Disusun Oleh :
KELOMPOK III
Kasmawati L 216190063
Gustiani 216190
Muhammad Fadriansyah 216190
Agung Sabarlian 216190
FAKULTAS TEKNIK
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala berkat serta anugerahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik dan
dalam bentuk yang sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, walaupun saya
akui masih banyak terdapat kekurangan dalam penyajian makalah ini.
Akhir kata saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini. Saya sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk pembuatan makalah berikutnya, terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
1
Bagaimanakah kondisi infrastruktur jalan raya yang berlokasi di Desa
Kariangho.
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Jalan raya ialah jalur-jalur diatas permukaan bumi yang sengaja dibuat
oleh manusia dengan ukuran,konstruksi dan bentuk tertentu sehingga dapat
dipakai sebagai jalur lalulintas orang, hewan dan kendaraan.
3
3. Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan
rata-rata rendah.
1. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan
jalan strategis nasional,serta jalatol.
2. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis
provinsi.
3. Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer
yang tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum
dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan
strategis kabupaten.
4. Jalan kota, adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta
menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
5. Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan
dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
4
Klasifikasi berdasarkan muatan sumbu Distribusi beban muatan sumbu ke badan
jalan
1. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton, yang saat ini masih belum
digunakan di Indonesia, namun sudah mulai dikembangkan diberbagai
negara maju seperti di Prancis telah mencapai muatan sumbu terberat
sebesar 13 ton.
2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan 10 ton, jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai
untuk angkutan peti kemas.
3. Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi
2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan
muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
4. Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
5
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
5. Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi
2.100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan
muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
1. Retak (cracking)
Retak adalah suatu gejala kerusakan/ pecahnya permukaan
perkerasan sehingga akan menyebabkan air pada permukaan perkerasan
masuk ke lapisan dibawahnya dan hal ini merupakan salah satu faktor
yang akan membuat luas/ parah suatu kerusakan (Departemen Pekerjaan
Umum, 2007).
Di dalam pendekatan mekanika retak diasumsikan ada bagian yang
lemah pada setiap material. Ketika pembebanan terjadi, ada konsentrasi
tegangan yang lebih tinggi di sekitar bagian tersebut, sehingga material
tersebut tidak lagi memiliki distribusi tegangan yang seragam dan
terjadilah kerusakan/ retak pada bagian tersebut dan berkembang ke bagian
yang lainnya. Mekanika retak juga menggambarkan perkembangan retak
tergantung pada sifat material tersebut (Roque, 2010).
a. Retak kulit buaya (alligator cracks)
6
Gambar 1.2 Retak Kulit Buaya (alligator cracks)
Sumber : (http://blogserbaneka.blogspot.co.id/2016/07/ciri-ciri-
jalan-aspal-beton-tanah-yang.html)
Pengertian :
Lebar celah lebih besar atau sarna dengan 3 mm. Saling merangkai
membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya.
Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan
permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan
kurang stabil, atau bahan lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah
baik). Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika
daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan
oleh repetisi beban lalulintas yang melampaui beban yang dapat dipikul
oleh lapis an permukaan tersebut.
7
yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak
pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap yang dapat semakin merusak
lapis permukaan.
Kemungkinan penyebab:
1. Bahan dibawah retak pinggir kurang baik atau perubahan volume
akibat jenis ekspansif clay pada tanah dasar .
2. Sokongan bahu samping kurang baik.
3. Drainase kurang baik.
4. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi
sebab terjadinya retak tepi.
Akibat lanjutan:
1. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan
sehingga mengganggu kenyamanan berkendaraan.
2. Retak akan berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan
butir pada tepi retak.
8
di bawah bahu jalan lebih buruk dari pada di bawah perkerasan,
terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau
perkerasanjalan, atau akibat lintasan trucklkendaraan berat di bahu
jalan.
d. Retak sambungan jalan (lane joint cracks)
9
e. Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks)
Pengertian :
Bentuk retak ini adalah retak memanjang (longitudinal cracks) yang
akan terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan
pelebaran. Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar
dan akan meresapkan air pada lapisan perkerasan.
Kemungkinan penyebab:
- Ikatan sambungan yang kurang baik.
- Perbedaan kekuatan/ daya dukung perkerasan pada jalan pelebaran
dengan jalan lama.
Akibat lanjutan:
- Ikatan sambungan kedua jalur yang kurang baik.
- Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan
akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.
- Lepasnya butir pada tepi retak dan bertambah lebar.
10
f. Retak refleksi (reflection cracks)
11
g. Retak susut (shrinkage cracks)
12
h. Retak selip (slippage cracks)
13
2. Distorsi (distortion)
Jenis kerusakan lentur atau flexible berupa distorsi dapat terjadi alas
Iemahnya tanah dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi sehingga
terjadi tambahan pemadatan akibat beban lalu lintas. Untuk kerusakan jalan
yang satu ini dibagi atas beberapa jenis diantaranya:
a. Alur (ruts)
14
Gambar 1.11 Keriting (corrugation)
Sumber : (Internet, 2017)
Pengertian :
Dapat terjadi karena rendahnya stabilitas campuran yang dapat
berasal dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan
agregat halus, agregat bulat dan licin, aspal yang dipakai mempunyai
penetrasi yang tinggi. Keriting juga dapat terjadi jika lalu lintas dibikin
sebelum perkerasan mantap.
c. Sungkur (shoving)
15
Gambar 1.13 Amblas (grade depressions)
Sumber : (Internet, 2017)
Pengertian :
Terjadi setempat/tertentu dengan atau tanpa retak, terdeteksi dengan
adanya air yang tergenang. Amblas adalah beban kendaraan yang melebihi
apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan
bagian perkerasan di karenakan tanah
dasar mengalami settlement.
e. Jembul (upheaval)
Pengertian :
Jenis kerusakan Jembul terjadi setempat dengan atau tanpa retak. Hal
ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar ekspansip.
16
Sumber : (Harian Tangerang, 2014, www.hariantangerang.com)
Pengertian :
Kerusakan jalan berbentuk lubang (potholes) memiliki ukuran yang
bervariasi dari kecil sampai besar. Lubang-lubang ini menampung dan
meresapkan air sampaike dalam lapis permukaan yang dapat menyebabkan
semakin parahnya kerusakan jalan.
Proses pembentukan lubang dapat terjadi akibat :
1. Campuran lapis permukaan yang buruk seperti :
a) Kadar aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah
lepas.
b) Agregat kotor sehingga ikatan antar aspal dan agregat
tidak baik.
c) Temperature campuran tidak memenuhi persyaratan.
2. Lapis permukaan tipis sehingga lapisan aspal dan agregat mudah
lepas akibat pengaruh cuaca.
3. System drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan
mengumpul dalam lapis perkerasan.
4. Retak-retak yang terjadi tidak segera ditangani sehingga air
meresap masuk dan mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.
17
Sumber : (Internet, 2017)
18
Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan
aus terhadap roda kendaraan / agregat yang digunakan berbentuk bulat dan
licin.
19
Terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena pemadatan
yang tidak memenuhi syarat.
Retak (cracking)
Retak adalah suatu gejala kerusakan/ pecahnya permukaan perkerasan
sehingga akan menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke
lapisan dibawahnya dan hal ini merupakan salah satu faktor yang akan
membuat luas/ parah suatu kerusakan (Departemen Pekerjaan Umum,
2007).Tipe-tipe retak yang terjadi meliputi :
Lebar celah lebih besar atau sarna dengan 3 mm. Saling merangkai
membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya.
Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan
20
permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan
kurang stabil, atau bahan lapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah
baik). Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika
daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan
oleh repetisi beban lalulintas yang melampaui beban yang dapat dipikul
oleh lapisan permukaan tersebut.
2) Retak pinggir (edge cracks)
21
Sesuai dengan namanya retak ini terjadi pada sambungan dua jalur
lalu lintas dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks). Retak ini
dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar. Kemungkinan
penyebab : Ikatan sambungan kedua jalur yang kurang baik. Akibat
lanjutan:
- Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
- Lepasnya butir pada tepi retak dan bertambah lebar
4) Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks)
22
Distorsi (distortion)
Jenis kerusakan lentur atau flexible berupa distorsi dapat terjadi alas
Iemahnya tanah dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi sehingga
terjadi tambahan pemadatan akibat beban lalu lintas. Untuk kerusakan jalan
yang satu ini dibagi atas beberapa jenis diantaranya:
1) Alur (ruts)
23
penetrasi yang tinggi. Keriting juga dapat terjadi jika lalu lintas dibikin
sebelum perkerasan mantap.
Cacat permukaan (disintegration)
Jenis kerusakan yang satu ini mengarah pada kerusakan secara kimiawi
&mekanis dari lapisan permukaan, yang termasuk cacat permukaan adalah
sebagai berikut:
1) Lubang (potholes)
Disebabkan oleh kurangnya ikatan antar lapis permukaan dan lapis bawahnya
atau terlalu tipisnya lapis permukaan.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26