Anda di halaman 1dari 17

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori dan Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan


Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan
penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak
kehidupan yang materialistik. Sebelum kota menjadi tempat pemukiman yang
tetap, pada mulanya kota sebagai suatu tempat orang pulang balik untuk
berjumpa secara teratur. Terdapat masyarakat di dalamnya serta adanya
semacam daya tarik pada penghuni luar kota untuk kegiatan rohaniah dan
perdagangan serta kegiatan lain.

Masyarakat itu sendiri adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi


menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Sedangkan masyarakat perkotaan
adalah masyarakat yang tinggal di kota yaitu di wilayah yang memiliki
kegiatan utama bukan pertanian dan biasanya mereka tinggal di kota bertujuan
untuk memperbaiki hidup mereka (Bintarto, 2003). Masyarakat perkotaan
sering disebut urban community. Masyarakat perkotaan sendiri terdiri dari
kelompok yang terbagi ke dalam rentang usia yang dimulai bayi, anak
sekolah, remaja, dewasa, ibu hamil, lansia, dan agregat lainnya sepeti agregat
pekerja (agregat jobless). Masing-masing agregat tersebut memiliki kebutuhan
akan perawatan kesehatan yang khusus sesuai dengan masalah kesehatan yang
dialaminya.

Salah satu ruang lingkup perawatan kesehatan masyarakat adalah masyarakat


perkotaan. Masyarakat perkotaan tentunya memiliki perbedaan dengan
masyarakat yang lain. Mereka memiliki ciri dan karakter tersendiri yang
membuat mereka memerlukan ruang lingkup area tersendiri dalam bidang
keperawatan. Allender (2010) mengemukakan bahwa masyarakat perkotaan
memiliki delapan ciri khas dalam pelaksanaan praktiknya, antara lain
masyarakat perkotaan merupakan keperawatan komunitas dan keperawatan
klinik, yang berfokus pada bagian dari lahan keperawatan, hadir sebagai
perpaduan antara keperawatan komunitas dan keperawatan klinik, yang
8

berfokus pada populasi. Kemudian, masyarakat perkotaan juga menekankan


pada proses preventif dan promotif dengan memberdayakan kemampuan
selfcare klien. Penggunaan pengesahan/ pengukuran dan analisa, prinsip teori
organisasi, dan kolaborasi juga merupakan ciri khas dari keperawatan
masyarakat perkotaan.

Komisi Penanggulangan HIV/ AIDS (2013), mengemukakan fakta yang


membuktikan bahwa dibandingkan dengan situasi sosial di pedesaan (rural),
kemelut sosial di perkotaan lebih berat. Penyalahgunaan alkohol dan narkotika
sudah menjadi masalah serius yang berdampak negatif, selain itu masalah
pelacuran dan pergaulan bebas bahkan menjadi isu sehari-hari di kota-kota
besar di Indonesia. Praktik penyalahgunaan narkotika melalui jarum suntik,
perilaku seks bebas, pelacuran, dan penularan melalui benda-benda
terkontaminasi lainnya yang banyak terjadi di perkotaan mengakibatkan
jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan masyarakat perkotaan lebih tinggi
daripada di daerah rural di Indonesia seperti yang terjadi di beberapa kota-kota
besar di Indonesia.

Mobilitas penduduk dapat memicu penyebaran HIV di daerah perkotaan.


Situasi beresiko yang membuat penduduk suka berpindah-pindah rentan
terhadap penyakit HIV/AIDS. Perbandingan penduduk laki-laki lebih banyak
dari perempuan juga mengarah pada marak dan menyebarnya industri seks
komersial yang menjadi titik persebaran penyakit menular. Hal ini sampai
sekarang berlanjut menjadi kasus perkotaan di Indonesia (Komisi
Penanggulangan HIV/ AIDS, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Chantavanich, Beesey dan Paul, (2000) terkait
mobilitas penduduk dan HIV/AIDS yaitu: perilaku beresiko dari individu dan
kelompok penduduk sangat dipengaruhi oleh keadaan beresiko yang mereka
hadapi dan penyebaran HIV dengan cepat terjadi melalui hubungan seks
komersial dan penggunaan jarum suntik saat mengkonsumsi narkoba. Daerah
rawan merupakan daerah yang beresiko bagi mereka yang belum sadar akan
resikonya dan terdapat konsentrasi kelompok-kelompok pendatang tertentu
yang beresiko terinfeksi HIV. Faktor resiko bisa berasal dari bahaya
9

lingkungan atau bahaya sosial, perilaku individu, dan faktor genetic (Stanhope
& Lanchaster, 2004).

Chantavanich, Beesey dan Paul, (2000) menyimpulkan bahwa Mobilitas


penduduk merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam
mempercepat penularan HIV di suatu daerah. HIV akan menyebar beserta
orang-orang, yang saat pindah, juga menyebarkan berbagai situasi yang
beresiko sehingga mendesak atau mendorong mereka untuk terlibat dalam
perilaku seks yang tidak aman atau dalam penggunaan narkoba. Mobilitas itu
sendiri tidak dapat disalahkan, namun “lingkungan” di sekitar penduduk yang
berpindahlah yang membuat mereka menjadi rentan.

2.2 Peran Perawat Maternitas pada ODHA dalam Kontreks Keperawatan


Kesehatan Perkotaan
Keperawatan maternitas merupakan salah satu bentuk pelayanan profesional
keperawatan yang ditujukan kepada wanita pada masa usia subur yang
berkaitan dengan system reproduksi, kehamilan, melahirkan, nifas, antara dua
kehamilan dan bayi baru lahir sampai umur 40 hari, beserta keluarganya,
berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dalam beradaptasi secara fisik dan
psikososial untuk mencapai kesejahteraan keluarga dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan (Boback, L.J. 2005). Asuhan keperawatan
yang diberikan bersifat holistik dengan selalu menghargai klien dan
keluarganya serta menyadari bahwa klien dan keluarganya berhak menentukan
perawatan yang sesuai untuk dirinya. Kemampuan perawat memberikan
asuhan keperawatan secara komprehensif dengan cara pendekatan tertentu
dalam upaya memberikan kepuasan dan kenyamanan pada klien sangat
dibutuhkan terutama pada ibu hamil dengan ODHA.

ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS, sebagai pengganti


istilah penderita yang mengarah pada pengertian bahwa orang tersebut sudah
secara positif didiagnosa terinfeksi HIV. HIV adalah kepanjangan dari human
immunodeficiency virus, suatu virus yang menyerang kekebalan tubuh, yaitu
suatu sistem tubuh yang secara alamiah berfungsi melawan penyakit dan
infeksi (Sarafino, 2006). HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan
virus yang menyebabkan seseorang terinfeksi yang melemahkan sistem
10

kekebalan tubuh manusia sehingga manusia yang terinfeksi virus ini menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik yang pada tahap lanjut akan menimbulkan
gejala-gejala atau disebut dengan AIDS (Acquired Immuno Deficiency
Syndrome), (Gallant,2010). Setiap orang yang menderita AIDS pasti terinfeksi
HIV, namun tidak semua orang dengan infeksi HIV ajan menderita AIDS.
Kasus AIDS menunjukkan HIV yang berlangsung lama dan ditemukannya
berbagai gejala. Penyakit ini akan menyebabkan gangguan pada hampir semua
system tubuh yang terjadi akibat dari menurunnya sistem imun (Djourban &
Djauji, 2006).

Kehamilan dengan HIV/AIDS akan banyak membutuhkan informasi terutama


terkait dengan risiko kesehatan yang akan dihadapi pada ibu hamil dan
bayinya. Ibu hamil dengan HIV/AIDS akan menimbulkan berbagai masalah
keperawatan yang akan dihadapi oleh ibu hamil selama periode prenatal,
intranatal, dan postnatal. Pada ketiga periode ini, perawat dapat menjalankan
peran dan fungsinya (Bobak, L.J. 2005). Peran dan fungsi perawat yang paling
penting dalam kasus kehamilan dengan HIV/AIDS ialah peran sebagai
pemberi asuhan keperawatan, pemberi kenyamanan, komunikator, dan peran
sebagai penyuluh. Peran dan fungsi tersebut dilakukan oleh perawat dari mulai
periode prenatal sampai postnatal selama masih berada di lingkungan
pelayanan kesehatan hingga kunjungan ke rumah.

Infeksi HIV menimbulkan dampak yang komplek terhadap penderitanya


selain menurunkan daya tahan tubuh dan infeksi oportunitis yang
mengikutinya, masalah psikologi maupun sosial juga dialami oleh orang yang
terdeteksi HIV. Dari sisi sosial adanya label yang buruk dan diskriminasi juga
dialami oleh orang dengan HIV seperti anggapan mereka adalah social evils,
orang jahat, orang yang tidak bermoral membuat mereka cenderung
merahasiakan status HIV dari masyarakat dan keluarga (Brickley et al, 2009).

Perlakuan yang negatif didapatkan oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)


dari pemberi pelayanan kesehatan seperti diskriminasi dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Stigma masyarakat dan pemberi pelayanan kesehatan
terhadap klien dengan ODHA masih sangat kental. Hal ini seperti yang
11

diungkapkan dalam penelitian Sanders, (2007) terhadap 9 ibu hamil dengan


HIV bahwa semua partisipan mengalami perasaan tersingkir dan diperlakukan
kurang layak dari orang pemberi pelayanan kesehatan yang berhubungan
dengan penderita HIV. Penelitian lain yang berkaitan dengan stigma adalah
penelitian Hayati (2009) tentang pengalaman perawat merawat ibu positif HIV
dengan seksio caesar. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa perawat merasa
takut tertular infeksi HIV saat merawat ibu dengan HIV.

2.3 Kehamilan dengan ODHA (Orang Dengan HIV/ AIDS)


Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat. Riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium penting untuk menjamin ibu
dan bayi akan mendapatkan perawatan yang tepat. Informasi dan pemeriksaan
HIV harus dilakukan pada wanita yang berisiko tinggi pada saat pertama kali
melakukan pemeriksaan prenatal (Bobak, 2008).

Cara terbaik untuk mengetahui seseorang terdeteksi HIV yaitu dengan


melakukan pemeriksaan test HIV karena pada stadium awal pasien tidak
menunjukkan gejala yang spesifik. Pemeriksaan yang digunakan untuk
mengetahui apakah seseorang sudah terinfeksi HIV yaitu pemeriksaan
antibodi HIV. Dalam kebijakan operasional Kementrian Kesehatan RI tes HIV
yang digunakan adalah Rapid Test karena memiliki keuntungan lebih cepat
memberikan hasil, sensitivitas dan spesifiditas diatas 98%. Perkembangan
virus HIV dipantau dengan pemeriksaan CD4 dalam tubuh penderita
(Kemenkes RI, 2011).

Pada masa prenatal, ibu dengan kehamilan ODHA dihadapkan pada stressor
yang lebih besar dibandingkan dengan ibu hamil pada umumnya (Bobak,
2008). Adanya ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu yang
diakibatkan kehamilan sangat mungkin terjadi. Selain itu, ketakutan ibu akan
terjadinya penularan HIV dari ibu ke janin selama masa kehamilan juga
menjadi ketakutan tersendiri bagi ibu dengan kehamilan ODHA. Sehingga
masalah keperawatan yang ditemukan adalah cemas yang berhubungan
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh ibu dengan kehamilan ODHA
baik yang aktual maupun yang akan terjadi (Green, 2005).
12

2.4 Stigma dan Diskriminasi Kehamilan dengan ODHA


Kata “stigma” berasal dari Yunani dulu, untuk menyebut bekas luka akibat
kulit ditempel besi panas yang dilakukan pada budak, penjahat atau orang
orang yang dianggap kriminal lainnya, sehingga mudah diidentifikasi sebagai
orang yang hina atau harus dijauhi. Dalam pengertian yang sederhana, stigma
adalah sikap atau attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau
pengetahuan seseorang. Sedangkan diskriminasi adalah perilaku atau action
yang dilakukan. Dengan demikian asal-usul terjadinya “stigma” dan
“diskriminasi” adalah dari pandangan negatif terhadap orang atau kelompok
tertentu yang dianggap mempunyai sesuatu yang tidak baik (Sarafino, 2006).

Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya


akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya.
Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV & AIDS. Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia hingga kini masih merasakan adanya stigma
dan dikriminasi. Pemahaman kebanyakan orang masih keliru keliru tentang
HIV & AIDS. AIDS dianggap sebagai penyakit yang berbahaya, karena
sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan. Masalah
HIV & AIDS dianggap hanya masalah bagi mereka yang mempunyai perilaku
seks yang menyimpang. HIV & AIDS seringkali dikaitkan dengan masalah
mereka yang dinilai tidak bermoral, pendosa dan sebagainya (Kemenekes,
2013).

Diskriminasi dalam memperoleh akses kesehatan saat ini justru lebih sering
dilakukan oleh para tenaga kesehatan. Sering terjadi, fasilitas pelayanan
kesehatan yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada
kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan
diskriminasi. Bahkan beberapa tenaga kesehatan/fasilitas pelayanan kesehatan
secara terang-terangan menolak memberikan pelayanan kesehatan ketika
mengetahui pasien yang ditangani positif HIV/AIDS. Contoh diskriminasi
meliputi petugas kesehatan di fasilitas pelayanan yang menolak memberikan
pertolongan persalinan kepada ibu Hamil HIV karena takut tertular HIV,
fasilitas pelayanan kesehatan hanya mau menolong persalinan apabila
dilengkapi dengan sarana dan alat pertolongan persalinan yang berlebihan,
13

membakar sarana dan alat yang digunakan setelah menolong persalinan ibu
HIV. Diskriminasi ini timbul antara lain karena disebabkan karena banyak
tenaga kesehatan yang belum paham dan mendapat informasi yang lengkap
dan benar mengenai HIV/AIDS, sehingga Stigma dan diskriminasi juga
menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk
melakukan pemeriksaan tes HIV untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi
atau tidak (Kemenkes 2013).

Proses persalinan merupakan peristiwa yang menuntut dukungan dari seluruh


anggota keluarga maupun tenaga pemberi pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan
dengan konsep keperawatan maternitas yaitu pemenuhan kebutuhan ibu pada
masa persalinan yang berpusat dengan keluarga, memberikan kesejahteraan
ibu dan bayinya dengan melibatkan suami dan keluarga dalam melakukan
intervensi keperawatan persalinan (Pilliteri, 2003). Namun seringnya ibu
dengan kehamilan ODHA mendapatkan stigma dan diskriminasi dari pemberi
pelayanan kesehatan. Satu upaya dalam menanggulangi adanya diskriminasi
terhadap ODHA adalah meningkatkan pemahaman tentang HIV & AIDS di
masyarakat, khususnya di kalangan petugas kesehatan, dan terutama pelatihan
tentang perawatan (Brickley et.al, 2009). Adanya stigma dan diskriminasi
pada ODHA ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Erlisa,
Desak Made Parwati, Iis (2012), tentang pengalaman ibu hamil dengan HIV
yang mendapatkan adanya perubahan perlakuan dari tenaga pemberi
pelayanan kesehatan, seperti dipisahkan dari pasien lain, sikap tidak ramah
dari perawat, sikap ragu-ragu perawat dalam melakukan tindakan. Seperti
salah satu pernyataan partisipan berikut ini; “Tadinya bareng-bareng. setelah
tahu kalau saya punya itu, semuanya (pasien) disuruh pindah…Tadinya itu
saya datang baik.. terus setelah tahu saya punya virus itu, kayaknya perawat
pada marah, gitu.. pada sinis …”.

Di Indonesia, data kuantitatif tentang masih adanya stigma dan diskriminasi


ini bisa dilihat dari hasil survei akhir tahun 2001 oleh Yayasan Spiritia
terhadap 42 responden pengidap HIV/AIDS di 10 provinsi di Indonesia
Beberapa bentuk diskriminasi itu antara lain; penolakan rumah sakit, dokter,
maupun perawat untuk melayani dan merawat ODHA, cara perawatan yang
14

membeda-bedakan, pemberian informasi yang salah mengenai HIV/AIDS


kepada pendamping dan keluarga ODHA, serta upaya pemaksaan untuk
menjalani tes HIV/AIDS tanpa dilanjutkan dengan upaya konseling. Dalam
pergaulan juga masih terjadi diskriminasi. 14% responden mengaku
diperlakukan berbeda di lingkungan kerjanya, 7% tidak diikutsertakan lagi
dalam kegiatan di lingkungannya, 12% dipisahkan dari keramaian (Kemenkes,
2013). Satu upaya dalam menanggulangi adanya diskriminasi terhadap ODHA
menurut Kemenkes (2013) adalah meningkatkan pemahaman tentang HIV &
AIDS di masyarakat, khususnya di kalangan petugas kesehatan, dan terutama
pelatihan tentang perawatan.

2.5 Aspek Psikologis dan Psikososial pada Ibu dengan ODHA


Persalinan adalah akhir kehamilan yang terdiri dari serangkaian proses dimana
terjadi kontraksi uterus dan tekanan abdominal untuk mengeluarkan
fetus/janin dan plasenta dari dalam uterus melalui jalan lahir dari tubuh wanita
(Pilliteri, 2003; Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004). Respon psikologis pada
persalinan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pengalaman
sebelumnya, kesiapan emosi, persiapan menghadapi persalinan (fisik, mental,
materi), support system, budaya, sikap terhadap kehamilan (Hockenbery &
Wilson, 2009). Respon psikologis yang dirasakan oleh ibu dengan HIV pada
saat hamil terutama kecemasan tentang kondisi kesehatannya, bayi yang akan
dilahirkan, hubungan dengan pasangan, dukungan keluarga, kondisi anggota
keluarga yang lain, pembiayaan, pelayanan yang akan didapatkan. Pertanyaan
yang muncul terhadap kondisi bayinya adalah apakah bayinya akan sehat?,
apakah bayinya akan terinfeksi HIV? (Kennedy, 2003).

Resiko kematian, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur adalah
kondisi yang terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV.
Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Fang, et al (2009) risiko kematian
adalah 9,87 kali lebih besar pada bayi yang lahir dari: (1) ibu yang terinfeksi
HIV yang berada dalam stadium lanjut HIV, (2) kelompok ibu yang CD4 (+)
TLC kurang dari 200 sel/micro, (3) ibu tidak ada pengobatan ARV, (4) bayi
lahir prematur, (5) bayi yang terinfeksi. Penelitian lain pada 803 anak-anak
yang lahir dari ibu dengan HIV di Spanyol, didapatkan bahwa tingkat
15

kelahiran prematur dan berat lahir rendah adalah tinggi pada ibu dengan HIV
tanpa terkait dengan kombinasi rejimen ART apa pun (Tome et al, 2011).
Selain kecemasan terhadap bayi dan kelahirannya, stigma, diskriminasi, dan
isolasi sosial menimbulkan masalah psikososial yang dirasakan oleh penderita
HIV yang ada di masyarakat. Penderita HIV & AIDS sudah terikat dalam
penilaian terstigmatisasi. Mereka dianggap mempunyai perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang dianut (Bare &
Smeltzer, 2001

Beban psikososial yang dialami seorang penderita AIDS adakalanya lebih


berat daripada beban fisiknya. Beban yang diderita pasien AIDS baik karena
gejala penyakit yang bersifat organik maupun beban psikososial dapat
menimbulkan rasa cemas, depresi, kurang percaya diri, putus asa, bahakn
keinginan untuk bunuh diri. Kalau sudah begini, upaya mengantisipasi
perkembangan HIV/AIDS mengalami kendala yang cukup berat dan tentunya
menghambat upaya-upaya pencegahan dan perawatan.

Keterlibatan berbagai pihak diharapkan mampu mengatasi permasalahan


psikososial. Pemahaman yang benar mengenai AIDS perlu disebarluaskan.
Kenyataan bahwa dalam era obat antiretroviral, AIDS sudah menjadi penyakit
kronik yang dapat dikendalikan juga perlu dimasyarakatkan karena konsep
tersebut dapat memberi harapan pada masyarakat dan penderita HIV/AIDS
bahwa penderita AIDS dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik dan
berfungsi di masyarakat.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan konseling dan


pendampingan (tidak hanya psikoterapi tetapi juga psikoreligi), edukasi yang
benar tentang HIV/AIDS baik pada penderita, keluarga dan masyarakat.
Sehingga penderita, keluarga maupun masyarakat dapat menerima kondisinya
dengan sikap yang benar dan memberikan dukungan kepada penderita.
Adanya dukungan dari berbagai pihak dapat menghilangkan berbagai stresor
dan dapat membantu penderita meningkatkan kualitas hidupnya sehingga
dapat terhindar dari stress, depresi, kecemasan serta perasaan dikucilkan.
(Nurbani, 2009).
16

Peran seorang perawat dalam mengurangi beban psikis seorang penderita


AIDS sangatlah besar. Lakukan pendampingan dan pertahankan hubungan
yang sering dengan pasien sehinggan pasien tidak merasa sendiri dan
ditelantarkan. Tunjukkan rasa menghargai dan menerima orang tersebut. Hal
ini dapat meningkatkan rasa percaya diri klien. Perawat juga dapat melakukan
tindakan kolaborasi dengan memberi rujukan untuk konseling psikiatri.
Konseling yang dapat diberikan adalah konseling pra-nikah, konseling pre dan
pascates HIV, konseling KB dan perubahan prilaku. Konseling sebelum tes
HIV penting untuk mengurangi beban psikis. Pada konseling dibahas
mengenai risiko penularan HIV, cara tes, interpretasi tes, perjalanan penyakit
HIV serta dukungan yang dapat diperoleh pasien. Konsekuensi dari hasil tes
postif maupun negatif disampaikan dalam sesi konseling. Dengan demikian
orang yang akan menjalani testing telah dipersiapkan untuk menerima hasil
apakah hasil tersebut positif atau negative (Nurbani, 2009).

Mengingat beban psikososial yang dirasakan penderita AIDS akibat stigma


negatif dan diskriminasi masyarakat adakalanya sangat berat, perawat perlu
mengidentifikasi adakah sistem pendukung yang tersedia bagi pasien. Perawat
juga perlu mendorong kunjungan terbuka jika memungkinkan, hubungan
telepon dan aktivitas sosial dalam tingkat yang memungkinkan bagi pasien.
Partisipasi orang lain, batuan dari orang terdekat dapat mengurangi perasaan
kesepian dan ditolak yang dirasakan oleh pasien. Perawat juga perlu
melakukan pendampingan pada keluarga serta memberikan pendidikan
kesehatan dan pemahaman yang benar mengenai AIDS, sehingga keluarga
dapat berespons dan memberi dukungan bagi penderita (Sarafino, 2006).

Aspek spiritual juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh dilupakan
perawat. Bagi penderita yang terinfeksi akibat penyalahgunaan narkoba dan
seksual bebas harus disadarkan agar segera bertaubat dan tidak
menyebarkannya kepada orang lain dengan menjaga perilakunya serta
meningkatkan kualitas hidupnya. Bagi seluruh penderita AIDS didorong untuk
mendekatkan diri pada Tuhan, jangan berputus asa atau bahkan berkeinginan
untuk bunuh diri dan beri penguatan bahwa mereka masih dapat hidup dan
17

berguna bagi sesama antara lain dengan membantu upaya pencegahan


penularan HIV/AIDS.

2.6 Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Mother to Child Transmission (MTCT) merupakan hal yang paling ditakutkan
oleh ibu hamil dengan kehamilan ODHA. MTCT merupakan penularan HIV
dari ibu ke janin atau bayinya yang dapat terjadi selama dalam masa
kehamilan, proses persalinan, maupun pasca persalinan melalui air susu ibu
(ASI). Ketiga hal ini merupakan cara penularan yang paling banyak terjadi
dari ibu ke bayi. Meskipun MTCT dapat terjadi terdapat beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk meminimalkan atau mencegah terjadinya transmisi HIV
dari ibu ke anak (Kemenkes, 2013).

Transmisi dari ibu ke bayi dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
prenatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila
tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke bayi selama kehamilan akan
meningkat sebesar 25 %. Tanpa terapi apapun, risiko treansmisi ibu ke bayi
selama kehamilan adalah sebesar 20 % dan sebesar 35 % selama menyusui.
Namun, jika ibu memiliki akses untuk mendapatkan terapi ARV dan menjalani
proses persalinan secara caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1 %.
Sejumlah faktor dapat mempengaruhi risiko infeksi, diantaranya beban virus
pada ibu saat persalinan berlangsung. Semakin tinggi beban virus, semakin
tinggi risiko penularnnya (Coovadia, 2007).

Perawatan selama persalinan pada ibu dengan ODHA tidak secara substansial
berubah karena adanya infeksi HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan
didasarkan hanya pada pertimbangan obstetrik karena virus menembus
plasenta pada tahap awal kehamilan. Fokus utama perawatan pada periode
intranatal ini ialah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi
tenaga kesehatan. Risiko transmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran pervaginam terlepas dari kenyataan bayi terpapar pada darah, cairan
amniotik, dan sekresi vagina lainnya (Bobak, 2008).

Studi de Cock et.al (2000) menunjukkan bahwa terdapat variasi potensi


penularan HIV dari ibu kepada bayinya dengan gambaran sebagai berikut:
18

Periode Transmisi Risiko Selama kehamilan 5–10%, Selama persalinan 10–


20%, Selama menyusui 10–15%. Total 25–45%. Berdasarkan estimasi tersebut
dapat terlihat bahwa peluang transmisi HIV dari ibu kepada bayinya sejak
kehamilan sampai periode menyusui adalah 25–45%. Asumsi bahwa setiap
bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV positif pasti menderita HIV positif
tidak didukung bukti ilmiah. Karena itu, hasil studi ini memberi peluang yang
sangat baik bagi tenaga kesehatan untuk melakukan berbagai langkah
pemutusan rantai transmisi HIV dari ibu kepada bayinya. Hasil survey
menunjukkan bahwa penularan HIV pada anak sebagian besar karena tertular
dari ibunya (90%) dan 10% karena transfusi. Infeksi HIV dari ibu ke anak
akan mengganggu kesehatan anak. Sebenarnya penularan ini dapat ditekan
sampai 50% melalui intervensi mudah dan mampu laksana. Dengan demikian
memungkinkan dilakukannya pencegahan primer kepada klien dan
pasangannya serta memungkinkan pengobatan dan perawatan dini, yang dapat
dilakukan oleh keluarga (WHO, 2010).

2.7 Intervensi Inovasi Edukasi Pencehagan Transmisi HIV dari Ibu ke Bayi
pada Kehamilan dengan ODHA
Kehamilan dengan HIV AIDS akan menimbulkan respon stress bagi ibu
maupun pasangan. Hal ini karena adanya ancaman dari kehamilan berisiko
yang akan dihadapi selama masa kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.
Virus HIV dapat ditularkan dari ibu HIV kepada anaknya selama masa
kehamilan, pada saat persalinan atau pada saat menyusui. Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) atau sering disebut PMTCT
(Prevention of Mother To Child Transmission) telah terbukti sebagai intervensi
yang sangat efektif untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak (Kemenkes,
2013).

Program PMTCT pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mencegah


terjadinya penularan HIV dari ibu kepada bayinya. Program PMTCT dalam
pelaksanaannya ada empat pilar. Pertama, mencegah terjadinya penularan HIV
pada perempuan usia reproduktif. Kedua, mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan pada ibu dengan HIV. Ketiga, mencegah terjadinya penularan
HIV dari ibu hamil dengan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Keempat,
19

memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu dengan


HIV beserta bayi dan keluarganya (Kemenkes, 2013).

Menurut laporan UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV-AIDS)


tahun 2009, terdapat kemajuan signifikan dalam upaya mencegah penularan
HIV dari ibu ke anak. Pada tahun 2008 di negara berpendapatan rendah dan
menengah diperkirakan 21% ibu hamil yang melahirkan telah dites HIV,
meningkat dari 15% pada tahun 200f. Sementara itu, 45% dari estimasi ibu
hamil yang terinfeksi HIV telah menerima obat ARV untuk mencegah
transmisi HIV ke anaknya, meningkat dari 35% pada tahun 2007 dan 10%
pada tahun 2004. Salah satu sebab meningkatnya cakupan tes HIV pada ibu
hamil adalah meningkatnya Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan
dan Konseling (TIPK) atau Provider-Initiated Testing and Counseling (PITC)
di layanan/klinik antenatal dan persalinan, dan layanan kesehatan lainnya.
Data data tersebut diatas memberikan gambaran betapa pentingnya
pelaksanaan PMTCT atau PPIA (Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) untuk
mencegah penularan HIV pada Ibu dan juga mencegah penularan dari Ibu ke
anak (Kemenkes, 2013).

Di negara maju risiko penularan dari ibu ke anak dapat ditekan hingga kurang
dari 2% karena layanan PMTCT tersedia dan dilaksanakan secara optimal.
Namun di negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses
terhadap pelayanan, risiko penularan berkisar antara 25%–45%. Rendahnya
pengetahuan dan informasi tentang penularan dari Ibu ke anak bisa dilihat dari
hasil Riskesdas 2010 yang menunjukkan bahwa Persentase penduduk yang
mengetahui bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan dari ibu ke anak selama hamil,
saat persalinan, dan saat menyusui adalah masing-masing 38,1%, 39 %, dan
37,4% (Kemenkes, 2013).

Perlunya pelayanan PMTCT ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Laar; Belynda; Charlotte (2014) dalam penelitiannya yang berjudul analisis
kualitatif antara pemberi pelayanan kesehatan dengan klien HIV dalam
pelayanan PMTCT, bahwa pengetahuan klien dengan ODHA meningkat
dengan adanya program PMTC. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh
20

Oktavia (2010) mengenai pengalaman ibu dalam melakukan PMTCT,


membuktikan bahwa ternyata pengetahuan ibu tentang PMTCT masih kurang.
Informasi yang didapat sedikit dan masih sering terjadi kehamilan yang tidak
direncanakan. Hal ini berdampak pada kepatuhan dan keterlambatan ibu
mendapatkan ARV. Penelitian lain yang dilakukan oleh Muhaimin Toha
(2011), menyatakan bahwa, prevalensi HIV pada ibu hamil dari data di
komunitas antara tahun 2003-2010 masih rendah dan cukup bervariasi dalam
lima waktu pengamatan. Disarankan untuk memperluas cakupan program
PMTCT dan mengintegrasikannya dengan pelayanan maternal dan keluarga
berencana.

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayi perlu menjadi prioritas
karena bilamana perempuan dalam usia reproduksi ini hamil tentu risiko untuk
melahirkan bayi dengan HIV positif menjadi lebih besar. Bayi dengan HIV
positif pasti dapat menjadi beban yang besar dan pada akhirnya dapat
menurunkan daya saing bangsa secara keseluruhan di masa depan. Bayi
tumbuh menjadi anak yang mewarisi HIV positif dan tentu dapat
menimbulkan kesakitan dan kematian (Kemenkes, 2013). Perawat harus
mampu memberikan konseling yang baik kepada perempuan ODHA agar mau
menunda keputusannya untuk hamil. Sudah tentu proses ini membutuhkan
dukungan dari seluruh anggota keluarga ODHA, baik suami maupun orang-
orang terdekatnya. Kalaupun perempuan ODHA ini tetap ingin memutuskan
untuk hamil, maka klien harus mengikuti program PMTCT.

Model kelahiranpun yang akan dilakukan didasarkan hanya pada


pertimbangan obstetrik karena virus menembus plasenta pada tahap awal
kehamilan. Fokus utama perawatan pada periode intranatal ini ialah mencegah
persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga kesehatan. Risiko
transmisi HIV dianggap rendah selama proses kelahiran pervaginam terlepas
dari kenyataan bayi terpapar pada darah, cairan amniotik, dan sekresi vagina
lainnya (Bobak, 2008). Persalinan pervaginam yang memungkinkan
terpaparnya bayi pada darah, cairan amniotik dan sekresi vagina lainnya
membuat persalinan jenis ini menjadi rentan untuk penularan HIV AIDS pada
bayi sehingga operasi caesario biasanya dilakukan untuk meminimalkan risiko
21

transmisi pada kehamilan dengan ODHA. Dalam berbagai penelitian terbaru


diketahui bahwa persalinan dengan metode elektif seksio caesario dan
pemberian terapi ARV selama kehamilan sampai proses persalinan merupakan
salah satu cara efektif untuk meminilakan risiko transmisi yang terjadi. Risiko
transmisi HIV AIDS selama persalinan dari ibu ke bayi pun dapat diturunkan
sampai 1 % dengan cara tersebut (Throne, 2007).

Kemenkes (2013) mengemukakan untuk mengurangi jumlah ibu yang


menderita HIV harus dilakukan dengan upaya promotif dan preventif. Upaya
promotif dilakukan dengan pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan yang
massif tentang bahaya HIV baik kepada kalangan remaja perempuan maupun
pada segmen perempuan dewasa. Upaya ini harus dilaksanakan dalam skala
yang besar sehingga informasi tidak hanya terkonsentrasi di wilayah
perkotaan saja, namun juga dapat diakses secara terbuka dan mudah oleh
kalangan perempuan di pedesaan.

Strategi pertama PMTCT menurut Kemenkes (2013), yang perlu


direkomendasikan adalah pemeriksaan CD4. Jika kadarnya lebih dari
400sel/mm3, maka dapat direkomendasikan untuk hamil dengan syarat selama
periode kehamilannya harus terus dilakukan pemberian terapi Anti Retro Viral
(ARV) profilaksis secara teratur dalam upaya menurunkan viral load di dalam
darah (WHO, 2010).

Strategi kedua adalah menurunkan viral load serendah-rendahnya. Strategi


bisa dilakukan untuk perempuan dengan HIV positif yang tidak hamil maupun
yang hamil. ARV harus tetap diberikan secara teratur bagi seluruh perempuan
dengan HIV positif. Bagi ibu hamil, ARV juga harus terus diberikan secara
teratur yang berfungsi sebagai profilaksis. Dengan demikian pemberian ARV
merupakan cara untuk menurunkan viral load pada perempuan dengan HIV
positif.

Strategi ketiga adalah meminimalkan paparan janin/bayi dengan cairan tubuh


ibu dengan HIV positif. Paparan HIV selama kehamilan dapat terjadi melalui
plasenta. Kondisi plasenta dan kekebalan tubuh ibu yang baik dapat
meminimalkan transmisi HIV, terlebih bisa diperkuat dengan pemberian ARV
22

secara teratur. Untuk lebih meminimalkan paparan saat persalinan dimana


dimungkinkan terjadi kontak langsung darah ibu yang sudah tercemar HIV
dengan kulit bayi selama melewati jalan lahir, maka perawat harus mampu
meyakinkan ibu agar mau dilakukan pertolongan persalinan melalui sectio
caessaria atau bedah sesar. Kalaupun terpaksa persalinan dilakukan per
vaginam, harus dapat dipastikan bahwa persalinan itu menimbulkan trauma
minimal dan karena itu harus ditolong oleh tenaga kesehatan yang benar-benar
sudah terlatih. Sedangkan untuk meminimalkan transmisi HIV saat menyusui
adalah dengan merekomendasikan penggunaak susu formula eksklusif selama
memenuhi syarat AFASS menurut WHO. Kepada mereka tidak diperkenankan
memberikan mix-feeding. Strategi keempat adalah mengoptimalkan kesehatan
ibu dengan HIV positif.

2.8 Terapi ARV pada Kehamilan dengan ODHA


Tujuan terapi ARV pada klien dengan ODHA adalah untuk mengurangi laju
penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian
yang berhubungan dengan HIV, memperbaiki kualitas hidup ODHA,
memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh dan menekan replikasi
virus secara maksimal. Sedangkan pada ibu yang hamil dan akan melahirkan,
pengobatan bertujuan untuk mempertahankan kesehatan ibu dan mencegah
penularan HIV ke janin. ODHA on ARV atau penderita HIV yang
mendapatkan terapi obat antiretroviral (ARV) terbukti dapat mengurangi
angka penularan sebesar 96 %. Hal tersebut dibuktikan oleh sebuah penelitian
internasional besar (HPTN 052) yang diselenggarakan oleh Institut Alergi dan
Penyakit Infeksi Amerika pada tahun 2005.

Standar pengobatan ARV, yaitu memulai ketika CD4 kurang dari 200 sel/mm3
telah diganti WHO sejak beberapa tahun terakhir melalui rekomendasi baru
WHO 30 November 2009. Kini pemberian ARV dimulai lebih dini, yaitu
ketika CD4 < 350 sel/mm3. Rekomendasi WHO ini terbukti mampu
mengurangi angka kematian karena HIV AIDS sebesar 75 %. Penelitian
terkait ini telah dibuktikan kepada 816 ODHA di Haiti yang hasilnya
23

dipublikasikan di majalah kedokteran internasional New England Journal of


Medicine pada tahun 2010 (WHO, 2013).

Data dari UNAIDS menyebutkan bahwa 9,7 juta orang pada tahun 2012 telah
mendapatkan terapi ARV dan telah merasakan manfaatnya. Bagi kehamilan
dengan ODHA, terapi ARV dapat meminimalkan transmisi dari ibu ke janin
dari 25 % menjadi 1 %. Dengan meminum obat anti HIV (ART/ARV) teratur
dalam jangka panjang, sering kali jumlah virus HIV bebas, dan yang ada
dalam sirkulasi darah menjadi tidak terdeteksi bahkan dalam 3 bulan pertama
meminum ARV. Pada kondisi ini, praktis sudah tidak menular lagi. Efektifitas
penularan dari ODHA ke orang orang lain nyaris nol begitu pula dari ibu ke
bayinya.

Penelitian mutakhir yang dipublikasikan baru-baru ini yang dipublikasikan


yang dilakukan oleh Oladokun R. E. (2013), menyimpulkan bahwa Treating
AIDS is Preventing AIDS. Dalam penelitian tersebut dibuktikan bahwa tidak
terjadi penularan HIV sebesar 92 % pada ODHA yang minum ARV. Angka
tersebut merupakan penurunan penularan yang sangat dramatis. Sehingga
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengobatan ARV merupakan upaya
strategik yang sangat efektif untuk mencapai pencegahan penularan.

Pada ibu dangan SIDA yang memilih untuk menyusui anaknya, terapi ARV
dapat sangat berperan dalam menurunkan angka penularan dari HIV ibu ke
bayi karena ARV terbukti menurunkan efektifitas penularan HIV sebesar 92
-96 %. Hal yang perlu diperhatikan ialah pemberian ARV secara teratur, tidak
terputus, dan pemberian ASI secara ekskluasif tanpa memberikan makanan
atau cairan tambahan lain selain ASI selama 6 bulan.

Anda mungkin juga menyukai