Hijrahku
Hijrahku
September 2016, kala terdengar lantunan islami bersautan di telinga kanan dan kiri, kala
terlihat bayangan lelaki bersorban dan wanita berjubah panjang mengitari jalan dengan
menapakkan kaki, kala terdengar gemuruh nada kitab suci menjemput indahnya pagi, kala awal
muasalnya perjalanan hijrah ke tanah lautan ilmu ini (Bahrul ‘Ulum).
Takdir, mungkin itulah yang disebut takdir, cerita indah yang telah di stetsakan oleh sang
Illahi Rabbi, yang telah terangkai indah dalam balutan memori. Kala itu saya menempuh
pendidikan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan cabang Bahrul ‘Ulum di Bojonegoro, semester 5
tepatnya. Namun masalah politik pendidikan menghampiri, menuntut saya untuk berhijrah ke
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Jombang (pusatnya). Awal saya menapakkan kaki ditanah
Bahrul ‘Ulum banyaklah tawaran yang mengajak saya untuk tinggal di Pondok Pesantren,
entahlah mengapa hati saya begitu keras, begitu enggan untuk menerima tawaran tersebut.
Terbesit dalam pikiran akan bayangan kehidupan di pondok yang akan mencekik sebuah
kebebasan. Dan akhirnya saya pun lebih memilih untuk tinggal di salahsatu pemukiman
penduduk yang tidak begitu jauh dengan pelabuhan ilmu Bahrul ‘Ulum.
Jarum jam terus berputar, senja terus berganti malam, hingga tepat 3 bulan saya di tanah
Bahrul ‘Ulum, semua terasa begitu sunyi, begitu hampa, tidak ada cerita, tidak ada pengalaman
berharga, semua terasa berjalan sia-sia. Seraya saya berpikir dan bertanya, “untuk apa Allah
memindahkan saya ke tanah lautan ilmu, kalo bukan untuk sesuatu yang akan menjadikannya
lebih berarti”. Ketika itu saya mulai merubah mindset saya akan bayangan kehidupan di pondok
pesantren yang begitu mencekam. Beruntung, saya memiliki teman akrab yang tinggal di Pondok
Pesantren An-Nashriyah, disitulah saya menggali,mengamati dan mencoba mengikuti semua
rutinitas kehidupan di Pondok Pesantren. Sebelumnya saya bukanlah seseorang yang berasal dari
lingkungan yang islami, bukanlah seseorang yang fanatik akan hukum islam, saya tidak begitu
tau tentang kaidah beragama. Sungguh, saya merasa tabu dengan lingkungan yang ada di Bahrul
‘Ulum.
Setiap malam, saya mengikuti kajian yang di sampaikan oleh guru saya (Gus Yuyud),
setiap lantunan irama “ Robbi fanfa’na Bibarkatihim” membuat jantung saya memompa darah
lebih kencang, hingga menembus cavum thorax dan bersarang tepat di cardiac, Maha Suci Allah
atas nikmatnya. Rangkaian ilmu yang di sampaikan dengan hati mampu merasuk kedalam
hiphotalamus, hingga merangsang diri untuk menggerakkan glossus dalam saraf parasimpatis.
Gus Yuyud dan Ning Nofi mengajarkan banyak hal dari semua segi kehidupan, dengan metode
dan cara beliau yang menyampaikannya dengan hati yang mampu merangsang seseorang
menjadi lebih baik. Sebuah system yang telah terprinsip yang telah diajarkan, yaitu
“Memanusiakan manusia”, menciptakan dan menumbuhkan jiwa santri yang peduli dan
menghargai terhadap sesama makhluk Allah. Dan yang selalu saya ingat, beliau selalu
mengingatkan teruntuk para santriwati yaitu:
Hijab
( Berjilbab sesuai tuntunan Al-Qur’an)
Dalam bahasa arab “hijab artinya penutup”. Yaitu segala hal yang menutupi sesuatu yang
dituntut untuk ditutupi atau terlarang untuk menggapainya. Begitupun ajaran yang ada di
Pondok Pesantren An-Nashriyah Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, jilbab bukanlah
hanya untuk sebagai penutup kepala, bukanlah hanya untuk trend jilbab gaul yang
sebenarnya tidak sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Namun sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al- Ahzab ayat 59, yaitu jilbab adalah pakaian yang longgar tidak
memperlihatkan lekuk tubuh, yang menutupi dada dan tidak pula menyerupai pria. Kalau
“Dan untukmu yang telah ikhlas menjemput hidayah Allah, bersyukurlah. Semoga Allah
menetapkan hatimu untuk tetap selalu istiqomah”