BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang dilakukan oleh Chantavanich, Beesey dan Paul, (2000) terkait
mobilitas penduduk dan HIV/AIDS yaitu: perilaku beresiko dari individu dan
kelompok penduduk sangat dipengaruhi oleh keadaan beresiko yang mereka
hadapi dan penyebaran HIV dengan cepat terjadi melalui hubungan seks
komersial dan penggunaan jarum suntik saat mengkonsumsi narkoba. Daerah
rawan merupakan daerah yang beresiko bagi mereka yang belum sadar akan
resikonya dan terdapat konsentrasi kelompok-kelompok pendatang tertentu
yang beresiko terinfeksi HIV. Faktor resiko bisa berasal dari bahaya
9
lingkungan atau bahaya sosial, perilaku individu, dan faktor genetic (Stanhope
& Lanchaster, 2004).
kekebalan tubuh manusia sehingga manusia yang terinfeksi virus ini menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik yang pada tahap lanjut akan menimbulkan
gejala-gejala atau disebut dengan AIDS (Acquired Immuno Deficiency
Syndrome), (Gallant,2010). Setiap orang yang menderita AIDS pasti terinfeksi
HIV, namun tidak semua orang dengan infeksi HIV ajan menderita AIDS.
Kasus AIDS menunjukkan HIV yang berlangsung lama dan ditemukannya
berbagai gejala. Penyakit ini akan menyebabkan gangguan pada hampir semua
system tubuh yang terjadi akibat dari menurunnya sistem imun (Djourban &
Djauji, 2006).
Pada masa prenatal, ibu dengan kehamilan ODHA dihadapkan pada stressor
yang lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil pada umumnya (Bobak,
2008). Adanya ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu yang
diakibatkan kehamilan sangat mungkin terjadi. Selain itu, ketakutan ibu akan
terjadinya penularan HIV dari ibu ke janin selama masa kehamilan juga
menjadi ketakutan tersendiri bagi ibu dengan kehamilan ODHA. Sehingga
masalah keperawatan yang ditemukan adalah cemas yang berhubungan
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh ibu dengan kehamilan ODHA
baik yang aktual maupun yang akan terjadi (Green, 2005).
12
Diskriminasi dalam memperoleh akses kesehatan saat ini justru lebih sering
dilakukan oleh para tenaga kesehatan. Sering terjadi, fasilitas pelayanan
kesehatan yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada
kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan
diskriminasi. Bahkan beberapa tenaga kesehatan/fasilitas pelayanan kesehatan
secara terang-terangan menolak memberikan pelayanan kesehatan ketika
mengetahui pasien yang ditangani positif HIV/AIDS. Contoh diskriminasi
meliputi petugas kesehatan di fasilitas pelayanan yang menolak memberikan
pertolongan persalinan kepada ibu Hamil HIV karena takut tertular HIV,
fasilitas pelayanan kesehatan hanya mau menolong persalinan apabila
dilengkapi dengan sarana dan alat pertolongan persalinan yang berlebihan,
13
membakar sarana dan alat yang digunakan setelah menolong persalinan ibu
HIV. Diskriminasi ini timbul antara lain karena disebabkan karena banyak
tenaga kesehatan yang belum paham dan mendapat informasi yang lengkap
dan benar mengenai HIV/AIDS, sehingga Stigma dan diskriminasi juga
menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk
melakukan pemeriksaan tes HIV untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi
atau tidak (Kemenkes 2013).
Resiko kematian, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur adalah
kondisi yang terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV.
Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Fang, et al (2009) risiko kematian
adalah 9,87 kali lebih besar pada bayi yang lahir dari: (1) ibu yang terinfeksi
HIV yang berada dalam stadium lanjut HIV, (2) kelompok ibu yang CD4 (+)
TLC kurang dari 200 sel/micro, (3) ibu tidak ada pengobatan ARV, (4) bayi
lahir prematur, (5) bayi yang terinfeksi. Penelitian lain pada 803 anak-anak
yang lahir dari ibu dengan HIV di Spanyol, didapatkan bahwa tingkat
15
kelahiran prematur dan berat lahir rendah adalah tinggi pada ibu dengan HIV
tanpa terkait dengan kombinasi rejimen ART apa pun (Tome et al, 2011).
Selain kecemasan terhadap bayi dan kelahirannya, stigma, diskriminasi, dan
isolasi sosial menimbulkan masalah psikososial yang dirasakan oleh penderita
HIV yang ada di masyarakat. Penderita HIV & AIDS sudah terikat dalam
penilaian terstigmatisasi. Mereka dianggap mempunyai perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang dianut (Bare &
Smeltzer, 2001
Aspek spiritual juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh dilupakan
perawat. Bagi penderita yang terinfeksi akibat penyalahgunaan narkoba dan
seksual bebas harus disadarkan agar segera bertaubat dan tidak
menyebarkannya kepada orang lain dengan menjaga perilakunya serta
meningkatkan kualitas hidupnya. Bagi seluruh penderita AIDS didorong untuk
mendekatkan diri pada Tuhan, jangan berputus asa atau bahkan berkeinginan
untuk bunuh diri dan beri penguatan bahwa mereka masih dapat hidup dan
17
Transmisi dari ibu ke bayi dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
prenatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila
tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke bayi selama kehamilan akan
meningkat sebesar 25 %. Tanpa terapi apapun, risiko treansmisi ibu ke bayi
selama kehamilan adalah sebesar 20 % dan sebesar 35 % selama menyusui.
Namun, jika ibu memiliki akses untuk mendapatkan terapi ARV dan menjalani
proses persalinan secara caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1 %.
Sejumlah faktor dapat mempengaruhi risiko infeksi, diantaranya beban virus
pada ibu saat persalinan berlangsung. Semakin tinggi beban virus, semakin
tinggi risiko penularnnya (Coovadia, 2007).
Perawatan selama persalinan pada ibu dengan ODHA tidak secara substansial
berubah karena adanya infeksi HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan
didasarkan hanya pada pertimbangan obstetrik karena virus menembus
plasenta pada tahap awal kehamilan. Fokus utama perawatan pada periode
intranatal ini ialah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi
tenaga kesehatan. Risiko transmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran pervaginam terlepas dari kenyataan bayi terpapar pada darah, cairan
amniotik, dan sekresi vagina lainnya (Bobak, 2008).
2.7 Intervensi Inovasi Edukasi Pencehagan Transmisi HIV dari Ibu ke Bayi
pada Kehamilan dengan ODHA
Kehamilan dengan HIV AIDS akan menimbulkan respon stress bagi ibu
maupun pasangan. Hal ini karena adanya ancaman dari kehamilan berisiko
yang akan dihadapi selama masa kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.
Virus HIV dapat ditularkan dari ibu HIV kepada anaknya selama masa
kehamilan, pada saat persalinan atau pada saat menyusui. Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) atau sering disebut PMTCT
(Prevention of Mother To Child Transmission) telah terbukti sebagai intervensi
yang sangat efektif untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak (Kemenkes,
2013).
Di negara maju risiko penularan dari ibu ke anak dapat ditekan hingga kurang
dari 2% karena layanan PMTCT tersedia dan dilaksanakan secara optimal.
Namun di negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses
terhadap pelayanan, risiko penularan berkisar antara 25%–45%. Rendahnya
pengetahuan dan informasi tentang penularan dari Ibu ke anak bisa dilihat dari
hasil Riskesdas 2010 yang menunjukkan bahwa Persentase penduduk yang
mengetahui bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan dari ibu ke anak selama hamil,
saat persalinan, dan saat menyusui adalah masing-masing 38,1%, 39 %, dan
37,4% (Kemenkes, 2013).
Perlunya pelayanan PMTCT ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Laar; Belynda; Charlotte (2014) dalam penelitiannya yang berjudul analisis
kualitatif antara pemberi pelayanan kesehatan dengan klien HIV dalam
pelayanan PMTCT, bahwa pengetahuan klien dengan ODHA meningkat
dengan adanya program PMTC. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh
20
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayi perlu menjadi prioritas
karena bilamana perempuan dalam usia reproduksi ini hamil tentu risiko untuk
melahirkan bayi dengan HIV positif menjadi lebih besar. Bayi dengan HIV
positif pasti dapat menjadi beban yang besar dan pada akhirnya dapat
menurunkan daya saing bangsa secara keseluruhan di masa depan. Bayi
tumbuh menjadi anak yang mewarisi HIV positif dan tentu dapat
menimbulkan kesakitan dan kematian (Kemenkes, 2013). Perawat harus
mampu memberikan konseling yang baik kepada perempuan ODHA agar mau
menunda keputusannya untuk hamil. Sudah tentu proses ini membutuhkan
dukungan dari seluruh anggota keluarga ODHA, baik suami maupun orang-
orang terdekatnya. Kalaupun perempuan ODHA ini tetap ingin memutuskan
untuk hamil, maka klien harus mengikuti program PMTCT.
Standar pengobatan ARV, yaitu memulai ketika CD4 kurang dari 200 sel/mm3
telah diganti WHO sejak beberapa tahun terakhir melalui rekomendasi baru
WHO 30 November 2009. Kini pemberian ARV dimulai lebih dini, yaitu
ketika CD4 < 350 sel/mm3. Rekomendasi WHO ini terbukti mampu
mengurangi angka kematian karena HIV AIDS sebesar 75 %. Penelitian
terkait ini telah dibuktikan kepada 816 ODHA di Haiti yang hasilnya
23
Data dari UNAIDS menyebutkan bahwa 9,7 juta orang pada tahun 2012 telah
mendapatkan terapi ARV dan telah merasakan manfaatnya. Bagi kehamilan
dengan ODHA, terapi ARV dapat meminimalkan transmisi dari ibu ke janin
dari 25 % menjadi 1 %. Dengan meminum obat anti HIV (ART/ARV) teratur
dalam jangka panjang, sering kali jumlah virus HIV bebas, dan yang ada
dalam sirkulasi darah menjadi tidak terdeteksi bahkan dalam 3 bulan pertama
meminum ARV. Pada kondisi ini, praktis sudah tidak menular lagi. Efektifitas
penularan dari ODHA ke orang orang lain nyaris nol begitu pula dari ibu ke
bayinya.
Pada ibu dangan SIDA yang memilih untuk menyusui anaknya, terapi ARV
dapat sangat berperan dalam menurunkan angka penularan dari HIV ibu ke
bayi karena ARV terbukti menurunkan efektifitas penularan HIV sebesar 92
-96 %. Hal yang perlu diperhatikan ialah pemberian ARV secara teratur, tidak
terputus, dan pemberian ASI secara ekskluasif tanpa memberikan makanan
atau cairan tambahan lain selain ASI selama 6 bulan.