyakit Anak di RSUD DR R.M. DJOELHAM

KOTA BINJAI

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada

Dr.Irfan Indra , Sp. A atas segala bimbingan dan arahan sehingga paper ini dapat

terselesaikan dengan baik.

Paper ini tidaklah sempurna, untuk itu penulis berharap saran dan kritikan

yang membangun untuk penyempurnaan paper ini. Semoga paper ini bermanfaat

Khususnya bagi civitas akademia kedokteran.

Medan, Maret 2014

Penulis

WELA JAYANTI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik.
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta
penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus
bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain
menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia
dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi
yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses tumbuh-
kembang anak dan kualitas hidup pasien(1).
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta
aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat,
menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan.
Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000
kematian akibat asma(2).
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab(2).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan
dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
pada malam hari atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan(3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa
pada banyak orang(4).
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional untuk
kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya(5).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko(1,6)


Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, betablocke
dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang


berhubungan dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma
bronkial. Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced
bronchospasm (EIB).
Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita asma dengan
atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan metakolin, serta
berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak ditemukan respon
tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB adalah latihan
fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable maximum heart rate.(7)
Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena
meningkatnya kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas
berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam
alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas
dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel
kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa 4
histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak
terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,
atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7)

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,6)


· Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap
rokok.
· Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
· Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen
dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari,
asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan
kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis,
sinusitis, dan gastroesofageal refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Faktor genetik

sensitisasi inflamasi Gejala asma


Faktor keturunan

Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger)

Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta


penyakit yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia
yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.31(1).

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS
(2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada
lelaki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma
Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat
asma atau 1,6 per 100 ribu populasi(2).
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan
angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan
asma dalam waktu 12 bulan.(6).

2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia
tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan.
Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar
kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki
penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik(8).
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan
yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,
sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif(8).
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan.
Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding
fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil,
netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori,
ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada
saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke
arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi
transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2,
IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus
menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(8).
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat
asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit(8).

Gambar 1. Patogenesis Asma

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid(8).
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus(1)

Faktor Risiko Faktor resiko

inflamasi

Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus

Faktor resiko
gejala

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag


alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yangterjadi(1).

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik


Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung
menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil,
netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator
yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan
protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi
yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).

2.5 Patofisiologi Asma


2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos
bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi
seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan
oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan
asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari
otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.
Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret
yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler(9).
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran
nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk
mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan
hiperinflasi toraks.
Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat
mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya
compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga
kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja
otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas(9).

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun
dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi
sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai
tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot
polos tersebut(9).
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8μg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya(9).

2.5.3 Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(9).
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai
pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan
saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang
timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan
timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis(9).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan
protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.
Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung
ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas(9).

2.5.4 Hipersekresi mukus


Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator(9).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan
dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja
tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal
datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel
inflamasi yang mengalami lisis(9).
Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan,
diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas
jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah
degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas
perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin,
produk neutrofil non-protease(9).

2.6. Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan
gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan
batuk dijumpai timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan
ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan
aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak
sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata(11).

2.7 Pemeriksaan fisik


Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam
batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing
terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut
nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,
seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(11).
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding
bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas
mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi
basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak
dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol(11).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada
AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2
(hipoksemia).
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila
kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan
FEV yang mencapai <70% nilai normal(11). Selain pemeriksaan di atas,
pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat membantu penegakan diagnosis asma.
Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai pada pasien asma.
Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan
histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara
definitive dapat ditegakkan(11).

2.9. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
Batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10).
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan
salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak
menjadi 3 derajat penyakit(10,11)
Parameter klinis Asma episodic Asma episodic Asma persisten
Kebutuhan obat, jarang sering (asma berat)
dan faal paru (asma ringan (asma sedang)
1.Frekuensi 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
serangan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang
tahun, tidak ada
remisi
3.Intensitas ringan sedang berat
serangan
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5.Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
aktivitas <3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan terganggu
kelainan (ditemukan
kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid
steroid inhalasi inhalasi
dosis Dosis ≥400 ụg/hari
100-200 ụg
8.Uji faal paru PEF/FEV1 PEF/FEV1 60- PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan >80% 80% Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal ≥20% ≥30% ≥50%
paru
(bila ada serangan

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma (11)


Parameter ringan sedang berat Ancaman
klinis, henti nafas
Fungsi paru,
Laboraturium
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis Tangis Tidak mau
keras pendek minum /
& lemah makan
Kesulitan
menetek dan
makan
posisi Bisa Lebih suka Duduk
berbaring Duduk bertopang
lengan
bicara kalimat Penggal Kata kata
kalimat
kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya kebingungan
irritable irritable irritable
sianosis Tidak ada Tidak ada ada ada
wheezing Sedang, Sepanjang Sangat Sulit /
sering ekspirasi nyaring, Tidak
hanya pada •} inspirasi Terdengar terdengar
akhir tanpa
ekspirasi stateskop
Penggunaan Biasanya Biasanya ya ya Gerakan
otot tidak paradox
Bantu Torako-
respiratorik Abdominal
retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
Retraksi ditambah ditambah Hilang
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
napas
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / meni
Frekuensi nadi Normal takikardi takikardi bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
paradoksus <10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg Tanda
kelelahan
Otot
respiratorik
PEFR atau (% Nilai Nilai terbaik) <40%
FEV1 dugaan/ 40-60% <60%
- >60% 60-80% Respon < 2
Prabronkodilat >80% jam
or
-
Pascabronkodil
ator
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg

2.10.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3) (12,13)
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi
genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah : (10)
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk
bermain dan berolah raga.
2. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
3. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
4. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
5. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tujuan tatalaksana saat serangan: (5)


- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.

Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah


perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan
atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan
penurunan pelan – pelan (step down). (10)
Syarat step up (13):
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah
dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada. ICS baru boleh
dinaikkan.
Syarat step down : (13)
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan
dosis terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau
LTRA.

2.10.1. Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu(10)
Obat – obat Pereda (Reliever) (12)
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel
inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast(12).
· Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α
sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi(12).

· β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada


keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek
samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap
15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi
karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick(12).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM
harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin
tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. (14)
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
· 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
· 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
· 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
· > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12).

2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak(12).

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
· Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
· Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
· Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari(12).
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat
ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.(14)
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 – 8 jam(12).

Obat – obat Pengontrol(3,13)


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan
sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal
dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam
pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala
gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya
down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai
400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,
gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang
yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai
LTRA adalah sebagai berikut :
· LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
· Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
· Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction· Dapat
diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati
· Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan
Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat


Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan
lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh
karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

2.10.2 Terapi Suportif(12)


a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya
diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi
salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus
paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan
oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga
dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih
mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek
diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi
peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya
retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang
memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5
kali kebutuhan rumatan.

umur Alat Inhalasi


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang
(spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam


mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga
mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalam paru lebih baik sehingga
didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering
(Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat.
Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu
yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat
dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau
menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil
dan bayi.

4.10.3. Prevensi dan Intervensi Dini(13)


- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen

4. 11. Diagnosis banding


Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan
asma. Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma
meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan
silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak
memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengn adanya nyeri tekan local pada
daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit
komorbid yang sering pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma
tidak diberikan dengan tepat.
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada
keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital,
fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi
biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung
dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh
respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak
yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain
itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah
dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- Infeksi respiratorik bawah viral berulang
- bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Tuberkulosis
- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran
respiratorik
- Aspirasi benda asing
- Sindrom diskinesia silier primerDefisiensi imun
- Penyakit jantung bawaan
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.
Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan
bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya
riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain
sudah disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan
imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat
diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma
persisten.
Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma
serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma
tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan
pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.
Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari
faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan
dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi
terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari
penderita asma.
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno


B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta
: Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.

3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global


Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.

4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,


Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.

5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.


Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s
Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report :
Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ,
Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of
Allergy : 2007

8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:


Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.

9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,


Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen
Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta :
Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI; 2005.

12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,


Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

14.Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog


Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.

Anda mungkin juga menyukai